4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: substrat pasir berlumpur dan pasir. Sampling sedimen tersebut berdasarkan analisis tekstur dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau dan liat. Pengambilan sampel sedimen yang terdapat pada 9 stasiun, yaitu : P. Pramuka terdiri dari 1 stasiun (Stasiun 1), P. Karya terdiri dari 2 stasiun (Stasiun 2, dan 3), P. Panggang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 4, 7, dan 9), dan P. Semak Daun terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 5, 6, dan 8). Pada lokasi pengambilan sedimen, stasiun 1 sampai 6 adalah stasiun pasir berlumpur, sedangkan stasiun 1 sampai 9 adalah stasiun pasir. Lokasi pengambilan sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.
30
31
Gambar 17. Peta Stasiun Sebaran Sedimen
32
Berdasarkan hasil analisis tekstur sedimen, sedimen permukaan dasar laut di lokasi penelitian dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau, dan liat. Fraksi pasir terdapat 5 ukuran mata ayakan 1.000 – 2.000 μm, 500 – 1.000 μm, 200 – 500 μm, 100 – 200 μm, dan 50 – 100 μm), lanau (3 fraksi, ukuran 20 – 50 μm, 10 – 20 μm, dan 2 – 10 μm) dan liat (1 fraksi, ukuran 0 – 2 μm). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 9 stasiun lokasi pengamatan secara keseluruhan didominasi oleh fraksi pasir yang memiliki persentase rata-rata sebesar 80,85%. Fraksi lanau dan liat secara berturut-turut memiliki nilai persentase rata-rata sebesar 18,32% dan 0,83% (Gambar 18). Rendahnya tingkat persentase lanau dan liat di lokasi penelitian ini salah satunya disebabkan karena tidak adanya daratan utama yang menjadi sumber masukan fraksi lanau dan liat yang dapat disebabkan oleh proses sedimentasi yang terjadi di daratan yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di lautan.
Gambar 18. Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian
Fraksi pasir (sand) yang memiliki kenampakan makroskopis akan lebih cepat mengendap dibandingkan dengan fraksi lanau atau lumpur (silt) dan liat (clay) pada daerah yang mengalami proses turbulensi yang tinggi karena fraksi lanau
33
dan liat berukuran sangat kecil (mikroskopis) sehingga masih dapat dibawa oleh arus ke tempat lain. Sedimen fraksi lanau umumnya mudah terbawa oleh arus dan mudah teraduk bila terjadi proses turbulensi atau upwelling. Pengendapan fraksi lanau sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan permukaan dasar laut. Sedimen fraksi liat merupakan sedimen yang ukurannya paling kecil sehingga butuh waktu yang lebih lama dari pada lanau untuk mengalami proses pengendapan di dasar perairan. Istilah lumpur (silt) biasanya dalam konteks laut diganti dengan istilah yang lebih umum, yakni lanau agar tidak membingungkan dengan pengertian mud. Menurut Wibisono (2005) jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan benthos yang mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen pebbles dan granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda, sedangkan untuk jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerangkerangan (Bivalva) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing. Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 8 sebesar 90,26% yang berada pada posisi 5°43,833’ LS dan 106°34,363’ BT pada kedalaman 5,01 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 72,37% pada posisi 5°44,275’ LS dan 106°36,538 BT yang berada pada kedalaman 4,07 meter. Persentase komposisi fraksi lanau terbesar terdapat pada Stasiun 2 sebesar 26,81% dan terendah pada Stasiun 8 sebesar 9,01%, sedangkan untuk fraksi liat tertinggi terdapat pada Stasiun 6 dengan persentase sebesar 1,28%, dimana stasiun ini terletak pada posisi 5°43,703’ LS dan 106°34,379’ BT dengan kedalaman 5,60 meter dan terendah pada Stasiun 7 sebesar 0,24% (Tabel 4).
