18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Industri Ikan Asap Selais Industri rumah tangga ikan asap selais (O. hypophthalmus) terletak di Daerah Teluk Petai, Kampar, Riau. Industri ini terletak di pinggiran sungai Kampar. Industri rumah tangga ini sudah dijalankan semenjak tahun 1975 sampai dengan sekarang. Ikan asap yang dihasilkan dibuat secara tradisional dengan pengasapan panas. Ikan hasil tangkapan dibersihkan, digarami atau tidak digarami dan diletakkan diatas media kawat yang telah disediakan. Ikan kemudian dipanaskan dengan asap panas yang berasal dari kayu pohon rambutan atau pohon karet yang sudah tua. Pengasapan yang dilakukan berlangsung lebih kurang selama 6 jam. Ikan hasil tangkapan yang diperoleh langsung diolah menjadi ikan asap, namun apabila ikan hasil tangkapan terlalu banyak akan disimpan terlebih dahulu. Ikan asap yang dihasilkan akan dikumpulkan oleh pemilik industri dan dijual pada hari pasar, biasanya hari kamis dan hari minggu. Ikan dalam jumlah besar langsung diambil oleh pengumpul dan disebarkan ke pasar tradisional di daerah sekitar.
4.2 Kondisi Pengolahan Ikan Asap Selais (O. hypophthalmus) di Wilayah Teluk Petai, Kampar, Riau Karakteristik pengolahan ikan selais asap di wilayah Teluk Petai diketahui setelah dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner. Kuisioner merupakan sekumpulan pertanyaan yang dirancang untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Kriteria kuesioner yang baik yaitu mudah dimengerti oleh responden, mudah diproses oleh peneliti, dan mudah ditanyakan oleh petugas pengumpul data (data collector) (Anonim 2008 dalam Santoso 2010). Pengisian kuisioner dilakukan dengan melakukan wawancara langsung kepada pemilik unit industry. Hasil wawancara dan pengisian kuesioner disajikan pada Tabel 3.
19
Tabel 3 Hasil wawancara dan pengisian kuesioner Karakteristik dan kondisi A* B* usaha / Pengolah I. Karakteristik responden a. Usia b. Jenis kelamin 70 tahun 52 tahun c. Pendidikan terakhir Laki-laki Perempuan d. Pengalaman usaha Sekolah SD SMP e. Jumlah keluarga 30 tahun 15 tahun 4 orang 6 orang II. Karakteristik usaha f. Jenis usaha Pengolahan Pengolahan ikan asap ikan asap g. Bahan baku yang Ikan selais, Ikan selais digunakan lele dumbo
C*
54 tahun Laki-laki SD 15 tahun 5 orang Pengolahan ikan asap Ikan selais, lele dumbo
h. Bahan baku
2-3 kg/hari
2-3 kg/hari
2-3 kg/hari
i. Hasil produksi
1-2 kg/hari
1-2 kg/hari
1-2 kg/hari
j. Jumlah tenaga kerja
2 orang
2 orang
2 orang
k. Tingkat pendidikan tenaga kerja Tidak tamat SD SD l. Pemasaran produk Pasar lokal Pasar lokal
SMP
Pasar lokal
* A, B dan C unit produksi ikan asap
Karakteristik pengolahan dan kondisi usaha berdasarkan pada Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada umumnya pemilik dan tenaga kerja berpendidikan SD sampai SMP, namun pengalaman usaha yang dimiliki rata-rata di atas 10 tahun. Pengalaman berusaha yang cukup lama ini sangat mendukung kelancaran usaha pengolahan ikan asap. Kebutuhan bahan baku pada pengolahan ikan asap ini yaitu sebesar 2-3 kg/hari, sedangkan kapasitas produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 1-2 kg/hari. Produksi ikan asap ini tergantung pada hasil tangkapan sendiri ataupun hasil tangkapan nelayan di sekitar tempat tinggal. Pemasaran ikan asap hasil olahan baru mencapai pasar lokal, umumnya dijual pada saat hari pasar atau dibeli langsung oleh para pengumpul ke tempat produksi.
