4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Rumput Laut Komposisi proksimat tujuh sampel rumput laut yang terdiri dari dua jenis limbah yaitu limbah agar dan limbah karaginan serta lima sampel segar yang terdiri dari kelompok green seaweed (Ulva lactuca dan Chaetomorpha crassa), red seaweed (Gracilaria salicornia dan Eucheuma spinosum) dan brown seaweed (S. polycystum). Semua sampel diuji kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat (by diference) untuk menentukan kualitas awal bahan. Data mengenai komposisi proksimat rumput laut selengkapnya tersaji pada Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut dapat bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lingkungan meliputi suhu air, salinitas, cahaya dan nutrisi (Dawes 1998 dalam Marinho-Soriano 2006), jenis, letak geografis dan musim (SanchezMachado 2004). Tabel 2. Komposisi proksimat tepung rumput laut Sampel
Komponen (% bk)
Limbah Agar
Abu 17,11± 0,31a
Lemak 1,28± 0,85a
Protein 0,54 ± 0,03a
Serat kasar 48,84±1,58d
Karbohidrat 32,23±2,7b
Limbah Karagenan
28,58± 0,96b
3,81± 0,34a
0,88±0,22ab
25,04±0,38c
42,12±1,89c
E. spinosum
29,8 ±0,12b
3,79±4,64a
1,80±0,68abc
11,35±3,6ab
53,25±0,47d
G. salicornia
55,69 ± 0,12e
1,74± 0,42a
1,47±0,18ab
7,43±1,1a
33,66±1,46b
Ulva lactuca
30,89 ± 1,87b
2,24± 0,37a
2,85±0,79c
7,54±0,19a
56,48±1,65d
C. crassa
46,25 ± 0,33d
0,97± 0,26a
2,32± 0,35bc
29,59±1,36c
20,86±2,29a
S. polycystum
38,64 ± 0,06c
4,38± 0,56a
3,07±0,03c
17,32±2,57b
36,59±1,92bc
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti huruf superscript yang bebeda (a,b,c,d,e) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
4.1.1 Kadar abu Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bahan. Kadar abu rumput laut terutama terdiri dari garam natrium dari air laut yang menempel pada talus rumput laut. Kandungan abu pada rumput laut biasanya berkisar antara 15–40%.
26
Kadar abu pada sampel limbah karaginan sebesar 28,58% dan 17,11% untuk limbah agar. Kondisi nilai kadar abu limbah karaginan lebih tinggi dibandingkan dengan limbah agar. Kandungan mineral rumput laut dapat dipengaruhi oleh proses yang diberikan selama pengolahan (Yoshi et al. 1994 dalam Ruperez 2002) serta metode yang digunakan untuk menghitungnya (Fleurence dan Le Coeur 1993 dalam Ruperez 2002). Pada sampel segar kadar abu tertinggi pada G. salicornia mencapai 55,69% dan terendah pada E. spinosum 29,8%. Kadar abu lainnya S. polycystum 35,08%, U. lactuca 30,89% dan C. crassa sebesar 46,25%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu (p<0,05) (Lampiran 1). Kadar abu rumput laut telah dilaporkan dari penelitian sebelumnya, rumput laut cokelat memiliki nilai 0,1– 39,3% dan rumput laut merah memiliki nilai antara 20,6-21,1% (Ruperez 2002). Tingginya kadar abu pada semua sampel dapat disebabkan oleh adanya komponen garam anorganik di air yang menempel pada permukaan rumput laut serta kemungkinan adanya pengotor yang bercampur dengan bahan. Penentuan kadar abu berhubungan dengan penentuan kadar mineral yang terdapat pada suatu bahan, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Bahan mineral dalam rumput laut cukup banyak, Ruperez (2002) menyebutkan kandungan makro mineral yang terdapat pada rumput laut meliputi Na, Ca, K, Mg, Fe, Zn, Mn dan Cu yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun kadar masing-masing komponen mineral ditentukan oleh spesies, umur, kondisi geografis, frekuensi gelombang, dan faktor fisiologi (Yoshie et al. 1994 dalam Ruperez et al. 2002). Adapun pada produk alga sebaiknya tidak mengandung abu lebih dari 45% (Food and Nutrition Board 1981 dalam Ruperez 2002).
