31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyumekar (Kartika 2007). Posisi PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia 1 (ALKI-1). Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06°24’30’’LS dan 105°49’15’’BT (Irhamni 2009). PPP Labuan terdiri dari PPP 1 dan PPI 3 yang berada di muara sungai Cipunteun, serta PPP 2 berada di tepi pantai terbuka. Jenis kapal motor yang dioperasikan di PPP 1 dan PPP 3 berukuran 0-5 GT dan 5-10 GT yang merupakan pelabuhan bagi armada kapal obor, rampus, dan cantrang, sementara kapal motor yang dioperasikan di PPP 2 berukuran lebih dari 10 GT karena merupakan pelabuhan bagi armada kapal purse seine. Jenis alat tangkap yang beroperasi di Labuan yaitu payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan jaring cantrang (Tabel 2). Alat tangkap yang terbanyak yaitu jaring arad, pancing, dan gillnet masing-masing berjumlah 119 unit, 68 unit, dan 65 unit. Nelayan Labuan biasa melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun baik musim barat maupun musim peralihan. Kondisi daerah penangkapan yang terhalang oleh pulau-pulau kecil (contohnya Pulau Rakata) membantu nelayan melakukan operasi penangkapan karena terlindung dari pengaruh gelombang (Kartika 2007). Pada tahun 2008, jumlah nelayan terbanyak di PPP Labuan adalah 2284 atau sekitar 42.68% dari total keseluruhan jumlah nelayan di Kabupaten Pandeglang (Irhamni 2009).
31
32
Berikut adalah perkembangan armada penangkapan ikan di Labuan : Tabel 2. Jumlah alat penangkapan ikan di PPP Labuan periode 2001-2008 Tahun
No
Alat Tangkap
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
1
Payang
25
28
43
45
44
43
43
45
60
61
59
2
Cantrang
193
193
40
48
49
49
49
48
13
11
6
3
Arad
-
-
125
125
130
121
121
119
181
181
180
4
Purse seine
10
8
16
16
20
20
20
18
10
8
8
5
Rampus
68
65
32
30
32
32
32
35
41
41
41
6
Jaring Klitik
32
32
10
10
4
0
0
0
0
0
0
7
Pancing
26
28
32
32
65
68
68
68
68
68
68
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, 2008 Kondisi curah hujan rata-rata tahunan di PPP Labuan adalah sebesar 1.814 mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November, Desember dengan curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober dengan curah hujan 209 mm/bulan (Kartika 2007). Menurut BMKG (2011), musim kemarau di wilayah Provinsi Banten maju 4-8 dasarian (2-3 bulan).
4.1.2. Kondisi perikanan swanggi di PPP Labuan PPP Labuan sebagai pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang, disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di sekitar Pandeglang untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan. Ikan swanggi merupakan hasil tangkapan dominan kelima di Labuan (8.25%) setelah ikan kue (24.70%), kurisi (23.43%), kuniran (23.04%), dan kapasan (13.70%) (Gambar 7). 6.89%
8.25%
Kue Kurisi
13.70%
24.70%
Kuniran Kapasan
23.04% 23.43%
Swanggi Jolod
Gambar 7. Komposisi hasil tangkap ikan demersal kecil di Labuan Sumber: Data harian PPP Labuan tahun 2011 (diolah) 32
33
Jenis ikan swanggi yang tertangkap adalah Priacanthus tayenus. Daerah penangkapan ikan swanggi meliputi pulau-pulau kecil (P. Liwungan, P. Sebesi, P. Panaitan, P. Papole), Carita, Sumur, Tanjung Alang-alang, Tanjung Lesung, dan 15-35 km arah Barat Laut dari Labuan dengan waktu tempuh 2-3 jam. Penangkapan ikan swanggi menggunakan alat tangkap jaring cantrang yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 6-24 GT dan alat tangkap jaring rampus yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 2-6 GT. Jaring cantrang memiliki ukuran mata jaring bagian kantong adalah 1.5 inchi-3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi, sedangkan ukuran mata jaring rampus 2 inchi. Jenis tangkapan yang dihasilkan alat tangkap tersebut diantaranya ikan swanggi, pepetek, kurisi, kuniran, kapasan. Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap cantrang biasanya dapat melakukan operasi penangkapan selama 3-4 hari termasuk perjalanan menuju fishing ground dan kembali ke PPP. Armada kapal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus melakukan perjalanan menuju fishing ground selama 1-2 jams.
4.1.3. Hasil tangkapan (catch) dan harga ikan swanggi Berdasarkan data statistik yang ada (tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 20102011), maka hasil tangkapan ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan berfluktuasi dalam kurun waktu tersebut. Pada tahun 2001 hasil tangkapan cenderung stabil hingga tahun 2002. Peningkatan hasil tangkapan terjadi pada tahun 2002 hingga 2005 serta 2007 hingga 2011, sedangkan pada tahun 2005 hingga 2007 mengalami penurunan (Gambar 8a). Berdasarkan Gambar 8a, hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2005 yaitu 29602 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah terdapat pada tahun 2007 yaitu sebesar 1536 kg.
33
Hasil Tangkapan (kg)
34
40000 30000 20000 10000 0 2001
2002
2004
2005
2006
2007
2010
2011
Tahun
Gambar 8a. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan Tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 2010-2011 Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah) Gambar 8b menunjukkan hasil tangkapan ikan swanggi dari bulan Januari 2011 hingga Desember 2011. Hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2011 terdapat pada bulan Februari, sedangkan hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan Desember. Berikut ini adalah grafik hasil tangkapan pada setiap operasi
Hasil Tangkapan (kg)
penangkapan di tahun 2011. 1200 1000 800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Bulan
Gambar 8b. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan Tahun 2011 Sumber : Data harian PPP Labuan (diolah) Berdasarkan Gambar 9, hasil tangkapan ikan swanggi tertinggi pada tahun 2011 terdapat pada operasi penangkapan ke-4 pada tanggal 14 Februari 2011 yaitu sebesar 237.5 kg, sementara hasil tangkapan ikan swanggi terendah terdapat pada operasi penangkapan ke-63 pada tanggal 17 Agustus 2011 yaitu sebesar 10 kg. Selain hasil tangkapan, harga ikan swanggi juga mengalami fluktuasi seperti pada Gambar 10.
