4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah lintah laut (Discodoris sp.) dari Perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Lokasi pengambilan lintah laut dapat dilihat pada Lampiran 1. Lintah laut dikurangi kadar airnya melalui proses pengeringan. Keuntungan dilakukannya pengeringan adalah daya awet bahan yang lebih lama, volume dan berat bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan. Pengeringan dapat berlangsung baik, jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan dan uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut (Winarno et al. 1980). Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki tekstur yang keras, dan berwarna hitam kecoklatan. Setelah kering, lintah laut tanpa jeroan dihancurkan sehingga diperoleh bentuk serbuk. Bahan baku dalam bentuk serbuk dapat mempermudah saat analisis proksimat dan proses ekstraksi karena permukaan bahan baku yang kontak dengan pelarut lebih luas. Serbuk lintah laut tanpa jeroan disimpan dalam wadah tertutup untuk melindungi bahan baku dari lingkungan sekitarnya. Lintah laut segar, tanpa jeroan kering dan bentuk serbuknya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Lintah laut utuh segar, tanpa jeroan kering dan serbuknya
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Suatu bahan baku memiliki sifat fisik maupun kimia yang berbeda dengan yang lainnya. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi bahan baku (uji proksimat). 4.1.1. Rendemen Rendemen adalah persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan. Lintah laut utuh ditimbang beratnya baik sebelum maupun sesudah diambil dengan jeroannya, kemudian dijemur dengan menggunakan panas matahari. Daging dan jeroan lintah laut yang telah kering ditimbang kembali untuk mengetahui penurunan berat setelah dikeringkan. Persen rendemen merupakan perbandingan antara berat daging segar/kering dengan berat utuh lintah laut yang digunakan. Hasil pengukuran rendemen menunjukkan bahwa daging dan jeroan lintah laut segar memiliki rendemen sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Penurunan rendemen lintah laut disebabkan penguapan kandungan air dalam bahan dengan adanya energi panas matahari. Lintah laut yang berukuran besar akan memiliki rendemen yang besar pula. Nilai rendemen digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga lebih efektif. 4.1.2. Kandungan gizi bahan baku Senyawa kimia yang mutlak diperlukan oleh tubuh adalah zat gizi. Zat gizi berperan dalam penyediaan energi, proses pertumbuhan, perbaikan jaringan, pengaturan serta pemeliharaan proses fisiologis dan biokimiawi di dalam tubuh. Zat gizi diklasifikasikan dalam 6 kelompok besar yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air (Tejasari 2003). Kandungan zat gizi pada lintah laut dapat diketahui melalui uji proksimat. Uji proksimat dilakukan untuk memperoleh data kasar tentang komposisi kimia suatu bahan. Nurjanah (2009) melakukan uji proksimat pada lintah laut utuh kering. Hasil uji menunjukkan bahwa lintah laut utuh kering mengandung abu tidak larut asam yang dapat merusak jaringan ginjal. Abu tidak larut asam tersebut berasal dari jeroannya yang tidak dibuang. Oleh karena itu, penelitian ini
melakukan uji proksimat pada lintah laut yang telah dibuang jeroannya. Zat gizi lintah laut tanpa jeroan kering yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat diperoleh dengan perhitungan by difference. Hasil uji proksimat serbuk lintah laut tanpa jeroan kering dapat dilihat pada Tabel 3. Contoh perhitungan uji proksimat lintah laut tanpa jeroan kering dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 3. Hasil uji proksimat lintah laut tanpa jeroan kering Komponen
Nilai
Kadar air (%)
10,45
Kadar abu (%)
11,97
Kadar abu tidak larut asam (%)
0,20
Kadar lemak (%)
1,41
Kadar protein (%)
59,11
Kadar karbohidrat (%)
17,08
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan karena keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air yang dikandungnya. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air
bebas
yang dapat digunakan
oleh mikroorganisme
untuk
pertumbuhannya (Winarno 1997). Hasil uji kadar air pada lintah laut tanpa jeroan kering adalah sebesar 10,45 %. Penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan hasil uji kadar air pada lintah laut utuh kering sebesar 15,25 %. Kadar air yang lebih rendah pada penelitian ini diduga akibat pengaruh lingkungan saat penjemuran sehingga
memperbesar
penguapan
kandungan
air.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap yang di udara (Winarno et al. 1980). Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki kadar air yang lebih rendah dari lintah laut utuh kering sehingga dapat meningkatkan daya awet suatu bahan. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam
