28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele (Clarias gariepinus) Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) dan Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) menggambarkan seberapa besar bagian pakan dan protein yang dicerna oleh ikan. Dalam arti yang sebaliknya, nilai KKP atau KKProt juga mengindikasikan bagian pakan atau protein yang dikeluarkan oleh ikan bersama feses. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai KKP dan KKProt masing-masing sebesar 81,48±2,30 % dan 61,97±7,24 % (Tabel 1, Lampiran 14 dan 15). Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan ikan komersial berupa pelet apung dengan kadar protein sebesar 29,77%. Namun demikian, dalam pelaksanaan uji kecernaan ini, pakan tersebut digiling dan dicetak ulang yang mengakibatkan sifat keterapungannya menjadi hilang. Tabel 1. Nilai Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) dan Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) ikan lele (C. gariepinus) yang diberi pakan apung komersial kadar protein sebesar 29,77% (N=5) Parameter
Nilai
Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) (%)
81,48 ± 2,30
Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) (%)
61,97 ± 7,24
Nilai KKP sebesar 81,48±2,30 % menunjukkan bahwa sebagian besar pakan yang diberikan dapat dicerna oleh ikan lele. Dalam pengertian yang sebaliknya, 16,86% dari jumlah pakan yang diberikan tidak dicerna oleh ikan lele dan akhirnya dibuang dalam bentuk feses. Nilai kecernaan pakan pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kecernaan pakan ikan lele (C. gariepinus) yang dilaporkan oleh Bovendeur et al. (1987) yakni 51,88% dalam bentuk bahan kering (dry matter). Pakan yang digunakan mempunyai kandungan bahan kering sebesar 98% dan protein sebesar 47,1%. Pada penelitian terhadap
29
ikan sunshine bass (Morone chrysops x M. saxatilis), Thompson et al. (2008) mendapatkan nilai kecernaan bahan kering pakan sebesar 62,44% hingga 79,17%, bergantung pada sumber protein yang digunakan. Kecernaan pakan juga dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan (feeding level) yang diterapkan. Semakin tinggi tingkat pemberian pakan, nilai kecernaan pakan semakin rendah. Pada pemberian pakan sebesar 0,33 % biomassa ikan perhari, kecernaan bahan kering pakan ikan lele (C. gariepinus) adalah sebesar 57,89%, sementara pada tingkat pemberian pakan 1,67% kecernaan pakan ikan lele menurun menjadi 41,85% (Henken et al., 1985). Sementara itu, nilai Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) sebesar 61,97±7,24% menunjukkan bahwa 61,97% protein yang terkandung di dalam pakan dapat dicerna oleh ikan lele dan sisanya sebesar 38,03% terbuang ke dalam air bersama feses. Tingkat kecernaan protein juga menggambarkan tingkat kecernaan nitrogen yang terkandung di dalam pakan. Protein mengandung nitrogen sebesar 16%. Menurut Brune et al. (2003), dari seluruh nitrogen yang terkandung dalam pakan hanya sejumlah 25% digunakan ikan untuk tumbuh atau diretensi oleh ikan. Tingkat retensi nitrogen oleh ikan antara lain dipengaruhi oleh kualitas protein yang terkandung dalam pakan yang diberikan. Pada ikan kakap Eropa (Dicentrarchus labrax), nilai retensi nitrogen berkisar antara 24,1 hingga 27,8% bergantung pada susunan asam amino yang terdapat pada pakan (Peres dan OlivaTeres, 2007). Nilai proporsi protein yang dikeluarkan oleh ikan lele bersama feses pada penelitian ini, yakni 38,03%, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh Brune et al. (2003) yakni 15%. Nilai yang dinyatakan oleh Brune et al. (2003) tersebut adalah untuk ikan secara umum dan tidak dinyatakan jenis ikan secara spesifik.
