4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Kimia Bahan-bahan Baku Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lintah laut jenis Discodoris sp yang berasal Cirebon, sedangkan bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan minuman fungsional ini adalah
jahe merah
(Zingiber officinale Rosc.), temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dan jeruk lemon (Citrus medical var. lemon) yang masing-masing dibeli dari pasar tradisional Bogor. Karakterisasi dilakukan terhadap masing-masing bahan baku, yang meliputi analisis proksimat untuk mengetahui kandungan gizinya. 4.1.1 Komposisi Kimia Lintah Laut (Discodoris sp.) Sifat dari setiap unsur pokok yang terdapat dalam bahan pangan perlu diketahui untuk mengembangkan bahan pangan tersebut. Salah satu metode yang lazim dilakukan adalah analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Kandungan karbohidrat dihitung secara by difference. Hasil analisis proksimat lintah laut segar dapat disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis proksimat lintah laut segar Komponen Gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Kandungan (%bb ) 78,44±0,60 3,17±0,13 15,66±0,06 0,10±0,00 2,65±0,40
Kandungan (%bk) 14,67±0,21 72,62±1,73 0,46±0,01 12,24±1,53
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan.
Kadar air dalam suatu bahan menunjukkan kandungan air per satuan bobot bahan. Ada dua metode dalam menentukan kadar air bahan yaitu berdasarkan bobot kering dan bobot basah. Kadar air yang terdapat pada daging lintah laut ini berdasarkan bobot basah adalah 78,44%. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar air daging lintah laut yang berasal dari Pamekasan Madura hasil penelitian Hafiluddin (2011).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu dapat dijadikan sebagai petunjuk akan keberadaan mineral suatu bahan. Kadar abu yang terdapat pada daging lintah laut yaitu 3,17%, yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu lintah laut yang berasal dari Pamekasan Madura yaitu 1,87%, lintah laut merupakan organisme yang hidup di habitat berlumpur dan menempel pada subtrat, makanannya berupa plankton dan dimakan dengan cara filter feeder (Hafiluddin 2011). Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Perbedaan nilai abu pada setiap organisme disebabkan oleh perbedaan organisme dan lingkungan tempat hidup organisme serta faktor makanan. Setiap organisme memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengabsorsi dan mengeluarkan logam. Menurut Zaitsev et al. (1969), zat gizi termasuk mineral, akan sangat tergantung pada konsumsi zat tersebut dari lingkungannya. Holland (2009) menyatakan bahwa lintah laut biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut yang mempunyai kedalaman lebih dari satu kilometer. Protein adalah zat yang mengandung nitrogen yang dibentuk oleh asam amino. Protein merupakan komponen dasar dalam pembentukan jaringan hewan dan manusia (Mandle et al. 2012). Fungsi protein adalah sebagai struktur komponen otot dan jaringan selain itu protein juga digunakan untuk memproduksi hormon, enzim dan hemoglobin (Hoffman dan Falvo 2005). Berdasarkan hasil pengujian maka daging lintah laut segar yang berasal dari Cirebon mengandung protein yang mencapai 15,66%. Kandungan protein ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan lintah laut yang berasal dari Pamekasan Madura, yang hanya mengandung protein 12,31% (Hafiluddin 2011). Tingginya kadar protein terhadap daging lintah laut segar yang berasal dari perairan Cirebon menunjukkan potensi yang besar sebagai minuman fungsional kaya protein yang mengandung taurin. Lemak dalam makanan merupakan campuran lemak heterogen yang sebagian besar terdiri dari trigliserida. Dalam lemak makanan juga terdapat sejumlah kecil fosfolipid, sfingolipid, kolesterol, dan fitosterol (Budiyanto 2002). Rendahnya kadar lemak dalam penelitian ini (0,1%) dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hafiluddin (2011) kemungkinan karena perbedaan
dari habitat asli lintah laut. Seperti yang dinyatakan oleh Almatsier (2006) bahwa lemak pada tubuh umumnya disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut. Kandungan lemak dipengaruhi oleh lingkungan tempat organisme hidup dan berkembang, selain itu juga tingkat kedewasaan, musim dan kebiasaan makan. Perbedaan nilai lemak ini bisa juga disebabkan oleh umur panen dan laju metabolisme organisme. Kandungan lemak akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak untuk berkembang biak. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies dan antar individu dalam satu spesies (Suzuki 1981). (1) Asam amino lintah laut (Discodoris sp.) Asam amino dibagi menjadi dua, yaitu asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh manusia (nutritive food) dan asam amino non esensial merupakan asam amino yang dapat dibentuk oleh tubuh manusia. Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida (Sitompul 2004). Awal pembentukan protein hanya tersusun dari 20 asam amino yang dikenal sebagai asam amino dasar atau asam amino baku. Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H) dan rantai samping (R) yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Rangwala dan Karypis 2010). Tabel 8 dapat disajikan 8 asam amino essensial yaitu histidin, treonin, metionin, valin, fenilalanin, isoleusin, leusin dan lisin. Asam amino non esensial yaitu asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, alanin dan tirosin. Asam amino lintah laut yang terbesar terdapat pada asam glutamat yaitu sebesar 1.51% bb. Asam amino non esensial yang banyak ditemui di jaringan otot hewan adalah alanin, glisin, dan asam glutamat (Krug et al. 2009). Asam glutamat mengandung ion glutamat yang dapat merangsang beberapa tipe syaraf yang ada pada lidah manusia. Asam glutamat dan asam aspartat memberikan cita rasa pada seafood, namun dalam bentuk garam sodium seperti pada MSG akan memberikan
rasa umami (Uju et al. 2009). Kromatografi asam amino lintah laut dapat disajikan pada Lampiran 1,2 dan Lampiran 3. Asam amino glutamat ini diduga memberikan rasa manis pada daging lintah laut sehingga tidak heran sebagian kecil masyarakat Cirebon yang berdomisili di pinggir laut mengolah daging lintah laut menjadi oseng-oseng .
Tabel 8 Hasil asam amino lintah laut No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jenis asam amino Total asam amino esensial Histidin Treonin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin Total asam amino non esensial Asam aspartat Asam glutamate Serin Glisin Arginin Alanin Tirosin
Kandungan (%bb) 2,76 0,12±0,01 0,33±0,01 0,19±0,01 0,38±0,01 0,32±0,01 0,36±0,01 0,59±0,01 0,47±0,02 5,01 0,89±0,44 1,51±0,07 0,40±0,01 0,65±0,04 0,74±0,04 0,54±0,03 0,28±0,01
Kandungan (%bk) 12,64 0,53±0,03 1,51±0,03 0,86±0,03 1,76±0,07 1,46±0,03 1,65±0,03 2,71±0,03 2,16±0,10 23,12 4,10±0,16 7,00±0,33 1,85±0,07 2,99±0,16 3,41±0,16 2,50±0,13 1,27±0,03
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan.
