25
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Kandungan Gizi dan Non Gizi Tepung Tempe
Komposisi Proksimat Hasil analisis komposisi proksimat tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein terlihat pada Tabel 6 (Lampiran 1). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa secara umum terdapat beberapa perbedaan persentase kandungan gizi antara tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe terhadap kadar air. Uji beda lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar air tepung tempe kedelai grobogan (3.19%) tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai PRG (2.82%) dan non PRG (3.95%), tetapi kadar air tepung tempe kedelai non PRG nyata lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai PRG. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) antara jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe terhadap kadar lemak dan protein. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan persentase kadar lemak tepung tempe kedelai grobogan (24.39%) sangat nyata (p<0.01) lebih rendah dibandingkan tepung tempe kedelai PRG (29.57%) dan non PRG (29.06%). Kadar protein tepung tempe kedelai grobogan (52.22%) tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai non PRG (49.88%) dan nyata lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai PRG (47.08%). Perbedaan ini kemungkinan lebih disebabkan perbedaan varietas kedelai yang digunakan, proses pemuliaan, dan kondisi pada saat pertumbuhannya (Kumar et al, 2006 ; Muchtadi 2010a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap persentase kadar abu, serat kasar, dan karbohidrat. Tabel 6
Analisis proksimat kasein dan tepung tempe tiga jenis varietas kedelai (bk)
Kandungan Gizi
Kasein (%)
Tepung tempe kedelai PRG (%) 2.82 ± 0.21a 0.43 ± 0.18 29.57 ± 0.21a 47.08 ± 0.47a 4.69 ± 2.04
Tepung tempe kedelai Non PRG (%) 3.95 ± 0.37b 1.48 ± 0.24 29.06 ± 0.30a 49.88 ± 0.46 b 5.08 ± 0.43
Tepung tempe kedelai grobogan (%) 3.19 ± 0.01ab 0.53 ± 0.24 24.39 ± 0.27b 52.22 ± 0.43b 5.38 ± 0.13
10.85 ± 1.51 Kadar air (bb)* Kadar abu 0.56 ± 0.50 Kadar lemak** 0.59 ± 0.07 Kadar protein** 90.11 ± 1.90 Serat kasar 0 Karbohidrat by 8.73 ± 1.47 18.21 ± 1.52 14.49 ± 0.34 17.47 ± 0.17 difference Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama ditandai oleh (*) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dan tanda (**) menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.
26
Komposisi Asam Amino Hasil analisis komposisi asam amino tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG disajikan pada Tabel 7. Jenis asam amino penyusun tepung tempe terbagi atas asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Hoffman dan Falvo (2004) menjelaskan bahwa asam amino esensial adalah jenis asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan. Asam amino non-esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sehingga tidak harus diperoleh dari makanan. Kandungan asam amino penyusun ketiga jenis tepung tempe tersebut cukup lengkap, baik kandungan asam amino esensial maupun asam amino non-esensial. Tabel 7
Komposisi asam amino esensial tiga jenis tepung tempe
Jenis Asam Amino Histidin Isoleusin Leusin Lisin Methionin + Sistein Fenilalanin + Tirosin Treonin Valin Arginin Total
Tepung Tempe PRG (mg/g protein) 38.7 55.5 90.1 75.3 16.2 115.8 47.4 55.8 84.2 579
Tepung Tempe non PRG (mg/g protein) 42.1 66.9 106.6 109.9 17.3 134.3 49.3 65.1 91.4 682.9
Tepung Tempe grobogan (mg/g protein) 40.5 67.6 108.8 104.3 18.4 145.6 49.3 62.7 92.6 689.8
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa secara umum kandungan total asam amino esensial tepung tempe kedelai grobogan adalah 698.8 mg/g protein, tepung tempe kedelai PRG adalah 579 mg/g protein, dan tepung tempe kedelai non PRG adalah 682.9 mg/g protein. Dibandingkan kandungan asam amino esensial yang terdapat pada bahan hewani, kandungan asam amino esensial yang terdapat pada sumber pangan nabati terlihat lebih rendah. Kudlackova et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan asam amino esensial yang terdapat pada sumber pangan nabati (legum, kacang-kacangan dan padi-padian) mengandung sekitar 62-81% asam amino esensial dibandingkan sumber pangan hewani seperti telur. Berdasarkan kandungan asam amino esensial tersebut, dapat pula diketahui nilai skor kimia. Almatsier (2004) menyatakan bahwa skor kimia merupakan suatu cara yang digunakan untuk menetapkan nilai gizi protein dengan membandingkan kandungan asam amino esensial dalam bahan makanan dengan kandungan asam amino esensial yang sama dalam protein ideal/patokan. Muchtadi (2010b) menyatakan bahwa skor kimia dinyatakan oleh angka skor asam amino yang terendah. Dalam hal ini, bila sistein merupakan asam amino esensial yang paling defisien, maka kombinasi metionin dan sistein digunakan dalam perhitungan skor. Tetapi, bila metionin merupakan asam amino esensial yang paling defisien, maka hanya kadar metionin saja yang digunakan dalam perhitungan skor. Schaafsma (2000) menambahkan bahwa nilai skor kimia dihitung dengan angka kebutuhan asam amino pada anak usia sekolah. Secara umum, skor kimia pada ketiga jenis tepung tempe yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.