suatu bahan (Sudarmadji et al. 2007). Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Hasil uji kadar abu adalah sebesar 11,97 %, sedangkan hasil penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan uji kadar abu lintah laut utuh kering sebesar 11,74 %. Hal ini menunjukkan bahwa lintah laut kering tanpa jeroan kering mengandung mineral yang tidak berbeda jauh dengan lintah laut utuh kering. Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk (Basmal et al. 2003). Hasil uji kadar abu tidak larut asam adalah sebesar 0,20 %. Penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan kadar abu tidak larut asam lintah laut utuh kering sebesar 1,9 %. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi pada lintah laut utuh kering disebabkan jeroan yang tidak dibuang mengandung material-material abu yang tidak larut asam seperti pasir, lumpur, silika, dan batu. Kemungkinan ini bisa terjadi karena lintah laut termasuk anggota kelompok filum mollusca yang bersifat filter feeder dan hidup menempel pada substrat. Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki kadar abu tidak larut asam yang lebih rendah dari lintah laut utuh kering sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Lemak merupakan bagian jaringan tubuh yang dapat digunakan untuk energi setelah dicerna. Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Helper et al. 1988). Kadar lemak yang didapatkan dari uji proksimat lintah laut tanpa jeroan adalah sebesar 1,41 %. Berdasarkan penelitian Nurjanah (2009), kandungan lemak pada lintah laut utuh adalah sebesar 4,58 %. Kadar lemak yang lebih rendah pada penelitian ini disebabkan telah dibuangnya jeroan lintah laut saat preparasi. Lemak pada tubuh umumnya disimpan sebesar 45 % di sekeliling organ dan rongga perut (Almatsier 2006). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Budiyanto 2002). Protein dibentuk oleh asam-asam
amino, yang mengandung unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), (beberapa asam amino juga mengandung fosfor, besi, dan yodium) melalui ikatan peptida (Tejasari 2003). Hasil uji kadar protein pada lintah laut tanpa jeroan kering adalah sebesar 59,11 %. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) diperoleh kadar protein lintah laut utuh kering sebesar 49,60 %. Hal ini disebabkan kandungan air yang lebih rendah pada lintah laut tanpa jeroan kering sehingga secara proporsional persentase kadar protein akan naik. Semakin meningkatnya kandungan air maka kandungan protein akan menurun dan sebaliknya (Syarief dan Halid 1993). Kadar protein yang lebih tinggi pada lintah laut tanpa jeroan kering menunjukkan potensi besar sebagai pangan fungsional kaya protein. Karbohidrat adalah sumber kalori utama bagi kehidupan manusia dan hewan. Karbohidrat dalam ilmu gizi dibagi dalam dua golongan, yaitu karbohidrat sederhana (monosakarida, disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida dan serat) (Almatsier 2006). Hasil perhitungan by difference menunjukkan bahwa kadar karbohidrat lintah laut tanpa jeroan kering sebesar 17,08 %. Sedangkan penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan kadar karbohidrat lintah laut utuh kering sebesar 18,83 %. Hal ini menunjukkan bahwa lintah laut utuh kering memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lintah laut tanpa jeroan kering. 4.2. Ekstraksi Komponen Antioksidan Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2009), metode ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan metode ekstraksi bertingkat. Selain itu, hasil ekstraksi juga dipengaruhi oleh jenis pelarut, waktu, dan suhu yang digunakan dalam proses ekstraksi (Row dan Jin 2005). Penelitian ini menggunakan tiga pelarut polar untuk memperoleh komponen antioksidan melalui proses ekstraksi, yaitu etanol pro analyst (p.a), metanol pro analyst (p.a), dan aquabides. Pemilihan pelarut polar mengacu pada penelitian Nurjanah (2009) yang mengatakan bahwa rendemen ekstrak dan
aktivitas antioksidan lintah laut lebih banyak ditemukan pada ekstrak dengan pelarut polar sehingga diduga senyawa kimia yang terdapat di dalamnya bersifat polar. Penggunaan ketiga pelarut ini bertujuan untuk mengetahui rendemen dan sifat komponen bioaktif lintah laut pada pelarut polar dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Proses ekstraksi dengan pelarut polar menggunakan lintah laut dalam bentuk serbuk halus. Ukuran partikel yang kecil diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan memecah se-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan di ekstrak dapat cepat keluar dari bahan. Perbandingan antara bahan dengan pelarut yang digunakan adalah sebesar 1:3 (w/v). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak ekstrak kasar yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian penambahan pelarut tidak akan menambah hasil ekstraksi (Hougton dan Raman 1998). Proses maserasi dibantu dengan pengadukan dimaksudkan untuk memperbesar kemungkinan proses tumbukan antara bahan dengan pelarut sehingga senyawa bioaktif dapat terlarut dengan cepat ke dalam pelarut. Proses maserasi ini dilakukan selama 5x24 jam sampai filtrat berwarna lebih bening. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak senyawa-senyawa kimia lintah laut yang terlarut dalam pelarut. Aquabides dipilih sebagai pelarut karena bersifat murni dan terbebas dari kontaminasi serta garam-garam anorganik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Ekstraksi dengan pelarut aquabides pada suhu tinggi (suhu 100 oC) dan dalam waktu singkat (20 menit) dilakukan untuk menghindari pembusukan pada hasil filtrat selama ektraksi karena bakteri cepat tumbuh dalam media air pada suhu ruang. Suhu tinggi dapat menginaktifkan bakteri yang tidak tahan panas, walaupun akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan suatu bahan. Suatu bahan yang dipanaskan pada temperatur lebih dari 50 oC akan mengalami penurunan aktivitas antioksidan secara signifikan (Azizah et al. 1998).
Proses evaporasi dari filtrat lintah laut dengan ketiga pelarut polar menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak kasar metanol dan etanol berwarna coklat pekat dalam bentuk pasta, sedangkan ekstrak kasar aquabides berwarna coklat kehijauan dalam bentuk pasta kering. Ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Ekstrak kasar lintah laut Hasil ekstraksi menggunakan tiga pelarut polar dengan tingkat kepolaran yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara bobot ekstrak kasar yang dihasilkan dengan bobot awal yang digunakan. Nilai rendemen ekstrak dinyatakan dalam bentuk persen. Rendemen ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 6. Data rendemen ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Lampiran 3. 16
Rendemen (%)
14
14,75 13,21
12,54
12 10 8 6 4 2 0 Etanol
Metanol
Aquabides
Jenis pelarut
Gambar 6. Rendemen ekstrak kasar lintah laut
Ekstrak kasar etanol, metanol, dan aquabides lintah laut memiliki rata-rata persentase rendemen yaitu sebesar 12,54 %, 14,75 %, dan 13,21 %. Hasil analisis ragam terhadap rendemen ekstrak lintah laut berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah rendemen ekstrak yang dihasilkan. Ketiga pelarut yang digunakan sama-sama bersifat polar sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap rendemen ekstrak. Nilai rendemen ekstrak metanol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Nurjanah (2009) yang menunjukkan rendemen ekstrak kasar lintah laut tanpa jeroan sebesar 4,51 %. Hal ini disebabkan ukuran bahan yang diekstrak pada penelitian ini dalam bentuk serbuk halus, sedangkan penelitian Nurjanah (2009) dalam bentuk serbuk kasar sehingga memperluas permukaan bahan yang kontak dengan pelarut. Selain itu, pada penelitian ini dilakukan metode ekstraksi tunggal sehingga komponen bioaktifnya lebih banyak tereksrak dibandingkan dengan metode ekstraksi bertingkat. 4.3. Ekstrak Kasar Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak kasar lintah laut dengan menggunakan tiga pelarut meliputi uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH dan uji fitokimia dengan pengamatan secara kualitatif. 4.3.1. Aktivitas antioksidan Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dalam lintah laut dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. DPPH (diphenylpicrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. Selain itu, DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk DPPH tereduksi (diphenylpicrylhydrazine) yang stabil. Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah BHT. BHT dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50 dan 100 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok BHT dengan konsentrasi 500 ppm. Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan pada metode DPPH ini adalah 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Konsentrasi tersebut
diperoleh dari hasil pengenceran stok sampel ekstrak dengan konsentrasi 5000 ppm. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut Sampel
IC50
% inhibisi
BHT
(ppm)
5 ppm
10 ppm
25 ppm
50 ppm
100 ppm
18,57
43,30
71,51
87,31
90,14
14,00
100 ppm 200 ppm 500 ppm 1000 ppm 2000 ppm 4000 ppm Ekstrak etanol Ekstrak metanol Ekstrak aquabides
0,73
4,00
10,70
24,43
44,82
77,87
2152,93
2,01
5,80
18,11
28,71
52,87
85,76
1527,37
0,45
3,36
9,92
18,49
36,97
64,59
3640,05
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Moluneux 2004). Tingkat diskolorisasi warna ungu DPPH mengindikasi aktivitas penghambatan radikal bebas oleh sampel antioksidan (Abdille et al. 2004). Reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh sampel ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dari pelarut etanol, metanol dan aquabides dapat menghambat aktivitas radikal bebas pada konsentrasi sebesar 4000 ppm. Reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh ekstrak kasar diindikasi dengan berubahnya warna ungu menjadi kuning pada konsentrasi tersebut. Perubahan warna ini membuktikan bahwa ekstrak kasar memiliki aktivitas antioksidan walaupun pada konsentrasi yang tinggi.