Asam amino non esensial kedua yang paling banyak terdapat pada daging lintah laut adalah asam aspartat sebesar 0,89% bb. Tetapi jumlah ini masih lebih rendah jika kita bandingkan dengan asam aspartat yang terdapat pada telur dan daging sapi. Menurut Conrat et al. (2010) asam amino Asam aspartat pada putih telur 13,3% dan pada kuning telur 8,1%, sedangkan pada daging sapi sebesar 8,52% (Schweigert et al. 2010). (2) Kandungan logam berat daging lintah laut Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang berbahaya karena sifat toksik jika dalam jumlah yang besar dan dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam perairan baik aspek biologi maupun aspek ekologis. Logam-logam berat yang ada dalam badan perairan akan mengalami proses
pengendapan dan terakumulasi dalam sedimen, kemudian terakumulasi dalam tubuh biota laut yang terdapat didalam perairan (termasuk kerang yang bersifat bentik dan sebagai (bioindikator) baik melalui insang maupun melalui rantai makanan dan akhirnya akan sampai pada manusia. Istilah logam berat hanya ditujukan kepada logam yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3. Namun, pada kenyataannya unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berbahaya juga dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, yang termasuk ke dalam kriteria logam berat saat ini mencapai lebih kurang 40 jenis unsur. Beberapa contoh logam berat yang beracun bagi manusia adalah arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg), nikel (Ni) dan seng (Zn). Konsentrasi residu maksimum yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah sebagai berikut, Pb (1,5 mg kg-1 bb) dan Cd (0,2 mg kg-1 bb), sedangkan Cu dan Zn yang merupakan salah satu unsur essensial masing-masing adalah 10 dan 150 mg kg-1 bb (FAO 1983). Baku mutu produk laut FAO (1983) disajikan dalam satuan berat basah, jika dikonversikan kedalam satuan berat kering dengan asumsi produk perikanan laut mengandung kadar air rata-rata 70% (Uthe dan Chou 1988) maka konsentrasi residu untuk logam nonesensial (Pb dan Cd) adalah 5 dan 0,7 mg kg-1, sedangkan untuk logam esensial Cu dan Zn adalah 33 dan 500 mg kg-1 bk. Berdasarkan tingkat toksisitasnya, logam berat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu 1) Hg, Pb, Cd, Cu, dan Zn yang bersifat toksik tinggi, 2) Cr, Ni, dan Co yang bersifat toksik menengah, dan 3) Mn, dan Fe yang bersifat toksik rendah. Unsur-unsur logam berat ini dibutuhkan organisme hidup dalam proses metabolisme untuk perkembangan dan pertumbuhan sel-sel tubuhnya. Tetapi dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan keracunan, akan tetapi sifat toksik logam berat akan bergantung pada jenis kadar, efek sinergis, antagonis, sifat kimia dan dan fisiknya, serta faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas logam berat. Kandungan logam berat pada daging segar lintah laut yaitu timbal (Pb), cadmium (Cd) dan merkuri (Hg) berturut-turut adalah <0,01 ppm, 0,058 ppm dan < 0,01 ppm. Kandungan ini masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan. Analisis logam berat pada daging lintah laut segar dapat disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Analisis logam berat pada daging lintah laut segar Jenis logam berat Timbal (Pb) Cadmium (Cd) Merkuri (Hg)
Hasil (ppm) <0,01 0,058 <0,01
WHO (ppm) 2 0,5
FAO (ppm) 2 1 0,5
Salah satu logam berat yang banyak mencemari air sungai adalah timbal (Pb). Air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik yang mengandung Pb menyebabkan tanaman konsumsi yang tumbuh di daerah sungai menjadi tercemar oleh Pb (Kohar et al. 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin 2007). Kadar Pb yang terdapat pada daging lintah laut segar sebesar <0,01, dimana nilai itu tidak melebihi dengan nilai ambang batas (NAB) yang ditetapkan untuk kepentingan biota laut yakni sebesar 0,008 ppm atau 8 ppb (Lestrari dan Edward 2004). Kadar Pb maksimum pada biota laut yang boleh dikonsumsi sebesar 2 ppm (WHO 1976). Kadmium (Cd) merupakan logam yang sangat penting dan banyak kegunaannya, khususnya untuk pelapisan elektrik serta galvanisasi karena Cd memiliki keistimewaan nonkorosif. Kadmium banyak digunakan dalam pembuatan campuran logam dan digunakan pula sebagai pigmen warna cat, keramik, plastik, stabilizer plastik, katode untuk Ni-Cd pada baterai, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Widowati et al. 2008). Kadar Cd yang terdapat pada daging lintah laut adalah sebesar 0,058 ppm. Batas aman logam berat Cd dalam makanan baik oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan FDR New Zealand serta FAO yaitu 1 ppm. Kandungan logam berat kadmium yang rendah pada daging lintah laut di perairan Cirebon juga menunjukkan bahwa perairan tersebut masih aman dari pencemaran kadmium. Hal ini diduga karena lokasi perindustrian jauh dari perairan tersebut dan kegiatan pertanian tidak mempengaruhi kandungan logam Cd secara signifikan di perairan tersebut.
Kadar Hg <0,01 ppm relatif rendah dan belum berbahaya bagi biota perairan. Dengan kata lain rendahnya kandungan logam berat merkuri pada daging lintah laut di Perairan Cirebon menunjukkan bahwa perairan tersebut belum tercemar dari logam berat merkuri, batas aman merkuri dalam makanan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO 1976) adalah sebesar 0,5 ppm. Merkuri secara luas tersebar di udara, tanah, bebatuan, air dan di bagian lain lingkungan sebagai hasil dari aktivitas manusia. Akan tetapi, sedikit yang diketahui bahwa Hg diakumulasikan oleh hewan. Konsentrasi residu logam dalam jaringan biota akan selalu berfluktuasi dipengaruhi antara lain, umur dan ukuran biota (Al-Yousef et al. 2000), kebiasaan makan biota atau tingkat trofik dalam jaringan (Watanabe et al. 2003), serta spesies atau jenis biota (Qugun et al. 2005). 4.1.2 Komposisi kimia jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) Jahe yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe merah dalam keadaan segar. Adapun bagian jahe yang digunakan adalah rimpang atau yang sering disebut dengan rhizoma. Rimpang jahe dibersihkan dan diblender menjadi ukuran yang kecil. Tabel 10 dapat disajikan analisis proksimat jahe merah segar. Tabel 10 Analisis proksimat jahe merah segar Komponen gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Kandungan (%bb ) 86,89±0,35 0,69±0,42 1,28±0,00 1,40±0,01 9,99±0,76
Kandungan (%bk) 1,93±1,32 5,35±5,74 5,85±6,29 43,49±48,00
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan.
Berdasarkan analisis proksimat pada jahe merah segar maka komponen terbesar selain kandungan air adalah kandungan karbohidrat sebesar 9,99% bb. Selain itu juga rimpang jahe mengandung beberapa komponen bioaktif diantaranya adalah gingerols, shogaols, diarylheptanoids dan terpenoids (Mazza dan Oomah 2000). Dua komponen utama yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan oleoresin yang berada di dalam sel-sel minyak pada jaringan korteks dekat permukaan kulit (Ketaren 1988).
4.1.3 Komposisi kimia temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Rimpang temulawak yang berukuran besar dan berbentuk bulat dibersihkan dan diblender menjadi ukuran yang kecil. Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning (kurkumin), serat, pati, kalium oksalat, minyak atsiri yaitu kamfer, xanthorrhizol, borneol dan zingiberen (Hariana 2006). Tabel 11 dapat disajikan analisis kimia temulawak segar. Tabel 11 Analisis proksimat temulawak segar Komponen Gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Kandungan (%bb) 83,27±0.93 1,07±0.96 1,52±0.34 1,28±0.39 12,87±1.17
Kandungan (%bk ) 6,57±3,06 9,04±0,76 7,57±0,95 76,82±1,34
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan.
Rimpang temulawak segar berdasarkan analisis proksimat banyak mengandung karbohidrat (12,87%). Hal ini disebabkan oleh pati yang merupakan komposisi kimia terbesar dalam rimpang temulawak yang dapat dikembangkan sebagai sumber karbohidrat (Dalimarta 2000). Komposisi kimia dari rimpang temulawak adalah protein pati sebesar 29-30%, kurkumin 1-2%, dan minyak atsiri antara 6-10% (Parahita 2007). Temulawak mengandung zat kuning yang disebut kurkumin dan minyak atsiri. Minyak atsirinya mengandung phelandrin, kamfer, borneol, xanthorrhozol, tumerol dan sineal. Berkat kandungan kurkumin dan minyak atsiri tadi diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak (Susilo 2005). Zat kurkomioid ini memberikan warna kuning pada rimpang temulawak selain itu, dapat juga memberikan warna kuning dalam makanan atau minuman. Kandungan zat yang cukup besar terdapat pada rimpang temulawak yaitu pati yang berkisar antara 48%-54%. Komponen utama yang terdapat didalam rimpang temulawak adalah pati, minyak atsiri dan kurkuminoid (Husein et al. 2009). Kandungan pati didalam temulawak bervariasi antara 48-54% tergantung pada altituda tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh maka makin rendah kadar patinya (Sidik et al. 1995).
