24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan Lumba-lumba Hasil pengamatan lumba-lumba ditunjukan oleh Tabel 5.
Pengamatan
lumba-lumba di perairan Pulau Karang Congkak dan Perairan Pulau Karang Lebar selama bulan Maret-Juni 2011 dengan 5 priode pengambilan data ke lapang. Total waktu yang dibutuhkan setiap harinya adalah ± 10 jam. Jumlah kemunculan lumbalumba selama pengamatan di perairan tersebut sebanyak 88 individu. Terdapat 2 jenis spesies yang teridentifikasi selama pengamatan yaitu Delphinus delphis dan Tursiops truncantus. Tabel 5. Hasil pengamatan lumba-lumba berdasarkan priode pengamatan. Sampling ke
waktu pengamatan
2 - 10 Maret 2011 20 - 30 Maret 2011 15 - 21 April 2011 6 - 13 Mei 2011 13 - 19 Juni 2011 TOTAL Sumber : Data primer (2011) 1 2 3 4 5
Lama pengamatan (hari) 9 11 7 7 7 41
Jumlah yg teramati (individu) 5 0 27 24 32 88
Jumlah jenis (Spesies) 1 0 2 1 1 2
Keterangan (Musim) Peralihan Peralihan Timur awal Timur awal Timur awal
Pengambilan data dilakukan 5 priode dengan perjumpaan sebanyak 10 kali selama periode ini terjadi dalam 2 musim yaitu musim peralihan dan awal musim timur. Periode 1 dan 2 diambil saat musim peralihan sedangkan periode 3, 4, dan 5 diambil saat musim timur awal. Perbedaan musim ini mempengaruhi kemunculan lumba-lumba karena mempengaruhi angin dan gelombang perairan tersebut. Apabila dilihat saat musim peralihan yaitu priode 1 dan 2 hanya terjadi 1 pertemuan dengan jumlah 5 individu bahkan saat priode 2 tidak ditemukan kemunculan lumalumba. Hal ini berbeda dengan priode 3, 4, dan 5 yang terjadi pada musim timur awal jumlah yang ditemukan lebih banyak.
Hal ini dikarenakan pada musim
peralihan keadaan angin yang besar dan gelombang tinggi yang menyebabkan lumba-lumba tidak muncul ke permukaan, karena dalam kondisi seperti ini lumbalumba akan memerlukan energi lebih besar dalam berenang melawan gelombang
25
sehingga lumba–lumba lebih memilih berada di kolom perairan, sedangkan saat musim timur awal kondisi angin kecil dan gelombang yang tidak tinggi banyak lumba–lumba yang muncul ke permukaan. Pada musim peralihan juga banyak nelayan yang tidak berani melaut hal ini dikarenakan kondisi perairan yang tidak menentu cenderung berubah–ubah, terkadang kondisi angin tenang dan tidak lama kemudian kondisi perairan berangin kencang. Selain itu faktor keberadaan ikan– ikan kecil sebagai makanan lumba–lumba mempengaruhi keberadaan lumba–lumba. Saat musim timur kelimpahan ikan kecil lebih tinggi apabila dibandingkan musim peralihan. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Irfangi 2010) yang melakukan penelitian di pertengahan musim timur juga mendapatkan hasil pencacahan yang hampir sama dan dengann spesies yang sama yaitu Delphinus delphis dan Tursiops truncantus. Tursiops truncantus atau lumba-lumba hidung botol termasuk hewan yang tidak menyerang sehingga dapat dengan mudah dan aman untuk dinikmati atraksinya.
Sangat aktif di permukaan dan sering mengikuti gelombang yang
ditimbulkan oleh gerakan kapal. Identifikasi Tursiops truncantus di perairan dapat ditandai melalui tubuhnya yang relatif pendek dengan moncong yang pendek. Sirip punggung tinggi dan berujung agak bengkok seperti sabit serta muncul dari pertengahan punggung. Selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak dan perairan Pulau Karang Lebar, Tursiops truncantus dijumpai dalam kelompok 5- 10 ekor. Menurut Priyono (2001), Tursiops truncantus dijumpai dalam kelompok kurang dari 20 ekor. Lumba-lumba membentuk grup yang lebih besar adalah bagian dari startegi untuk memangsa karena sumber makanan mereka yang berupa schooling ikan menyebar di perairan terbuka.
Distribusi Tursiops truncantus
sebagian besar 500 m dari pantai, adakalanya berada lepas pantai dekat tebing curam (tubir) dimana mangsa mungkin secara relatif lebih berlimpah. Berdasarkan pengamatan selama 41 hari, tidak setiap hari ditemukan gerombolan lumba-lumba. Hal ini terjadi bersamaan dengan kondisi angin dan ombak yang tidak menentu karena sedang musim peralihan dari musim barat ke musim timur.
Menurut Lammers et al. 2001 in Siahainenia 2008, keberadaan
lumba-lumba hidung botol di dekat Kahe Point Hawaii yang merupakan pintu
26
masuk pelabuhan, hanya bersifat sementara karena kondisi perairan yang keruh dan angin yang bertiup kencang, sehingga tidak memungkinkan untuk beristirahat dan mencari makan. Saat pengamatan lumba-lumba kebanyakan dijumpai saat pagi hari dimana kondisi perairan yang jernih. Selama pengamatan berlangsung, terlihat adanya fenomena lainnya seperti kemunculan lumba-lumba disertai dengan di temukanya schooling ikan tongkol yang berlompatan dipermukaan air. Diduga keberadaan lumba-lumba di perairan Pulau Karang Congkak dan periaran Pulau Karang Lebar berhubungan dengan mencari makan. 4.2.
Tingkah Laku Lumba-lumba di Permukaan Air Kebiasaan lumba-lumba sering melakukan berbagai macam gerakan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupanya, seperti aerial, bowriding, breaching, lobtailing, feeding, travelling, logging, avoidance.