Ektrak kasar etanol
Ekstrak kasar metanol
Ekstrak kasar aquabides Gambar 7. Reaksi radikal bebas DPPH dengan ekstrak kasar lintah laut BHT adalah antioksidan sintetik yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Antioksidan sintetik ini biasa dicampurkan ke dalam bahan pangan karena efektif menghambat aktivitas radikal bebas dan bersifat sinergis dengan antioksidan lainnya. Namun penggunaan antioksidan sintetik dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). Pengujian aktivitas antioksidan menghasilkan hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT yang dapat dilihat pada Gambar 8.
% inhibisi
120 100 80 60
y = 24,80ln(x) - 15,45 R² = 0,948
40 20 0 0
50
100
150
Konsentrasi (ppm) Gambar 8. Hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT
Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa BHT memiliki persen penghambatan radikal bebas tertinggi pada konsentrasi 100 ppm, yaitu sebesar 90,14 % dengan nilai IC50 sebesar 14 ppm. Contoh perhitungan persentase penghambatan dan nilai IC50 dapat dilihat pada Lampiran 6. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Persentase penghambatan tinggi dan nilai IC50 yang rendah membuktikan bahwa BHT bersifat sebagai antioksidan yang kuat. Hal ini disebabkan BHT terbuat dari senyawa-senyawa kimia yang merupakan senyawa antioksidan. Aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut dinyatakan dengan persentase penghambatan (% inhibisi) dan nilai IC50. Sampel ekstrak pada 6 konsentrasi, yaitu 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer. Persentase penghambatan adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan
dengan
konsentrasi
suatu
bahan.
Hubungan
persentase
penghambatan dengan konsentrasi ekstrak kasar lintah laut disajikan pada Gambar 9. 100 90 80
y = 21,66ln(x) - 108,3 R² = 0,890
70
% inhibisi
60
y = 19,76ln(x) - 101,1 R² = 0,862
50
y = 16,28ln(x) - 83,35 R² = 0,856
40 30 20 10 0 -10 0
1000
2000
3000
4000
5000
Konsentrasi (ppm) Gambar 9. Hubungan konsentrasi dengan rata-rata persentase penghambatan ekstrak kasar lintah laut etanol metanol aquabides
Hasil perhitungan rata-rata persentase penghambatan menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut memiliki rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas terendah terdapat pada konsentrasi 100 ppm, yaitu 0,73 % untuk ekstrak etanol, 2,01 % untuk ekstrak metanol, dan 0,45 % untuk ekstrak aquabides. Sedangkan rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas tertinggi terdapat pada konsentrasi 4000 ppm, yaitu 77,87 % untuk ekstrak etanol, 85,76 % untuk ekstrak metanol, dan 64,62 % untuk ekstrak aquabides (Lampiran 7). Semakin tingginya konsentrasi ekstrak kasar lintah laut yang digunakan menghasilkan persentase penghambatan radikal bebas yang tinggi pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hanani (2005) diacu dalam Prabowo (2009), yang menyatakan bahwa persentase penghambatan terhadap aktivitas radikal bebas meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50 % (Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lintah laut
Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lintah laut menunjukkan bahwa ekstrak etanol dapat menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50 % pada konsentrasi 2152,94 ppm, ekstrak metanol pada konsentrasi 1527,37 ppm, dan
ekstrak aquabides pada konsentrasi 3640,05 ppm. Nilai IC50 yang rendah mengindikasi aktivitas antioksidan yang tinggi. Ekstrak kasar lintah laut hasil ekstraksi dengan ketiga pelarut memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah karena memiliki nilai IC50 lebih besar dari 200 ppm. Suatu bahan dapat dikatakan sebagai antioksidan kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 200 ppm (Blois 1958 diacu dalam Molyneux 2004). Aktivitas antioksidan pada ekstrak kasar lintah laut lebih rendah apabila dibandingkan dengan antioksidan sintetik BHT. Nilai IC50 BHT yaitu sebesar 14 ppm. Aktivitas antioksidan yang rendah pada penelitian ini diduga akibat sampel yang masih berupa ekstrak kasar. Ekstrak kasar lintah laut masih mengandung senyawa lain yang bukan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terbawa dalam pelarut saat proses ekstraksi. Senyawa-senyawa lain pada ekstrak