4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik
yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang dicurigai.
Sumber: Lampiran 3. Bottom Sampling dan Jenis Substrat Gambar 16. Lokasi Bottom Sampling dan Pipa Pada umumnya tipe substrat dasar perairan hasil survei berupa lumpur dan lumpur berpasir (Lampiran 3). Sebagian besar sedimen permukaan dasar laut yang ditemukan pada tiap titik atau stasiun yang diambil secara acak di lokasi penelitian berupa lumpur dan lumpur berpasir. Proses pengambilan contoh sedimen dilakukan menggunakan Van Veen Grab dengan luas bukaan 20x20 cm2. Sesuai dengan rencana operasi pengambilan substrat ini dilakukan pada dua area, yaitu pada skala 1:1000 diambil
41 titik secara acak dan pada skala 1:5000 diambil 19 titik, dan ini juga dilakukan secara acak. Sedimen fraksi lumpur sangat mudah terbawa arus dan mudah teraduk apabila terjadi upwelling atau proses turbulensi. Pengendapan fraksi lumpur sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan permukaan dasar laut. Pada Gambar 33 terlihat penyebaran fraksi lumpur secara merata di lokasi penelitian. Semakin ke arah laut terlihat penyebarannya semakin besar dibandingkan dengan lumpur berpasir. Salah satu penyebabnya adalah berupa arus dan gelombang, dimana perairan yang berada jauh dari pantai akan sedikit mendapat pengaruh gelombang dibandingkan dengan daerah pantai, sehingga di daerah dekat pantai lumpur akan sulit mengendap karena ukurannya yang mikroskopis dan mudah terbawa oleh air laut. Pemplotan pipa dilakukan untuk mengetahui dimana keberadaan pipa yang ada di dasar laut. Posisi fiks yang didapat, kemudian diplotkan kedalam gambar. Pada gambar 33, dapat dilihat bahwa pipa terletak pada 5. 230 LU – 5.260 LU dan 97.070 BT – 97.0750 BT.
4.2
Pantulan Sinyal Taregt Gambar dibawah ini (Gambar 17-32), merupakan hasil dari pengolahan
data nilai pantulan sinyal objek atau target yang dicurigai. Adapun objek atau target yang dicurigai yaitu berupa pipa, substrat (lumpur dan lumpur berpasir), dan objek keras lainnya. Nilai pantulan sinyal ini diolah di perangkat lunak MaxView. Pengolahan data pada MaxView dilakukan setiap lima detik selama proses perekaman berlangsung.
Gambar 17. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 1
Gambar 18. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 2
Gambar 19. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 3
Gambar 20. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 4
Gambar 21. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 5
Gambar 22. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 1
Gambar 23. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 2
Gambar 24. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 3
Gambar 25. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 4
Gambar 26. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 5
Gambar 27. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 6
Gambar 28. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 7
Gambar 29. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 8
Gambar 30. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 174
Gambar 31. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 176
Gambar 32. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada lajur 177
Penelitian tentang Deteksi dan Interpretasi Target di Dasar Laut menggunakan Side Scan Sonar ini dilakukan di perairan Aceh Timur, Lhokseumawe. Jenis Side Scan Sonar (SSS) yang digunakan adalah C- Max Side Scan Sonar dengan frekuensi 325 kHz dan range 100 meter. Kualitas perekaman side scan sonar sangat ditentukan oleh kondisi lapangan seperti kedalaman perairan, kekuatan arus, serta kemampuan towfish dalam mengirim dan memantulkan kembali sinyal yang dipancarkan. Secara umum, side scan sonar ini penafsirannya didasarkan pada kemampuan towfish dalam menerima perbedaan dari kekuatan pantulan gelombang akustik dari variasi material di dasar laut. Hasil perekaman citra yang didapat dari instrumen SSS ini, mendapatkan empat target yang dicurigai yaitu pipa, substrat dasar laut berupa lumpur dan lumpur berpasir, serta objek keras lainnya. Target yang dideteksi ini diinterpretasikan berdasarkan rona, yaitu rona gelap, rona sedang, dan rona terang. Semakin gelap suatu rona dari target yang dicurigai maka nilai pantulannya akan semakin tinggi. Hasil dari perekaman citra SSS, kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak MaxView untuk mendapatkan hasil nilai pantulan sinyalnya. Pengambilan data untuk proses pengolahan dilakukan setiap lima detik. Nilai pantulan sinyal ini didasarkan dari objek yang terdeteksi. Dari hasil pengolahan tersebut didapat bahwa nilai pantulan sinyal pipa, lumpur, lumpur berpasir, dan objek keras lainnya adalah 0-2.5 Voltage/Div, 0-0.5 Voltage/Div, 0.5-1 Voltage/Div, dan 0-2.5 Voltage/Div. Hasil yang didapat kemudian diolah lagi untuk mendapatkan suatu bentukan grafik sinyal. Pengolahan ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1.