Berdasarkan
pengamatan lokasi perjumpaan dengan lumba-lumba berupa daerah laut terbuka (offshore) ataupun daerah perairan dangkal seperti daerah tubir terumbu karang. Saat perjumpaan lumba-lumba melakukan tingkah laku yang berbeda-beda. Tingkah laku yang sering dilakukan oleh lumba-lumba di perairan Pulau Karang Lebar adalah travelling atau membentuk kelompok dalam kegiatan mencari mangsa dan pergerakan untuk migrasi, sedangkan tingkah laku lumba-lumba yang ditemukan di perairan Pulau Karang Congkak yaitu aktivitas travelling dan gerakan lain yang teramati adalah breaching yang merupakan gerakan salto, berputar dan berbalik sebelum masuk ke dalam air. Perilaku lainnya seperti bowriding dan feeding juga sering terlihat selama pengamatan. Bowriding adalah tingkah laku lumba-lumba yang berenang mengikuti kapal dan bermain dengan ombak-ombak yang terbentuk karena kapal, namun tingkah laku ini tidak dapat direkam dengan alat dokumentasi. sedangkan feeding merupakan kegiatan yang dilakukan ketika sedang mencari makan.
Kegiatan
feeding biasanya ditandai dengan adanya schooling ikan pelagis di dekat keberadaan lumba-lumba (Gambar 4)
27
(a)
(b) Gambar 4. Tingkah laku aerials (a), travelling (b) di perairan Pulau Karang Congkak Tingkah laku lumba-lumba sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi, seperti musim, kedalaman perairan, pasang surut dan aktivitas manusia. Lumbalumba dapat merespon
berbagai perubahan ekologi yang mungkin tidak dapat
diprediksi dan berbeda-beda di setiap lokasi dimana lumba-lumba diteliti (Burgess 2006). Tingkah laku lumba-lumba yang berhasil diamati adalah feeding, travelling, breaching dan bowriding. Namun, tidak semua tingkah laku tersebut dapat terekam oleh alat dokumentasi, seperti bowriding. Menurut Wursig (1986) in Burgess (2006), famili Delphinidae memiliki startegi dalam mencari makan, baik dengan melakukan serangan secara individual maupun menyerang secara berkelompok. Pada pengamatan lumba-lumba berada di gugus karang dalam beberapa pod (kumpulan).
Pada saat feeding, lumba-lumba lebih banyak di gugusan karang
karena di daerah tersebut tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil yang menjadi makanan lumba-lumba. Menurut Amir et al.(2004), isi perut dari lumba-lumba jenis
28
Tursiops adancus yang tidak sengaja tertangkap oleh gillnet di Zanzibar, Tanzania kurang lebih terdapat 50 spesies bony fish dan tiga spesies cumi-cumi. Lima spesies ikan diantaranya adalah Uroconger lepturus, Synaphobranchus kaupii, Apogon apogonides, Lethrinus crocineus, dan Lutjanus fulvus, dan tiga spesies cumi-cumi diantaranya adalah Sepioteuthis lessoniana, Sepia latiamanus, dan Loligo duvauceli. Berdasarkan persentase jumlah dan berat yang dominan, Uroconger lepturus merupakan makanan utama bagi lumba-lumba dewasa (sudah mengalami kematangan organ reproduksi), sedangkan Apogon apogonides merupakan makanan utama bagi lumba-lumba yang masih kecil (belum mengalami kematagan organ reproduksi). Hasil penelitian tersebut secara umum menggambarkan bahwa lumbalumba jenis Tursiops adancus yang ditemukan di Pantai Zanzibar hanya memakan Chepalopoda dan ikan-ikan berukuran kecil hingga sedang yang berada di zona neritik.
Ekologi dan tingkah laku dari ikan-ikan yang dimangsa oleh Tursiops
adancus mengindikasikan bahwa lumba-lumba tersebut lebih banyak di sekitar karang atau di perairan dengan substrat yang halus dan dekat pantai. Tingkah laku breaching yang merupakan gerakan salto, berputar dan berbalik sebelum masuk ke dalam air. Menurut Lusseau (2006), Tingkah laku breaching dilakukan sebagai bentuk unjuk kekuatan dalam intraspesies atau hanya sekedar kesenangan.
Tingkah laku ini juga sering dilakukan oleh lumba-lumba untuk
melahirkan schooling ikan agar mudah dimakan (Carwardine 1995) Tingkah laku travelling dilakukan oleh lumba-lumba untuk bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, maupun untuk mencari makan secara bergerombol. Bearzi (2005) menyatakan bahwa tingkah laku yang sering dilakukan oleh Bottlenose dolphin di Teluk Santa Monica Bay, California adalah travelling dengan kecepatan 4,3 km/hari. Tingkah laku travelling ini dilakukan oleh semua jenis lumba-lumba yang dijumpai. 4.3. Distribusi Lumba-lumba Menurut Irfangi (2010) dan Wahyudi (2010) Kepulauan Seribu merupakan salah satu habitat bagi lumba-lumba. Spesies lumba-lumba yang dapat dijumpai di Kepulauan Seribu adalah Delphinus delphis, Pseudorea crassidens, Stenella longirostis, dan Tursiops truncatus. Hasil penelitian mereka berhasil mencacah sekitar 145 individu yang ditemukan di sekitar Pulau Gosong Congkak (Karang
29
Congkak), Karang Lebar, Pulau Opak, Pulau Kelapa, Pulau Kaliage Besar, Gosong Mungu, Karang Baronang, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Gambar 5).