20
4.3 Fasilitas Pengolahan Ikan Asap di Wilayah Teluk Petai 4.3.1
Fasilitas Produksi Pengolahan ikan asap di daerah ini dilengkapi dengan sumber air, dan
perlengkapan pengolahan ikan asap. Air yang digunakan berasal dari air sumur atau air danau yang terdapat di sekitar rumah pemilik industri. Air digunakan untuk mencuci bahan baku yang akan diolah. Peralatan pengolahan ikan asap di wilayah Teluk Petai terdiri dari: a) Media pengasapan Media tempat pengasapan terbuat dari kawat. Kawat ini dipasang di atas kayu yang sebelumnya dibuat sebagai penopang kurang lebih berjarak 1 meter dari tanah.
Kawat yang digunakan merupakan kawat tipis yang mudah
dibengkokkan. Media pengasapan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Media pengasapan. b) Tempat penyimpanan ikan sementara Tempat penyimpan ini berfungsi sebagai wadah ikan untuk penyimpanan sementara apabila ikan yang diperoleh cukup banyak, sedangkan wadah yang ada tidak mencukupi untuk pengolahan. Tempat penyimpanan ini terbuat dari bahan Styrofoam yang kemudian diberi es. Wadah penyimpanan sementara ini disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Tempat penyimpanan sementara.
21
c) Keranjang Keranjang digunakan sebagai wadah ikan asap. Keranjang ini terbuat dari bambu yang berkapasitas kurang lebih 10 kg dan berfungsi untuk menampung ikan sebelum diasap maupun produk yang siap dipasarkan. Keranjang yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Keranjang. d) Kayu bakar Kayu bakar yang digunakan biasanya berasal dari pohon rambutan yang sudah tua. Kayu tersebut dikeringkan dan digunakan sebagai kayu bakar dalam pembuatan ikan asap. Kayu bakar disimpan ditempat khusus penyimpanan kayu bakar yang diberi atap agar tidak basah pada saat hujan. Kayu bakar yang digunakan untuk proses pengasapan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Kayu bakar untuk pengasapan. 4.3.2
Sanitasi pada pengolahan ikan selais asap di teluk petai Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dari
tempat produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian makanan serta air. Hal ini merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap kegiatan penyiapan
22
makanan, khususnya dalam cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan pada makanan dan mesin pengolahan makanan serta mencegah kontaminasi kembali maupun kontaminasi silang (Winarno dan Surono 2004). Pengolahan ikan asap di wilayah Teluk Petai ini belum ada standar baku sanitasi yang diterapkan. Hal ini karena kurangnya pengetahuan para pekerja industri tentang teknik sanitasi serta kemungkinan belum adanya penyuluhan tentang pengolahan ikan asap dari pemerintah setempat. Pemilik usaha ikan asap melakukan proses produksi sesuai dengan yang diajarkan oleh orang tua mereka sebelumnya tentang pangasapan tanpa memperhatikan sanitasi pada saat pengolahan. Proses pengasapan dilakukan di halaman rumah sehingga tidak memerlukan bangunan khusus untuk proses produksi. Media yang digunakan untuk pengasapan juga tidak memerlukan desain khusus, media ini dibuat dengan seadanya yaitu kayu sebagai penopang dan kawat sebagai wadah peletakan ikan yang akan diasap, dengan ukuran kurang lebih 2×2 meter. Media ini diberi atap dari bahan plastik untuk melindungi bahan baku apabila tiba-tiba hujan turun. Pengolahan ikan asap disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Pengolahan ikan asap. Air merupakan komoditi yang sangat essensial dalam persiapan dan pengolahan pangan. Air ditujukan untuk pengolahan bahan pangan harus bebas dari bakteri patogen (Winarno dan Surono 2004).
