31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Analisis Minyak Sawit Kasar Analisis minyak sawit kasar dari sampel dilakukan untuk beberapa tujuan,
yaitu: (1) membuktikan kebenaran adanya tanaman sawit hasil persilangan antara Elaeis guineensis dan E. Oleifera pada PTPN XIII yang memiliki kandungan βkaroten di atas rata-rata tanaman sawit umumnya; dan (2) memberikan indikasi mengenai potensi kelebihan minyak sawit merah yang dapat dihasilkan dari tanaman sawit hasil persilangan tersebut. Potensi tersebut bila kemudian ditemukan maka akan digunakan sebagai unsur kekuatan dalam penyusunan strategi kebijakan pengembangan industri MSM di Indonesia. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Kantor Cabang Unit Usaha Mariat - Pematang Siantar bulan November 2007, dari 9 pokok kandidat ortet yang dianalisis, semuanya menunjukkan kandungan β-karoten yang tinggi pada minyaknya. Hasil analisis minyak pada tanaman sawit persilangan yang dilaksanakan oleh PPKS dapat dilihat pada Tabel 5. Dari data analisis tersebut, dapat dilihat bahwa kandungan terendah β-karoten adalah 1.062 ppm dan yang tertinggi 4.485 ppm. Selama kurun waktu sampai saat penelitian dilakukan, perlu dipastikan apakah tanaman sawit pada PTPN XIII mengalami penurunan kandungan βkaroten atau tidak. Terutama karena diduga kondisi tanaman-tanaman hasil persilangan dengan tahun tanam 1988 tersebut dalam kondisi yang kurang terawat. Dengan jumlah pohon sekitar 200 pokok dalam luas areal sekitar 2 ha, buah sawit dari tanaman persilangan tersebut selama ini masih digunakan dan diproses bersama dengan buah sawit biasa dalam proses produksi CPO secara rutin dan tidak dirawat secara khusus. Pada tahapan penelitian ini, digunakan 18 sampel buah sawit yang diperoleh dari Kebun Gunung Emas - PTPN XIII, Pontianak. Delapan belas sampel yang digunakan tersebut merupakan buah sawit dari tanaman sawit hasil persilangan E. guneensis dan E. oleifera dengan karakteristik penampakan yang relatif berbeda antar sampel. Sebagaimana telah disebutkan, tahapan ini salah satunya dilakukan untuk memvalidasi hasil analisis PPKS Balai Penelitian Marihat tahun 2007. Dengan demikian, pemilihan sampel diprioritaskan untuk sampel-sampel yang
32
telah dianalisis sebelumnya oleh PPKS Balai Penelitian Marihat. Selain itu, pemilihan sampel penelitian juga didasarkan pada faktor ketersediaan buah di lapangan. Sebagaimana telah disebutkan, kondisi tanaman-tanaman sampel tidak terawat dan buahnya masih digunakan untuk produksi CPO secara rutin sehingga ketersediannya menjadi semakin terbatas. Tabel 5 Hasil analisis kandungan β-karoten pada minyak tanaman sawit persilangan di Kebun Gunung Emas PTPN XIII (diolah dari Laporan Kunjungan Dinas PPKS Balai Penelitian Marihat tanggal 6 November 2007) No
No. Baris/Pohon
Kandungan β-karoten (ppm)
1
6/10
1.317 ± 57a
2
4/13
4.418 ± 1006c
3
2/15
1.648 ± 11a
4
12/7
1.062 ± 11a
5
14/17
3.203 ± 990b
6
2/19
1.502 ± 17a
7
12/15
4.485 ± 538c
8
4/17
4.159 ± 274bc
9
2/10
1.198 ± 41a
Keterangan:
data ± standar deviasi (n=2) Nilai tanpa disertai huruf yang sama terbukti berbeda nyata (p ≤ 0,05) berdasarkan uji Duncan
Dari sembilan sampel yang pernah dianalisis sebelumnya oleh PPKS Balai Penelitian Marihat tahun 2007 (Tabel 5), hanya tiga sampel (sampel no. 1, 7 dan 8) yang dapat diambil kembali untuk diuji. Kondisi tanaman-tanaman sawit lain di lapangan ada yang sudah dalam kondisi mati dan ada sebagian yang buahnya tidak tampak tumbuh kembali. Dengan demikian, pada penelitian ini digunakan tiga sampel yang pernah diuji oleh PPKS Balai Penelitian Marihat ditambah dengan lima belas sampel buah dari tanaman kelapa sawit persilangan E. guineensis dan E. oleifera yang belum pernah dianalisis sebelumnya. Delapan
33
belas sampel yang digunakan dalam tahap analisis pertama ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 8. Penampakan buah sawit persilangan E. guineensis dan E. oleifera yang dijadikan sampel produksi minyak sawit kasar
34
Sampel diterima dalam kondisi sudah terpisah dari tandan, sehingga segera setelah dibersihkan dan ditimbang, buah sawit disterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan memanaskan buah menggunakan uap dan merupakan proses yang penting karena menentukan tingkat efisiensi dan eketivitas proses produksi minyak sawit lebih lanjutnya. Secara umum, semakin tinggi waktu sterilisasi yang diaplikasikan maka tingkat rendemen minyak yang terekstrak akan semakin tinggi (Owolarafe et al. 2008). Penghilangan tahap sterilisasi pada proses ekstraksi minyak dari buah sawit diharapkan dapat mempertahankan kandungan β-karoten, namun rendemen ekstraksi minyak akan menjadi sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan struktur dan massa buah sawit yang sangat berserat sehingga minyak yang tersimpan di ruang-ruang kosong serabut buah sulit dikeluarkan karena tidak ada panas yang diaplikasikan untuk melunakan jaringan materi yang menahan minyak di dalam struktur buah (Owolarafe et al. 2007). Penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak sawit merah pada skala industri tetap harus memperhatikan faktor efisiensi, yang terutama dipengaruhi oleh nilai rendemen ekstraksi minyak. Oleh karena itu, pengggunaan panas sepanjang proses ekstraksi minyak tidak dapat dihindarkan. Pada penelitian, sterilisasi dilakukan pada suhu 121°C selama 20 menit. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fauzi dan Sarmidi (2010), sterilisasi pada 121°C selama 20 menit mampu mempertahankan retensi kandungan β-karoten pada minyak sawit sampai waktu 3 bulan penyimpanan dengan masih memberikan rendemen ekstraksi minyak yang optimum. Walaupun Andi (1994) menyimpulkan bahwa pemanasan buah pada suhu 60°C akan memberikan retensi kandungan β-karoten yang optimum, namun studi Fauzi dan Sarmidi (2010) serta Siew et al. (1992) menunjukan bahwa penggunaan suhu 121°C dibandingkan 60°C tidak menunjukan perbedaan pada retensi kandungan β-karoten pada minyak. Selain itu, pemilihan parameter proses sterilisasi yang sama dengan penelitian
Fauzi
dan
Sarmidi
(2010)
tersebut
dilakukan
untuk
dapat
membandingkan kandungan β-karoten pada minyak yang dihasilkan dari jenis sawit yang berbeda. Fauzi dan Sarmidi (2010) menggunakan buah kelapa sawit
35
dari tanaman sawit Elais guineensis varietas tenera yang memiliki kandungan βkaroten cukup tinggi, yaitu mencapai kisaran 1000 – 1600 ppm. Setelah sterilisasi, buah sawit utuh tanpa diiris dikempa menggunakan hydraulic press. Menurut Andi (1994), kondisi buah yang terbaik adalah buah utuh karena memberikan nilai asam lemak bebas yang lebih rendah dan kandungan karotenoid yang lebih tinggi. Industri-industri sawit sekarang ini umumnya menggunakan screw press sebagai alat ekstraksi mekanik minyak dari buah kelapa sawit. Menurut Owolarafe et al. (2002), bila dibandingkan dengan hydraulic press yang dioperasikan dengan tangan secara manual, sistem screw press memiliki efisiensi sampai 89,1% lebih tinggi dan secara keseluruhan lebih ekonomis. Namun karena harga alatnya yang lebih mahal, umumnya industri sawit skala kecil masih menggunakan hydraulic press (Baryeh 2001). Selain itu, dalam pengoperasiannya, screw press menggunakan suhu yang cukup tinggi (85 - 90°C) dengan waktu pengempaan 6 – 10 menit, sehingga dikhawatirkan akan mengurangi retensi β-karoten dalam minyak yang dihasilkan. Selain itu, jumlah sampel yang terbatas dalam penelitian ini tidak memungkinkan penggunaan screw press pada tahapan produksi minyak. Jumlah sampel yang tersedia tidak mencukupi kapasitas minimum untuk operasionalisasi screw press yang tersedia. Minyak dari jaringan daging buah kelapa sawit akan keluar pada proses pengempaan disebabkan adanya tekanan mekanik yang diberikan. Campuran yang dihasilkan dari proses pengempaan kemudian dikumpulkan dalam wadah kaca yang telah dilapisi dengan aluminium foil untuk menghindari kontak dengan cahaya dan ditutup segera mungkin untuk menghindari degradasi β-karoten lebih lanjut. Campuran minyak kasar dari proses pengempaan atau sludge umunya terdiri dari 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan non-minyak. Untuk memperoleh fraksi minyaknya saja, yang kemudian disebut sebagai minyak kasar, sludge berbentuk puree tersebut lalu disentrifugasi. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan rotasi 4000 rpm selama 20 menit (Fauzi & Sarmidi 2010).
Pemisahan
menggunakan
prinsip
sentrifugasi
akan
memisahkan
komponen-komponen campuran produk pengempaan berdasarkan berat jenisnya dengan prinsip gravitasi. Fraksi minyak akan berada di lapisan bagian atas sementara lapisan bagian bawah merupakan lapisan non-minyak. Sentrifugasi
36
pada penelitian ini digunakan menggunakan sentrifuse merk Kokusan H – 103N Series. Fraksi minyak yang dihasilkan dari salah satu sampel dapat dilihat pada Gambar 10. Setelah dipisahkan, fraksi minyak hasil sentrifugasi dikumpulkan dalam wadah gelas tertutup rapat, ditimbang dan kemudian disimpan dalam lemari pendingin. Sampel disimpan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai untuk meminimalisasi kerusakan β-karoten.
