TR
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakteristik bahan baku sangat menentukan kualitas produk nugget ikan yang dihasilkan. Tahap awal penelitian dilakukan pengujian sifat bahan baku ikan lele dumbo segar, umbi talas dan tepung talas. Analisis yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia dan rendemen. 4.1.1 Lele dumbo Lele dumbo merupakan bahan baku utama dalam pembuatan nugget ikan. Komposisi kimia dan rendemen fillet bahan baku ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik daging ikan lele dumbo Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Rendemen fillet
Lele dumbo (%bb) (%bk) 77,16 ± 0.06 17,89 ± 0.05 78,33 2,29 ± 0.08 10,02 2,38 ± 0.04 10,42 0,28 ± 0.02 1,23 43,79 ± 0.73 -
Clarias lazeera* (%bk) 7,50 73,10 8,00 8,60 2,50 -
Cyprinus carpio** (%bk) 53,59 13,99 7,91 24,51 -
Keterangan : *Aremu dan Ekunode ( 2008), **Jabeen dan Chaudhry ( 2011) bb : basis basah, bk : basis kering.
Berdasarkan hasil pengukuran komposisi kimia dapat diketahui bahwa ikan lele dumbo tergolong ikan yang berprotein tinggi dengan kadar protein 17,89% (bb) atau 78,33% (bk). Kandungan protein pada lele dumbo ini lebih tinggi dari kadar protein pada African catfish (Clarias lazeera) yang digunakan pada penelitian Aremu dan Ekunode (2008) yaitu 73,10% (bk) serta protein pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang diperoleh dari sungai Indus Pakistan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jabeen dan Chaudhry (2011) yaitu sebesar 53,59% (bk). Kandungan protein pada ikan selain merupakan sumber asam amino, juga berperan dalam memberikan kekuatan gel pada daging lumat ikan (Suzuki 1981). Protein otot terdiri atas protein sarkoplasma yang larut air, protein miofibril yang larut garam dan protein stroma (protein jaringan ikat) yang tidak larut dalam air, basa, atau larutan garam. Perbedaan kandungan protein pada ikan dipengaruhi
TS
oleh jenis ikan, lingkungan hidup (hasil budidaya atau bukan) dan kematangan gonad (Haard 1995). Lemak merupakan zat makanan yang sangat penting bagi manusia dan merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein.
Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan
merupakan kandungan total lipid dalam jumlah yang sebenarnya (Winarno 2008). Kandungan lemak pada lele dumbo sebesar 2,29% (bb). Kadar lemak lele dumbo lebih besar dari kadar lemak Clarias lazeera berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aremu dan Ekunode (2008) dan lebih rendah dari kadar lemak ikan mas (Cyprinus carpio) yang dilakukan oleh Jabeen dan Chaudhry (2011). Menurut Suriah et al. (1995), ikan dengan kadar lemak kurang dari 5% tergolong ikan dengan kadar lemak rendah. Lele dumbo tergolong ikan berlemak rendah sehingga cocok untuk diolah menjadi surimi karena lemak dapat menghalangi terbentuknya gel pada surimi dan harus dihilangkan dengan proses pencucian. Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral suatu bahan. Hasil analisis kadar abu lele dumbo sebesar 2,38% (bb) atau 10,42% (bk). Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar mineral pada Clarias lazeera dan Cyprinus carpio pada Tabel 7.
Menurut Erkan dan Ozden (2007), adanya
perbedaan komposisi mineral pada makanan laut berhubungan erat dengan perbedaan musim dan faktor biologis (spesies, ukuran tubuh, daging merah/putih, umur, jenis kelamin dan kematangan seksual), area penangkapan, metode penangkapan, sumber makanan, dan kondisi lingkungan (kimia air, salinitas, temperatur, keberadaan kontaminan). Kadar karbohidrat pada ikan umumnya sangat rendah yaitu kurang dari 1% dan terdapat dalam bentuk polisakarida, yaitu glikogen yang strukturnya serupa dengan amilum. Glikogen terdapat dalam sarkoplasma antara miofibril-miofibril. Kadang-kadang merupakan senyawa kompleks dengan protein miosin dan protein miogen. Glikogen dalam daging bersifat tidak stabil, mudah berubah menjadi asam laktat melalui proses glikolisis (Adawyah 2008). Kadar karbohidrat lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0,28%. Rendemen fillet ikan diukur dari perbandingan antara berat fillet skinless dibandingkan dengan berat daging awal. Nilai rendemen ikan lele yang diperoleh
TT
sebesar 43,79% dan nilai ini berada pada kisaran nilai rendemen fillet skinless berdasarkan penelitian Yasemi et al. (2011) pada ikan halibut (Psettodes erumei) yaitu berkisar antara 42-49% dan lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen ikan nila (Oreochromis niloticus L) berdasarkan penelitian Ratten et al. (2004) yaitu sebesar 35,7%. Tingginya rendemen fillet skinless lele dumbo karena penggunaan ikan yang berukuran rata-rata 1-3 kg, dengan daging yang lebih tebal sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin besar. Menurut Suryaningrum (2010), semakin besar ukuran ikan lele, rendemen fillet yang dihasilkan semakin tinggi. Ikan lele yang berukuran lebih kecil memiliki ukuran kepala yang lebih besar sehingga rendemen fillet yang dihasilkan lebih rendah. Ikan lele ukuran konsumsi menghasilkan daging fillet sebesar 29,95%. Menurut Sang et al. (2009), faktor yang berpengaruh terhadap rendemen fillet adalah ukuran ikan, jenis kelamin, spesies, dan makanan ikan. 4.1.2 Umbi talas Talas bogor sebagai bahan baku pembuatan tepung talas dan crumb talas digunakan sebagai bahan pengisi dan pelapis pada nugget. Analisis terhadap umbi talas yang meliputi analisis proksimat (kadar protein, lemak, air, abu, dan karbohidrat), kadar oksalat dan rendemen tepung disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik umbi talas Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Kadar oksalat
Umbi talas % bb % bk 52,19 ± 1,36 2,94 ± 0,06 6,15 0,57 ± 0,06 1,19 1,42 ± 0,09 2,97 42,88 ± 1,15 89,69 0,39 0,82
Umbi talas* % bk 2,59 1,15 9,36 86,9 0,86
Keterangan : * Mayasari (2010); bb : basis basah, bk : basis kering.
Komposisi kimia umbi talas bervariasi tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Berdasarkan Tabel 8, kadar protein pada umbi talas yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 6,15% (bk), lemak 1,19% (bk), dan karbohidrat 89,69% (bk). Kadar ini lebih
TU
tinggi dibandingkan dengan kandungan umbi talas yang digunakan pada penelitian Mayasari (2010). Kadar abu dan oksalat umbi talas pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu dan oksalat pada penelitian Mayasari (2010). Menurut Aboubakar et al. (2008), terdapat korelasi antara kadar abu dan kadar oksalat pada umbi talas. Semakin tinggi kadar oksalat, semakin tinggi kadar abu. Hal ini diduga karena senyawa oksalat yang terikat dengan mineral kalsium membentuk kristal kalsium oksalat.
Kadar oksalat bervariasi pada berbagai
spesies dan varietas, dan merupakan produk akhir metabolisme pada beberapa jaringan tumbuhan. Menurut Noonan dan Savage (1999), ketika talas dimakan maka akan menimbulkan efek yang merugikan karena oksalat mengikat kalsium dan mineral lain. Bradbury dan Holloway (1988) menyatakan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek. Kristal ini kemudian menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari sel idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya.
Paull et al. (1999)
menyatakan bahwa senyawa penyebab iritasi adalah proteinase, histamin dan aldehid aromatik.
Rasa gatal pada talas ini menurut Mayasari (2010) dapat
dikurangi dengan perlakuan perendaman dalam air hangat dan perendaman dalam NaCl. 4.1.3 Tepung talas Umbi talas diolah menjadi tepung talas melalui proses pengeringan untuk menjaga keawetan. Kadar air tepung talas pada penelitian ini adalah 4,77%, lebih rendah dari kadar air pada tepung tapioka dan tepung maizena berdasarkan data komposisi gizi tepung dari Direktorat gizi Departemen Kesehatan RI (1995). Tepung talas dengan kadar air rendah, dapat diaplikasikan pada makanan dan disimpan dalam waktu yang lama. Karakteristik tepung talas secara lengkap disajikan pada Tabel 9.
TV
Tabel 9 Karakteristik tepung talas Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Rendemen Kadar oksalat Amilosa
Tepung Talas (%bb) 4,77 ± 0,15 4,91 ± 0,03 0,24 ± 0,03 1,54 ± 0,43 88,55 ± 0,30 24,24 ± 2,14 0,15 16,5**
Tepung tapioka (%bb) 12,0* 0,5* 0,3* 0,3* 86,9* 17***
Tepung maizena (%bb) 14,0* 0,3* 0,0* 0,7* 85,0* 26***
Keterangan : * Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1995), **Hartati dan Prana (2003), *** Park (2000); bb : basis basah.
Kandungan air dan aktivitas air dapat mempengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan.
Makanan yang
dikeringkan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan dengan kandungan air sekitar 5 sampai 15% (de Man 1997). Tepung talas memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari tepung tapioka dan maizena yaitu 4,91%. Penggunaan tepung dengan kadar protein yang lebih tinggi selain berpengaruh pada peningkatan nilai gizi pada bahan makanan, juga berpengaruh pada karakteristik produk yang dihasilkan. Kadar lemak tepung talas adalah 0,24%, lebih rendah dari umbi talas (0,57%) dan tepung tapioka (0,3%). Penurunan kadar lemak dari umbi talas menjadi tepung talas disebabkan banyaknya lemak yang larut pada saat perendaman dalam air hangat dan NaCl serta terbuang pada saat pencucian. Kadar lemak yang rendah merupakan ciri dari tepung yang berasal dari umbiumbian. Menurut Copeland et al. (2009), kandungan lemak pada pati alami berkorelasi dengan tingginya kadar amilosa dan suhu gelatinisasi. Semakin tinggi kadar lemak, kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi akan semakin meningkat. Lemak
dapat berperan
sebagai
pengkompleks amilosa
sehingga
dapat
menurunkan kelarutan tepung dalam air, menurunkan kapasitas swelling, meningkatkan
temperatur
gelatinisasi,
memperlambat
retrogradasi
dan
menurunkan kerapuhan gel. Rendahnya kadar lemak dan tingginya kadar amilosa pada tepung maizena berdasarkan Tabel 9, diduga karena adanya modifikasi pati. Kadar abu tepung talas 1,54% lebih tinggi dari kadar abu pada tepung tapioka dan maizena. Hasil kadar abu ini berada pada kisaran kadar abu beberapa
TW
varietas talas menurut penelitian yang dilakukan oleh Aboubakar et al. (2008) yaitu berkisar antara 1,3% sampai 5,5%.
Aboubakar et al. (2008) juga
menyatakan bahwa mineral yang menyusun fraksi abu pada tepung talas yang paling besar adalah Ca dan Mg, serta terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingginya kadar abu dengan tingginya kadar kalsium dan magnesium pada tepung talas. Karbohidrat pada tepung talas yang digunakan pada penelitian ini yaitu 88,55%, lebih tinggi dari kadar karbohidrat pada tepung tapioka dan maizena, dan lebih rendah dari kadar karbohidrat hasil penelitian yang dilakukan oleh Aboubakar et al. (2008) yang menguji kadar karbohidrat talas berkisar antara 90,5% sampai 95,5%. Hal ini disebabkan banyaknya pati yang hilang selama perlakuan pencucian dan perendaman dalam air hangat dan NaCl. Kadar pati dalam tepung sangat mempengaruhi sifat fungsional tepung tersebut sebagai bahan pangan maupun non pangan. Penggunaan pati pada produk berbasis surimi berperan dalam pembentukan struktur jaringan gel pada surimi. Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Perbedaan perbandingan kadar amilosa dan amilopektin akan memberikan pengaruh yang berbeda selama proses gelatinisasi. Kekuatan pecah gel (breaking strength) akan meningkat dengan meningkatnya kadar amilosa pada tahap awal gelatinisasi. Selama penyimpanan dingin, peningkatan amilosa dapat meningkatkan pengeluaran air (expressible moisture) dan gaya tekan (compressive force) gel surimi. Selama penyimpanan beku, amilosa mengalami retrogradasi sehingga meningkatkan expressible moisture dan kerapuhan gel.
Menurut Hartati dan Prana (2003), talas bogor
memiliki kandungan amilosa sebesar 16,5% dan amilopektin 83,49%.
Kadar
amilosa tepung talas lebih kecil dibandingkan dengan kadar amilosa pada tepung maizena dan tapioka menurut Park (2000), yaitu 26% pada maizena dan 17% pada tepung tapioka. Penggunaan tepung talas dengan kadar amilosa yang lebih rendah diharapkan dapat menghasilkan produk nugget dengan karakter gel yang lebih baik dan lebih stabil pada penyimpanan dingin dan beku. Kadar oksalat pada tepung talas sebesar 0,15% lebih rendah dari kadar umbi talas sebelumnya sebesar 0,82% karena adanya perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman dalam air pada suhu 40 oC selama 180 menit dan perendaman dalam
TX
NaCl 10% selama 60 menit dan dilanjutkan pengeringan pada suhu 60 oC. Menurut Mayasari (2010), penurunan kadar oksalat terjadi karena adanya ikatan antara ion Na+ dan Cl- membentuk natrium oksalat yang larut dalam air dan terbuang pada proses pencucian. Nilai rendemen tepung talas yang digunakan pada penelitian ini adalah 24,24% lebih kecil dari rendemen tepung talas berdasarkan penelitian Mayasari (2010) yaitu sebesar 28,17%. Rendemen tepung talas sangat dipengaruhi oleh varietas dan kadar air talas serta efisiensi proses pengeringan. Semakin tinggi kadar air umbi talas maka semakin rendah rendemen tepung yang dihasilkan. Semakin efisien proses pengeringan maka semakin tinggi rendemen tepung yang dihasilkan karena bahan yang tercecer atau rusak semakin kecil.
Proses
perendaman dalam air hangat dan NaCl serta pencucian setelah perendaman juga sangat berpengaruh pada rendemen tepung karena banyaknya komponen yang ikut larut bersama air selama pencucian. 4.2 Karakteristik Daging Lumat dengan Perlakuan Pencucian Langkah paling penting dalam proses pembuatan surimi untuk menjamin pembentukan gel yang maksimum, menghilangkan warna, dan odor adalah pencucian yang efisien. Beberapa masalah terhadap warna, rasa, dan odor dapat diminimalisasi atau dieliminasi dengan dicuci. Sekitar 2/3 dari daging lumat ikan merupakan
protein
miofibril
yang
merupakan
komponen
utama
pada
pembentukan struktur gel tiga dimensi, sedangkan sisanya yaitu 1/3 mengandung darah, mioglobin, lemak, dan protein sarkoplasma yang mengganggu kualitas akhir gel surimi.
Dengan demikian, pencucian dapat meningkatkan kualitas
surimi dengan memusatkan protein miofibril dan memperpanjang daya simpan beku (Park dan Morrissey 2000). enzim-enzim.
Protein sarkoplasma banyak tersusun atas
Pencucian daging lumat dapat melarutkan banyak protein
sarkoplasma sehingga enzim proteolisis yang menyebabkan kerusakan pada daging juga ikut larut dan berkurang sehingga surimi yang dihasilkan memiliki daya simpan yang lebih lama.
UO
Menurut Hossain et al. (2004), pencucian surimi dapat meningkatkan kandungan air, sedikit kadar protein myofibril, dan pH. Hasil analisis terhadap rendemen, pH, dan protein larut garam (PLG) daging lumat pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Karakteristik daging lumat Pencucian
Rendemen (%)
pH
PLG (%)
Tanpa pencucian
100,00±0,00a
6,65±0,11a
3,84±0,17a
Pencucian 1 kali
68,87±1,31b
6,71±0,05a
4,39±0,29a
Pencucian 2 kali
65,70±0,89c
6,77±0,05a
5,27±0,11b
Pencucian 3 kali
63,11±1,19c
6,77±0,00a
5,29±0,24b
Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
4.2.1 Rendemen Rendemen daging lumat merupakan persentase perbandingan daging lumat pada setiap tahap pencucian terhadap berat daging sebelum dilakukan pencucian. Berdasarkan data pada Tabel 10 dan hasil analisis ragam (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa perlakuan pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen daging lumat yang dihasilkan.
Peningkatan frekwensi
pencucian menyebabkan penurunan rendemen. Menurut Rawdkuen et al. (2009), pada proses pencucian surimi, protein sarkoplasma akan larut dan pada pencucian yang lebih banyak, protein miofibril juga akan ikut larut dan hilang sehingga rendemen akan semakin rendah. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3), perlakuan tanpa pencucian daging lumat memiliki rendemen yang berbeda nyata dengan perlakuan pencucian. Perbedaan rendemen ini karena pada perlakuan pencucian, banyak komponen daging lumat (seperti darah, lemak, abu, dan protein sarkoplasma) terlarut dalam air pencucian, dan terbuang pada proses pengepresan daging. Perlakuan pencucian 1 kali memiliki rendemen yang berbeda nyata dengan pencucian 2 kali dan 3 kali sedangkan perlakuan pencucian 2 kali memberikan pengaruh yang tidak berbeda dengan perlakuan pencucian 3 kali. Hal ini karena pada pencucian ketiga, komponen daging lumat larut air sudah sangat berkurang
UP
sampai pencucian 2 kali, sehingga rendemen pada pencucian ketiga cenderung tidak berbeda dengan pencucian kedua. Perlakuan pencucian menyebabkan sebagian besar protein sarkoplasma larut dan terbuang pada pencucian 1 kali.