Industri rumah tangga ini
menggunakan air yang berasal dari air danau dan air sumur. Air tersebut memiliki ciri-ciri tidak berbau, berwarna agak kekuningan dan tidak berasa. Air yang
23
digunakan untuk unit produksi tidak dilakukan proses filter terlebih dahulu, selain itu tidak dilakukan juga proses pengendapan, air yang ada langsung digunakan untuk pencucian ikan. Unit pengolahan harus memiliki tendon khusus untuk menampung air yang digunakan pada proses produksi serta memiliki sistem pembagian air yang jelas antara air untuk proses produksi, air minum serta keperluan lain (DKP 2007). Air yang digunakan untuk pencucian pada proses produksi disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Air yang digunakan pada proses produksi. Permukaan yang kontak dengan produk antara lain keranjang, kawat media pengasapan, dan tangan para pekerja. Peralatan yang digunakan dicuci dengan air biasa tanpa menggunakan desinfektan yang dianjurkan, selain itu tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk mengetahui cemaran atau kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Permukaan bahan yang kontak dengan produk di unit pengolahan harus terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus sehingga mudah dibersihkan dan didesinfeksi (DKP 2007). Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan (DKP 2007). Peralatan dan perlengkapan yang digunakan pada pross produksi belum ditata dengan baik untuk mencegah kontaminasi dan menjamin kelancaran proses. Peralatan yang digunakan pada tiap tahapan produksi tidak diberi tanda sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang. Konstruksi media pengasapan didesain tanpa memperhatikan upaya pencegahan perpindahan kontaminan dari area yang kotor ke area yang bersih. Peralatan yang sebelumnya digunakan sebagai
24
penerimaan bahan baku digunakan juga sebagai wadah untuk penyimpanan produk yang sudah jadi. Para bekerja di pengolahan ikan selais asap tidak menggunakan pakaian khusus. Pakaian pekerja yang digunakan dicuci sendiri oleh para pekerja, karena merupakan unit pengolahan rumah tangga sehingga tidak ada fasilitas pencucian pakaian dari unit pengolahan. Kondisi higiene pekerja disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Kondisi pekerja pengolahan ikan asap. Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan dibersihkan sesudah proses oleh para pekerja. Keranjang, baskom, dan peralatan lain dibersihkan dengan air biasa tanpa disikat dan tidak menggunakan sabun. Proses pencucian seharusnya menggunakan air klorin untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari peralatan ke produk ikan asap yang dihasilkan. Menurut Huss et al. (2004) air pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan mengandung klorin maksimal 200 mg/L. Pencucian peralatan yang bersifat korosif menggunakan konsentrasi klorin yang rendah, yaitu sebesar 50-100 mg/L dalam waktu 10-20 menit selama digunakan. Desain bangunan unit pengolahan asap terbuka tanpa adanya pintu serta lantai yang terbuat dari tanah dapat menghambat proses sanitasi pada saat pengolahan ikan asap. Kontaminasi silang adalah pencemaran kembali produk pangan oleh cemaran-cemaran fisik, kimia atau biologis selama proses produksi berlangsung. Kontaminasi silang dapat terjadi karena pencemaran melalui air atau udara yang kotor, dan karena pencemaran lainnya (Rahayu 2002). Kontaminasi yang mungkin terjadi berasal dari wadah, media pengasapan, pakaian serta air yang digunakan oleh pekerja. Wadah yang tidak dibersihkan, media pengasapan
25
yang terbuat dari kawat yang mudah berkarat, pakaian yang digunakan serta air yang digunakan untuk pencucian ikan tidak sesuai dengan standar air bersih. Pekerja tidak mencuci tangan secara berkala selama proses produksi dilakukan. Pekerja hanya mencuci tangan pada awal produksi dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan desinfektan yang dianjurkan. Tidak ada fasilitas bak cuci tangan khusus pada tempat produksi. Menurut Winarno dan Surono (2004) ruang pengolahan (proses) harus dilengkapi dengan bak cuci tangan minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan. Para pekerja wajib mencuci tangannya dengan air klorin 10 mg/L setiap 1 jam (Huss et al. 2004).