27
Tabel 8 Jenis Asam Amino
FAO/WHO (1990)
Histidin Isoleusin Leusin Lisin Met + Cys Phe + Tyr Treonin Valin
19 28 66 58 25 63 34 35
Skor kimia tiga jenis tepung tempe
Tepung tempe PRG mg/g SA SK 38 100 55 100 90 100 75 100 16 64 64 115 100 47 100 55 100
Tepung tempe non PRG mg/g SA SK 42 100 66 100 106 100 109 100 17 69 69 134 100 49 100 65 100
Tepung tempe grobogan mg/g SA SK 40 100 67 100 108 100 104 100 18 73 73 145 100 49 100 62 100
Dari ketiga jenis tepung tempe yang digunakan, jenis asam amino pembatasnya adalah sama, yaitu Met+Cys. Akan tetapi, nilai skor kimia yang diperoleh berbeda satu sama lainnya. Asam amino pembatas Met+Cys pada tepung tempe kedelai grobogan (73%) merupakan asam amino pembatas yang paling tinggi dibandingkan Met+Cys yang terdapat pada tepung tempe kedelai non PRG (69%) dan PRG (64%). Kudlackova et al. (2005) menjelaskan bahwa jenis asam amino pembatas yang paling banyak ditemukan pada bahan pangan nabati adalah metionin, lisin dan triptopan. Nilai skor kimia yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe yang digunakan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kedelai (54%), kentang (54%), gandum (53%) dan biji wijen (50%) (Astawan 2008). Selain kandungan asam amino esensial, ketiga jenis tepung tempe juga mengandung asam amino non-esensial. Kandungan total asam amino non esensial tepung tempe kedelai grobogan adalah 493.7 mg/g protein, tepung tempe kedelai PRG adalah 486.9 mg/g protein, dan tepung tempe kedelai non PRG adalah 521.2 mg/g protein. Hasil analisis komposisi asam amino non-esensial memperlihatkan bahwa kandungan asam glutamat merupakan jenis asam amino yang paling banyak yaitu sekitar 189 mg/g protein untuk tepung tempe grobogan, 166.5 mg/g protein untuk tepung tempe PRG, dan 204.6 mg/g protein untuk tepung tempe non PRG dan diikuti oleh asam amino aspartat yaitu sebesar 123.3 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai grobogan, 130.6 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai PRG, dan 130 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai non PRG.Secara umum kandungan asam amino non-esensial dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis Asam Amino Asam aspartat Serin Asam glutamat Glisin Alanin Prolin Total
Komposisi asam amino non-esensial tiga jenis tepung tempe Tepung Tempe PRG (mg/g protein)
Tepung Tempe non PRG (mg/g protein)
Tepung Tempe grobogan (mg/g protein)
130.6 66.4 166.5 47.2 44.9 31.3
130 57.5 204.6 47.9 52.5 28.7
123.3 57.1 189 47.4 49.8 27.1
486.9
521.2
493.7
28
Lindemann et al. (2002) ; Kurihara (2009) ; Kusnandar (2010) menyatakan bahwa asam amino aspartat dan glutamat berperan sebagai pemberi rasa gurih pada bahan pangan. Tingginya kandungan dua jenis asam amino non-esensial tersebut yang menyebabkan rasa tempe menjadi lebih gurih. Kandungan asam amino prolin merupakan jenis asam amino non-esensial yang paling sedikit dibandingkan asam amino non-esensial yang lainnya. Kandungan asam amino non-esensial pada sumber pangan nabati lebih tinggi dibandingkan sumber pangan hewani. Kudlackova et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein nabati 111-129 % lebih banyak dibandingkan telur. Komposisi Asam Lemak Hasil analisis komposisi asam lemak yang tersaji pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa kandungan asam lemak yang terdapat pada tepung tempe cukup lengkap. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa kandungan asam lemak yang dominan untuk tepung tempe kedelai grobogan adalah asam lemak oleat/ω9 (C18:1), asam lemak palmitat (C16:0) dan asam lemak stearat (C18:0), kandungan yang hampir sama juga terdapat pada tepung tempe kedelai non PRG dimana kandungan asam lemak oleat/ ω9 (C18:1) merupakan asam lemak yang dominan yang diikuti oleh asam lemak palmitat (C16:0) dan asam lemak stearat (C18:0). Kandungan asam lemak yang dominan pada tepung tempe kedelai PRG adalah asam lemak palmitat (C16:0), diikuti oleh asam lemak oleat/ ω9 (C18:1) dan asam lemak stearat (C18:0). Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan lokasi tanam akan dapat mempengaruhi komposisi asam lemak kedelai sehingga kadar yang diperoleh akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tabel 10
Komposisi asam lemak tiga jenis tepung tempe (% lemak dalam sampel) Jenis asam lemak
C 6:0 (as.kaproat) C 8:0 (as.kaprilat) C 16:0 (as.palmitat) C 18:0 (as.stearat) C 18:1 (as.oleat/ω9) C 18:2 (as.linoleat/ω6) C 18:3 (as.linolenat/ω3) C 20:0 (as.arahidat) C 20:3 ω6 (as.eikosatrienoat) C 21:0 (as.heneikosanoat)
Tepung tempe PRG 0.38 0.51 11.01 5.25 10.61 1.88 0.03 0.37 0.18 0.51
Tepung tempe Non PRG 0.23 0.36 7.90 5.23 8.21 0.55 0.11 0.40 0.66 0.42
Tepung tempe grobogan 0.22 0.33 9.61 1.94 11.89 1.62 0.16 0.20 0.25 0.53
Asam lemak oleat, linoleat dan linolenat merupakan jenis asam lemak esensial yang penting bagi tubuh. Asam lemak esensial merupakan jenis asam lemak yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan. Asam lemak esensial dibutuhkan untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan. Berdasarkan hasil analisis komposisi asam lemak pada Tabel 10, terlihat bahwa kandungan asam lemak tak jenuh seperti asam lemak linoleat dan
29