dapat meningkatkan persentase rendemennya. Oleh karena itu ekstrak lintah laut yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol dan aquabides memiliki persentase rendemen yang cukup tinggi. Senyawa murni dari ekstrak kasarnya mungkin memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Hasil analisis ragam terhadap aktivitas antioksidan lintah laut berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Ketiga pelarut yang digunakan sama-sama bersifat polar sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak. Ekstrak aquabides memiliki keunggulan apabila dilihat dari segi keamanannya. Pelarut aquabides adalah air yang telah mengalami dua kali destilasi. Air yang telah didestilasi akan terbebas dari kontaminan seperti elektrolit, substansi organik, mikroorganisme, klorin, partikel gas terlarut misalnya karbon dioksida dan oksigen. Garam anorganik di dalam air dapat terdisosiasi menbentuk ion positif dan negatif, misalnya kalsium dan magnesium sebagai pembentuk kesadahan air. Bila diuapkan melalui destilasi ion-ion ini bersama dengan ion-ion seperti karbonat akan mengendap sehingga diperoleh air yang murni (Suwandi 1993). Aquabides terbebas dari kontaminasi dan garam
organik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Selain itu, aquabides lebih aman dikonsumsi dibandingkan dengan etanol dan metanol sehingga sangat baik apabila digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar (Ketaren 1986). Kebanyakan pelarut organik yang biasa digunakan saat ini diketahui bersifat toksik dan berbahaya. Pada penelitian ini digunakan pelarut organik berupa etanol dan metanol. Etanol dan metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar. Meminum atau menghisap metanol dapat menimbulkan kebutaan bahkan kematian. Terdapat laporan yang menjelaskan bahwa terjadi kematian yang disebabkan minum metanol kurang dari 30 ml (Fessenden dan Fessenden 1986). Pelarut organik yang bersifat toksik dapat berbahaya bagi kesehatan sehingga akan lebih aman apabila proses ekstraksi menggunakan air murni yaitu aquabides. 4.3.2. Senyawa fitokimia Ekstrak kasar hasil ekstraksi lintah laut menggunakan tiga pelarut polar, yaitu etanol, metanol dan aquabides diuji fitokimia untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat dalam tubuhnya yang terlarut pada masing-masing pelarut. Komponen bioaktif berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskular (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret dan ninhidrin. Pemilihan pelarut perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Ekstraksi dengan pelarut etanol dapat mengekstrak fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid, dan glikosida (Hougton dan Raman 1998). Pelarut metanol mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid dan tanin (Harborne 1987). Selain itu, metanol juga dapat mengekstrak gula, asam amino dan glikosida. Metanol merupakan pelarut polar, namun dapat juga mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, seperti lilin dan lemak. Pelarut aquabides cenderung melarutkan garam dari asam maupun
basa (Houghton dan Raman 1998). Komponen bioaktif yang terdapat dalam ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar lintah laut Jenis pelarut
Uji fitokimia
Standar (warna)
Etanol
Metanol
Aquabides
Wagner
++
+
+++
Endapan coklat
Meyer
+
++
+++
Endapan putih kekuningan
Dragendroff
−
−
−
Endapan merah sampai jingga
Steroid
−
−
−
Perubahan merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
++
+++
++
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Saponin
−
−
−
Terbentuk busa
Fenol hidrokuinon
−
−
+
Warna hijau atau hijau biru
Molisch
++
++
++
Warna ungu diantara 2 lapisan
Benedict
+
++
+++
Warna hijau/kuning/endapan merah bata
Biuret
−
−
++
Warna ungu
−
Warna biru
Alkaloid:
−
Ninhidrin
−
Keterangan: +++ sangat kuat ++
kuat
+
kurang kuat
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dengan ketiga pelarut polar mengandung senyawa kimia yang merupakan golongan alkaloid, flavonoid, karbohidrat, dan gula pereduksi. Senyawa kimia fenol hidrokuinon dan peptida hanya terdapat pada ekstrak kasar lintah laut dengan menggunakan pelarut aquabides. Setiap zat kimia memiliki kelarutan yang berbeda-beda
terhadap
suatu
jenis
pelarut.