34
Tabel 4. Komposisi Fraksi Sedimen pada setiap Stasiun Posisi koordinat Persentasi fraksi (%) St. Lintang Bujur Pasir Lanau Liat 5°44,521’ 106°36,819’ 77,18 21,92 0,90 1. 5°44,275’ 106°36,538’ 72,37 26,81 0,82 2. 5°44,163’ 106°36,587’ 82,36 16,49 1,15 3. 5°44,166’ 106°36,052’ 78,36 20,75 0,89 4. 5°43,802’ 106°34,337’ 82,40 16,52 1,08 5. 5°43,703’ 106°34,379’ 72,86 25,86 1,28 6. 5°44,389’ 106°35,953’ 86,98 12,78 0,24 7. 5°43,833’ 106°34,363’ 90,26 0,73 8. 9,01 5°44,642’ 106°36,185’ 84,89 14,73 0,38 9.
Tipe substrat Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir Pasir Pasir
4.2. Komputasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan Hasil ekstrak data menggunakan program Echoview 4,0 dongle version dan readEYRaw Matlab menghasilkan tampilan echogram yang merupakan hasil penjabaran dari setiap ping dari nilai volume backscattering strength (SV), dengan unit decibel (dB). Komputasi nilai backscattering (SV dan SS) dari beberapa tipe substrat dasar perairan diperoleh melalui komputasi echo dasar perairan yang terekam dalam echogram (Manik, 2011). Echogram adalah hasil perekaman sinyal atau gambar hasil deteksi dengan menggunakan alat akustik. Echogram juga dapat memberikan informasi kedalaman perairan, profil dasar perairan dan mengenai individu ataupun kelompok ikan. Semakin besar nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan maka diduga semakin kasar dan keras pula jenis dasar perairan tersebut. Hal ini disebabkan karena perbedaan material dasar laut. Adapun nilai komputasi SV, SS, dan EL dapat dilihat pada Tabel. 5.
35
Tabel 5. Nilai SV, SS, dan EL (dB) Dasar Perairan SV (dB) Depth St. Tipe Substrat E1 E2 (m) (roughness) (hardness) 1. Pasir berlumpur 6,51 -23,24 -48,66 2. Pasir berlumpur 4,13 -21,53 -51,64 3. Pasir berlumpur 4,24 -25,42 -58,17 4. Pasir berlumpur 4,83 -21,75 -55,99 5. Pasir berlumpur 2,15 -20,32 -51,50 6. Pasir berlumpur 5,59 -16,58 -49,80 7. Pasir 2,79 -10,62 -36,15 8. Pasir 5,15 -18,51 -52,23 9. Pasir 2,25 -16,74 -52,03
SS (dB) -33,32 -31,60 -35,49 -31,83 -30,38 -26,64 -20,70 -28,58 -26,80
EL (dB)
155,20 – 175,03 163,32 – 180,22
4.2.1. Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan Hasil kuantifikasi SV echo dasar perairan menunjukkan bahwa dari 2 tipe substrat yang ditemukan di lokasi penelitian, substrat pasir memiliki nilai SV (roughness) yang berkisar antara -10,62 sampai -18,51 dB dan substrat pasir berlumpur memiliki nilai SV yang berkisar antara -16,58 sampai -25,42 dB. Nilai SV rata-rata untuk substrat pasir adalah sebesar -13,91 dB dan substrat pasir berlumpur sebesar -20,57 dB. Nilai SV tertinggi untuk substrat pasir terdapat pada Stasiun 7 sebesar -10,62 dB dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -18,51 dB, sedangkan nilai SV tertinggi untuk substrat pasir berlumpur terdapat pada Stasiun 6 sebesar -16,58 dB dan terendah pada Stasiun 3 sebesar -25,42 dB (Tabel 5). Echogram merupakan rekaman dari rangkaian gema. Visualisasi echogram pada Gambar 19 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir berlumpur yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir berlumpur cenderung memiliki kandungan fraksi lanau yang lebih banyak jika dibandingkan dengan lanau yang terdapat pada substrat pasir. Visualisasi echogram menggunakan program Rick Towler pada Matlab (Purnawan, 2009).