Gambar 9. Fraksi minyak hasil sentrifugasi dari salah satu sampel buah sawit persilangan E.guineensis dan E. oleifera
4.2
Identifikasi Tanaman Sawit Terpilih sebagai Bahan Baku MSM Setelah diperoleh minyak kasar dari 18 sampel tanaman sawit persilangan
E. guineensis dan E. oleifera, dilakukan analisis estimasi rendemen ekstraksi minyak dan analisis kandungan β-karoten. Kedua pengujian tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai keunggulan minyak yang dapat dihasilkan dari tanaman sawit persilangan E. guineensis dan E. oleifera tersebut. 4.2.1 Estimasi Rendemen Ekstraksi Minyak Nilai rendemen ekstraksi minyak dilakukan dengan membandingkan bobot bahan baku dengan bobot minyak yang dihasilkan. Pada penelitian ini, nilai rendemen ekstraksi minyak diperoleh dengan bobot buah sawit yang telah dipisahkan dari tandan dan dibersihkan saat sebelum sterilisasi dengan bobot minyak kasar yang dihasilkan dari proses sentrifugasi. Hasil estimasi rendemen ekstraksi minyak dari 18 sampel yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 6.
37
Dari data yang disajikan pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa secara umum semua sampel memiliki nilai rendemen ekstraksi minyak yang relatif rendah. Nilai rendemen ekstraksi minyak rata-rata dari buah sawit komersial di industri sawit di Malaysia adalah sebesar 19,8% dan bahkan meningkat sampai 20,16% di tahun 2005 (Production Estimates and Crop Assessment Division – USDA 2005). Nilai rendemen ekstraksi rendemen terendah adalah dari sampel no. 1 dengan 5,42% rendemen ekstraksi minyak dan yang tertinggi adalah sampel no. 14 dengan nilai rendemen ekstraksi minyak sebesar 16,14%. Dua sampel berikutnya yang memiliki nilai rendemen ekstraksi tertinggi adalah sampel nomor 10 dan 7 dengan nilai rendemen ekstraksi minyak berturut-turut adalah: 14,29% dan 13,38%. Tabel 6 Hasil estimasi rendemen ekstraksi minyak dari tanaman sawit hasil persilangan E. guineensis dan E. oleifera No. Sampel
Kode sampel
Rendemen ekstraksi minyak (%)
1
Ray I, pkk 3
5,42
2
Ray I, pkk 5
10,66
3
Ray II, pkk 7
9,57
4
Ray III, pkk 7
8,52
5
Ray IV, pkk 7
9,76
6
Ray V, pkk 6
8,95
7
Ray VI, pkk 9
13,38
8
Ray VI, pkk 10
9,08
9
Ray VII, pkk 9
11,87
10
Ray VII, pkk 11
14,29
11
Ray V, pkk 16
9,86
12
Ray IV, pkk 14
8,97
13
Ray V, pkk 9
6,28
14
Ray VIII, pkk 4
16,14
15
Ray V, pkk 4
6,95
16
Ray XIV, pkk 7
12,15
17
Ray IV, pkk 17
7,45
18
Ray 12, pkk 15
7,26
38
Kuantitas minyak yang dapat diekstrak dari buah sawit memang nilainya dapat beragam, terutama dipengaruhi oleh: (1) jenis dan varietas tanaman kelapa sawit; (2) jenis dan kondisi lahan tempat tanaman sawit tumbuh; (3) umur tanaman kelapa sawit; dan (4) penanganan buah sawit sebelum diproses lebih lanjut untuk diekstrak komponen minyaknya (Musonge & Baryeh 1991). Khan dan Hanna (1983) menambahkan bahwa kondisi sebelum ekstraksi seperti ukuran partikel, suhu pemanasan, lama pemanasan dam kadar air pada buah kelapa sawit akan turut mempengaruhi jumlah rendemen minyak yang dapat terekstrak. 4.2.2 Pengujian Kandungan β-karoten Selain nilai rendemen ekstraksi, minyak kasar dari keenam belas sampel juga dianalisis kandungan β-karoten. Analisis β-karoten pada penilitian dilakukan dengan menggunakan HPLC untuk hasil pengukuran yang akurat dan sensitif. Gregory III (1996) berpendapat bahwa teknik HPLC merupakan teknik analisa βkaroten yang efektif karena mampu memisahkan β-karoten dari karotenoid lainnya dan membedakan antara isomer cis dan trans. Hal tersebut sangat penting karena hanya bentuk trans β-karoten yang memiliki aktivitas pro-vitamin A yang signifikan. Ball (2000) menambahkan bahwa sejak pertengahan tahun 1970 dan sampai tahun 2000, metode analisis yang paling banyak digunakan untuk vitamin larut lemak adalah HPLC. Hal tersebut dikarenakan HPLC untuk vitamin larut lemak tidak memerlukan prosedur derivatisasi sampel, bersifat non-destruktif, serta menghasilkan tingkat separasi dan selektivitas deteksi yang baik. Sifat analisis HPLC yang bersifat non-destruktif memungkinkan teknik analisis ini digunakan sebagai metode preparasi purifikasi maupun sebagai teknik analisa kuantitatif. Hasil pengujian kandungan β-karoten minyak dari 18 sampel buah kelapa sawit persilangan E. guineensis dan E. oleifera
dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil analisa tersebut, kandungan β-karoten pada minyak dari tanaman sawit persilangan E. guineensis dan E. oleifera di Kebun Gunung Emas PTPN XIII, berada pada kisaran 30,84 ± 5,11 sampai dengan 2.196,26 ± 12,82 ppm. Perbedaan kandungan β-karoten antar sampel tersebut nilainya relatif jauh dan terbukti berbeda nyata dari nilai yang terendah dengan yang tertinggi berdasarkan uji statistika Duncan dengan nilai probabilitas 0,05. Berdasarkan
39
pengujian statistika yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas sampel tanaman kelapa sawit hasil persilangan Elaeis guineensis dan E. oileifera di Kebun Gunung Emas PTPN XIII tidak seragam dari segi kandungan β-karoten pada buahnya. Ketiga sampel dengan kandungan β-karoten tertinggi adalah sampel nomor 9, 11 dan 13 dengan jumlah β-karoten berturut-turut sebesar 2.196,26; 1.363,75; dan 1.169,65 ppm. Tabel 7 Hasil analisis kandungan β-karoten pada minyak dari tanaman sawit hasil persilangan E. guineensis dan E. oleifera No. Sampel
Kode sampel
Kandungan β-karoten (ppm)
1
Ray I, pkk 3
69,88 ± 12,82a
2
Ray I, pkk 5
834,79 ± 105,20d
3
Ray II, pkk 7
54,90 ± 10,57a
4
Ray III, pkk 7
56,18 ± 6,62a
5
Ray IV, pkk 7
30,84 ± 5,11a
6
Ray V, pkk 6
151,92 ± 3,37ab
7
Ray VI, pkk 9
534,99 ± 3,56c
8
Ray VI, pkk 10
364,35 ± 18,07bc
9
Ray VII, pkk 9
1.363,75 ± 197,29e
10
Ray VII, pkk 11
116,57 ± 28,45a
11
Ray V, pkk 16
1.169,65 ± 20,61e
12
Ray IV, pkk 14
71,18 ± 62,43a
13
Ray V, pkk 9
2.196,26 ± 285,61f
14
Ray VIII, pkk 4
158,69 ± 112,05ab
15
Ray V, pkk 4
938,20 ± 18,69d
16
Ray XIV, pkk 7
776,65 ± 168,16d
17
Ray 4, pkk 17
554,25 ± 45,90c
18
Ray 12, pkk 15
387,76 ± 9,87c
Keterangan:
data ± standar deviasi (n=2) Nilai tanpa disertai huruf yang sama terbukti berbeda nyata (p ≤ 0,05) berdasarkan uji Duncan
Ketiga sampel yang pernah diuji oleh PPKS Balai Penelitian Marihat (sampel nomor 8, 17 dan 18) menunjukkan nilai kandungan β-karoten yang jauh
40
lebih rendah pada analisis yang dilakukan peneliti. Sampel no. 8 yang oleh PPKS diindikasikan mengandung 1.317 ± 57 ppm β-karoten hanya terindikasi mengandung 364,35 ± 18,07 ppm β-karoten oleh peneliti. Hal yang serupa juga terjadi pada sampel no 17 dan 18, dimana nilai kandungan β-karoten yang terdeteksi oleh PPKS Badan Penelitian Marihat adalah sebesar 4.159 ± 274 dan 4.485 ± 538 ppm, sementara kandungan yang terdeteksi oleh peneliti berturutturut hanya 554,25 ± 45,90 dan 387,76 ± 9,87 ppm β-karoten. Perlakuan sebelum analisis pada buah sawit dapat menyebabkan perbedaan nilai kandungan β-karoten yang terdeteksi pada sampel minyak sawit. Purseglove (1985) menyatakan bahwa turunnya kualitas minyak kelapa sawit yang terekstrak dapat diakibatkan oleh digunakannya buah sawit yang memar dan tidak baik serta waktu penyimpanan buah sawit yang terlalu lama. Pada penelitian yang dilakukan, sampel buah sawit diambil di Pontianak lalu disimpan dan dipindahkan melalui moda transportasi darat dan udara kemudian disimpan selama kira-kira 3 hari sebelum diproses untuk diambil minyaknya. Selain itu, perlakuan-perlakuan pada ekstraksi minyak yang melibatkan panas, cahaya dan udara dapat turut berkontribusi terhadap degradasi β-karoten pada minyak kelapa sawit. Selanjutnya, faktor dari kualitas dan perbedaan tanaman kelapa sawit yang menurun selama rentang waktu pengujian oleh PPKS Balai Penelitian Marihat dan peneliti dapat juga berkontribusi terhadap turunnya kandungan β-karoten pada minyak sawit. Hal tersebut dapat terjadi karena faktor pemeliharaan yang kurang memenuhi persyaratan pada lapangan. Karena faktor keterbatasan sampel akibat pemeliharaan yang kurang memadai, terjadi keterbatasan dalam pengendalian kualitas sampel yang dapat dipilih. Perbedaan faktor tersebut diduga dapat menjadi sumber keragaman dalam proses analisis. Namun bila dibandingkan dengan kandungan β-karoten pada tanaman kelapa sawit E. guineensis varietas Tenera yang diuji oleh Fauzi dan Sarmidi (2010), terlihat bahwa sampel yang diujikan memiliki kandungan β-karoten yang lebih tinggi. Tanaman kelapa sawit yang digunakan Fauzi dan Sarmidi (2010) memiliki kandungan β-karoten sebesar 1000 – 1.600 ppm, dengan nilai rendemen ekstraksi minyak tertinggi yang dapat dicapai sebesar 19,9 ± 0,21 % (b/b).