Keterangan X X
´ µ ´ µ
'W X éé ´ µ "´
Sebaran lumba-lumba Berdasarkan Waktu ditemukan: 'W 03/03/2011 # 10/05/2010 ´ 17/04/2011 µ $ 11/05/2010 "´ 08/05/2011 U 16/05/2010 % é 12/05/2011 V 18/05/2010 & X 19/07/2011 Y 19/05/2010 # (^ 25/05/2010 Ú 26/05/2010 Ê þ# 27/05/2010 a 23/06/2010 % \ 24/06/2010 & '] 28/06/2010 $ 03/07/2010 Pulau/daratan Gosong karang
Lokasi yang dipetakan Sumber peta: BAKOSURTANAL, Atlas DKI Jakarta (2003) Dinas Pertanahan dan Pemetaan DKI Jakarta
Gambar 5. Distribusi lumba-lumba di Kepulauan Seribu priode Juni–Juli 2010 (Irfangi 2010 ; Wahyudi 2010) dan Maret–Juni 2011. Berdasarkan peta distribusi lumba-lumba di Kepulauan Seribu priode Juni–Juli 2010 (Irfangi 2010 ; Wahyudi 2010) dan Maret–Juni 2011 (Gambar 5) yang merupakan peta penggabungan pengamatan tahun sebelumnya dengan penelitian ini dapat dilihat bahwa pola distribusi lumba-lumba menyebar ditemukan di sekitar perairan Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak), Karang Lebar, Pulau Opak, Pulau Kelapa, Pulau Kaliage Besar, Gosong Mungu, Karang Baronang, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang, sedangkan lokasi perjumpaan dengan lumba-lumba yang paling sering terjadi di sekitar Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak). Berdasarkan hasil tersebut maka penelitian tahun 2011 dispesifikan di pulau Karang Congkak. Selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak, distribusi lumbalumba terletak menyebar di sekitar perairan Pulau Karang Congkak. Perjumpaan yang paling banyak terdapat dibagian selatan perairan tersebut, sedangan yang tidak
30
pernah di jumpai pertemuan lumba-lumba yaitu bagian barat perairan (Gambar 6). Hal ini di duga dipengaruhi oleh keadaan perairan dan ketersediaan makanan ini sesuai dengan pernyataan Leatherwood dan Reeves (1990) in Purnomo (2001) menyatakan bahwa distribusi lumba-lumba didaerah tempat tinggalnya berubahubah secara musiman, diduga ada tiga faktor yang mempengaruhinya: Perubahan distribusi musiman dan mangsa, tekanan predator dan kebutuhan reproduksi. Selain itu apabila di lihat secara tofografinya bagian Barat pulau Karang Congkak memiliki selat yang dangkal dan sempit karena di bagian ini terdapat beberapa gusung yang besar. Saat pengamatan, lumba-lumba banyak dijumpai di dekat tubir ini diduga lumba-lumba sedang melakukan tingkah laku feeding, karena di tubir banyak terdapat ikan pelagis yang merupakan sumber makanan. Ini sesuai dengan Priyono (2001) menyatakan bahwa Tursiops truncantus dijumpai dalam kelompok kurang dari 20 ekor. Lumba-lumba membentuk grup yang lebih besar adalah bagian dari startegi untuk memangsa karena sumber makanan mereka yang berupa schooling ikan menyebar di perairan terbuka. Distribusi Tursiops truncantus sebagian besar 500 m dari pantai, adakalanya berada lepas pantai dekat tebing curam (tubir) dimana mangsa mungkin secara relatif lebih berlimpah. Pada setiapa perjumpaaan terdapat kelimpahan lumba-lumba yang berbeda dan jenis yang berbeda.
Selain itu,
keberadaan lumba-lumba di sekitar karang diduga karena di perairan sekitar karang ombaknya tidak terlalu besar, sehingga lumba-lumba merasa nyaman. Gugusan karang dapat meredam ombak yang datang sehingga permukaan airnya lebih tenang. Berdasarkan pengamatan terdapat lumba-lumba yang ditemui jauh dari tubir (gugusan karang) seperti pada titik 6 dan 7 di bagian selatan perairan Pulau Karang Congkak di duga sedang melakukan aktivitas travelling, dimana mereka berenang ke arah tertentu dan melakukan penyelaman secara berkelompok, muncul ke permukaan air, dan mengejar ikan secara berkelompok. Menurut Canadas et al. (2002), kedalaman sangat mempengaruhi distribusi Cetacea di suatu perairan. Delphinus delphis dan Tursiops truncantus banyak dijumpai di perairan dangkal. Lumba-lumba jenis lain juga sering ditemukan di perairan dangkal namun frekuensinya sedikit. Hal ini sesuai dengan keadaan pada lokasi penelitian, dimana
31
kedalaman di kawasan perairan Pulau Karang Congkak berkisar antara 5-55 m (Wahyudi 2010) Berdasarkan pengamatan ditemukan 2 spesies yang teridentifikasi yaitu Delphinus delphis dan Tursiops truncantus. Ini dapat dilihat dari peta persebaran kelimpahan dan jenis lumba-lumba (Gambar 7). Dapat dilihat bahwa lumba-lumba paruh botol merupakan lumba-lumba yang paling sering ditemukan. Dari gambar penyebaran bahwa mayoritas setiap perjumpaan pasti ditemukan spesies tersebut. Hal ini menunjukan bahwa perairan pulau Karang Congkak meupakan kondisi habitat yang cocok untuk spesies jenis Delphinus delphis dan Tursiops truncantus. Menurut Priyono (2001) lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncantus), lumbalumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki persebaran di sekitar laut jawa dan menurut Rice (1998), lumbalumba hidung botol (Tursiops truncantus) memiliki daerah penyebaran yang sangat luas meliputi perairan tropis dan temperate.
Lumba-lumba ini juga dijumpai
diperairan dangkal dekat pantai dan di daerah lepas pantai. Jenis lumba-lumba yang paling sedikit dijumpai Delphinus delphis.
