25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini berwarna putih keperakan dengan sedikit warna merah di sisi sirip-siripnya. Pengukuran morfometrik dilakukan untuk mengetahui panjang, tinggi dan bobot ikan patin. Hasil pengukuran morfometrik pada 30 sampel ikan patin menunjukkan bahwa sampel patin memiliki panjang rata-rata 35,55 ± 2,83 cm, tinggi 4,85 ± 0,74 cm dan bobot sebesar 397,13 ± 36,06 gram (Tabel 2). Data hasil pengukuran morfometrik ikan patin disajikan pada Lampiran 1. Ikan patin yang digunakan berumur 5-6 bulan, dengan panjang rata-rata 35,55 cm. Hasil ini sejalan dengan Khairuman 2002 dalam Tababaka 2004 yang menyatakan bahwa panjang tubuh ikan patin saat usia 6 bulan sekitar 35-40 cm dan bisa mencapai 120 cm. Tabel 2 Ukuran dan bobot ikan patin (Pangasius hypophthalmus) No. Parameter Satuan Nilai ± SD 1 Panjang cm 35,55 ± 2,83 2 Tinggi cm 4,85 ± 0,74 3 Bobot gram 397,13 ± 36,06 Keterangan : digunakan 30 sampel ikan patin
Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol yaitu makanan dan suhu (Effendi 1997). 4.2 Rendemen Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Rendemen merupakan bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan (biasanya dinyatakan dalam persen). Tubuh ikan patin terdiri atas beberapa bagian penting yaitu daging, kulit dan jeroan, sedangkan bagian lain-lain adalah kepala dan tulang. Rendemen masing-masing bagian tubuh ikan patin disajikan pada Gambar 8.
26
Daging
43.28%
38.56%
Kulit Jeroan Lain-lain
14.47% 3.73%
Gambar 8 Rendemen ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan patin adalah bagian lain selain daging yaitu sebesar 43,28% yang merupakan bagian kepala dan tulang. Umumnya bagian kepala dan tulang ikan patin belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kepala ikan patin dapat diolah menjadi produk lanjutan, contohnya kerupuk, sedangkan tulang ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium, untuk pembuatan tepung ikan dan pembuatan pupuk karena mengandung kalsium tinggi dan kolagen. Daging ikan patin berbentuk fillet (Gambar 9) merupakan bagian yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini, dengan rendemen sebesar 38,56%. Bagian kulit dan jeroan ikan patin memiliki rendemen sebesar 3,73% dan 14,43%. Kulit dan jeroan ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk penerapan proses produksi tanpa limbah (zero waste), kulit untuk pembuatan gelatin, sedangkan jeroan dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi pupuk. Gelatin adalah bahan hidrogel dari polimer alami yang diekstrak dari tulang dan kulit berbagai jenis binatang (Maddu et al. 2006). Haq (2005) telah melakukan pembuatan gelatin dengan memanfaatkan kulit ikan nila dan kulit ikan tuna.
a
b
Gambar 9 Daging fillet ikan patin segar (a) dan goreng (b)
27
4.3 Komposisi Kimia Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Hasil analisis kimia memberikan informasi tentang kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat ikan patin yang digunakan pada penelitian ini (Tabel 3). Perhitungan lengkap proksimat ikan patin dicantumkan pada Lampiran 2. Tabel 3 Hasil analisis proksimat ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Patin segar (%) Patin goreng (%) Komposisi Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering (bb) (bk) (bb) (bk) Air 82,27 63,56 Abu 0,77 4,34 0,91 2,50 Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14 Protein 15,07 84,99 19,45 53,37 Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98 4.3.1 Kadar air Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam daging ikan patin segar dan goreng. Kadar air pada daging patin segar yaitu 82,27% dan daging patin goreng 63,56% (Gambar 10). Terjadi penurunan kadar air pada daging patin goreng dengan perubahan relatif sebesar 22,74%.