Hasil perhitungan sinyal tadi dapat dijelaskan sebagai berikut. Dimisalkan area yang diambil adalah lajur 177, dimana target yang dicurigai berupa pipa, lumpur, lumpur berpasir, dan objek keras lainnya. Disini, objek keras yang dimaksud adalah selain pipa, misalnya batu-batuan besar, puing-puing, atau objek yang tidak dapat didefinisikan karena adanya distorsi pada saat perekaman. Setelah diketahui target yang dicurigai, maka dilakukan pembacaan sinyal dari masing-masing target. Setiap lima detik, proses pembacaan dilakukan sampai proses perekaman selesai. Apabila proses pembacaan selesai, maka nilai-nilai dari pantulan sinyal yang terekam diplotkan dalam satu grafik untuk mempermudah dalam penginterpretasian. Pada lajur 177 ini diketahui bahwa nilai pipa lebih tinggi dibandingkan dengan nilai lumpur, lumpur berpasir, dan objek keras lainnya. Ini dikarenakan pipa pada saat perekaman, hasil yang didapat ronanya lebih gelap, komposisi materialnya lebih padat sehingga, pada saat perekaman, nilai pantulan sinyal yang diberikan oleh alat dipantulkan kembali tanpa ada penyebaran atau penerusan sinyal oleh objek yang terdeteksi. Atau jika penerimaan sinyal yang diterima oleh suatu target yaitu pipa tepat pada titik pusatnya, maka hasil dari nilai yang dipantulkan akan sama besarnya. Lain halnya dengan substrat, nilai pantulannya lebih rendah dibandingkan dengan pipa dan objek keras lainnya. Substrat berlumpur (rona terang), komposisi partikelnya tidak tersusun kompak, sehingga pada saat alat memancarkan sinyal, maka sinyal yang diterima oleh substrat lumpur sebagian besar tersebar, sehingga pemantulannya sinyalnya akan lebih rendah, berbeda dengan pantulan sinyal yang diberikan oleh substrat lumpur berpasir. Hal ini juga dapat dilihat dari kekasaran dan kekerasan dari
substrat yang terdeteksi. Pada frekuensi rendah, dimana panjang gelombang akustik lebih besar dari skala kekasaran dasar laut, maka dasar laut akan tampak lembut. Dalam hal ini pemantulan sinyal yang di dilakukan oleh dasar laut akan didominasi oleh penyebaran dasar laut. Jika menggunakan frekuensi tinggi dimana panjang gelombang akustik lebih kecil dari skala penyebaran kekasaran dasar laut, maka penyebaran kekasaran dapat mendominasi sinyal yang dikembalikan sehingga dianggap kasar. Gambar 33, merupakan hasil dari pembacaan sinyal pada software MaxView secara keseluruhan. Nilai pipa dan objek keras memiliki nilai pantulan yang sama besar yaitu 2.5 Voltage/Div, sedangkan substrat lumpur memiliki nilai pantulan yang lebih kecil (0.5 Voltage/Div) dibandingkan dengan target lainnya.