Di Mercury Bay, New Zealand,
pergerakan secara geografis dari Delphinus delphis dipengaruhi oleh musim. Lumba-lumba ini banyak dijumpai di daerah inshore pada musim semi, sedangkan pada musim panas dan musim gugur, lumba-lumba ini lebih banyak dijumpai di daerah offshore (Neumann & Orams 2005) in (Irfangi 2010). Setiap perjumpaan tidak selamanya lumba-lumba bergerombol dengan 1 spesies saja. Ada di beberapa perjumpaan terdapat kombinasi 2 spesies lumba-lumba sekaligus.
32
106°33'
106°34'
106°35'
106°36'
9
S #
LEGENDA N
10
# Lokasi Pada Pertemuan I S S Lokasi Pada Pertemuan II # S Lokasi Pada Pertemuan III #
5°42'
5°42'
S #
106°37'
# Lokasi Pada Pertemuan IV S S Lokasi Pada Pertemuan V #
Daratan Tubir Karang Lautan
P. Karang Congkak
1 8
6
S S # #
P. Gosong Pandan
S #
S #
7 2
4
S #
5°43'
5°43'
P. Gosong Keroya
S #
3 S #
Kartografer Mega Dewi Astuti C24070066 Skala 1:36.000 Sumber data: - Peta Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Indonesia - Data Survei Lapang Tahun Pembuatan : 2011
5 105°
106°
107°
108°
105°
106°
107°
108°
6°
P. Karya
104°
6°
5°44'
INSET 5°44'
P. Semakdaun
S #
P Sempit
7°
7°
P. Panggang 1.4
8°
0.7
2.1 Kilometers
5°45'
106°35'
106°36'
106°37'
9°
5°45'
106°34'
9°
P. Pramuka 106°33'
8°
0
104°
Gambar 6. Distribusi Lumba-lumba selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak.
33
Gambar 7. Distribusi lumba-lumba berdasarkan jenis dan jumlah selama pengamatan di perairan Pulau Karang Congkak dan perairan Pulau Karang Lebar.
34
4.4. Keterkaitan antara Keberadaan Lumba-lumba dan Karakteristik Lingkungan Pulau Karang Congkak. 4.4.1. Faktor kedalaman perairan Pulau Karang Congkak merupakan pulau yang memiliki daratan yang sempit dan perairan yang luas.
Perairan Pulau Karang Congkak memiliki
kedalaman yang bervariasi pada setiap bagian wilayahnya.
Berdasarkan
pengamatan, lokasi kemunculan lumba-lumba terdapat didaerah laut terbuka (offshore) dan daerah tubir trumbu karang dengan kedalaman yang berbeda.
Gambar 8. Peta batrimetri perairan Pulau Karang Congkak berdasarkan Kemunculan lumba-lumba. Lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncantus) merupakan lumba-lumba yang paling sering ditemukan kemunculannya saat pengamatan pada setiap titik pertemuan kecuali pada titik 3. Lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol merupakan daerah laut terbuka dan daerah tubir terumbu karang dengan kisaran kedalaman yang berbeda-beda. Kedalaman minimum kemunculan lumba-lumba hidung botol adalah 5 m dan kedalam maksimum 60 m. Lumba-lumba jenis ini
35
merupakan jenis yang umum dijumpai di perairan dengan tingkat adaptasi yang berbeda-beda pada setiap lokasi kemunculan. Leatherwood & Reeves (1983) in Ingram & Rogan (2002) menyatakan bahwa dari seluruh wilayah jelajahnya, lumba-lumba hidung botol umumnya ditemukan di daerah dangkal dan dekat dengan pantai. Lumba-lumba hidung botol mampu hidup dalam berbagai macam tipe habitat termasuk perairan antar benua, laguna dan laut dalam, dan perairan disekitar pulau dan kepulauan (Baerzi et al. 2008). Lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki wilayah sebaran yang cukup luas termasuk wilayah perairan tropis.
Berdasarkan hasil penamatan
lumba-lumba ini ditemukan pada kedalaman 5 m ( titik 3 dan titik 4) yang merupakan daerah dekat pantai (inshore). Di perairan Laut Hitam, lumba-lumba biasa ditemukan diperairan dekat pantai sampai dengan laut lepas pada musim panas dan musim gugur (Neumann & Orams 2005). 4.4.2. Suhu permukaan Suhu menjadi faktor yang sangat berperan dalam proses fisiologi bagi seluruh organisme, baik pada ikan maupun mamalia laut. Suhu juga berperan dalam persebaran biota di perairan. Berdasarkan sebaran horizontal suhu air laut dipermukaan (Gambar 9) terlihat ada variasi dengan nilai tertinggi 29,25 ⁰C dan nilai terendah 27,50 ⁰C. Lumba-lumba lebih sering muncul pada suhu 28 ⁰C, yaitu sebanyak 5 titik dan sisanya terdapat pada suhu 27 ⁰C dan 29 ⁰C. Secara umum suhu air di saat lumba-lumba ditemukan memiliki kisaran yang sempit yaitu 2,25 ⁰C. Hal ini membuat lumba-lumba tidak merasa terganggu, karena kisaran suhu perairan berada dalam kisaran suhu yang disukai. Lumba-lumba hidung botol (Tursiops trucantus) merupakan jenis mamalia laut yang mampu hidup pada kisaran suhu yang berbeda. Di daerah pantai Utara Amerika, lumba-lumba hidung botol sering dijumpai pada suhu permukaan 10-32 ⁰C (Well & Scott 1999 in www.iucnredlist.org 2010).
Lumba-lumba biasa
(Delphinus delphis) memiliki wilayah persebaran yang cukup luas termasuk perairan tropis dan subtropis.
Dari hasil pengamatan lumba-lumba jenis ini
ditemukan pada suhu 29 ⁰C. Menurut Cawardine (1995) lumba-lumba biasa dapat hidup di perairan yang hangat dan suhu air laut dapat mempengaruhi suhu tubuh dalam beraktivitas dan pada saat memangsa makanan.