asam lemak linolenat dari ketiga jenis tepung tempe terlihat sangat rendah. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utari (2010) yang melakukan pengamatan asam lemak tak jenuh pada tempe kukus. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa kandungan asam lemak oleat (14.74%), linoleat (50.12%) dan linolenat (9.32%) merupakan jenis asam lemak yang dominan ditemukan pada tempe kukus. Hasil analisis komposisi asam lemak yang dilakukan pada tiga jenis tepung tempe memperlihatkan kandungan asam lemak tak jenuh tersebut sangat rendah dibandingkan tempe. Rendahnya kandungan ketiga jenis asam lemak tersebut mungkin disebabkan terjadinya kerusakan akibat proses pemanasan pada saat pembuatan tempe menjadi tepung melalui proses pengukusan maupun ketika dioven. Edwar et al. (2011) menjelaskan bahwa asam lemak tidak jenuh akan mengalami kerusakan, baik fisik maupun kimia, akibat proses pemanasan. Pemanasan dengan suhu tinggi dan lama pemanasan dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tidak jenuh. Proses pembuatan tepung tempe dengan dikukus selama 10 menit pada suhu 800C dan pengeringan dengan oven selama 6 jam pada suhu 600C diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kandungan lemak tidak jenuh tersebut. Kadar Serat Pangan Hasil analisis kadar serat pangan tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 1. Stoughton-Ens et al, (2010) menjelaskan bahwa perbedaan genotif, lingkungan pertumbuhan, serta lama masa tanam kedelai akan mempengaruhi kadar serat pangan pada bahan pangan. Santoso (2011) menjelaskan bahwa serat pangan, dikenal juga sebagai dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Astawan (2008) menjelaskan bahwa serat pangan yang terdapat pada tempe berasal dari biji kedelai sebagai bahan baku dan miselium kapang yang menghubungkan satu butiran kedelai dengan butiran yang lain membentuk suatu massa padat berwarna putih, kompak dan utuh. 7 Kadar serat pangan (g 100-1 )
5.83 5.35
5.21
5
3 TT-GR
Gambar 1
TT-PRG
TT-NPRG
Perbandingan kandungan serat pangan tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
30
Astawan (2008) menjelaskan bahwa serat pangan dalam tempe kedelai merupakan komponen karbohidrat yang sulit dicerna. Kandungan serat pangan pada tempe dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Kusharto (2006) menyatakan bahwa meskipun serat pangan tidak mengandung gizi, serat memiliki fungsi yang tidak tergantikan oleh zat lainnya dalam memicu terjadinya kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan kesehatan saluran pencernaan, khususnya usus halus dan besar. Astawan (2008) menambahkan tempe sebagai bahan pangan yang kaya akan serat pangan sangat berpotensi menjaga kesehatan seperti menurunkan kadar kolesterol plasma melalui ikatan intraluminal dalam usus antara serat dengan kolesterol dan asam empedu, yang akhirnya akan dikeluarkan melalui tinja. Keadaan ini akan mengurangi sirkulasi asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu, sehingga kolesterol plasma menurun. Disamping memberikan manfaat kesehatan, konsumsi serat pangan yang terlalu tinggi juga dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan. Santoso (2011) menjelaskan bahwa dampak merugikan jika mengonsumsi serat terlalu tinggi, yaitu dapat menyebabkan ketidaktersediaan beberapa zat gizi seperti vitamin larut dalam lemak dan mempengaruhi aktivitas enzim protease. Selain itu pula, dapat mempengaruhi penyerapan mineral sehingga dapat menyebabkan defisiensi mineral. Kadar Vitamin E Hasil analisis kadar vitamin E tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 2. Kandungan vitamin E yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut lebih tinggi dibandingkan kandungan vitamin E pada sumber hewani, hal ini disebabkan hewan tidak dapat mensintesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus diperoleh dari tanaman (Almatsier 2004). Aktivitas biologik vitamin E dinyatakan dalam Satuan Internasional (SI) dimana 1 mg d-alfa-tokoferol alami setara dengan 1.49 SI. Dengan demikian, kandungan vitamin E yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut jika dikonversi menjadi Satuan Internasional (SI) untuk tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG adalah 3.65, 4.29, dan 3.03 SI. 4 Kadar vitamin E (mg 100-1 )
2.88 3
2.45
2.04
2 1 0 TT-GR
Gambar 2
TT-PRG
TT-NPRG
Perbandingan kandungan vitamin E tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
31
Meskipun kandungan vitamin E pada ketiga jenis tepung tempe tersebut cukup tinggi, proses pengolahan kedelai menjadi tempe diketahui dapat menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan vitamin dan provitamin larut lemak seperti vitamin E. Denter et al. (1998) melaporkan bahwa proses pembuatan tempe seperti perebusan dan pengupasan kulit kedelai, dapat menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan vitamin dan provitamin larut lemak sekitar 15 %, dan vitamin larut air sekitar 50 %. Lebih lanjut Denter et al. (1998) menjelaskan bahwa selama proses fermentasi, kandungan vitamin E bebas mengalami penurunan, akan tetapi kandungan total vitamin E secara umum tetap stabil. Vitamin E merupakan salah satu jenis vitamin larut lemak yang memiliki fungsi sebagai antioksidan. Almatsier (2004) menjelaskan bahwa