Kadar air (%)
100
82.27
80
63.56
60 40 20 0 Patin segar
Patin goreng
Gambar 10 Histogram kadar air daging ikan patin Daging patin segar memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging patin goreng. Penurunan kadar air tersebut disebabkan oleh terjadinya penguapan air pada daging ikan patin saat digoreng. Penggorengan yang terjadi pada suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan sebagian
28
air dalam bahan pangan (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Saat daging ikan digoreng, terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke daging melalui media pindah panas, yaitu minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, daging patin akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Domiszewski et al. (2011), yang melakukan penelitian mengenai pengaruh pemanasan terhadap asam lemak ikan patin, memperoleh hasil kadar air daging patin segar dan goreng sebesar 81,57% dan 63,28%. Penggorengan yang dilakukannya pada suhu 180 ˚C selama 6 menit, memberikan hasil yang relatif sama dengan penelitian ini yang menggunakan suhu 190 ˚C selama 5 menit. 4.3.2 Kadar abu Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Hasil analisis kadar abu pada daging patin segar adalah sebesar 0,77% dan daging patin goreng sebesar 0,91% (Gambar 11). Data menunjukkan terjadinya perubahan proporsional kadar abu pada daging patin goreng, yaitu meningkat sebesar 18,18%.
0.91
Kadar abu (%)
1 0.8
0.77
0.6 0.4 0.2 0 Patin segar
Patin goreng
Gambar 11 Histogram kadar abu daging ikan patin Setiap bahan pangan memiliki kadar abu yang berbeda-beda, yang menunjukkan mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut berbedabeda. Kadar abu ikan patin relatif berbeda dengan kadar abu catfish lainnya, mengacu pada Nurilmala et al. (2009) yang melaporkan bahwa kadar abu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 1,47%. Variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antarindividu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh
29
satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009). 4.3.3 Kadar protein Hasil analisis proksimat untuk kadar protein menunjukkan bahwa ikan patin termasuk ikan berprotein tinggi. Kadar protein daging patin segar dan daging patin goreng adalah 15,07% dan 19,45% (Gambar 12). Ikan dikategorikan sebagai ikan berprotein tinggi jika ikan tersebut memiliki kandungan protein sebesar 15-20% (Junianto 2003).
Kadar protein (%)
30 20
19.45 15.07
10 0 Patin segar
Patin goreng
Gambar 12 Histogram kadar protein daging ikan patin Kadar protein daging patin setelah digoreng meningkat secara relatif sebesar 29,06%. Peningkatan kadar protein terjadi secara proporsional setelah penggorengan diakibatkan oleh pengurangan kadar air (Syarief dan Halid 1993). Daging patin yang telah melalui proses penggorengan memiliki kandungan air yang lebih kecil dibandingkan dengan daging patin segar, sehingga persentasi kadar protein dalam daging meningkat secara proporsional. Berdasarkan hasil penelitian Nurilmala et al. (2009), kadar protein jenis catfish lainnya yaitu lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 17,71%. Kedua jenis ikan ini merupakan ikan berprotein tinggi dengan kadar protein sebesar 15-20%. 4.3.4 Kadar lemak Analisis kadar lemak yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan patin merupakan ikan berlemak rendah. Daging patin segar memiliki kadar lemak sebesar 0,36% dan daging patin goreng sebesar 7,34% (Gambar 13). Ikan dengan kandungan lemak <5% termasuk ikan berlemak rendah (Junianto 2003).
30
7.34
Kadar lemak (%)
8 6 4 2 0.36 0 Patin segar
Patin goreng
Gambar 13 Histogram kadar lemak daging ikan patin Peningkatan kadar lemak daging patin goreng yang sangat signifikan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan sebagai media pindah panas pada saat menggoreng ikan, terserap oleh daging patin sehingga kandungan lemak yang terdapat pada minyak goreng juga ikut terserap. Bahan pangan akan menyerap sejumlah minyak selama penggorengan. Penyerapan yang berlebihan dapat dikurangi dengan meniriskan bahan pangan yang baru digoreng (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2000). Berbeda dengan hasil penelitian ini, Domiszewski et al. (2011) melaporkan bahwa kadar lemak daging patin segar adalah 2,23% dan daging patin goreng 9,65%. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antara individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009). 4.3.5 Kadar karbohidrat Analisis kadar karbohidrat daging ikan patin dilakukan dengan metode by difference. Kadar karbohidrat yang terkandung pada daging patin segar adalah sebesar 1,53% dan daging patin goreng sebesar 8,74% (Gambar 14). Okuzumi dan Fuzii (2000) menyatakan bahwa kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan sebesar 1% untuk ikan, 1% untuk krustasea dan 1-8% untuk kekerangan.