Suhu permukaan di
36
Kepulauan Seribu berkisar antara 28,5-31 ⁰C (Dinas Perikanan dan kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003) dan menurut Bruyns (2001) in Ali (2006) menyatakan bahwa lumba-lumba memiliki kisaran suhu 26-31 ⁰C.
Apabila dibandingkan
dengan hasil pengamatan yang maka perairan Pulau Karang Congkak dan sekitarnya merupakan daerah yang sesuai dengan habitat lumba-lumba.
Suhu permukaan (⁰C) Gambar 9. Sebaran horizontal suhu air laut dipermukaan 4.4.3. Salinitas Salinitas dapat memberikan pengaruh untuk distribusi lumba-lumba menurut Ali (2006) distribusi lumba-lumba dibatasi oleh gradien salinitas dipermukaan laut. Berdasarkan sebaran horizontal salinitas air laut (Gambar 10) posisi kemunculan lumba-lumba ditemukan pada kisaran salinitas antara 30-32 ‰ dengan sebaran terlihat bervariasi. Dari hasil penelitian, lumba-lumba hidung botol (Tursiops trucantus) berkisar antara 30-31 ‰ sedangkan untuk lumbalumba biasa dengan salinitas 32 ‰. Pada beberapa wilayah seperti di Guayaquil, salinitas perairan mempengaruhi distribusi lumba-lumba hidung botol. Lumbalumba hidung botol yang hidup di wilayah ini hidup disekitar daerah muara, dimana tingkat salinitasnya mengalami perubahan karena adanya run off dari daerah daratan atau sungai. Pada daerah ini, lumba-lumba hidug botol lebih
37
memilih daerah yang sedikit jauh dari muara untuk menghindari perubahan salinitas (Felix 1994 in Wahyudi 2010).
Untuk nilai salinitas permukaan di
kawasan perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 30-34 ‰ sehingga daerah perairan Kepulauan Seribu merupakan daerah yang sesuai dengan habitat yang disukai oleh lumba-lumba.
Salinitas (‰) Gambar 10. Sebaran horizontal salinitas air laut 4.4.4. Pola pasang surut Pasang surut terjadi akibat adanya gaya gravitasi antara bulan, bumi dan matahari.
Pasang surut sangat berpengaruh terhadap kondisi biota laut yang
berada di perairan dangkal atau pantai dan biota yang berada di tengah laut atau laut lepas (Jong Huat 2003 in Wahyudi 2010).
Dari hasil pengamatan, saat
kemunculan lumba-lumba terjadi pada saat surut terendah, surut, mulai pasang terendah, pasang.
Tabel 6. Kondisi pasang surut air laut berdasarkan waktu kemunculan lumbalumba
38
Jenis yang Kondisi pasang Cuaca ditemukan surut air laut * 3 Maret 2011 16.25 Tursiops truncantus Cerah Surut terendah 17 April 2011 10.06 Tursiops truncantus Cerah Surut terendah 17 April 2011 14.05 Delphinus delphis Cerah Surut Delphinus delphis 17 April 2011 15.09 Cerah Surut Tursiops truncantus 8 Mei 2011 07.19 Tursiops truncantus Cerah Surut 12 Mei 2011 08.32 Tursiops truncantus Cerah Surut 12 Mei 2011 09.01 Tursiops truncantus Cerah Surut 19 Juni 2011 08.35 Tursiops truncantus Cerah Surut terendah 19 Juni 2011 10.04 Tursiops truncantus Cerah Mulai pasang rendah 19 Juni 2011 11.41 Tursiops truncantus Cerah Pasang Keterangan: *Konversi dari data pasang surut wilayah Tanjung Priok (Dinas Hidro-Oseaograsi 2011) Tanggal
Waktu
Untuk kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) kondisi perairan sedang surut, sedangkan pada lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) kondisi perairan dalam kedaan surut dan pasang. Lokasi kemunculan lumbalumba hidung botol saat surut berada di daerah laut terbuka (selat antar pulau) dan saat pasang lumba-lumba ditemukan dekat dengan daerah tubir terumbu karang. Air pasang memberikan pengaruh terhadap gerak renang lumba-lumba. Hanzen (1998) in Wahyudi (2010) menyatakan bahwa dekat Sarasota, Florida, lumbalumba memanfaatkan arus air pasang menuju perairan dangkal dekat dengan lamun untuk mencari makan terutama mangsa ikan. Pada saat air surut, arus air surut akan membawa makanan bagi biota laut yang hidup di tengah laut. Arus laut saat air surut tersebut akan membawa fitoplankton, zooplankton, dan ikanikan kecil ke tengah laut, sehingga terjadi supply makanan di tengah laut, sedangkan pada saat air pasang arus laut akan kembali membawa biota yang menjadi supply makanan ke daerah perairan dangkal. Lumba-lumba yang muncul pada sekitar tubir memanfaatkan arus air pasang membawa makanan ke arah tubir.
Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa pasang surut air laut
digunakan oleh lumba-lumba untuk membantu mencari makanan, sehingga lumba-lumba lebih efisien dalam mengeluarkan energi saat mencari makan dan bereang dengan memanfaatkan arus air tersebut. 4.4.5. Kecepatan angin
39
Kecepatan angin berdasarkan waktu kemunculan yang
dikonversi
meggunakan skala Beaufort pada saat pengamatan adalah berkisar antara 1-10 knot. Selama penelitian, kecepatan angin sangat bervariasi lumba-lumba lebih sering muncul pada kisaran kecepatan angin 1-6 knot yaitu sebanyak 8 titik perumpaan. Pada kisaran tersebut, kondisi permukaan air laut sangat tenang, terbentuk sedikit riak di permukaan dan tampak seperti cermin, namun tidak terbentuk buih (skala Beaufort = 1 atau 2). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khan (2001) di Taman Nasional Komodo, Ali (2006) di Buleleng Bali dan Setiawan (2004) di Laut Flores menyatakan bahwa semua pemunculan Cetacea terjadi pada kondisi skala Beaufort sama dengan 1 (bagus) atau 2 (lumayan). Pada kisaran kecepatan angin antara 7-10 knot, lumba-lumba sangat jarang muncul, selama pengamatan hanya 2 kali muncul saat kisaran kecepatan angin tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat itu kecepatan angin mempengaruhi kondisi permukaan air laut menjadi mulai berombak besar, puncaknya mulai pecah bahkan sampai berbentuk buih (skala Beaufort 3 atau 4). 4.4.6. Kelimpahan plankton Nekon atau yang biasa disebut ikan memiliki peranan penting dalam kehidupan di dalam air.