4.2 Kandungan Taurin Lintah Laut Segar dan Rimpang Temulawak Taurin merupakan salah satu osmoregulator biologi yang cukup baik. Di sejumLah sel, terutama sel-sel myokard yang memiliki konsentrasi taurin tinggi, fungsi osmoregulasi taurin cukup berperan selama terjadi iskemik atau hipoksia. Berkaitan dengan homeostasis Na+, Ca2+ dan sejumlah ion kanal lainnya, taurin memainkan peran yang sangat penting dalam menurunkan kerusakan selular. Pada keadaan patologik, yaitu iskemik, infark atau gangguan perfusi lainnya, maka akan terjadi stres hiperosmotik dengan meningkatnya Na+ intraselular. Taurin berperan dalam menurunkan Na+ dan memproteksi kerusakan selular dengan menghambat kinerja Ca2+ (Guizouarn 2000 dan Schaffer et al. 2002). Taurin dapat ditemukan dalam berbagai sumber makanan antara lain daging dan ikan (Santoso 2011). Daging lintah laut segar yang berasal dari Cirebon memiliki kandungan taurin sebesar 29,88 mg/100g. Kandungan taurin pada lintah laut segar ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan taurin pada daging keong segar adalah 164,17 mg/100g, hati sapi (45mg/100g), daging sapi (48mg/100g) dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan cakalang (3mg/100g) (Okuzumi dan Fujii 2000). Taurin juga banyak terdapat pada organ jantung, namun kandungan taurin pada jantung tidak lebih dominan dibandingkan dengan kandungan taurin pada otot rangka dan sistem saraf. Taurin ditemukan pada konsentrasi tinggi pada otak, organ pencernaan dan pada jaringan otot. Keberadaan taurin pada jaringan otot Gastropoda (Haliotis rufescens) sangat berlimpah (Krug et al. 2009). Taurin terdapat sekitar 79,5% dalam total asam amino pada otot abalon (Haliostis rubra) (Litaay 2005). Jika dibandingkan kandungan taurin yang terdapat di dalam daging lintah laut segar dengan rimpang temulawak segar maka kandungan taurin pada daging lintah laut lebih besar dari pada kandungan taurin pada rimpang temulawak yang hanya sekitar 13,45 mg/100g. Tanaman tingkat tinggi memiliki kandungan taurin yang lebih kecil bila dibandingkan dengan tanaman tingkat rendah, sebaliknya hewan laut lebih tinggi kandungan taurinnya bila dibandingkan dengan mamalia (McCoy 2012).
4.3 Serbuk Minuman Fungsional Lintah Laut Minuman fungsional termasuk salah satu jenis pangan fungsional, yang tentunya mempunyai dua fungsi utama pangan yaitu memberikan asupan gizi serta pemuasan sensori. Minuman fungsional harus bisa menawarkan fungsi tersiernya yaitu menambah asupan vitamin dan mineral tertentu, meningkatkan stamina tubuh dan mengurangi resiko penyakit tertentu. 4.3.1 Pembuatan serbuk minuman fungsional Berdasarkan SNI 01-4320-1996, serbuk minuman tradisional adalah produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang dibuat dari campuran rempah-rempah dan gula dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain atau tambahan makanan yang diizinkan. Syarat serbuk minuman instan disajikan pada Lampiran 4. Pembuatan serbuk minuman fungsional menggunakan lintah laut sebagai bahan baku sedangkan bahan tambahannya berupa temulawak, jahe dan jeruk lemon yang masing-masing ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 sehingga didapatkan ekstrak dari bahan baku dan bahan tambahan. Serbuk minuman fungsional ini menggunakan bahan pengisi berupa maltodekstrin sebanyak 10%. Tujuan penambahan bahan pengisi agar kandungan gizi dari bahan-bahan tambahan dan bahan baku tidak rusak pada saat dikeringkan dengan spray drying. Hasil spray dalam sekali formulasi (500 mL) menghasilkan 128,16 g kemudian ditambahkan gula (1:1) dan karaginan 1% dari berat total serbuk minuman sehingga menghasilkan minuman serbuk 333,18 g (24 sachet @14 g). Pada Tabel 12 dapat disajikan komposisi bahan utama dan bahan tambahan dalam pembuatan serbuk minuman fungsional. Perbedaan utama pada setiap formulasi serbuk minuman fungsional terletak pada jumlah lintah laut dan temulawaknya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat efek sinergis yang ditimbulkan oleh temulawak pada kandungan taurin dalam serbuk minuman fungsional. Masing-masing formulasi sebanyak 14 g diseduh dengan air yang bersuhu 70-90 °C dengan volume 100 mL air.
Tabel 12 Komposisi bahan utama dan bahan tambahan dalam pembuatan serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) Keterangan Daging lintah laut Rimpang jahe Rimpang temulawak
Kadar air (%bb) Penambahan air 1:1 (mL) 78,44 450 86,89 820 83,27 550
Ekstrak akhir (mL) 600 1200 750
Analisis proksimat serbuk minuman fungsional lintah laut dari dua formula yaitu T1 dan T2 selama penyimpanan 0 hari dan 60 hari dapat disajikan pada Tabel 13. Komponen gizi karbohidrat pada dua formula minuman menunjukkan hasil yang tinggi bila dibandingkan dengan komponen gizi lainnya yaitu 93,64-95,70%. Kadar air serbuk minuman ini juga relatif rendah yaitu 1,01-2,26 sebanding dengan aktivitas air yang rendah pula yaitu 0,44 pada suhu 30
°
C. Rendahnya nilai aw tersebut menyebabkan minuman serbuk ini
mengandung total mikroba yang relatif rendah yaitu 5,4x103 koloni/g jauh di bawah syarat SNI (5x105koloni/mL). Tabel 13
Analisis proksimat serbuk minuman fungsional lintah laut selama penyimpanan
Komponen gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Penyimpanan minuman fungsional 0 hari 60 hari T1 T2 T1 T2 2,05±0,01 1,01±0,01 2,26±0,11 1,21±0,08 0,90±0,08 1,58±0,08 0,93±0,01 1,10±0,72 1,98±0,01 3,43±0,42 1,11±0,11 2,56±0,54 0,19±0,02 0,35±0,05 0,02±0,01 0,18±0,02 94,90±0,06 93,64±0,45 95,70±0,21 94,96±1,32
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan.
Menurut
Winarno
(2002)
kandungan
air
dalam
bahan
pangan
mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroorganisme, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Produk pangan dengan kadar air tinggi menyebabkan mikroorganisme akan mudah berkembang biak, sehingga dapat merusak kandungan nutrisi dalam bahan pangan. Kandungan kadar air juga berpengaruh terhadap stabilitas produk pangan kering. Produk pangan kering dengan kadar air yang tinggi cenderung membuat produk menjadi mudah mengempal dan saling melengket, sehingga dapat menurunkan kualitas produk.
Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh SNI (1996) nilai kadar air untuk serbuk minuman tradisional maksimal 3% (Lampiran 4). Kandungan kadar air untuk serbuk minuman fungsional lintah laut ini yang paling tinggi adalah pada 60 hari penyimpanan sebesar 2,26% dengan kisaran 1,01-2,26%, sehingga nilai kadar air serbuk minuman fungsional selama penyimpanan masih memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI. Kadar abu merupakan parameter yang menunjukkan nilai bahan anorganik yang terdapat didalam suatu produk. Nilai rata-rata kadar abu yang dihasilkan oleh minuman serbuk fungsional ini berkisar 1,02-1,24%. Nilai kadar abu ini memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI (1996) bahwa nilai maksimal untuk kadar abu pada serbuk minuman tradisional adalah 1,5%. 4.3.2 Analisis organoleptik Uji kesukaan (hedonik) meliputi parameter warna, aroma dan rasa. Score sheet kriteria uji dapat dilihat pada Lampiran 5. Serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) yang mempunyai nilai organoleptik yang paling tinggi adalah formula T2 (Discodoris sp. 25%, jahe 40%, temulawak 15% dan jeruk lemon 20%). Warna Nilai warna digunakan dalam penilaian ini karena warna menentukan tingkat penerimaan produk oleh konsumen secara visual. Kenampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensori yang pertama kali dilihat oleh konsumen (Soekarto 1990). Warna yang dimiliki oleh minuman ini adalah kuning yang dihasilkan oleh temulawak. Menurut Ketaren (1988) pigmen kuning berupa kurkuminoid dalam temulawak berjumlah antara 0,02-2 %. Hasil uji kesukaan panelis terhadap warna serbuk minuman fungsional lintah laut berkisar dari netral dan agak suka. Nilai tertinggi dicapai oleh oleh formula T2 dan nilai terendah pada formula T3 yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Rata-rata nilai organoleptik
6.00 6,00 5.00 5,00
5,37b 4,87ab 4,37a
4,00 4.00
3.00 3,00 2.00 2,00 1.00 1,00 0,00 0.00
T.215 T1
T.216 T2
T.217 T3
Gambar 10 Hasil uji kesukaan panelis terhadap warna T1: Discodoris sp. 20% jahe 40% temulawak 20% jeruk lemon 20% T2: Discodoris sp. 25% jahe 40% temulawak 15% jeruk lemon 20% T3: Discodoris sp. 30% jahe 40% temulawak 10% jeruk lemon 20%. Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Warna yang dihasilkan minuman ini juga dapat dijadikan sebagai salah faktor minuman ini agak disukai oleh penelis, karena warna minuman fungsional ini berasal dari penambahan rimpang temulawak. Sifat kimia kurkuminoid yang terdapat pada rimpang temulawak mempunyai sifat yang unik yaitu akan mengalami perubahan warna akibat perubahan pH lingkungan. Dalam suasana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya sistem toutomeri pada molekulnya (Sidik et al. 1995). Toutomeri merupakan perpindahan atom dalam suatu molekul menjadi isomer yaitu keto menjadi enol (Gambar 11 ) yang terdapat pada kurkuminoid.
Gambar 11 Struktur keto-enol kurkuminoid (Cahyono et al. 2011).
Hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi lintah laut dan temulawak memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat penilaian panelis dalam menilai warna produk minuman fungsional ini, dengan kata lain bahwa penambahan lintah laut dan temulawak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna dari minuman fungsional. Hal ini disebabkan oleh penambahan konsentrasi temulawak yang berbeda pada setiap formula, dimana penambahan temulawak pada setiap formula menimbulkan efek warna pada minuman ini. Hasil uji chi-square organoleptik serbuk minuman fungsional lintah laut terhadap warna dapat disajikan pada Lampiran 6. Hasil uji lanjut multiple comparisons organoleptik dapat dilihat bahwa formula T2 dengan penambahan lintah laut 25% dan temulawak 15% berbeda nyata (p<0,05) dengan formula minuman T3 dengan penambahan lintah laut 30% dan temulawak 10%. Formula minuman T1 dengan penambahan lintah laut 20% dan temulawak 20% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua formula minuman fungsional lintah laut. Aroma Peranan aroma dalam industri pangan sangat penting karena aroma merupakan indeks mutu yang menentukan penerimaan konsumen. Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 2008). Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma serbuk minuman fungsional lintah laut menunjukkan nilai agak suka sampai suka. Nilai tertinggi dicapai oleh formula T2 dan nilai terendah pada formula T3 yang dapat disajikan pada Gambar 12.
Rata-rata nilai organoleptik
7.00 7,00 6,00 6.00
5,40ab
5,73b 4,67a
5.00 5,00 4,00 4.00 3,00 3.00
2.00 2,00 1,00 1.00 0,00 0.00
T.215 T1
T.216 T2
T.217 T3
Gambar 12 Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma T1: Discodoris sp. 20% jahe 40% temulawak 20% jeruk lemon 20% T2: Discodoris sp.25% jahe 40% temulawak 15% jeruk lemon 20% T3: Discodoris sp. 30% jahe 40% temulawak 10% jeruk lemon 20%. Keterangan :
Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis bahwa penambahan konsentrasi lintah laut dan temulawak memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat penilaian panelis dalam menilai aroma produk minuman serbuk ini atau dengan kata lain bahwa penambahan lintah laut dan temulawak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma minuman fungsional yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh penambahan konsentrasi lintah laut dan temulawak yang berbeda pada setiap formula sedangkan kosentrasi jahe merah dan jeruk lemon pada tiga formula mempunyai konsentrasi yang sama. Fraksi kurkumin yang ada pada temulawak mempunyai aroma yang khas, tidak toksik, terdiri dari kurkumin, demetoksikurkumin, dan bidesmetoksi kurkumin. Selain sebagai penyumbang warna pada minuman ini temulawak juga memberikan efek yang positif terhadap jumlah taurin pada minuman ini. Aroma minuman ini juga berasal dari minyak atsiri yang terdapat pada temulawak dan jahe. Minyak atsiri merupakan cairan warna kuning atau kuning jingga, berbau aromatik tajam (Dalimarta 2000). Hasil uji chi-square organoleptik serbuk minuman fungsional lintah laut terhadap aroma disajikan pada Lampiran 7. Hasil uji lanjut multiple comparisons organoleptik dapat dilihat bahwa formula T2 dengan penambahan lintah laut 25% dan temulawak 15% berbeda nyata (p<0.05) dengan formula minuman T3 dengan penambahan lintah laut 30%
dan temulawak 10%. Formula minuman T1 dengan penambahan lintah laut 20% dan temulawak 20% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua formula minuman fungsional lintah laut. Rasa Rasa makanan merupakan campuran dari tanggapan cicip dan bau. Parameter rasa berbeda dengan aroma dan lebih banyak melibatkan panca indra pengecap. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain senyawa kimia, konsentrasi, suhu dan interaksi dengan komponen rasa lainnya (Winarno 1997). Rasa minuman serbuk yang dihasilkan adalah campuran rasa dari lintah laut, jahe, temulawak dan jeruk lemon. Sukrosa yang ditambahkan dalam minuman serbuk memberikan kontribusi terhadap rasa manis sedangkan penambahan kariginan memberikan kontribusi terhadap kekentalan dari minuman. Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa serbuk minuman fungsional lintah laut menunjukkan nilai netral sampai suka. Nilai tertinggi dicapai oleh oleh formula T2 dan nilai terendah pada formula T3 yang dapat disajikan pada
Rata-rata nilai organoleptik
Gambar 13.