4.3.3
Penerimaan bahan baku Penerimaan bahan baku dengan cara ikan yang datang lebih awal diproses
lebih dahulu, namun apabila bahan baku melebihi kapasitas produksi maka dilakukan penyimpanan dengan pemberian es. Bahan baku yang digunakan merupakan ikan dalam bentuk segar. Prosedur penanganan bahan baku pada pengolahan ikan asap tidak memenuhi persyaratan seperti penanganan yang tidak hati-hati sehingga menyebabkan kerusakan fisik pada bahan baku yang akan diolah. Prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik antara lain penanganan bahan baku yang diterima dari bagian penerimaan dengan hatihati untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada bahan baku, kualitas serta size dari bahan baku yang diterima, serta sortasi dan penimbangan agar sesuai dengan spesifikasi (Junianto 2003). Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan asap disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Bahan baku ikan asap.
26
4.3.4
Pencucian Proses pencucian dilakukan ketika ikan akan diproses setelah dilakukan
penimbangan. Ikan dicuci dengan menggunakan air bersih tanpa penambahan klorin. Air yang digunakan harus melewati proses filtrasi dan disinfeksi sebelum digunakan dalam proses industri pengolahan. Kualitas air tersebut harus sama dengan kualitas air minum. menjelaskan air pencucian yang digunakan merupakan air dingin berklorin 5 mg/L. Pencucian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada pada ikan selais (Huss et al. 2004). 4.3.5
Pengasapan Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami.
Melalui pembakaran akan
terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Pengasapan ikan bertujuan untuk mendapatkan daya awet yang dihasilkan asap, serta bertujuan untuk memberikan aroma yang khas tanpa peduli kemampuan
daya
awetnya
(Adawyah
2007).
Pengasapan
ikan
selais
(O.hypophthalmus) diawali dengan pencucian ikan hasil tangkapan, kemudian ikan diberi garam secukupnya. Ikan yang sudah digarami diletakkan di atas kawat di media pengasapan, sebelumnya kayu dibakar terlebih dahulu setelah api tidak terlalu besar atau dalam bentuk bara ikan diletakkan di atas wadah. Proses pengasapan ini berlangsung selama lebih kurang 6 jam, dan dilajutkan keesokan harinya apabila ikan yang diasap masih basah.
Proses pengasapan ini bisa
berlangsung selama seminggu apabila cuaca kurang bagus. Komposisi kimia ikan asap disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia ikan asap Komposisi kimia Jenis Pangan Ikan asap selais Lele dumbo asap* Bandeng asap**
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar protein (%)
20,60
9,75
13,81
58, 68
55,02
4,91
12,30
23,86
54-59
2,5-5
-
27-40
*sumber Rina Esminingtyas (2006); ** Adawyah (2007)
27
Komposisi kimia ikan asap selais yang diamati yaitu kadar air sebesar 20,60%. Air merupakan komponen dasar dari suatu bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua jenis makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan kadar air dalam bahan makanan menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan (Winarno 2008). Kandungan air dalam produk perikanan (segar) diperkirakan sebesar 70%-85% (Nurjanah dan Abdullah 2010). Kandungan air yang terdapat pada ikan asap lebih sedikit daripada ikan segar karena adanya proses pemanasan yang berlangsung yang mengurangi kadar air pada bahan. Selain itu, penurunan kadar air yang terkandung dalam produk akibat perlakuan pengasapan disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan. Hal ini berhubungan dengan pengaruh suhu yang diberikan yaitu semakin meningkat suhu maka jumlah rata-rata molekul air menurun dan mengakibatkan molekul berubah menjadi uap dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno 2008). Kadar air ikan selais asap lebih kecil dibandingkan dengan produk ikan asap lain, misalnya bandeng asap sebesar 54%-59% (pengasapan tradisional cara panas) (Adawyah 2007), dan lele dumbo asap sebesar 55,02% (Esminingtyas 2006). Kadar abu yang diperoleh dari analisis kimia ikan selais asap yaitu sebesar 9,75%. Kadar abu ikan selais asap lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa jenis ikan asap yang lain menunjukkan kadar abu ikan bandeng asap sebesar 2,5-5% (pengasapan tradisional cara panas), sidat asap sebesar 0,6%-2,3% (pengasapan diatas tungku) (Adawyah 2007), namun lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar abu lele dumbo asap sebesar 55,02% (Esminingtyas 2006). Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan pangan. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yaitu zat anorganik atau yang dikenal sebagai kadar abu (Winarno 2008).