Keberadaan ikan di dalam perairan memiliki peran
konsumen dalam rantai makanan. Lumba-lumba yang menjadi konsumen tingkat tinggi atau predator sangat tergantung terhadap keberadaan ikan untuk memenuhi kebutuhan makanya (Hutabarat & Evans 1985). Lumba-lumba meupakan hewan karnivora yang memakan hampir semua ikan pelagis dan cumi-cumi. Plankton merupakan produsen dalam tropik lavel di perairan. Berdasarkan pengamatan ikan yang terdapat saat lumba-lumba melakukan aktivitas makan yaitu ikan kecil seperti ikan terbang dan cumi-cumi. Hal ini karena lumba-lumba ditemukan di daerah dekat tubir dan di dekat tubir banyak ditemui ikan kecil dan cumi-cumi kecil. Hal ini sesuai seperti pernyataan Weber dan Thurman (1991) bahwa lumbalumba kecil makanann utamanya ikan-ikan kecil dan cumi-cumi yang berada dizona epipelagik di perairan laut terbuka, beberapa spesies makananya adalah ikan dasar dan ikan dekat dasar di perairan dangkal dekat pantai, teluk dan sungai.
40
Kelimpahan plankton pada setiap perjumpaan memiliki kelimpahan yang berbeda dan jenis organisme yang berbeda, kelimpahan fitopalnkton lebih banyak apabila dibandingkan dengan zooplankton (Tabel 7).
Kelimpahan plankton
tertinggi untuk Fitoplankton dari semua hari pengamatan terdapat pada kelas Bacillariophyceae yaitu sebesar 42 % sedangkan untuk zooplankton terdapat pada kelas Ciliata (Gambar 11). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nyebakken (1987) bahwa diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan fitoplankton yang paling berlimpah di lautan.
Kelimpahan total dari semua
pengamatan yang paling banyak yaitu pada pengamatan titik perjumpaan yang ke 5 sebesar 347.250 ind/m3, sedangkan yang paling sedikit yaitu pada pengamatan pertama dengan jumlah 61.500 ind/m3 (Gambar 11) Berdasarkan hasil kelimpahan plankton dapat dikatakan bahwa perairan Pulau Karang Congkak memiliki kondisi yang masih cukup bagus, sehingga plankton dapat memanfaatkan secara optimal unsur hara yang ada untuk berproduksi dan menghasilkan makanan bagi bitota lainnya.
Perbedaan
kelimpahan antara fitoplankton dengan zooplankton menggambarkan suatu piramida makanan dimana produsen memiliki jumlah yang paling besar daripada konsumenya. Jadi dalam suatu perairan jarang ditemukan keadaan dimana keduaduanya berlimpah. Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi merupakan suatu ciri yang unik dalam suatu orgnisme kehidupan yang disebut komunitas. Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi komunitasnya suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi bila komunitas itu disusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies dan jika hanya sedikit spesies keanekaragaman jenisnya rendah.
yang dominan, maka
41
Tabel 7. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Plankton di perairan Pulau Karang Congkak Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H' 2,2685 1,0781 1,7434 1,5494 1,2993 1,2829 1,2562 1,2221 1,0165 1,5753
FITO E 0,1371 0,4381 0,2538 0,3043 0,4088 0,3319 0,3428 0,3776 0,5057 0,2448
D 0,8596 0,4906 0,7571 0,6235 0,5913 0,7160 0,7011 0,6821 0,5673 0,8792
H' 0,3144 1,2798 1,4925 1,4768 0,4298 0,6432 0,7011 0,6931 0,4706 0,8537
ZOO E 0,8558 0,3010 0,2430 0,2399 0,8157 0,6420 0,6176 0,5001 0,7055 0,4974
D 0,2862 0,9232 0,9273 0,9176 0,2671 0,5855 0,6382 0,9999 0,6790 0,7771
Nilai Indeks keanekaragaman jenis untuk plankton termasuk kedalam klasifikasi keragaman kecil (Tabel 7) yaitu penyebaran individu tiap jenis rendah, keragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah. Hal ini karena jenis plankton yang ditemukan baik fitoplankton maupun zooplankton sedikit dan jumlah individu tiap jenisnya sedikit. Selain itu karena jenis yang ditemukan walaupun jumlah individu yang ditemukan banyak tapi tidak bervariasi. Nilai keseragaman untuk fitoplankton masuk kedalam kasifikasi rendah, hal tersebut menunjukan penyebaran individu antara jenis tidak merata dimana dapat dikatakan terdapat dominansi yang tinggi. Hubungan lumba-lumba dengan plankton terjadi dalam rangkaian proses rantai makanan, dimana plankton terutama fitoplankton dimakan oleh zooplankton, kemudian zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil yang pada akhirnya ikan-ikan tersebut dimakan oleh lumba-lumba. Kelimpahan plankton di perairan Pulau Karang Congkak dapat dikaitkan dengan ikan-ikan pemakan plankton yang terdapat di perairan tersebut yang merupakan ikan pelagis makanan lumba-lumba. Di Perairan tersebut memiliki kelimpahan plankton yang cukup tinggi sehingga tersedia cukup makanan untuk ikan-ikan tersebut.