30
4.2. Ekskresi amoniak pada pemeliharaan ikan lele (C. gariepinus) Sebagiaan nitrogen yang dikonsumsi oleh ikan diekskresikan dalam bentuk amoniak (NH3) yang segera mengalami ionisasi menjadi ion amonium (NH4+) di dalam air. Tingkat ekskresi amoniak ikan lele ukuran 111,6 g dan 40,0 g/ekor masing-masing adalah sebesar 0,008±0,003 dan 0,011±0,003 mg TAN/g lele/jam (Tabel 2, Lampiran 16). Nilai ini hampir sama dengan tingkat ekskresi amoniak ikan turbot (Psetta maeotica) yang diberi pakan buatan dengan kadar protein 45% yakni 0,00698 mg TAN/g ikan/jam
(Yigit et al., 2005b). Ikan
halibut Kalifornia (Paralichthys californicus, Ayres) yang diberi pakan dengan kandungan protein 43-45% secara terus menerus selama 12 jam pada siang hari menghasilkan amoniak sebesar 91-113 mg TAN/kg ikan/hari atau setara dengan 0,0038-0,0047 mg TAN/g ikan/jam (Merino et al., 2007). Pada udang vaname (L. vannanei) berukuran sekitar 8 g/ekor, tingkat ekskresi amoniak tercatat sebesar 0,004 mg TAN/g udang/jam (Sakdiah, 2009). Secara umum, ikan lele berukuran lebih besar mempunyai tingkat ekskresi amoniak lebih rendah dibandingkan dengan ikan lele yang berukuran lebih kecil. Hal yang sama pada ikan Black Sea turbot sebagaimana dilaporkan oleh Yigit et al. (2005a). Ikan turbot dengan ukuran 100 g/ekor mempunyai tingkat ekskresi amoniak setara dengan 0,0042 mg N/g ikan/jam, sementara ikan yang berukuran 42 g/ekor mempunyai tingkat ekskresi amoniak setara dengan 0,0048 mg N/g ikan/jam.
Tabel 2. Tingkat ekskresi amoniak pada dua kelompok ukuran ikan lele selama 6 jam pengamatan Kelompok Ukuran Ikan Lele (g/ekor) 111,6 ± 9,5
Ekskresi amoniak (mg TAN/g lele/jam)
Jumlah Pakan Dikonsumsi (mg)
Jumlah N Pakan Dikonsumsi (mg)*
0,008 ± 0,003 3716,28 ± 317,31 177,01 ± 15,1 40,0 ± 4,4 0,011 ± 0,003 1332,00 ± 145,15 63,45 ± 6,91 * N Pakan = 0,16 x kadar protein pakan (29,77%). **Rasio antara jumlah amoniak dalam 6 jam dan jumlah N pakan yang dikonsumsi.
Rasio Amoniak/N Pakan (%)** 3,21 ± 1,00 4,20 ± 1,27
31
Rasio amoniak/nitrogen pakan yang diperoleh pada penelitian ini untuk ikan lele ukuran 111,6 g dan 40,0 g adalah masing-masing 3,21±1,00% dan 4,20±1,27%. Nilai ini selaras dengan tingkat ekskresi amoniak dimana ikan lele berukuran kecil menghasilkan amoniak lebih besar dibandingkan dengan ikan lele yang berukuran lebih besar yakni satu setengah kali lipat. Nilai rasio amoniak/nitrogen pakan pada ikan turbot yang diberi pakan buatan mencapai 7,22% sedangkan yang diberi pakan udang segar mencapai 5,35-5,65% (Yigit et al., 2005b) Pada kedua ukuran, 111,6 g dan 40,0 g, puncak ekskresi amoniak ikan lele terjadi pada jam ke-5 setelah makan dan setelah itu mengalami penurunan. (Gambar 7). Pada ikan halibut Kalifornia (P. californicus) puncak ekskresi ikan berukuran lebih besar terjadi pada waktu yang lebih lama (Merino et al., 2007). Puncak ekskresi amoniak pada ikan halibut berukuran 4-20 g berlangsung pada waktu 4-6 jam setelah pemberian pakan sedangkan pada ikan berukuran 112-199 g, puncak ekskresi amoniak berlangsung antara 10-12 jam setelah pemberian pakan. Sakdiah (2009) melaporkan bahwa puncak ekskresi amoniak udang vaname (L. vannamei) terjadi jam ke-4 setelah makan. Sementara itu produksi harian amoniak pada ikan white sturgeon (Acipenser transmontatus) berukuran 0,09-3,8 kg adalah berkisar 1,5-27,6 mg TAN/kg ikan per jam (setara dengan 0,0015-0,0276 mg TAN/g ikan/jam) dengan puncak produksi amoniak berlangsung dalam waktu 2-6 jam setelah ikan makan (Thomas dan Piedrahita, 1998). Menurut Bureau (2004), sekitar 80-90% dari limbah metabolik nitrogen yang dikeluarkan oleh ikan berupa amoniak. Faktor yang mempengaruhi jumlah amoniak yang dikeluarkan oleh ikan terutama dipengaruhi oleh jumlah, kualitas dan jenis protein yang dikandung di dalam pakan yang diberikan. Pemberian pakan di mana terdapat kelebihan asam amino juga mempengaruhi jumlah produksi amoniak. Pakan dengan kandungan asam amino yang kurang menyebabkan ekskresi amoniak lebih banyak. Pada pemeliharaan ikan channel
32
catfish (Ictalurus punctatus) dengan pakan mengandung 4,85% N, pakan memasok 87,9% masukan nitrogen ke dalam kolam ikan (Gross et al., 2000).