28
Kandungan lemak ikan asap selais yang diperoleh yaitu sebesar 13,81%. Kandungan lemak ikan selais asap ini tidak jauh berbeda dengan lemak pada lele dumbo asap yaitu sebesar 12,30% (Esminingtyas 2006). Lemak merupakan senyawa organik yang terdapat di alam yang tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut organik non polar dan merupakan komponen utama dalam jaringan adipos (Arvanitoyannis et al. 2010). Lemak berfungsi sebagai sumber energi, pembentuk jaringan adipose, asam-asam lemak esensial (Gaman dan Sherrington 1992), pembentuk struktur tubuh, pengemulsi, prekursor, dan penambah cita rasa (Suhardjo dan Kusharto 1987). Kadar protein yang terdapat pada ikan asap selais cukup tinggi yaitu sebesar 54,68%. Protein ikan selais asap cukup tinggi dibandingkan kandungan protein bandeng asap sebesar 27%-40% (pengasapan tradisional cara panas), tripang asap sebesar 19,l3%-79,5% (pengasapan panas) (Adawyah 2007). Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008). Suwandi (1990) menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan protein terkoagulasi dan terdenaturasi sehingga menjadi tidak larut. Protein daging bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008). Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya adalah denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna dan pemutusan ikatan peptida. Perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan, menyebabkan protein terkoagulasi (Winarno 2008).
4.3.6 Penyimpanan dan distribusi produk Produk ikan asap yang sudah jadi disimpan di ruangan rumah para pekerja. Proses penyimpanan dilakukan sementara, tempat penyimpanan yang digunakan kurang saniter, tidak tertutup dan tidak dilengkapi alat pendingin. Produk ikan asap ini umumnya langsung dijual atau didistribusikan kepada konsumen. Distribusi ikan asap selais telah dilakukan dengan baik. Produk ikan asap tersebut dipasarkan oleh para pekerja. Sasaran dan lokasi pemasaran ikan asap
29
olahan industri rumah tangga di wilayah teluk petai yaitu pasar-pasar tradisional yang ada di daerah setempat.
4.4 Analisis Penyimpanan Ikan Selais Asap Ikan asap selais yang diperoleh dilakukan penyimpanan dan pengujian terhadap analisis mutunya. Analisis mutu terdiri dari uji organoleptik, uji fisik, uji kimia, dan uji mikrobiologi. Pengamatan dilakukan pada ikan asap selais (Ompok hypophthalmus) yang dijual ditiga pasar tradisional yang berbeda, yaitu pasar tradional pangkalan, pasar tradisional 50, dan pasar tradisional sail.