fungsi vitamin E sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan atom hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas. Keberadaan vitamin E di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan memegang peranan biologik utama dalam melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas. Kadar Isoflavon Total Hasil analisis kadar isoflavon total tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 3. Hasil analisis kadar isoflavon total yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe terlihat lebih rendah dibandingkan kadar isoflavon total yang terdapat pada kedelai mentah dan tempe. Astawan (2008) menyatakan bahwa kadar isoflavon total yang terdapat pada kedelai mentah adalah sebesar 140 mg 100-1 gram bahan, sedangkan pada tempe adalah sebesar 50 mg 100-1 gram bahan. 30
27.85
29.67
28.92
Kadar isoflavon total (mg 100-1 )
25
20 TT-GR
Gambar 3
TT-PRG
TT-NPRG
Perbandingan kandungan isoflavon total tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
Muchtadi (2012) dan Nakajima et al. (2005) menjelaskan bahwa kadar isoflavon total produk olahan kedelai dapat bervariasi dan dipengaruhi bukan saja oleh jenis (kultivar) dan umur panen kedelai yang digunakan, tetapi juga metode perebusan pada saat pembuatan tempe dapat mempengaruhi kadar isoflavon total. Pedroso et al. (2010) menambahkan bahwa perbedaan kadar isoflavon total dapat pula dipengaruhi oleh perbedaan suhu lingkungan pertumbuhan. Semakin tinggi suhu lingkungan, kadar isoflavon yang terdapat pada kedelai tersebut semakin rendah.
32
Kemungkinan selama proses pengolahan kedelai ada beberapa bagian isoflavon yang hilang (terbuang) atau rusak akibat proses pemanasan. Proses pembuatan tempe dengan dua kali perebusan diduga dapat menyebabkan kerusakan senyawa isoflavon. Tujuan dilakukannya dua kali perebuasan adalah pada perebusan pertama yang dilakukan pada air mendidih bersuhu 1000C selama 30 menit agar kedelai menjadi lebih lunak dan kulitnya menjadi lebih mudah dilepaskan. Perebusan kedua pada saat kedelai tanpa kulit selama 30-45 menit yang bertujuan untuk menghilangkan faktor antigizi pada kedelai, meningkatkan daya cerna dan membunuh mikroba yang tidak diinginkan. Penggunaan panas selain dilakukan pada saat pembuatan tempe, proses panas yang cukup tinggi juga dilakukan pada saat pembuatan tepung, yaitu proses pengukusan pada suhu 80oC selama 10 menit dan pengeringan dengan oven pada suhu 60oC selama 6 jam serta penggilingan dengan menggunakan pin disk mill, diduga dapat mengakibatkan penurunan kadar isoflavon total pada tepung tempe, sebagaimana yang dilaporkan oleh Pokorny et al. (2000). Azizah et al. (2009) dan Turkmen et al. (2005) menyatakan bahwa proses pengukusan selama 1 menit pada air mendidih dapat menyebabkan terjadinya penurunan (12-26%) komponen total phenol. Isoflavon merupakan bagian dari komponen phenol yang terdapat pada bahan pangan (Manach et al. 2004). Shao et al. (2009) menambahkan bahwa selama proses perlakukan panas, kandungan isoflavon akan menurun. Selain terjadinya penurunan kandungan isoflavon, ketersediaan isoflavon juga akan berpengaruh akibat terjadinya proses degradasi selama pemanasan. Selain proses perlakuan panas, Muchtadi (2012) dan Pedroso et al. (2010) menjelaskan bahwa proses pengolahan kedelai yang melibatkan air akan menyebabkan terjadinya kehilangan sebagian besar isoflavon, hal ini disebabkan karena terjadinya pelarutan isoflavon. Proses pencucian dan perendaman kedelai dengan menggunakan air dapat menyebabkan terjadinya kehilangan beberapa kadar isoflavon total dan kehilangan tersebut akan semakin meningkat apabila diberi perlakuan panas dan waktu perlakuan yang lama. Terjadinya kehilangan kadar isoflavon total akan semakin meningkat apabila biji kedelai direndam tanpa kulit. Isoflavon merupakan salah satu senyawa poliphenol yang banyak terdapat pada kacang-kacangan khususnya pada kedelai. Kemampuan isoflavon sebagai senyawa yang dapat berperan sebagai antioksidan mendapat perhatian khusus bagi peneliti. Wu (1999) melaporkan kemampuan isoflavon dalam menghambat oksidasi kolesterol dan kanker. Astawan (2008) menjelaskan bahwa kandungan isoflavon pada olahan kedelai non fermentasi umumnya berada dalam bentuk glikosida, yaitu 64 % genistin, 23 % daidzin dan 13 % glisetin. Akan tetapi pada produk fermentasi kedelai seperti tempe, isoflavon umumnya berada dalam bentuk bebas (aglikon), yaitu genistein, daidzein, dan glisitein. Nakajima et al. (2005) menambahkan bahwa isoflavon dalam bentuk aglikon lebih mudah diserap dibandingkan bentuk glikosida. Evaluasi Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Secara In Vivo Tujuan dari evaluasi nilai gizi protein adalah untuk mengetahui kemampuan kandungan protein yang terdapat dalam bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan tubuh, seperti pertumbuhan dan fungsi tubuh lain (Milward et al.2008). Evaluasi
33
nilai gizi protein secara in vivo menggunakan tikus sebagai model percobaan yang ditempatkan dalam kandang metabolik untuk memperoleh urin dan feses (Gambar 4). Tikus diberikan ransum yang dihitung berdasarkan AOAC (1995) dengan persentase protein sebesar 10%. Tabel 11 menunjukkan komposisi ransum masing-masing perlakuan 100 gram.