Pada pencucian kedua, sisa protein
sarkoplasma terus dipisahkan. Pada tahap ini ikut pula larut sedikit miosin, aktin, troponin dan tropomiosin. Pada pencucian tahap selanjutnya, tidak ditemukan lagi protein sarkoplasma secara signifikan sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar protein sarkoplasma terlarut dalam air dan dibuang pada tahap pencucian pertama.
Jika protein sarkoplasma telah dipisahkan secara sempurna, maka
pencucian selanjutnya dapat menyebabkan penghilangan protein miofibril (Morrissey et al. 2000). Hal ini diduga karena melemahnya matrik gel akibat terjadinya denaturasi protein selama proses pencucian. 4.2.2 Nilai derajat keasaman (pH) Nilai pH sangat berpengaruh pada proses pembentukan gel surimi. Berdasarkan Tabel 10, nilai pH daging lumat baik dengan perlakuan pencucian maupun tanpa pencucian menunjukkan peningkatan dari 6,55 untuk daging lumat tanpa pencucian dan meningkat menjadi 6,77 pada pencucian 3 kali. Peningkatan nilai pH pada setiap tahap pencucian disebabkan adanya penambahan NaCl 0,3% pada air pencucian tahap akhir. Kisaran nilai pH pada daging lumat dan daging surimi yang sudah dicuci berada pada kisaran netral. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang digunakan pada penelitian ini masih segar dan belum mengalami proses glikolis (perubahan glikogen menjadi asam laktat). Proses ini berpengaruh pada penurunan pH, aktivasi enzim katepsin, dan terjadinya proses proteolisis yang akan mempercepat reaksi pembusukan. Berdasarkan data analisis ragam (Lampiran 4), menunjukkan bahwa pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai pH. Nilai pH daging lumat tanpa pencucian dan dengan perlakuan pencucian berada pada kisaran pH netral yang berarti berada pada kisaran pH optimal bagi kelarutan protein miofibril. Kisaran pH 6-7 merupakan kisaran pH optimal bagi kelarutan protein miofibril dan meningkatkan kemampuan pembentukan gel pada ikan. Pada pH yang lebih rendah yaitu 5,5 atau pada kondisi asam, protein menjadi tidak stabil
UQ
dan terdenaturasi. Aktomiosin lebih stabil pada pH 7 dan kestabilan miosin akan membantu proses pembentukan gel (Suzuki 1981). Adanya gugus karboksil dan gugus amin pada asam amino menyebabkan protein bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam atau basa tergantung nilai pH. Perubahan pH akan mempengaruhi ionisasi gugus fungsional protein sehingga muatan total protein berubah. Pada titik isoelektrik, total muatan protein sama dengan nol sehingga interaksi antarmolekul protein menjadi maksimum. Pada kondisi ini, protein mencapai titik isoelektrik dan memiliki kelarutan yang minimum.
Pada pH di bawah titik isoelektrik, protein cenderung bermuatan
positif, sebaliknya pada pH di atas titik isoelektriknya, protein cenderung bermuatan negatif. Semakin jauh pH dari titik isoelektriknya maka kelarutan protein semakin meningkat (Kusnandar 2010). 4.2.3 Protein larut garam (PLG) Protein larut garam (PLG) pada dasarnya merupakan protein miofibril yang sangat berperan dalam pembentukan gel.
Protein miofibril pada daging ikan
mencakup 66-77% dari total protein. Ketika protein diekstrak dengan larutan garam, aktin (F-aktin) akan berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin (Suzuki 1981). Berdasarkan data pada Tabel 10, nilai PLG untuk daging lumat tanpa pencucian sebesar 3,84% dan menunjukkan peningkatan sampai pencucian 3 kali, yaitu sebesar 5,29%. Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan pencucian berpengaruh terhadap kadar PLG. Peningkatan nilai PLG pada setiap tahap pencucian disebabkan banyaknya protein sarkoplasma yang larut dan terbuang pada saat pencucian yang diikuti dengan peningkatan kelarutan protein miofibril. Adanya garam dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan protein. Hal ini karena penambahan garam dapat mempengaruhi kekuatan ion dalam larutan, yang berpengaruh pula terhadap kelarutan protein. Pada umumnya, jika kekuatan ion meningkat maka kelarutan protein akan semakin besar. Pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi atau pada konsentrasi garam tertentu yang lebih tinggi, kelarutan protein akan menurun atau disebut salting-out (Kusnandar 2010).
UR
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5), kadar PLG antara daging lumat tanpa pencucian dengan perlakuan pencucian 1 kali tidak berbeda nyata pada taraf P<0,05, begitu juga antara perlakuan pencucian 2 kali dan 3 kali. Perlakuan tanpa pencucian dan pencucian 1 kali berbeda nyata dengan perlakuan pencucian 2 kali dan 3 kali. Pada pencucian 1 kali, protein sarkoplasma dan komponen larut air yang lain seperti darah, pigmen dan enzim, larut dan terbuang pada saat pencucian. Pada tahap ini, kadar protein miofibril masih tidak berbeda dengan daging lumat tanpa pencucian. Pencucian kedua menyebabkan kelarutan protein miofibril lebih tinggi karena protein sarkoplasma sudah banyak yang terbuang pada pencucian pertama, dan cenderung stabil pada pencucian ketiga. 4.3 Penentuan Formulasi Filler Nugget Penambahan bahan pengisi (filler) pada produk berbasis surimi merupakan upaya untuk memperbaiki sifat tekstur (agar tidak terlalu bersifat rubbery) dan memperbaiki sifat mobilitas air sehingga memiliki stabilitas pada saat dilelehbekukan berulang-ulang (Lee et al. 1992).
Pati umumnya digunakan untuk
mempertahankan kekuatan gel dengan mengurangi kandungan surimi atau menjamin stabilitas produk pada penyimpanan dingin dan beku (Park 2000). 4.3.1 Pengaruh interaksi banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap sifat fisik Tahapan penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh interaksi banyaknya pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap parameter tekstur yaitu kekerasan (hardness), daya adhesive (adhesiveness), dan kekenyalan (cohesiveness).
Perhitungan nilai Texture Profile Analysis (TPA)
diperoleh melalui kurva hubungan plot gaya dan waktu pada grafik (Gambar 9).
US
Hardness
Cohesiveness =A2/A1
Adhesiveness A1
A2
Gambar 9 Kurva TPA yang diperoleh dari TA-XT2i. (1) Kekerasan (hardness) Kekerasan (hardness) merupakan salah satu sifat produk pangan yang menunjukkan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Kusnandar 2010).
Menurut Munizaga et al. (2004), kekerasan (hardness)
digambarkan pada kurva Texture Profile Analysis (TPA) sebagai puncak tertinggi yang dihasilkan dari penekanan pertama.
Berdasarkan hasil analisis ragam
pengaruh banyak pencucian daging lumat, konsentrasi tepung talas, dan interaksi antara banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap kekerasan bahan pengisi nugget (Lampiran 6), menunjukkan adanya pengaruh pencucian dan konsentrasi tepung talas terhadap bahan pengisi, tetapi tidak ada pengaruh interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap sifat kekerasan formula filler nugget. Pengaruh interaksi antara pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas, serta rata-rata kekerasan formula filler nugget disajikan pada Gambar 10.
UT
800
a
700
a a a
Kekerasan (g)
600 500
a
a a
a a a
400 300
a
a
a a a a
a
a
a
a
200 100 0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 10 Histogram rata-rata kekerasan bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap pengaruh perlakuan pencucian daging lumat terhadap kekerasan formula filler menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pencucian berbeda nyata dengan perlakuan dengan pencucian daging lumat (Lampiran 6). Kekerasan formulasi filler terbesar terlihat pada perlakuan tanpa pencucian (P0) yaitu 534,64 g dan kekerasan paling kecil pada pencucian dua kali (P2) yaitu 426,4 g. Perlakuan tanpa pencucian memiliki nilai kekerasan terbesar dan berbeda dengan perlakuan dengan pencucian.
Hal ini disebabkan pada
perlakuan tanpa pencucian, masih ada komponen padat seperti darah, pigmen, dan terutama protein (sarkoplasma, miofibril, kolagen) sehingga tekstur menjadi lebih keras. Perlakuan pencucian daging lumat menunjukkan penurunan tingkat kekerasan formula filler jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pencucian. Menurut Liu et al. (2008), keberadaan air dapat mempengaruhi pemisahan dan cross-linking
protein,
sehingga
mempengaruhi
viskoelastis
gel
surimi.
Konsentrasi protein yang terpisah meningkat ketika air ditambahkan, dan air yang
UU
menempel pada jaringan protein akan meningkat ketika pasta dipanaskan sehingga kekerasan (hardness) dan viskositas gel akan berkurang. Perlakuan pencucian dapat meningkatkan protein miofibril, yaitu protein yang sangat berperan pada pembentukan gel surimi (Suzuki 1981).
Melalui
bantuan pemanasan dan keberadaan air, protein dapat membentuk matriks gel dengan menyeimbangkan interaksi antara protein dengan protein dan protein dengan pelarut di dalam produk. Matriks gel ini dapat mengikat air, lemak, dan bahan-bahan lain serta mempunyai kekentalan yang tinggi, plastis, dan elastis (Kusnandar 2010). Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa konsentrasi tepung talas berpengaruh terhadap kekerasan formula filler nugget (Lampiran 6). Peningkatan konsentrasi tepung talas meningkatkan kekerasan nugget. Penambahan tepung talas 20% (C4) menghasilkan kekerasan terbesar yaitu 617,15 g dan perlakuan tanpa penambahan tepung talas (C0) menghasilkan kekerasan yang paling kecil yaitu sebesar 387,67 g. Menurut Couso et al. (1998), perilaku gelatinisasi pada pati berbeda-beda tergantung pada kondisi proses.
Umumnya, ketika gel
dipanaskan secara langsung tanpa suhu setting, pati akan tergelatinisasi bersamaan dengan gel aktomiosin dan membentuk jaringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Campo dan Tovar (2008), penambahan pati pada formulasi stik kepiting dari surimi berpengaruh terhadap sifat tekstur stik yang dihasilkan. Gelatinisasi pati menyebabkan tekanan yang mendesak matriks protein dan menghasilkan matriks gel yang lebih kokoh dan sedikit menyatu (cohesive) sehingga meningkatkan konsistensi yang solid.
Optimum penambahan pati
sekitar 11%. Pada konsentrasi pati yang lebih rendah, sampel lebih kasar dan mudah mengalami deformasi. Pada konsentrasi yang tinggi, pati menjadi keras dan rapuh. (2) Daya adhesive (adhesiveness) Daya adhesive merupakan parameter tekstur yang menggambarkan sifat permukaan yang berkaitan dengan adhesi antara bahan dengan permukaan yang berdampingan (de Man 1997). Menurut Munizaga et al. (2004), daya adhesive digambarkan dalam kurva Texture Profile Analysis (TPA) sebagai daerah negatif di bawah kurva yang diperoleh antara 2 penekanan. Berdasarkan analisis ragam
UV
pengaruh banyak pencucian daging lumat, konsentrasi tepung talas, serta interaksi antara banyak pencucian dan konsentrasi tepung talas terhadap daya adhesive menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% (Lampiran 7). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pengaruh pencucian terhadap daya adhesive (Lampiran 7) terlihat bahwa pencucian 3 kali (P3) memiliki daya adhesive yang paling tinggi, sedangkan daya adhesive paling rendah adalah pada pencucian daging lumat 2 kali (P2). Formulasi daging lumat tanpa pencucian memberikan daya adhesive yang tidak berbeda nyata dengan pencucian 3 kali (P3) tetapi berbeda nyata dengan pencucian 1 kali (P1) dan 2 kali (P2). Pada penelitian ini, setelah perlakuan pencucian daging lumat, dilakukan penambahan garam yang dapat memperbaiki struktur gel, dan berdampak pada daya adhesive. Berdasarkan penelitian Couso et al. (2008), penambahan garam pada surimi dapat menurunkan adhesivitas gel pada surimi yang diberi perlakuan penambahan tepung. Menurut Hossain et al. (2008), penambahan garam selama pencucian dapat menyebabkan terurainya sebagian protein dan meningkatkan sensitivitas terhadap denaturasi yang menyebabkan melemahnya matriks gel. Kemampuan protein untuk mengikat komponen-komponen bahan pangan seperti air dan lemak, sangat penting dalam formulasi makanan, diantaranya dapat mempengaruhi daya lekat (Kusnandar 2010).
Perlakuan daging lumat tanpa
pencucian memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan daging lumat dengan perlakuan pencucian sehingga memiliki kemampuan mengikat air lebih banyak dan berdampak pada daya lekat/adhesivitas yang lebih tinggi. Penambahan konsentrasi tepung talas 20% memiliki daya adhesive yang paling tinggi sedangkan daya adhesive paling rendah dicapai pada konsentrasi tepung talas 5%. Rata-rata daya adhesive formula filler berkisar antara -10,6 g.s sampai -155,10 g.s. Hasil uji lanjut Duncan interaksi antara konsentrasi tepung talas dan banyak pencucian daging lumat (Lampiran 6) disajikan pada Gambar 11.
UW
Konsentrasi (%) C0
C1
C2
C3
C4
0
Daya adhesive (gs)
-20
i
-40
hi hi
-60
-100
gh
gh
-80
fg
efg
efg
efg
defg defg
def
-120
cdef abcd
cdef
bcde
-140 -160
abc
abc
ab a
Gambar 11 Histogram rata-rata daya adhesive bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Angka-angka yang diikuti huruf berbeda (a, b, c, d, e, f, dan g) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Daya adhesive tertinggi ditunjukkan oleh formulasi perlakuan tanpa pencucian daging lumat dan penambahan konsentrasi tepung talas 20% (P0C5) sedangkan daya adhesive paling rendah ditunjukkan pada formulasi perlakuan tanpa pencucian daging lumat dan penambahan tepung talas 0% (P0C0). Hal ini karena tepung talas memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa. Berdasarkan penelitian Hartati dan Prana (2003), talas memiliki kadar amilosa antara 10,54–21,44% sedangkan kadar amilopektin 78,56–89,46%. Pati yang memiliki kadar amilosa tinggi dapat membentuk gel yang agak rapuh (brittle), sedangkan pati yang memiliki kadar amilopektin yang tinggi akan membentuk gel yang lekat (adhesive) dan bersatu (cohesive) (Park 2000). Menurut Campo dan Tovar (2008), kelengketan dan kekerasan gel surimi semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pati.
UX
(3) Kekenyalan (cohesiveness) Kekenyalan menggambarkan daya tahan produk untuk lepas atau pecah karena adanya gaya tekan.
Menurut Munizaga et al. (2004), kekenyalan
(cohesiveness) dihitung berdasarkan perbandingan antara luas daerah di bawah kurva ke 2 dan kurva ke 1. Berdasarkan hasil analisis ragam pengaruh pencucian dan konsentrasi tepung talas terhadap kekenyalan (cohesiveness) formula filler (Lampiran 8), menunjukkan bahwa pencucian berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kekenyalan formula nugget sedangkan konsentrasi tepung talas tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Kekenyalan terbesar ditunjukkan pada perlakuan pencucian 1 kali (P1) sedangkan kekenyalan terkecil pada pencucian 3 kali (P3). Perlakuan pencucian 1 kali (P1) berbeda nyata pada taraf 5% terhadap perlakuan tanpa pencucian (P0), pencucian 2 kali (P2) dan 3 kali (P3). Perlakuan pencucian pada prinsipnya dapat meningkatkan protein miofibril dan menghilangkan protein sarkoplasma. Pencucian yang berlebihan memungkinkan protein miofibril juga ikut larut sehingga dapat menurunkan kekuatan gel. Menurut Yongsawatdigul et al. (2006), pencucian juga berpengaruh pada aktivitas transglutaminase (TGase) yang sangat berperan dalam pembentukan gel, dan proteinase yang berperan dalam proses autolisis.
Pencucian
pertama
merupakan
proses
yang
cukup
untuk
mempertahankan aktivitas enzim TGase dan menurunkan aktivitas autolisis pada mud carp (Cirrhiana microlepis). Tingginya kekenyalan formula filler pada pencucian ke 1 juga dapat dipengaruhi oleh penambahan Sodium Tripolyphosphat (STTP).
Menurut
Julavittayanukul et al. (2005), senyawa phosphat dapat meningkatkan aktivitas enzim transglutaminase (TGase) endogenous. Enzim ini mampu mengkatalisasi polimerisasi dan cross-linking protein melalui pembentukan ikatan kovalen antar molekul protein. Ikatan kovalen non-disulfida dibentuk antara asam glutamat dan residu lisin dalam protein. Rantai ini dapat meningkatkan cohesivitas surimi. Hasil uji lanjut Duncan interaksi antara konsentrasi tepung talas dan banyak pencucian daging lumat (Lampiran 8) disajikan pada pada Gambar 12.