36
Substrat pasir berlumpur pada stasiun 3 dan 4 terdapat tumbuhan lamun, dan adanya turbulensi, sedangkan untuk substrat pasir pada stasiun 8 dan 9 terdapat lapisan sedimen yang berwarna merah dan ikan. Visualisasi echogram pada stasiun 1 dan 7 terdapat lapisan sedimen yang berwarna merah di 2 kedalaman yang relatif berdeda. Adanya fenomena pada saat perekaman data tersebut merupakan hal yang mungkin dapat mempengaruhi komputasi nilai backscattering (SV dan SS) yang dapat dilihat pada visualisasi echogram tiap-tiap stasiun (Lampiran hal 61).
(a) (b) Gambar 19. Echogram Tipe Substrat Pasir Berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4
Gambar 20 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir yang cenderung memiliki kenampakan makroskopis memiliki kelebihan untuk memantulkan kembali sinyal akustik yang ditembakkan ke dasar perairan. Hal ini yang mengakibatkan second echo yang dihasilkan dari substrat pasir tentunya akan cenderung lebih kuat jika dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur.
37
(a) (b) Gambar 20. Echogram Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Adanya perbedaan nilai SV pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yg memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar. Selain itu, adanya pori-pori atau ruang yang terdapat antar sedimen dapat menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi jenis sedimen tersebut dalam memberikan respon terhadap nilai akustik.
4.2.2. Surface Backscattering Strength (SS) dan Echo Level (EL) Dasar Perairan Hasil yang diperoleh dari hasil komputasi nilai SV untuk memperoleh nilai SS didapatkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -20,70 sampai -28,58 dB dengan nilai rata-rata sebesar -23,98 dB. Substrat pasir berlumpur memiliki nilai SS yang berkisar pada -26,64 sampai -35,49 dB dengan rata-rata nilai SS sebesar -30,64 dB. Nilai SS pasir tertinggi terletak pada Stasiun 7 sebesar -20,70 dB dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -28,58 dB. Substrat pasir berlumpur, nilai SS tertinggi terdapat pada Stasiun 6 sebesar -26,64 dB dan terendah pada Stasiun 3 sebesar -35,49 dB (Tabel 5).
38
Nilai SS diperoleh dari puncak nilai Sv echo permukaan. Hasil pengolahan SS dengan menggunakan Matlab terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum SS bervariasi untuk beberapa tipe substrat (pasir dan pasir berlumpur). Hal ini diduga bahwa nilai SS dipengaruhi oleh impedansi akustik dan kekasaran (roughness) dari permukaan lapisan dasar perairan. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa hal ini sesuai dengan hasil Siwabessy (2001) yang menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar yang keras (hard) akan lebih besar dibandingkan nilai backsacttering dari dasar perairan yang lunak (soft). Pola perambatan pulsa akustik (SV dan SS) dasar perairan pada Gambar 21 dan Gambar 22 menunjukkan contoh stasiun yang menunjukkan pola perambatan pulsa akustik yang diukur dalam SV dan SS dari dasar perairan pada kedua tipe substrat yang di plot berdasarkan hubungan antara kedalaman dan nilai intensitas acoustic backscattering strength. Pada pola perambatan pulsa akustik yang diukur, puncak nilai SV atau SS dapat diduga sebagai echo dasar (dasar perairan). Puncak yang tertinggi merupakan echo pertama dari dasar perairan sedangkan peak yang selanjutnya (puncak yang lebih rendah) merupakan echo kedua dari dasar perairan dan seterusnya (Lampiran hal 62). Nilai terbesar SS tidak jauh berbeda dengan nilai SV dasar perairan yang didominasi oleh tipe substrat pasir dan pasir berlumpur. Hal ini sejalan dengan pernyataan Manik et al. (2006) yang menjelaskan bahwa dengan menggunakan nilai SS, nilai backscattering strength substrat pasir lebih besar dari pada nilai SS pada tipe substrat pasir berlumpur. Nilai terkecil SS didominasi oleh tipe substrat pasir berlumpur. Menurut Manik et al. (2006), nilai SS meningkat dengan
39
bertambahnya kenaikan diameter partikel dasar laut dan menurun dengan kenaikan frekuensi akustik yang digunakan yang bermanfaat untuk klasifikasi tipe dasar laut.