1,4 116,6 g
Kadar amoniak (mg TAN/L)
1,2
40,6 g
1
0,946 0,872
0,77
0,8 0,626
0,6
0,534
0,53
0,536
0,49
0,46
0,4
0,35
0,38
0,2
0,41
0,16 0,16
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu Pengamatan (Jam)
Gambar 7. Pengamatan ekskresi amoniak ikan lele (C. gariepinus) berukuran 11l,6 g/ekor dan 40,0 g/ekor selama 6 jam. Selain itu, laju ekskresi amoniak dipengaruhi oleh ukuran ikan, di mana semakin besar ukuran ikan, laju ekskresi amoniak akan semakin menurun. Waktu ekskresi amoniak maksimum terjadi pada malam hari yaitu antara pukul 18.00 sampai 21.00 (Pruszynski, 2003). Brune et al. (2003) mengatakan bahwa 60% dari seluruh nitrogen yang terkandung dalam pakan akan dikeluarkan dalam bentuk NH4 dan 15%-nya akan dikeluarkan bersama feses. Dengan demikian, potensi pasokan amoniak kedalam air budidaya ikan adalah sebesar 75% dari kadar nitrogen dalam pakan, sedangkan dalam budidaya udang sebesar 90%.
33
4.3. Dinamika amoniak dan biomassa mikroba pada pemeliharaan ikan lele (C. gariepinus) Kadar amoniak di kolam pemeliharaan ikan lele selama 6 minggu menunjukkan pola peningkatan pada minggu kedua dan ketiga, menurun pada minggu keempat dan kembali meningkat pada minggu kelima dan keenam (Gambar 8). Amoniak di kolam budidaya ikan lele terutama berasal ekskresi ikan yang sangat dipengaruhi oleh kadar dan kualitas protein pakan yang diberikan. Montoya dan Velasco (2000) mengatakan bahwa amoniak yang dikeluarkan oleh ikan di dalam air akan membentuk kesetimbangan dengan ion ammonium. Amoniak dalam bentuk ion ammonium akan mengalami proses nitrifikasi oleh bakteri kemoautotrofik menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat. Namun demikian dengan adanya bahan organik, proses mikrobial yang berlangsung didominasi oleh bakteri heterotrofik yang lebih cepat menyerap ammonium menjadi biomassa bakteri. Menurut Ebeling et al. (2006) proses pengubahan nitrogen dalam sistem akuakultur yang berperan dalam pengurangan kandungan amoniak terdiri dari tiga proses yakni proses fotoautotrofik oleh alga, proses autotrofik bakterial yang mengubah amoniak menjadi nitrat, dan proses heterotrofik bakterial yang mengubah amoniak langsung menjadi biomassa bakteri. Namun demikian, pada kondisi alamiah tidak ada
sistem yang murni fotoautotrofik,
heterotrofik
bakterial maupun autotrofik bakterial (Wyk dan Avnimelech, 2007). Pada Gambar 8 juga terlihat bahwa dinamika kadar VSS mengikuti pola dinamika kadar amoniak. Pada saat kadar amoniak meningkat seperti minggu kedua dan keenam, kadar VSS juga meningkat dan pada saat kadar amoniak menurun kadar VSS juga menurun. Pada penelitian ini kadar VSS lebih menggambarkan biomassa mikroba, yang di dalamnya mengandung biomassa bakteri dan alga. Montoya dan Velasco (2000) menyatakan bahwa dalam kondisi terdapat cukup bahan organik, proses heterotrofik akan berlangsung lebih cepat
34
dibandingkan dengan proses autotrofik. Bakteri heterotrofik mempunyai efisiensi produksi sel yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi yakni 25-100 kali daripada bakteri Nitrosomonas sp. dan 10-33 kali daripada bakteri Nitrobacter sp.