41
4.2.3 Penentuan Sampel Potensial sebagai Bahan Baku MSM Dari data estimasi rendemen ekstraksi serta kandungan β-karoten yang berhasil dikumpulkan, tidak terlihat adanya korelasi langsung antara kedua variabel tersebut. Artinya, rendah atau tingginya nilai rendemen suatu sampel tidak berkontribusi terhadap rendah atau tingginya kandungan β-karoten sampel tersebut. Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan pengujian korelasi berdasarkan prinsip statistika, menggunakan uji Person. Nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari kedua variabel tersebut adalah sebesar - 0,167. Nilai r di antara |0 – 0,20| menandakan korelasi yang sangat rendah atau hampir tidak ada hubungan. Selanjutnya, nilai mutlak r yang melebihi nilai tingkat signifikansi yang digunakan (| r | > 0,05) menandakan penerimaan terhadap H0, yaitu tidak terdapat korelasi antara variabel yang diujikan (Alhusin 2003). Sampel 13 yang memiliki kandungan β-karoten tertinggi sayangnya memiliki nilai rendemen ektraksi minyak yang kecil, yaitu sebesar 6,28%. Nilai rendemen yang kecil tersebut membuat sampel dapat menjadikannya tidak feasible untuk digunakan sebagai sampel bahan baku pembuatan minyak sawit skala industri. Namun dengan pertimbangan bahwa nilai tambah utama dari produk MSM adalah kandungan β-karotennya, maka pada penelitian ini sampel 13 dipilih sebagai bahan baku potensial dalam pengembangan MSM. Apabila sampel 13 digunakan sebagai bahan baku pembuatan NDRPO (Neutralized Deodorized Red Palm Oil), maka setelah proses degumming berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Widarta (2008) kadar karoten pada minyak akan bertahan di 2.316,191 ppm (penurunan kadar karoten rata-rata sebesar 3,42%). Kemudian setelah proses adifikasi yang dikembangkan oleh Widarta (2008), minyak diperkirakan akan memiliki kadar karoten rata-rata sebesar 2.022,035 ppm (nilai recovery karoten sebesar 87,30%), dengan rendemen menurun sampai ke 12,06%. Selanjutnya, setelah deodorisasi berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Riyadi (2009), dari sampel 9 diperkirakan akan dapat dihasilkan NDRPO dengan kadar karoten sebesar 1.415,42 ppm (nilai retensi karoten sebesar 70%). Melihat nilai kandungan karoten yang tinggi tersebut, maka sampel 13 yang merupakan hasil persilangan dari Elaeis guneensis dan E. oleifera tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku NDRPO. Namun yang
42
perlu diperhatikan dan perlu dikembangkan adalah rendemen ekstraksi minyak yang dimilikinya (6,28 %). Selain itu, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, kondisi tanaman sawit di lapangan perlu lebih diperhatikan. Terutama untuk menjaga keberlangsungan kualitas dan kuantitas buah sawit yang baik. Penurunan kualitas tanaman kelapa sawit tentu saja akan berakibat langsung pada penurunan kualitas minyak yang dihasilkannya. Selanjutnya, bila dari segi kuantitas tidak dapat dijaga keberlangsungannya, tentunya akan berimbas pada kerugian di aspek produksi. Selanjutnya, karena nilai rendemen ekstraksi minyak yang dimiliki masih agak rendah, perlu dilakukan usaha-usah perbaikan. Selain dengan rekayasa proses pengolahan untuk mempertinggi efisiensi ekstraksi minyak, dapat juga dilakukan usaha perbaikan gen. Namun usaha yang terakhir lebih memerlukan waktu yang lebih lama. 4.3
Penyusunan
Strategi
Kebijakan
Pengembangan
MSM
dengan
Pendekatan LFA LFA merupakan perangkat penyusun kebijakan yang dapat digunakan dari tahap
perencanaan
sampai
dengan
tahap
monitoring
dan
peninjauan
impelementasi kegiatan. Namun, penggunaan LFA pada awal perancangan kegiatan sangat dianjurkan karena LFA akan relatif lebih sulit digunakan untuk mengevaluasi kegiatan yang tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip dan praktek LFA (AusAID 2005). Menurut Rice dan Burns (2010), telah banyak studi-studi ilmiah yang dilakukan dalam mengembangkan dan menguji khasiat minyak sawit merah (terutama dalam menangani KVA), dan saatnya kini beralih ke studi operasional proyek yang dapat memungkinkan teraplikasikannya studi-studi ilmiah yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, aplikasi metode LFA dalam penyusunan strategi kebijakan pengembangan minyak sawit merah dari tahap awal diharapkan dapat menjadi landasan yang baik dalam keseluruhan proses pengembangan yang kelak akan dilaksanakan. Proyek atau tujuan akhir yang akan dirancang berdasarkan LFA dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan industri minyak sawit merah di Indonesia.
43
Penggunaan LFA pada tahap perancangan kegiatan (selama proses identifikasi, persiapan, pengujian dan persetujuan proyek) akan mampu menghasilkan rancangan kegiatan yang meliputi deskripsi kegiatan serta penjelasan sistematis dan faktual mengenai urgensi kegiatan-kegiatan tersebut. Hasil pemikiran berdasarkan LFA tersebut dituangkan dalam suatu bentuk terstandar, yaitu matriks logical framework (logframe matrix). Pada penyusunan strategi pengembangan industri pengolahan minyak sawit merah ini, ada beberapa dokumen yang digunakan sebagai referensi utama. Secara garis besar, dokumen-dokumen tersebut dipisahkan menjadi dua kelompok utama, yaitu: (1) dokumen studi/riset ilmiah terkait minyak sawit merah, yang meliputi studi efektivitas pemanfaatannya serta karakteristik gizinya dan sebagainya. Dokumen tersebut dikompilasi untuk mendukung ide utama bahwa studi pengembangan minyak sawit merah harus pula bergerak ke arah social engineering dan kebijakan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat; selain itu digunakan pula (2) dokumen-dokumen kebijakan terkait pengembangan industri hilir kelapa sawit di Indonesia. Dokumen-dokumen dalam kelompok kedua tersebut menjadi referensi kondisi sosio-ekonomi negara ini terkait dengan akan dikembangkannya produksi minyak sawit merah. Dokumen-dokumen dalam dua kelompok besar tersebut digunakan sebagai materi utama dalam desk study penelitian tahapan ini. Pada penelitian tahap ini, kegiatan utama yang dilaksanakan untuk mengembangkan matriks LFA adalah kegiatan desk study dari dokumen-dokumen terkait serta diskusi dengan para pakar. 4.3.1 Analisis Situasi/Analisis Konteks Proyek Tahapan analisis ini merupakan tahapan persiapan yang tidak secara baku harus diterapkan dalam langkah-langkah pengembangan LFA terhadap suatu kasus. Pada analisis situasi ataupun yang sering juga disebut sebagai analisis konteks proyek, dideskripsikan mengenai permasalahan atau situasi yang akan dicarikan solusinya melalui pendekatan LFA. Informasi-informasi yang digunakan dapat berupa kondisi status quo pada laporan-laporan perencanaan strategi terdahulu ataupun kompilasi dokumen-dokumen lain (European Integration Office 2011).
44
Dari penelusuran studi yang dilakukan, secara umum dapat dinyatakan bahwa perngembangan aspek hilir kelapa sawit masih memiliki prospek yang baik di Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama terkait dengan nilai tambah dan daya saing dalam rangka pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan. Namun, kelapa sawit juga menghadapi berbagai masalah/kendala terkait dengan teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola (Gambar 11). Masalah-masalah tersebut perlu di atasi supaya tidak mendistorsi daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar (Haryana et al. 2010).
Gambar 10. Permasalahan Pembangunan Kelapa Sawit di Indonesia (Haryana et al. 2010)
Permasalahan pembangunan kelapa sawit tersebut tentunya akan turut berimbas pada terhambatnya pengembangan MSM di Indonesia. Hal ini sangat disayangkan mengingat manfaat dan potensi produk hilir minyak sawit, dalam hal ini adalah minyak sawit merah (MSM) sudah seringkali dieksplorasi dan dibuktikan secara ilmiah melalui studi-studi yang telah dipublikasikan secara internasional. Salah satu manfaat yang paling utama adalah dalam mengatasi kekurangan atau meningkatkan status kecukupan vitamin A. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam rangka menguji manfaat MSM tersebut direkapitulasi pada Tabel 8.
45
Rice dan Burns (2010) mengungkapkan dalam studinya bahwa telah cukup banyak studi yang menunjukkan manfaat MSM dan kini saatnya dilakukan studistudi yang dapat mendukung implementasi studi ilmiah yang telah dilaksanakan sebelumnya. Informasi dalam studi-studi terbaru diharapkan dapat memberikan panduan bagi pembuat kebijakan dan manajer program untuk melakukan scaling up pendekatan-pendekatan ilmiah yang telah terbukti ke tingkatan pelaksanaan di masyarakat. Hal ini merupakan salah satu landasan utama dalam pelaksanaan tahapan pendekatan LFA untuk mengembangkan MSM di penelitian ini. Aplikasi pendekatan LFA dalam upaya mengembangkan minyak sawit merah akan mampu merangkum hal-hal yang perlu diperhatikan dari berbagai aspek (meliputi aspek teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola). Karena dengan pendekatan LFA, sebuah proyek diamati sebagai suatu rangkaian peristiwa yang terkait secara causative (hubungan sebab-akibat). Selain manfaat yang sangat baik untuk kesehatan, terutama untuk mengatasi kekurangan vitamin A, MSM telah pula dibuktikan secara ilmiah dapat diaplikasikan untuk pada berbagai jenis produk pangan. Uji sensori yang dilakukan oleh Choo et al. (1994) menunjukkan bahwa MSM memiliki kualitas yang baik dan tingkat akseptabilitas yang setingkat dengan minyak sawit RBD. MSM dapat digunakan sebagai bahan dasar salad dressing, berbagai jenis kari, saus dan berbagai jenis produk pangan olahan lainnya. MSM dapat juga digunakan dalam formula margarin untuk memberikan warna produk serta kandungan pro-vitamin A yang diinginkan. Berbagai aplikasi MSM pada produkproduk pangan olahan dapat dilihat pada Tabel 4 pada bab Tinjauan Pustaka. Mengingat potensi MSM untuk diaplikasikan pada berbagai produk pangan olahan yang sudah memiliki tingkat penerimaan yang baik di masyarakat, maka pada penelitian ini, MSM dikembangkan sebagai produk antara. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi barrier dalam tingkat akseptabilitas MSM bila digunakan sebagai produk akhir (produk pangan siap konsumsi).