(a) (b) Gambar 21. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir Berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4
(a) (b) Gambar 22. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Penelitian terdahulu mengenai nilai backscattering strength dasar perairan pada beberapa perairan di Indonesia telah dilakukan. Beberapa diantaranya telah dilakukan oleh Purnawan (2009), Allo (2008), Pujiyati (2008) dan Manik et al. (2006) dengan menggunakan instrumen scientific echosounder split beam dengan frekuensi 120 kHz (Tabel 6).
40
Tabel 6. Beberapa Penelitian tentang Nilai Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Instrumen/ Peneliti Lokasi Nilai BS (dB) Software Pasir: -18,30 Manik et al. Quantitative Echo Samudera Hindia Lumpur berpasir: -23,40 (2006) Sounder/Matlab Lumpur: -29,00 Perairan Bangka Pujiyati SIMRAD EK Pasir: -20,00 (Belitung dan Laut (2008) 500/EP 500 Lumpur: -35,91 Jawa) Pasir: -18,05 Perairan Sumur SIMRAD EY Pasir berlumpur: -21,09 Allo (2008) (Pandeglang, 60/Echoview Lumpur berpasir: -27,04 Banten) Lumpur: -30,02 Purnawan SIMRAD EY P. Pari (Kepulauan Pasir: -16,35 (2009) 60/Matlab Seribu) P. Pramuka, P. SIMRAD EY Panggang, Penelitian Pasir: -13,91 60/Echoview dan P. Karya, ini (2011) Pasir berlumpur: -20,57 Matlab P. Semak Daun (Kepulauan Seribu)
Berdasarkan Gambar 23 dapat melihat bahwa penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya namun nilai tersebut merupakan nilai SV tertinggi. Jika dimasukkan nilai ratarata, substrat pasir memiliki nilai SV yang berkisar antara -10,62 dB sampai -18,51 dB dan substrat pasir berlumpur memiliki nilai SV yang berkisar antara -16,58 dB sampai -25,42 dB. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini berada pada kisaran yang sama dengan penelitian sebelumnya.
41
Lumpur
Lumpur Berpasir
Pasir Berlumpur
Pasir
Gambar 23. Perbandingan Nilai Volume Backscattering Strength berbagai Tipe Substrat Pasir, Pasir Berlumpur, Lumpur Berpasir dan Lumpur. Penelitian ini Purnawan Allo Pujiyati Manik et al.
Kondisi perairan yang berbeda akan mempengaruhi intensitas nilai backscattering karena secara tidak langsung berhubungan dengan kecepatan rambat gelombang suara di perairan yang berkaitan erat dengan kondisi suhu, salinitas, tekanan dan kedalaman. Selain cepat rambat gelombang suara, panjang pulsa juga mempengaruhi intensitas nilai backscattering dan ini berkaitan erat dengan spesifikasi instrumen akustik yang digunakan dalam penelitian.
4.2.3. Normalisasi Energi Echo Dasar Perairan Visualisasi Gambar 24 menunjukkan hasil normalisasi echo dasar perairan yang diperoleh dari data echogram untuk melihat tingkat intensitas energi substrat dasar perairan (pasir dan pasir berlumpur) di 9 stasiun lokasi penelitian.
42
Hasil perhitungan nilai echo level, maka pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai echo level untuk substrat pasir memiliki nilai rata-rata sebesar 177,23 ± 8,99 dB dan untuk pasir berlumpur memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 168,08 ± 6,78 dB dengan nilai source level (SL) sebesar 214 dB, dengan nilai µ ± s berkisar antara 177.23 ± 8.99 dB.