34
35
Hasil Tangkapan (kg)
250
237.5
200 150 100 50 10
0 0
20
40
60
80
100
120
Jumlah trip
Gambar 9. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011 berdasarkan jumlah trip Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah) Harga ikan ketika hasil tangkapan tertinggi pada operasi penangkapan ke-4 merupakan harga terendah yaitu Rp 4000,- (Gambar 10). Sementara harga ikan tergolong tinggi ketika hasil tangkapan terendah yaitu senilai Rp 10000,-. Fluktuasi harga dan hasil tangkapan disebabkan oleh faktor alam yang bersifat tidak menentu, sehingga harga dan produksi ikan swanggi berada dalam situasi
Harga (Rp/kg)
ketidakpastian. 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
10000
4000
0
20
40
60 Jumlah trip
80
100
120
Gambar 10. Harga ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011 Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah)
4.1.4. Upaya penangkapan (effort) Upaya penangkapan ikan swanggi didapatkan dari data sekunder PPP Labuan yang berupa data harian dan data bulanan tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 20102011 (Gambar 11). Upaya penangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2006 yaitu 1007 trip, sementara upaya penangkapan terendah terdapat pada tahun 2007 yaitu 35
36
44 trip. Upaya penangkapan yang rendah terjadi pada kurun waktu terakhir, yaitu tahun 2007, 2010, dan 2011.
1200
Upaya (trip)
1000 800 600 400 200 0 2001
2002
2004
2005
2006
2007
2010
2011
Tahun
Gambar 11. Upaya penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011 Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
4.1.5. Tangkapan per satuan upaya Tangkapan per satuan upaya (TPSU) didapatkan dengan membagi hasil tangkapan
ikan
swanggi
dengan
upaya
penangkapannya.
Gambar
12
memperlihatkan tangkapan per satuan upaya pada tahun 2001-2002, 2004-2007,
TPSU (kg/trip)
2010-2011.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2001
2002
2004
2005
2006
2007
2010
2011
Tahun
Gambar 12.
Tangkapan per satuan upaya ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011
36
37
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai TPSU tertinggi terdapat pada tahun 2011 dengan nilai 84.13 kg/trip, sedangkan TPSU terendah yaitu senilai 15.25 kg/trip pada tahun 2001. TPSU ikan swanggi mengalami fluktuasi pada kurun waktu tahun 2001-2006, kemudian mengalami peningkatan hingga tahun 2011.
4.1.6. Pola musim penangkapan Indeks Musim Penangkapan (IMP) diperlukan dalam menganalisis pola musim penangkapan ikan swanggi di PPP Labuan. IMP merupakan salah satu dari metode rata-rata bergerak (moving average), dengan menghitung IMP setiap bulan pola musim penangkapan ikan swanggi dapat dilihat pada gambar. Perhitungan IMP dapat dilihat pada lampiran. Gambar 13 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun 2001-2007, yaitu pada bulan Januari-Maret, Juni, Agustus, dan September. Bulanbulan tersebut memiliki nilai indeks musim di atas nilai rata-rata. Dari hasil perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa puncak musim penangkapan periode 2001-2007 terjadi pada bulan Maret karena memiliki nilai IMP tertinggi yakni sebesar 200.05%. Nilai IMP terendah terdapat pada bulan April yaitu 35.25%.
250 200.05 200
171.50
IMP (%)
163.94
143.09
150
Musim Penangkapan
105.65
100
102.16
65.15 60.15
59.77
57.53
50
35.25
35.76
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
0
Bulan
Gambar 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2001-2007 Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah) 37
38
Terdapat perbedaan musim penangkapan antara periode tahun 2001-2007 dan tahun 2010-2011. Gambar 14 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun 2010-2011 terdapat pada bulan Desember-Februari, Juli, dan Agustus. Puncak musim penangkapan terdapat pada bulan Januari dengan nilai IMP 201.84% dan nilai IMP terendah pada bulan Juni dengan nilai 42.43%. 250 201.84
200 IMP (%)
174.40 150 112.03
Musim Penangkapan
120.23
110.25
100 87.54 50
78.91
76.38
77.67 64.18
42.43
54.14
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
0
Bulan
Gambar 14. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2010-2011 Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah) 4.1.7. Daerah penangkapan Daerah penangkapan ikan swanggi berada pada perairan Selat Sunda bagian Timur, Barat Daya, dan Barat Laut. Gambar 15 menunjukkan lokasi persebaran daerah penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda berdasarkan bulan dan jenis alat tangkap yang beroperasi. Pada musim penghujan alat tangkap jaring rampus cenderung beroperasi tidak jauh dari daratan. Daerah penangkapan ikan swanggi berdasarkan Gambar 15 dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan kedekatan daerah penangkapan. Operasi penangkapan paling sedikit terjadi pada bulan April dan Juni hingga September dan lebih banyak dilakukan oleh kapal motor yang memiliki alat tangkap jaring rampus. Tabel 3 menampilkan ukuran panjang ikan swanggi yang diplotkan berdasarkan bulan dan lokasi penangkapan. 38
39
Berikut adalah matriks penyebaran selang kelas ukuran panjang ikan swanggi : Tabel 3. Matriks sebaran spasial, temporal, dan ukuran panjang ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011 Bulan
Kriteria Lokasi Penangkapan 1.
15-35 km ke arah Barat Laut Labuan
2.
P. Papole
3.
a.
Panimbang dan P. Liwungan
b.
Tg. Lesung
4.
Sumur
5.
a.
Tg. Alang-alang
b.
P. Panaitan
3
4
5
6
7
8
9
10
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√ √
SK Panjang (mm) 105-123
j
124-142
c
j
c
c
c
c
b
c
c
c
c
c
143-161
b
162-180
b
c
c
c
c
b
c
181-199
b
b
c
c
b
b
b
200-218 (Lm50 betina=211)
j
j
c
c
c
219-237
j
c
c
238-256
j
j
257-275 (Lm50 jantan=268)
j
j
276-294
j
j
Sumber : diolah dari Ballerena (2012) Ket : √ c b j
: ada : betina dan jantan : betina : jantan Ukuran ikan swanggi paling kecil terdapat pada bulan Juni hingga Agustus,
dengan lokasi penangkapan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, P. Papole, Panimbang dan P. liwungan, dan Sumur. Sementara ukuran paling besar terdapat pada bulan Mei dan September, dengan lokasi penangkapan pada bulan Mei yaitu 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, Panimbang, P. Liwungan, Tg. Sumur, Tg. Alang-alang, dan P. Panaitan, dan lokasi penangkapan bulan September yaitu 1535 km ke arah Barat Laut Labuan , P. Papole, dan Tg. Lesung.