VO
0.6
f def
Kekenyalan
0.5 0.4
cde abc ab
cdef abcde abcde
ef
cdef
ab
ab
ab
def
bcde bcde abcd ab ab
a
0.3 0.2 0.1 0.0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 12 Histogram rata-rata kekenyalan bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Angka-angka yang diikuti huruf berbeda (a, b, c, d, e, dan f) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Interaksi antara konsentrasi tepung talas dan banyak pencucian terhadap kekenyalan (cohesiveness) formulasi filler nugget berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 8).
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa kekenyalan tertinggi
terdapat pada formulasi tepung talas 0% dan tanpa pencucian (P0C0), sedangkan kekenyalan terendah terdapat pada formulasi 5% tepung talas tanpa pencucian (P0C1). Rata-rata nilai cohesivitas berkisar antara 0,346-0,565. Peningkatan pencucian akan berpengaruh pada peningkatan kekuatan gel yang ditunjukkan pada peningkatan kekenyalan. Pada penelitian ini, kekenyalan tertinggi terjadi pada formulasi tanpa pencucian.
Hal ini berarti terdapat faktor lain selain
pencucian yang berpengaruh terhadap cohesivitas formula filler. Kekenyalan yang rendah pada formula dengan penambahan tepung talas diduga berkaitan dengan kandungan oksalat dan tingginya kandungan mineral pada tepung talas.
Menurut Liu et al. (2008), penambahan Na+ dan Ca2+
berpengaruh terhadap tekstur gel.
Penambahan Na+ menyebabkan gel surimi
menjadi sedikit keras dan elastisitas meningkat. Ion Ca2+ dan protein pada surimi dapat membentuk struktur jembatan kalsium, dimana gugus hidroksil pada protein
VP
akan berikatan dengan kalsium. Hal ini mengakibatkan struktur jaringan menjadi lebih kompak dan ketahanan makromolekul menjadi lebih besar. Ion Ca2+ juga dapat mengaktifkan enzim endogenous transglutaminase selama proses gelasi surimi. Adanya oksalat pada tepung talas diduga dapat mengikat ion Na+ dan Ca2+ dan menghalangi terbentuknya struktur jembatan kalsium yang kompak pada proses pembentukan gel. Menurut Savage at al. (2000), adanya oksalat pada bahan makanan telah menunjukkan reduksi bioavailabilitas pada beberapa mineral essensial. Berkaitan dengan hal itu, Noonan dan Savage (1999) telah menyoroti fakta bahwa ketika asam oksalat membentuk garam larut air dengan ion Na+, K+ dan NH4+, oksalat juga mengikat Ca2+, Fe2+, dan Mg2+ untuk membentuk garam tak larut. Nilai derajat keasaman (pH) juga berpengaruh pada sifat gel surimi. Menurut Munizaga et al. (2004), pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan elastisitas gel yang kuat pada surimi.
Pada
penelitian ini, nilai pH daging lumat, baik dengan perlakuan pencucian maupun tanpa pencucian berada pada kisaran pH 6,65-6,77 yang merupakan pH optimal bagi pembentukan gel. (4) Derajat Warna Analisis
ragam yang dilakukan untuk menguji pengaruh
perlakuan
pencucian dan konsentrasi tepung talas terhadap data warna L*(lightness), a*(redness), dan b* (yellowness) menunjukkan bahwa pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas berpengaruh sangat nyata (P < 0,05) terhadap lightness (L*) (Lampiran 9).
Konsentrasi tepung berpengaruh sangat nyata
(P < 0,05) terhadap redness (Lampiran 10) dan yellowness (Lampiran 11) tetapi pencucian berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap data redness dan yellowness.
Tidak ada interaksi nyata (P>0,05) antara perlakuan banyak
pencucian dan konsentasi tepung talas terhadap data lightness, redness dan yellowness. Hasil uji lanjut Duncan terhadap lightness (Lampiran 9) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan data lightness yang nyata (sig > 0,05) mulai dari perlakuan tanpa pencucian (P0) hingga perlakuan pencucian 3 kali (P3). Lightness terkecil yaitu 60,21 untuk formulasi tanpa pencucian (P0) dan terbesar
VQ
68,41 untuk perlakuan pencucian sebanyak 3 kali (P3). Hal ini disebabkan pada proses pencucian daging lumat, pigmen dan darah ikut terbuang pada saat pencucian sehingga semakin banyak pencucian, tingkat kecerahan (lightness) akan semakin tinggi. Menurut Chaijan et al. (2006), proses pencucian sangat perlu untuk memperbaiki warna dan kekuatan gel pada surimi. Rawdkuen et al. (2008) menyatakan bahwa whiteness tertinggi pada gel surimi ditemukan lebih tinggi pada pencucian konvensional dibandingkan dengan pencucian asam dan alkali. Tingginya whiteness pada gel surimi dapat disebabkan adanya perlakuan pemanasan maupun karena perubahan pada heme protein selama proses gelasi. Konsentrasi tepung talas 0% menunjukkan lightness tertinggi, yaitu 74,156 sedangkan lightness terendah pada konsentrasi tepung talas 20%.
Hasil ini
menunjukkan bahwa penambahan tepung talas mennyebabkan warna formula menjadi kurang cerah yang ditunjukkan oleh penurunan nilai L*. mendekati angka 100, maka produk akan semakin cerah.
Semakin
Formulasi dengan
penambahan tepung talas menunjukkan warna yang kurang terang.
Semakin
banyak konsentrasi tepung talas, warna formula filler nugget cenderung berwarna kusam.
Menurut Karayannakidis et al. (2007), proses gelatinisasi pati akan
mempengaruhi warna pada produk akhir kamaboko. Pada proses gelatinisasi surimi, granula pati akan menyerap air dan mengembang sampai dibatasi oleh jaringan protein. Hal ini menghasilkan pengaruh penguatan dan tekanan pada matriks gel dan meningkatkan kemampuan pembentukan gel. Penambahan pati ini dapat juga menimbulkan pengaruh yang merusak pada sifat tekstur gel kamaboko jika granula pati tidak tergelatinisasi, sehingga tingkat kecerahan (lightness) akan menurun dan gel ikan menjadi lebih kusam. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kecerahan formula filler adalah warna dasar tepung talas yang kurang cerah dibandingkan dengan tepung komersial lain. Menurut Aboubakar et al. (2008), warna tepung talas yang kurang cerah disebabkan adanya reaksi browning non enzimatik (reaksi maillard). Reaksi maillard dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung gula pereduksi dan protein dalam kondisi yang memungkinkan bereaksi, yaitu tergantung pada suhu, pH, dan aw selama penyimpanan. Pada tahap awal, terjadi reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi, membentuk senyawa kompleks
VR
yang tidak berwarna yang larut dalam air. Pada tahap ini tidak ada perubahan nyata yang terjadi pada citarasa maupun penampakan bahan pangan, tetapi kompleks gula-protein tersebut akan segera terurai menghasilkan senyawa kimia yang kompleks.
Polimerisasi senyawa ini akan meningkatkan terbentuknya
senyawa-senyawa kompleks yang berwarna coklat (Syarief dan Halid 1993). Uji lanjut Duncan
terhadap data redness (Lampiran 10) menunjukkan
terjadi peningkatan warna yang nyata terhadap redness mulai dari konsentrasi 0% sebesar 0,56 sampai konsentrasi 20% sebesar 4,09. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung dapat meningkatkan warna kemerahan pada formulasi produk (redness meningkat). Sebaliknya, uji lanjut Duncan terhadap data yellowness (Lampiran 11) menunjukkan terjadi penurunan yang nyata (sig > 0,05) mulai dari konsentrasi 0% sebesar 16,32 sampai konsentrasi 20% sebesar 9,82. 4.3.2 Pengaruh interaksi banyak pencucian dan konsentrasi tepung talas terhadap penilaian organoleptik Pengujian organoleptik terhadap formulasi filler nugget dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap formulasi filler yang merupakan interaksi antara pengaruh banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas. Parameter yang digunakan meliputi rasa, tekstur, aroma, dan warna. (1) Rasa Penilaian rasa nugget dengan menggunakan uji Kruskal Wallis pada skala hedonik 1 (amat sangat tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka) menunjukkan bahwa perlakuan interaksi antara pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas berpengaruh nyata terhadap rasa formula filler nugget (Lampiran 12). Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan uji multiple comparison, (Lampiran 12) dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi tepung talas memberikan pengaruh nyata pada perlakuan P0C0, P0C3, P0C4, P1C3, P1C4, P2C4, dan P3C4. Berdasarkan perhitungan terhadap rata-rata penilaian kesukaan panelis pada atribut
rasa formula filler nugget, peningkatan konsentrasi tepung sebesar
15-20% menunjukkan penurunan skor hedonik. Data selengkapnya disajikan pada Gambar 13.
VS
8
Nilai Hedonik
7
7.15 6.80 6.27 6.13
6.70 6.37 6.176.22
6
6.72 6.28 5.70 5.70
6.30 5.675.88
6.28 5.48
5.62 5.45 5.10
5 4 3 2 1 0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 13 Histogram rasa bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Berdasarkan Gambar 13, rata-rata nilai kesukaan terhadap atribut rasa berkisar antara 5,10-7,15 yang berarti terletak pada kisaran netral dan suka. Kesukaan tertinggi untuk rasa ditunjukkan pada formulasi pencucian 1 kali tanpa penambahan tepung talas (P1C0), sedangkan kesukaan terendah pada formulasi pencucian 1 kali pada konsentrasi tepung talas 20% (P1C4).
Peningkatan
konsentrasi tepung pada formula filler menunjukkan tingkat kesukaan panelis semakin turun. Hal ini karena penambahan konsentrasi tepung menutupi rasa khas ikan. Rasa khas ikan dihasilkan oleh senyawa-senyawa volatil dan non volatil. Senyawa volatil yang berperan yaitu karbonil dan alkohol (turunan asam lemak bebas), sulfur, bromophenol, dan hidrokarbon. Senyawa non volatil yang berperan adalah senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, yaitu senyawa nitrogen (asam amino bebas, peptida, nukleotida, dan basa organik) serta non nitrogen (asam organik, gula, dan senyawa anorganik) (Shahidi 1998). Rasa pada formula filler nugget juga dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan pada formula diantaranya gula, garam, susu skim, dan aneka bumbu seperti lada, bawang putih, dan bawang bombay.
VT
(2) Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam menentukan kualitas produk dengan bahan dasar daging lumat ikan. Tekstur bahan pengisi nugget akan sangat menentukan tekstur akhir nugget setelah coating dan akan berpengaruh pada penerimaan konsumen terhadap produk. Berdasarkan uji Kruskal Wallis pengaruh interaksi pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap tekstur, diperoleh data bahwa perlakuan pencucian dan penambahan tepung talas berpengaruh sangat nyata terhadap tekstur bahan pengisi nugget (Lampiran 12). Hal ini menunjukkan bahwa secara subyektif, penambahan tepung talas dan pencucian daging lumat ikan berpengaruh terhadap daya terima panelis terhadap sifat tekstur produk. Berdasarkan uji lanjut dengan uji multiple comparison (Lampiran 12), diketahui bahwa perlakuan P0C0, P0C1, P0C3, P1C0, P1C3, P1C4, P2C0, P2C1, P2C4, dan P3C0 berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap atribut tekstur. 8 7 6.03
Nilai Hedonik
6
5.72 5.58
6.32
6.63 6.65 6.33 6.12
6.67 6.88
6.37 6.50
6.43 6.52 6.10 5.92
6.43 5.92
6.17 5.73
5 4 3 2 1 0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 14 Histogram tekstur bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Rata-rata penilaian hedonik panelis terhadap tekstur berkisar antara 5,58-6,68 yang berarti berada pada kisaran agak suka sampai suka (Gambar 14). Nilai tertinggi ditunjukkan pada formulasi pencucian ke 3 dan konsentrasi tepung talas 10%. Penambahan tepung talas pada konsentrasi tertentu mampu memperbaiki sifat tekstur formula bahan pengisi menjadi lebih kompak dan padat.
VU
Hidrogel dibentuk pada surimi ketika polimer tersebar di dalam air karena adanya ikatan silang membentuk matriks yang memerangkap air dalam viskoelastis yang solid. Penambahan bahan-bahan lain seperti tepung, akan ikut terperangkap di dalam matriks dan kemudian mengisi gel, mempengaruhi pembentukan matriks gel surimi secara kontinyu selama pemanasan (Lee et al. 1992). Sifat tekstur formula bahan pengisi nugget juga dipengaruhi oleh perlakuan pemanasan pada proses pemasakan serta bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam formula seperti putih telur dan pati maizena sebagai bentuk pati modifikasi. Menurut Munizaga et al. (2004), kekuatan gel surimi dengan penambahan tepung kentang, dan surimi dengan penambahan tepung kentang dan putih telur, lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa penambahan tepung maupun dengan penambahan putih telur. Kekuatan gel dengan perlakuan pemberian tekanan pada surimi Alaska Pollock lebih kecil jika dibandingkan dengan perlakuan pemanasan. Stabilisasi pati modifikasi terlihat pada ketahanannya terhadap retrogradasi selama pembekuan dan thawing, tidak seperti pati tidak termodifikasi yang mudah mengalami retrogradasi dan sineresis beku serta memiliki efek gel strength yang rendah.
Pencampuran antara pati modifikasi waxy corn dan pati terigu non
modifikasi menunjukkan tingkat freeze-thaw yang stabil, yang ditunjukkan oleh rendahnya freeze drip dan rendahnya perubahan tekstur pada produk. Sifat ini dihubungkan dengan sifat retrogradabilitas yang rendah dan sifat mengikat air yang tinggi (Lee et al. 1992). (3) Aroma Aroma bahan pengisi nugget dapat berasal dari bahan baku surimi ikan maupun bahan lain seperti bumbu-bumbu diantaranya bawang putih, bawang bombay, dan lada. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa interaksi pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap atribut aroma (Lampiran 12). Hasil uji lanjut dengan uji multiple comparison (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan P0C4, P1C3, P1C4, dan P2C4 memberikan pengaruh nyata terhadap penerimaan panelis. Peningkatan konsentrasi tepung talas pada konsentrasi 15%-20% pada formula bahan pengisi menunjukkan penurunan penerimaan panelis. Nilai hedonik untuk atribut aroma disajikan pada Gambar 15.
VV
8 7
6.50 6.47 6.25 6.38
6.48 6.32 6.20 6.18
6.38 6.35 6.17
6.02
6.27 6.37 6.22 6.07
Nilai Hedonik
6
5.80 6.05 5.58
6.17
5 4 3 2 1 0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 15 Histogram aroma bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Rata-rata nilai kesukaan terhadap aroma berkisar antara 5,58 sampai 6,50 yang berarti berada pada kisaran agak suka dan suka. Nilai skor tertinggi adalah 6,50 untuk perlakuan pencucian 1 kali dan konsentrasi tepung talas 0% (P1C0) dan nilai terendah 5,58 untuk pencucian 1 kali dan konsentrasi tepung talas 20% (P1C4). Penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap penambahan konsentrasi tepung talas diduga karena aroma khas ikan dan bumbu berkurang dan aroma khas tepung lebih dominan. Faktor pencucian juga berpengaruh terhadap penilaian panelis terhadap aroma formula filler. Pencucian dapat menghilangkan odor yang tidak disukai dari daging lele, tetapi pencucian yang terlalu banyak menyebabkan aroma khas ikan juga akan berkurang. Pada kondisi ini, bumbu seperti bawang berperan penting dalam memberikan aroma yang khas. Senyawa penimbul aroma pada bawang adalah senyawa sulfur yang akan menimbulkan bau bila jaringan sel bawang mengalami kerusakan sehingga terjadi kontak antara enzim dalam bahan dengan substrat (Winarno 2008). Reaksi browning enzimatik maupun non enzimatik dapat menghasilkan bau yang kuat, misalnya pembentukan furfural dan maltol pada reaksi maillard.
VW
Timbulnya aroma pada daging yang dimasak disebabkan oleh pemecahan asamasam amino dan lemak (Winarno 2008). Senyawa reaksi browning pemberi rasa dan aroma dihasilkan dari interaksi antara grup karbonil dengan amino. Dengan adanya senyawa TMAO (Trimetil Amine Oksida) sebagai prekursor amin, akan terbentuk komponen N-dimethylformamide dan N-methylpyrrole yang sangat berperan dalam pemberi rasa dan aroma pada ikan yang dimasak (Shahidi 1998). (4) Warna Penilaian terhadap warna merupakan ciri khas terhadap produk berbasis surimi.
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formulasi
bahan pengisi dari perlakuan pencucian daging lumat dan penambahan konsentrasi tepung talas berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis pada atribut warna (Lampiran 12). Berdasarkan hasil uji lanjut dengan uji multiple comparison (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan P0C2,P0C3, P0C4,P1C0, P1C2, P1C3, P1C4, P2C2, P2C3, P2C4, dan P3C4 memberikan pengaruh nyata terhadap penerimaan panelis. Pencucian daging lumat sangat berperan dalam memberikan warna yang lebih cerah dan lebih disukai oleh panelis. Sebaliknya peningkatan konsentrasi tepung talas menunjukkan penurunan tingkat kesukaan panelis.