Gambar 33. Nilai rata-rata pantulan sinyal dari target
4.3
Analisis Fast Fourier Transform (FFT) Pada Gambar 34-38, merupakan salah satu hasil dari analisis spektral
akustik yang dilakukan untuk mentransformasikan suatu pergerakan sinyal dari
domain waktu menjadi domain frekuensi dan hasil analisis spectral akustik lainnnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengolahan data dibagi menjadi 5 bagian frekuensi yaitu 0-100 Hz, 100-200 Hz, 200-300 Hz, 300-400 Hz, dan 400-500 Hz. Sumbu x merupakan nilai dari frekuensi (Hz), sedangkan sumbu y merupakan hasil dari perhitungan spectrum energi menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1 dimana variabel pada sumbu y diubah kedalam bentuk logaritma. Berikut hasil dari analisis spektral akustik yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1.
Gambar 34. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 1
Gambar 35. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 1
Gambar 36. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 1
Gambar 37. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 1
Gambar 38. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 1
FFT merupakan suatu algoritma untuk memghitung Discrete Fourier Transform (DFT) dengan substansi waktu yang tersimpan lebih dari metode konvensional. FFT ini mentransformasikan suatu sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi. FFT berfungsi untuk melihat seberapa signifikan energi yang dihasilkan dari suatu data berdasarkan frekuensi (Hz). Pada proses pengolahan FFT, banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan data yang diperoleh. Jumlah banyaknya data sebesar 2n. Setelah itu, dilakukan proses pengolahan berdasarkan syntax sederhana pada software Matlab 7.0.1. Proses pengolahan sebelum menghasilkan data dalam FFT, dilakukan proses pengolahan dalam hasil DFT. Hasil yang didapat kemudian diolah lagi untuk mendapatkan hasil bentukan dalam domain frekuensi. Dari hasil pengolahan sinyal domain waktu yang diolah dengan perangkat lunak Matlab 7.0.1, sinyal yang dihasilkan kemudian diubah menjadi domain frekuensi, didapat hasilnya bahwa pipa memiliki nilai spektrum yang paling tinggi dibandingkan dengan objek keras dan substrat (pasir dan pasir berlumpur). Akan tetapi ada di satu area, nilai objek keras lebih signifikan dibandingkan dengan target lainnya, dan untuk substrat, nilai yang signifikan terdapat pada substrat lumpur berpasir. Hal ini ada kaitannya dengan nilai akustik impedansi dari target yang dicurigai. Semakin keras objek yang terdeteksi maka impedansi akustiknya juga semakin tinggi. Akan tetapi tidak selamanya objek keras memiliki nilai pantulan yang sangat tinggi, mungkin saja pada saat perekaman letak dari posisi alat terlalu dekat dengan target, atau terjadinya distorsi pada saat perekaman berlangsung. Jika hal ini terjadi, maka akan dapat mengganggu proses pengolahan data pada tahap selanjutnya.
Pada gambar 34-38, dapat dilihat masing-masing target memperlihatkan puncak tertinggi dari hasil pengolahan perangkat lunak Matlab 7.0.1. Pada frekuensi 0-100 Hz, target yang diduga pipa hanya memiliki dua puncak, yaitu pada frekuensi 30 Hz dan 80 Hz. Pada objek yang tidak diketahui (unknown objek), target ini memiliki 3 puncak dari hasil pengolahan menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1, yaitu pada frekuensi 15 Hz, 45 Hz, dan 75 Hz. Target berupa lumpur dan lumpur berpasir pada frekuensi 0-100 Hz, tidak memperlihatkan puncak tertingginya, dan akan kelihatan pada saat pengolahan dengan frekuensi 100-500Hz.
Gambar 39. Nilai rata-rata analisis FFT dari target Gambar 39 dilakukan plot data secara keseluruhan dari hasil pengolahan FFT. Dapat dilihat bahwa pipa memiliki nilai yang paling signifikan dibandingkan dengan target lainnya yaitu sebesar 1412 Volt/dB, sedangkan substrat lumpur memiliki nilai yang paling kecil yaitu sebesar 106.2367 Volt/dB. Gambar 39 ini merupakan hasil pengolahan syntax sederhana menggunakan
perangkat lunak Matlab 7.0.1, dimana sumbu y masih dalam bentuk linier dan belum diubah dalam bentuk logaritma.