Kadar TAN (mg/L)
2,00
Total Ammonia Nitrogen (TAN)
1,50
1,3198 1,0239
1,00 0,50
0,1421 0,0155
0
Kadar VSS(mg/L)
1,0
0,3423
0,1550
0,00
1
2
3
4
5
6
Volatile Suspended Solids (VSS)
0,8
0,929 0,717
0,6
0,519
0,4
0,303
0,2
0,032
0,115
0,060
0,0
0 Kadar Khlorofil-a (mg/L)
1,5724
10,0
1
2
Klorofil-a
3
4
5
6
7,279
8,0 8,108
6,0
5,830
4,802
4,991
4,0 3,877
2,0 0,080
0,0
0
1
2
3
4
5
6
Periode Pengamatan (minggu)
Gambar 8. Dinamika amoniak (TAN), populasi mikroba (VSS) dan fitoplankton (Klorofil-a) pada pemeliharaan ikan lele selama 6 minggu.
35
Menurut Brune et al. (2003) proses biosintesis bakteri heterotrofik berlangsung lebih cepat dibanding dengan proses biosintesis alga maupun proses bakteri nitrifikasi, yakni waktu regenerasi 10 jam berbanding dengan 24-48 jam. Laju pertumbuhan alga dan bakteri nitrifikasi hampir sama namun koefisien produksi alga hampir 57 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi, yakni 11,4 g alga/g N berbanding dengan 0,2 g bakteri/g N. Penambahan molases merupakan salah satu upaya peningkatan kadar bahan organik, dalam hal ini unsur karbon (C) yang sangat dibutuhkan oleh bakteri heterotrofik. Dinamika populasi fitoplankton (khlorofil-a) menunjukkan pola yang berlawanan dengan dinamika populasi bakteri (VSS). Pada saat VSS meningkat seperti pada minggu kedua dan kemudian pada minggu kelima dan keenam, populasi fitoplankton mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya persaingan nutrien yakni nitrogen yang berasal dari amoniak. Mengingat bakteri heterotrofik tumbuh lebih cepat maka pertumbuhan fitoplankton hanya memanfaatkan nitrogen sisa yang tidak terserap oleh bakteri heterotrofik. Menurut Montoya dan Velasco (2000), bakteri ini bisa menyerap sampai 50% dari jumlah amonium terlarut dalam air. Dengan angka yang hampir sama, Brune et al. (2003) mengatakan bahwa sekitar 43% masukan amoniak akan diubah menjadi biomassa bakteri heterotrofik, sementara proses nitrifikasi yang menyediakan nitrat untuk alga hanya mampu mengubah sebanyak 15% masukan amoniak. Pada penelitian ini tidak terdapat organisme filter feeder
yang
memanfaatkan biomassa bakteri heterotrofik. Hal ini menyebabkan proses regenerasi bakteri heterotrof berjalan secara alami yang relatif lambat dan tidak terjadi pemacuan. Peningkatan kadar amoniak pada minggu keenam merupakan indikasi bahwa masukan amoniak dari ekskresi ikan lele lebih besar dari proses konversi menjadi biomassa bakteri heterotrofik. Schneider et al. (2006) menyarankan waktu retensi (hydraulic retention time) antara 5-9 jam. Pada waktu retensi 8 jam, rata-rata produksi biomassa bakteri mencapai 123,8 g VSS/kg pakan dengan tingkat konversi nitrogen anorganik mencapai 90%.
36
Sebenarnya biomassa bakteri heterotrofik merupakan sumber pakan yang potensial untuk ikan. Menurut Azim et al. (2007), bakteri heterotrofik dalam bentuk bioflok menyumbang 43% pertumbuhan ikan nila. Dalam sistem BFT, ikan nila dapat memakan komunitas bakteri dan tumbuh baik dengan pakan berprotein rendah, sehingga terjadi penghematan biaya pakan. Pada penelitian lain, ikan nila dengan ukuran rata-rata 4,03 g/ekor yang dipelihara dengan padat penebaran 125 ekor/m2 di bak bakteri heterotrofik yang tumbuh dari limbah budidaya ikan lele mampu tumbuh menjadi 9,36 g/ekor (atau lebih dari 100%) selama 40 hari (Rachmiwati, 2008).
4.4. Penurunan limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele dengan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan Prinsip akuakultur berbasis jenjang rantai makanan (trophic level based aquaculture, TLBA) adalah semua nutrien limbah budidaya ikan yang jumlahnya lebih banyak daripada yang diretensi dimanfaatkan untuk akuakultur dengan memadukan sebanyak mungkin jenjang rantai makanan mulai rumput laut, kekerangan, tiram, teripang, ikan detrivor, herbivor dan omnivor (Surawidjaja, 2006). Pada penelitian ini, penambahan jenjang rantai makanan pada sistem budidaya ikan lele dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nitrogen, produksi ikan dan efisiensi pakan. Dalam hal penyerapan nitrogen, sistem budidaya ikan lele dengan satu jenjang rantai makanan mampu menyerap nitrogen pakan sebesar 31,84±12,47% dan membuang limbah nitrogen sebesar 68,16% dari kadar N dalam pakan yang diberikan. Sementara itu, dengan penambahan jenjang rantai makanan menjadi tiga, efisiensi penyerapan nitrogen meningkat menjadi 36,48±11,96% dengan limbah N yang dibuang sebesar 63,52% dari kandungan N dalam pakan (Tabel 3). Namun demikian, peningkatan tingkat efisiensi penyerapan nitrogen antar perlakukan di dalam penelitian ini tidak berbeda nyata (Lampiran 17).