Kadar karbohidrat (%)
31
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8.74
1.53
Patin segar
Patin goreng
Gambar 14 Histogram kadar karbohidrat daging ikan patin Penelitian Maghfiroh (2000) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat ikan patin adalah 1,43%. Dalam bahan pangan, keberadaan karbohidrat kadangkala tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan zat gizi lain, contohnya protein dan lemak. Selain itu, dapat juga mengandung diktiosom daging yang merakit komponen karbohidrat. Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen, terdiri atas glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya. 4.4 Komposisi Asam Lemak Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Analisis asam lemak daging patin segar dan goreng menunjukkan bahwa ikan patin mengandung asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA). Identifikasi tiap komponen asam lemak dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Retention time merupakan waktu yang diperlukan oleh sampel mulai dari saat injeksi sampai sampel mencapai peak maksimum (Riyadi 2009). Pada peak asam lemak sampel, dihasilkan nilai retention time yang mendekati nilai retention time standar asam lemak. Nilai retention time asam lemak sampel dan standar yang digunakan pada penelitian ini dicantumkan pada Lampiran 3. Kromatogram asam lemak sampel daging ikan patin dan standar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 15, 16 dan 17.
32
Gambar 15 Kromatogram standar asam lemak
Gambar 16 Kromatogram hasil analisis asam lemak daging patin segar
33
Gambar 17 Kromatogram hasil analisis asam lemak daging patin goreng Analisis asam lemak dengan GC menunjukkan bahwa daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak yang terdiri atas 11 jenis SFA, 8 jenis MUFA dan 11 jenis PUFA. Daging patin goreng mengandung 24 jenis asam lemak, terdiri atas 12 jenis SFA, 4 jenis MUFA dan 8 jenis PUFA. Perhitungan asam lemak daging ikan patin dicantumkan pada Lampiran 4 dan hasil akhir disajikan pada Tabel 4. Daging patin segar mengandung asam lemak sebesar 61,64% dan daging patin goreng 79,73%. Asam lemak daging patin goreng meningkat secara relatif sebesar 29,35%. Perubahan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang menggunakan minyak goreng, dimana proses termal yang terjadi dan kadar asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin. Hasil analisis asam lemak minyak goreng yang digunakan dalam penelitian ini dicantumkan pada Tabel 5 dan kromatogramnya disajikan pada Gambar 18.
34
Tabel 4 Komposisi asam lemak daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus) No. Asam lemak Patin segar Patin goreng (%) (%) 1 Asam kaprilat (C8:0) n.d 0,02 2 Asam kaprat (C10:0) n.d 0,02 3 Asam laurat (C12:0) 0,17 0,21 4 Asam miristat (C14:0) 0,82 0,75 5 Asam miristoleat (C14:1) 0,02 n.d 6 Asam pentadekanoat (C15:0) 0,07 0,04 7 Asam palmitat (C16:0) 18,20 28,92 8 Asam palmitoleat (C16:1) 0,36 0,17 9 Asam heptadekanoat (C17:0) 0,13 0,08 10 Asam heptadekanoat (C17:1) 0,11 n.d 11 Asam stearat (C18:0) 4,09 3,05 12 Asam elaidat (C18:1n9) 0,16 0,08 13 Asam oleat (C18:1n9) 22,16 35,14 14 Asam linolelaidat (C18:2n9) 0,03 n.d 15 Asam linoleat (C18:2n6) 8,00 9,61 16 Asam arakhidat (C20:0) 0,24 0,28 17 Asam linolenat (C18:3n6) 0,05 0,04 18 Asam eikosenoat (C20:1) 0,52 0,14 19 Asam linolenat (C18:3n3) 0,29 0,15 20 Asam heneikosanoat (C21:0) 0,02 n.d 21 Asam eikosedienoat (C20:2) 0,34 0,10 22 Asam behenat (C22:0) 0,14 0,05 23 Asam eikosetrienoat (C20:3n6) 0,68 0,04 24 Asam erukat (C22:1n9) 0,08 n.d 25 Asam eikosetrienoat (C20:3n3) 0,02 n.d 26 Asam arakhidonat (C20:4n6) 1,59 0,10 27 Asam trikosanoat (C23:0) 0,04 0,02 28 Asam dokosadienoat (C22:2) 0,02 n.d 29 Asam lignoserat (C24:0) 0,16 0,06 30 EPA (C20:5n3) 0,39 0,47 31 Asam nervonat (C24:1) 0,12 n.d 32 DHA (C22:6n3) 2,65 0,19 Keterangan : n.d = not detected (tidak terdeteksi)
Data menunjukkan bahwa minyak goreng yang digunakan mengandung 15 jenis asam lemak, terdiri atas 9 jenis SFA, 3 jenis MUFA dan 3 jenis PUFA, dimana kandungan ini mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin setelah mengalami penggorengan.