46
Tabel 8 Rekapitulasi beberapa studi mengenai MSM dalam kontribusinya menangani status kekurangan vitamin A Jenis Intervensi Gizi Suplementasi makanan harian
Negara, Peneliti (Tahun)
Hasil Penelitian
Lian
Indonesia
Meningkatnya konsentrasi serum retinol pada anak pra-sekolah
Honduras, Canfield (2000, 2001)
Malaysia
Meningkatnya karotenoid pada ASI, serum maternal dan serum pada bayi; tidak ada pengaruh pada deposit vitamin A pada hati
Papua Nugini, Binns (1984), Pust (1985)
Papua Nugini
Meningkatnya pertumbuhan pada anak pra-sekolah pada tingkat studi pilot tapi tidak pada studi skala lebih besar
Tanzania, (2000, 2006)
Lietz,
Malaysia (Carotino oil)
Meningkatnya konsentrasi karotenoid pada serum dan ASI
India, Radhika (2003)
Malaysia (Carotino oil)
Meningkatnya konsentrasi serum retinol pada wanita dan konsentrasi retinol pada sampel inti darah bayi
Burkina Faso, Zagre (2002), Zagre (2003)
Burkina Faso
Meningkatnya konsentrasi serum retinol pada anak pra-sekolah dan wanita usia reproduksi
Makanan yang difortifikasi dan didistribusikan pada konsumen target
India, serangkaian penelitian (19912002)
India
Meningkatnya indikatorindikator status vitamin A pada anak pra-sekolah dan usia sekolah
Burkina Faso, Zeba (2006)
Burkina Faso
Meningkatnya konsentrasi serum retinol pada anak usia sekolah
Makanan pokok yang difortifikasi (diproduksi oleh IRT ataupun produsen komersial)
Tanzania, (1999)
Tanzania
Meningkatnya konsentrasi serum retinol pada anak usia pra-sekolah dan wanita hamil serta menyusui
Fortifikan rumah tangga
Indonesia, (1967, 1968)
Sumber MSM
Mosha
Rice dan Burns 2010
Selanjutnya,
terkait
dengan
kebutuhan
riset
untuk
mendukung
perkembangan dan daya saing industri sawit, Goenadi et al. (2005) mengungkapkan bahwa riset/ teknologi yang dibutuhkan pada dasarnya terdiri dari
tiga
pilar
utama.
Tiga
pilar
tersebut
meliputi
(hulu/downstream), off-farm (hilirr/upstream) dan intermediat.
bidang
on-farm
47
Goenadi et al. (2005) menambahkan bahwa terdapat bagian riset yang bisa dilakukan secara mandiri dan ada bagian yang dilakukan secara terintegrasi antar dua bidang, bahkan tiga bidang. Sebagai contoh, untuk riset bidang pemupukan, riset secara umum dapat dilakukan secara mandiri, tanpa memiliki keterkaitan langsung yang kuat dengan bidang intermediat dan off-farm. Di sisi lain, riset di bidang budidaya akan memiliki keterkaitan yang kuat dengan bidang intermediat, seperti yang berkaitan dengan lingkungan dan aspek sosial budaya. Untuk pemuliaan, tiga bidang perlu bersinergi secara kuat. Riset bidang pemuliaan harus berkaitan kuat dengan bidang intermediat (selera pasar dan kebijakan yang berkaitan dengan pembenihan). Di samping itu, riset tersebut juga berkaitan erat dengan bidang off-farm, khususnya yang berkaitan dengan proses, produk turunan, dan produk samping (Goenadi et al. 2005). Lebih lanjut tingkatan tertinggi atau aspek terpenting dari off farm adalah pemanfaatan produk oleh masyarakat luas (adopsi) baik secara sosial maupun komersial. Berdasarkan pernyataan tersebut,
penelitian pengembangan strategi
kebijakan MSM dengan pendekatan LFA pada penelitian ini (yang bersifat riset intermediat) didahului terlebih dahulu oleh penelitian yang bersifat off-farm. Penelitian off-farm yang dilakukan dimaksudkan untuk menggali secara ilmiah salah satu potensi dan peluang yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan MSM. Pendataan potensi tersebut tentu saja dibutuhkan dalam pendekatan LFA.
4.3.2 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Dalam penelitian ini, analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Menurut European Integration Office (2011), analisis SWOT dan matriks pemangku kepentingan merupakan jenis analisis yang paling sering digunakan dalam tahapan analisis pemangku kepentingan.
4.3.2.1 Analisis SWOT Sebagaimana diungkapkan AusAID (2005), salah satu perangkat analitik yang dapat digunakan untuk mendukung tahapan analisis pemangku kepentingan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT dapat digunakan untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal yang
48
dihadapi suatu organisasi. Analisis ini dapat digunakan sebagai bentuk analisis umum atau untuk melihat bagaimana suatu organisasi dapat menyelesaikan suatu permasalahan atau tantangan tertentu (AusAID, 2005). Analisis SWOT dilaksanakan dalam tiga tahapan utama, yang meliputi: (1) generalisasi ide dan pemikiran mengenai kekuatan dan kelemahan internal suatu grup atau organisasi serta peluang dan ancaman eksternal; (2) analisa situasi dengan mencari cara/jalan dimana kekuatan grup/organisasi dapat dibangun untuk mengatasi kelemahan yang teridentifikasi, serta mengembangkan peluang yang dapat digunakan untuk meminimumkan ancaman; serta (3) formulasi strategi perbaikan (AusAID 2005). Hasil analisis SWOT untuk kasus pengembangan MSM di Indonesia direkapitulasi pada matriks di Tabel 9. Tabel 9 Matriks SWOT pengembangan MSM di Indonesia Kekuatan (strength) a) Ketersediaan/produksi bahan baku yang baik dan diprediksi akan terus meningkat b) Produktivitas minyak sawit relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya c) Telah banyaknya riset ilmiah yang dilakukan mengenai MSM (dari mulai manfaat terhadap kesehatan, aplikasi dan produksinya) d) Adanya varietas hasil persilangan yang memiliki karakteristik unggulan (persilangan E. guineensis dan E. oleifera) e) Adanya keinginan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan iklim berusaha di aspek hilir industri kelapa sawit
Kelemahan (weakeness) a) Belum berkembangnya minat produsen untuk menghasilkan produk hilir b) Terbatasnya infrastruktur terutama tangki timbun di beberapa sentra produksi, listrik, sarana dan prasarana lainnya c) Kurangnya konsistensi Pemerintah dalam implementasi kebijakan pendukung industri hilir minyak sawit d) Kurangnya dukungan litbang terhadap kepentingan dunia usaha terkait pengembangan MSM
Peluang (opportunity) a) Tingginya permintaan terhadap produkproduk berbasis CPO, di pasar domestik maupun dunia b) Dapat terciptanya efek berganda akibat pemakaian minyak sawit sebagai bahan baku MSM c) Masih rendahnya tingkat utilisasi kapasitas pengolahan produk hilir sawit d) Berkembangnya pasar untuk MSM e) Kepentingan pemerintah Indonesia dalam mengatasi KVA
Ancaman (threat) a) Kampanye anti minyak sawit di pasar dunia b) Situasi sosial politik dan keamanan yang kurang mendukung c) Fluktuasi harga bahan baku d) Kompetisi dengan minyak dan lemak sumber mikronutrien lainnya e) Resiko penerimaan konsumen terhadap MSM
49
Kekuatan (Strength) Berikut adalah hal-hal yang diidentifikasi sebagai kekuatan (strength) dalam
pengembangan MSM di Indonesia. Kekuatan disini menggambarkan indikator internal sistem. a)
Ketersediaan/produksi bahan baku yang baik dan diprediksi akan terus meningkat Pada tahun 2011, Oil World menempatkan Indonesia sebagai negara
produsen utama CPO dengan volume produksi sebesar 23,9 juta ton CPO/tahun. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, volume produksi CPO Indonesia meningkat 8,1% dibandingkan tahun 2010 yang mencapai nilai 22,1 juta ton/tahun. Sementara itu, Malaysia menempati urutan kedua sebagai negara produsen utama CPO dengan volume produksi tahun 2011 sebesar 18,8 juta ton/tahun (Oil World 2011). Selanjutnya, dari aspek agroklimat, ketersediaan lahan dan ketenaga kerjaan, Indonesia mempunyai keunggulan yang menjadi potensi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit maupun industri CPO. Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa sawit nasional paling luas di dunia. Kedepannya, rencana perluasan kebun sawit Indonesia diharapkan dapat meningkatkan peran Indonesia dalam perkelapa sawitan dunia. Sementara itu, Malaysia yang merupakan produsen CPO kedua terbesar diperkirakan akan mengalami titik jenuh karena ketersediaan lahan yang rendah. Malaysia tidak lagi memiliki lahan pengembangan yang baru, yang ada hanyalah peningkatan produktivitas yang rata-rata 3 % (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian 2009). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) menyatakan bahwa pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah yang berpotensi sedang – rendah. b)
Produktivitas minyak sawit relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya Minyak sawit memiliki daya saing lebih kuat dibandingkan minyak nabati
lainnya. Oil World (2008) menunjukkan bahwa produktivitas kelapa sawit sekitar 18-20 ton TBS/ha/tahun (setara dengan 3,6-4 ton CPO/ha), sementara
50
produktivitas kedelai/biji-bijian berada pada kisaran 2-2,5 ton/ha/tahun setara dengan (0,45-0,67 ton minyak biji-bijian/ha). Dengan demikian, kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang paling efisien di dunia. Untuk menghasilkan 1 ton CPO, kelapa sawit hanya memerlukan sekitar 0,25 – 0,28 ha lahan. Sementara itu, tanaman kedelai, bunga matahari dan rapeseed memerlukan 1,5-2 ha untuk menghasilkan 1 ton minyak biji-bijian. Selain itu, produktivitas tanaman kelapa sawit dalam menghasil minyak juga diperkuat dengan kemampuan produksi/suplai minyak sepanjang tahun. Produksi minyak dari tanaman kelapa sawit tidak dipengaruhi oleh musim. Pada perkebunan sawit, biasanya tanaman kelapa sawit dapat dieksploitasi sampai usianya mencapai 25-30 tahun, yaitu saat tinggi tanaman di antara 12 – 15 m (Ngando-Ebongue et al. 2012). Walaupun begitu, produksi TBS bulanan umumnya tidak rata sepanjang tahun tetapi memiliki pola tertentu. Panen puncak umumnya berlangsung selama 2-3 bulan dengan produksi sekitar 12-13% dari produksi tahunan sedangkan panen produksi rendah dapat mencapai sekitar 3-4% produksi tahunan (Bada Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007). c)
Telah banyaknya riset ilmiah yang dilakukan mengenai MSM (dari mulai manfaat terhadap kesehatan, aplikasi dan produksinya) Sebagaimana telah diutarakan dalam bab-bab sebelumnya, telah banyak