5,57b
6.00 6,00 5,00ab 5,00 5.00
4,33a
4.00 4,00 3.00 3,00 2,00 2.00 1,00 1.00 0,00 0.00
T1 T.215
T2 T.216
T3 T.217
Gambar 13 Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa T1: Discodoris sp. 20% jahe 40% temulawak 20% jeruk lemon 20% T2: Discodoris sp. 25% jahe 40% temulawak 15% jeruk lemon 20% T3: Discodoris sp. 30% jahe 40% temulawak 10% jeruk lemon 20%. Keterangan :
Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Secara umum penilaian panelis terhadap rasa minuman fungsional ini bisa digolongkan agak suka. Hal ini karena rasa amis dan bau anyir dari lintah laut dapat dinetralisir oleh jahe dan jeruk lemon. Sebagian penelis agak menyukai minuman ini karena rasa pedas dan hangat yang dihasilkan oleh jahe merah. Jahe memilki kandungan shogaol dan zingeronnya menyumbangkan rasa pedas. Seperti yang dinyatakan oleh Purseglove et al. (1981) bahwa aroma harum khas jahe disebabkan oleh minyak atsiri, sedangkan rasa pedasnya disebabkan oleh oleoresin yang komponennya mengandung gingerol, shogaol dan zingeron. Oleoresin merupakan komponen yang memberi rasa pedas dan khas. Sifat pedas ini tergantung pada umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan pahit. Selain itu jenis jahe juga menentukan kandungan oleroresin. Jahe yang rasa pedasnya tinggi yaitu jenis emprit kandungan oleoresinnya lebih tinggi (Paimin dan Murhananto 2005). Kandungan oleoresin pada jahe sekitar 0.4–3.1% tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya. Di Australia kandungan oleoresin mencapai maksimum pada umur 8–9 bulan, sedangkan di Indonesia pada umur 11 bulan (Helmi 1976). Hasil uji chi-square organoleptik minuman serbuk fungsional lintah laut terhadap rasa dapat disajikan pada Lampiran 8. Hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis bahwa penambahan kosentrasi lintah laut dan temulawak memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat penilaian panelis dalam menilai rasa produk minuman serbuk ini atau dengan kata lain penambahan lintah laut dan temulawak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa dari minuman fungsional. Hal ini disebabkan oleh penambahan kosentrasi temulawak yang berbeda pada setiap formula sehingga kosentrasi temulawak yang banyak akan menimbulkan after taste yang pahit pada minuman. Hasil uji lanjut multiple comparisons organoleptik dapat dilihat bahwa formula T1 dengan penambahan lintah laut 20% dan temulawak 20% berbeda nyata (p<0,05) dengan formula minuman T3 dengan penambahan lintah laut 30% dan temulawak 10%. Sedangkan formula minuman T2 dengan penambahan lintah laut 25% dan temulawak 15% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua formula minuman fungsional lintah laut. Oleoresin
pada
jahe
merah
juga
memungkinkan
minuman
ini
menimbulkan after taste yang pahit dimana oleorosin merupakan komponen yang
memberi rasa pedas dan khas. Sifat pedas ini tergantung pada umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan pahit. Selain itu jenis jahe juga menentukan kandungan oleroresin. Jahe yang rasa pedasnya tinggi seperti jenis emprit kandungan oleoresinnya lebih tinggi (Paimin dan Murhananto 2005). Kandungan oleoresin pada jahe sekitar 0,4–3,1% tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya. 4.3.3 Kandungan taurin serbuk minuman fungsional lintah laut Jumlah kandungan taurin pada tiga formula serbuk minuman fungsional lintah laut disajikan pada Gambar 14. Formula T1 menghasilkan jumlah taurin yang lebih besar dari pada 2 formula lainnya yaitu sebesar 588 mg/100g sedangkan jumlah taurin yang paling kecil terdapat pada formula T2 yaitu sebesar 460 mg/100g. Perbandingan jumlah Discodoris sp. dan temulawak yang sama didalam formulasi minuman ini menimbulkan efek yang sinergis terhadap kandungan taurin. Taurin berperan dalam pergerakan ion kalium, natrium, kalsium dan magnesium untuk keluar masuk sel yang berperan dalam penghantaran impuls sel saraf sehingga bila ada rangsangan dari sistem saraf pusat (SSP) maka rangsangan
Kandungan taurin (mg/100g)
akan diteruskan dengan cepat ke sel-sel efektor (Ismail et al. 2005).
700 600
588 460
500
501
400 300 200 100 0
T1 T.215
T2 T.216
T3 T.217
Gambar 14 Kandungan taurin serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) T1: Discodoris sp 20% jahe 40% temulawak 20% jeruk lemon 20% T2: Discodoris sp 25% jahe 40% temulawak 15% jeruk lemon 20% T3: Discodoris sp 30% jahe 40% temulawak 10% jeruk lemon 20%.
Tingginya kandungan taurin pada serbuk minuman fungsional dibanding bahan baku disebabkan karena proses pembuatan ekstrak bahan utama dan bahan tambahan menggunakan suhu 90 °C dan penambahan jeruk lemon yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein pada lintah laut. Denaturasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemanasan, pembekuan dan perubahan pH. Asam amino akan terdenaturasi akibat asam dan proses pemanasan (60-90 °C) menjadi rantai peptida yang lebih pendek sehingga bertambahnya jumlah taurin pada serbuk minuman. Salah satu jenis denaturasi (Gambar 15) adalah pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul yang terjadi pada rantai polipeptida (Winarno 1997). Suhu 60-70 °C menyebabkan denaturasi protein kedelai yang terjadi pada asam amino yang tidak stabil terhadap panas yaitu sistein, metionin, triptofan dan lisin (Lokuruka 2011).
Gambar 15 Perubahan struktur protein akibat denaturasi (Mesier 1991). Menurut Elvevoll et al. (2006) terdapat dua jalur biosintesis taurin. Jalur pertama, sistein diubah menjadi hipotaurin kemudian mengalami dehidrogenase menjadi taurin. Jalur kedua sistein diubah menjadi asam sisteat selanjutnya mengalami dekarboksilase menjadi taurin. Enzim yang digunakan adalah cystein sulfinic acid decarboxilase (CSAD) dan phyridoxal 5 phosphat (koenzim vit B6). Skema sintesis taurin dapat dilihat pada Gambar 16.
Methionin Mg
B12, Folat
Homosistein P5P
Sistathionin P5P
Sistein P5P CSAD
Hipotaurin
Asam sisteinsulfinat
Taurin
Asam sisteat CSAD
P5P
Gambar 16 Sintesis taurin (Wojcik et al. 2011). Asam amino utama yang terlibat didalam sistesis taurin adalah metionin dan sistein dan masing-masing mempunyai titik isoelektrik 5,7 dan 4,3. Kedua asam amino tersebut termasuk ke dalam asam amino polar yang memiliki gugus R yang tidak bermuatan dan bersifat hidrofilik serta cenderung terdapat di bagian luar molekul protein. Sifat protein yang hidrofilik atau mampu menyerap air disebabkan oleh adanya rantai yang mempunyai gugus-gugus polar, yaitu karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril, sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Dalam suasana asam, ion H+ akan bereaksi dengan gugus COO– membentuk COOH sedangkan sisanya (asam) akan berikatan dengan gugus amino NH2 membentuk NH3+ sehingga apabila larutan peptida dalam keadaan isoelektris diberi asam akan menyebabkan bertambahnya gugus bermuatan yang membentuk afinitas terhadap air dan kelarutan dalam air (Triyono 2010). Faktor lain yang menyebabkan tingginya kandungan taurin pada serbuk minuman fungsional ini karena pada struktur kimia dari kurkumin (Gambar 17) terdapat dua cincin fenol yang bersifat asam dimana protein akan terdenaturasi pada pH yang asam. Protein akan mengalami denaturasi adanya penambahan asam yang menyebabkan perubahan pH yang ekstrim (Kusnandar 2010).
Rimpang temulawak mengandung senyawa fenolat salah satunya yaitu kurkumin. Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aseton (Nova 2007). Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya (Clark 2006). Kurkumin yang berasal dari temulawak mempunyai efek yang sinergis dengan kandungan taurin yang terdapat didalam daging segar lintah laut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh El-Nahrawy dan Islam A.H (2011) bahwa ada efek sinergis antara kurkumin yang berasal dari kunyit (Curcuma longa Linn.) dengan taurin untuk mengobati penyakit pankreatitis akut pada tikus.