Berdasarkan
Gambar 16, rata-rata nilai hedonik terhadap atribut warna berkisar antara 5,28-7,02 yang berarti berada pada kisaran netral dan suka.
Penilaian
organoleptik terhadap warna formulasi bahan pengisi menunjukkan bahwa ratarata nilai hedonik tertinggi yaitu pada perlakuan pencucian 3 kali dengan penambahan tepung talas 0% (P3C0), yang berarti perlakuan ini paling disukai oleh panelis. Perlakuan tanpa pencucian dengan konsentrasi tepung talas 20% (P0C4) menunjukkan nilai netral. Hal ini juga terkait dengan hasil uji obyektif dimana perlakuan pencucian dapat meningkatkan nilai kecerahan (L*) bahan pengisi sehingga lebih disukai oleh panelis.
VX
8 6.67 6.68 6.47
7
7.02
6.77 6.72 6.53 6.10
Nilai Hedonik
6
6.30 6.15 5.93 5.43
5.78 5.53
5.77
6.27 5.67
5.62 5.28
5.38
5 4 3 2 1 0 C0
C1
C2
C3
C4
Konsentrasi (%)
Gambar 16 Histogram warna bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3 dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Heme protein merupakan protein sarkoplasma yang bertanggungjawab terhadap pigmentasi pada daging yang tidak dicuci. Heme protein pada darah adalah hemoglobin yang mengandung besi, dan heme protein pada sel otot merah adalah mioglobin. Denaturasi heme protein, sebelum dan selama proses dapat berikatan dengan protein dan mengakibatkan kerusakan warna pada surimi (Lanier 2000). Pencucian dapat menghilangkan senyawa pigmen dan darah pada daging lumat sehingga dapat meningkatkan kecerahan pada formula bahan pengisi.
Sebaliknya peningkatan konsentrasi tepung talas menunjukkan
penurunan nilai organoleptik karena warna asal tepung talas yang kurang cerah sehingga berpengaruh terhadap penerimaan panelis. 4.3.3 Penentuan formulasi filler terbaik berdasarkan uji Bayes Uji Bayes dilakukan untuk menentukan formula bahan pengisi (filler) terbaik yang akan digunakan pada tahap penelitian berikutnya (Lampiran 13). Parameter yang digunakan pada pembobotan adalah parameter organoleptik rasa, tekstur, aroma, dan warna.
Nilai kepentingan yang digunakan berturut-turut
adalah rasa dan tekstur dengan nilai bobot 4, aroma dengan nilai bobot 3, dan warna dengan nilai bobot 2. Nilai bobot warna memiliki kepentingan paling
WO
rendah karena pada tahap berikutnya akan diberi perlakuan pelapisan dengan batter dan crumb talas sehingga warna bahan pengisi bukan menjadi penilaian utama panelis terhadap produk nugget. Rasa dan tekstur dijadikan atribut yang paling penting karena rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk (Winarno 2008), sedangkan tekstur merupakan parameter penting untuk menilai kualitas produk yang berbahan dasar surimi (Kim dan Park 2000).
Nilai bobot masing-masing perlakuan pada
penentuan formula filler disajikan pada Gambar 17. 20 17.56
18
Nilai Bobot
16
14.63
14 12.7113.32 12
14.09 14.32
13.09 11.70
10.40
10.86
11.01
12.09 11.86
9.70
10
8.93
8
7.01 5.47
6
5.39 3.70
4
2.54
2 0 C0
C1
C2 Konsentrasi (%)
C3
C4
Gambar 17 Histogram nilai bobot penentuan formula bahan pengisi nugget. P0, P1, P2, P3. Simbol P0, P1, P2, P3, C0, C1, C2, C3, dan C4 merujuk keterangan pada Tabel 5. Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa nilai bobot tertinggi adalah formulasi penambahan konsentrasi tepung 5% dan perlakuan pencucian 1 kali (P1C1) dengan nilai bobot 17,56. Formulasi penambahan konsentrasi tepung talas 20% dan pencucian 1 kali (P1C5) memiliki nilai bobot paling kecil yaitu 2,54. Formulasi penambahan tepung talas 5% dan pencucian 1 kali (P1C1) menempati ranking 1, yang berarti perlakuan ini menjadi perlakuan terbaik yang akan diaplikasikan untuk menentukan formulasi bahan pelapis (coater) nugget. Formulasi P1C1 merupakan perlakuan dengan karakteristik fisik tekstur, yaitu kekerasan (hardness) 402,95 g, daya adhesive (adhesiveness) -64,85 gs dan kekenyalan (cohesiveness) 0,48, derajat warna yaitu lightness (L*) 68,16, redness
WP
(a*) 3,98 dan yellowness (b*) 14,79. Pada penelitian lain, Munizaga et al. (2004) telah menguji sifat tekstur surimi ikan Alaska Pollock dengan penambahan pati kentang 4% dan putih telur 1% serta pemanasan suhu 90 oC selama 40 menit. Nilai kekerasan (hardness) surimi yang dihasilkan, yaitu 924 g dengan daya adhesive (adhesiveness) -25,9 gs dan kekenyalan (cohesiveness) 0,87. Formulasi filler nugget lele terbaik (penambahan tepung talas 5% dan pencucian daging lumat 1 kali) pada penelitian ini, memiliki kekerasan dan kekenyalan yang lebih kecil dan daya adhesive yang lebih besar dibandingkan dengan surimi Alaska Pollock. Tingkat kecerahan warna (L*) filler nugget lele 68,16 lebih kecil dibandingkan gel surimi Alaska Pollock dengan penambahan pati kentang dan putih telur berdasarkan penelitian Munizaga et al. (2004) yaitu 83,32. Formula filler nugget lele memiliki warna yang lebih merah dan lebih kuning dibandingkan dengan surimi Alaska Pollock. 4.4 Penentuan Formulasi Bahan Pelapis (Coater) Nugget Bahan pelapis (coater) nugget yang terdiri atas batter dan crumb sangat menentukan kualitas akhir produk.
Menurut Dogan et al. (2005), batter
merupakan penutup pada permukaan produk makanan untuk membentuk kerenyahan selama penggorengan dengan deep fat frying. Penilaian obyektif untuk menentukan formula batter adalah menentukan viskositas batter.
Pada aplikasi pengolahan lebih lanjut, parameter yang
digunakan adalah persen coating pick-up dan cooked yield (Yusnita et al. 2007) serta oil content pada proses pre frying dan frying (Chen et al. 2009). 4.4.1 Viskositas batter Viskositas batter merupakan parameter rheologi yang berkaitan dengan kekentalan dan sifat aliran suatu cairan (Kusnandar 2010). Pengukuran viskositas dilakukan pada 5 formula batter, yaitu B1 (0% tepung talas, 100% Maizena), B2 (25% tepung talas, 75% Maizena), B3 (50% tepung talas, 50% Maizena), B4 (75% tepung talas, 25% Maizena), dan B5 (100% tepung talas, 0% Maizena). Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena berpengaruh terhadap viskositas batter (Lampiran 14).
WQ
Menurut Yusnita et al. (2007), rasio antara polimer amilopektin dan polimer amilosa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap viskositas batter. Karakteristik yang paling penting pada viskositas adalah kemampuan molekul polisakharida dalam bentuk molekul linier atau bercabang, untuk mengisi ruang secara maksimum pada larutan. Semua senyawa molekul yang linier antara lain amilosa, membutuhkan ruang yang banyak untuk bergerak di dalam larutan dibandingkan dengan molekul bercabang (amilopektin).
Batter dengan kadar
amilosa tinggi akan memiliki viskositas yang lebih tinggi. Histogram viskositas batter dapat dilihat pada Gambar 18.
c
1600
Viskositas (cp)
1400 1200 b
1000 800 600 400 200
a
a
B1
B2
a
0 B3
B4
B5
Gambar 18 Histogram viskositas batter nugget. B1 (Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%). Angka-angka yang diikuti huruf berbeda (a,b,dan c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Gambar 18 memperlihatkan memperlihatkan
viskositas
viskositas 5 formula batter.
tertinggi
(1500
cp)
memperlihatkan viskositas paling rendah (17 cp).
sedangkan
Formula B5 formula
B1
Tingginya viskositas pada
batter B5 terkait erat dengan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula batter yang lain. Dogan et al. (2005) menyatakan viskositas batter merupakan karakteristik coating kritis yang diduga dipengaruhi oleh sifat aliran batter sebelum penggorengan dan mempengaruhi kualitas dan kuantitas batter pick-up, kenampakan, tekstur dan sifat penanganan produk. Albert et al. (2009)
WR
menyatakan bahwa kualitas batter diantaranya ditunjukkan dari produk yang lebih renyah, warna kuning keemasan dan kemampuan untuk menahan air, sedangkan secara kuantitas ditunjukkan dengan tingginya cooked yield. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 14), formula batter B4 dan B5 memiliki viskositas yang berbeda dengan batter B1, B2 dan B3. Viskositas formula batter B1 tidak berbeda nyata dengan viskositas batter B2 dan B3. Peningkatan konsentrasi tepung talas mengakibatkan peningkatan konsentrasi protein formula batter. Pada tahap karakterisasi bahan baku diketahui bahwa kadar protein pada tepung talas lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein pada tepung maizena. Peningkatan perbandingan antara tepung talas dan maizena menyebabkan peningkatan kadar protein formula batter pada rasio bahan padat dan air yang sama. Menurut Chen et al. (2008), viskositas batter dipengaruhi oleh temperatur batter, komposisi bahan penyusun batter serta rasio antara bahan padat dan air. Berkaitan dengan komposisi bahan penyusun batter, Dogan et al. (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar protein pada tepung penyusun batter maka viskositas akan semakin meningkat. 4.4.2 Coating pick-up Coating pick-up merupakan indeks yang sangat penting pada produk breaded karena mempengaruhi kualitas produk setelah pre frying dan frying (penggorengan akhir). Hasil analisis ragam pengaruh formula batter terhadap coating pick-up menunjukkan bahwa formulasi batter berpengaruh terhadap coating pick-up (Lampiran 15). Menurut Dogan et al. (2005), coating pick-up berkaitan langsung dengan viskositas batter. Peningkatan viskositas batter akan diikuti dengan peningkatan coating pick-up. Histogram coating pick-up selengkapnya disajikan pada Gambar 19.
WS
Coating Pick-up (%)
50
b
40 a
30
a a a
20 10 0 B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 19 Histogram coating pick-up nugget. B1 (Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%). Angka-angka yang diikuti huruf berbeda (a dan b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa formula batter B5 memiliki persen coating pick-up tertinggi, sedangkan coating pick-up terendah pada formulasi B3. Rendahnya persen coating pick-up pada formula B3 diduga karena adanya pengaruh penambahan bahan tambahan lain pada formulasi batter yang mempengaruhi daya melekat batter dan crumb pada produk nugget. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pengaruh formula batter terhadap coating pick-up (Lampiran 15) dapat dilihat bahwa formula batter B5 memiliki persentase coating pick up yang berbeda nyata dengan formulasi lainnya. Hal ini berkaitan dengan nilai viskositas B5 lebih tinggi dari formulasi batter yang lain. Menurut Altunakar et al. (2009), tingginya nilai coating pick-up menghasilkan penutupan permukaan nugget yang efisien sehingga dapat mengontrol difusi minyak pada pregelatinisasi pati saat penggorengan nugget. Nasiri et al. (2010) juga menambahkan bahwa persentase coating pick-up dipengaruhi oleh formulasi batter, dimana batter dengan menggunakan 90% tepung terigu dan 10% tepung kedelai menghasilkan coating pick-up tertinggi pada nugget udang yaitu sebesar 56,304%. Menurut Loewe (1993), umumnya persentase coating pick-up terletak antara 30% sampai 50%.
WT
4.4.3 Cooked yield Cooked yield merupakan persentase berat produk nugget setelah digoreng dengan berat sebelum pelapisan (coating).
Hasil analisis ragam pengaruh
formulasi batter terhadap cooked yield (Lampiran 16) menunjukkan bahwa formula batter tidak memberikan pengaruh terhadap persentase cooked yield. Rata-rata persen cooked yield terletak antara 77,77% sampai 82,03%. Persen cooked yield tertinggi adalah formulasi B2 sebesar 82,03% dan terendah pada formulasi B5 sebesar 77,77%. Histogram persentase cooked yield selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 20. 83
a
Cooked Yield (%)
82 81
a a
80
a
79 a
78 77 76 75 B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 20 Histogram cooked yield nugget. B1 (Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). Tingginya coating pick-up pada penelitian ini tidak diikuti dengan peningkatan cooked yield. Hal ini diduga karena pengaruh adhesivitas formula, dimana batter B2 memiliki daya adhesive yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula batter yang lain. Tingginya adhesiveitas batter menyebabkan crumb talas melekat dengan kuat pada formula batter pada saat penggorengan. Penelitian yang dilakukan oleh Nasiri et al. (2010) menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai sebesar 5% dan 10% dapat meningkatkan daya adhesive pada nugget
WU
udang sehingga meningkatkan produk akhir.
Menurut Yusnita et al. (2007),
umumnya formulasi nugget komersial merupakan kombinasi dari tepung terigu, tepung jagung dan tepung beras. 4.4.4 Kadar minyak (oil content) Penyerapan minyak merupakan aspek penting pada saat deep fat frying. Kadar minyak pada produk nugget dipengaruhi oleh temperatur dan lama penggorengan, serta formulasi bahan pelapis batter. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar minyak pada saat pre frying dan setelah frying. Persentase penyerapan minyak batter diperoleh dengan menghitung peningkatan kadar minyak setelah penggorengan (frying). Histogram persentase penyerapan minyak pada formula batter dapat dilihat pada Gambar 21.
160
Penyerapan Minyak (%)
140
b
120 100 80 60
a
40 a
a
a
B3
B4
20 0 B1
B2
B5
Gambar 21 Histogram penyerapan minyak nugget. B1 (Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%). Angka-angka yang diikuti huruf berbeda (a dan b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa formula batter dengan penambahan tepung talas memiliki tingkat penyerapan minyak yang rendah yaitu berkisar antara 21,05-47,01%. Berdasarkan hasil analisis ragam pengaruh formulasi batter terhadap oil content (Lampiran 17), diketahui bahwa formulasi batter berpengaruh
WV
nyata terhadap penyerapan minyak nugget setelah digoreng (frying). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 17) menunjukkan bahwa formula batter B1 menunjukkan persentase penyerapan minyak yang berbeda nyata dengan formula batter B2, B3, B4, dan B5. Hal ini karena perbedaan persentase tepung yang digunakan sehingga berpengaruh terhadap komposisi batter. Formulasi
batter
B1
dengan
konsentrasi
100%
tepung
maizena
menunjukkan peningkatan penyerapan minyak setelah frying lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan formula B2, B3, B4, dan B5.
Batter dengan
konsentrasi tepung talas 25% dan tepung maizena 75% (B2) menunjukkan tingkat penyerapan minyak yang paling rendah yaitu sebesar 21,05%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasiri et al. (2010) yang menyatakan bahwa batter yang mengandung tepung jagung ditemukan memiliki kadar minyak paling tinggi dibandingkan dengan formulasi tepung terigu, tepung kedelai, maupun campuran tepung terigu dan tepung kedelai. Hal ini diduga berkaitan dengan rendahnya viskositas, sehingga tidak memberikan batas yang efisien terhadap penyerapan minyak serta rendahnya coating pick-up. Menurut Dogan et al. (2005), penambahan protein dengan konsentrasi yang berbeda pada formula batter dapat menurunkan kadar minyak pada produk akhir. Rendahnya penyerapan minyak kemungkinan berkaitan dengan bentuk ikatan kovalen di dalam lapisan batter selama pemanasan dan proses gelasi termal serta kemampuan membentuk lapisan pada protein. Kandungan minyak juga berkaitan dengan kadar air pada produk dimana semakin tinggi kadar air menunjukkan peningkatan reduksi kadar minyak. Hasil karakterisasi bahan baku menunjukkan bahwa tepung talas memiliki kadar protein yang cukup tinggi dibandingkan dengan kadar protein pada tepung maizena dan tapioka. Hal ini diduga menyebabkan rendahnya penyerapan minyak pada produk nugget pada saat digoreng. 4.4.5 Pengaruh formulasi batter terhadap penilaian organoleptik Uji organoleptik dilakukan terhadap nugget yang telah dilapisi dengan batter dan crumb menggunakan uji hedonik. Parameter yang digunakan meliputi kenampakan, warna, tekstur, rasa dan aroma serta nilai hedonik yang berkisar dari
WW
1 (amat sangat tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka). Rata-rata nilai hedonik pada masing-masing atribut organoleptik disajikan pada Gambar 22. 8
Nilai Hedonik
7 6 5 4 3 2 1 0 Kenampakan
Warna
Tekstur
Rasa
Aroma
Gambar 22 Histogram nilai organoleptik bahan pelapis nugget. B1, B2, B3, B4, B5. B1 (Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%). Berdasarkan hasil uji organoleptik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formulasi bahan pelapis (batter) berpengaruh sangat nyata terhadap penerimaan panelis pada atribut kenampakan, warna, rasa dan aroma tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur (Lampiran 18). (1) Kenampakan Kenampakan
merupakan
parameter
yang
menentukan
penerimaan
konsumen terhadap produk karena kenampakan merupakan kesan yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Berdasarkan Gambar 22, hasil uji organoleptik pada atribut kenampakan memperlihatkan nilai hedonik berkisar antara 4,95 sampai 6,73 yang berarti terletak antara netral dan suka. Nilai hedonik penampakan tertinggi yaitu formula B1 yang merupakan formulasi penambahan tepung maizena 100% tanpa penambahan tepung talas, sedangkan formula B5 yang merupakan formulasi penambahan 100% tepung talas tanpa penambahan tepung maizena menunjukkan nilai kenampakan yang paling rendah.