37
Secara umum, nilai penyerapan nitrogen (N) pada budidaya ikan lele dalam penelitian ini berkisar antara 31,84% sampai dengan 36,48%, lebih tinggi dari budidaya ikan pada umumnya, yakni 25% (Brune et al., 2003). Menurut Gross et al. (2000), penyerapan N pakan oleh ikan pada budidaya ikan channel catfish mencapai 31,5%. Peningkatan efisiensi penyerapan nitrogen pakan pada akhirnya akan menyebabkan penurunan limbah nitrogen yang dibuang ke luar sistem budidaya ikan. Bagan penyerapan N oleh organisme dan sisa nitrogen pada budidaya ikan lele ditampilkan pada Gambar 9. Dari sisi keragaan produksi, penambahan jenjang rantai makanan memberikan peningkatan produksi (P<0,05) (Tabel 4, Lampiran 18). Budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan cenderung memberikan produksi ikan yang lebih tinggi yakni 101,45±19,71 kg/25 m2 dibandingkan dengan satu jenjang rantai makanan yakni sebesar 81,71±22,39 kg/25 m2. Peningkatan produksi ini ditunjang oleh keberadaan organisme selain ikan lele yakni ikan nila, kijing dan keong yang juga dipelihara dalam sistem tersebut. Ikan nila, kijing dan keong menyumbang produksi masing-masing sebesar 4,92±0,29 kg, 5,68±0,15 kg dan 5,11±0,05 kg per kolam seluas 25 m2. Tabel 3. Efisiensi Penyerapan Nitrogen (EN) pada budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan Jumlah Jenjang Rantai Makanan Satu Jenjang (Lele)
Jumlah N pakan (g)
Lele
Nila
3475,14
1141,13
-
-
-
1141,13
Dua Jenjang (Lele – Nila)
3226,43
1040,84
25,64
-
-
1066,48
(419,60)
(373,25)
(540,67)
(225,96)
(0,62)
Akumulasi N (g) Kijing Keong
Tiga Jenjang 3341,44 1198,54 29,51 12,24 2,28 (299,44) (530,87) (5,66) (2,71) (1,10) (Lele-NilaKekerangan) Catatan: Angka dalam kurung merupakan nilai simpangan baku (N=3).
Total (540,67)
(226,05)
1242,58 (528,30)
Efisiensi Penyerapan Nitrogen (%) 31,84 (12,47)
33,95
(11,63)
36,48
(11,96)
Dalam hal efisiensi pakan, penambahan jenjang rantai makanan tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05, Lampiran 19). Efisiensi pakan pada
38
budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan adalah sebesar 62,83±21,36%, sementara efisiensi pakan padapemeliharaan ikan lele dengan satu jenjang rantai makanan adalah sebesar 51,65±20,04%.