Gambar 17 Struktur kimia kurkumin (Nabavi et al. 2011). Prasad (1990) menyatakan bahwa sinergisitas positif terjadi jika dua jenis senyawa atau lebih yang digunakan secara simultan akan menimbulkan efek yang lebih baik dibandingkan jika penggunaan senyawa secara individual. Penelitian yang dilakukan oleh Denisov dan Afanes’ev (2005) tentang antioksidan juga menyatakan bahwa jika ada dua atau lebih bahan inhibitor yang ditambahkan secara bersamaan dalam satu sistem, maka dapat terjadi tiga reaksi, yaitu (1) reaksi aditif, efek penghambatan yang terjadi adalah sama dengan jumlah masingmasing efek individual (2) reaksi sinergis, efek penghambatan yang terbentuk lebih besar dari efek individual dan (3) reaksi antagonis, efek penghambatan menghilang. Kandungan taurin yang paling tinggi terdapat pada formula minuman serbuk T1 yaitu sebesar 588 mg/100g. Batas maksimum kandungan taurin pada suplemen berenergi menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2004
adalah 3000 mg/hari sedangkan berdasarkan SNI tahun 2002 batas kandungan taurin pada minuman berenergi adalah maksimal 1000 mg/sajian. Konsumsi taurin yang berlebihan dapat menyebabkan adanya gangguan fungsi hati (Enny 2009). 4.3.3.1 Pengaruh penyimpanan terhadap jumlah taurin Serbuk minuman fungsional yang memiliki kandungan taurin tertinggi yang telah dikemas menggunakan kemasan alumunium foil disimpan pada suhu 30 °C. Selama 60 hari penyimpanan kandungan taurin didalam minuman serbuk ini mengalami penurunan dari 588 mg/100g menjadi 25 mg/100g. Hal ini diduga karena selama penyimpanan terdapat perubahan kandungan komponen bioaktif pada bahan-bahan utama dan bahan-bahan tambahan minuman serbuk fungsional lintah laut. Kandungan senyawa aktif yang terdapat pada jahe sebagian besar adalah gingerol yang selama penyimpanan dapat terdehidrasi menjadi shogaol (Koswara 1995). Shogaol dapat mengalami reaksi pemecahan menjadi retroladol dan terbentuk senyawa zingeron dan hexanal. Berubahnya komponen aktif jahe menjadi turunannya dapat menyebabkan turunnya aktivitas antioksidan selama penyimpanan, dimana taurin merupakan salah satu komponen antioksidan. Peranan antioksidan taurin dapat terjadi secara langsung dengan cara mereduksi senyawa reaktif, maupun tidak langsung dengan mengaktivasi antioksidan endogen yang akan menetralisir radikal (Hansen et al. 2006 dan Jankov et al. 2001). Kandungan senyawa aktif yang berasal dari lintah laut juga mengalami perubahan selama penyimpanan yaitu flavonoid, alkaloid dan senyawa metabolit sekundar lainnya. Molo et al. (2008) menyatakan bahwa lintah laut Syphonota geographica mengandung flavonoid apigenin, genkwanin dan chrisoeriol. Pengujian fitokimia yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) bahwa ekstrak akuabides Discodoris sp. mengandung fenol hidrokuinon, peptida, alkaloid dan flavonoid. Ekstrak kasar Discodoris sp kering pada fraksi polar (metanol) mengandung senyawa alkaloid, steroid, saponin, asam amino dan fenol (Nurjanah et al. 2010). Senyawa-senyawa ini kurang stabil jika disimpan dalam waktu yang lama karena akan terdegradasi menjadi turunannya yang tidak beraktivitas sebagai antioksidan. Keberadaan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan fenolik pada ekstrak mahkota dewa menyebabkan penurunan aktivitas antioksidannya.
Penurunan ini disebabkan oleh ketidakstabilan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan jika disimpan dalam waktu yang lama (Sufriadi 2006). Kandungan
senyawa
aktif
lain
yang
terjadi
perubahan
selama
penyimpanan terdapat di dalam rimpang temulawak. Rimpang temulawak mengandung bahan-bahan yaitu minyak atsiri dan kandungan pati. Kandungan minyak atsiri temulawak mengalami penurunan setelah penyimpanan 2 minggu sebesar 57% (Sukrasno 2003). 4.3.3.2 Pengaruh suhu seduh terhadap jumlah taurin Penyeduhan serbuk minuman lintah laut dengan suhu 90 °C ternyata menurunkan kandungan taurin pada larutan serbuk minuman fungsional. Kandungan taurin awal dari minuman serbuk adalah 588 mg/100 g tetapi setelah diseduh dengan air yang bersuhu 90 °C sebanyak 100 mL berkurang menjadi 24 mg/100g, hal ini disebabkan karena rusaknya sebagian besar asam amino taurin akibat proses pemanasan yang telah dilakukan berulang-ulang yaitu pada saat proses formulasi dan pada saat proses penyeduhan menggunakan suhu 90 °C sehingga struktur protein tidak bisa kembali kebentuk asalnya. Pemanasan mampu memecah ikatan intramolekuler protein yaitu ikatan disulfida pada metionin, sistein dan sistin. Ikatan disulfida ini cukup berpengaruh dalam pembentukan struktur tiga matra (sekundar, tersier dan kuartener). Hal ini juga terjadi pada telur yang direbus (60-70 °C) menjadi keras dan daging dimasak menjadi lebih padat (Anna 1994). Denaturasi protein mungkin dapat balik dan mungkin juga tidak. Pada denaturasi yang dapat balik, protein membentang karena senyawa pendenatur, tetapi akan kembali melipat setelah senyawa tersebut tidak ada. Denaturasi yang dapat atau tidak dapat balik cukup beragam yang bergantung pada protein yang bereaksi dan keadaan reaksi (Wilbraham dan Matta 1992). Menurut Pokorny (2005) tokoferol, karoten, flavonoid dan senyawa antioksidan fenolik lainnya dapat rusak oleh proses pemanasan, sehingga waktu kontak dengan panas perlu diminimumkan.
4.4 Uji Stabilitas Produk Minuman Fungsional Terpilih Dalam pengujian stabilitas ini formula yang dilanjutkan ke tahap penyimpanan menggunakan metode Arhenius untuk pendugaan umur simpan adalah formula minuman yang memiliki nilai organoleptik tertinggi (T2) dan mempunyai kandungan taurin tertinggi (T1). Kedua jenis serbuk minuman ini disimpan dengan menggunakan tiga suhu yang berbeda (30 °C, 35 °C dan 45 °C) selama 60 hari dan dikemas dengan menggunakan kemasan aluminium foil. Kedua formula minuman fungsional ini adalah sebagai berikut: Discodoris sp 20%, jahe 40%, temulawak 20%, jeruk lemon 20% (T1) dan formula minuman serbuk dengan nilai organoleptik tertinggi mengandung Discodoris sp 25%, jahe 40%, temulawak 15%, jeruk lemon 20% (T2). 4.4.1 Total plate count dan kapang Total mikroba yang terdapat pada suatu produk pangan dapat digunakan sebagai indikator tingkat keamanan dan kerusakkan produk. Pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan menunjukkan bahwa didalam produk pangan telah terjadi kontaminasi dari luar ataupun karena proses pengolahan. Hasil pengamatan terhadap jumlah mikroba (TPC) menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan semakin banyak jumlah mikroba. Peningkatan jumlah sel mikroba menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap suhu penyimpanan. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan mikroorganisme. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan mikrorganisme. Perbedaan suhu penyimpanan dapat mempengaruhi faktor lain yaitu kelembaban lingkungan (RH) serta kadar dan aktivitas air. Perbedaan perlakukan suhu penyimpanan mempengaruhi jenis dan laju pertumbuhan mikroba. Data pengamatan TPC dan kapang dapat disajikan pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Pada suhu 30 °C jumlah mikroba yang tumbuh lebih banyak bila dibandingkan dengan suhu 45 °C. Peningkatan jumlah mikroba pada suhu 30 °C menunjukkan pada suhu tersebut merupakan suhu yang cocok bagi mikroba untuk tumbuh. Pengamatan TPC menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan pada hari ke-42 penyimpanan suhu 30 °C untuk formula minuman serbuk T1 yaitu sebesar 2,6x103, sedangkan untuk formula minuman serbuk T2 peningkatan jumLah TPC yang signifikan terjadi pada hari ke-49 penyimpanan suhu 30 °C
yaitu sebesar 2,7x103. Hasil pengamatan jumlah TPC pada penyimpanan suhu
log cfu/g
30 °C dapat disajikan pada Gambar 18.