Semakin besar
perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena, maka penilaian kenampakan semakin turun.
WX
Berdasarkan hasil uji lanjut dengan uji multiple comparison (Lampiran 18) menunjukkan bahwa formula B5 memberikan pengaruh nyata terhadap kenampakan.
Hal ini diduga karena kenampakan terkait erat dengan warna.
Formula B5 memiliki warna yang coklat dan agak gelap setelah digoreng sehingga menyebabkan penurunan tingkat kesukaan panelis. Hal ini terkait erat dengan komposisi penyusun batter dimana batter B5 memiliki kadar protein dari tepung talas yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula batter B1, B2, B3, dan B4. Menurut Dogan et al. (2005), kadar protein dapat meningkatkan reaksi browning pada batter setelah digoreng karena adanya reaksi maillard. Penambahan Whey Protein Isolate (WPI) pada batter menunjukkan perubahan warna yang signifikan pada nugget ayam yang digoreng dengan deep fat fryer dan menghasilkan warna yang lebih gelap. Tepung talas yang menjadi salah satu sumber pati memiliki warna asal tepung
kurang
cerah
dibandingkan
dengan
tepung
maizena
sehingga
mempengaruhi kenampakan produk nugget setelah pre frying maupun kenampakan produk akhir setelah digoreng (frying). Kemampuan crumb talas untuk melekat pada batter juga sangat berpengaruh terhadap kenampakan. Formula B5 memberikan adhesivitas crumb yang sangat kecil yang ditunjukkan dengan kurang melekatnya crumb pada lapisan batter dan penurunan cooked yield. (2) Warna Warna merupakan parameter yang terkait erat dengan kenampakan nugget. Penilaian warna dilakukan terhadap produk nugget yang telah digoreng. Berdasarkan Gambar 22, penilaian panelis terhadap atribut warna berkisar antara 5,05-7,01 yang berarti terletak antara netral dan suka.
Formula batter B1
menunjukkan nilai hedonik tertinggi sedangkan formula B5 menunjukkan nilai hedonik yang paling rendah. Perbedaan nilai ini terkait erat dengan warna produk setelah digoreng. Penggunaan tepung talas dan crumb talas sebagai alternatif pengganti tepung roti, memberikan efek warna lebih coklat dan gelap. Pencampuran tepung talas dengan tepung maizena dapat memperbaiki warna nugget sehingga skor
XO
penilaian terhadap warna lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan 100% tepung talas. Proses penggorengan dengan menggunakan deep fat fryer pada temperatur minyak yang tinggi dapat memicu terjadinya reaksi maillard sehingga menimbulkan warna kecoklatan pada hasil gorengan (Winarno 2008). Hasil uji lanjut dengan menggunakan multiple comparison (Lampiran 18) menunjukkan bahwa formula batter B5 memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian atribut warna. Pada penelitian ini, formula batter B5 menunjukkan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan formula yang lain. Menurut Aboubakar et al. (2008), terdapat korelasi positif antara warna dengan kadar protein dan karbohidrat pada tepung sehingga komposisi kimia pada tepung akan berpengaruh terhadap warna tepung. Warna pada tepung dan crumb talas dapat juga berasal dari warna asal umbi talas. Pigmentasi pada umbi talas bermacam-macam, ada yang putih, kuning muda, kuning tua, orange sampai merah muda atau ungu, dan ada juga yang merupakan kombinasi antara putih dan ungu atau putih dengan serat yang berpigmen gelap.
Serat pada daging bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan (Kusumo et al. 2002). Warna keunguan pada talas disebabkan adanya senyawa antosianin (Hedges et al. 2006). Pada penelitian ini digunakan jenis talas ketan dengan karakter umbi yang berwarna putih keunguan sehingga menghasilkan warna tepung yang agak gelap. (3) Tekstur Tekstur nugget merupakan hal yang sangat penting untuk menilai kualitas formula batter. Berdasarkan Gambar 22, kisaran rata-rata nilai tekstur terletak antara 6,15 sampai 6,73 yang berarti berada pada kisaran agak suka sampai suka. Formula batter B4 memiliki tekstur yang lebih disukai panelis sedangkan formula B5 memiliki nilai hedonik yang paling kecil. Penilaian panelis terhadap tekstur diduga terkait erat dengan cooked yield dimana berdasarkan uji sebelumnya, formulasi batter tidak memberikan pengaruh terhadap cooked yield, sehingga penilaian panelis terhadap tekstur juga tidak berbeda nyata. Penggunaan crumb talas sebagai alternatif pengganti tepung roti pada semua formula batter juga dapat memperbaiki kerenyahan produk nugget.
XP
(4) Rasa Pengujian dilakukan setelah produk digoreng. Berdasarkan Gambar 22, nilai rata-rata penilaian panelis terhadap atribut rasa berkisar antara 5,68 sampai 6,68 yang berarti terletak pada kisaran agak suka sampai suka. Nilai organoleptik untuk rasa tertinggi adalah pada formula batter B1, sedangkan terendah pada formula B5.
Berdasarkan uji lanjut dengan uji multiple comparison
(Lampiran 18) menunjukkan bahwa formula B5 memberikan pengaruh nyata pada penilaian panelis terhadap parameter rasa. Rasa pada nugget tidak hanya berasal dari ikan, tetapi dari proporsi bahan tambahan lain seperti bumbu dan formulasi bahan pelapis. Pada saat produk nugget digoreng, rasa pada nugget dihasilkan oleh campuran antara aldehid dengan berat molekul rendah dengan hasil reaksi browning. Senyawa pemberi rasa dan aroma pada reaksi browning dihasilkan dari interaksi antara grup karbonil dengan amino. Dengan adanya TMAO (Trimethyl Amin Oksida) yang berfungsi sebagai precursor amin, akan terbentuk senyawa N-dimethylformamide dan N-methylpyrrole yang berperan dalam memberikan rasa dan aroma pada ikan yang dimasak. (5) Aroma Aroma pada nugget merupakan kesan sensori yang timbul melalui proses penciuman (Setyaningsih et al. 2010). Penciuman aroma dilakukan pada produk yang telah digoreng.
Berdasarkan Gambar 22, penilaian parameter aroma
menunjukkan rata-rata nilai tertinggi untuk aroma adalah 7,12 untuk formula B1 dan terendah 5,72 untuk formula B5. Hal ini berarti kisaran nilai organoleptik terletak antara agak suka sampai suka. Aroma batter selain dipengaruhi oleh aroma ikan, juga dipengaruhi oleh komponen volatil yang ada pada bumbu.
Berdasarkan uji lanjut dengan uji
multiple comparison (Lampiran 18) menunjukkan bahwa formulasi batter B5 memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian panelis pada parameter aroma. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi tepung talas 100% menghasilkan penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma. Penurunan perbandingan tepung talas dan maizena dapat meningkatkan kesukaan panelis terhadap atribut aroma.
XQ
4.4.6 Penentuan formulasi batter terbaik berdasarkan uji Bayes Penentukan formulasi batter terbaik yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya menggunakan uji Bayes (Lampiran 19). Parameter yang digunakan pada pembobotan merupakan gabungan antara parameter subyektif dan obyektif.
Parameter subyektif berupa uji organoleptik dengan menggunakan
atribut organoleptik kenampakan, warna, tekstur, rasa, dan aroma. Parameter obyektif berupa cooked yield, coating pick-up dan oil content (kadar minyak). Nilai kepentingan yang digunakan berturut-turut adalah kenampakan, warna, dan cooked yield, masing-masing dengan nilai bobot 8, coating pick up dengan nilai bobot 7, oil content dan tekstur dengan nilai bobot 6, rasa dengan nilai bobot 5, dan aroma dengan nilai bobot 4.
Kenampakan dan warna dijadikan atribut
organoleptik yang paling penting karena memberikan kesan pertama produk pada konsumen. Cooked yield dijadikan parameter obyektif yang paling penting karena terkait dengan perhitungan ekonomis produk. Nilai bobot yang akan menentukan rangking tiap perlakuan disajikan pada Gambar 23.
5
Nilai Bobot
4
3.87 3.50 3.11
3
2.87
2
1.65
1 0 B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 23 Histogram nilai bobot penentuan bahan pelapis nugget. B1(Tepung maizena 100%, Tepung Talas 0%), B2 (Tepung maizena 75%, Tepung Talas 25%), B3 (Tepung maizena 50%, Tepung Talas 50%), B4 (Tepung maizena 25%, Tepung Talas 75%), B5 (Tepung maizena 0%, Tepung Talas 100%).
XR
Berdasarkan Gambar 23 dapat dilihat bahwa nilai bobot tertinggi adalah formulasi batter B2 dengan nilai bobot 3,87. Formulasi B5 (100% tepung talas dan 0% tepung maizena) memiliki nilai bobot paling kecil yaitu 1,65. Dari nilai bobot ini dapat dilihat bahwa formulasi batter B2 (25% tepung talas dan 75% tepung maizena) menempati rangking ke 1 dengan karakter fisik yaitu coating pick-up 28,10%, cooked yield 82,03%, dan daya serap minyak 21,05%. Perlakuan B2 (25% tepung talas dan 75% tepung maizena) menjadi perlakuan terbaik formula batter yang akan diaplikasikan untuk tahap karakterisasi produk. 4.5 Karakteristik Kimia dan Organoleptik Produk Nugget Terbaik Karakterisasi secara kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi gizi yang terkandung dalan produk nugget berupa karakterisasi proksimat (air, protein, lemak, karbohidrat), serat, profil asam amino, asam lemak, dan mineral. Karakterisasi secara organoleptik ditujukan untuk melakukan deskripsi kuantitatif nugget lele dengan menggunakan panelis terlatih dan dengan pembanding nugget komersial. 4.5.1 Karakteristik proksimat dan serat Pengujian terhadap kandungan komposisi kimia pada nugget lele terkait erat dengan kandungan gizi yang terdapat pada bahan pangan dan dan menjadi salah satu daya tarik penerimaan konsumen. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi proksimat dan serat nugget lele, kemudian dibandingkan dengan nugget ikan komersial.
Pemilihan nugget komersial berdasarkan ketersediaannya di pasar
swalayan. Pengujian dilakukan terhadap produk nugget dalam bentuk pre frying, dari perlakuan terbaik pada tahap penentuan formula bahan pengisi (filler) dan batter. Hasil analisis proksimat dan serat nugget lele dengan pembanding nugget ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 11.
XS
Tabel 11 Kadar proksimat dan serat nugget lele Parameter
Nugget Ikan
Nugget Ayam
Lele
Komersial
Komersial*
52,33
57,36
34,71-56,51
Protein
9,96
9,56
12,52-16,62
Lemak
4,88
5,03
18,14-25,00
32,10
27,85
7,52-26,49
3,84
3,96
-
Air
Karbohidrat Serat
Keterangan : * Lukman et al. (2009).
Komposisi kimia nugget sangat ditentukan oleh formula bahan penyusun nugget seperti jenis ikan dan bahan tambahan lainnya. Berdasarkan data pada Tabel 11, diketahui bahwa kadar proksimat nugget lele tidak terlalu berbeda dengan nugget ikan komersial . Kadar air nugget lele lebih rendah dari nugget ikan komersial sehingga sangat berpengaruh pada sifat fisik nugget lele yaitu lebih kering dan kurang juicy jika dibandingkan nugget ikan komersial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lukman et al. (2009) terhadap kadar air nugget ayam pada 5 merk nugget yang di jual di Malaysia, kadar air berkisar antara 34,71-56,51%, sedangkan berdasarkan SNI 01-6683-2002 tentang naget ayam (chicken nugget), batas maksimum kadar air adalah 60%. Hal ini berarti kadar air nugget lele (52,33%) pada penelitian ini, masih dalam kisaran standar kadar air berdasarkan SNI, meskipun sedikit lebih kecil dibandingkan dengan kadar air pada nugget ikan komersial. Menurut Nasiri et al. (2010), waktu penggorengan, temperatur dan formulasi batter berpengaruh terhadap kehilangan kadar air selama deep fat frying. Kemampuan otot untuk mengikat air terutama disebabkan oleh aktomiosin, komponen utama miofibril. Pengikatan terjadi pada gugus hidrofil protein seperti rantai samping polar yang mengandung gugus karboksil, amino, hidroksil, dan sulfidril dan juga pada gugus karboksil dan imino dari ikatan peptida yang tidak terdisosiasi. Perubahan kemampuan mengikat air selama pemrosesan berkaitan dengan air bebas (de Man 1989). Kadar protein pada nugget lele lebih tinggi dibandingkan dengan nugget ikan komersial, tetapi lebih kecil dibandingkan nugget ayam komersial hasil
XT
penelitian Lukman et al. (2009). Menurut SNI 01-6683-2002, standar protein nugget ayam minimum 12%. Kandungan protein pada ikan sebagai bahan baku utama nugget sangat menentukan kualitas protein produk akhir.
Pada tahap
karakterisasi bahan baku, diketahui kadar protein ikan lele cukup tinggi yaitu sebesar 17,89%, dan terjadi penurunan menjadi 9,96% setelah diolah menjadi nugget ikan. Penurunan kadar protein karena perbedaan persentase daging lumat yang digunakan dan karena adanya proses pencucian daging lumat yang melarutkan banyak protein sarkoplasma. Lemak nugget dapat berasal dari ikan, bahan tambahan maupun dari minyak yang digunakan pada saat pre frying. Berdasarkan Tabel 11, kadar lemak nugget lele lebih kecil dibandingkan dengan nugget ikan komersial dan nugget ayam. Batas maksimum kadar lemak berdasarkan SNI 01-6683-2002 sebesar 20%. Kadar lemak nugget lele yang lebih rendah diduga karena sifat bahan baku yang menggunakan daging lumat dengan proses pencucian, sehingga banyak lemak yang larut dan terbuang bersama air pencucian.
Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah penyerapan minyak yang rendah dari formula batter yang digunakan. Rendahnya kadar minyak pada nugget lele merupakan salah satu keunggulan produk ini, ditengah kampanye makanan rendah lemak yang dapat menurunkan resiko obesitas, kanker, tekanan darah tinggi, dan jantung koroner. Perbedaan komposisi bahan baku nugget dan cara pengolahan sangat berpengaruh terhadap komposisi nugget yang dihasilkan. Nugget lele memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan dengan nugget ayam karena kadar air bahan baku ayam yang lebih rendah dari ikan sehingga persentase protein menjadi lebih tinggi.
Menurut Ali et al. (2007), daging ayam bagian dada
(chicken breast) memiliki kadar air 75,47%, protein 22,04%, lemak 1,05% dan abu 1,07%. Analisis terhadap kadar karbohidrat menunjukkan bahwa kadar karbohidrat nugget lele (32,10%) lebih besar dari nugget komersial, begitu juga dengan kadar karbohidrat pada nugget ayam berdasarkan penelitian Lukman et al. (2009) yang berkisar antara 7,52-26,49%. Hal ini diduga karena pemakaian jumlah tepung yang lebih banyak pada nugget lele, baik pada formulasi filler, batter maupun sebagai crumb.
Kadar karbohidrat pada nugget lele juga lebih tinggi dari
XU
persyaratan kadar karbohidrat maksimum menurut SNI 01-6683-2002, yaitu sebesar 25%. Menurut Tokul et al. (2006), tingginya kadar karbohidrat pada fish finger berasal dari bahan pelapis yang kaya akan karbohidrat seperti tepung, pati dan tepung roti. Lukman et al. (2009) menyatakan bahwa pada nugget modern, kadar karbohidrat lebih tinggi karena meningkatnya kadar pati yang digunakan untuk mensubstitusi daging pada produksi nugget ayam. Alasan utamanya adalah untuk mengurangi biaya proses sehingga meningkatkan keuntungan. Ditinjau dari segi kemampuan untuk dicerna dalam sistem pencernaan manusia, karbohidrat terbagi atas karbohidrat yang dapat dicerna seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, pati, glikogen, dekstrin, serta yang tidak dapat dicerna yaitu berupa polisakarida penguat tekstur.
Kelompok polisakarida penguat tekstur
banyak mengandung serat yang dapat mempengaruhi proses pencernaan. Serat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu serat kasar yang disusun oleh selulosa, lignin dan sebagian kecil hemiselulosa, serta serat makanan (dietary fiber) terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan substansi pektat (Muhtadi et al. 1992). Pada penelitian ini, kadar serat kasar nugget lele sebesar 3,84%, sedikit lebih rendah dibandingkan nugget ikan komersial yang mengandung serat kasar 3,96%. Hal ini diduga karena penggunaan bahan pengikat yang lebih besar pada nugget ikan komersial. Menurut Borderías et al. (2005), ikan memiliki nilai nutrisi yang tinggi dengan banyak sifat fungsional, namun tidak memiliki serat.