Dengan
berlimpahnya makanan bagi lumba-lumba, maka lumba-lumba akan selalu datang kedaerah tesebut untuk mencari makan.
42
Tabel 8. Kelimpahan jenis plankton (ind/ m3) di Perairan Pulau karang Congkak dan Karang Lebar. No 1 2 3 4 5
Jenis Organisme Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae Cructacea Ciliata TOTAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 32000 43250 92000 64500 95250 95750 116500 65750 121250 88500 2000 1000 5500 3000 3000 7500 9750 6000 6500 7250 1500 60250 37000 35250 60000 67500 92750 81500 0 61750 24000 8250 18000 12250 11500 2000 7500 9250 1750 26750 2000 13250 41750 31250 177500 37000 59500 9000 8000 81250 61500 126000 194250 146250 347250 209750 286000 171500 137500 265500
Gambar 11. Diagram pie kelimpahan plankton berdasarkan kelas dan diagram batang kelimpahan plankton berdasarkan titik perjumpaan
43
4.5. Analisis korelasi antar parameter penelitian Berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi, didapatkan bahwa parameter oseanografi dan klimatologi memiliki korelasi yang lemah terhadap jumlah pemunculan lumba-lumba yang muncul di perairan Pulau Karang Congkak, karena semua parameter memiliki nilai koefisien menjauhi +1 atau -1. Hasil perhitungan koefisien korelasi antara y dan x dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 9. Hasil perhitungan koefisien korelasi antar parameter penelitian Variable Suhu permukaan (X1) Kecepatan Angin (X2) Salinitas (X3) Kedalaman (X4)
Jumlah pemunculan lumba-lumba (y) 0,1 0,19 0,01 0,05
Berdasarkan kecilnya nilai koefisien korelasi dari masing-masing parameter pada tabel diatas dapat diduga ada parameter yang lain yang mempengaruhi keberadaan lumba-lumba selain dari parameter oseanografi dan klimatologi, parameter lain yang diduga berpengaruh adalah keberadaan makanan di perairan tersebut.
Penganalisisan keberadaan makanan di perairan tersebut dapat
menggunakan analisis rantai makanan dengan mengamati kesuburan perairan melalui keberadaan plankton. Berdasarkan analisis kelimpahan plankton perairan Pulau Karang Congkak memiliki kelimpahan plankton yang cukup tinggi sehingga tersedia cukup makanan bagi ikan-ikan pelagis. Perairan Pulau Karang Congkak merupakan salah satu daerah Spawning ground ikan khususnya daerah selatan perairan tersebut dekat perairan Pulau Karang Lebar (Syamsul Hidayat; komunikasi pribadi) dan menurut data tangkapan pada tahun 2010 (lampiran 4), penangkapan di perairan Pulau Karang Congkak tergolong sedikit dengan persentasi tangkapan selama setahun sebesar 10% apabila dibanding dengan pulau-pulau lainya di Kepulauan Seribu, sehingga diduga keberadaan ikan pelagis di perairaan tersebut masih berlimpah.
Dengan ketersediaan makanan yang
berlimpah, maka lumba-lumba akan selalu datang kedaerah tersebut untuk mencari makan.
44
4.6. Lumba-lumba dan Karakteristik Sosial Masyarakat Kepulauan Seribu Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Kepulauan seribu adalah nelayan terutama pulau Panggang. Nelayan di Pulau panggang berlayar ke daerah perairan pulau Karang Congkak. Setiap harinya sekitar 7 nelayan yang berlayar untuk mencari ikan atau cumi di perairan sekitar Pulau Karang Congkak, ini tergolong sepi dan biasanya hanya nelayan yang berperahu kecil yang berlayar disini karena keadaan perairan yang tidak terlalu dalam. Sepinya perairan pulau ini membuat pulau ini menjadi jalur migrasi lumba-lumba, karena suara motor dapat mengganggu lumba-lumba. Oleh masyarakat di daerah ini lumba-lumba hanya dimanfaatkan sebagai penghibur apabila berjumpa dengan kemunculan lumba-lumba.
Hal ini berbeda dengan kondisi di pantai Lovina yang
memanfaatkan lumba-lumba sebagai obyek pariwisata.
Bahkan keberadaan
lumba-lumba di saat dapat mempengaruhi pendapatan nelayan yang asalnya nelayan pencari ikan sekarang menjadi nelayan wisata yang mengantarkan para wisatawan (Purnomo 2001) Keadaan yang berbeda dalam memanfaatkan lumba-lumba di Kepulauan seribu dengan di pantai Lovina ini dikarenakan kemunculan lumba-lumba di pantai Lovina cenderung lebih banyak dan sering apabila dibandingkan dengan di Kepulauan Seribu. Jumlah lumba-lumba lambat laun terus berkurang ini karena adanya ancaman akan biota tesebut atau habitat biota tersebut. Ancaman yang menimpa
lumba-lumba
meliputi
penangkapan
terkena
jaring
nelayan,
pencemaran, kerusakan habitat karena kegiatan proyek fisik, menurunnya mutu habitat yang berakibat berkurangnya bahan makanan.
Untuk lumba-lumba
ancaman yang paling utama adalah penangkapan dengan menggunakan jaring untuk menangkap ikan tuna, karena biasanya lumba-lumba berenang bersama ikan tuna maka sering kali lumba-lumba juga ikut tertangkap (Purnomo 2001). Ancaman akan lumba-lumba di perairan Pulau Karang Congkak tidak saya temui saat penelitian karena lumba-lumba di daerah ini tidak diburu dan ditangkap. Hal ini terkait dengan mitos yang dilarang untuk menangkap dan memburu lumbalumba. Selain itu habitat perairan yang belum mendapat gangguan dari proyek fisik membuat perairan ini cocok untuk habitat lumba-lumba.