4,00 4.00 3,50 3.50 3,00 3.00 2,50 2.50 2,00 2.00 1,50 1.50 1,00 1.00 0,50 0.50 0,00 0.00
7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 30 °C Gambar 18 Laju peningkatan sel mikroba (TPC) pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan pada suhu 30 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■). Peningkatan jumlah TPC pada penyimpanan suhu 35 °C pada kedua formula minuman serbuk tidak menunjukkan perubahan yang signifikan sampai hari ke 56 penyimpanan tetapi, jumlah TPC pada hari ke-60 penyimpanan pada kedua formula minuman serbuk menjadi 1,0x103 dan 4,3x103. Hasil pengamatan jumlah TPC pada penyimpanan suhu 35 °C dapat disajikan pada Gambar 19.
Log cfu/g
4.00 4,00 3,00 3.00 2,00 2.00 1,00 1.00 0,00 0.00
7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 35 °C Gambar 19
Laju peningkatan sel mikroba (TPC) pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan pada suhu 35 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■).
Peningkatan jumlah TPC pada penyimpanan suhu 45 °C sampai 60 hari dapat disajikan pada Gambar 20. Penyimpanan tidak menunjukkan hasil yang
sifnifikan dimana kedua formula minuman serbuk mempunyai jumlah TPC sebesar 3,3x102 dan 2,4x102. Laju peningkatan jumlah bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan oleh jenis dan sifat bakteri itu sendiri. Berdasarkan suhu, maka bakteri dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu (1) bakteri psikrofil yang hidup pada suhu rendah <15 °C, (2) bakteri mesofil yang hidup pada suhu optimum 30 °C hingga 35 °C, dan bakteri termofil
Log cfu/g
yang hidup pada suhu >45 °C.
3,00 3.00 2,50 2.50 2,00 2.00 1,50 1.50 1,00 1.00 0,50 0.50
0.00 0,00 7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 45 °C Gambar 20
Laju peningkatan sel mikroba (TPC) pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan pada suhu 45 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■).
Secara keseluruhan bahwa peningkatan jumlah TPC pada dua formula minuman serbuk ini masih dibawah standar yang telah ditetapkan oleh SNI mengenai berapa jumlah maksimum koloni bakteri dalam makanan. Menurut Standar Nasional Indonesia (2005) jumlah maksimum koloni bakteri dalam produk pangan adalah sebesar 5,0x105. Faktor yang menyebabkan jumlah TPC pada minuman serbuk ini sampai akhir penyimpanan masih dibawah standar jumlah koloni bakteri yang telah ditetapkan oleh SNI, karena serbuk minuman mengandung jahe merah dan temulawak yang mempunyai zat antimikroba. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Husein et al. (2009) bahwa temulawak dikenal memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri yaitu Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus dan Salmonella. Komponen minyak atsiri dari rimpang temulawak adalah xanthorrhiza dan turmeron. Dua
senyawa ini yang mempunyai aktivitas antibakteri, antimikroba dan antibiotik (Nur 2006). Jahe dikenal secara tradisional sebagai pengawet karena memiliki sifat antimikroba dan antioksidan. Sari rimpang jahe merah dapat digunakan sebagai antibakteri pada susu pasteurisasi dalam menurunkan jumlah bakteri E.coli (Ernawati 2010). Rimpang jahe mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan fenol (diantaranya adalah gingerol, shogaol dan zingeron) yang bersifat antimikroba termasuk kapang. Rimpang jahe varietas merah lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang Penicillium citrinum Thom (Yaqin 2009). Bubuk jahe sebesar 2% (v/v) bersifat bakterisida terhadap pertumbuhan bakteri gram positif Leuconostoc sp. dan Bacillus subtilis, sedangkan terhadap bakteri gram negatif bubuk jahe hanya bersifat bakteristatik, pada konsentrasi yang tinggi dan semakin lamanya waktu kontak akan menghasilkan penghambatan yang semakin tinggi pula (Undriyani 1987). Hal lain yang menyebabkan jumlah TPC formula serbuk minuman ini hingga akhir penyimpanan masih relatif rendah karena adalah pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh pH dimana, serbuk minuman fungsional ini mempunyai nilai pH yang rendah atau berasam tinggi yaitu 3,45-3,91. Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH dibawah 4,6 (Fardiaz 1992). Peningkatan jumlah kapang pada penyimpanan suhu 30 °C tidak menunjukkan penambahan jumlah yang sangat signifikan hingga akhir pengamatan jumlah kapang berkisar antara 5-100 koloni. Hasil pengamatan jumlah kapang pada penyimpanan suhu 30 °C dapat disajikan pada Gambar 21.
Jumlah koloni /g
120 100 80 60 40 20 0 7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 30 °C Gambar 21 Perubahan jumlah kapang pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan pada suhu 30 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■). Pada penyimpanan suhu 35 °C peningkatan jumlah kapang pada dua formula minuman serbuk ini sampai akhir penyimpanan tidak menunjukkan hasil yang signifikan dimana jumlah kapang hanya berkisar dari 10-80 koloni. Hasil pengamatan jumlah kapang pada penyimpanan suhu 35 °C dapat disajikan pada Gambar 22.
Jumlah koloni/g
100 80 60 40 20 0 7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 35 °C Gambar 22 Perubahan jumlah kapang pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan pada suhu 35 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■). Jumlah kapang pada penyimpanan suhu 45 °C mengalami perubahan yang sangat signifikan hingga akhir pengamatan yaitu berkisar 10-300 koloni Pengamatan jumlah kapang pada penyimpanan suhu 45 °C dapat disajikan pada Gambar 23.
Jumlah koloni/g
350 300 250 200 150 100 50 0 7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 45 °C Gambar 23 Perubahan jumlah kapang pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan suhu 45 °C formula minuman T1 (▲) dan formula minuman T2 (■). Pertumbuhan jumlah kapang pada penyimpanan suhu 45 °C ini lebih banyak apabila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 30 °C dan 35 °C. Hal ini mungkin disebabkan selama penanganan dan pengolahan produk telah terkontaminasi dengan jenis kapang yang tahan panas. Kapang merupakan mikroorganisme yang banyak tersebar di berbagai tempat, sehingga sangat mudah mencemari substrat atau media yang cocok bagi pertumbuhannya. Ketahanan panas mikroorganisme cenderung meningkat ketika suhu inkubasi meningkat, khususnya bagi mikroorganisme pembentuk spora. Kapang dan khamir pada umumnya tergolong dalam mesofil, yaitu tumbuh baik pada suhu 25-30 °C (Fardiaz 1992). Meskipun pada umumnya kapang agak sensitif terhadap panas, namun spora aseksual kapang cenderung lebih resisten terhadap panas dibandingkan dengan bentuk mycelia (Frazier dan Westhoff 1988). Pada umumnya spora kapang mati dengan pemanasan pada suhu 60 °C dalam waktu 5-10 menit, kecuali beberapa spesies yang tahan panas. Jenis Sclerotia adalah kapang yang paling resisten dan dapat menjadi penyebab kebusukan pada buah kaleng (Jay 2000). Secara keseluruhan jumlah kapang yang terdapat didalam formula minuman serbuk ini mengalami peningkatan yang berarti, hal ini juga menunjukkan bahwa kapang mempunyai kemampuan hidup pada konsentrasi gula yang tinggi karena dalam serbuk minuman lintah laut terdapat penambahan sukrosa 1:1 (b/b). Pada penyimpanan ke- 60 hari suhu 30 °C dan penyimpanan 35 hari pada suhu 30 °C jumlah kapang pada dua formula serbuk minuman
fungsional ini berjumlah 1,0x102. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2009) bahwa jumlah kapang dalam serbuk minuman tradisional maksimum 1,0x102. Pertumbuhan kapang juga dipengaruhi oleh pH, dimana, kapang dapat tumbuh di berbagai substrat terutama yang mengandung karbohidrat dan dapat hidup pada kondisi asam (Traquair 2000). 4.4.2 Nilai pH Nilai pH adalah salah satu sifat fisik yang menentukan kadar keasaman dari suatu produk. Nilai pH dari suatu produk tergantung dari zat-zat yang terkandung didalamnya selain itu konsentrasi zat juga dapat mempengaruhi nilai pH. Berdasarkan pengujian pH pada minuman serbuk fungsional lintah laut selama 60 hari penyimpanan pada suhu 30 °C 35 °C dan 45 °C pada kedua formula minuman memiliki nilai berkisar antara 3,45 hingga 3,91 termasuk kelompok makanan/minuman asam. Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis jasad
renik
yang
dapat
tumbuh.