Gambar 24. Echo Envelope di 9 Stasiun Lokasi Penelitian Kurva energi substrat pasir berlumpur diwakili oleh stasiun 1 – 6 memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 168,08 ± 6,78 dB, dengan nilai µ ± s berkisar antara 153.95 – 173.26 ± 2.57 – 4.30 dB. Sedangkan kurva energi substrat pasir diwakili oleh stasiun 7 – 9 memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 177,23 ± 8,99 dB, dengan nilai µ ± s berkisar antara 161.85 – 179.42 ± 2.76 – 3.61 dB (Lampiran hal 63). Dasar perairan cenderung memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara dari sinyal akustik seperti halnya
43
permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda (Urick, 1983). Menurut Manik (2011), selain dipengaruhi oleh ukuran partikel, diduga ada faktor lain yang mempengaruhi nilai backscattering seperti porositas, kandungan zat organik dan biota yang berada dalam substrat. Tingkat energi dasar perairan dapat digambarkan berdasarkan hubungan antara intensitas echo dasar perairan terhadap kedalaman dalam memberikan respon terhadap sinyal akustik yang mengenai dasar perairan. Hal ini ditandai dengan adanya anggapan bahwa dasar perairan yang keras akan menghasilkan intensitas echo yang tajam berupa nilai amplitudo yang tinggi, sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan echo yang lemah yang ditandai dengan rendahnya nilai respon amplitudo yang dihasilkan. Echo envelope dari intensitas energi ini merupakan interpretasi dari dasar perairan dalam meresponi sinyal akustik yang memperlihatkan sinyal echo yang berasal dari first bottom atau E1 dan second bottom atau E2. Echo dasar perairan ini merupakan nilai backscattering volume (SV) yang merupakan nilai yang menggambarkan nilai SV tertinggi untuk masing-masing peak echo, dimana peak pertama diindikasikan sebagai echo yang berasal dari noise permukaan yang disebabkan proses transmisi sinyal akustik dan gangguan lainnya seperti angin ataupun gelembung. Peak kedua merupakan gema yang berasal dari dasar perairan yang langsung diterima transduser, sedangkan peak kedua dan seterusnya merupakan gema yang berasal dari dasar perairan kemudian
44
tidak langsung kembali ke transduser tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan atau kapal dan kembali ke dasar perairan dan kemudian kembali ke transduser. Visualisasi Gambar 25 dan Gambar 26 menunjukkan hasil normalisasi echo dasar perairan yang diperoleh dari data echogram untuk melihat tingkat intensitas energi dari beberapa tipe substrat dasar perairan (pasir dan pasir berlumpur) di lokasi penelitian. Intensitas energi yang mengindikasikan dari tipe substrat pasir berlumpur diwakili stasiun 3 dan 4 dengan nilai µ ± s sebesar 158.10 ± 2.57 dB, dan 159.44 ± 2.80 dB. Sedangkan untuk tipe substrat pasir diwakili stasiun 8 dan 9 dengan nilai µ ± s sebesar 161.85 ± 3.49 dB, dan 175.59 ± 3.61dB.
(a) (b) Gambar 25. Echo Envelope yang mengindikasikan Tingkat Intensitas Energi Tipe Substrat Pasir Berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4
45
(a) (b) Gambar 26. Echo Envelope yang mengindikasikan Tingkat Intensitas Energi Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Kurva energi substrat pasir cenderung memberikan respon backscattering yang lebih kuat dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur yang ditandai dengan nilai amplitudo yang tinggi yang terdapat pada substrat pasir. Rendahnya intensitas energi echo pada substrat pasir berlumpur dikarenakan substrat yang memiliki kandungan lanau cenderung untuk menyerap gelombang suara yang ditransmisikan ke dasar perairan sehingga echo yang kembali dari dasar akan mengalami pelemahan. Hal ini berbeda dengan pasir, karena pasir akan memantulkan gelombang suara lebih kuat. Hal ini menjelaskan bahwa nilai hambur balik dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai hambur balik dasar atau substrat kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti porositas ataupun kandungan zat organik dan biota yang berada di dalam substrat. Namun dalam penelitian ini porositas, zat organik dan biota yang ada di dalam substrat tidak dibahas.