Pemilihan
pelarut
perlu
dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,
dimana saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Pada umumnya basa bebas alkaloida hanya larut dalam pelarut organik meskipun beberapa pseudoalkaloida dan protoalkaloida larut dalam air. Garam alkaloida quarterner sangat larut dalam air (Sastrohamidjojo 1996). Penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa senyawa kimia yang dominan dalam lintah laut adalah steroid. Pada penelitian ini tidak ditemukan senyawa kimia steroid pada lintah laut tanpa jeroan. Hormon steroid dibentuk dari jaringan tertentu di dalam tubuh dan dibagi dalam dua kelas, yaitu hormon adrenal dan hormon seks (estrogen, progesteron dan testosteron). Lintah laut yang telah dibuang jeroannya tidak ditemukan hormon steroid karena steroid secara normal diproduksi oleh organ reproduksi seperti ovari, plasenta, korteks adrenal, korpus luteus, dan testis (Wilson dan Gisvold 1982). Schmidt dan Steinhart (2001) menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non-polar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987). Karena mempunyai sejumlah gugus gula, flavonoid bersifat polar maka umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham 1988). Flavonoid dapat digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi (Chen dan Blumberg 2007). Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon (Pratt dan Hudson 1990). Senyawa kimia fenol hidrokuinon hanya terdeteksi pada ekstrak aquabides lintah laut. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya seyawa ini seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1987). Senyawa yang termasuk dalam golongan fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut yang mempunyai polaritas tinggi (Marhusip 2006) diacu dalam Nuraini 2007). Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel,
antosianin sebagai pigmen bunga. Selain itu, dengan mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, anti-inflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol (Chen dan Blumberg 2007). Karbohidrat
pada
hewan
dan
manusia
diperoleh
dengan
cara
mengkonsumsi organisme autotroph yang dapat melakukan fotosintesis. Lintah laut mendapatkan karbohidrat dari alga yang dimakannya. Karbohidrat berfungsi sebagai storing energy seperti pati, dapat juga berguna sebagai transport of energy seperti sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007). Terbentuknya endapan kuning pada pengujian benedict ketiga pelarut menunjukkan adanya gula pereduksi dalam ekstrak kasar lintah laut. Gula pereduksi adalah monosakarida yang mereduksi senyawa lain seperti pereaksi Benedict. Bila monosakarida dioksidasi akan menghasilkan senyawa bergugus karboksil, sedangkan pada waktu yang sama ion Cu2+ dalam pereaksi Benedict direduksi menjadi Cu + (Roswiem et al. 2006). Uji biuret pada pelarut aquabides menunjukkan warna ungu sehingga dapat diketahui terdapat peptida dalam ekstrak kasar lintah laut. Protein bersifat larut dalam air, tidak larut dalam alkohol atau ether, tidak berwarna serta dapat membentuk kristal (Sudarmadji et al. 2007). Keberadaan protein yang tinggi dalam lintah laut didukung dengan pengujian secara kuantitatif melalui analisis proksimat yang menunjukkan kadar protein sebesar 59,11 %.