4 4.1
Hasil dan Pembahasan
Sintesis Padatan TiO2 Amorf
Proses sintesis padatan TiO2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan dipilih karena tingkat melarutkan bahan-bahan seperti TTIP ini kecil sehingga proses pembentukan hidroksida yang kemudian menjadi padatan oksida berlangsung lebih lambat. Beda halnya jika digunakan air sebagai pelarut di mana ketika TTIP dicampurkan ke dalam air seketika akan terbentuk padatan oksida TiO2 secara spontan (dalam hitungan detik). Oleh karena itu apabila digunakan pelarut yang yang tingkat kepolarannya tinggi seperti air, sulit untuk dilakukan suatu modifikasi sintesis di mana nantinya akan diberikan beberapa teknik pengkontrolan pertumbuhan kristal padatan TiO2. Campuran TTIP dengan etanol ini kemudian ditambahkan beberapa ml larutan KCl dan diaduk hingga homogen selama 10 menit. Larutan KCl ini berfungsi untuk menjaga agar jumlah molekul air yang hilang selama proses pemanasan berlangsung tidak terlalu banyak. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar proses hidrolisis berlangsung lambat sehingga kontrol terhadap pertumbuhan kristal dapat dilakukan. Hilangnya molekul air dengan cepat pada sistem akan menyebabkan pembentukan kristal oksida lebih cepat dan spontan sehingga mengakibatkan efek medan, pemanasan serta tekanan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan kristal. Hal ini tentu saja akan mempersulit mendapatkan morfologi serta karakter kristal sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutya dari pencampuran tersebut akan didapatkan larutan putih keruh dan selanjutnya akan terjadi proses hidrolisis. Larutan keruh tersebut dimasukkan ke dalam wadah sintesis (dalam hal ini digunakan botol parfum dengan tebal 2,5 cm) dan selanjutnya wadah ini ditempatkan pada suatu holder teflon yang telah dilengkapi dengan dua elektroda alumunium. Kedua sisi elektroda ini disambungkan dengan menggunakan kabel berlapis teflon yang kemudian kedua ujung kabel tersebut dihubungkan kepada sumber tegangan DC maksimal 5000 volt untuk mengalirkan medan listrik selama sintesis berlangsung. Sumber medan listrik yang digunakan memiliki rentang dari 0 kV sampai dengan 5 kV. Larutan yang telah dimasukkan ke dalam botol kaca ini selanjutnya dibiarkan dalam dua keadaan yaitu tanpa ditutup (tekanan rendah/ seri-1) dan ditutup (tekanan tinggi/seri-2) selama kurang lebih 2 hari dan dipanaskan pada temperatur sekitar 60-70 0C.
27
Pengamatan dilakukan dalam rentang sekali dalam 6 jam di mana terlihat bahwa laju berkurang nya tingkat kekeruhan pada masing–masing kondisi (seri-1 dan seri-2) berbeda. Pada seri-1 karena kondisinya tidak dalam keadaan ditutup maka pada saat pemanasan berlangsung sebagian pelarut menguap sedikit demi sedikit sampai akhirnya semua pelarut teruapkan. Selama seri-1 ini berlangsung, laju kekeruhan dari larutan yang ada di dalam wadah sintesis sukar untuk diamati karena kemungkinan selama pemanasan dilakukan sebagian oksida yang telah terbentuk namun masih berada dalam fasa larutannya ikut menguap dengan pelarut etanol. Untuk seri-1 ini mekanisme yang berlangsung dapat dituliskan sebagai berikut :
[Ti ( H 2O) 6 ] z + + H 2 O → [Ti ( H 2 O) 5 (OH )] z −1 + H 3O +
(4.1a)
Δ Ti (OH ) z + zH 2 O ⎯⎯→ TiO z + zH 3O +
(4.1b)