39
40
Gambar 15. Peta daerah penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Selat Sunda (Sumber : Hasil wawancara)
40
41
Tabel berikut adalah matriks yang akan memberikan informasi mengenai ukuran TKG pada bulan Maret hingga Oktober dan persebaran penangkapannya.
Tabel 4. Matriks sebaran spasial, temporal, dan TKG ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011 Bulan
Kriteria
1. 2. 3.
Lokasi Penangkapan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan P. Papole Panimbang dan P. a. Liwungan b. Tg. Lesung
4
√
5
6
√
√
√
7
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √ √ √
I (immature)
18.18
61.11
41.38
36.00
59.18
II (immature)
36.36
30.56
31.03
40.00
III (mature)
9.09
2.78
10.34
16.00
4.
Sumur
5.
a. b.
3
√
Tg. Alang-alang P. Panaitan
8
9
10
√
√
√
√
√ √
√ √
43.33
0.00
80.00
10.20
30.00
0.00
13.33
10.20
13.33
25.00
0.00
√ √
TKG jantan(%)
IV (mature)
27.27
5.56
13.79
8.00
8.16
6.67
16.67
0.00
V (ripe, matang gonad)
9.09
0.00
0.00
0.00
12.24
6.67
33.33
6.67
VI (ripe, matang gonad)
0.00
0.00
3.45
0.00
0.00
0.00
16.67
0.00
VII (spent)
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
8.33
0.00
TKG betina(%) I (immature)
0.00
50.00
9.52
10.53
100.00
87.50
2.63
68.57
II (immature)
5.56
45.83
30.95
34.21
0.00
8.33
31.58
20.00
III (mature)
25.93
4.17
33.33
18.42
0.00
0.00
28.95
8.57
IV (mature)
46.30
0.00
16.67
23.68
0.00
0.00
2.63
2.86
V (ripe, matang gonad)
22.22
0.00
9.52
7.89
0.00
4.17
23.68
0.00
VI (ripe, matang gonad)
0.00
0.00
0.00
5.26
0.00
0.00
7.89
0.00
VII (spent)
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.63
0.00
Sumber : diolah dari Ballerena (2012) Ket : √
: ada TKG V, dan VI merupakan TKG ikan swanggi yang dapat melakukan
pemijahan. Berdasarkan Tabel 4, persentase TKG tersebut merupakan nilai tertinggi pada bulan Maret dan September. Pada bulan September terdapat persentase TKG V dan VI tertinggi dengan lokasi penangkapan Pulau Papole, 41
42
Tanjung Lesung, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, sedangkan pada bulan Maret terdapat persentase TKG V tertinggi kedua dengan lokasi penangkapan Tg. Lesung, P. Panaitan, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan. TKG I, II, III, dan IV merupakan TKG ikan swanggi yang belum siap untuk melakukan pemijahan. TKG I dan II memiliki persentase yang tinggi setiap bulannya, sementara TKG III dan IV hampir selalu terdapat setiap bulannya.
4.1.8. Bioekonomi Aspek ekonomi dari eksploitasi stok ikan sangat tergantung pada karakteristik biologi dari stok ikan itu sendiri. Produksi lestari maksimum (MSY) hanya menggunakan parameter biologi saja, sedangkan produksi lestari secara ekonomi (MEY) menggunakan parameter biologi dan ekonomi. Analisis bioekonomi menggunakan parameter biologi r, q, K dan parameter ekonomi p dan c. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan model Schaefer didapatkan parameter biologi dan ekonomi pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi Parameter Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) Laju pertumbuhan populasi intrinsik (r) (kg/tahun) Harga (p) (Rp/kg) Biaya (c) (Rp/trip)
Nilai 0.02 177311 2.16 10,724 134,012
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa koefisien kemampuan alat tangkap ikan swanggi yaitu jaring cantrang dan jaring rampus senilai 0.02 kg per trip, daya dukung ikan swanggi di perairan (K) sebesar 177311 kg per tahun, dan laju populasi intrinsik ikan swanggi senilai 2.16 kg per tahun. Harga dan biaya ikan swanggi didapatkan dari rata-rata hasil wawancara terhadap nelayan, yaitu masing-masing sebesar Rp 10,724 per kg dan Rp 134,012 per trip.