penelitian ilmiah yang dilakukan dalam mengembangkan MSM. Penelitianpenelitian tersebut tentunya merupakan basis bagi urgensi pengembangan produk MSM. Dari aspek kesehatan, MSM dibuktikan mengandung provitamin A (dalam bentuk karotenoid) yang tinggi sehingga bermanfaat terutama dalam mensuplai asupan vitamin A untuk tubuh. Selain karotenoid, MSM juga mengandung likopen, vitamin E, ubikuinon-10 serta sterol sehingga bermanfaat dalam menghambat pengembangan jenis kanker, mencegah penyakit kardiovaskuler, menurunkan tingkat kolesterol darah, meningkatkan sistem imunitas tubuh dan menurunkan tekanan darah yang tinggi (Bonnie dan Choo 1999). Selain manfaatnya terhadap kesehatan, potensi MSM untuk diaplikasikan pada berbagai jenis produk pangan olahan telah cukup banyak dieksplorasi. Secara umum, studi-studi menunjukkan bahwa MSM memiliki tingkat akseptabilitas yang baik dari konsumen sebagai bahan baku/penyusun produk
51
pangan olahan. Minyak sawit merah dapat digunakan sebagai salad dressing, kari, saus serta sebagai bahan baku suspensi suplemen provitamin A. Selanjutnya, dari aspek pengolahannya juga telah cukup banyak penelitian yang dikembangkan terkait produksi MSM. Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Widarta (2008) dan Riyadi (2009) menunjukkan bahwa pada skala pilot, MSM dapat diproduksi dari instalasi produksi minyak sawit RBD dengan modifikasi parameter proses. Dari modifikasi parameter suhu dan tekanan pada alat RBD konvensional, dapat dihasilkan MSM dengan retensi karotenoid yang optimum. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya instalasi khusus untuk produksi MSM. d)
Adanya varietas hasil persilangan yang memiliki karakteristik unggulan (persilangan E. guineensis dan E. oleifera) Sebagaimana yang telah dipelajari juga pada penelitian ini, teridentifikasi
varietas baru kelapa sawit (hasil backcross Eleaeis oleifera dan E. guineensis) di PTPN XIII yang memiliki kandungan β-karoten tinggi. Bila digunakan sebagai bahan baku MSM, bahkan dapat dihasilkan MSM dengan kandungan karotenoid yang lebih tinggi dibandingkan produk MSM komersial (Carotino) yang telah diproduksi di Malaysia. Dengan demikian, dapat dikembangkan MSM dengan nilai tambah yang lebih tinggi. e)
Adanya keinginan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan iklim berusaha, termasuk di aspek hilir industri kelapa sawit Indonesia merupakan produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di
dunia. Dengan demikian, Indonesia merupakan elemen penting dalam
rantai
pasok minyak sawit bahkan minyak nabati dunia. Dengan peran tersebut, perubahan pasokan dari Indonesia dapat mempengaruhi pasar minyak sawit dan minyak nabati dunia. Selain itu, industri kelapa sawit (dalam hal ini Industri CPO) mempunyai kekuatan dalam hal keterkaitan dan kekuatan efek pengganda pendapatan, output dan tenaga kerja terhadap industri lain. Pada aras nasional dan lokal, industri minyak sawit terbukti mampu berpatisipasi dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan/lapangan kerja, pembangunan sosial dan
52
pengurangan kemiskinan, pengembangan wilayah, pemenuhan kebutuhan pangan dan non-pangan dan ekspor yang mendatangkan devisa bagi Negara (Haryana et al. 2010). Menyadari peran-peran vital tersebut, pemerintah Indonesia berusaha mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengembangan industri kelapa sawit juga telah bersifat komprehensif mencakup aspek teknologi, ekonomi dan bisnis, sosial dan lingkungan. Saat ini, strategi dan kebijakan pembangunan kelapa sawit yang utama tertuang dalam Road Map Kelapa Sawit (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010) dan Road Map Industri Pengolahan Minyak Sawit (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia 2009). Selanjutnya, dalam upaya menyempurnakan
strategi dan kebijakan pembangunan kelapa
sawit, BAPPENAS menyusun naskah kebijakan untuk kebijakan dan strategi dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing kelapa sawit Indonesia secara berkelanjutan dan berkeadilan. Naskah kebijakan tersebut disusun dengan melakukan review atas strategi dan kebijakan yang saat ini diterapkan untuk masa lima tahun mendatang, yaitu dari 2010-2014. Dukungan pemerintah dalam pengembangan industri pengolahan CPO (termasuk untuk MSM) dituangkan dalam Tujuan, Arah dan Sasaran Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit Tahun 2006 – 2025. Selanjutnya, dalam Kebijakan, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit Tahun 2006 – 2025, dirumuskan kebijakan yang dikhususkan untuk pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit. Dalam naskah tersebut, tertulis bahwa
kebijakan tersebut dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit
Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui: (1) Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5 - 10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; (2) pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi; (3) peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO; (4)
53
fasilitasi pengembangan bio-diesel; dan (5) pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing. Berikutnya, dalam naskah kebijakan yang sama, dituangkan pula kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu (berlaku pula untuk MSM). Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goring di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia. Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil minyak goreng yang jelas dan unsure-unsur pendukungnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).
Kelemahan
a)
Belum berkembangnya minat produsen untuk memproduksi produk hilir minyak sawit Industri pengolahan minyak sawit merah sebagaimana pengolahan produk
hilir CPO lainnya belum berkembang dengan baik di Indonesia. Produsen sawit di Indonesia masih mengutamakan produksi CPO. Menurut Badan Pusat Statistik (2009), ekspor minyak sawit Indonesia yang paling besar adalah dalam bentuk CPO (56%), diikuti berbagai produk olahan sederhana CPO dalam bentuk olein/minyak dan oleokimia dasar (44%). Rincian data ekspor minyak sawit tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), Industri fraksinasi/rafinasi (termasuk di dalamnya industri MSM) menghasilkan nilai tambah yang relatif kecil tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu besar. Pada sisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri minyak makan. Nilai tambah yang diperoleh dari perdagangan eceran (retail) minyak makan cukup besar. Oleh karena itu pengembangan industri ini perlu diarahkan kepada usaha retail minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang terpadu dalam pengembangan minyak goreng/makan (edible oil).
54
Tabel 10
Data ekspor minyak sawit Indonesia Tahun 2009 Ekspor
Jenis Minyak Sawit
Volume (Ton)
Nilai (US$ 000)
Unit price (US$/ton)
CPO
9.566.746 (56,85%)
5.702.126 (55,00%)
596,036
Fraksi minyak sawit mentah, tidak ada modifikasi kimia Minyak Sawit RBD
801.234 (4,76%)
526.903 (5,08%)
657,614
752.017 (4,47%)
480.732 (4,64%)
639,257
Olein RBD
sawit
4.107.638 (24,41%)
2.769.650 (26,71%)
674,268
Stearin RBD
sawit
1.554.304 (9,24%)
862.043 (8,31%)
554,617
47.266 (0,28%)
26.166 (0,25%)
553,590
Minyak sawit jenis lain dan fraksinya yang tidak dimodifikasi secara kimiawi
Negara-negara tujuan ekspor terbesar India, Belanda, Malaysia, Italia, Singapura, Cina Bangladesh, India, Cina
Mesir, Iran, Brazil, Ukraina dan Pakistan Cina, India, Arab Saudi, Bangladesh dan Mesir Cina, Belanda, Malaysia, Italia dan Jerman Jepang, Cina, India, Myanmar dan Pakistan
Badan Pusat Statistik 2010. Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama minyak sawit kurang menarik karena margin yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir sawit. Oleh karena itu, untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit, pemerintah harus dapat memastikan beberapa hal terkait regulasi, seperti perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2011). b)
Terbatasnya infrastruktur terutama tangki timbun di beberapa sentra produksi, listrik, sarana dan prasarana lainnya Produksi MSM dapat dilakukan pada instalasi pengolahan minyak goreng
(minyak sawit RBD) dengan CPO sebagai bahan bakunya. Umumnya, unit pengolahan CPO terletak di dekat perkebunan kelapa sawit namun unit pengolahan RBD berada di kota-kota besar. Beberapa daerah sentra industri
55
minyak goreng meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007). Infrastruktur seperti tangki timbun CPO yang baik dibutuhkan untuk menjaga kualitas CPO sebagai bahan baku. Penurunan mutu pada CPO tentu saja akan berakibat pada produk olahannya, termasuk MSM.
Dengan demikian,
industri minyak goreng dan oleokimia (termasuk industri MSM) perlu didukung oleh infrastruktur fasilitas pelabuhan. Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan
c)
Kurangnya
konsistensi
Pemerintah
dalam
implementasi
Kebijakan
Pendukung Industri Hilir Minyak Sawit Pada aspek kebijakan, beberapa kebijakan perlu diperhatikan, khususnya kebijakan fiskal (perpajakan dan retribusi) dan perijinan investasi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007). Menurut Haryana et al. (2010), peningkatan nilai tambah dan pengembangan produk turunan minyak sawit dihadapkan pada lemahnya kebijakan pemerintah dalam pemberian insentif dan perapan kebijakan. Haryana et al. (2010) menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan pengembangan produk, nilai tambah dan diversifikasi produk yang dihasilkan industri sawit, kebijakan pemerintah dianggap belum optimal.
d)
Kurangnya dukungan litbang terhadap kepentingan dunia usaha terkait pengembangan MSM Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, telah banyak penelitian
mengenai manfaat, potensi, aplikasi dan cara produksi MSM yang dilaksanakan secara ilmiah. Namun, belum banyak penelitian yang mengakomodir kepentingan dan minat dunia usaha untuk perkembangan skala industri. Studi yang dimaksud contohnya berupa studi kelayakan (feasibility) ekonomis dan studi manfaat-biaya (cost benefit analysis). Terkait dengan hal tersebut, Rice dan Burn (2010) mengemukakan bahwa banyak artikel-artikel penelitian yang menyebutkan bahwa MSM merupakan komoditas yang tidak mahal dan tersedia secara luas, tetapi sangat sedikit yang menyediakan informasi rinci mengenai biaya real yang dibutuhkan dalam proses
56
produksi, pengolahan, transportasi serta untuk pemasaran MSM ataupun produk pangan yang difortifikasi dengan MSM. Rice dan Burns (2010) menambahkan bahwa studi-studi tersebut diperlukan sehingga manfaat pengembangan MSM dapat dikalkulasikan secara terperinci. Dalam kaitannya dengan pengembangan MSM untuk mengatasi KVA, studi-studi tekno-ekonomi
tersebut
dapat
digunakan
untuk
mebandingkan
strategi
pengembangan MSM dengan strategi penanggulangan KVA lainnya.