35
Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak goreng No. Kelompok Jenis asam lemak asam lemak 1 Asam lemak jenuh Palmitat Stearat Miristat Arakhidat Laurat Heptadekanoat Behenat Pentadekanoat Kaprat 2 Asam lemak tak Oleat jenuh tunggal Palmitoleat Eikosenoat 3 Asam lemak tak Linoleat jenuh majemuk Linolenat Eikosedienoat
Kadar asam lemak (%) 26,00 3,02 0,72 0,27 0,12 0,07 0,05 0,03 0,01 32,28 0,14 0,11 10,88 0,16 0,05
Gambar 18 Kromatogram hasil analisis asam lemak minyak goreng
36
4.4.1 Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA) Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap. Daging ikan patin termasuk salah satu jenis ikan dengan kandungan asam lemak yang tinggi. Mengacu pada data yang disajikan pada Tabel 4, daging patin segar dan goreng masing-masing mengandung 11 dan 12 jenis SFA. Data yang diperoleh menunjukkan SFA daging patin segar dan goreng sebesar 24,08% dan 33,5%, dengan peningkatan relatif yang terjadi sebesar 28,12%. Hasil penelitian Domiszewski et al. (2011) menunjukkan bahwa kandungan SFA daging patin segar adalah 47,15% dan daging patin goreng 12,76%. Palmitat (C16:0) merupakan SFA dengan kadar tertinggi, baik pada daging patin segar maupun goreng (Gambar
19). Daging patin segar mengandung
palmitat sebesar 18,20% dan daging patin goreng 28,92%. Peningkatan kadar palmitat pada daging patin goreng diduga disebabkan oleh penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan ikut terserap ke dalam daging ikan patin saat digoreng, sehingga kandungan asam lemak minyak goreng pun terserap ke dalam daging ikan. Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan palmitat minyak goreng adalah sebesar 26,00%. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan palmitat pada daging patin goreng dipengaruhi oleh kandungan palmitat dari minyak goreng. 28.92 30
Kadar asam lemak (%)
25 18.2
20
Daging segar
15
Daging goreng
10 5
0.82
4.09 3.05 0.75
0 Miristat
Palmitat
Stearat
Gambar 19 Kandungan asam lemak jenuh daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
37
Kandungan asam lemak jenuh stearat (C18:0) pada daging patin segar dan goreng adalah 4,09% dan 3,05%. Daging patin goreng mengandung asam stearat yang lebih rendah dibandingkan dengan daging patin segar. Hal ini diduga disebabkan oleh oksidasi asam lemak yang terjadi saat penggorengan. Umumnya kerusakan akibat oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan pada suhu 100 °C atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi (Jacobson 1967). Asam stearat dapat menyebabkan trombogenik atau pembekuan darah, hipertensi, kanker dan obesitas (Grundy 1994 dalam Witjaksono 2005). Hasil analisis asam lemak miristat (C14:0) pada daging patin segar adalah 0,82% dan daging patin goreng 0,75%. Oksidasi yang terjadi saat proses penggorengan diduga menyebabkan penurunan asam miristat pada daging patin goreng. Asam
miristat terdapat dalam jumlah yang sedikit, tidak lebih dari
kisaran 1-2%. Asam miristat dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sampo, krim, kosmetik dan flavor makanan. Asam miristat dibutuhkan dalam retina dan fotoreseptor (O’Keefe et al. 2002). Tabel 4 menunjukkan bahwa asam kaprilat (C8:0) dan asam kaprat (C10:0) merupakan asam lemak jenuh dengan persentase terkecil. Asam kaprat tidak terdeteksi pada daging patin segar, tetapi pada daging patin goreng asam lemak ini terdeteksi sebesar 0,02%. Hal ini diduga disebabkan oleh penyerapan asam lemak dari minyak goreng yang terserap oleh daging patin. Minyak goreng yang digunakan mengandung asam kaprat sebesar 0,01%. Selain itu, tidak terdeteksinya suatu asam lemak diduga dipengaruhi oleh peng-couple-an yang tidak sempurna, volume yang diinjeksikan kurang atau hidrolisis kurang bagus. 4.4.2 Asam lemak tak jenuh tunggal Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid/MUFA). Daging patin segar mengandung 8 jenis MUFA sebesar 23,53% dan daging patin goreng mengandung 4 jenis MUFA sebesar 35,53% (Tabel 4) dengan peningkatan relatif yang terjadi sebesar 50,99%. Asam lemak oleat (C18:1) merupakan kandungan MUFA tertinggi, pada daging patin segar sebesar 22,16% dan daging patin goreng 35,14% (Gambar 20). Penelitian Domiszewski et al. (2011) juga menunjukkan bahwa asam lemak oleat