Selanjutnya spesi asam okso MOzz- ini akan kehilangan kembali molekul air yang kemudian membentuk oksida TiO2. Padatan putih yang dihasilkan kemudian dikumpulkan sebagai padatan oksida TiO2 amorf. Untuk seri-2 hampir sama dengan seri-1 di mana larutan keruh yang telah dimasukkan ke dalam wadah sintesis ditempatkan di holder teflon kemudian diberi efek medan listrik selama waktu yang sama dengan seri-1 yaitu dua hari (48 jam). Pada seri ini laju berkurangnya kekeruhan larutan lebih mudah untuk diamati karena penguapan pelarut dapat sangat lambat bahkan cenderung untuk tidak menguap (dalam hal ini apabila terjadi penguapan uap pelarut hanya menempel pada dinding botol kaca, tidak sampai keluar sistem). Dalam prakteknya, mekanisme pembentukan oksida TiO2 dapat dengan mudah dikontrol karena interaksi antara pelarut dengan molekul TTIP yang sangat kuat memungkinkan penambahan pH dapat mempercepat proses hidrolisis. Namun seringkali interaksi antara pelarut dengan zat terlarut yang kuat menentukan seberapa besar derajat hidrolisis kation terjadi. Derajat hidrolisis merupakan gambaran seberapa kuat kation (logam) akan berinteraksi dengan pelarut dan seberapa besar tingkat kelarutan hidroksida atau oksida logam yang dihasilkan. Besarnya derajat hidrolisis sangat dipengaruhi oleh muatan dan jari-jari ion logam. Derajat hidrolisis ini secara sederhana dapat dituliskan sebagai : pKa = 15.14 - 88.16(Z2/r)
(4.1c)
Dari persamaan tersebut tidak bisa secara eksplisit digambarkan seberapa kuat atau seberapa besar derajat hidrolisis kation logam itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam lagi bagaimana peran besarnya muatan dan jari-jari ion logam dalam interaksinya dengan pelarut. Faktor Z2/r menggambarkan suatu perbandingan antara muatan dan jari-jari ion logam di
28
mana hal ini menginterpretasikan rentang kategori tingkat keasaman dari ion logam itu sendiri. Semakin kecil perbandingan Z2/r maka semakin tidak asam ion logam dan sebaliknya. Interval rasio ini dimulai dari 0 sampai dengan lebih besar dari 0,22 di mana untuk perbandingan Z2/r > 0,22 dapat dikatakan bahwa kation logam dapat bereaksi secara irreversible dengan air menghasilkan oksida atau hidroksida. Untuk kation Ti4+ perbandingan Z2/r memiliki rentang 0,16 – 0,22 dengan keelektronegatifan > 1,8 dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut (13) :
Tabel 4.1 Hubungan antara rasio Z2/r dan keasaman ion logam Rasio Z2/ r
χp
Kategori
Interval pKa
Contoh
kation non asam
14-15
ion muatan (+1) blok s
0,00-0,01 > 1,8 kation asam (sangat lemah)
11,5-14
Tl+
0,01-0,04 < 1,8 kation asam (sangat lemah)
11,5-14
Ion muatan (+2) blok s, f
0,01-0,04 > 1,8
kation asam (lemah)
6-11,5
Ion muatan (+2) blok d
0,04-0,10 < 1,8
kation asam (lemah)
6-11,5
Ion muatan (+3) blok f
0,04-0,10 > 1,8
kation asam (sedang)
1-6
Ion muatan (+3) blok d
0,10-0,16 < 1,8
kation asam (sedang)
1-6
Ion muatan (+4) blok f
0,10-0,16 > 1,8
kation asam (kuat)
(-4)-1
Ion muatan (+4) blok d
0,16-0,22 < 1,8
kation asam (kuat)
(-4)-1
0,00-0,01 < 1,8
> 0,16
> 1,8 kation asam (sangat kuat)
< (-4)
> 0,22
< 1,8 kation asam (sangat kuat)
< (-4)
Dari tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa TiO2 berada pada rentang perbandingan di atas 0,16 sehingga dapat dikategorikan ke dalam golongan kation yang asam. Hal ini diakibatkan karena jari-jari ion logam Ti besar sehingga perbandingan kuadrat muatan dengan jari-jari kation logam akan semakin kecil. Nilai perbandingan ini secara eksperimen dapat dilihat dari kecepatan ion logam Ti (biasanya Ti4+) bereaksi dengan air membentuk endapan oksida atau hidroksida secara spontan. Akan tetapi apabila dilakukan penambahan asam seperti HCl,
29
endapan oksida atau hidroksida tersebut akan terlarut kembali. Untuk mempermudah melihat rentang perbandingan antara muatan dan jari-jari dalam kaitannya ke tingkat keasaman dari ion logam, maka nilai perbandingan tersebut dapat dialurkan terhadap nilai pKa seperti gambar 4.1. Dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai pKa maka kation logam akan bersifat basa dan sebaliknya, semakin rendah nilai pKa maka ion logam akan bersifat lebih asam.