Gambar 4 Kandang Metabolik Tabel 11 Bahan Ransum
Sampel tepung Minyak jagung Campurang mineral Campuran vitamin CMC Air Pati jagung Total
Komposisi ransum masing-masing perlakuan Non protein (g)
Kasein (g)
0 8 5 1 1 5 80 100
12.5 7.9 4.5 1.0 1.0 3.7 69.4 100
Jenis Ransum Tepung tempe Tepung kedelai tempe grobogan kedelai PRG (g) (g) 19.8 21.9 3.3 1.7 4.9 4.9 1.0 1.0 0.0 0.0 4.4 4.4 66.6 66.1 100 100
Tepung tempe kedelai non PRG (g) 20.8 2.2 4.7 1.0 0.0 4.2 67 100
Konsumsi Ransum Total dan Kenaikan Berat Badan. Hasil analisis konsumsi ransum total oleh tikus selama 28 hari percobaan (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap konsumsi ransum total. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa konsumsi ransum total kelompok non protein sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein. Konsumsi ransum total kelompok tepung tempe grobogan tidak berbeda nyata dengan kelompok tepung tempe kedelai non PRG dan kasein, namun nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe PRG. Hasil pengamatan kenaikan berat badan tikus selama 28 hari perlakuan (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kenaikan berat badan. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan kelompok non protein sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein. Kenaikan berat badan kelompok tepung tempe kedelai grobogan tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai PRG dan non PRG, namun sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein.
34
Tabel 12
Konsumsi ransum total dan kenaikan berat badan berdasarkan kelompok perlakuan Konsumsi Ransum Total (g/28 hari)
Perlakuan
Sebelum Percobaan
Non protein 106.01 ± 12.68c 39 ± 1.41 Kasein 305.18 ± 31.02ab 38.4 ± 2.88 Tepung tempe 43 ± 2.55 277.05 ± 24.55a PRG Tepung tempe 302.69 ± 20.04ab 43.8 ± 6.01 non PRG Tepung tempe 45.6 ± 4.76 331.90 ± 25.38b grobogan Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.
Berat Badan (g) Setelah Perubahan Berat Percobaan Badan (28 hari) 26.8 ± 1.64c -12.2 ± 2.77a a 113.6 ± 7.16 75.2 ± 5.76b 105.2 ± 4.08ab
62.2 ± 5.84c
104.4 ± 7.86b
60.6 ± 2.88c
111.2 ± 7.59ab
65.6 ± 3.43c
sama menunjukkan berbeda sangat
Kenaikan berat badan tikus percobaan selama 28 hari masa perlakuan tersaji pada Gambar 5. Kenaikan berat badan kelompok kasein lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe. Hal ini mungkin disebabkan komposisi asam amino esensial dan kandungan mineral kalsium dan fosfor yang terdapat pada kasein lebih tinggi dibandingkan tepung tempe (Hoffman dan Falvo 2004 ; Waelen et al 2009). 120 110 Berat badan 100 90 (g) 80 70 60 50 40 30 20
Non Protein Kasein GMO Non-GMO Grobogan
0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Waktu (hari)
Gambar 5 Perubahan berat badan tikus percobaan selama 28 hari perlakuan Selain proporsi antara protein, lemak dan karbohidrat, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tubuh adalah kualitas protein yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Kualitas protein merupakan gambaran bagaimana protein yang terkandung dalam bahan pangan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan, baik dilihat dari komposisi asam amino esensial, kemampuan tubuh untuk mencerna, serta bioavaibilitas asam amino yang dikandungnya (Schaafsma 2000; Hoffman dan Falvo 2004).
35
Nilai Gizi Protein Berdasarkan Metode Pertumbuhan Evaluasi nilai gizi protein dengan metode pertumbuhan menghubungkan secara kualitatif antara laju pertumbuhan hewan percobaan dengan jumlah konsumsi protein. Nilai feed conversion efficiency (FCE) menggambarkan rasio kenaikan berat badan yang dipengaruhi oleh total konsumsi. Tabel 13 menampilkan nilai FCE dari masing-masing perlakuan (Lampiran 5). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai FCE. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan FCE tepung tempe kedelai grobogan (20.10%) tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai PRG (21.21%) dan non PRG (20.04%), namun sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein (24.69%). Tingginya persentase FCE kelompok kasein disebabkan oleh kenaikan berat badan kelompok kasein pada akhir penelitian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe. Meskipun nilai FCE ketiga jenis tepung tempe lebih rendah dibandingkan FCE kasein, namun masih lebih tinggi dibandingkan nilai FCE kedelai mentah. Kiers et al. (2003) menjelaskan bahwa kedelai yang difermentasi dengan menggunakan Rhizopus sp mengalami peningkatan FCE sebesar 3%. Tabel 13 Perbandingan nilai FCE, PER, dan NPR tepung tempe dan kasein Perlakuan FCE (%)** PER** NPR* a a Kasein 24.69 ± 0.88 2.47 ± 0.08 3.67 ± 0.32a 21.21 ± 2.70b Tepung tempe PRG 2.12 ± 0.27b 2.96 ± 0.81b b b Tepung tempe non PRG 20.04 ± 0.60 2.00 ± 0.06 2.96 ± 0.51 b 20.10 ± 1.11b 2.01 ± 0.10b 2.48 ± 0.21b Tepung tempe grobogan Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama ditandai oleh (*) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dan tanda (**) menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.