38
Kadar asam lemak (%)
40
35.14
35 30
22.16
25 20
Daging segar
15
Daging goreng
10 5
0.52 0.14
0.36 0.17
0 Palmitoleat
Oleat
Eikosenoat
Gambar 20 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus) merupakan MUFA tertinggi pada daging patin segar dan goreng, yaitu sebesar 37,59% dan 62,33%. Terjadinya peningkatan kadar asam oleat pada daging patin goreng diduga disebabkan oleh penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan ikut terserap ke dalam daging ikan patin saat digoreng, sehingga kandungan asam lemak minyak goreng pun terserap ke dalam daging ikan. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan asam oleat minyak goreng adalah sebesar 32,28% dan merupakan MUFA dengan persentase tertinggi. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan asam oleat pada daging patin goreng dipengaruhi oleh kandungan asam oleat dari minyak goreng. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA. Berbeda dengan asam oleat, asam lemak palmitoleat (C16:1) dan asam lemak eikosenoat (C20:1) pada daging patin goreng mengalami penurunan dibandingkan dengan daging patin segar. Palmitoleat pada daging patin segar dan goreng adalah sebesar 0,36% dan 0,17%, sedangkan eikosenoat sebesar 0,52% dan 0,14%. Hal ini disebabkan oleh oksidasi asam lemak yang terjadi saat penggorengan. Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan pada suhu 100 °C atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi (Jacobson 1967).
39
4.4.3 Asam lemak tak jenuh majemuk Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated fatty acid/PUFA). Kandungan PUFA daging patin segar adalah sebesar 14,03%, terdiri atas 11 jenis asam lemak, sedangkan daging patin goreng sebesar 10,7% terdiri atas 8 jenis asam lemak. Penurunan PUFA pada daging patin goreng secara relatif terjadi sebesar 24,45%. Domisweski et al. (2011) melaporkan bahwa kandungan PUFA daging patin segar adalah 12,45% dan daging patin goreng 23,74%. Daging patin mengandung empat jenis asam lemak omega-3, empat asam lemak omega-6 dan satu asam lemak omega-9. Asam linoleat memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan jenis PUFA lainnya (Gambar 21). 9.61 10 Kadar asam lemak (%)
9
8
8 7 6 Daging segar
5
Daging goreng
4
2.65
3 1.59
2 1
0.1
0.39 0.47
0.19
0 Linoleat
Arakhidonat
EPA
DHA
Gambar 21 Kandungan asam lemak tak jenuh majemuk daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Daging patin segar mengandung 8,00% asam linoleat dan daging patin goreng 9,61%. Peningkatan kandungan linoleat daging patin dipengaruhi oleh kandungan linoleat yang terdapat pada minyak goreng, dimana kandungan linoleat minyak goreng juga besar yaitu 10,88%. Linoleat merupakan asam lemak esensial karena dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan tubuh tidak dapat mensitesisnya. Kekurangan asam lemak esensial dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan saraf dan penglihatan serta menghambat pertumbuhan (Almatsier 2000). Kandungan arakhidonat pada daging patin segar dan goreng adalah 1,59% dan 0,1%. Asam lemak arakhidonat merupakan hasil desaturasi dan elongasi asam
40