Tabel 4. Keragaan produksi budidaya ikan lele dengan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan selama 6 minggu pemeliharaan Parameter Ikan Lele
Luas kolam lele (m2) Padat tebar ikan lele (ekor/m2) Jumlah penebaran ikan lele (ekor/kolam) Ukuran tebar ikan lele (g/ekor) Jumlah biomassa tebar ikan lele (kg/kolam) Pertumbuhan ikan lele (%/hari) Kelangsungan hidup Ikan lele (%) Produksi ikan lele (kg/kolam)
Jumlah Jenjang Rantai Makanan Satu1 Dua2 Tiga3 10 100 1000 42,50 42,50 2,83±0,01 68,83±1,83 81,71±22,39
Ikan Nila
Luas kolam nila (m2) Padat tebar ikan nila (ekor/m2) Jumlah penebaran ikan nila (ekor/kolam) Ukuran tebar ikan nila (g/ekor) Jumlah biomassa tebar ikan nila (kg/kolam) Pertumbuhan ikan nila (%/hari) Kelangsungan hidup ikan nila (%) Produksi ikan nila (kg/kolam)
10 100 1000 42,50 42,50 2,73±0,66 65,60±0,89 63,02±20,23
10 100 1000 42,50 42,50 2,65±0,32 67,23±1,31 85,74±19,82
15 50 750 4,83 3,62 0,54±0,24 98,9±0,96 4,75±0,45
15 50 750 4,83 3,62 0,77±0,10 99,1±1,51 4,92±0,25
Kekerangan
Penebaran kijing (kg/kolam) Penebaran keong (kg/kolam) Produksi kijing (kg/kolam) Produksi keong (kg/kolam)
Total
Produksi total (kg) Jumlah Pakan (kg) Efisiensi Pakan (%) Efisiensi Nitrogen (%) Limbah Nitrogen (% N pakan) 1
5,0 5,0 5,68±0,15 5,11±0,05
81,71±22,39ab 72,96±8,81 51,65±20,04a 31,84±12,47a 68,16±12,47a
79,18±1,13b 67,74±7,84 49,35±6,94a 33,95±11,63a 66,05±11,63a
101,45±19,71a 70,15±6,29 62,83±21,36a 36,48±11,96a 63,52±11,96a
Ikan Lele saja 2Ikan Lele – Ikan Nila 3Ikan Lele-Ikan Nila-Moluska * Nilai rata-rata dengan huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda secara nyata (P<0,05).
Pada penelitian pemeliharaan ikan lele di keramba di dalam kolam dan diintegrasikan dengan udang galah sebagai filter feeder, Rohmana (2009)
39
mendapatkan nilai efisiensi pakan yang cukup tinggi yakni 118,20% hingga 129,97%. Penambahan organisme filter feeder yakni udang galah dapat meningkatkan efisiensi pakan total dalam sistem budidaya ikan lele. (a)
(b)
Pakan N = 3475,14 g (100%)
Pakan N = 3226,43 g (100%)
Ikan Lele N = 1040,84 g (33,14%)
Ikan Lele N = 1141,13 g (31,84%)
Ikan Nila N = 25,64 g (0,85%)
Terbuang
N = 2334,01 g
(68,16%)
Terbuang N = 2159,94 g (66,00%)
(c)
Pakan N = 3341,33 g (100%)
Ikan Lele N = 1198,54 g (35,15%)
Ikan Nila N = 29,51 g (0,89%)
Kijing N = 12,24 g (0,37%)
Keong N = 2,28 g (0,07%)
Terbuang N = 2098,86 g (63,52%)
Gambar 9. Aliran nitrogen (N) pada budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan dengan satu (a), dua (b), dan tiga (c) jenjang rantai makanan.
40
Rohmana (2009) juga melaporkan bahwa penambahan udang galah pada budidaya ikan lele heterotrofik dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nitrogen dari 63,55% menjadi 69,70%. Sementara itu Harris (2005) mengatakan bahwa pemanfaatan ikan pemakan plankton (ikan mola, silver carp) dan ikan pemakan perifiton (ikan nilem) pada budidaya ikan mas sistem TLBA di keramba jaring apung terbukti mampu menurunkan limbah nitrogen masing-masing sebesar 30,4 g dan 24,0 g per kg ikan tersebut. Pada penelitian ini, jejaring makanan yang dikembangkan adalah jejaring makanan berbasis bakteri heterotrofik dengan harapan proses asimilasi amoniak menjadi biomassa bakteri berlangsung lebih cepat. Menurut Brune et al. (2003) proses biosintesis bakteri heterotrofik berlangsung lebih cepat dibanding dengan proses biosintesis alga maupun proses bakteri nitrifikasi, yakni waktu regenerasi 10 jam berbanding dengan 24-48 jam. McGraw (2002) menyatakan selain lebih cepat tumbuh, bakteri heterotrofik merupakan sumber pakan yang baik untuk ikan. Bakteri heterotrofik yang berkembang dengan dukungan penambahan molases sebagai sumber karbon selanjutnya dimakan oleh ikan nila yang mampu berfungsi sebagai filter feeder. Menurut Azim et al. (2007), tilapia dapat memakan komunitas bakteri dalam sistem BFT dan tumbuh baik dengan pakan berprotein rendah, sehingga terjadi penghematan biaya pakan. Bioflok menyumbang 43% pertumbuhan ikan nila. Menurut Avnimelech and Kochba (2009), penyerapan nitrogen harian ikan nila mencapai sekitar 240 mg N/kg, atau setara dengan 1,6 g protein/kg ikan. Angka ini setara dengan 25% protein yang diberikan melalui pakan. Pada penelitian ini tingkat penyerapan N harian oleh ikan nila sebesar 145,87 mg N/kg ikan pada budidaya dua jenjang rantai makanan dan 164,55 mg N/kg ikan nila pada budidaya dengan tiga jenjang rantai makanan. Pada penelitian ini, ikan nila tumbuh sebesar 0,54±0,24%/hari pada perlakuan dua jenjang rantai makanan dan sebesar 0,77±0,10%/hari pada perlakuan tiga jenjang rantai makanan. Nilai laju pertumbuhan ikan nila ini relatif