42
43
Setelah mengetahui parameter biologi dan ekonomi, perhitungan produksi dapat dilakukan. Tabel 6 memperlihatkan produksi lestari dari berbagai rezim atau kondisi. Tabel 6. Hasil perhitungan bioekonomi dalam berbagai rezim Kondisi
Variabel
MEY
MSY
Aktual
OA
Yield (h)
95,520.68
95,522.56
6,806.30
1,689.40
Effort (E)
67
67
80
135
TR (Rp)
1,024,376,943
1,024,397,148
72,991,700
18,117,351
TC (Rp)
9,058,676
9,099,086
10,842,370
18,117,351
Rente ekonomi (π)
1,015,318,267
1,015,298,062
62,149,330
0.00
Tabel 6 menunjukkan jumlah biomassa (yield), upaya (effort), total penerimaan (TR), total biaya (TC), dan rente ekonomi dalam kondisi MEY, MSY, Open Access (OA), dan kondisi sebenarnya atau aktual. Kondisi aktual memperlihatkan nilai variabel effort yang paling tinggi, namun memiliki rente ekonomi yang lebih kecil dari rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY. Kondisi MEY dan MSY memiliki rente yang lebih besar dibandingkan kondisi aktual dan open access, dengan upaya yang lebih sedikit. Rente ekonomi pada rezim open access bernilai nol, dengan upaya paling besar. Rente ekonomi optimal diperoleh pada kondisi MEY dan MSY, hal ini ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya yang merupakan jarak terbesar. Tingkat upaya (effort) pada kondisi aktual sudah melebihi kedua rezim tersebut yaitu sebesar 80 trip dengan biomassa sebesar 6806.30 kg per tahun.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Hasil tangkapan Pelabuhan perikanan pantai Labuan terdiri dari tiga PPP, yaitu PPP 1, PPP 2, dan PPP 3. Pendaratan ikan swanggi dilakukan di PPP 1 Labuan, dimana armada penangkapan ikan swanggi adalah kapal berukuran 2-6 GT dengan alat tangkap jaring rampus dan kapal berukuran 6-24 GT dengan alat tangkap jaring cantrang. Hasil tangkapan dominan di PPP 1 Labuan adalah ikan-ikan demersal seperti ikan kuwe, kerapu, manyung, kurisi, kuniran, pepetek, dan ikan swanggi. 43
44
Keadaan hasil tangkapan yang cenderung stabil pada tahun 2001 hungga 2002 diduga disebabkan oleh perubahan jumlah alat tangkap di Labuan yang tidak terlalu signifikan (Tabel 2). Pada tahun 2002 terjadi peningkatan hasil tangkapan yang signifikan hingga tahun 2005, hal tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan kapasitas kapal pada tahun 2003. Penurunan jumlah alat tangkap dilakukan pada tahun 2003 guna menjaga keberadaan sumberdaya ikan di Selat Sunda, namun disertai dengan peningkatan kapasitas kapal di Labuan sehingga terjadi peningkatan produksi tangkapan hingga tahun 2005. Secara alamiah, nelayan akan merespon penurunan stok ikan dengan merekayasa peningkatan kemampuan tangkap kapal, ukuran kapasitas kapal, jaring, dan taktik penangkapan (peningkatkan kemampuan tangkap dengan perlengkapan teknologi yang lebih maju). Hasil tangkapan dan harga ikan swanggi di PPP Labuan sangat berfluktuasi, hal ini dapat disebabkan oleh faktor alami maupun faktor non-alami yang bersifat dari manusia. Faktor alami yang mempengaruhi fluktuasi hasil tangkapan dan harga ikan swanggi yaitu ukuran stok, mortalitas alami, dan migrasi. Sedangkan faktor non-alami yaitu struktur pasar, biaya operasional, perubahan teknologi, dan perilaku konsumen (Charles 2001). Harga ikan swanggi terendah terdapat pada operasi penangkapan ke-4 pada tanggal 14 Februari 2011, yaitu Rp 4.000,-, hal ini disebabkan oleh hasil tangkapan maksimum terjadi pada tanggal tersebut (Gambar 10). Berdasarkan perhitungan indeks musim penangkapan periode 2010-2011, bulan Februari termasuk kategori musim penangkapan, dengan nilai IMP 120.23 %. Harga ikan swanggi tertinggi terjadi pada tanggal 2 Oktober yaitu Rp 14.957,- dengan hasil tangkapan hanya sebesar 23.4 kg. Berdasarkan perhitungan indeks musim penangkapan periode 2010-2011, bulan Oktober termasuk kategori bukan musim penangkapan, dengan nilai IMP 64.18 %.
4.2.2. Upaya penangkapan Upaya penangkapan merupakan masukan dari aktivitas penangkapan. Ikan swanggi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring cantrang dan jaring rampus. Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa upaya penangkapan berfluktuasi. 44
45
Upaya penangkapan ikan swanggi pada tahun 2001 hingga 2006 telah melebihi upaya lestari MSY, kemudian upaya pada tahun 2007 hingga 2011 mengalami penurunan hingga sempat bernilai lebih kecil dari MSY. Penurunan upaya penangkapan hingga tahun 2002 masih diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan, namun peningkatan upaya hingga tahun 2006 disertai dengan penurunan hasil tangkapan. Pada tahun-tahun lainnya fluktuasi produksi mengikuti fluktuasi upaya penangkapan. Penurunan upaya penangkapan pada tahun 2006 hingga 2007 diduga disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM pada tahun 2007 mencapai Rp 4500,-, sedangkan harga pada tahun-tahun sebelumnya berkisar antara Rp 500,- sampai dengan Rp 4000,-. Upaya penangkapan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumber daya dan faktor eksternal lain. Ketika biomassa tidak dapat mendukung pada tingkat upaya penangkapan yang sedang berjalan, maka upaya penangkapan akan berkurang secara alami.
4.2.3. Tangkapan per satuan upaya Nilai TPSU yang rendah pada tahun 2001 dikarenakan upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada tahun tersebut yang sedikit, kemudian mengalami peningkatan karena terjadinya penurunan jumlah alat tangkap cantrang dan rampus disertai dengan peningkatan kapasitas kapal sehingga hasil tangkapan yang diperoleh masih melimpah. Upaya penangkapan yang ditingkatkan kembali hingga tahun 2006 tidak menyebabkan nilai TPSU semaikin meningkat (Gambar 12), hal tersebut disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya. Nilai TPSU yang tinggi menggambarkan kelimpahan ikan yang tinggi pada tahun tersebut. Nilai TPSU yang rendah pada tahun 2006 disebabkan oleh kelimpahan ikan cenderung menurun akibat penangkapan pada tahun-tahun sebelumnya. TPSU mengalami peningkatan hingga mencapai TPSU tertinggi pada tahun 2011. Hal tersebut disebabkan oleh upaya penangkapan yang berkurang karena pengaruh kenaikan harga BBM. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan stok ikan di perairan tersebut, walaupun memberikan keuntungan yang terbatas bagi nelayan. 45
46
4.2.4. Pola musim penangkapan Waktu yang tepat untuk operasi penangkapan dapat ditentukan dengan menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average), karena metode ini memiliki
keuntungan
yaitu
dapat
mengisolasi
fluktuasi
musiman
dan
kecenderungan yang biasa terdapat pada metode deret waktu dapat dihilangkan (Bahdad 2006). Salah satu penggunaan metode rata-rata bergerak (moving average) adalah perhitungan indeks musim penangkapan. Perhitungan indeks musim penangkapan ikan swanggi sebagai patokan dalam penentuan pola musim penangkapan dengan memberikan patokan nilai indeks sebesar 100. Bulan musim penangkapan dengan nilai indeks di atas 100 atau di atas rata-rata merupakan waktu yang baik untuk upaya penangkapan sedangkan bulan dengan indeks musim di bawah 100 merupakan waktu penangkapan yang kurang menguntungkan. Berdasarkan Gambar 13, musim penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada periode 2001 hingga 2007 terjadi pada bulan Januari-Maret, Juni, Agustus, dan Sepetember. Sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan April dan Oktober. Hal tersebut berbeda apabila dibandingkan dengan spesies lain namun masih termasuk genus Priacanthus, yaitu Priacanthus hamrur. Menurut Sivakami (2001), hasil tangkapan P. hamrur sangat melimpah di Vishakhapatnam India terjadi selama bulan Maret-April dan Juli. Terdapat perbedaan musim penangkapan antara periode tahun 2001-2007 dan tahun 2010-2011. Gambar 14 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun 2010-2011 terdapat pada bulan Desember-Februari, Juli, dan Agustus. Nilai IMP tertinggi pada periode tahun 2010-2011 yaitu 201.84% dan nilai IMP terendah pada bulan Juni dengan nilai 42.43 %. Hal tersebut sesuai dengan Gambar 8b bahwa hasil tangkapan pada bulan Januari dan Februari tergolong tinggi, sementara hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan Juni. Kegiatan penangkapan ikan dapat bersifat musiman, dengan kata lain kegiatan penangkapan ikan dapat berubah karena selain ada masa ketika ikan melimpah di laut dan lokasinya dapat diakses nelayan dengan mudah juga ada periode waktu lain ketika lokasi penangkapannya sulit dicapai nelayan.