4.1.2 Kadar lemak Kadar lemak dihitung sebagai lemak kasar, artinya ekstrak tersebut selain mengandung lemak juga mungkin terdapat senyawa lain, seperti fosfolipida, sterol, vitamin dan pigmen yang larut dalam pelarut nonpolar. Kandungan lemak dari rumput laut tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial (Dawes 1998 dalam Soriano et al. 2005). Kadar lemak yang dihasilkan pada
27
penelitian Soegiarto (1968) dalam Angka dan Suhartono (2000), adalah 4,3011,09%. Pada hasil penelitian kali ini kandungan lemak rumput laut diketahui berkisar antara 0,97-4,38% (bk), limbah agar dan limbah karaginan mengandung lemak sebesar 1,28% dan 3,81%, sedangkan pada rumput laut segar mengandung lemak antara 0,97-4,38%. S. polycystum memiliki nilai kadar lemak tertinggi sebesar 4,38%, U. lactuca 2,24%, G. salicornia 1,74%, E. spinosum 3,79% dan C. crassa memiliki nilai kadar lemak terendah sebesar 0,97%. Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar lemak (p>0,05) (Lampiran 1). Kadar lemak U. lactuca sebesar 0,3% (Ortiz et al. 2006) jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kadar lemak yang didapatkan pada penelitian kali ini. Faktor kondisi geografis memberikan pengaruh yang besar pada hasil penelitian ini, karena konsentrasi lemak pada suatu individu dapat dipengaruhi oleh lamanya paparan cahaya matahari. Sebagian besar lemak nabati mengandung asam lemak rantai panjang. Rumput
laut
diketahui
mengandung
asam
lemak
tak
jenuh
PUFA
(polyunsaturated fatty acid) yaitu asam lemak C18:3ω3, C18:2ω6, dan C18:1ω9 yang merupakan asam lemak esensial bagi tubuh manusia.
4.1.3 Kadar protein Kadar protein pada rumput laut pada penelitian ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan protein bahan terrestrial, hanya berkisar antara 0,54–3,07% dibandingkan dengan protein kedelai sebesar 33,8% (Handayani 2006). Limbah agar memiliki kandungan protein sebesar 0,54% dan 0,87% untuk limbah karaginan. Protein pada rumput laut segar berkisar antara 1,47-3,07 %, U. lactuca dan C. crassa dari kelas alga hijau memiliki kandungan protein masingmasing sebesar 2,85% dan 2,32%, sedangkan dari kelas alga merah E. spinosum dan G. salicornia mengandung protein masing-masing sebesar 1,8% dan 1,47%. S. polycystum dari kelas alga coklat memiliki kandungan protein tertinggi sebesar 3,07 %. Kadar protein rumput laut yang didapatkan lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein yang pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya yang
28
berkisar antara 13,6-24,5 % (Ortiz et al. 2006), 5,46-24,11 % (Sanchez-Machado 2004), atau 10-26 % (Wong dan Cheung 2000). Hasil analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan kadar protein sampel limbah agar, limbah karaginan, G. salicornia dan E. spinosum tidak berbeda nyata, sedangkan dengan S. polycystum, U. lactuca dan C. crassa kadar proteinnya berbeda nyata (Lampiran 1). Ekstraksi protein dari rumput laut cukup sulit dilakukan dikarenakan adanya komponen fenol khususnya pada rumput laut coklat (Ragan Glombitza 1986 dalam Wong dan Cheung 2000) dan dinding sel polianionik (Fleurence et al. 1995 dalam Wong dan Cheung 2000). Komponen fenol dapat merusak struktur protein yang ditempelkan pada salah satu rantainya dan dibawah kondisi oksidasi dapat berikatan secara kovalen (Loomis dan Battaile 1966 dalam Wong dan Cheung 2000), sedangkan dinding sel berlendir dari larutan kental dapat mengganggu proses ekstraksi dan pemurnian (Katsuragi dan Hashimoto 1987 dalam Wong dan Cheung 2000). Protein pada rumput laut meskipun hanya terdapat dalam jumlah yang kecil, namun memiliki keunggulan yaitu kandungan asam amino esensial yang tinggi, misal lisin, fenilalanin, metionin, leusine dan valin (Ortiz et al. 2006) dan komposisi asam amino pada rumput laut lebih lengkap jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial. Protein ini juga dapat berperan dalam kemampuan fisika – kimia seperti pada WHC (water holding capacity) (Wong dan Cheung 2000). Menurut Mabeau et al. (1992) tingginya kadar asam glutamat dan aspartat dapat memberikan rasa dan aroma yang khusus pada rumput laut.