Metode yang digunakan untuk melihat hubungan antara kenaikan berat badan dengan konsumsi protein adalah metode protein efficiency ratio (PER). PER merupakan parameter nilai gizi protein yang paling banyak digunakan. Hoffman dan Falvo (2004) menjelaskan bahwa PER digunakan untuk mengetahui seberapa efektif protein yang terdapat dalam bahan pangan mempengaruhi pertumbuhan hewan coba. Nilai PER sampel protein uji kemudian dibandingkan nilai PER standar, yaitu PER kasein. Kasein digunakan sebagai standar dikarenakan kandungan asam amino esensial yang terdapat pada kasein tersebut cukup lengkap untuk pertumbuhan hewan coba. Terdapatnya perbedaan kualitas protein dalam ransum menyebabkan perbedaan nilai PER yang diperoleh (Astuti 1999). Pada hakikatnya, perhitungan PER hampir mirip dengan perhitungan FCE, yang membedakan adalah pembaginya. Pembagi pada PER adalah total protein yang dikonsumsi, sedangkan FCE pembaginya adalah total ransum yang dikonsumsi. Tabel 13 menampilkan nilai PER dari masing-masing perlakuan (Lampiran 5). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai PER. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa nilai PER kelompok tepung tempe kedelai grobogan (2.01) tidak berbeda nyata
36
dibandingkan kelompok tepung tempe kedelai PRG (2.12) dan non PRG (2.0), namun sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein (2.47). Sumber protein hewani memiliki nilai PER lebih tinggi dibandingkan sumber protein nabati. Nilai PER ketiga jenis tepung tempe tersebut lebih rendah dibandingkan nilai PER dari sumber hewani seperti telur (3.9), susu (2.5) dan daging sapi (2.9) (Hoffman dan Falvo 2004). Analisis kualitas protein dengan menggunakan metode PER memiliki kelemahan, yaitu adanya asumsi bahwa seluruh protein yang dikonsumsi digunakan untuk pertumbuhan, sementara untuk pemeliharaan jaringan tubuh tidak diperhitungkan (Muchtadi, 2010b). Mengatasi permasalahan tersebut, digunakan metode net protein ratio (NPR) dengan menambahkan satu kelompok non protein. Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung sebagai rata-rata dari kelompok tikus yang memperoleh ransum non protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap kelompok. Tabel 13, menampilkan nilai NPR dari masing-masing perlakuan (Lampiran 5). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kenaikan nilai NPR. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa tepung tempe kedelai grobogan (2.48) tidak berbeda nyata dengan kelompok tepung tempe kedelai PRG (2.96) dan non PRG (2.96), namun nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein (3.67). Berdasarkan nilai PER dan NPR, dapat diketahui bahwa asupan protein yang terdapat dalam ransum tersebut dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan baik oleh tikus percobaan, baik untuk pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan tubuh. Nilai Gizi Protein Berdasarkan Metode Keseimbangan Nitrogen Pengukuran nilai gizi protein dengan metode keseimbangan nitrogen dapat dilakukan dengan parameter true protein digestibility (TPD), biological value (BV), serta net protein utilization (NPU). Tabel 14, menampilkan nilai TPD dari masing-masing perlakuan (Lampiran 6). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai TPD. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa nilai TPD kelompok tepung tempe kedelai grobogan (84%) tidak berbeda nyata dengan kelompok tepung tempe kedelai non PRG (81.23%), namun sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe PRG (80.27%) dan sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein (87.33%). Nilai TPD kelompok tepung tempe kedelai non PRG tidak berbeda nyata dengan kelompok tepung tempe kedelai PRG. Manuel et al. (2013) keberadaan serat pangan yang tinggi pada bahan pangan akan mempengaruhi daya cerna protein hal ini disebabkan protein akan terperangkap oleh serat pangan dan membuat protein tersebut tidak dapat dicerna sehingga menyebabkan daya cerna menjadi rendah. Terperangkapnya protein dalam serat pangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar nitrogen dalam feses. Shah et al. (1986) menambahkan bahwa peningkatan kadar nitrogen feses disebabkan oleh terjadinya penurunan aktivitas enzim proteolitik gastrointestinal sehingga proses pencernaan protein menjadi terganggu. Bahan pangan yang mengandung serat pangan tinggi menyebabkan aktivitas pepsin
37
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sumber bahan pangan yang mengandung sedikit serat pangan. Tabel 14
Perbandingan nilai TPD, BV, NPU dan PDCAAS tepung tempe dan kasein
True Protein Biological Net Protein PDCAAS Digestibility Value Utilization (%) (%) (%) 87.33 ± 1.89a 75.1 ± 1.70a Kasein 86.34 ± 7.09 75.42 ± 6.84 80.27 ± 0.81b 52.01 ± 0.52b Tepung tempe PRG 88.78 ± 4.08 71.28 ± 3.65 Tepung tempe non PRG 91.70 ± 3.60 74.57 ± 3.30 81.23 ± 1.63bc 56.2 ± 1.11c Tepung tempe grobogan 91.53 ± 5.17 76.93 ± 5.35 84.00 ± 3.22c 61.82 ± 1.67d Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan. Perlakuan