46
47
4.2.5. Daerah penangkapan Suatu daerah penangkapan (fishing ground) dapat dinilai memiliki prospek yang baik apabila sumberdaya hayati yang menjadi tujuan penangkapan tersedia cukup tinggi, stoknya mudah tumbuh dan berkembang serta dapat diketahui musim dan daerah penyebarannya. Alat tangkap jaring cantrang dan rampus telah lama beroperasi di wilayah perairan Selat Sunda. Jaring cantrang dan rampus dioperasikan nelayan dengan menggunakan kapal motor. Alat tangkap jaring cantrang dioperasikan oleh kapal berukuran 6-24 GT, sementara alat tangkap rampus dioperasikan oleh kapal berukuran ≤ 6 GT. Tidak seperti alat tangkap rampus, alat tangkap cantrang melakukan penangkapan lebih jauh dari tepi pantai, sementara alat tangkap rampus beroperasi 2-20 km dari tepi pantai. Hal tersebut disebabkan oleh ukuran kapal rampus hanya berukuran maksimal 6 GT, sementara kapal cantrang berukuran 6-24 GT sehingga dapat beroperasi lebih jauh. Berdasarkan wawancara, tujuan utama penangkapan baik nelayan jaring rampus maupun jaring cantrang adalah ke arah Barat Laut dari Labuan atau ke arah P. Rakata dengan jarak 15-35 km. Alat tangkap jaring cantrang melakukan penangkapan pada daerah tersebut pada musim peralihan I, musim timur, musim peralihan II, dan sedikit pada musim barat. Sementara alat tangkap rampus melakukan penangkapan pada lokasi tersebut hanya pada musim peralihan I, musim timur, dan akhir dari musim barat. Berdasarkan nilai IMP baik pada periode 2001-2007 maupun 2010-2011, musim penangkapan ikan swanggi dimulai pada pertengahan musim peralihan I. Nelayan jaring cantrang tidak hanya melakukan penangkapan pada lokasi tersebut. Ketika hasil tangkapan di daerah Barat Laut Labuan tersebut mulai menipis, mereka mencari lokasi penangkapan lain yang lebih menguntungkan, yaitu di sekitar Tg. Lesung dan P. Panaitan pada pertengahan musim timur dan musim peralihan II. Hasil tangkapan yang mulai menipis pada bulan Maret ditunjukkan oleh Gambar 8b. Hanya sedikit nelayan cantrang dan rampus yang mengoperasikan alat tangkapnya ketika musim barat, kebanyakan dari mereka tidak melaut atau menjadi nelayan andon di wilayah lain. Selain ke arah P. Rakata, pada awal musim timur, Carita dan perairan menuju Sumur merupakan daerah penangkapan yang 47
48
menguntungkan bagi nelayan rampus. Aktivitas penangkapan rampus di Teluk Labuan terjadi pada akhir musim timur, musim peralihan II, dan musim barat. Ketika musim barat dan musim peralihan II, nelayan rampus hanya beroperasi di sekitar perairan Teluk Labuan. Namun berdasarkan data hasil tangkapan tahun 2011, hasil tangkapan pada bulan April-September tergolong rendah. Hal tersebut diduga disebabkan oleh angin kencang yang bertiup ke arah timur dan curah hujan yang tinggi. Menurut Asriyana (2004), pada musim barat, banyaknya masukan air tawar dari muara sungai membawa muatan partikel tanah menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga ikan bergerak pada perairan lebih dalam. Pada musim timur, keadaan gelombang teluk relatif cukup besar karena masih dipengaruhi oleh gelombang besar yang terjadi pada bagian luar mulut teluk. Hal ini menyebabkan ikan bergerak pada perairan yang lebih dalam yang relative tenang sehingga ikan yang tertangkap jumlahnya sedikit. Pada musim barat dimana terjadi gelombang tinggi akibat arus yang besar dari Samudera Hindia menyebabkan nelayan rampus hanya melakukan penangkapan di sekitar Pulau Papole yang tidak jauh dari Labuan, sedangkan diduga bahwa ikan swanggi melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam. Penangkapan paling sering dilakukan pada jarak 20-35 km ke arah Barat Laut yaitu pada bulan Maret, Mei, Juni, Agustus, hingga Oktober. Ukuran ikan swanggi paling kecil terdapat pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Hal tersebut disebabkan oleh penangkapan pada musim peralihan II dan musim barat cenderung di tidak jauh dari tepi pantai. Menurut Vijayakumaran & Naik (1988), hasil tangkapan yang rendah pada kedalaman kurang dari 100 m mengindikasikan terjadinya migrasi ke perairan yang lebih dalam. Ukuran ikan swanggi yang tertangkap pada bulan Maret memiliki ukuran panjang berkisar antara 143-237 mm, dengan persentase TKG jantan dari yang tertinggi hingga terendah yaitu TKG II, IV, I, dan III, sementara persentase TKG betina dari yang tertinggi hingga terendah yaitu TKG IV, III, V, dan II. Persentase TKG IV pada bulan Maret adalah persentase TKG IV tertinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada bulan Maret dengan lokasi penangkapan 10-20 km ke Barat laut, Pulau Liwungan, Tanjung Lesung, Panimbang, dan Pulau Panaitan merupakan tempat pemijahan ikan swanggi. 48
49