4.1.5 Kadar serat kasar Rumput laut adalah sumber serat pangan, terutama serat larut air (Lahaye 1991 dalam Ortiz et al. 2006), namun serat kasar tidak sama dengan serat makanan. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat yang selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85% (Tensiska 2008),
29
sedangkan serat makanan adalah bagian yang dapat dimakan dari suatu karbohidrat tanaman atau sejenisnya yang tidak dapat dicerna dan diabsorpsi pada saluran pencernaan manusia (Asp et al. 2004). Serat makanan masih mengandung komponen yang hilang tersebut sehingga nilai serat makanan lebih tinggi daripada serat kasar. Pada dasarnya komponen-komponen penyusun dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, mucillage yang kesemuanya ini termasuk ke dalam serat makanan (Tensiska 2008). Kandungan serat bahan limbah dan bahan segar cukup bervariasi berkisar antara 7,43-48,84%. Kadar serat kasar pada limbah lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampel segar, hal ini dikarenakan limbah sebagian besar merupakan konsentrat serat yang sudah tidak bisa diekstrak lagi. Kadar serat kasar limbah agar memiliki nilai tertinggi sebesar 48,84% dan G.salicornia memiliki nilai kadar serat kasar terendah sebesar 7,43%. Limbah karaginan memiliki kadar serat kasar sebesar 25,04%. Pada bahan segar U. lactuca, E. spinosum, S. polycystum dan C. crassa memiliki kadar serat kasar masing-masing sebesar 7,54%, 11,35%, 17,32% dan 29,59%. Kadar serat yang dikandung oleh rumput laut dapat dipengaruhi oleh parameter lingkungannya. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar serat kasar (p<0,05) (lampiran 1). Pada uji lanjut Duncan ternyata nilai serat kasar beberapa sampel diketahui berbeda nyata antar satu dengan yang lain.
4.1.6 Kadar karbohidrat (by difference) Karbohidrat adalah satu komponen utama makanan disamping lemak dan protein. Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk manusia dan komponen fungsionalnya banyak dimanfaatkan untuk industri makanan. Kadar karbohidrat bahan ditetapkan secara by difference, yaitu nilai karbohidrat yang dihitung dari pengurangan nilai komponen abu, lemak, protein dan serat kasar. Kadar karbohidrat menggambarkan kandungan polisakarida selain empat komponen makro tersebut. Kandungan karbohidrat pada limbah agar yaitu 32,23% dan limbah karaginan yaitu sebesar 42,12%. Proses pengolahan yang telah dilakukan
30
sebelumnya turut mempengaruhi rendemen karbohidrat yang dihasilkan, karena pada proses ekstraksi yang kurang optimal dapat meninggalkan sisa komponen karbohidrat. Karbohidrat dari bahan segar memiliki nilai yang cukup tinggi, C. crassa, G. salicornia, E. spinosum, S. polycystum dan U. lactuca masingmasing mengandung 20,86%, 33,66%, 53,25%, 36,59%, dan 56,48%. Nilai karbohidrat ini menggambarkan jumlah kandungan komponen fungsional seperti agar, karaginan, alginat dan komponen polisakarida selain empat makromolekul yang dikandung secara spesifik oleh setiap jenis bahan. Jenis rumput laut berdasarkan hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 1) terhadap kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan uji lanjut Duncan kadar karbohidrat by difference pada C. crassa berbeda nyata dengan semua jenis sampel yang lain. Kadar karbohidrat G. salicornia, S. polycystum dan limbah karaginan tidak memiliki beda yang nyata, namun memiliki beda nyata dengan E. spinosum dan U. lactuca.