Gambar 4.1 Nilai pKa sebagai fungsi dari muatan, jari-jari atom, dan keelektronegatifan
Penggunaan botol kaca sebagai wadah sintesis juga memiliki peran yang penting guna mendapakan pengaruh medan listrik yang diberikan selama sintesis berlangsung. Dalam penelitian ini digunakan botol kaca pipih dengan tebal sekitar 2,5 cm. Selain itu juga jarak antara dinding wadah sintesis dengan elektroda juga perlu diperhatikan dengan tujuan yang sama yaitu agar didapat pengaruh medan listrik yang besar terhadap proses hidrolisis yang terjadi. Dalam kasus ini apabila medan listrik yang digunakan sebesar 5000 V dan tebal wadah 2,5 cm, maka besarnya medan listrik yang terjadi adalah 2000 V cm-1.
30
4.2
Karakterisasi Padatan TiO2 dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X
Struktur padatan TiO2 dapat ditentukan dengan metode XRD. Data yang diperoleh berupa difraktogram pengaluran intensitas terhadap sudut 2 theta. Dari puncak-puncak yang diperoleh, dapat ditentukan sifat kristalinitas padatan. Puncak yang tajam dengan intensitas tinggi menunjukkan padatan tersebut bersifat kristalin dan sebaliknya puncak yang lebar menunjukkan bahwa padatan tersebut bersifat amorf.
(A)
2θ
(B)
2θ Gambar 4.2 Pola spektrum sinar-X dari (A) seri-1 tanpa medan listrik dan (B) seri-1 dengan medan listrik 5 kV Gambar 4.2 di atas merupakan difraktogram sinar-X untuk hasil seri-1 (tekanan rendah). dapat dilakukan identifikasi puncak-puncak yang dihasilkan untuk memastikan terbentuknya kristal TiO2. Gambar di atas merupakan difraksi sinar-X dari hasil seri-1. Dari difraktogram tersebut dapat dilihat bahwa puncak tajam terjadi pada posisi 2 theta sekitar 450 dan 650. Hal ini menunjukkan adanya puncak TiO2 dengan struktur anatase (110). Namun ada perbedaan intensitas antara tanpa diberi medan listrik dengan yang diberi medan listrik. Dari difraktogram yang diberikan medan listrik terlihat adanya pengurangan intensitas sekitar
31
50% dari tanpa yang diberikan medan listrik. Bila dilihat dari struktur anatase kisi kristal TiO2 dalam satu bidang orientasi terdapat gugus Ti dan O secara bergantian di mana apabila diberikan medan listrik dengan arah tegak lurus bidang orientasi makan akan terjadi pergeseran posisi atom-atom Ti dan O. Pergeseran ini terjadi akibat adanya polarisasi oleh medan listrik di mana masing – masing atom akan bergerak menuju muatan yang berlawanan sehingga posisi awal atom Ti dan O akan berubah (yang positif akan bergerak mendekati ke yang negatif dan sebaliknya yang negatif bergerak mendekat ke yang positif). Diharapkan jika semakin besar medan listrik yang diberikan maka polarisasi atau perubahan posisi atom – atom dalam suatu kisi kristal oksida akan semakin mudah terjadi. Selain puncak anatase seharusnya juga terdapat puncak rutil pada posisi 2 theta sekitar 270, namun akibat morfologi TiO2 yang didapat sangat amorf maka puncak tersebut tidak dapat diidentifikasi.