Peluang
a)
Tingginya permintaan terhadap produk-produk berbasis minyak sawit, baik di pasar domestik maupun dunia Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan minyak sawit dicirikan dengan
adanya peningkatan pangsa pasar minyak sawit di pasar internasional dan domestik. Minyak sawit dan produk turunannya menggeser pangsa pasar minyak kedelai dan minyak nabati lainnya. Seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk, perkembangan permintaan pasar produk minyak sawit untuk pangan meningkat secara konsisten. b)
Dapat terciptanya efek berganda akibat pemakaian minyak sawit sebagai bahan baku MSM Pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku industri dapat memberikan
efek berganda. Efek tersebut meliputi: (1) Pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya; (2) Pengembangan wilayah industri; (3) Proses alih teknologi; (4) perluasan lapangan kerja; (5) Perolehan devisa; dan (6) Peningkatan penerimaan pajak. c)
Masih rendahnya tingkat utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit Sebagaimana yang tertera dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025, pada tahun 2008, Indonesia diestimasi memiliki kapasitas pemurnian sebesar 18-22 juta ton CPO. Kapasitas tersebut mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi. Dengan kecenderungan terus meningkatnya produksi CPO di Indonesia, maka akan terjadi gap antara tingkat produksi dengan kapasitas pabrik pengolahan
57
CPO. Dengan berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50% utilisasi), rantai nilai pemurnian mempunyai margin yang rendah (USD 10/ton) jika dibandingkan dengan rantai nilai perkebunan (sekitar USD 350/ton) . Hal itu membuat kurang menariknya pembangunan rantai nilai pemurnian bagi investor. Namun bila pemerintah mampu membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang tepat, hal tersebut dapat menjadi peluang dalam pengembangan produksi MSM di Indonesia. d)
Berkembangnya pasar untuk MSM MSM telah digunakan sebagai sumber pangan ataupun fortifikan untuk
menangani KVA di berbagai negara, seperti Tanzania, Burkina Faso, Honduras dan India (Rice dan Burns 2010). Selain negara-negara tersebut, negara lain yang memiliki masalah KVA dapat menjadi target pemasaran MSM. Potensi India sebagai pasar untuk MSM tersebut sudah mulai dirintis oleh Malaysia dan Indonesia sebagai produsen utama bahan baku MSM harus mengejar hal ini. Terkait hal ini, yang perlu dikembangkan dan diterapkan adalah praktekpraktek yang baik di bidang pertanian, penggilingan dan pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk dan keamanan pangan. Selanjutnya, berkembangnya pasar untuk pengembangan MSM dapat dimotori oleh kecenderungan semakin meningkatnya perhatian terhadap masalah kesehatan dan lingkungan. Meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi, termasuk mengenai kesehatan saat ini secara otomatis telah meningkatkan pula kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Mengingat bahwa MSM memiliki banyak manfaat terhadap kesehatan akibat mikronutrien yang terkandung di dalamnya, maka hal ini dapat dijadikan pendorong untuk mengembangkan industri MSM di Indonesia. Selain terhadap kesehatan, saat ini masyarakat cenderung lebih peduli terhadap
kondisi
lingkungan
hidup.
Sebagai
bentuk
kesadaran
untuk
meminimumkan kerusakan yang telah terjadi di lingkungan, saat ini masyarakat cenderung memilih untuk menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Dari prospek potensi bahan baku, industri
MSM merupakan green industri
dengan bahan baku terbarukan dapat di dorong menjadi industri yang besar.
58
Produk yang dihasilkan merupakan produk yang ramah lingkungan dan baik untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia. e)
Kepentingan pemerintah Indonesia dalam mengatasi KVA Kasus KVA merupakan salah satu kekhawatiran utama pemerintah
Indonesia dalam hal buruknya gizi masyarakat. Pada awal tahun 2012, diestimasi terdapat sekitar sembilan juta balita dan satu juta wanita muda yang kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin tersebut akan menurunkan daya tahan tubuh dan membuat cacat mata. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dorongan bagi produsen minyak goreng untuk melakukan fortifikasi vitamin A ke dalam produk mereka. Kebijakan ini berjalan sejak tahun 2010 dan bersifat sukarela. MSM yang merupakan produk yang kaya akan β-karoten sebagai provitamin A dan memiliki tingkat penyerapan yang tinggi dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kasus KVA di Indonesia. Dengan dukungan pemerintah Indonesia, pengembangan MSM dapat menjadi alternatif solusi yang lebih baik dalam mengatasi KVA.
Ancaman
a)
Kampanye anti minyak sawit di pasar dunia Prospek positif industri kelapa sawit ternyata juga diwarnai dinamika negara
pengimpor minyak sawit yang mengarah pada kampanye negatif kelapa sawit. Dua isu menonjol yang ditampilkan adalah pembangunan kelapa sawit dikaitkan dengan perubahan iklim sebagai akibat dari kerusakan lingkungan (emisi karbon, degradasi lahan dan kehilangan biodiversity) dan juga dikaitkan dengan konflik sosial. Pertumbuhan ekonomi sebagai hasil pengembangan industri kelapa sawit diklaim menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Salah satu perusahaan besar nasional mengalami pembatalan kontrak yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional (Haryana et al., 2010). Hal tersebut dikhawatirkan akan turut mengganggu perkembangan produk-produk olahan dan berbasis minyak sawit, termasuk MSM. Informasi kampanye anti
59
minyak sawit yang berlebihan akan turut mempengaruhi penerimaan konsumen di dalam negeri terhadap produk-produk minyak sawit. b)
Situasi sosial politik dan keamanan yang kurang mendukung Pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit di Indonesia sayangnya
diikuti dengan terjadinya konflik-konflik sosial. Konflik tersebut umumnya terjadi antara pemilik atau pengelola perkebunan sawit dengan penduduk atau pekerja lokal. Hal ini akan terus memicu kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia dan produk-produk turunannya, termasuk MSM sehingga menghambat perkembangan produk-produk tersebut. Masalah sosial yang muncul pada daerah pengembangan kelapa sawit, seperti disarikanoleh Teoh (2010) dari berbagai rujukan berpusat pada pertanyaan tentang pemilikan dan penggunaan lahan serta bagaimana pengalihan haknya. Teoh (2010) mengutip catatan Konsorsium Reformasi Agraria +tentang adanya 32 persen atau 261 konflik dan catatan Sawit Watch tentang adanya 570 konflik. Jiwan (2009) menyatakan bahwa masalah ini terjadi karena sejak era Soeharto hak masyarakat atas lahan memang tidak dikenal. Masyarakat lokal memperoleh perlakuan diskriminatif dalam pemanfaatan barang dan jasa dari ekosistem hutan. Sementara itu, pembangunan kelapa sawit juga dianggap tidak diikuti dengan informasi pembangunan kebun yang transparan sehingga menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat baik konflik horizontal maupun vertikal. Masalah ini pada dasarnya merupakan masalah implementasi karena peraturan perundang-undangan yang ada telah cukup komprehensif. Langkah operasional yang diperlukan adalah respon kebijakan yang jelas dan tegas untuk menghadapi kampanye negatif yang menyatakan bahwa pembangunan kelapa sawit merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial tanpa melihat peran ekonomi kelapa sawit, terutama dalam pengurangan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah dapat memfasilitasi pemanfaatan berbagai fakta dan hasil penelitian yang menunjukkan peran positif kelapa sawit sebagai materi promosi, advokasi dan kampanye publik. Dampak lingkungan dan sosial yang tidak dikehendaki merupakan ekses dan lebih disebabkan oleh masalah penegakan hukum dan manajemen kebun. Seperti diketahui, respon atas kampanye negatif saat ini memang sudah dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan
60
dan pemerintah. Namun, langkah untuk meningkatkan intensitas promosi dan advokasi dalam menghadapi kampanye negatif masih diperlukan. Langkah lain yang sedang dirintis, yaitu penggunaan standar pembangunan kelapa sawit berkelanjutan perlu segera direalisasikan. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan petunjuk pelaksanaan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. ISPO ini dapat dijadikan alat promosi, advokasi dan kampanye publik untuk memperkuat posisi tawar kelapa sawit Indonesia (Haryana et al., 2010). c)
Fluktuasi harga CPO dan produk turunannya Menurut penelusuran studi yang dilakukan, Direktorat Jenderal Industri
Agro dan Kimia (2009), harga CPO di Indonesia masih berfluktuatif. Hal tersebut turut dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan keamanan di Indonesia serta. Selain itu, disinyalir bahwa fluktuasi harga terjadi juga akibat adanya retribusi dan pungutan-pungutan liar di daerah yang sangat tinggi. Fluktuasi harga CPO tentu saja menjadi faktor resiko dalam investasi pada industri produk turunan CPO seperti MSM. d)
Kompetisi dengan minyak dan lemak sumber mikronutrien lainnya MSM merupakan sumber β-karoten alami yang paling tinggi dan relatif
mudah terserap di tubuh karena sudah terlarut dalam fase minyak. Namun demikian, produk-produk sumber mikronutrien sejenis seperti sumber vitamin A yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat adalah minyak ikan. Karena sudah lebih dulu dikenal di masyarakat, maka tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk tersebut akan lebih kuat terhadap produk baru seperti MSM. e)
Resiko penerimaan konsumen terhadap MSM Faktor utama yang akan menentukan keberhasilan MSM adalah tentu saja
penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Karena MSM akan digunakan sebagai produk antara, harus ditargetkan terlebih dahulu dengan seksama mengenai produk akhir yang akan dihadapkan pada konsumen. Produk akhir tersebut tentu saja harus memiliki akseptabilitas yang baik di masyarakat,
61
sehingga manfaat pengembangan MSM dapat dicapai. Dengan demikian, faktor organoleptik serta harga harus diperhatikan.
4.3.2.2 Identifikasi pemangku kepentingan Berdasarkan isu-isu strategis terkait pengembangan industri MSM di Indonesia yang telah dikemukakan pada tahapan analisis SWOT, maka berikut ini akan dilakukan identifikasi pemangku kepentingan yang terkait dalam kegiatan pengembangan industri MSM di Indonesia. Secara umum, pemangku kepentingan yang terlibat tersusun dari empat komponen utama, yaitu unsur pemerintah, akademisi, industri serta komunitas. Berikut adalah penjelasan mengenai pemangku kepentingan tersebut. a)
Pemerintah Unsur pemerintah yang berkepentingan dalam pengembangan industri MSM
di Indonesia secara umum meliputi unsur pembuat kebijakan (birokrasi), litbang dan perbankan/permodalan. Dari unsur birokrasi pemerintah, badan yang terlibat adalah BAPPENAS, Dirjen Perkebunan, Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Keuangan serta Departemen Perdagangan. Selanjutnya dari unsur litbang, yang terlibat adalah Dirjen Industri Agro dan Kimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, RPN, LIPI, BPPT. Adapun dari unsur yang memiliki kewenangan dalam hal perbankan/permodalan adalah Departemen Keuangan, Kementerian Negara BUMN, Kementerian KUKM dan Bank Indonesia. Selain unsur-unsur
tersebut,
Kabupaten/Kota)
pihak
juga
Pemerintah
berkepentingan
Daerah
dan
(tingkat
harus
Propinsi
mendukung
dan
program
pengembangan ini. Dalam aspek pembuatan kebijakan, pihak pemerintah harus mendukung implementasi kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan industri MSM.