4.2 Komposisi serat Serat makanan didefinisikan sebagai bagian dari komponen bahan pangan nabati yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia. Definisi ini diperluas kembali sehingga seluruh polisakarida dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh manusia termasuk ke dalam serat makanan (Apriyantono et al. 1989). Serat terbagi dalam dua kelompok yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat tidak larut contohnya selulosa, lignin dan hemiselulosa, sedangkan serat yang larut contohnya adalah gum, pektin, dan mucilage (Tensiska 2008). Istilah hemiselulosa digunakan untuk menunjukkan polimer karbohidrat amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin. Hemiselulosa mudah dihirolisis oleh asam menjadi komponen penyusunnya, yang terdiri dari Dglukosa, D-manosa, D-xilosa, L-arabinosa, sejumlah kecil L-ramnosa, disamping asam D-glukuronat, asam 4-0-metil-D-guluronat, dan asam galakturonat (Achmadi 1990). Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel yang tersusun dari ulangan unit glukosa yang terikat melalui ikatan glikosida dan membentuk struktur yang teratur. Keteraturannya juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra- dan inter- molekul. Komponen lain yang ada dalam
31
ganggang adalah lignin, yaitu polimer yang terdiri dari unit fenilpropana yang saling berhubungan melalui ikatan eter (Achmadi 1990). Kadar selulosa bahan sangat bervariasi seperti disajikan pada Tabel 3, limbah agar memiliki kadar selulosa tertinggi sebesar 59,69% dan E.spinosum memiliki kadar selulosa terendah 4,08%. Kadar selulosa limbah karaginan, G. salicornia, U. lactuca, S. polycystum, dan C. crassa masing-masing sebesar 26,72%, 4,11%, 19,58%, 24,07%, dan 25,5%. Kim et al. (2005) menyebutkan kadar selulosa pada rumput laut sekitar 15-25% dari total seluruh komponen rumput laut tersebut. Tabel 3. Komponen serat rumput laut Bahan
Hemiselulosa (%)
Selulosa (%)
Lignin (%)
Limbah agar
13,89
59,69
2,37
Bahan ekstraktif lainnya (%) 24,05
Limbah karaginan
6,03 45,27 36,02 16,42 43,73 10,11
26,72 4,08 4,11 19,58 25,5 24,07
6,63 10 5 2,9 4 9,27
60,62 40,65 54,87 61,1 26,77 56,55
E. spinosum G. salicornia Ulva lactuca C. crassa S. polycystum
Selulosa merupakan bahan alam yang paling banyak dimanfaatkan daripada hemiselulosa dan lignin. Berdasarkan hasil yang didapatkan terdapat beberapa bahan yang potensial menjadi sumber selulosa, yaitu limbah agar dan karaginan C. crassa, S. polycystum dan U. lactuca. Produk dengan bahan dasar selulosa rumput laut saat ini mulai banyak dikembangkan, diantaranya sebagai bahan tambahan pangan, pembuat kertas dan bio-etanol. Rumput laut dikenal sebagai salah satu jenis tanaman yang memiliki kadar lignin yang rendah (Kim et al. 2005). Keadaan ini banyak memberikan kemudahan dalam eksplorasi terhadap rumput laut, karena lignin merupakan komponen yang sulit didegradasi sehingga dapat menghambat proses ekstraksi. Jika kandungan lignin dalam bahan pangan tinggi, maka koefisien cerna bahan pangan tersebut menjadi rendah (Sutardi 1980). Kadar lignin rumput laut berkisar antara 2,37-10%. Limbah agar memiliki kadar lignin terendah sebesar 2,37%, U. lactuca 2,9%, C. crassa 4%, G. salicornia 5%, limbah karaginan 6,63%,
32
S. polycystum 9,27% dan E. spinosum memiliki kadar lignin tertinggi sebesar 10%. Bahan ekstraktif pada rumput laut meliputi air, abu, protein, lemak, pigmen dan komponen serat larut air yang secara bersama akan menyusun rumput laut. Bahan-bahan ini mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan komponen serat tak larut, sehingga diasumsikan telah hilang selama proses analisis dilakukan.