Ukuran pertama kali matang gonad (Lm50) ikan jantan lebih besar dari ikan betina yaitu 268 mm, terdapat pada bulan Mei dan September. Menurut Budimawan et al (2004), ukuran ikan pertama kali matang gonad merupakan indicator ketersediaan stok reproduktif. Berdasarkan Gamber 8b, kelimpahan ikan swanggi melimpah pada bulan Januari, Februari, Maret, Oktober, dan November. Pada bulan Maret terdapat persentase TKG IV yang tinggi, sementara pada bulan Oktober terdapat persentase TKG I yang tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada lokasi 5-40 km ke Barat laut, Pulau Liwungan, Tanjung Lesung, Panimbang, Sumur, dan Pulau Panaitan selain merupakan tempat pemijahan juga merupakan tempat ikan swanggi mencari makan. Ukuran ikan swanggi yang tertangkap pada bulan April memiliki ukuran panjang berkisar antara 124-218 mm, dengan persentase TKG jantan dari yang tertinggi hingga terendah yaitu TKG I, II, IV, dan III, sementara persentase TKG betina dari yang tertinggi hingga terendah yaitu TKG I, II, dan III. Persentase TKG I jantan pada bulan April adalah persentase TKG I jantan tertinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Lokasi penangkapan pada bulan tersebut adalah Pulau Panaitan dan Pulau Papole. Selain bulan April, aktivitas penangkapan di Pulau Papole juga terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, sementara penangkapan di Pulau Panaitan terjadi pada bulan Mei dan Juli. Ikan swanggi yang tertangkap pada lokasi ini memiliki persentase TKG I dan II yang tinggi baik jenis kelamin jantan maupun betina. Bahkan pada bulan Juli ikan swanggi betina yang tertangkap memiliki persentase TKG sebesar 100 %. Hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Panaitan dan Pulau Papole merupakan daerah yang kaya akan unsur hara sehingga kelimpahan ikanikan muda tinggi pada lokasi tersebut diduga bertujuan untuk mencari makan. TKG V, VI, dan VII memiliki persentase TKG yang sangat kecil, dan terlihat bahwa semakin besar ukuran TKG persentasenya semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan swanggi semakin menurun seiring bertambahnya ukuran TKG. Pada bulan April, Juli, Agustus, dan Oktober, ikan swanggi yang tertangkap di Pulau Panaitan, Papole, Sumur, Tanjung Lesung, dan ke arah Barat Laut tidak melakukan pemijahan karena hanya salah satu dari jantan 49
50
atau betina yang mengalami matang gonad. Berdasarkan nilai IMP, bulan April, dan Oktober tidak termasuk kategori musim penangkapan. Menurut BMKG (2011), Oktober merupakan musim barat, sehingga diduga bahwa ikan swanggi melakukan perpindahan ke tempat yang lebih hangat yaitu perairan yang lebih dalam.
4.2.6. Bioekonomi Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tangkap tidak dapat lepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhinya antara lain biaya penangkapan dan harga ikan. Berdasarkan hasil analisis perhitungan parameter biologi (r, q, dan K) menggunakan model Algoritma Fox (Tabel 5), didapatkan laju pertumbuhan populasi intrinsic (r) ikan swanggi sebesar 2.16 kg per tahun yang berarti bahwa biomassa ikan swanggi tumbuh alami tanpa adanya gangguan dari kegiatan manusia sebesar 2.16 kg per tahun. Carrying capacity bernilai 177311 kg, berarti kemampuan atau kapasitas lingkungan dalam menampung sumberdaya ikan swanggi sebesar 177311 kg per tahun. Koefisien alat tangkap (q) bernilai 0.02 yang berarti bahwa setiap peningkatan upaya penangkapan akan berpengaruh 0.02 kg per tahun terhadap aspek biologinya seperti pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Dari hasil analisis yang tersaji pada Tabel 6, diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi open access cenderung akan merusak kelestarian sumberdaya ikan yang ada, hal ini ditunjukkan oleh jumlah tingkat effort yang sangat tinggi, rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi open access sama dengan nol, karena keuntungan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi pada kondisi MEY dan MSY tampak lebih bersahabat dengan lingkungan bahkan memberikan tingkat rente yang lebih besar dibanding pemanfaatan pada kondisi open access. Tingkat produksi aktual yang jauh lebih besar dibandingkan tingkat produksi pada kondisi pengelolaan MEY dan MSY disebabkan oleh tingginya aktivitas penangkapan. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa rente optimal pada kondisi MEY dan MSY masing-masing sebesar Rp 1,015,318,267 per tahun dan Rp 1,015,298,062 50
51
per tahun, namun rente ekonomi pada kondisi aktual yaitu hanya sebesar Rp 62,149,330 per tahun. Aktivitas penangkapan pada kondisi aktual menghasilkan rente yang lebih sedikit, hal tersebut disebabkan oleh tangkapan per unit upaya yang tidak seberapa apabila dibandingkan dengan kondisi pengelolaan lainnya. Status pemanfaatan ikan swanggi dapat dilihat melalui seberapa besar tingat pemanfaatan pada kondisi aktual yang kemudian dibandingkan dengan tingkat pemanfaatan pada kondisi MEY, MSY, dan open access. Tingkat pemanfaatan yang melebihi kondisi MEY menandakan telah terjadinya economic overfishing, sementara apabila telah melebihi kondisi MSY dikatakan telah mengalami biological overfishing. Berdasarkan kondisi aktual, dapat dikatakan bahwa status pemanfaatan ikan swanggi telah mengalami economic overfishing dan biological overfishing. Ikan swanggi yang tertangkap di Labuan berasal dari alat tangkap yang berbeda, yaitu cantrang dan jaring rampus. Alat tangkap tersebut tidak hanya bertujuan untuk menangkap satu spesies, sehingga ikan swanggi yang didaratkan di Labuan bersifat multispecies. Menurut Fauzi (2010), pemodelan bioekonomi didasarkan pada asumsi single species. Berdasarkan hal tersebut perlu diasumsikan bahwa ikan swanggi pada penelitian ini dianggap single spesies, sehingga berasal dari satu unit stok. Menurut Sparre & Venema (1999), stok merupakan suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu.