(A)
2θ
(B)
2θ Gambar 4.3 Pola spektrum sinar-X dari (A) seri-2 tanpa medan listrik dan (B) seri-1 dengan medan listrik 5 kV
32
Beda halnya dengan sintesis pada seri-2 di mana difraktogram yang didapat menggambarkan TiO2 yang dihasilkan sangat amorf sehingga sulit sekali untuk menentukan puncak-puncak anatase dan rutil dari kristal oksida logam tersebut. Dari kedua difraktogram pada gambar 4.3 meskipun sulit untuk menentukan mana puncak rutil dan anatase, namun terdapat sedikit perbedaan ketajaman puncak pada 2 theta sekitar 280 dan 480. Hal ini sebenarnya menggambarkan keberadaan puncak rutil dan anatase namun dalam kisi kristalnya antara yang rutil dan anatase saling bertumpang tindih sehingga sulit untuk membedakannya. Selama proses sintesis berlangsung, tekanan dan temperatur merupakan dua parameter yang sangat berperan penting dalam menentukan sifat kekristalan dari padatan oksida yang dibuat sehingga apabila hanya salah satu variabel saja yang diperhatikan maka variabel lain tidak cukup untuk memberikan efek guna mencapai tingkat kekristalan yang diinginkan. Pada sintesis TiO2 yang dilakukan, temperatur yang digunakan berkisar antara 70-80 0C sedangkan tekanan yang diberikan dapat berasal dari tekanan uap H2, H2O dan beberapa spesi gas lain yang dihasilkan dari pemanasan di dalam wadah sintesis. Dari segi energitika dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya temperatur dan tekanan maka derajat ketidakteraturannya akan semakin berkurang sehingga kristal padatan yang dihasilkan lebih teratur (kristalin). Semakin kristalin suatu padatan oksida maka semakin teratur susunan atom-atom dalam kisi kristalnya dan sebaliknya jika semakin tidak teratur padatan oksida yang dihasilkan amorf (tidak teratur).
4.3
Karakterisasi Padatan TiO2 dengan Menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Morfologi permukaan dan ukuran partikel TiO2 dapat diidentifikasi dengan pengamatan menggunakan Scaning Electron Microscopy (SEM).