Serat
merupakan senyawa yang sangat penting dalam bahan makanan karena memiliki pengaruh terhadap penyakit tertentu., disamping dapat digunakan sebagai bahan yang efektif untuk meningkatkan sifat fungsional produk, seperti daya mengikat air, pembentuk gel dan sebagainya. Serat biasanya sengaja ditambahkan pada beberapa produk olahan hasil perikanan untuk memperbaiki sifat produk. 4.5.2 Karakteristik asam amino Asam amino penyusun protein dapat dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan dapat/tidaknya disintesis oleh tubuh yaitu asam amino esensial (tidak dapat disintesis), semi esensial, dan non esensial (dapat disintesis oleh tubuh). Asam amino semi esensial merupakan asam amino yang dapat menjamin proses kehidupan jaringan orang dewasa, tetapi tidak cukup untuk keperluan
XV
pertumbuhan anak-anak. Asam amino non esensial jika tidak terdapat dalam makanan, dapat dibuat sendiri oleh tubuh sepanjang bahan dasarnya tersedia cukup, yaitu asam lemak dan sumber nitrogen (Muchtadi 2010). Komposisi asam amino nugget lele selengkapnya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi asam amino nugget lele No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Metionina* Valina* Fenilalanina* I-leusina* Leusina* Lisina* Treonina* Glisina** Arginina** Serina** Histidina** Tirosina** Asam aspartat Asam glutamat Alanina Total
Asam Amino (g asam amino/100 g sampel) Nugget Lele Nugget Komersial 0,30 0,27 0,51 0,46 0,45 0,40 0,54 0,46 0,86 0,77 0,79 0,93 0,33 0,41 0,53 0,41 0,60 0,62 0,50 0,46 0,29 0,22 0,37 0,34 1,11 0,96 2,00 2,19 0,59 0,54 9,77 9,44
Keterangan : * esensial, ** semi esensial.
Pengukuran dan perhitungan kandungan asam amino pada penelitian ini (Lampiran 20), ditujukan untuk mengetahui nilai mutu protein yang terkandung dalam nugget lele dengan pembanding nugget ikan komersial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total asam amino nugget lele (9,77%) lebih tinggi dibandingkan nugget komersial (9,44%). Asam amino tertinggi pada nugget lele adalah asam glutamat yaitu 2,00% yang diikuti dengan asam amino aspartat sebagai asam amino kedua terbanyak.
Analisis asam amino pada nugget
komersial juga menunjukkan hasil yang serupa, bahwa asam glutamat merupakan asam amino tertinggi (2,19%) dan diikuti dengan asam aspartat (0,96%). Berkaitan dengan tingginya kandungan asam glutamat dan asam aspartat pada nugget lele, Adeyeye (2009) juga menyatakan bahwa asam glutamat dan asam aspartat merupakan asam amino tertinggi yang terdapat pada 3 spesies ikan yaitu pada Clarias anguillaris, Orechromis nilaoticus dan Cynoglossus senegalensis. Hasil yang sama juga disampaikan oleh Aremu dan Ekunode (2008) untuk spesies
XW
Clarias lazeera (African Catfish). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diduga kadar asam glutamat dan asam aspartat pada nugget lele sebagian besar bersumber dari bahan baku ikan lele. Tingginya kandungan asam glutamat, baik pada nugget lele maupun nugget ikan komersial berperan sebagai penyumbang rasa gurih pada nugget ikan. Asam glutamat dapat memberikan rasa gurih karena gugus hidrogen pada asam glutamat dapat disubstitusi dengan sodium sehingga membentuk monosodium glutamat (MSG) yang memiliki intensitas rasa gurih yang lebih kuat sehingga banyak digunakan sebagai flavor enhancer.
Monosodium Glutamat
dikelompokkan sebagai bahan tambahan pangan yang sering ditambahkan dalam proses pengolahan pangan untuk memperkuat cita rasa (Kusnandar 2010). Nugget lele mengandung 15 asam amino yang terdiri dari 7 asam amino esensial, 5 asam amino semi esensial, dan 3 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada nugget lele diantaranya adalah metionina (0,30%), valina (0,51%), fenilalanina (0,45%), isoleusina (0,54%), leusina (0,86%), lisina (0,79%), dan treonina (0,33%). Total asam amino esensial pada nugget lele (3,78%) lebih tinggi dibandingkan dengan asam amino esensial pada nugget ikan komersial (3,7%). Asam amino esensial tertinggi pada nugget lele adalah leusina sedangkan pada nugget ikan komersial adalah lisina. Menurut Adeyeye (2009), tingginya kadar leusina dalam makanan dapat mengganggu metabolisme triptofan dan niasin, padahal triptofan sangat berperan sebagai prekursor nikotinamida (vitamin B). Efek tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan intake niasin atau triptofan serta berusaha menyeimbangkan perbandingan leusina dan isoleusina.
Pada penelitian ini, rasio leusina dan
isoleusina (leusina/isoleusina) pada nugget lele sebesar 1,59 sedangkan pada nugget komersial sebesar 1,67. Nilai rasio ini masih menunjukkan keseimbangan jumlah leusina dan isoleusina dan menurut Adeyeye (2009), perbandingan leusina dan isoleusina antara 2,0-2,6 masih tergolong rendah.
Berdasarkan referensi
WHO/FAO/UNU (2002), kebutuhan leusina sebesar 39 mg/kg per hari sedangkan isoleusina 20 mg/kg per hari. Kandungan arginina pada nugget lele adalah 0,60%, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan nugget ikan komersial.
Aremu dan Ekunode (2008)
XX
menyatakan bahwa arginina merupakan asam amino esensial untuk pertumbuhan anak. Kadar arginina pada Clarias lazeera adalah sebesar 63 mg/g atau sama dengan 6,3%. Nilai ini lebih besar dari kadar asam amino pada nugget lele dan nugget komersial, kemungkinan disebabkan perlakuan pencucian pada daging lumat, perbedaan formulasi pada nugget dan adanya proses pre frying dengan suhu tinggi pada nugget yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein. Berdasarkan hasil perhitungan skor asam amino yang diperoleh dari perbandingan jumlah asam amino pada nugget dengan asam amino protein standar dengan menggunakan referensi FAO/WHO//UNU (1983), dapat diketahui bahwa asam amino pembatas pada nugget lele dan nugget komersial adalah metionina (Lampiran 21). Skor asam amino metionina nugget lele sebesar 15%, lebih tinggi dibandingkan nugget komersial yaitu sebesar 13,5%. Metionina merupakan asam amino esensial yang terdapat pada protein hewani (2-4%) dan protein nabati (1-2%). Metionina merupakan asam amino netral yang mengandung atom sulfur dan sangat mudah rusak karena oksigen dan perlakuan panas. Dalam struktur protein, metionina terlibat dalam pembentukan ikatan hidrofobik (Kusnandar 2010). Berdasarkan total kandungan asam amino, total asam amino esensial, serta skor asam amino esensial dapat disimpulkan bahwa nilai mutu gizi protein pada nugget lele lebih baik dibandingkan dengan nugget ikan komersial. 4.5.3 Karakteristik asam lemak Asam lemak merupakan komponen utama senyawa organik penyusun lemak.
Berdasarkan tingkat kejenuhannya, asam lemak dibedakan atas asam
lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) terdiri atas rantai karbon yang mengikat semua hidrogen yang mengikatnya. Asam lemak tak jenuh mengandung satu atau lebih ikatan rangkap. Asam lemak tak jenuh dapat mengandung satu ikatan rangkap (Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA), atau mengandung dua atau lebih ikatan rangkap (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA). dilihat pada Tabel 13.
Kandungan asam lemak nugget lele selengkapnya dapat
POO
Tabel 13 Kandungan asam lemak nugget lele Parameter
Persentase Asam Lemak Nugget(g/100g lemak) lele komersial
Asam Lemak Jenuh (SFA) Asam kaprilat, C8:0 Asam kaprik, C10:0 Asam laurat, C12:0 Asam miristat, C14:0 Asam pentadekanoat, C15:0 Asam palmitat, C16:0 Asam heptadekanoat, C17:0 Asam stearat, C18:0 Asam arakidat, C20:0 Asam behenat, C22:0 Asam lignoserat, C24:0 Σ SFA
0,02 0,02 0,22 0,86 0,08 23,77 0,13 3,92 0,26 0,05 0,05 29,38
0,05 0,02 0,27 0,82 0,03 29,32 0,09 3,47 0,31 0,05 0,05 34,48
MUFA Asam miristoleat, C14:1 Asam palmitoleat, C16:1 Cis-10-Asam heptadekanoat, C17:1 Asam elaidat, C18:1n9t Asam oleat, C18:1n9c Cis-11-Asam eikosenoat, C20:1 Σ MUFA
0,02 1,08 0,08 0,20 30,44 0,21 32,03
n.d 0,21 0,02 0,10 29,74 0,12 30,19
PUFA Asam linoleat, C18:2n6c Cis-11,14-Asam eikosedienoat, C20:2 Cis-13,16-Asam dokosadienoat, C22:2 g-Asam linolenat, C18:3n6 Asam linolenat, C18:3n3 Cis-8,11,14-Asam eikosetrienoat, C20:3n6 Asam arakidonat C20:4n6 Cis-5,8,11,14,17-Asam eikosapentanoat, C20:5n3 Cis-4,7,10,13,16,19-Asam dokosaheksanoat, C22:6n3 Σ PUFA
11,23 0,16 n.d 0,41 0,25 0,23 0,22 0,03 0,35 12,88
10,00 0,09 0,04 n.d 0,14 n.d 0,05 n.d 0,16 10,48
Σ (MUFA+PUFA) PUFA/SFA Σ ω 6 Σ ω 3 ω 6/ω 3
44,91 0,44 12,09 0,63 19,19
40,67 0,30 10,05 0,3 33,50
Asam Lemak tak Jenuh (MUFA+PUFA)
POP
Pengukuran dan perhitungan asam lemak pada penelitian ini (Lampiran 22) dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan asam lemak nugget lele terhadap nugget ikan komersial. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa nugget lele mengandung 11 jenis asam lemak jenuh dan 15 jenis asam lemak tidak jenuh. Dari 15 jenis asam lemak tak jenuh, 6 diantaranya tergolong asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dan 9 sisanya tergolong asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Lipid hewani terutama mengandung asam lemak jenuh rantai panjang, yaitu asam palmitat (C16) dan asam stearat (C18). Asam lemak yang terdiri atas 10 karbon atau kurang jarang terdapat dalam lipid hewan (Almatsier 2002). Berdasarkan Tabel 13, asam lemak jenuh tertinggi pada nugget lele maupun nugget komersial adalah asam palmitat dan diikuti dengan asam stearat. Kandungan asam palmitat pada nugget lele sebesar 23,77%, lebih kecil dibandingkan dengan nugget komersial (29,32%). Menurut Weber et al. (2008), kandungan asam lemak jenuh tertinggi pada silver catfish (Rhamdia Quelen) adalah asam palmitat, baik pada bentuk segar maupun setelah dimasak. Hasil yang sama juga diteliti oleh Jabeen dan Chaudhry (2011) pada tiga spesies ikan air tawar. Total asam lemak jenuh (SFA) pada nugget lele (29,38%) lebih kecil daripada nugget komersial (34,48%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miranda et al. (2010), kadar asam lemak jenuh pada campuran daging lumat tuna adalah 36,41% dan mengalami penurunan setelah pre frying dengan menggunakkan olive oil menjadi 23,28%. Perbedaan kandungan asam lemak pada ikan menurut de Castro et al. (2007), dapat dipengaruhi oleh temperatur air, waktu penangkapan, salinitas, dan jenis pakan. Asam lemak jenuh (SFA) dalam bahan makanan mempunyai pengaruh diantaranya pada peningkatan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein). Senyawa LDL yang terutama terdiri atas kolesterol, bersirkulasi dalam tubuh dan dibawa menuju sel-sel otot, lemak, dan sel-sel lain. Melalui jalur sel-sel perusak (scavenger pathway), molekul LDL dioksidasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke dalam aliran darah. Kolesterol yang banyak terdapat dalam LDL akan menumpuk dan jika hal ini terjadi selama bertahun-tahun, tumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah akan membentuk plak.
Plak akan bercampur
dengan protein dan ditutupi oleh sel-sel otot dan kalsium. Hal inilah yang dapat
POQ
berkembang menjadi aterosklerosis (Almatsier 2001).
Pengaturan terhadap
konsumsi asam lemak jenuh merupakan salah satu usaha untuk mengantisipasi dampak di atas. Berdasarkan rekomendasi FAO (2008), konsumsi asam lemak jenuh sebaiknya kurang dari 10% dari total energi per kalori per hari. Kandungan asam lemak tak jenuh (MUFA+PUFA) tertinggi pada nugget lele maupun komersial adalah asam oleat, dengan kandungan pada nugget lele sebesar 30,44% dan nugget komersial 29,74%. Asam oleat merupakan asam lemak tak jenuh tunggal yang sering ditemukan dalam jumlah paling besar, seperti penelitian de Castro et al. (2007) yang menyatakan bahwa pada ikan mas (Cyprinus carpio), kadar asam lemak tertinggi adalah asam oleat (48,2%). Pada penelitian lain, Miranda et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan asam oleat pada tuna (32,83%) lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak lain pada golongan MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid). Setelah melalui proses pre frying dengan olive oil, kadar asam oleat meningkat menjadi 53,80%. Hal ini diduga karena terjadinya penyerapan minyak selama proses penggorengan yang dipengaruhi oleh temperatur penggorengan, waktu penggorengan, luas area permukaan makanan, atau komposisi proksimat. Olive oil merupakan minyak yang banyak mengandung PUFA sehingga berpengaruh pada kandungan total asam lemak tak jenuh nugget tuna. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) tertinggi berdasarkan Tabel 13 adalah asam linoleat, dengan konsentrasi pada nugget lele 11,23%, dan nugget ikan komersial 10%. Asam linoleat merupakan asam lemak omega-6 sedangkan asam linolenat merupakan asam lemak omega-3. Rasio PUFA dan SFA (PUFA:SFA) pada nugget lele sebesar 0,44 lebih tinggi dibandingkan nugget komersial yaitu 0,30. Hal ini mengindikasikan ketersediaan relatif PUFA terhadap SFA yang lebih baik. Menurut FAO (2008), asam lemak omega-3 dan omega-6 merupakan asam lemak esensial, karena manusia tidak dapat menambahkan ikatan rangkap pada karbon ke-3 dan ke-6 dari ujung gugus metil. Asam lemak omega-3 dan omega-6 merupakan bagian dari keseluruhan lemak yang berpengaruh terhadap pencegahan perluasan penyakit jantung, diabetes, kanker, dan kemunduran fungsional karena usia. Dengan mengganti SFA dengan PUFA diketahui dapat
POR
menurunkan konsentrasi LDL, sehingga perlu ada diet seimbang pada konsumsi PUFA yaitu antara 6-10% dari total energi per kalori per hari. Turunan asam lemak linoleat adalah asam arakhidonat sedangkan turunan asam lemak linolenat adalah asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Asam linolenat (omega 3) dan turunannya yaitu EPA dan DHA sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pembentukan jaringan retina mata (Almatsier 2001). Pada penelitian ini, kadar EPA pada nugget lele 0,03% dan DHA 0,35% sedangkan pada nugget komersial kadar EPA tidak terdeteksi sedangkan kadar DHA 0,16%. Kadar total EPA+DHA pada nugget lele 0,38% lebih tinggi dibandingkan dengan nugget komersial yang hanya 0,16% sehingga nugget lele bisa menjadi penyumbang asupan EPA dan DHA yang lebih baik dibandingkan dengan nugget komersial. Diet seimbang yang direkomendasikan oleh FAO (2008) untuk EPA+DHA adalah 2 gram/hari. Berdasarkan Tabel 13, kandungan asam lemak omega-6 pada nugget lele sebesar 12,09% sedangkan pada nugget komersial 10,05%. Kandungan asam lemak omega-3 pada nugget lele sebesar 0,63% sedangkan pada nugget komersial 0,3%. Hal ini berarti kandungan asam lemak omega-6 pada nugget lele lebih tinggi dibandingkan dengan omega-3. Menurut Tokur et al. (2006), salah satu ciri khas ikan air tawar dibandingkan dengan ikan air laut adalah kandungan asam lemak omega-6 lebih tinggi dibandingkan kandungan asam lemak omega-3. Perpedaan kandungan asam lemak pada ikan dipengaruhi oleh spesies ikan, lingkungan hidup, dan jenis makanan. Menurut Jabeen dan Chaudhry (2011), perbedaan kadar asam lemak omega-3 dan omega-6 pada ikan laut dan ikan air tawar dipengaruhi oleh faktor makanan. Ikan laut lebih banyak mengkonsumsi zooplankton yang kaya omega-3, sedangkan ikan air tawar lebih banyak mengkonsumsi tumbuhan air sehingga lebih banyak mengandung omega-6.