4.2.7. Rezim pengelolaan perikanan open access Konsep open access sering dipahami sebagai pengelolaan yang bersifat terbuka bagi siapa saja. Konsep umum yang berlaku umum terhadap kepemilikan sumberdaya perikanan yang banyak dimanfaatkan nelayan, dianggap sebagai milik bersama yang lebih dikenal dengan istilah “common property resource”. Open access adalah kondisi ketika pelaku perikanan mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol. Berdasarkan wawancara pribadi, kondisi pengelolaan di PPP Labuan masih bersifat open access, dimana setiap pelaku perikanan yang telah mendapatkan izin dapat melakukan operasi penangkapan secara bebas.
51
52
Berdasarkan Tabel 6, upaya penangkapan ikan swanggi pada rezim open access sebanyak 135 trip per tahun. Besarnya upaya penangkapan pada rezim open access dikarenakan sifat dari rezim ini adalah setiap orang boleh melakukan penangkapan di perairan Indonesia termasuk Selat Sunda. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bagi suatu sumberdaya. Gordon (1954) menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi akan terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol. Keuntungan yang diperoleh pada rezim open access bernilai nol karena TR=TC, artinya apabila sumberdaya ikan swanggi di Selat Sunda dibiarkan terbuka untuk setiap orang maka persaingan pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan menimbulkan resiko bagi nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan dalam kondisi persaingan yang ketat, upaya penangkapan telah mencapai keseimbangan open access. Kondisi seperti ini juga menyebabkan nelayan untuk mengembangkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak mungkin. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya nilai effort pada kondisi open access. Menurut Gordon (1954), pada tingkat TR=TC akan tercipta suatu keseimbangan usaha perikanan swanggi, dimana kekuatan ekonomi yang mempengaruhi
nelayan
dan
kekuatan
produktivitas
biologi
menyangkut
sumberdaya stabil (keseimbangan bioekonomi).
4.2.8. Rezim pengelolaan perikanan MEY Berdasarkan Tabel 6, hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa upaya yang dibutuhkan jumlahnya lebih kecil bila dibandingkan dengan kondisi open access yaitu sebesar 67 trip per tahun. Nilai upaya penangkapan tersebut dapat menghasilkan tangkapan sebesar 95,520.68 kg per tahun. Pada kondisi MEY dan MSY, rente ekonomi yang diperoleh merupakan yang tertinggi dibandingkan pengelolaan open access yaitu sebesar Rp 1,015,318,267 per tahun. Pencegahan terhadap terjadinya alokasi yang tidak tepat dari sumberdaya alam karena kelebihan tenaga kerja ataupun modal dapat dicegah pada kondisi MEY. Total penerimaan yang diperoleh pada kondisi MEY lebih besar dari total pengeluaran sehingga dapat memberikan keuntungan yang besar. Penggunaan effort yang lebih kecil dibandingkan rezim open access dan MEY menunjukkan 52
53
bahwa rezim MEY terlihat lebih efisien dan ramah terhadap sumberdaya perikanan, sehingga
rezim
ini
berperan
penting
dalam
menentukan
keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya lestari maupun ekonomi. Kondisi aktual pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan swanggi sudah mengalami economic overfishing karena upaya pada kondisi aktual sudah melewati kondisi upaya pada kondisi MEY. Hasil perhitungan upaya penangkapan pada tingkat MEY hampir mendekati MSY, namun keduanya mengalami pembulatan ke atas sehingga bernilai sama. Hal tersebut disebabkan oleh ikan swanggi yang bukan merupakan target utama penangkapan cantrang dan jaring rampus namun memiliki harga yang sama tingginya dengan tangkapan utama yaitu ikan kurisi. Selain itu penggunaan model Algoritma Fox yang bersifat non-linear pada penentuan parameter biologi juga dapat mempengaruhi nilai tersebut.
4.2.9. Rezim pengelolaan perikanan MSY Apabila dilihat berdasarkan rente ekonomi, nilai rente ekonomi rezim MEY sama dengan rezim MSY, begitu pula dengan hasil tangkapan pada rezim MSY sama bila dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan MEY. Hal ini menunjukkan bahwa pada rezim MEY maupun MSY, walaupun dengan upaya penangkapan yang kecil namun tetap menghasilkan hasil tangkapan yang besar dengan rente ekonomi yang lebih besar pula. Dampak eksploitasi pun dapat diminimalkan dengan penerapan upaya yang lebih kecil dan efektif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa untuk kondisi perikanan swanggi di Labua, rezim MSY juga merupakan kondisi pengelolaan yang efisien seperti kondisi pengelolaan MEY. Kondisi aktual pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan swanggi sudah mengalami biological overfishing karena upaya pada kondisi aktual sudah melewati MSY. Menurut Widodo & Suadi (2006), biological overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan hasil tangkapan MSY. Jumlah upaya penangkapan pada kondisi aktual adalah 80 trip per tahun sudah melebihi batas upaya penangkapan MSY senilai 67 trip per tahun. Jumlah tangkapan aktual sebesar 6,806.30 kg per tahun sedikit apabila dibandingkan dengan hasil tangkapan lestari MSY senilai 95,520.68 53
54
kg per tahun. Murdiyanto 2004 in Taeran (2007) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan yang melebihi nilai MSY akan menyebabkan menurunnya TPSU.