linoleat pada hewan. Daging patin segar mengandung EPA sebesar 0,39% dan daging patin goreng sebesar 0,47%, sedangkan kandungan DHA patin segar adalah sebesar 2,65% dan daging patin goreng 0,19%. Proses penggorengan mempengaruhi kandungan asam lemak tersebut, dimana asam lemak tak jenuh mengalami oksidasi akibat proses termal. Data menunjukkan beberapa asam lemak terdapat pada daging patin segar, namun pada daging patin goreng tidak terdeteksi. Asam lemak tersebut adalah asam nervonat, heptadekanoat, erukat, miristoleat (MUFA) serta linolelaidat, eikosetrieonat dan dokosadienoat (PUFA). Asam lemak tak jenuh biasanya mengalami oksidasi pada ikatan rangkapnya dan sebagai hasil oksidasi adalah hidroperoksida. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi) (Tambun 2006). Asam lemak yang lebih dominan dalam lemak ikan yaitu EPA dan DHA (Husaini 1989 dalam Sukarsa 2004). Ikan patin baik untuk dikonsumsi karena EPA dan DHA serta asam lemak tak jenuh lain yang dikandungnya. EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks serebral otak dan untuk pertumbuhan normal organ ini, karena sangat penting untuk tetap menjaga kandungan EPA dan DHA dalam makanan (Whitney et al. 1998 dalam Abadi 2007). Mengkonsumsi asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup mampu mengurangi kandungan kolesterol dalam darah dan mengurangi risiko terkena penyakit jantung, risiko artherosklerosis serta secara selektif dapat membunuh sel-sel kanker dan menyembuhkan simtom-simtom rheumathoid arthritis. Kinsella et al. 1990 menyatakan bahwa efek klinis dari asam lemak omega-3 dalam menurunkan kadar kolesterol darah diduga disebabkan oleh pengaruhnya terhadap mekanisme produksi lipoprotein transpor dalam hati, yang kemudian disekresikan ke dalam darah. 4.5 Deskripsi Jaringan Daging Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Histologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari struktur dan sifat jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis. Pengamatan daging ikan patin dilakukan untuk melihat perbedaan struktur daging ikan patin sebelum dan sesudah penggorengan. Penyiapan preparat dilakukan dengan menggunakan metode parafin.
41
Perbedaan jaringan daging patin sebelum dan sesudah digoreng terlihat jelas pada Gambar 22. Struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabutserabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Gambar 22 (a) dan (b)). Gambar 22 (c) dan (d) memperlihatkan jaringan daging patin goreng terdiri atas serabut-serabut jaringan tipis yang lebih kompak.
Serabut otot Parafin
a
b
c
d
Gambar 22 Struktur jaringan daging patin segar perbesaran 100x (a), perbesaran 400x (b). Struktur jaringan daging patin goreng perbesaran 100x (c), perbesaran 400x (d). Gambar 22 (a) dan (b) menunjukkan bahwa jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang terputus atau tidak menyatu. Hal ini diduga karena penyimpanan di dalam freezer yang dilakukan sebelum daging patin dianalisis, yang menyebabkan terjadinya dehidrasi. Dehidrasi yang terjadi pada saat penyimpanan menyebabkan kemampuan mengikat air oleh protein myofibril menjadi berkurang (Thorarinsdottir et al. 2011). Penyimpanan daging ikan patin di dalam freezer juga menyebabkan terbentuknya kristal es. Terbentuknya kristal es dapat berpengaruh pada struktur internal otot dan menyebabkan denaturasi protein (Bahuaud et al. 2008).
42
Penggorengan yang dilakukan pada penelitian ini mempengaruhi struktur daging ikan patin, yang ditunjukkan oleh adanya perbedaan struktur jaringan yang dihasilkan. Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Gambar 22 (c) dan (d) memperlihatkan bahwa struktur jaringan daging patin goreng lebih kompak dan menyatu dibandingkan dengan daging patin segar. Pemanasan yang terjadi saat penggorengan menyebabkan air dalam daging patin merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih kompak. Perubahan struktural suatu bahan pangan yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air. Selain proses penggorengan, pembekuan yang dilakukan sebelum daging patin dianalisis juga mempengaruhi struktur jaringan daging. Perubahan struktural dapat terjadi pada saat pembekuan, terutama saat penyimpanan lanjutan yang dilakukan pada bahan daging yang beku. Kerusakan ruang sel, koagulasi protein, pengompakkan myofibril, kehilangan air (dehidrasi), penurunan daya ikat air dan perubahan aroma serta rasa merupakan beberapa pengaruh yang umum terjadi akibat pembekuan (Hall 2001 dalam Ayala et al. 2005).