41
kecil dan karenanya masih dapat ditingkatkan. Rachmiwati (2008) melaporkan bahwa ikan nila dengan ukuran rata-rata 4,03 g/ekor yang dipelihara dengan padat penebaran 125 ekor/m2 di bak bakteri heterotrofik dari limbah budidaya ikan lele (100 ekor/m2) mampu tumbuh menjadi 9,36 g/ekor selama 40 hari atau dengan laju pertumbuhan sebesar 2,11%/hari. Peningkatan pertumbuhan ikan nila dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan yang sekaligus dapat mendukung bakteri heterotrofik dapat tumbuh lebih baik, misalnya dengan meningkatkan aerasi. Penambahan jenjang rantai makanan relatif dapat menurunkan limbah nitrogen yang dihasilkan sistem budidaya ikan lele meskipun penurunan tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05; Lampiran 20). Budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan menghasilkan limbah nitrogen sebesar 63,52% dari kandungan nitrogen pakan, sementara pada budidaya ikan lele dengan satu jenjang rantai makanan menghasilkan limbah nitrogen sebesar 68,16% dari kandungan nitrogen pakan (Tabel 4). Menurut Bureau (2004), sekitar 80-90% dari limbah metabolik nitrogen yang dikeluarkan oleh ikan berupa amoniak. Faktor yang mempengaruhi jumlah amoniak yang dikeluarkan oleh ikan terutama dipengaruhi oleh komposisi asam amino yang dikandung di dalam pakan yang diberikan. Pemberian pakan di mana terdapat kelebihan asam amino juga mempengaruhi jumlah produksi amoniak. Pakan dengan kandungan asam amino yang kurang menyebabkan ekskresi amoniak lebih banyak. Tingkat ekskresi amoniak sangat bergantung pada kadar protein pakan. Pada pemeliharaan ikan channel catfish (I. punctatus) dengan pakan mengandung 4,85% N, pakan memasok 87,9% masukan nitrogen ke dalam kolam ikan (Gross et al., 2000). Menurut Pruszynski (2003), ekskresi amoniak ikan lele bergantung pada jumlah masukan protein yang diberikan. Selain itu, laju ekskresi amoniak dipengaruhi oleh ukuran ikan, di mana semakin besar ukuran ikan, laju ekskresi amoniak semakin menurun.
42
Kandungan limbah nitrogen yang dikeluarkan oleh sistem budidaya ikan lele pada penelitian ini masih cukup besar, yakni masing-masing 68,16%, 66,00% dan 63,52% dari N pakan untuk perlakuan satu, dua dan tiga jenjang rantai makanan. Jika ditelusur lebih jauh, kandungan limbah N tersebut setidaknya terkandung dalam kadar TAN, nitrit, nitrat, VSS dan klorofil-a. Nitrat bersifat tidak beracun dan merupakan unsur yang dibutuhkan oleh organisme fotoautotrofik seperti fitoplankton. VSS (bakteri) dan klorofil-a (fitoplankton) sebenarnya merupakan sumber pakan bagi organisme lain terutama yang termasuk ke dalam golongan filter feeder. Dengan demikian, yang benar-benar merupakan limbah nitrogen adalah TAN (terutama NH3) dan nitrit. Hasil pengukuran beberapa parameter tersebut pada akhir periode budidaya ikan lele menunjukkan bahwa secara umum perlakuan tiga jenjang rantai makanan berhasil menurunkan tingkat limbah nitrogen, terutama TAN, NH3 dan nitrit (NO2) dibandingkan dengan satu atau dua jenjang rantai makanan pada budidaya ikan lele (Gambar 10, Lampiran 21). Konsentrasi TAN, NH3 dan nitrit pada perlakuan tiga jenjang rantai makanan pada akhir periode pemeliharaan ikan lele masing-masing
adalah
2,50±1,39,
0,018±0,004
dan
0,29±0,03
mg/L,
dibandingkan dengan kadar parameter tersebut pada perlakuan satu jenjang yakni masing-masing 2,50±0,65, 0,018±0,005 dan 0,46±0,44 mg/L. Pada perlakuan Tiga Jenjang, dari sejumlah 2.098,86 g N yang terbuang, sebagian besar tersimpan dalam biomassa fitoplankton yakni sebesar 5,79±0,41 mg klorofil-a/L dan biomassa bakteri sebesar 0,85±0,14 mg VSS/L. Sebagian lainnya tersebar dalam konsentrasi TAN, nitrit dan nitrat sebesar masing-masing 2,50±1,39, 0,29±0,03 dan 1,31±0,36 mg/L.