4.4
Akustik Impedansi dan Backscattering Strength (SS) Berikut merupakan hasil perhitungan akustik impedansi dan koefisien
refleksi berdasarkan nilai densitas ρ dan kecepatan gelombang kompresi c serta perhitungan nilai backscattering strength dari masing-masing target. Akustik impedansi ini menggambarkan seberapa besar nilai pantulan sinyal dari suatu objek berdasarkan kekompakan material atau keras lunaknya objek. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa nilai impedansi akustik dari pipa lebih tinggi dibandingkan dengan substrat lumpur dan lumpur berpasir. Impedansi akustik ini dihitung berdasarkan nilai densitas ρ dan kecepatan gelombang kompresi c. Masing-masing target memiliki ρ dan c yang berbeda. Seperti lumpur ρ adalah 1420 kg/m3 dan c adalah 1519 m/s, lumpur berpasir nilai ρ dan c adalah 1830 kg/m3 dan 1677 m/s (Hamilton, 1971a dalam Clay dan Medwin, 1977), sedangkan pada pipa nilai ρ dan c adalah 8030 kg/m3 dan 2580 m/s (AK Steel Corporation, 2007). Setelah diketahui nilai masing-masing densitas dan kecepatan gelombang kompresinya, maka nilai dari masing-masing akustik impedansi Z dapat dihitung, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Jadi dapat dikatakan nilai akustik impedansi ini bergantung pada kecepatan gelombang kompresi. Semakin tinggi nilai kecepatan gelombang kompresi maka, nilai Z akan semakin tinggi pula. Apabila kecepatan yang dimiliki oleh target semakin tinggi,
maka nilai sinyal pantulan yang dikembalikan oleh target ke receiver juga tinggi dan ini juga bergantung pada kekerasan dan kekasaran dari objek yang terdeteksi. Tabel 3. Hasil Perhitungan Akustik Impedansi dan Koefisien Refleksi Koefisien
Backscattering
Refleksi
Strength
(dB)
(dB)
0.1896
-7.4557
-6.5913
3.0689 x 106
0.3433
-4.6421
-4.0129
2.0717 x 107
0.8649
-0.6299
0
Akustik
Koefisien
Impedansi
Refleksi
Lumpur
2.1569 x 106
Lumpur Berpasir Pipa
Target
Sumber: Hasil Pengolahan Lampiran 4 Hasil dari perhitungan impedansi akustik Z ini, dapat dihitung pula nilai koefisien refleksi. Nilai koefisien refleksi atau yang lebih dikenal dengan R dihitung berdasarkan nilai perbandingan antara medium 1 dan medium 2, dalam hal ini yang dimaksud dengan medium 1 adalah air dan medium 2 adalah target yang dicurigai. Sebelum dilakukan proses perhitungan nilai koefisien refleksi, perlu diketahui nilai densitas ρ dan kecepatan gelombang kompresi c yang terdapat pada air, dalam hal ini adalah air laut. Nilai densitas dan kecepatan gelombang kompresi yang dipakai adalah 1000 kg/m3 dan 1500 m/s (Clay dan Medwin, 1977). Setelah diketahui nilai dari masing-masing variabel maka nilai impedansi akustik dari air itu sendiri adalah 1.5 x 106 Kg/m2s. Kemudian, dilakukan proses perhitungan nilai koefisien refleksi. Dari hasil perhitungan didapat bahwa nilai koefisien refleksi berkisar antara 0 dan 1. Jika nilai koefisien refleksi yang didapat diubah kedalam decibel (dB), maka didapat nilai koefisien