46
4.3. Principal Component Analysis (PCA) Hubungan antara parameter fisika sedimen dengan nilai akustik dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), untuk melihat seberapa besar keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain. Parameter fisik sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi komposisi sedimen (pasir, lanau, dan liat), sedangkan untuk parameter akustik meliputi nilai SV (E1 dan E2), SS dan EL (Echo Level). Analisis komponen utama yang dilakukan terhadap data pengamatan di perairan Kepulauan Seribu dapat menjelaskan keragaman data sampai 82,12% sehingga interpretasi analisis komponen dianggap mewakili keadaan yang terjadi tanpa mengurangi informasi yang banyak dari data (Gambar 27). Sumbu faktor 1 (F1) dan faktor 2 (F2) dipilih untuk menggambarkan peubahpeubah baru yang akan menjelaskan komponen utama karena kontribusi hasil penjumlahan antara keduanya lebih besar bila dibandingkan dengan penjumlahan antara F1 dan F3 atau F2 dan F3. Perlu diketahui bahwa besarnya sudut yang terbentuk dari dua variabel dalam satu sumbu faktor mengindikasikan besarnya perbedaan antara kedua variabel tersebut. Hasil analisis komponen utama (parameter fisik sedimen dan nilai hidroakustik) terhadap komposisi substrat dan nilai hambur balik dasar perairan memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap sumbu utama (F1, F2) sebesar 86,70%. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 (F1) yang menjelaskan 64,63% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 22,07% dari ragam total. Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 negatif meliputi: partikel pasir, hambur balik pertama (E1), hambur balik ke dua (E2), SS dan EL,
47
sedangkan sumbu 1 positif meliputi partikel lanau, dan liat. Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 2 negatif partikel liat, lanau, hambur balik pertama (E1), hambur balik ke dua (E2), SS dan EL, sedangkan sumbu 2 positif meliputi partikel pasir. Analisis komponen utama tipe substrat yang meliputi, PCA untuk keterkaitan parameter (fisik sedimen dan nilai hidroakustik) dan penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu F1 dan F2 dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28.
Gambar 27. PCA untuk Parameter Fisik Sedimen dan Nilai Hidroakustik
48
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) 3,0 2,5 8
2,0
3
1,5
Kelompok IV
1,0 Kelompok II
Factor 2: 22,07%
9 5
0,5
4
0,0
1
-0,5
7
-1,0
2
Kelompok III
-1,5 6 -2,0 Kelompok I -2,5 -3,0 -3,5 -7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Active
Factor 1: 64,63%
Gambar 28. Penyebaran Stasiun Pengamatan pada Sumbu F1 dan F2
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 28 maka dapat disimpulkan bahwa, terdapat empat tipe substrat, seperti pada Tabel 7.
49
Tabel 7. Hubungan antara Parameter Fisika Sedimen dan Nilai Akustik dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) Penyebaran Stasiun Klasifikasi Keterangan pada Sumbu F1 dan F2 Stasiun substrat pasir berlumpur dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 2, ditandai Kelompok 1 Stasiun 1, 2, dan 6 dengan nilai SV, SS tertinggi, dan memiliki nilai echo level yang besar dari kelompok 2
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Stasiun 3, 4 dan 5
Stasiun substrat pasir berlumpur dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 1, ditandai dengan nilai SV, SS yang lebih rendah dari kelompok 1, dan memiliki nilai echo level tinggi
Stasiun 7
Stasiun substrat pasir dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 4 dan liat terkecil ditandai dengan nilai SV, SS dan echo level tertinggi diantara stasiun lainnya
Stasiun 8 dan 9
Stasiun substrat pasir dengan komposisi fraksi pasir terbesar diantara stasiun lainnya, ditandai dengan nilai SV, SS, dan echo level yang lebih kecil dari kelompok 3.