4.2.10. Implikasi bagi pengelolaan sumberdaya ikan swanggi Hampir sebagian besar usaha perikanan tangkap di Indonesia mempunyai karakteristik akses terbuka tanpa pembatasan upaya penangkapan, kompetisi bebas terjadi antara perikanan skala besar dan kecil. Selain itu kondisi sumber daya laut, pesisir dan ekosistem yang mengalami kerusakkan pada sebagian besar sumber daya hayati. Tujuan pengelolaan dan pembangunan sub sektor perikanan lebih ditujukan tercapai peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan (Susilo 2009). Pendugaan stok perikanan dan manajemen merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Dalam kajian stok ikan akan dihadapi dengan besaran nilai stok ikan yang bersifat dinamis. Salah satu tujuan pengkajian stok ikan adalah bagaimana otoritas perikanan dapat menentukan dan mempertimbangkan pengelolaan perikanan (fisheries management) berdasarkan pada masukan informasi biologi, ekonomi, dan lingkungan. Penentuan strategi pengelolaan sebaiknya mempehitungkan dan meramalkan sejauhmana reaksi nelayan untuk tercapainya tujuan pengelolaan perikanan, serta memperhitungan tekanan pihak luar yang akan mempengaruhi pengelolaan perikanan di masa mendatang (Susilo 2009). Secara alamiah, nelayan akan merespon penurunan stok ikan dengan merekayasa peningkatan kemampuan tangkap kapal, ukuran kapasitas kapal, jaring, dan taktik penangkapan (peningkatkan kemampuan tangkap dengan perlengkapan teknologi yang lebih maju). Dengan demikian, upaya penangkapan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumber daya dan faktor eksternal lain. Ketika biomassa tidak dapat mendukung pada tingkat upaya penangkapan yang sedang berjalan, maka upaya penangkapan akan berkurang secara alami. Dalam usaha menjaga kelestarian sumber daya ikan dikenal dengan tindakan pengelolaan, seperti kuota, pengaturan ukuran mata jaring, penutupan daerah pemijahan, dan musim, bertujuan untuk menjamin sebagian sediaan menjadi induk ikan dan menjaga sediaan induk dari eksploitasi. Berdasarkan pada hasil penelitian 54
55
aspek reproduksi, sebagian besar ikan yang tertangkap belum matang seksual. Dengan demikian, pendekatan memelihara stok induk ikan (spawning stock) melalui larangan penangkapan atau perlindungan ikan yang akan bertelor, yaitu termasuk
pembatasan
upaya
penangkapan
untuk
mengurangi
mortalitas
penangkapan (F), atau penetapan penutupan daerah dan musim penangkapan belum mempunyai alasan kuat. Pemikiran tentang ikan diberi kesempatan bertelor paling sedikit satu kali selama hidup, secara harfiah akan melarang seluruh usaha perikanan tangkap. Jika ikan yang bersangkutan adalah ikan yang berkumpul pada waktu-waktu dan daerah penangkapan ikan yang berlainan, larangan tangkapan musiman dapat berakibat menjadi penutupan terus menerus pada daerah tertentu, dengan kemungkinan pasti bahwa upaya penangkapan akan dipusatkan secara tidak tepat pada kelompok sisa dari kumpulan ikan itu. Tentu saja akibatnya adalah naiknya biaya dan mungkin penurunan hasil tangkapan fisik yang lestari. Kondisi perikanan swanggi di Labuan telah mengalami overfishing secara biologi dan ekonomi. Strategi untuk mengurangi upaya penangkapan sampai batas MEY, dapat dilakukan dengan penutupan penangkapan pada bulan dan daerah penangkapan tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan, TKG VII merupakan TKG yang sudah mengalami pemijahan sehingga dapat ditangkap, TKG tersebut terdapat pada bulan September. Penutupan bulan penangkapan dapat dilakukan pada bulan tersebut sesuai dengan daerah penangkapannya disertai dengan memperbesar ukuran mata jaring. Langkah ini dilakukan agar sesuai dengan daya pulih kembali sumberdaya ikan swanggi sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat tercapai kembali. Agar tidak terjadi masalah baru maka dibutuhkan kerjasama antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengelola, masyarakat khususnya nelayan serta pihak yang terkait untuk memahami pentingnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan ke depannya. Pendekatan selektivitas melalui regulasi ukuran mata jaring (mechanical selection) dilakukan agar ukuran-ukuran ikan yang belum matang gonad, sedang dalam proses kematangan, dan sedang matang gonad tidak tertangkap. Nilai Lm50 (ukuran pertama kali matang gonad) ikan swanggi jantan lebih besar dibandingkan ikan betina yaitu 268 mm, oleh karena itu ukuran ikan yang tertangkap diharapkan 55
56
melebihi 268 mm. Budimawan et al. (2004) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad merupakan indicator ketersediaan stok reproduktif. Dengan demikian, nelayan diharapkan dapat menangkap ukuran ikan yang lebih besar dengan TKG yang telah mengalami pemijahan. Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, juvenile, dan dewasa. Penutupan bulan penangkapan diduga dapat menurunkan hasil tangkapan nelayan. Oleh karena itu, nelayan perlu mengkonsentrasikan penangkapan terhadap jenis ikan lainnya yang belum mengalami overfishing. Pada dasarnya, nelayan telah mengetahui dengan baik daerah penangkapan yang menguntungkan dan komposisi jenis ikan menurut daerah penangkapan dan musim. Memilih dalam kisaran sempit dari spesies dan ukuran ikan (human selection). Penyusutan biomassa mendorong nelayan mencari daerah penangkapan baru. Jika dilihat dari ukuran ikan yang digunakan saat penelitian pada bulan Maret 2011 sampai Oktober 2011, ikan yang banyak tertangkap adalah ikan-ikan muda. Apabila banyak ikan muda yang tertangkap di perairan dikhawatirkan stok ikan akan semakin sedikit. Sumberdaya perikanan yang mengalami tangkap lebih akan menghambat pertumbuhan populasi ikan sehingga stok yang berada di dalam perairan tersebut semakin menurun. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian produksi ikan yang tinggi. Semakin tinggi ketidakpastian produksi maka produksi ikan semakin rendah. Pengelolaan yang tepat terhadap permasalahan sumberdaya ikan dilakukan dengan cara mengurangi upaya penangkapan agar dapat menghasilkan produksi yang tinggi dan ketidakpastian produksinya rendah. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan dapat dihindari dengan melakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi di Selat Sunda yang berlangsung secara berkelanjutan dan tetap lestari dibutuhkan untuk mengimbangi kondisi juvenile fishery agar tidak terjadi dugaan growth overfishing. Ikan swanggi bukan merupakan target tangkapan utama alat tangkap cantrang dan jaring rampus, namun berdasarkan penelitian reproduksi (Ballerena 2012), 56
57
persentase juvenil yang tertangkap sangat tinggi. Pengaturan ukuran mata jaring, bulan penangkapan, dan daerah penangkapan sebenarnya tidak dapat diterapkan dengan meninjau aspek suatu spesies saja, karena tidak ada alat tangkap yang bertujuan khusus menangkap suatu spesies ikan. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan perikanan secara terpadu dari berbagai spesies yaitu pengelolaan perikanan multispecies. Perikanan laut dengan biaya operasi penangkapan yang rendah (low cost) yang dipengaruhi oleh kenaikan komponen biaya operasi penangkapan ikan seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebenarnya baik untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan stok ikan di perairan tersebut, walaupun memberikan keuntungan yang terbatas bagi nelayan (Susilo 2009).
57