Selain TPD, parameter lain yang digunakan untuk mengukur nilai gizi protein adalah biological value (BV). Hoffman dan Falvo (2004) menjelaskan bahwa BV merupakan metode yang digunakan untuk mengukur nilai gizi protein dengan cara menghitung penggunaan nitrogen untuk pembentukan jaringan dibagi dengan jumlah nitrogen yang terserap oleh tubuh dari bahan pangan. Dengan kata lain, BV digunakan untuk mengetahui seberapa besar tubuh menggunakan protein yang diperoleh dari bahan pangan. Semakin banyak protein yang ditahan oleh tubuh, semakin tinggi nilai biologisnya. Protein yang telah dicerna dan diserap oleh usus tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh sehingga daya cerna yang tinggi tidak menjamin nilai biologis akan tinggi pula. Hasil perhitungan nilai BV dari masing-masing perlakuan (Lampiran 6) tersaji pada Tabel 14. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BV kelompok tepung tempe kedelai grobogan (91.53%), PRG (88.78%), non PRG (91.70%), dan kasein (86.34%). Almatsier (2004) menjelaskan bahwa makanan yang mempunyai nilai BV ≥ 70 dianggap mampu memberi pertumbuhan bila dikonsumsi dalam jumlah cukup dan konsumsi energi mencukupi. Metode biological value memiliki kekurangan, yaitu hanya memperhatikan jumlah protein yang ditahan, tetapi tidak memperhatikan jumlah protein yang dicerna. Oleh karena itu, metode yang dapat digunakan untuk melihat kedua parameter tersebut adalah metode net protein utilization (NPU). Hasil perhintungan nilai NPU dari masing-masing perlakuan (Lampiran 6) tersaji pada Tabel 14. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai NPU kelompok tepung tempe kedelai grobogan (76.93%), PRG (71.28%), non PRG (74.57%), dan kasein (75.42%). Hal ini membuktikan bahwa kandungan nitrogen yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut dapat dicerna dengan baik dan digunakan oleh tubuh sama seperti kasein. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi protein adalah metode protein digestibility–corrected amino acid score (PDCAAS). Metode PDCAAS merupakan suatu metode yang dihitung dengan menggabungkan nilai daya cerna protein sejati yang ditetapkan secara biologis (tikus percobaan) dengan skor asam amino esensial yang terendah. Schaafsma (2000) menyatakan bahwa metode PDCAAS merupakan metode evaluasi nilai
38
gizi protein yang diadopsi dari FAO/WHO (1990) dan dinilai lebih tepat karena berdasarkan kebutuhan manusia. Metode ini berdasarkan perbandingan konsentrasi asam amino esensial pembatas yang terdapat pada sampel protein uji dengan konsentrasi asam amino referensi yang berasal dari kebutuhan akan asam amino esensial pada anak usia sekolah. Skor kimia yang diperoleh dikoreksi dengan daya cerna sampel protein uji. Nilai PDCAAS paling tinggi adalah 100, dan paling rendah adalah 0. Semakin mendekati 100, maka kualitas nilai gizi protein suatu bahan pangan semakin baik. Jika nilai PDCAAS melebihi dari 100, maka akan dipotong sehingga penetapan nilai PDCAAS tidak akan melebihi 100 (Sarwar, 1997 ; Schaafsma, 2000 ; Rodriguez et al. 2006). Hasil perhitungan nilai PDCAAS dari masing-masing perlakuan (Lampiran 6) tersaji pada Tabel 14. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai PDCAAS. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai PDCAAS tepung tempe kedelai grobogon (61.82) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai non PRG (56.2) dan PRG (52.01), tetapi sangat nyata lebih rendah dibandingkan kasein (75.1). Tingginya nilai PDCAAS tepung tempe kedelai grobogan dikarenakan asam amino pembatas Met+Cys jenis tepung ini lebih tinggi dibandingkan kedua jenis tepung tempe lainnya. Secara umum kandungan total asam amino esensial tepung tempe grobogan lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai PRG dan non PRG. Selain itu, daya cerna tepung tempe kedelai grobogan juga lebih tinggi dibandingkan daya cerna tepung tempe kedelai PRG dan non PRG. Meskipun metode PDCAAS saat ini paling diterima dan paling banyak digunakan, metode ini juga memiliki keterbatasan yang berkaitan dengan nilai yang terlalu tinggi (overestimation) pada orang berusia lanjut, pengaruh pencernaan ileum usus, serta faktor antinutrisi (Sarwar, 1997). Aktivitas Antioksidan secara In Vitro dan In Vivo Cadenas dan Packer (2002) menjelaskan bahwa antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat atau menunda proses oksidasi substrat pada konsentrasi yang rendah. Kemampuan antioksidan dalam menangkap radikal bebas dengan cara mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang radikal, sehingga produk yang dihasilkan lebih stabil dari produk inisial. Selain itu, antioksidan dapat menghilangkan penginisiasi oksigen maupun nitrogen radikal atau bereaksi dengan komponen atau enzim yang menginisiasi enzim pereduksi atau mereduksi oksigen tanpa membentuk spesies radikal yang reaktif (Vaya dan Aviram, 2001). Thakral et al. (2010) menjelaskan bahwa radikal bebas merupakan senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Penyebaran radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan ribuan reaksi kimia dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Lipid, protein, dan DNA merupakan target dari serangan radikal bebas. Antioksidan dapat memberikan perlawanan dari serangan stres oksidatif dengan cara menangkap radikal bebas tersebut kemudian mendonorkan atom hidrogennya ke atom yang tidak berpasangan sehingga tidak menjadi radikal bebas lagi.