4.4.1 Uji organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui karakteristik ikan selais asap (O. hypophthalmus) yang dilakukan oleh beberapa orang panelis dengan menggunakan panca indera. Uji organoleptik dilakukan pada ikan selais asap (O. hypophthalmus) yang berasal dari tiga pasar tradisional yang berbeda, yaitu pasar tradional pangkalan, pasar tradisional 50, dan pasar tradisional sail. Hasil uji organoleptik ikan asap yang diamati disajikan pada Gambar 11. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Gambar 11 Diagram hasil uji organoleptik ikan asap; pasar 50 (P2); pasar sail (P3)
Pasar pangkalan(P1);
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik
rasa,
penmpakan, tekstur, jamur, lendir dan bau ikan selais dari pasar yang berbeda tidak berbeda nyata. Uji organoleptik yang dilakukan diketahui bahwa nilai untuk
30
uji bau, tekstur, jamur dan lendir pada masing-masing ikan yang diamati adalah sama, yaitu dengan nilai 8, 7, 9, dan 9. Bau ikan asap yang diamati yaitu bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam dan tanpa bau apek. Tekstur ikan asap yang diamati masih kompak, pada, kering, dan antar jaringan erat, untuk jamur dan lendir tidak ada pada ikan yang diamati. Penampakan ikan asap pada P1 dan P3 lebih disukai oleh para panelis dibandingkan ikan asap pada P2. Rasa ikan asap pada P1 lebih disukai oleh panelis dibandingkan ikan asap pada P2 dan P3, rasa ikan asap yang diamati cukup enak namun kurang gurih. Pengamatan pada penampakan, bau rasa dan tektur ikan asap selais yang diamati tidak jauh berbeda dengan deskripsi mutu ikan asap menurut Adawyah (2007) yaitu, bau asap lembut cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam dan tanpa bau apek. Tekstur ikan asap kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentu seperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau pahit, dan tidak berasa tengik. Penampakan ikan asap cerah, cemerlang dan mengkilap, serta pada ikan asap tidak tampak tanda-tanda adanya jamur atau lendir.
4.4.2 Total Plate Count (TPC) Mikrobiologis keberadaan mikroba dalam produk ikan selais asap digunakan sebagai parameter kebusukan untuk melihat tingkat kemunduran mutu produk dan tingkat kelayakannya untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat (Muchtadi 2008). Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada ikan selais asap selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 12.
Log TPC
31
8 7 6 5 4 3 2 1 0
e a
a
H-0
b
b
H-5
c
c
H-10
d
d
H-15
e
H-20
Lama Penyimpanan (hari ke-) Gambar 12 Diagram nilai TPC selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulkas; : suhu ruang : suhu kulkas Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroba pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang pada hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan dari ke-5, 10, 15 dan 20 (P<0,05). Hasil uji total plate count penyimpanan suhu ruang setelah dilogaritma pada hari ke-0 (H0) sebesar 5,22, hari ke-5 (H5) 5,39, hari ke-10 (H10) 6,08, haru ke-15 (H15) 6,4 dan hari ke-20 (H20) 7,11. Hasil uji total plate count penyimpanan suhu kulkas setelah dilogaritma pada hari ke-0 (H0) sebesar 5,22, hari ke-5 (H5) 5,42, hari ke-10 (H10) 5,74, hari ke-15 (H15) 6,02 dan hari ke-20 (H20) 6,25. Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah mikroba makin bertambah seiring dengan lamanya waktu penyimpanan, dan terdapat perbedaan jumlah bakteri pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dengan ikan asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC). Jumlah mikroba pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang lebih banyak dibandingkan ikan asap yang disimpan pada suhu kulkas. Hal ini dapat terjadi karena faktor suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bakteri atau mikroba (Kadir 2004). Suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh pada jumlah kandungan mikroba ikan asap. Peningkatan jumlah mikroba ini terjadi karena tidak ada yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada suhu ruang. Mikroba tersebut dapat terus berkembang biak, sehingga jumlahnya akan meningkat selama bahan melalui masa penyimpanan (Forsythe and Hayes 1998).