43
6,00 Satu Jenjang Dua Jenjang
5,00
Tiga Jenjang
Konsentrasi (mg/L)
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00 TAN
NH3
Nitrit Toksik
Nitrat
VSS
Klorofil
Pakan Potensial
Gambar 10. Konsentrasi beberapa parameter kualitas air pada akhir periode budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada akhir periode pemeliharaan, di dalam air budidaya ikan lele masih terdapat bahan pakan potensial yakni biomassa bakteri dan fitoplankton, yakni masing-masing sebesar 0,74 hingga 0,93 mg VSS/L dan 3,60 hingga 5,79 mg klorofil-a/L (Gambar 10). Potensi ini masih dapat dimanfaatkan oleh organisme filter feeder, sehingga memungkinkan adanya upaya lanjut minimalisasi limbah budidaya ikan lele dengan meningkatkan pemanfaatan biomassa bakteri dan fitoplankton tersebut. Penambahan jenjang rantai makanan, pengaturan jumlah dan ukuran ikan filter feeder diharapkan dapat mendorong terjadinya minimalisasi lebih lanjut limbah nitrogen dari sistem budidaya ikan.
44
Keragaan rata-rata kualitas air selama pemeliharaan ikan lele berbasis jenjang rantai makanan menunjukkan profil yang hampir sama di antara ketiga perlakuan (Tabel 5). Pada umumnya nilai parameter-parameter kualitas air berada pada kisaran yang masih dapat ditoleransi untuk kehidupan ikan (Boyd, 1990), kecuali parameter kekeruhan yang menunjukkan nilai yang tinggi yakni rata-rata 485,05 NTU pada budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan hingga 568,71 NTU pada satu jenjang rantai makanan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa meskipun terjadi peningkatan produksi pada budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan, namun tidak menyebabkan penurunan kualitas air. Tabel 5. Keragaan rata-rata mingguan beberapa parameter kualitas air pada budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan selama 6 minggu. Parameter
Jumlah Jenjang Rantai Makanan Satu Dua2 Tiga3 1
Oksigen terlarut (mg O2/L) 3,63 (2,61-6,92) 3,05 (1,49-7,1) pH (unit) 6,91 (6,57-7,17) 6,98 (6,54-7,19) Temperatur air (oC) 28,72 (27,73-29,63) 28,79 (27,70-29,57) Amoniak Total (mg TAN/L) 1,03 (0,02-3,65) 1,74 (0,02-3,82) Amoniak (mg NH3-N/L) 0,0072 (0,0001-0,0256) 0,0122 (0,0001-0,0268) Nitrit (mg NO2/L) 0,17 (0,01-0,46) 0,16 (0,02-0,32) Nitrat (mg NO3/L) 1,12 (0,16-1,65) 0,94 (0,17-1,37) Alkalinitas (mg CaCO3/L) 271,26 (97,68-603,84) 274,86 (96,20-600,88) Kekeruhan (NTU) 568,71 (100,00-1259,67) 477,76 (63,33-1151,67) Padatan tersuspensi (mg TSS/L) 0,41 (0,01-0,92) 0,39 (0,02-0,93) Biomassa mikroba (mg VSS/L) 0,57 (0,03-2,05) 0,35 (0,07-0,62) Biomassa fitoplankton (mg kl-a/L) 5,14 (0,08-8,11) 4,28 (0,13-8,23) 1 Ikan Lele saja 2Ikan Lele – Ikan Nila 3Ikan Lele-Ikan Nila-Moluska * Nilai di dalam kurung merupakan nilai kisaran.(N=3).
3,09 (1,97-6,74) 6,97 (6,71-7,12 28,68 (27,70-29,70) 1,13 (0,05-4,01) 0,0079 (0,0004-0,0281) 0,17 (0,01-0,35) 1,07 (0,17-1,50) 270,84 (99,16-603,84) 485,05 (78,33-1199,00) 0,41 (0,01-0,90) 0,35 (0,06-0,53) 5,32 (0,05-11,25)