refleksinya sebesar -7.4557 dB, -4.6421 dB, dan -0.6299 dB. Semakin tinggi nilai koefisien refleksi maka akan semakin tinggi nilai pantulan sinyal dari objek yang terdeteksi. Akan tetapi jika nilai koefisien refleksi lebih dari 1, maka akan terjadi penguatan, hal ini dikarenakan jarak antara objek dan alat yang digunakan terlalu dekat, sehingga pengembalian sinyal yang dipantulkan juga semakin besar dan pengambilan datanya dilakukan di daerah yang dangkal. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses perhitungan selanjutnya terhadap kedalaman suatu perairan dari daerah yang diteliti. Setelah dilakukan perhitungan akustik impedansi dan koefisien refleksi, maka dapat dengan mudah dilakukan pengolahan backscattering strength (SS). Pipa yang merupakan pemantul sempurna dijadikan sebagai referensi dalam perhitungan SS lumpur dan lumpur berpasir. Dari hasil pengolahan didapat nilai backscattering strength lumpur adalah -6.5913 dB dan lumpur berpasir -4.0129 dB. Pada Tabel 3 dilhat nilai backscattering strength dari pipa adalah nol. Ini dikarenakan pipa sebagai pemnatul sempurna. Apabila dilakukan perhitungannya dimana pipa dijadikan referensi, maka hasilnya adalah 1. Setelah itu, nilai satu tersebut kita ubah kedalam bentuk logaritma untuk mendapatkan hasil backscattering strength. Logaritma dari satu adalah nol. Suatu bentuk perkalian jika dikalikan dengan nol maka hasilnya tetap nol, karena itu nilai backscaterring strength pipa adalah nol.
4.5
Dimensi Target Terdeteksi Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil perhitungan dimensi dari target yang
terdeteksi. Perhitungan dimensi ini dilakukan berdasarkan objek yang terekam.
Dari hasil rekaman dapat dilihat banyak sekali gambaran objek yang terdeteksi, hanya saja penulis tidak menghitung semua dimensi yang terekam, ini dikarenakan hasil gambar dari rekaman side scan sonar tersebut, ada yang merupakan hasil distorsi akibat propeller kapal, dan menyebabkan hasil gambaran yang didapat tidak terekam dengan baik. Perhitungan yang dilakukan secara manual menggunakan teorema phytagoras. Dari hasil perhitungan ini, maka didapatlah nilai dari panjang dan lebar dari objek yang terdeteksi (Tabel 4). Ada dari beberapa objek yang terdeteksi memiliki bayangan, jika bayangan dari objek yang terdeteksi diketahui, maka dapat dihitung tinggi dari objek tersebut. Semakin lebar/besar bayangan dari objek yang terdeteksi, maka dapat dikatakan bahwa objek yang teredeteksi ini memiliki tinggi yang relatif besar. Perhitungan dimensi ini biasanya ditujukan untuk berbahaya atau tidaknya bagi jalur pelayaran dan juga untuk mengetahui posisi fiks dari suatu objek.
Tabel 4 merupakan hasil dari perhitungan dimensi target yang terdeteksi, dimana perhitungan ini dilakukan secara manual. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui dimensi dari target yang terdeteksi. Tabel 4. Hasil Perhitungan Dimensi Target Terdeteksi
Jalur
Kolam 1
Kolam 8
Jarak fix Di lapangan (m) 25 25 25 25 25 25 25 25
Jarak Fix di kertas (cm) 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
Tinggi towfish (m) 7.5 7.4 7.4 7.5 6.6 8 7.6 8.4
Sumber: Hasil Pengolahan Lampiran 5
Slant range (m) 10.6 10.3 10.3 8.4 7.8 43.1 13.1 13.4
Slant range bayangan (m) 38.1
Panjang Objek di kertas (cm)
Lebar objek di kertas (cm)
0.8 0.5 1 1.1 1.3 1.3 5.8 3.25
0.6 0.4 0.4 0.3 0.2 0.3 0.5 0.5
Panjang Bayangan (m) 5.6
Jarak mendatar objek (m) 7.4907 7.1645 7.1645 3.7829 4.1569 42.3510 10.6701 10.4403
Ukuran Dimensi Panjang (m) 13.3333 8.3333 16.6667 18.3333 21.6667 21.6667 96.6667 54.16667
Lebar (m) 10 6.6667 6.6667 5 3.3333 5 8.3333 8.3333
Tinggi (m) 1.2347