Huynh dan Kitts (2009) juga
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kandungan asam lemak pada ikan adalah faktor musim, lokasi penangkapan, perbedaan umur, serta kebiasaan makan. Berdasarkan total kandungan asam lemak omega-6 dan omega-3 dapat diketahui bahwa rasio omega-6 dan omega-3 (ω 6/ω 3) nugget lele sebesar 19,19,
POS
sedangkan pada nugget komersial lebih tinggi yaitu 33,5. Berdasarkan rasio tersebut, nugget lele memiliki nilai yang lebih mendekati seimbang dibandingkan dengan nugget komersial. Menurut FAO (2008), asam-asam lemak omega-6 dan omega-3 berperan sebagai prekursor atau bahan baku senyawa eikosanoid, yaitu senyawa yang sangat reaktif. Senyawa eikosanoid yang dihasilkan oleh lemak omega-6 dan omega-3 sering berbeda, bahkan dapat berlawanan. Asam lemak omega-6 dan omega-3 berkompetisi sebagai prekursor eikosanoid dan juga berbeda peran biologisnya sehingga keseimbangan antara kedua asam lemak tersebut dalam makanan sehari-hari sangat penting. 4.5.4 Karakteristik mineral Mineral merupakan komponen dalam bahan makanan yang memiliki peran sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2008).
Ikan seperti halnya
organisme hidup lain, mengandung lebih dari 90 unsur yang ada secara alami. Proporsi terbesar mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan sulfur. Enam makro elemen seperti kalsium, magnesium, fosfor, natrium, kalium, dan khlor terdapat dalam jumlah gram per kilogram, sementara sisanya terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang lebih kecil (mg atau µg per kg) (Lall 1995). Penelitian kadar mineral ini bertujuan untuk mengetahui kadar mineral pada nugget lele dengan pembanding nugget komersial.
Kandungan mineral pada nugget lele
selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kandungan mineral nugget lele Parameter Kalsium (Ca)
Nugget lele (ppm)
Nugget komersial (ppm)
1181,19
659,63
406,17
325,34
Fosfor (P)
2005,69
1990,58
Kalium (K)
3644,45
1181,42
Zink (Zn)
27,22
17,80
Besi (Fe)
33,49
38,70
Flour (F)
44,23
49,60
Magnesium (Mg)
POT
Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg per hari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg per hari. Mineral makro diantaranya adalah kalium, kalsium, fosfor, magnesium, natrium, sulfur, dan khlorida sedangkan mineral mikro diantaranya besi, zink, flour, iodium, selenium, dan mangan (Almatsier 2001). Pada penelitian ini diukur 7 jenis mineral, 4 diantaranya mineral makro (K, Ca, P, Mg) dan sisanya mineral mikro (Fe, Zn, F) yang bersifat esensial bagi tubuh. Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa nugget lele memiliki kandungan kalium yang paling tinggi, diikuti dengan kadar fosfor dan kalsium. Hal ini juga terdapat pada nugget komersial dengan persentase yang lebih kecil. Kalium pada nugget lele dapat berasal dari bahan utama yaitu ikan lele, dapat juga berasal dari bahan tambahan lain, termasuk talas yang digunakan sebagai bahan pengisi dan pelapis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ersoy dan Özren (2009), mineral kalium ditemukan dalam konsentrasi paling besar (1817 ppm) pada African catfish (Clarias gariepienus) dan setelah penggorengan kadarnya meningkat menjadi 2770 ppm karena penurunan kadar air. Kalium merupakan ion elektrolit yang banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan dalam bentuk ion terdisosiasi penuh. Ion ini merupakan partikel utama yang bertanggungjawab mengatur tekanan osmosis dan mempengaruhi kekuatan ionik sehingga berperan dalam kelarutan protein dan komponen lainnya. Kalium banyak ditemukan dalam kacang, biji-bijian, dan daging (Linder 2006). Kebutuhan minimum kalium sekitar 2000 mg per hari (Almatsier 2001). Fosfor dan kalsium merupakan mineral makro tertinggi kedua dan ketiga pada nugget lele yaitu berturut turut sebesar 2005,69 ppm dan 1181,19 ppm. Kadar kedua mineral ini lebih tinggi dibandingkan nugget komersial. Berdasarkan hal itu, nugget ikan lele dapat menjadi salah satu sumber kalsium dan fosfor yang lebih baik dibandingkan nugget komersial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ersoy dan Özren (2009), kadar kalsium pada African catfish (Clarias gariepinus) 40,1 ppm.
Kadar ini lebih rendah dibandingkan kadar
kalsium pada nugget lele dan nugget komersial. Penggunaan susu skim pada formulasi filler dan batter merupakan salah satu penyumbang kalsium pada nugget lele disamping kandungan alami yang ada pada ikan. Menurut Aremu dan
POU
Ekunode (2008), kebutuhan minimum manusia terhadap kalsium berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin dan usia. Tubuh kita membutuhkan kalsium 800 mg per hari. Kalsium adalah mineral yang sangat melimpah di dalam tubuh. Sebagian besar tubuh mengandung 1000-2000 gram kalsium.
Kalsium memiliki peran
dalam memelihara kekerasan dan kekuatan tulang. Kalsium terlibat dalam proses metabolisme, termasuk pembekuan darah, kontraksi otot, pengeluaran hormon, dan neurotransmiter, serta metabolisme glikogen (FAO 2006). Mineral mikro mempunyai peran yang sangat esensial bagi tubuh meskipun terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Mineral mikro yang paling tinggi pada nugget lele adalah flour yaitu sebesar 44,23 ppm dan diikuti dengan besi sebesar 33,49 ppm dan zink 27,22 ppm. Pada penelitian ini, kadar flour dan besi nugget lele lebih rendah dibandingkan dengan nugget komersial. Flour merupakan mineral yang sangat berperan dalam pertumbuhan dan pembentukan struktur gigi agar mempunyai daya tahan yang maksimal terhadap penyakit gigi. Besi dalam darah sangat berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah, sedangkan zink merupakan komponen penting pada berbagai enzim (Winarno 2008). Sebagian besar besi di dalam tubuh manusia berada dalam eritrosit sebagai haemoglobin, dengan fungsi utama membawa oksigen dari paruparu ke jaringan. Besi juga merupakan komponen penting bagi beberapa sistem enzim, seperti sebagai sitokrom, yang terlibat dalam metabolisme oksidatif. Besi disimpan dalam hati dalam bentuk ferritin dan haemosiderin. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia, yaitu rendahnya kadar haemoglobin dalam darah. Referensi nilai gizi pada orang dewasa untuk besi adalah 13,7 mg/hari dan zink 7 mg/hari (WHO/FAO 2006). Nugget lele dapat memberikan kontribusi asupan besi sebesar 0,033 mg/g nugget dan zink sebesar 0,027 mg/g nugget. Tingginya kadar mineral pada nugget lele dibandingkan nugget komersial diduga juga berasal dari talas yang digunakan sebagai bahan pengisi, bahan pelapis dan crumb. Talas memiliki kadar mineral yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi kadar mineral produk nugget ikan yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian
Lewu et al. (2010), umbi talas mengandung berbagai mineral,
POV
diantaranya fosfor, kalsium, magnesium, natrium, kalium, besi, tembaga, mangan, dan zink. 4.5.5 Karakteristik organoleptik Karakteristik
organoleptik
dilakukan
oleh
panelis
terlatih
untuk
mendeskripsikan produk nugget secara kuantitatif dengan menggunakan nugget komersial sebagai pembanding. Pengujian dilakukan dengan menggunakan skala pada garis yang sudah diberi tanda minimum dan maksimum, dengan parameter uji yang tertera pada Lampiran 2. Atribut sensori yang digunakan terdiri atas 15 atribut yang sangat terkait dengan produk nugget, dengan mengacu pada deskripsi penelitian yang dilakukan oleh Albert et al. (2011) serta kesepakatan panelis. Atribut tersebut adalah homogenitas warna, fish taste, rasa gurih, aroma ikan, aroma nugget, crunchiness, juiciness, oiliness, chewiness, rubbery texture, kekenyalan, kekerasan, adhesivitas, batter thickness
dan butter hardness.
Pengujian dilakukan pada produk yang sudah digoreng.
Hasil uji deskripsi
produk nugget lele dan komersial disajikan pada Gambar 24 dalam bentuk spider web uji organoleptik.
a\ ¡‒?g\‒ ‹¡
g›«›£¡‹ \ PQMOO
e ⁄?s\ ¡
POMOO a\ ¡‒?s⁄ ¦¤‹¡
q\ \?f·‒ ⁄
WMOO UMOO
` ⁄¡
SMOO
\
`‒›«\?h¤\‹
QMOO OMOO j¡¤¡‒\ \‹
`‒›«\?m·££¡
j¡¤¡‹„\ \‹ q·
b‒·‹¦⁄ ‹¡
¡‒„?s¡‚ ·‒¡ b⁄¡• ‹¡
i· ¦ ‹¡ n ‹¡
Gambar 24 Spider web uji deskriptif nugget lele ( komersial ( ).
) dan nugget
POW
Berdasarkan Gambar 24 dapat dilihat bahwa nugget lele memiliki keunggulan dibandingkan dengan nugget komersial pada penilaian aroma ikan dan crunchiness (kerenyahan) yang lebih tinggi, serta oiliness dan tingkat kelengketan yang lebih rendah. Aroma ikan terkait erat dengan adanya komponen yang dapat dirasakan oleh indera penciuman pada saat nugget digoreng. Pada penelitian ini, ikan yang digunakan adalah ikan segar sehingga aroma ikan pada nugget yang dirasakan panelis lebih tinggi dibandingkan dengan nugget komersial. Berbeda dengan aroma ikan, penilaian panelis terhadap atribut aroma nugget pada nugget lele, lebih rendah dibandingkan dengan nugget komersial. Aroma nugget meliputi aroma keseluruhan nugget yang merupakan gabungan antara aroma ikan dengan aroma bahan tambahan. Perbedaan bahan tambahan pada nugget sangat mempengaruhi aroma akhir pada nugget yang digoreng. Tingkat kerenyahan nugget lele lebih tinggi dibandingkan dengan nugget komersial. Menurut albert et al. (2009), kerenyahan (crunchiness) dipengaruhi oleh formulasi batter dan suhu penggorengan serta merupakan karakteristik yang sangat diinginkan pada produk yang digoreng. Menurut Altunakar et al. (2004), tipe pati pada batter akan mempengaruhi kerenyahan pada nugget ayam yang digoreng dengan deep fat frying. Kerenyahan meningkat dengan meningkatkan waktu penggorengan. Penambahan jenis pati juga akan memperbaiki tekstur. Selama proses penggorengan, pembengkakan granula pati menyebabkan pelepaskan fraksi amilosa dan membentuk barrier yang menghalangi penetrasi minyak dan kehilangan air pada bahan. Gelatinisasi pati dan pembentukan lapisan pada permukaan nugget berperan penting bagi kerenyahan dan tekstur produk akhir. Nugget lele memiliki tingkat keminyakan/oiliness yang lebih rendah dibandingkan dengan nugget komersial.
Berdasarkan hasil penelitian tahap
penentuan formulasi bahan pelapis, diketahui bahwa formulasi batter B2 merupakan formula yang memiliki tingkat penyerapan minyak setelah frying yang paling rendah dibandingkan dengan formula batter B1, B3, B4, dan B5. Berdasarkan penelitian Sanz et al. (2005), nugget yang lebih disukai oleh panelis adalah yang memiliki tingkat keminyakan yang lebih rendah. Dogan et al. (2005)
POX
menyatakan bahwa tingkat oiliness yang rendah menunjukkan efisiensi dalam deep fat frying. Adhesivitas didefinisikan sebagai kerja yang diperlukan untuk mengatasi daya tarik menarik antara permukaan makanan dengan permukaan bahan lain yang bersentuhan dengan makanan, seperti lidah, gigi, dan langit-langit mulut (de Man 1997). Tingginya adhesivitas ditunjukkan dengan rasa lengket di gigi pada akhir penekanan pertama.
Tingkat adhesivitas nugget lele lebih kecil
dibandingkan nugget komersial. Kekerasan nugget dinyatakan dengan gaya tahan untuk pecah akibat gaya yang diberikan (Andarwulan et al. 2011). Gaya tekan pada uji sensori ini adalah gaya yang diberikan gigi pada gigitan pertama. Nugget lele memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi karena memiliki gaya tahan untuk pecah yang lebih tinggi dibandingkan dengan nugget komersial. Hal ini juga dipengaruhi oleh kekerasan batter (batter hardness) yang juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan nugget komersial. Nugget lele juga memiliki chewiness (kekunyahan) yang lebih tinggi dibandingkan nugget komersial. Menurut Dogan et al. (2005), perbedaan kemampuan mengikat air pada batter akan mempengaruhi tekstur nugget
selama
penggorengan.
Pemanasan
selama
penggorengan
akan
meningkatkan ikatan cross linking protein sehingga berpengaruh pada kekerasan. Fish taste dan rasa gurih pada nugget komersial lebih tinggi dibandingkan dengan nugget lele. Hal ini diduga karena tingginya asam amino glutamat nugget komersial berdasarkan pengujian kadar asam amino sebelumnya. Asam glutamat diketahui dapat memberikan sensasi gurih pada makanan. Homogenitas warna dan juiciness merupakan parameter yang sangat penting pada produk nugget. Homogenitas warna ditunjukkan pada keseragaman warna permukaan nugget yang diselimuti batter. Juiciness ditunjukkan dengan kesan berair pada saat nugget digigit. Berdasarkan Gambar 24, nugget lele memiliki homogenitas warna yang lebih rendah dibandingkan nugget komersial. Hal ini diduga karena pengaruh formulasi batter yang berbeda sehingga memberikan pengaruh warna yang berlainan pada saat penggorengan. Tingkat juicy pada nugget lele juga masih lebih rendah dibandingkan nugget komersial.
PPO
Juiciness nugget berkaitan dengan kemampuan mengikat air bahan. Semakin besar jumlah air yang diikat, semakin baik pula kualitas tekstur dan mouthfeel bahan pangan yang dihasilkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ikat air diantaranya konsentrasi protein, nilai pH, kekuatan ion, dan pemanasan (Kusnandar 2010). Menurut Lee et al. (2007), sifat kebasahan dan tekstur nugget mackarel berbasis daging lumat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan bahan tambahan yang mengandung air. Penambahan air pada tingkat 0-35% (terutama pada 21% dan 28%), mampu meningkatkan kebasahan dan kelembutan nugget secara sensori dan pengujian tekstur. Kekenyalan dan rubbery texture (tekstur yang elastis) pada nugget lele lebih kecil dibandingkan dengan nugget komersial. Hal ini terkait dengan kelarutan protein, penggunaan jenis pati, serta bahan tambahan lain seperti STPP (Sodium Tripolyphosphat) dalam konsentrasi yang berbeda, sehingga berpengaruh pada kekenyalan dan sifat elastis produk. Demikian juga pada ketebalan batter, dimana nugget lele memiliki ketebalan batter yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan daya barrier produk dan kemampuan batter sebagai bahan pelapis dalam mereduksi minyak. 4.6 Penentuan Faktor Kritis Penentuan umur simpan produk dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung dari sifat produk. Pada awal tahap ini, dilakukan penentuan faktor kritis yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu nugget lele selama penyimpanan. Percobaan penentuan faktor kritis dilakukan pada suhu 0 oC. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur perubahan mutu produk selama penyimpanan meliputi uji TPC (secara mikrobiologi), TBA (secara kimiawi), dan organoleptik. Menurut Das et al. (2008), pada produk pangan beku, faktor yang berpengaruh terhadap masa simpan produk diantaranya adalah pertumbuhan mikroba (TPC), derajat ketengikan (TBA), dan penilaian organoleptik. 4.6.1 Nilai TPC Pertumbuhan mikroba merupakan salah satu pemicu kerusakan makanan selama penyimpanan. Grafik pola pertumbuhan mikroba produk nugget pada penyimpanan 0 oC dapat dilihat pada Gambar 25.
PPP
V
Batas standar TPC U
TPC (Log CFU/g)
T
„?¥?SMQQW¡OMORU‚ qÏ?¥?OMWUW
S R Q P O O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
PO
Minggu ke-
Gambar 25 Nilai TPC nugget lele pada penyimpanan suhu 0 oC. Gambar 25 menunjukkan bahwa jumlah total mikroba mengalami peningkatan selama penyimpanan nugget lele pada suhu 0 oC. Kadar mikroba awal nugget sebesar 3,98 log CFU/g (9,55 x 103), dan selanjutnya mengalami peningkatan selama penyimpanan. Pada pengamatan sampai minggu ke 9 (hari ke-63) jumlah total mikroba mencapai 5,68 log CFU/g (4,78 x 105) dan pada minggu ke 10 (hari ke-70), jumlah total mikroba mencapai 5,70 log CFU/g (5,01 x 105). Pada hari ke-70, total mikroba telah melebihi batas cemaran mikroba yang disyaratkan dalam SNI 7319.1:2009 tentang syarat TPC untuk produk ikan berlapis tepung, yaitu sebesar 5 x 105 CFU/g.