32
Jumlah mikroba yang diketahui setelah dilakukan penyimpanan selama 20 hari yaitu sebesar 1,3 × 107 CFU/mL pada suhu ruang dan sebesar 1,8 × 106 CFU/mL pada suhu kulkas. Berdasarkan persyaratan mutu yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01 – 2725 – 1992) bahwa jumlah bakteri maksimum ikan asap adalah 5 x 105 koloni /gram. ICMSF (1986) diacu dalam Mexis et al. (2009) menyatakan bahwa batas atas mikrobiologi produk makanan nilai TPC tidak boleh lebih dari 7 log cfu/gram. Jumlah kandungan mikroba pada ikan selais asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC) akan lebih bersifat dorman, dimana aktivitas metabolisme akan terhambat sehingga proses pembelahan selnya juga akan terhambat (Kadir 2004). Dengan demikian jumlah sel mikroba pada suhu rendah akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan suhu yang lebih tinggi. Penggunaan suhu rendah mempunyai pengaruh terhadapprosesproses kimiawi, enzimatis dan mikrobiologis yaitu mampu menghambatatau mencegah reaksi kimia, aktivitas enzim dan mikroorganisme (Suryo 2005). Ikan asap disimpan dalam ruangan yang terlindung dari penyebab-penyebab yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk misalnya panas, insekta dan binatang pengerat. Kelembaban udara ruangan dijaga serendah mungkin, untuk memperpanjang daya simpan pada ruang dengan suhu dingin atau beku (SNI 2009). Ikan asap yang disimpan pada suhu yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba, maka mikroba akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tumbuh dan berkembang, dan sebaliknya apabila suhu penyimpanan cukup menunjang, maka dalam waktu singkat mikroba dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat (Kadir 2004). Pada ikan selais juga dilakukan uji mikrobiologi bakteri E. coli. Berdasarkan hasil pengujian, tidak terdapat E. coli pada ikan asap selais yang diamati.
Menurut persyaratan mutu dan kemanan pangan bardasarkan SNI
2725.1:2009 jumlah bakteri E. coli pada ikan asap maksimal kurang dari 3 APM/g. Bakteri E. coli tidak ditemukan pada sampel selais asap karena adanya proses
pemanasan yang dilakukan yang dapat membunuh bakteri E. coli. Menurut Faith et al. (1998) pertumbuhan E. coli dapat direduksi apabila dilakukan pemanasan pada suhu 60 oC selama 10 jam.
33
4.4.3 Total Volatile Base (TVB) Penentuan kadar TVB merupakan salah satu cara untuk mengukur tingkat kebusukan produk. Basa-basa volatile pada dasarnya terbentuk dari degradasi protein atau derivatnya dari senyawa nitrogen lainnya yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme.
TVB
meliputi
amonia,
dimethylamine
dan
trimethylamine (Jay 2000). Uji TVB dilakukan terhadap ikan selais asap untuk mengetahui tingkat kebusukan ikan asap yang diamati serta pengaruh penyimpanan terhadap tingkat kebusukan ikan asap. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 13. 60
a
a
Nilai TVB
50 40
a a
a
a
a
a
a
a
30 20 10 0 H-0
H-5
H-10
H-15
H-20
Lama Penyimpanan (hari ke-) Gambar 13 Diagram nilai TVB selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulkas; :suhu ruang : suhu kulkas Hasil uji statistik menunjukkan bahwa total volatile base pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dan kulkas tidak memiliki perbedaan yang nyata pada penyimpanan hari ke-0, 5, 10, 15 dan hari ke-20. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu ruang hari ke-0 (H0) sebesar 33,06 mgN%, hari ke-5 (H5) 36,98 mgN%, hari
ke-10 (H10) 28,57 mgN%, haru ke-15 (H15) 43,43 mgN% dan
hari ke-20 (H20) 35,86 mgN%. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu kulkas hari ke-0 (H0) sebesar 33,06 mgN%, hari ke-5 (H5) 54,04 mgN%, hari
ke-10
(H10) 52,95 mgN%, haru ke-15 (H15) 36,42 mgN% dan hari ke-20 (H20) 53,23 mgN%. Nilai TVB ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dan suhu kulkas berubah secara tidak konstan. Hal ini dapat terjadi karena unsur-unsur kimia asap yang melekat pada asap sudah mulai berkurang, sehingga nilai TVB yang
34
diperoleh lebih tinggi. Selain itu,pengambilan secara acak pada sampel yang diamati, serta pengujian TVB tidak dilakukan pada satu ekor ikan melainkan beberapa ekor ikan, ada kemungkinan ikan yang diamati tidak mengalami proses pengasapan secara sempurna sehingga mempengaruhi nilai TVB yang diperoleh. Zat-zat protein dalam daging ikan semakin kompak, jaringan daging ikan asap menjadi kuat. Hal ini kemungkinan menyebabkan suhu penyimpanan tidak begitu berpengaruh terhadap kualitas fisik ikan asap karena masih adanya unsurunsur kimia asap yang terdapat pada ikan selais asap itu sendiri, sehingga penyimpanan yang dilakukan pada suhu yang berbeda tidak berpengaruh secara nyata pada ikan selais asap. Lama penyimpanan akan memberikan pengaruh terhadap kualitas fisik ikan selais asap apabila unsur-unsur kimia asap yang terdapat pada ikan asap sudah mulai hilang sehingga menyebabkan nilai pH, TVB menjadi meningkat dan nilai organoleptik menjadi menurun (Sutoyo 1986 dalam Kadir 2004). Ikan selais asap yang disimpan pada suhu ruang masupun suhu kulkas masih layak konsumsi, karena nilai total volatile base (TVB) yang diperoleh kurang dari 100-200 mgN%. Batas kadar TVB dalam daging ikan olahan yang masih layak konsumsi yaitu 100-200 mgN% (Yanti dan Rochima 2009).