Pemerintah
juga
memiliki
kewenangan
dalam
mengembangkan
infrastruktur pendukung industr MSM. Kebijakan yang terkait dengan pendanaan dan permodalan yang perlu diperhatikan antara lain adalah perbaikan regulasi, insentif serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit. Menurut studi yang dilakukan oleh Suprihatini et al. (2004), terdapat empat faktor kebijakan kunci yang
62
berpengaruh terhadap percepatan pengembangan industri hilir sawit, yaitu: (1) penerapan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen; (2) Insentif investasi; (3) kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir sawit; dan (4) konsistensi dukungan pemerintah. Selain itu, dukungan dan fasilitasi pendanaan dari pemerintah melalui skema kredit khusus untuk pengusaha skala kecilmenengah
pengolahan
MSM
diyakini
dapat
mendorong
iklim
positif
perkembangan MSM di Indonesia. Dalam konteks litbang, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan anggaran dan investasi litbang dan kerjasama litbang antara pemerintah, swasta dan perguruan tinggi. Pemerintah diharapkan dapat juga mengarahkan arah penelitian yang terpadu sehingga tidak saling berulang dan tumpang tindih serta lebih mengakomodir riset ke arah komersialisasi MSM. Selain elemen-elemen tersebut di atas, dibutuhkan penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui penciptaan rasa aman dan kepastian hukum bagi para investor. Dukungan ini terutama diharapkan dari departemen/kementerian yang menangani masalah hokum, Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Potensi pemanfaatan CPO untuk industri hilir seperti industri MSM mempunyai nilai tambah yang sangat tinggi dan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang sangat signifikan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah mendorong agar Indonesia tidak hanya menjadi pemain marjinal melalui ekspor CPO, tetapi turut mengembangkan produk-produk turunan yang mempunyai nilai tambah tinggi seperti MSM. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri MSM diantaranya dapat meliputi: (1) penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya;
(2) pertumbuhan subsektor
ekonomi lainnya; (3) pengembangan wilayah industri; (4) proses alih teknologi; (5) perluasan lapangan kerja; (6) penghematan devisa; dan (7) peningkatan penerimaan pajak bagi pemerintah (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia 2009). Mengingat besarnya potensi kontribusi industri MSM bagi peningkatan kesejahteraan di Indonesia, maka sepatutnya pemerintah benar-benar menangani pengembangan ini dengan seksama dan sungguh-sungguh.
63
b)
Akademisi Pihak akademisi dari berbagai perguruan tinggi, terutama yang memiliki
fakultas pertanian, teknologi pertanian ataupun sosial ekonomi pertanian telah banyak memproduksi penelitian terkait pengembangan industri hilir sawit. Dalam kaitannya dengan pengembangan industri MSM, pihak akademisi memiliki kapasitas untuk menentukan studi-studi mana yang dapat digunakan dalam usaha pengembangan. Selain itu, pihak akademisi dapat berpatisipas memberikan arahan dalam pengembangan studi-studi kedepannya yang dibutuhkan. Sebagaimana yang teridentifikasi pada analisis SWOT, saat ini dirasakan bahwa studi-studi MSM ke arah analisis feasibility dan cost-benefit masih kurang. Bila industri MSM sudah mulai berkembang di Indonesia, dukungan riset untuk memajukan industri tetap diperlukan. Dukungan akademisi dalam mempersiapkan SDM yang terlatih dan terampil untuk terlibat dalam pengembangan MSM di Indonesia juga vital. c)
Industri Pihak industri yang dimaksudkan dalam konteks pengembangan MSM ini
adalah pengusaha dan juga gabungan pelaku usaha (seperti Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI). Bila didukung oleh kebijakan pemerintah dan iklim usaha yang kondusif, pihak industri akan mendapatkan keuntungan berlipat dalam memasarkan produk MSM. Produk MSM dengan kandungan mikronutrien yang baik bagi kesehatan dan bersifat ramah lingkungan memiliki nilai tambah yang lebih besar daripada CPO. Namun saat ini, umumnya pihak industri masih memiliki kecenderungan pesimis dalam produksi MSM (serta produk hilir sawit lainnya). Selain kebijakan seperti penerapan PPN 10 persen, insentif investasi, harmonisasi tarif bagi produk hilir sawit dan konsistensi dukungan pemerintah; kemudahan dalam akses instalasi pemurnian CPO yang dapat diunakan sebagai unit pengolah MSM selayaknya dipermudah oleh pemerintah untuk meningkatkan marjin MSM dan produk hilir sawit lainnya. d)
Komunitas Unsur komunitas yang terlibat dalam pengembangan industri MSM di
Indonesia meliputi masyarakat, asosiasi serta lembaga masyarakat seperti LSM.
64
Masyarakat dipercaya akan medapatkan manfaat dari kegiatan pengembangan industri MSM di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pengembangan MSM yang merupakan pembangunan industri hilir kelapa sawit memiliki efek berganda seperti perluasan lapangan kerja. Selain itu, dengan dukungan promosi dan kemuydahan akses dari pemerintah, pemanfaatan MSM dapat mengatasi kasus KVA di masyarakat Indonesia. Asosiasi perminyaksawitan Indonesia dikelompokkkan ke dalam elemen komunitas karena umumnya asosiasi tersebut disusun dari pakar-pakar dari elemen gabungan (akademisi, pemerintah dan pelaku usaha). Beberapa asosiasi minyak sawit yang ada di Indonesia adalah Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) dan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI). Karena sifatnya yang multi-elemen dan beranggotakan pakar, asosiasi memiliki peran kuat dalam turut menyumbangkan pemikiran komprehensif dalam pengembangan kebijakan yang dibutuhkan untuk memajukan industri MSM di Indonesia. Keberadaan dan peran LSM dalam pengembangan industri MSM juga perlu diperhatikan. Pemerintah, akademisi dan juga pihak industri hendaknya membina hubungan yang baik dengan LSM agar masyarakat tidak diprovokasi untuk bersifat antipasti terhadap MSM dan produk hilir sawit lainnya. Pemerintah didukung dengan akademisi dan industri juga senantiasa melakukan promokasi, advokasi dan kampanye publik mengenai mnfaat dan dampak positif pengembangan MSM agar masyarakat Indonesia tidak terhasut untuk bersifat negatif.
4.3.3 Analisis Permasalahan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis SWOT juga analisis pemangku kepentingan, diidentifikasi
bahwa
permasalahan utama
yang
menghambat pengembangan industri MSM di Indonesia adalah belum adanya industri pengolahan MSM komersial di Indonesia. Permasalahan utama tersebut terjadi karena produksi dan ekspor CPO dianggap lebih aman
dan
menguntungkan serta kurangnya promosi, diseminasi dan advokasi tentang potensi pengembangan industri MSM. Adanya pemikiran mengenai keunggulan produksi dan ekspor CPO dibandingkan MSM diduga terutama karena: (1) terbatasnya informasi mengenai biaya-manfaat, feasibility dari riset-riset ilmiah;
65
(2) terbatasnya informasi mengenai kepastian penerimaan pasar terhadap MSM; serta (3) kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pengembangan MSM. Rendahnya nilai tambah minyak sawit Penggunaan fortifikan vitamin A impor Minimnya pengembangan dan pemanfaatan varietas sawit dengan karakteristik unggul sebagai bahan baku MSM
Rendahnya marjin produk hilir minyak sawit dibandingkan dengan CPO
Terbatasnya opsi produk pangan alami dan berbasis komoditas lokal sebagai alat penanganan KVA
Rendahnya utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit
Belum adanya industri pengolahan MSM komersial di Indonesia
Kurangnya promosi, diseminasi dan advokasi tentang potensi pengembangan industri MSM dari pemerintah
Terbatasnya info mengenai biaya-manfaat, feasibility dari riset-riset ilmiah
Produksi dan ekspor CPO dianggap lebih aman dan menguntungkan
Kebijakan-kebijakan pemerintah kurnag mendukung iklim kondusif pengembangan MSM
Minimnya informasi dan ekspolorasi varietas unggul yang dapat melipatgandakan nilai tambah MSM
Terbatasnya info mengenai kepastian penerimaan pasar terhadap MSM
Gambar 11. Pohon permasalahan kasus pengembangan industri MSM di Indonesia Adapun permasalahan utama yang timbul akibat permasalahan inti adalah: (1) rendahnya utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit; (2) terbatasnya opsi produk pangan alami dan berbasis komoditas lokal sebagai alat penanganan KVA; serta (3) minimnya pengembangan dan pemanfaatan varietas sawit dengan karakteristik unggul sebagai bahan baku MSM. Terbatasnya opsi produk untuk mengatasi KVA akan menyebabkan penggunaan fortifikan vitamin A impor. Sementara itu, rendahnya utilisasi pengolahan minyak sawit diduga akan mengakibatkan rendahnya marjin produk hilir minyak sawit dibandingkan dengan CPO sehingga berujung pada rendahnya nilai tambah minyak sawit. Keterkaitan permasalahan tersebut dapat dilihat pada Pohon Permasalahan (Gambar 12).