Gambar 4.4 Hasil Scanning Electron Microscopy (A) seri-1 medan listrik 0 kV dan (B) seri1 medan listrik 5 kV
33
Dilihat dari hasil seri-1 terdapat perbedaan dari segi morfologi antara tanpa diberi medan listrik dan diberi medan listrik. Pada yang diberi medan listrik terdapat bulk pada beberapa daerah. Bulk ini dapat merupakan akibat dari proses aglomerasi beberapa partikel kecil oksida akibat ukuran satu partikel oksida yang semakin kecil yang diakibatkan oleh pengaruh medan listrik yang diberikan. Pada saat medan listrik diberikan akan terjadi dipol muatan positif (Ti) dan negatif (O) pada kristal yang mengikuti arah medan listrik yang diberikan. Oleh karena itu susunan atom-atom pada kristal TiO2 akan berubah sedemikian sehingga terjadi distorsi di beberapa tempat. Adanya distorsi ini didukung oleh data analisa sinar-X di mana kristalinitas padatan oksida sangat rendah. Kristalinitas yang rendah yang disebabkan oleh ukuran butiran yang mengecil sehingga pada saat butiran oksida TiO2 ini terbentuk lalu kemudian butiran kecil padatan oksida ini akan bergabung membentuk aglomerasi atau agregat di beberapa bagian atau sering disebut dengan istilah bulky yang secara termodinamika lebih stabil. Untuk seri-2 (Gambar 4.5) antara yang diberi medan listrik dan tidak diberi medan listrik juga terdapat perbedaan. Meskipun dari gambar yang diperoleh kurang bisa memperlihatkan perbedaan yang jelas namun bisa dilihat untuk oksida yang diberikan medan listrik ukuran partikel lebih kecil dan distribusinya dalam sistem oksida lebih besar. Hal ini dapat diakibatkan oleh arah orientasi medan listrik mengganggu interaksi atom Ti dan O dalam satu sistem oksida. Dalam hal ini jarak antara atom Ti dan O akan berubah menjadi lebih kecil. Posisi atom Ti dan O yang awal akan terganggu oleh desakan energi listrik sehingga jarak antara atom Ti dan O setelah diberikan efek medan listrik akan berubah. Seberapa besar perubahan jarak yang dihasilkan tentu saja juga sangat dipengaruhi oleh kehomogenan serta intensitas medan listrik yang diberikan pada semua daerah hidrolisis. Efek medan listrik akan sangat besar jika daerah hidrolisis dekat dengan sumber medan listrik yang diberikan. Selain itu juga efek tekanan yang diberikan selama sintesis dilakukan akan memberikan tambahan energi kepada molekul-molekul oksida untuk mengatur posisinya sedemikian sehingga lebih teratur. Hal ini sejalan dengan hukum termodinamika yang menjelaskan bahwa semakin besar tekanan yang diberikan maka keteraturannya akan meningkat (entropi menurun).
34
Gambar 4.5 Hasil Scanning Electron Microscopy (A) seri-1 medan listrik 0 kV dan (B) seri1 medan listrik 5 kV
Secara umum pada seri-1 dan seri-2 terdapat beberapa kesamaan dalam hal perubahan ukuran partikel ketika padatan oksida diberikan efek medan listrik. Sedangkan dari segi distribusi partikel dalam suatu daerah tetentu terdapat perbedaan. Adapun hal yang membedakannya adalah pada seri-1 untuk oksida yang tidak diberikan medan listrik kehomogenan ukuran sangat tinggi di semua daerah sedangkan pada seri-2 untuk yang diberikan efek medan listrik justru lebih homogen dibandingkan dengan tanpa yang diberikan medan. Adanya kebalikan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa parameter yang digunakan (tekanan, temperatur dan besar medan listrik) haruslah disesuaikan sedemikian sehingga diperoleh hasil yang diinginkan. Diharapkan dengan meningkatnya temperatur, tekanan serta medan listrik yang diberikan besar maka akan diperoleh oksida yang ukurannya kecil dan distribusi yang lebih merata.
4.4
Karakterisasi Padatan TiO2 dengan Menggunakan Spektrofotometri Ultraviolet
Padatan oksida juga dapat diidentifikasi dengan menggunakan spektrofotometri ultraviolet. Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa besar absorbansi dan pada panjang gelombang berapa oksida logam dapat menyerap sinar pada daerah sinar tampak.
35
(A)
(B)
Gambar 4.6 Spektrum serapan TiO2 (A) seri-1 medan listrik 0 kV dan (B) seri-1 medan listrik 5 kV
Dari gambar 4.6 dapat dilihat bahwa serapan pada daerah sinar tampak kurang begitu terlihat. Diduga bahwa serapan berlangsung pada daerah ultraviolet pada panjang gelombang lebih kecil dari 300 nm. Kalau dilihat dari adanya puncak serapan pada panjang gelombang sekitar 500 nm antara oksida yang tanpa diberikan dan diberikan medan listrik tidak terlalu jauh berbeda. Namun besarnya absorbansi yang dihasilkan berbeda pada panjang gelombang 500 nm tersebut. Terlihat untuk oksida yang diberikan efek medan listrik absorbansi yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanpa yang diberikan medan. Dari data diketahui kecenderungan puncak absorbansi untuk oksida yang diberikan medan listrik terjadi pada panjang gelombang yang lebih kecil dibandingkan dengan oksida yang tanpa diberikan medan listrik. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan puncak absorbansi akibat berubahnya panjang gelombang maksimumnya.