Berdasarkan grafik pada
Gambar 25, koefisien korelasi grafik yang menghubungkan lama penyimpanan terhadap total mikroba sebesar 0,868. Hal ini menunjukkan bahwa nilai TPC memiliki hubungan yang cukup baik untuk dijadikan parameter penentuan umur simpan nugget lele. 4.6.2 Nilai TBA Uji TBA (Thiobarbituric Acid) pada dasarnya mengamati hasil akhir reaksi oksidasi lemak (malonaldehid), yaitu dengan mereaksikan senyawa tersebut dengan asam 2-thiobarbiturat sehingga dihasilkan zat berwarna merah. Intensitas warna merah tersebut menunjukkan tingkat ketengikan makanan yang diperiksa
PPQ
(Syarief dan Halid 1991). Hasil pengukuran bilangan TBA nugget lele pada penyimpanan 0 oC dapat dilihat pada Gambar 26.
PMQ
Batas nilai TBA
TBA (mg malonaldehid/kg)
PMO OMW OMU OMS
„?¥ LOMOOR‚?J?OMPWX qÏ?¥?OMQQX
OMQ OMO O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
PO
Minggu ke-
Gambar 26 Nilai TBA nugget lele pada penyimpanan suhu 0 oC. Berdasarkan Gambar 26, dapat dilihat bahwa perubahan nilai TBA selama penyimpanan nugget sangat kecil dan dan fluktuatif.
Pada Hari ke-0 nilai
bilangan TBA 0,20 mg malonaldehid/kg sampel kemudian pada minggu ke 1 mengalami penurunan menjadi 0,17 mg malonaldehid/kg sampel. Pengamatan minggu ke 3, bilangan TBA kembali meningkat dan terus berlangsung fluktuatif naik dan turun sampai pengamatan minggu ke 10 (hari ke 70). Hal ini diduga karena suhu yang rendah dapat memperlambat laju oksidasi pada nugget lele. Kisaran nilai TBA nugget selama penyimpanan adalah 0,13-0,20 mg/kg malonaldehid.
Menurut Das et al. (2008), laju peningkatan zat reaktif TBA
sangat lambat pada suhu penyimpanan beku. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kadar lemak dalam bahan dan efek antioksidan granula kedelai yang ditambahkan pada formulasi nugget. Penyimpanan nugget kambing pada suhu -18 oC selama 90 hari menunjukkan off flavor produk tidak ditemukan karena kadar TBA masih di bawah ambang batas ketengikan yang dapat dirasakan manusia, yaitu 1 mg malonaldehid/kg sampel.
PPR
Berdasarkan hasil plot data, diperoleh persamaan regresi dengan nilai koefisien korelasi 0,229 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang spesifik antara pengaruh lama penyimpanan pada suhu 0oC dengan perubahan bilangan TBA. Oleh karena itu, nilai bilangan TBA tidak dapat dijadikan parameter untuk penentuan umur simpan produk nugget. 4.6.3 Uji organoleptik Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui batas penerimaan panelis terhadap produk selama penyimpanan nugget lele pada suhu 0 oC. Parameter organoleptik yang diuji adalah tekstur, aroma, rasa dan warna. Batas penolakan panelis ditunjukkan oleh nilai sensori 3 yang berarti tidak suka. Nilai hedonik masing-masing parameter sensori disajikan pada Gambar 27.
X W
Nilai Hedonik
V U T S R Q
Batas penolakan panelis
P O O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
PO
Minggu ke-
Gambar 27 Skor sensori pada penentuan faktor kritis. aroma, rasa, warna.
tekstur,
Pada minggu ke 0, rata-rata skor nilai hedonik pada masing-masing parameter berturut-turut : tekstur 7,03 (kisaran suka-sangat suka), aroma 7,53 (kisaran suka-sangat suka), rasa 7,3 (kisaran suka-sangat suka), dan warna 7,4 (kisaran suka-sangat suka). Pada pengamatan minggu berikutnya, terjadi penurunan nilai sensori sampai penyimpanan hari ke 70, dimana nilai hedonik
PPS
untuk tekstur menjadi 3,43 (kisaran tidak suka-agak tidak suka), aroma 5,4 (kisaran netral sampai suka), rasa 3,53 (kisaran tidak suka-agak tidak suka), dan warna 4,34 (kisaran agak tidak suka-netral). Berdasarkan pengamatan sampai minggu ke 10 dapat disimpulkan bahwa nilai hedonik terhadap tekstur, aroma, rasa, dan warna masih berada di atas batas penolakan panelis. Dari hasil pengamatan dari 3 faktor yang menentukan penurunan mutu pada nugget lele, maka faktor total mikroba (TPC) adalah yang lebih cepat menyebabkan penurunan mutu, yang ditunjukkan oleh kenaikan total mikroba melebihi batas yang ditetapkan dalam SNI. Dengan demikian, parameter TPC dijadikan faktor kritis yang sangat berpengaruh pada penurunan kualitas nugget lele dan akan digunakan dalam pendugaan umur simpan nugget. 4.7 Pendugaan Umur Simpan Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi kimia yang mengakibatkan penurunan mutu pada makanan juga akan semakin cepat. Nugget ikan merupakan salah satu produk hasil perikanan yang sangat mudah mengalami penurunan mutu karena faktor fluktuasi suhu penyimpanan dan distribusi. Pendugaan umur simpan dengan menggunakan metode Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga masa simpan produk yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
Kriteria
kadaluarsa untuk metode Arrhenius yang cocok
diterapkan pada kelompok produk olahan ikan diantaranya adalah total mikroba, sensori (bau, warna, rasa, tekstur) serta ketengikan. Berdasarkan hasil penentuan faktor kritis, faktor total mikroba (TPC) lebih berperan dalam penurunan mutu pada produk nugget lele dibandingkan dengan uji organoleptik dan ketengikan (bilangan TBA) yang cenderung fluktuatif dan perubahan nilainya sangat kecil. Persamaan yang digunakan pada model Arrhenius ada 2 jenis yaitu persamaan ordo nol dan persamaan ordo satu.
Persamaan ordo yang akan
digunakan dalam penentuan umur simpan dipilih berdasarkan data hasil pengamatan pada parameter yang memiliki nilai koefisien korelasi (R2) yang mendekati nilai satu (grafik hampir lurus sempurna).
PPT
4.7.1 Penentuan ordo reaksi Berdasarkan hasil penentuan faktor kritis, pada penelitian ini digunakan faktor total mikroba (nilai TPC) untuk pendugaan umur simpan pada 3 perlakuan suhu ekstrem yaitu -10 oC, -5 oC dan 0 oC. Hasil perhitungan pertumbuhan mikroba produk nugget yang dikemas dalam kemasan polyethylene, dibuat dalam bentuk grafik hubungan antara nilai TPC dengan hari pengamatan. Kemunduran mutu produk dapat dilihat dari konstanta laju reaksi (k) pada setiap suhu penyimpanan yang diperoleh dari persamaan ordo.
Penentuan ordo reaksi
dilakukan dengan melihat persamaan matematika dari persamaan grafik yang menghubungkan nilai TPC dan waktu pengamatan. Berdasarkan grafik tersebut diperoleh persamaan regresi linier (untuk ordo nol) dan persamaan eksponensial (untuk ordo satu). Penentuan persamaan orde nol dari plot orde nol pada 3 suhu penyimpanan o
(-10 C, -5 oC dan 0 oC) disajikan pada Gambar 28, sedangkan penentuan persamaan orde satu dari plot orde satu pada 3 suhu penyimpanan (-10 oC, -5 oC dan 0 oC) disajikan pada Gambar 29. Plot orde nol
U
„?¥?OMROO‚?J?RMURV qÏ?¥?OMXXT
TPC (Log CFU/g)
T S „?¥?OMQUX‚?J?RMVOW qÏ?¥?OMXWT
R
„?¥?OMPQV‚?J?RMWRP qÏ?¥?OMXWW
Q P O O
P
Q
R
S
T
Minggu ke-
Gambar 28 Plot ordo nol untuk TPC pada penyimpanan suhu 0 oC, -5 oC, -10 oC. suhu 0 oC, suhu -5 oC, suhu -10 oC.
PPU
Plot orde satu „?¥?RMVQP¡OMOUS‚ qÏ?¥?OMXXU
U
sob?GbetN£H
T S
„?¥?RMWSW¡OMOQX‚ qÏ?¥?OMXWV
„?¥?RMVVQ¡OMOTW‚ qÏ?¥?OMXWR
R Q P O O
P
Q
l ‹££·?¤¡
R
S
T
Gambar 29 Plot ordo satu untuk TPC pada penyimpanan suhu 0 oC, -5 oC, -10 oC. suhu -5 oC, suhu -10 oC. suhu 0 oC, Berdasarkan hasil plot data ordo nol dan ordo satu pada grafik diatas, diperoleh nilai k yang akan digunakan untuk menentukan umur simpan nugget lele dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Tabulasi nilai k dari ordo nol dan ordo satu dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai slop k dari persamaan Arrhenius ordo nol dan ordo satu Suhu (oC)
Ordo Nol Persamaan
Slope k
R
Persamaan
Slope k
R2
0o C
y=0,3008x+3,938
0,3008
0,9951
y=3,9688e0,0044x
0,0644
0,9962
0,0584x
0,0584
0,9831
0,0299x
0,0299
0,9870
o
-5 C o
-10 C
y=0,2691x+3,9774 y=0,1278x+3,9594
Ordo Satu
0,2691 0,1278
2
0,985 0,9886
y=3,9988e y=3,9652e
Berdasarkan data tabulasi pada Tabel 15 di atas, diperoleh koefisien korelasi rata-rata yang hampir sama antara ordo nol dan ordo satu yaitu di atas 0,98. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ordo nol atau ordo satu cukup akurat untuk pendugaan umur simpan. Kriteria perubahan berdasarkan mikrobiologi seperti pertumbuhan mikroba lebih cepat dari perubahan karena reaksi kimia seperti ketengikan. Pertumbuhan mikroba pada bahan pangan dapat digambarkan dengan grafik berbentuk
PPV
eksponensial (Rahayu dan Arpah 2003). Hal ini berarti ordo reaksi yang dipilih untuk menentukan umur simpan nugget lele pada percobaan ini mengikuti pola penurunan mutu ordo 1. Persamaan grafik ordo satu selanjutnya digunakan pada persamaan Arrhenius untuk penentuan umur simpan. 4.7.2 Pendugaan umur simpan dengan persamaan Arrhenius Pada penyimpanan makanan, keadaan suhu ruangan penyimpanan sebaiknya tetap setiap waktu, tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah mulai dari tingkat produksi maupun pada saat distribusi sebelum produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Umur simpan produk perlu diketahui, pada suhu tertentu dan pada keadaan suhu penyimpanan yang dibuat tetap dengan menduga laju penurunan mutu berdasarkan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius yang digunakan untuk menduga umur simpan produk menggambarkan hubungan nilai k terhadap suhu penyimpanan produk dengan persamaan berikut :
k = koe-(Ea/RT) atau ln k = ln ko-(Ea/R) 1/T Setiap nilai ln k dan 1/T (satuan suhu dalam derajat Kelvin) pada masing-masing suhu penyimpanan ordo satu diplotkan sebagai ordinat dan absis sehingga diperoleh kurva pada ketiga suhu penyimpanan. Tabulasi persamaan Arrhenius disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Tabulasi parameter persamaan Arrhenius pada ordo satu Suhu (o C)
Suhu (o K)
1/T
Slope k
ln k
0
273
0,00366
0,0644
-2,7426
-5
268
0,00373
0,0584
-2,8404
-10
263
0,00380
0,0299
-3,5099
Berdasarkan tabulasi pada Tabel 16, diperoleh grafik hubungan nilai ln k dengan 1/T seperti disajikan pada Gambar 30. Nilai k dari persamaan grafik selanjutnya digunakan untuk menentukan umur simpan.
PPW
OMOORUS OMOORUU OMOORUW OMOORVO OMOORVQ OMOORVS OMOORVU OMOORVW OMOORWO OMOORWQ O LOMT LP
k‹?¤
LPMT LQ „?¥ LTSWOM‚?J?PVMSP qÏ?¥?OMWSR
LQMT LR LRMT LS
PNs?G›jH
Gambar 30 Grafik persamaan Arrhenius ordo satu. Nilai slope dari persamaan garis lurus pada Gambar 30 yaitu sebesar -5480,7 merupakan nilai -Ea/R dari persamaan Arrhenius. Nilai ln ko sebesar 17,412 diperoleh dari nilai konstanta, sehingga diperoleh persamaan Arrhenius yaitu : Ln k = 17,412-5480,7 (1/T) Dari persamaan Arrhenius tersebut, dapat dilakukan pendugaan umur simpan pada suhu yang diinginkan, dengan menggunakan persamaan :
t=
(
)
(
)
dimana : t Ao At k
: : : :
Umur simpan (minggu) Nilai TPC awal yaitu 3.98 (log CFU/g) Batas nilai TPC akhir yaitu 5,68 (log CFU/g) Laju penurunan mutu (% per minggu)
Nilai At sebesar 5,68 log CFU/g berasal dari nilai TPC pada tahap penentuan faktor kritis suhu 0 oC minggu ke 9, karena pada minggu ke 10, kadar TPC telah melewati standar TPC menurut SNI. Berdasarkan persamaan Arrhenius di atas selanjutnya dapat diketahui dugaan umur simpan nugget lele seperti disajikan pada Tabel 17.
PPX
Tabel 17 Penentuan umur simpan nugget lele Suhu (o C)
Suhu (o K)
1/T
Ln k
k
0 -5 -10 -18
273 268 263 245
0,00366 0,00373 0,00380 0,00392
-2,91736 -3,30101 -3,68466 -4,34234
0,05408 0,03685 0,02510 0,01301
Umur simpan (mg) 6,58 9,65 14,17 27,35
Berdasarkan Tabel 17, dapat diduga umur simpan nugget lele pada penyimpanan suhu 0 oC selama 6,58 minggu (46.06 hari), penyimpanan suhu -5 oC umur simpan selama 9,65 minggu (67,55 hari), dan penyimpanan pada suhu -10 oC diduga umur simpan selama 14,17 minggu ( 99.19 hari). Dari persamaan Arrhenius dengan menggunakan data pada Tabel 17, juga dapat diduga umur simpan nugget lele pada suhu penyimpanan produk ikan breaded beku berdasarkan SNI 7319.1 Tahun 2009 (suhu -18 oC) yaitu selama 27,35 minggu atau 191,45 hari. Suhu -18 oC (sekitar 0 oF) merupakan suhu penyimpanan yang dianjurkan pada produk olahan daging karena pada suhu tersebut sebagian besar cairan yang terdapat dalam produk telah membeku. Pada suhu ini, pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzimatik akan terhambat dan berlangsung lambat, tetapi tidak sampai mematikan mikroba. Berdasarkan penelitian Tokur et al. (2006), fish finger yang berasal dari daging lumat ikan yang diproses melalui proses pencucian dan penyimpanan beku pada suhu -18 oC, masih memiliki kualitas yang baik secara sensori dan kimia setelah disimpan selama 5 bulan. Das et al. (2008), juga melakukan penyimpanan nugget kambing pada suhu -18 oC dan menyatakan bahwa nugget kambing dapat bertahan dari kerusakan mikroba sampai penyimpanan hari ke 90. Penyimpanan sampai hari ke-30 menunjukkan kenaikan jumlah nilai TPC yang lambat, tetapi setelah itu terjadi peningkatan jumlah mikroba secara signifikan sampai melebihi standar pada penyimpanan hari ke 90. Berdasarkan
perhitungan
pendugaan
umur
simpan
produk
dapat
disimpulkan bahwa faktor suhu sangat berpengaruh terhadap total mikroba selama penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, pertumbuhan mikroba semakin cepat, terutama pada suhu optimum pertumbuhan mikroba. Suhu dimana suatu makanan disimpan, sangat besar pengaruhnya terhadap jasad renik yang dapat
PQO
tumbuh serta kecepatan pertumbuhannya. Setiap mikroorganisme mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya.
Hal ini
disebabkan di bawah suhu minimum dan diatas suhu maksimum, aktivitas enzim akan berhenti, bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim. Peningkatan suhu sampai batas optimum akan meningkatkan aktivitas mikroba sehingga kerusakan makanan akan semakin cepat terjadi.
Makanan yang
disimpan di dalam lemari es masih mungkin ditumbuhi oleh bakteri yang tergolong psikrofil (Fardiaz 1989).
Suhu pertumbuhan minimum bakteri
psikrofilik adalah -15 oC, suhu optimum 10 oC dan suhu maksimum 20 oC (Syarief dan Halid 1992). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan produk diantaranya adalah kondisi mutu bahan baku, kondisi pengolahan, pengemasan dan kondisi penyimpanan, distribusi dan penjajaan (Hariyadi 2006). Penggunaan bahan baku ikan lele yang masih hidup dan langsung diolah menjadi surimi dengan proses yang
higienis
serta penggunaan
bahan
pengemas
polyethylene
selama
penyimpanan dapat meningkatkan nilai mutu awal produk. Penggunaan suhu rendah dan terkendali juga dapat memperlambat laju penurunan mutu.