4.3 Kadar Sulfat dan Kandungan 3,6-Anhidrogalaktosa Sulfat merupakan salah satu komponen yang terdapat pada rantai penyusun agar maupun karaginan. Menurut Glicksman (1983), agaropektin pada agar memiliki unit yang sama dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-Lgalaktosa (3,6-anhidrogalaktosa) diganti dengan L-galaktosa bersulfat, sedangkan karaginan merupakan keluarga polisakarida linier bersulfat dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang diekstrak dari beberapa jenis alga merah (Glikcsman 1983). Kadar sulfat rumput laut disajikan pada Tabel 4. U. lactuca memiliki kadar sulfat paling tinggi sebesar 18,63% dibandingkan dengan S. polycystum, E. spinosum dan G. salicornia yang masing-masing 14,51%, 8,44% dan 5,45%. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa jenis rumput laut memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar sulfat (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan kadar sulfat beberapa sampel diketahui berbeda nyata antar satu dengan yang lain seperti limbah agar, U. lactuca, dan S. polycystum, sedangkan pada G. salicornia, limbah karaginan dan E. spinosum tidak berbeda nyata. Kadar sulfat pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mencapai 1,3-5,9% (Ruperez et al. 2002) dan 0,97-1,06% (Marianho-Soriano dan Bouret 2005). Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis rumput laut, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Sulfat merupakan tipe penyusun komponen polisakarida yang berhubungan dengan konsentrasi garam tinggi di lingkungan dan aspek spesifik dalam regulasi ionik (Koareg dan Quatrano 1988 dalam Ruperez 2002). Keberadaan kandungan sulfat yang tinggi
33
pada rumput laut dapat menurunkan kualitas kekuatan gel agar dan karaginan (Armisen 1995 dalam Marinho-Soriano dan Bourret 2005). Tabel 4. Kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut. Jenis sampel Limbah agar
Kadar (%) Sulfat 3,6-anhidrogalakosa a 0,31±0,15 -
Limbah karaginan
9,57±1,89 c
-
S. polycystum
14,51±0,14e
2,40±0,11a
Ulva lactuca
18,63±1,02d
2,29±0,04a
G.salicornia
5,45±0,73b
17,99±0,00c
E.spinosum
8,44±0,29bc
3,84±0,00b
-
2,32±0,14a
C.crassa
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti huruf superscript yang bebeda (a,b,c,d,e) menunjukkan beda nyata (p<0,05). (-) tidak dilakukan analisis
Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada setiap jenis rumput laut dapat berbeda, pada Tabel 4 dapat dilihat nilai 3,6-anhidrogalaktosa tertinggi terdapat dalam G. salicornia sebesar 17,99%
dan U. lactuca yang mengandung 3,6-
anhidrogalaktosa terendah 2,29%. Kadar sulfat akan selalu berbanding terbalik dengan keberadaan 3,6-anhidrogalaktosa. Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada S. polycystum mencapai 2,4% tidak jauh berbeda dari U. lactuca yang mencapai 2,29%. Kedua jenis rumput laut ini diketahui memiliki kemampuan yang rendah dalam membentuk gel. Penurunan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa selalu disertai dengan penurunan kandungan grup 6-0-metil dan peningkatan residu sulfat (Marinho-Soriano dan Bourret 2005). Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut (p<0,05) (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan U.lactuca, E.spinosum dan G.salicornia tidak berbeda nyata, namun memiliki beda nyata terhadap G.salicornia dan E.spinosum. 3,6-anhidrogalaktosa merupakan komponen penyusun dalam rumput laut merah dan hijau yang berperan dalam peningkatan kekuatan gel agar (Armisen
34
1995 dalam Marinho-Soriano dan Bourret 2005). Kadar 3,6-anhidrogalaktosa yang dadapatkan dalam penelitian Marinho-Soriano dan Bourret (2005) mencapai 0,7-0,84%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan metode penelitian yang digunakan, jenis rumput laut, dan kondisi geografisnya.