(A)
(B)
Gambar 4.7 Spektrum serapan TiO2 (A) seri-2 medan listrik 0 kV dan (B) seri-1 medan listrik 5 kV
36
Gambar 4.7 merupakan spektrum ultraviolet untuk seri-2 (tekanan tinggi). Sama seperti hasil pada seri-1, pada seri-2 ini juga terjadi pergeseran puncak absorbansi pada rentang panjang gelombang 350 – 800 nm. Dari hasil ini puncak oksida yang diberi medan listrik bergeser ke panjang gelombang yang lebih kecil. Hal ini sejalan dengan hasil yang didapat dari seri-1 di mana juga didapat hasil untuk oksida yang diberi medan listrik terjadi pergeseran ke panjang gelombang yang lebih kecil. Fenomena terjadinya pergeseran puncak ini dapat dianalisis dari berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek distorsi yang terjadi pada kebanyakan senyawasenyawa dari logam transisi. Menurut teori medan kristal, Crystal Field Theory, jarak dari atom-atom yang terikat pada atom pusat (ion logam) akan sangat menentukan terjadinya pembelahan orbital d suatu ion logam(8). Pembelahan ini disebabkan peningkatan energi tolak menolak elektron pada orbital yang saling tumpang tindih.
eg 0,6Δo ion bebas
0,4Δo
Δo
t2g dalam medan Oh Gambar 4.8 Pembelahan orbital d logam transisi dan energinya
Untuk koordinasi oktahedral gaya tolakan yang besar adalah pada dz2 dan dx2-y2. Hal ini diakibatkan karena pada kedua posisi sumbu itu kerapatan elektron dari atom-atom yang mendekat ke arah ion logam semakin besar sehingga memberikan energi coulomb yang tinggi dibandingkan dengan posisi sumbu yang lain yaitu sumbu dxy, dxz, dan dyz sehingga untuk ketiga sumbu tersebut akan terjadi penurunan tingkat energi. Adanya pembelahan orbital ini tentu saja akan mengakibatkan adanya eksitasi elektron pada orbital d dari posisi ground state (t2g) ke level tereksitasi (eg) apabila suatu kompleks diberi energi sebesar hv. Banyaknya keadaan elektron yang dapat ditempati oleh electron yang tereksitasi memberi gambaran seberapa banyak puncak yang akan muncul pada spektrum UV.
37
Untuk oksida TiO2 itu sendiri susunan atom-atom nya berbentuk oktahedral di mana atom Ti bertindak sebagai atom pusatnya. Medan listrik yang diberikan selama sintesis dapat mengeser posisi Ti dan O dari posisi idealnya. Hal ini akan menyebabkan jarak antara Ti dan O dapat bergeser dan mengakibatkan medan oktahedral antara atom-atom O dan Ti pada sumbu dz2 atau dx2-y2 akan mengakibatkan adanya perubahan tolakan elektron. Hal ini mendorong terjadinya pembelahan orbital pada sumbu tersebut sehingga energinya akan berubah oleh medan listrik sehingga pembelahan orbital akan semakin mudah untuk terjadi. Untuk percobaan seri-1 dan seri-2 hasil yang didapatkan cukup konsisten di mana setelah pemberian medan listrik dilakukan terjadi pergeseran panjang gelombang ke nilai yang lebih kecil atau terjadinya pemisahan tingkat energi yang lebih besar.
38