39
Analisis kapasitas antioksidan secara in vitro metode DPPH merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menganalisis kapasitas antioksidan suatu bahan, baik berupa bahan pangan maupun obat-obatan. Molyneux (2004) menyatakan bahwa DPPH (2,2-diphenyl1-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl12picrylhydrazil) merupakan suatu radikal bebas yang bersifat stabil. Kemampuan antioksidan dalam mendonorkan atom H kepada DPPH yang terlihat pada nilai IC50 (inhibition concentration 50%) seperti yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Aktivitas antioksidan tiga jenis tepung tempe dan vitamin C Sampel IC50 (ppm) 2524.7 Tepung tempe kedelai grobogan 3349.3 Tepung tempe kedelai PRG Tepung tempe kedelai non PRG 4049.6 Vitamin C 5.03 Berdasarkan data pada Tabel 15, diketahui bahwa kemampuan antioksidan dari ketiga jenis tepung tempe tersebut sangat rendah dibandingkan vitamin C (Lampiran 9). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan menggunakan DPPH pada prinsipnya merupakan reaksi antara antioksidan dengan DPPH dan mereduksinya menjadi DPPH-H. Lebih lanjut Thakral et al. (2010) menjelaskan bahwa DPPH merupakan radikal bebas yang bersifat stabil yang dapat ditangkap oleh antioksidan dan memiliki absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 517 nm. Reaksi antara antioksidan dengan DPPH yang menghasilkan DPPH-H menyebabkan terjadinya perubahan absorbansi jika diukur pada panjang gelombang 517 nm. Perubahan ini disebabkan oleh reaksi pendonoran atom hidrogen dari antioksidan ke radikal DPPH sehingga terbentuk DPPH-H yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari ungu menjadi kuning. Pemudaran warna mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin rendah nilai absorbansi maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Semakin pudar warna dan semakin rendah nilai absorbansi menunjukkan bahwa semakin banyak radikal bebas yang bereaksi dengan antioksidan yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Molyneux (2004) menambahkan bahwa parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari uji aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal DPPH adalah nilai Efficient Concentration (EC50) atau disebut juga nilai IC50, yakni konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Gambar 6 merupakan struktur radikal bebas DPPH dan struktur DPPH-H yang tidak bersifat radikal.
1. Diphenylpicylhydrazyl (radikal bebas)
2. Diphenylpicrylhydrazine (tidak radikal)
Gambar 6 Struktur DPPH dan DPPH-H (Molyneux 2004)
40
Meskipun aktivitas antioksidan yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut tergolong rendah dibandingkan vitamin C, namun ketiga jenis tepung tempe tersebut masih memiliki komponen antioksidan. Rendahnya aktivitas antioksidan yang diuji secara in vitro dengan menggunakan metode DPPH terlihat pula dengan banyaknya terbentuk senyawa malonaldehid (MDA) yang diuji secara in vivo pada bagian hati dari kelompok tikus yang diberi makan tepung tempe kedelai PRG, non PRG, maupun grobongan dibandingkan kelompok kasein sebagai kontrol. Malonaldehid (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal sehingga digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan indikator kerusakan oksidatif membran sel. Perbedaan nilai MDA terkait dengan proses oksidasi yang terjadi. Semakin tinggi kadar MDA, maka semakin banyak pula terjadinya kerusakan oksidatif pada membran sel hati (Astuti et al. 2009). Tingkat peroksidasi lipid dapat ditekan oleh keberadaan antioksidan. Dengan demikian, kadar MDA yang rendah menunjukkan adanya penghambatan terhadap oksidasi lipid oleh suatu antioksidan. Gambar 7 menunjukkan hasil pengukuran kadar MDA hati dari tiga jenis tepung tempe dan kasein sebagai kontrol (Lampiran 10). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa jenis ransum yang diberikan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap pembentukan kadar MDA di hati. 0,4
0.353 ± 0.12 0.29 ± 0.13
Konsentrasi (µg g-1 sampel)
0.268 ± 0.09
0.238± 0.04 0,2
0 KAS
TT-GR
TT-PRG
TT-NPRG
Gambar 7 Hasil pengukuran kadar MDA hati kelompok kasein (KAS), tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TTPRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG) Hati merupakan organ yang memiliki fungsi utama berupa tempat penyimpan, metabolisme dan biosintesis zat gizi. Hodgson (2004) menyatakan bahwa hati merupakan salah satu organ target bagi senyawa kimia sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati tersebut. Umumnya senyawa xenobiotik masuk kedalam tubuh melalui jalur gastrointestinal, kemudian diabsorbsi dan ditransfer melalui pembuluh portal hepatic menuju hati. Dengan demikian hati merupakan organ pertama yang dilalui senyawa kimia sebelum diserap oleh sistem pencernaan tubuh, sehingga hati dapat digunakan sebagai parameter pembentukan radikal bebas. Rendahnya aktivitas antioksidan, baik diuji secara in vitro maupun in vivo dari ketiga jenis tepung tempe ini, diduga akibat terjadinya kerusakan senyawa yang memiliki sifat sebagai antioksidan selama proses pembuatan tempe maupun tepung tempe. Proses dua kali perebusan pada saat pembuatan tempe dan