4.4 Fraksinasi Polisakarida Sejumlah polisakarida dari alga laut telah diisolasi dan telah ditemukan struktur kimianya. Pada proses fraksinasi ini dilakukan ekstraksi bertingkat menggunakan beberapa jenis pelarut, yaitu air suhu ruang, air panas, asam dan basa untuk mendapatkan rendemen yang terendapkan serta dilakukan pengamatan bentuk struktur rumput laut menggunakan mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi. Rendemen polisakarida didapatkan dari proses ekstraksi bertingkat yang dilakukan menggunakan empat jenis pelarut. Kelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat zat terlarut dan pelarut, suhu serta tekanan (Mulijani 2005). Pada penapisan menggunakan air suhu ruang, jumlah polisakarida yang terlarut bervariasi pada setiap jenis rumput laut yang digunakan, histogram rendemen disajikan pada Gambar 4. Semua jenis rumput laut ini memiliki fraksi polisakarida yang dapat larut di dalam air. E. spinosum memiliki persentase terbesar pada kelarutan menggunakan air suhu ruang mencapai 65,66% dan pada keadaan ini U. lactuca memiliki kelarutan yang rendah hanya mencapai 6,01%. Pada jenis sampel lain jumlah komponen yang dapat larut mencapai 11,57% pada jenis limbah agar, limbah karaginan 21,19%, S. polycystum 11,39%, U. lactuca 6,01%, dan C. crassa mencapai 7,00%. E. spinosum memiliki hasil ekstrak mencapai 65,66% terlihat lebih kental dari pada sampel lain dan berbentuk gumpalan bening dan rapuh ketika diendapkan menggunakan etanol dan metanol. Rumput laut ini dikenal sebagai sumber iota karaginan, yang dikenal memiliki kemampuan larut dalam air dingin (Angka dan Suhartono 2000, Phillips dan William 2000).
35
Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.
Gambar 4. Rendemen fraksi polisakarida larut air Ekstraksi kandungan rumput laut menggunakan air dapat melarutkan sebagian kandungan abu serta karbohidratnya. Garam-garam mineral yang terdapat pada permukaan rumput laut memiliki kemampuan larut dalam air, salah satunya adalah garam natrium yang terdapat dalam jumlah yang melimpah di laut. Komponen karbohidrat rumput laut tersusun atas polimer galakturonan yang saling berhubungan melalui ikatan hidrogen dan glikosidik, semakin panjang rantai polimer yang terbentuk semakin kuat gaya tarik menarik yang terjadi dan semakin sulit untuk larut (Dobbins 1973). Proses pre-treatment dilakukan dengan menepungkan
sampel
untuk
memperkecil
ukuran
sampel,
sehingga
mempermudah proses ekstraksi. Agar, kappa karaginan dan lamda karaginan dikenal sebagai poligalakturonan yang sukar larut di dalam air, namun jenis iota karaginan diketahui memiliki kemampuan larut di dalam air. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut air (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan hanya E. spinosum yang memiliki nilai yang berbeda nyata (Lampiran 3). Analisis yang dilakukan terhadap sifat fisik rumput laut fraksi larut air. Struktur rumput laut yang teramati dari semua jenis rumput laut berbentuk memanjang. Visualisasi struktur rumput laut dapat dilihat pada Gambar 5.