45
4.7. Aspek Pengelolaan. Lumba-lumba merupakan satwa
laut dilindungi oleh
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistem, serta peraturan pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Siahainenia 2008). Hal ini karena proses reproduksi mamalia ini lama yang menyebabkan jumlahnya sedikit, sehingga perlu adanya penjagaan dari biota dan habitatnya. Habitat lumba-lumba di perairan laut yang semakin terdesak oleh aktivitas manusia yang cenderung bersifat merusak, membuat kualitas habitat menurun dan menjadi rusak. Perlindungan habitat bagi lumba-lumba dengan pola persebaran yang luas paling baik dilakukan dengan sistem manajemen berbasis ekosistem dengan penerapan Daerah Perlindungan Laut, dimana tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar untuk mencari dan menangkap ikan. Manajemen berbasis ekosistem merupakan suatu kebijakan untuk mengelola ekosistem, baik dari segi pemanfaatan maupuan nilainya, dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk memelihara kesatuan ekologi walaupn dihadapkan pada ketidakpastian dan perubahan ekosistem secara alami. Pengelolaan terhadap aktivitas penangkapan ikan, polusi suara dan kimia, dan lalu lintas pelayaran dibutuhkan untuk mengurangi dampak buruk dan untuk memelihara fungsi ekosistem.
Perlindungan terhadap habitat kritis melalui
Manajemen Berbasis Ekosistem memberikan manfaat bagi seluruh pihak, baik sistem maupun kepentingan manusia (Hoyt 2005). Terdapat beberapa hal yang diperlukan dalam membangun Daerah Perlindungan Laut bagi mamalia laut, yaitu (Hoyt 2005): 1. Penelitia ilmiah mengenai habitat kritis bagi Cetacea, baik dari segi ekologi, maupun segala sesuatu yang terdapat disana. 2. Masukan
multidisiplin
terkini
untuk
memilih,
merencanakan,
menerapkan, dan mengkaji ulang DPL. 3. Merencanakan pengelolaan berbasis ekosistem dan sosial-ekonomi. 4. Membagun hubungan baik dengan masyarakat lokal dan seluruh stakeholder yang berpartisipasi dalam pencapaian tujuan dari DPL. 5. Membuat batasan dan jaringan mengenai spesies, ekosistem beserta prosesnya yang akan dilindungi.
46
6. Membuat program edukasi yang interaktif, timbal balik, dan berkelanjutan bagi seluruh pihak terkait. 7. Mengelola pembangunan limbah yang dapat mengakibatkan polusi pada perairan. 8. Pengkajian dan evaluasi terhadap DPL yang sudah terlaksana periodik. Pendekatan ini sesuai diterapkan di Pulau Karang Congkak karena daerah ini masih banyak terdapat gugus karang yang merupakan rumah bagi ikan-ikan. Dengan terjaganya gugus karang dari pemboman ikan dan perusakan karang selain dapat menjaga habitat karang tersebut sebagai objek wisata bahari dapat juga menjadi tempat tinggal ikan sehingga ikan berlimpah. Dengan ketersediaan ikan yang berlimpah sebagai makanan lumba-lumba, maka lumba-lumba akan selalu datang ke daerah tersebut.
Selain pengelolaan secara umum yang
dipaparkan diatas juga harus ada pengelolaan secara khusus dengan pngelolaan secara temporal dan pengelolaan secara spasial. Secara temporal dengan cara mengatur tangkapan ikan, saat waktu pemijahan dilarang ada penangkapan di daerah tersebut karena dapat berukarangnya populasi ikan dalam jangka panjang kedepan yang merupakan makanan lumba-lumba, sedangkan pengelolaan secara spasial dengan pembagian zona dikawasan tersebut. Pemanfaatan ruang kawasan konservasi perairan (KKP) didistribusikan ke dalam 4 (empat) zona, yakni : zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona perikanan berkelanjutan, zona lainnya. 106°33'
106°34'
106°35'
106°36'
9
LEGENDA N
S 10 #
# Lokasi Pada Pertemuan I S S Lokasi Pada Pertemuan II # S Lokasi Pada Pertemuan III #
5°42'
5°42'
S #
106°37'
# Lokasi Pada Pertemuan IV S S Lokasi Pada Pertemuan V #
Daratan Tubir Karang Lautan
P. Karang Congkak
1 8
6
S S # #
P. Gosong Pandan
S #
S #
7 2
4
S #
5°43'
5°43'
P. Gosong Keroya
S #
3 S #
Kartografer Mega Dewi Astuti C24070066 Skala 1:36.000 Sumber data: - Peta Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Indonesia - Data Survei Lapang Tahun Pembuatan : 2011
5 105°
106°
107°
108°
105°
106°
107°
108°
6°
P. Karya
104°
6°
5°44'
INSET
S #
P Sempit
5°44'
P. Semakdaun
7°
7°
P. Panggang 1.4
8°
0.7
2.1 Kilometers
5°45'
106°35'
106°36'
106°37'
9°
5°45'
106°34'
9°
P. Pramuka 106°33'
8°
0
104°
Gambar 12. Pembagian zona berdasarkan distribusi lumba-lumba
47
Berdasarkan distribusi lumba-lumba yang menyebar maka pembagian zona yang dapat disarankan
adalah pada titik 6 dan 7 sebagai zona pemanfaatan
terbatas. Hal ini sesuai karena letaknya yang jauh dari tubir karang dan lebih ke laut lepas, selain itu daerah ini mempunyai daya tarik alam yang tinggi berupa keunikan kemunculan lumba-lumba dan keindahan obyek alam, adanya aksesibilitas untuk dapat mengunjunginya berupa kapal nelayan. Zona pemanfaatan di sini dengan maksud sebagai pemanfaatan ekowisata berupa dolphin watching. Sedangkan pada titik 1 dan 8 sebagai zona inti karena letakya yang dekat dengan tubir yang memiliki kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi dan zona ini berfungsi untuk perlindungan jalur migrasi lumba-lumba.