4.4.4 Aktivitas air (aw) Aktivitas air bahan pangan adalah jumlah air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan pangan karena aktivitas air dapat menggambarkan kebutuhan bakteri akan air. Aktivitas air adalah tekanan uap air yang terdapat dalam makanan dibagi dengan tekanan uap air dari air murni, pada suhu yang sama (Winarno 2007). Hasil uji aktivitas air ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 14.
Nilai Aw
35
0,8 0.8 0,78 0.78 0,76 0.76 0,74 0.74 0,72 0.72 0,7 0.7 0,68 0.68 0,66 0.66 0.64 0,64
d b b
c
c b
a
a a
a
H-0
H-5
H-10
H-15
H-20
Lama Penyimpanan (hari ke-) Gambar 14 Diagram nilai aw selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulka; : suhu ruang : suhu kulkas Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas air pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang pada hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-5, namun berbeda nyata dengan aktivitas air ikan asap yang disimpan pada hari ke-10, ke-15 dan ke-20 (P<0,05). Hasil uji aw pada hari ke-0 (H0) sebesar 0,703, hari ke-5 (H5) 0,706, hari ke-10 (H10) 0,741, hari ke-15 (H15) 0,753 dan hari ke-20 (H20) 0,783. Aktivitas air pada ikan asap yang disimpan pada suhu kulas pada hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan dari ke-5 (P>0,05), namun berbeda nyata dengan aktivitas air ikan asap yang disimpan pada hari ke-10 (P<0,05). Penyimpanan ikan asap selais hari ke-10 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-15 (P>0,05), namun berbeda nyata dengan penyimpanan pada hari ke-20 (P<0,05). Hasil uji aw pada hari ke-0 (H0) sebesar 0,689, hari ke-5 (H5) 0,693, hari ke-10 (H10) 0,743, hari ke-15 (H15) 0,753 dan hari ke-20 (H20) 0,774. Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimia. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid 1993). Lupin 1986 dalam Soedarto dan Puntodewo (2008) menyatakan bahwa kegiatan
36
mikroorganisme dapat dihentikan pada aw 0,6 dan pada aw 0,5 mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Kerusakan produk perikanan secara mikrobiologis dan biokimia semuanya tergantung pada suhu dan aktivitas air. Jadi dapat diketahui bahwa kestabilan mikroba tergantung pada a w dan akan mempengaruhi keaktifan metabolisme dan kemampuan dalam kelanjutan hidupnya (Pullman 2003). Nilai aw pada tiap jenis makanan berbeda, makanan dengan kandungan air yang tinggi jika jumlah air lebih besar daripada jumlah padatan maka nilai aw mendekati atau sama dengan satu. Jika kandungan air lebih rendah daripada padatan, aw lebih rendah dari 1,0 dan pada kandungan air lebih rendah dari sekitar 50% maka nilai aw menurun dengan cepat dan hubungan antara kandungan air dengan kelembaban nisbi dinyatakan dengan isoterm sorpsi (Canovas et al. 2007).