36
Cahaya
Cahaya terpolarisasi
S. polycystum
S.polycystum
Ulva lactuca
Ulva lactuca
Gracilaria salicornia
Chaetomorpha crassa
E. spinosum
Gracilaria salicornia
Chaetomorpha crassa
E .spinosum
Gambar 5. Struktur rumput laut fraksi larut air dengan perbesaran 200x menggunakan mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi Menurut Kennedy (1989), komponen polisakarida terbesar di dalam rumput laut adalah selulosa yang secara esensial mirip dengan tumbuhan
37
terestrial. Selulosa terdapat sekitar 10% dari bobot kering rumput laut. French (1984) dalam Whistler dan Paschall (1984) menyatakan bahwa warna kuning biru pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur molekul yang bersifat amorf. Komponen yang merefleksikan warna kuning pada saat dilihat menggunakan cahaya terpolarisasi, merupakan polisakarida bersifat kristalin, umumnya merupakan fraksi tidak larut asam, sedangkan komponen yang merefleksikan warna biru memiliki sifat amorf yang umumnya lebih mudah larut dalam air. Struktur rumput yang terlihat pada mikroskop belum mengalami proses gelasi dan masih terlihat terpisah satu sama lain, namun pada E.spinosum terlihat struktur rumput laut telah bertautan. E.spinosum menjedal ketika dilakukan penambahan air dan perendaman selama satu jam, sedangkan pada sampel yang lain tidak. Fraksi yang bersifat amorf bertanggung jawab atas reaksi ini, semakin banyak fraksi amorf yang larut maka ekstrak akan semakin kental. Semua komponen dalam rumput laut memiliki kemampuan untuk larut dalam air dengan porsi yang berbeda. Pengekstrakan menggunakan air pada suhu 100 oC diharapkan akan mempermudah proses ekstraksi yang dilakukan, karena panas dapat mempercepat gerakan perpindahan antar molekul (Mulijani 2005). Rendemen polisakarida yang didapatkan pada air panas lebih banyak daripada menggunakan air, yaitu mencapai 7,85-28,05%. Persentase rendemen disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut air panas (p>0,05) (Lampiran 3)
38
1
2
3
4
5
6
7
Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.
Gambar 6. Rendemen fraksi polisakarida larut air panas Pada limbah agar saat dilakukan pengendapan menggunakan metanol dan etanol terbentuk gumpalan-gumpalan hidrokoloid. Gumpalan hidrokoloid ini diduga sebagai komponen agarosa dan agaropektin yang masih tersisa dari pengolahan industri. C. crassa menghasilkan rendemen sebesar 20,45% juga memperlihatkan hal yang sama. Jenis rumput laut ini merupakan jenis yang biasa dikenal sebagai tanaman pengganggu pada budidaya Eucheuma. Gumpalangumpalan hidrokoloid yang terbentuk berwarna jernih dan rapuh menyerupai gumpalan pada limbah agar. Agar diketahui tidak larut dalam air dingin (Angka dan Suhartono 2000), namun agar dapat larut dalam air panas (Armisen 1997). Air dengan sangat cepat akan berpenetrasi dan membentuk ikatan hidrogen pada sisi polimer poliskarida linear, kemudian segmen dari rantai polisakarida akan terlarut semua oleh aksi kinetiknya (Whistler 1973). Selain komponen poligalakturonat tersebut, hemiselulosa, pigmen serta lemak merupakan komponen yang secara parsial dapat larut dalam air. Pada S. polycystum didapatkan rendemen sebesar 20%. Alginat merupakan komponen struktural yang terdapat pada kelompok alga coklat. Kelarutan dari alginat dipengauhi oleh 3 faktor yaitu pH, ion, dan ukuran alginat (Phillips dan
39