66
4.3.4 Analisis Tujuan Keluaran utama dari tahapan analisis tujuan adalah pohon tujuan (objective tree). Analisis tujuan dilakukan dengan merubah pernyataan negatif pada pohon permasalahan menjadi pernyataan positif sehingga berbentuk solusi yang ingin dicapai. Pohon tujuan untuk pengembangan industri MSM di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13. Meningkatnya nilai tambah dan efek berganda dari minyak sawit Indonesia
Terbangunnya industri pengolahan MSM komersial di Indonesia
Meningkatnya kegiatan diseminasi, promosi dan advokasi tentang potensi & pengembangan industri MSM dari pemerintah
1. Terjalinnya jaringan litbang dan komunikasi yang baik antar unsur akademisi- pemerintahindustri terkait pengembangan MSM 2. Tersusun & terimplementasikannya agenda komunikasi bersama terkait pengembangan MSM 3. Pembuatan & penayangan iklan di media tingkat nasional 4. Pembuatan & penayangan tayangan edukasi/dokumentar mengenai potensi pengembangan MSM
Meningkatnya minat pengusaha untuk mengembangkan industri produk hilir minyak sawit (khususnya MSM)
1. Terlaksananya studistudi ilmiah mengenai aspek biaya-manfaat, feasibility kegiatan pengembangan MSM 2. Terlaksananya studistudi ilmiah mengenai preferensi dan penerimaan konsumen terhadap MSM 3. Terbangunnya kepastian implementasi kebijakankebijakan pemerintah yang mendukung iklim kondusif pengembangan MSM secara konsisten
Meningkatnya informasi & eksplorasi varietas unggul yang dapat melipatgandakan nilai tambah MSM
1. Terlaksananya peningkatan kualitas dan konsistensi karakteristik unggul tanaman sawit unggul melalui riset-riset bidang hulu 2. Terlaksana dan terpublikasikannya hasilhasil riset ekspolorasi karakteristik varietas unggul hasil persilangan 3. Diberikannya dukungan pemerintah dalam hal pelaksanaan, pemeliharaan dan publikasi hasil riset
Gambar 12. Pohon tujuan kasus pengembangan industri MSM di Indonesia 4.3.5 Analisis Alternatif Strategi Pengembangan Tahapan analisis alternatif strategi pengembangan dilakukan untuk memilah tujuan dan permasalahan utama yang akan ditindaklanjuti dalam tahapan LFA
67
selanjutnya. Umumnya, tidak semua permasalahan dan tujuan yang teridentifikasi dapat
dilibatkan
dalam
matriks
LFA karena
akan
membuat
kegiatan
pengembangan kurang fokus dan rinci. Penyusunan alternatif strategi pengembangan yang dilakukan di penelitian ini dilaksanakan melallui kegiatan studi literatur serta diskusi dengan pakar. Bahan-bahan yang dijadikan bahan pertimbangan adalah hasil-hasil yang diperoleh pada tahapan LFA sebelumnya, terutama dari hasil analisis SWOT. Beberapa langkah yang dilakukan dalam analisis alternatif strategi pengembangan yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) identifikasi ‗kegiatan-tujuan‘ pada pohon tujuan yang dapat dijadikan alternatif strategi; (2) eliminasi tujuan yang tidak diinginkan atau sulit untuk dicapai; (3) eliminasi tujuan yang dapat dicapai oleh pengembangan kegiatan lain yang sejenis; (4) diskusi implikasi yang mungkin diterima oleh grup target kegiatan pengembangan; (5) menguji kelayakan/feasibility dari alternative-alternatif strategi pengembangan; dan (6) memilih salah satu alternative strategi sebagai strategi kegiatan pengembangan.
4.3.6 Penyusunan Matriks Logical Framework (Logframe Matrix) Tahapan terakhir dalam analisis LFA adalah penyusunan logframe matrix (matriks LFA). Pada matriks yang disusun tersebut disajikan secara sistematis dan terfokus mengenai kegiatan, indikator, perangkat verifikasi dan asumsi yang dibutuhkan dalam kegiatan pengembangan industri MSM di Indonesia. Kolom asumsi pada bagian kanan matriks dimaksudkan sebagai hal-hal pada kondisi eksternal yang perlu dipenuhi agar logika vertikal pada matriks dapat terlaksana. Matriks LFA untuk pengembangan industri MSM di Indonesia yang disusun pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11.
Activities: 1. Membangun kepastian implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung iklim kondusif pengembangan MSM secara konsisten
Terbangunnya opini bahwa produksi dan ekspor CPO rendah keuntungannya
Output:
Purpose/outcome: Terbangunnya industri pengolahan MSM komersial di Indonesia
Goal/Impact: Meningkatnya nilai tambah dan efek berganda dari minyak sawit Indonesia, terutama untuk kesejahteraan rakyat
Deskripsi Kegiatan
1.1. Respon positif dari pelaku industri mengenai pemberlakuan, kebijakan PPN dan insentif investasi
1. Meningkatnya minat investasi pada industri pengolahan MSM 2. Meningkatnya permintaan kredit untuk pembangunan unit pengolahan MSM
1. Peningkatan angka produksi MSM 2. Peningkatan jumlah pabrik pengolah MSM 3. Meningkatnya nilai utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit dari angka 49%
1. Pertumbuhan sub-sektor ekonomi lainnya 2. Perluasan lapangan kerja 3. Peningkatan penerimaan pajak 4. Berkurangnya angka masyarakat KVA akibat konsumsi MSM
Indikator
Tabel 11. Matriks LFA untuk pengembangan MSM di Indonesia
68
1.1. Data survey kepada pihak pelaku industri atau calon pelaku industri
1. Data survey investasi yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha 2. Data nilai kredit dari bank BUMN
1. Data kisaran jumlah produksi MSM 2. Data produsen produk hilir minyak sawit 3. Data utilisasi kapasitas pengolahan minyak sawit tahunan
1. Data pertumbuhan ekonomi di Indonesia 2. Data lapangan kerja di industri hilir minyak sawit 3. Data penerimaan pajak 4. Data hasil survey intervensi KVA dengan MSM
Perangkat Verifikasi
1.1. Transparansi dan integritas aparat yang terlibat sudah dapat dipastikan baik
1. Sudah ada skema pemberian kredit yang kondusif bagi calon pelaku industri MSM
1. Ada kemudahan yang diberikan bagi pelaku industri untuk mengakses instalasi pengolahan minyak yang idle 2. Peralatan pada pemurnian minyak dapat digunakan dalam pengolahan MSM
1. Pertumbuhan industri MSM tercatat dengan baik 2. Ada skema dari pemerintah mengenai penggunaan MSM untuk menanggulangi kasus KVA di Indonesia
Asumsi
5. Dikeluarkannya kebijakan top down untuk pengembangan dan pemanfaatan bibit unggul yang disertai dengan pemberian insentif
4. Dijalinnya jaringan litbang dan komunikasi yang baik antar unsur akademisi- pemerintah-industri terkait pengembangan MSM
2. Dilaksanakannya studi-studi ilmiah yang mengakomodir kepentingan pihak industri (misal: mengenai aspek biayamanfaat, feasibility , preferensi konsumen terhadap kegiatan pengembangan MSM) 3. Dilaksanakannya peningkatan kualitas, konsistensi karakteristik unggul tanaman sawit unggul melalui riset-riset bidang hulu
Deskripsi Kegiatan
5.1. Adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengembangkan bibit unggul yang dikembangkan
3.1. Data publikasi artikel ilmiah 3.2. Data produkstivitas tanaman dari kebun sawit yang menanam kela sawit unggul
3.1. Meningkatnya publikasi artikel ilmiah mengenai aspek pengembangan varietas unggul, termasuk potensinya sebagai bahan baku MSM 3.2. Meningkatnya produktivitas tanaman sawit unggul di perkebunan 4.1. Meningkatnya kerjasama riset dan promosi hasil riset MSM yang melibatkan unsur akademisi, pemerintah dan plaku usaha 4.2 Data rumusan kebijakan
4.1 Data publikasi artikel ilmiah
2.1. Data publikasi artikel ilmiah
Perangkat Verifikasi
2.1. Meningkatnya publikasi artikel ilmiah mengenai aspek kelayakan usaha industri MSM
Indikator
Sudah disiapkan perangkat insentif yang akan diberikan bagi pihak swasta yang melaksanakan kebijakan top down yang dimaksud Pre-condition: Pemerintah telah memastikan kebijakan yang mendukung pengembangan industri MSM sebagai salah satu bentuk industri hilir yang potensial untuk dikembangkan. Kebijakan tersebut juga telah mengakomodir kepentingan-kepentingan pihak lain seperti pelaku usaha, akademisi dan komunitas.
Pihak pemerintah, akademisi dan pelaku usaha memiliki visi, misi dan basis rencana (roadmap) yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Sudah ada studi pendahuluan yang menjustifikasi keunggulan tekno-ekonomi penggunaan varietas ini sebagai bahan baku MSM
Riset yang dilakukan memang berdasarkan permintaan pihak pelaku usaha
Asumsi
69
70
4.4
Penentuan Kebijakan Sebagai Langkah Utama Pengembangan MSM di Indonesia Berdasarkan matriks LFA yang berhasil disusun (Tabel 12), dapat dilihat
bahwa terdapat empat aktivitas utama yang perlu diimplementasikan dalam usaha pengembangan MSM di Indonesia. Keempat kegiatan tersebut adalah: (1) Membangun
kepastian implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mendukung iklim kondusif
pengembangan MSM secara konsisten; (2)
Dilaksanakannya studi-studi ilmiah yang mengakomodir kepentingan pihak industri (misal: mengenai aspek biaya-manfaat, feasibility , preferensi konsumen terhadap kegiatan pengembangan MSM); (3) Dilaksanakannya peningkatan kualitas, konsistensi karakteristik unggul tanaman sawit unggul melalui riset-riset bidang hulu serta peningkatan produksi dan kualitas pemeliharaannya; dan (4) Dijalinnya jaringan litbang dan komunikasi yang baik antar unsur akademisipemerintah-industri terkait pengembangan MSM; dan (5) Dikeluarkannya kebijakan top down untuk pengembangan dan pemanfaatan bibit unggul yang disertai dengan pemberian insentif. Berdasarkan kegiatan diskusi, diputuskan bahwa perlu dipilih satu dari lima kegiatan yang tersusun tersebut sebagai suatu kebijakan yang dapat dilaksanakan sebagai langkah utama dan langkah awal pengembangan. Kegiatan yang dipilih sebagai kebijakan yang perlu diambil adalah perumusan dan eksekusi kebijakan top down untuk pengembangan dan pemanfaatan bibit unggul yang disertai dengan pemberian insentif. Pemilihan kegiatan tersebut sebagai kebijakan awal adalah didasarkan halhal berikut: (1) potensi yang sangat tinggi dari tanaman yang tidak dimiliki tanaman sawit di negara lain; (2) MSM yang dihasilkan dari tanaman unggul tersebut akan menjadi leader di pasarnya karena karakteristik unggulan yang belum dapat ditandingi itu; (3) MSM unggul yang dikembangkan dapat mengatasi kasus gizi (KVA) di Indonesia dan membantu menghilangkan kegiatan impor premix
Vitamin
A;
sehingga
akhirnya
(4)
dapat
mengasilkan
efek
berganda/multiplier pada sub-sektor ekonomi lainnya di Indonesia. Untuk memastikan tercapainya tujuan kebijakan, maka kebijakan perlu diambil secara top down oleh pihak pemerintah.
Pengambil kebijakan perlu
71
mengkoordinasikan elemen-elemen stakeholder lain yang terkait dari hulu ke hilir dan tidak hanya dari sektor perkebunan dan pertanian. Langkah awal dalam kebijakan tersebut secara nyata adalah berupa instruksi kepada PTPN XIII (pihak yang saat ini memiliki tanaman sawit unggul) untuk melakukan usaha-usaha pengembangan kondisi pemeliharaan dan perbanyakan tanaman. Pada saat yang bersamaan, perlu dilakukan pula kegiatan stimulasi badan penelitian yang kompeten untuk mengembangkan riset pengembangan kualitas bibit unggul tanaman kelapa sawit tersebut.