Williams 2000). Asam alginat tidak dapat larut dalam air dingin maupun air panas (Glicksman 1983) karena kelarutannya lebih dipengaruhi oleh pH yang tinggi. S. polycystum mengandung pigmen klorofil a, c, alfa dan beta karoten. Pigmen ini memiliki kemampuan larut di dalam air, terutama klorofil (Fahri 2009). Larutan asam H2SO4 0,05% digunakan untuk mendapatkan rendemen polisakarida larut asam dengan perlakuan pemanasan 100 oC. Pada Gambar 7 terlihat hampir semua sampel memiliki kelarutan yang rendah di bawah 15%. Rendemen tertinggi pada limbah agar mencapai 13,35% dan terendah pada C. crassa sebesar 0,85%. Pada konsentrasi ini semua sampel memiliki kelarutan yang rendah, namun semua memiliki kemampuan untuk larut pada asam. G. salicornia juga memiliki kelarutan yang sangat rendah pada asam sebesar 0,9%, sedangkan U. lactuca cukup dapat larut dengan rendemen sebesar 10,55%. Komponen abu larut asam, poligalakturonat, hemiselulosa, dan protein dapat larut dalam ekstraksi ini, meskipun dalam jumlah yang kecil. Pada sampel limbah agar, limbah telah mengalami proses pretreatment dan ekstraksi sebelumnya, sehingga komponen yang tersisa siasumsikan sebagai polimer galakturonan dapat larut. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut asam (p>0,05) (Lampiran 3). Penggunaan konsentrasi asam yang rendah ini tidak cukup kuat untuk memutuskan ikatan polimer yang tersisa.
Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.
Gambar 7. Rendemen fraksi polisakarida larut asam
40
Larutan basa NaOH 0,05% digunakan dalam proses ekstraksi tahap akhir semua sampel. NaOH memiliki kemampuan memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang. Reaksi ini memudahkan proses ekstraksi pada rumput laut. Rata-rata sampel memiliki kelarutan yang baik pada alkali sebesar 11-45,3%, dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.
Gambar 8. Rendemen fraksi polisakarida larut basa Persentase tertinggi pada S. polycystum yang mencapai 45,33%, rumput laut ini tidak dapat larut dalam air dingin maupun air panas, karena kelarutannya lebih dipengaruhi oleh pH yang tinggi. Keberadaan ion Na+ pada larutan turut mempengaruhi tingkat kelarutan alginat. Pada proses pengamatan yang dilakukan, polisakarida yang terendapkan berwarna kecoklatan, kental dan rapuh. Limbah karaginan juga memiliki kelarutan yang besar dalam alkali sebesar 39,15%. E. spinosum memiliki kelarutan sebesar 11,95%, rumput laut ini dikenal sumber penghasil iota karaginan. Gracilaria yang dikenal sebagai agarofit juga memiliki kelarutan yang lebih baik mencapai 43,25% dalam alkali. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut basa (p>0,05). Alkali dapat meningkatkan kalarutan agarosa pada agarophyta. Gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul juga dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996). Alkali juga dikenal mampu
41
memutuskan ikatan hidrogen meskipun dalam konsentrasi yang kecil (Whistler 1973), sebab itu alkali menjadi pelarut yang paling efektif untuk semua jenis rumput laut. Ampas dari proses fraksinasi rumput laut ini diduga sebagai komponen serat tak larut seperti sebagian hemiselulosa, selulosa dan lignin serta abu tak larut asam. Komponen ini tidak mudah diekstrak menggunakan larutan dengan konsentrasi rendah. Menurut Fitriani et al. (2007), selulosa dari limbah industri karaginan dapat diekstrak dengan baik menggunakan larutan alkali dengan konsentrasi 40%.