Fardiaz
(1989)
menyatakan
bahwa
mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3–6. Bakteri mempunyai pH optimum sekitar 6,5–7,5. Pada pH di bawah 5,0 dan di atas 8,5, bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam. Khamir menyukai pH 4–5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5–8,5. Oleh karena itu, khamir dapat tumbuh pada pH rendah dimana pertumbuhan bakteri terhambat. Kapang mempunyai pH optimum 5–7, tetapi sama halnya dengan khamir, kapang masih dapat hidup pada pH 3–8,5. Kapang, khamir dan beberapa bakteri asam mempunyai potensi pertumbuhan yang besar pada serbuk minuman fungsional lintah laut selama penyimpanan. Histogram nilai rata-rata pH serbuk minuman lintah laut pada penyimpanan dengan tiga suhu yang berbeda dapat disajikan pada Gambar 24 dan Gambar 25. Pada awal penyimpanan serbuk minuman ini memiliki pH yang rendah atau bersifat asam namun, semakin lama penyimpanan maka pH minuman meningkat tetapi masih dapat dikatakan bahwa pH yang dimiliki serbuk minuman fungsional ini sampai akhir penyimpanan masih bersifat asam (3,91) atau kurang dari 7. Kenaikan pH serbuk minuman selama penyimpanan disebabkan karena munculnya kapang yang dapat memecah asam (Astarina 2006). Nilai pH yang
tinggi juga dapat disebabkan oleh kontaminasi mikroba yang mengoksidasi asam-asam (Fleming 1982).
4.10 4,10 4.00 4,00 Nilai pH
3.90 3,90 3,80 3.80
3.70 3,70 3,60 3.60 3,50 3.50 3,40 3.40
0
7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari)
Nilai pH
Gambar 24 Nilai pH serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) formula T1 selama penyimpanan suhu 30 °C( ), suhu 35 °C ( ) dan suhu 45 °C ( ). 4.00 4,00 3,90 3.90 3,80 3.80 3,70 3.70 3,60 3.60 3,50 3.50 3,40 3.40 3,30 3.30 3,20 3.20 0
7
14
21
28
35
42
49
56
60
Lama penyimpanan (hari) Gambar 25 Nilai pH serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) formula T2 selama penyimpanan suhu 30 °C( ), suhu 35 °C ( ) dan suhu 45 °C ( ). Nilai pH serbuk minuman fungsional yang berada di bawah pH 4,5 berfungsi membunuh mikroba pembusuk yang tidak tahan kondisi asam sehingga produk dapat lebih tahan lama selama penyimpanan 60 hari hal ini dapat dilihat dari jumlah pertumbuhan bakteri selama penyimpanan. Minuman fungsional lintah laut ini dapat dikategorikan sebagai pangan berasam rendah yang diharapkan memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap kerusakan mikrobiologis.
Pada penelitian ini menggunakan asam yang berasal dari jeruk lemon merupakan asam yang baik dalam menjaga kestabilan pH. 4.4.3 Warna serbuk minuman fungsional Parameter warna yang digunakan adalah L (kecerahan), a (warna kromatik campuran merah-hijau), b (warna kromatik campuran biru-kuning) dan °h (parameter kisaran warna). Hasil analisis warna serbuk minuman fungsional lintah laut dapat disajikan pada Lampiran 11. Warna minuman fungsional lintah laut ini diukur secara objektif dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-300. Komponen pembentuk warna yang utama adalah fraksi kurkuminoid yang berasal dari temulawak. Dimana fraksi kurkuminoid ini akan berwarna kuning atau kuning jingga apabila dalam suasana asam dan akan berwarna merah apabila dalam suasana basa, hal ini dapat terjadi karena adanya sistem tautomeri pada molekulnya (Sidik et al. 1995). Nilai L merupakan atribut nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu sampel. Nilai L memiliki kisaran 0-100, nilai L yang mendekati nol menunjukkan sampel memiliki kecerahan rendah (gelap). Sedangkan nilai L yang mendekati 100 menunjukkan sampel memiliki kecerahan tinggi (terang). Berdasarkan Lampiran 9 nilai kecerahan formula minuman fungsional T1 pada hari ke-0 penyimpanan menunjukkan nilai L (kecerahan) adalah 50,86 tetapi pada 60 hari penyimpanan nilai kecerahan minuman menurun menjadi 46,44. Hal yang sama juga terjadi pada formula minuman T2 dimana pada hari ke-0 penyimpanan nilai L (kecerahan) menunjukkan nilai 50,96, tetapi setelah 60 hari penyimpanan tingkat kecerahan minuman menurun menjadi 46,44. Menurunnya tingkat kecerahan serbuk minuman selama penyimpanan disebabkan karena adanya reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan yang sering terjadi pada saat pemanasan maupun saat penyimpanan yang biasanya disebabkan oleh reaksi kimia antara gula pereduksi, terutama D-glukosa dan sebuah asam amino bebas atau sebuah grup amino bebas dari asam amino yang merupakan bagian dari protein. Reaksi ini disebut dengan reaksi Maillard (BeMiller dan Whistler 1996). Menurut Hurrell (1982) reaksi Maillard adalah reaksi antara gugus karbonil yang berasal dari gula pereduksi dengan gugus amino yang berasal dari asam amino, peptida atau protein. Reaksi
tersebut mengarah pada pembentukan warna coklat (melanoidin) dan flavor. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan oleh Kusnandar (2010) reaksi Maillard akan terjadi apabila didalam bahan pangan terdapat gula pereduksi (gula aldosa) dan senyawa yang mengandung gugus amin (asam amino, protein atau senyawa lain yang mengandung gugus amin). Berdasarkan nilai Hue minuman dengan formula T1 pada hari ke-0 penyimpanan berwarna kuning dimana nilai Hue adalah 91,5 sedangkan pada hari terakhir penyimpanan nilai ini mengalami penurunan menjadi 89,5 atau cendrung berwarna kuning-kemerahan. Hal yang sama terjadi pada formula minuman T2 dimana pada awal penyimpanan nilai Hue adalah 90,3 tetapi pada akhir penyimpanan
menjadi
89,53.
Secara
keseluruhan
peningkatan
waktu
penyimpanan cenderung menyebabkan penurunan nilai °H pada minuman fungsional ini. Menurut MacDougall (2002) suatu bahan yang memiliki nilai °Hue dengan kisaran 54-90 °Hue warnanya kuning kemerahan. Semakin pudarnya warna minuman disebabkan oleh degradasi pigmen kurkuminoid dari temulawak, dimana proses degradasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Sidik et al. 1995). Warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima (Arpah 2001). Oleh karena itu, perubahan warna yang signifikan dapat digunakan untuk memperkirakan lama penyimpanan dan keadaan mutu produk. 4.5 Pendugaan Umur Simpan Minuman Serbuk Fungsional Lintah Laut (Discodoris sp.) dengan Metode Arrhenius Penurunan mutu makanan dapat diketahui dari perubahan faktor mutu, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk. Menurut Floros (1993) umur simpan adalah waktu yang diperlukan produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Hasil atau akibat berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi.
Laju pertumbuhan nilai kritis mikroba pada serbuk minuman fungsional ini lebih cepat tercapai. Tetapi parameter mikrobiologi tidak dapat dijadikan sebagai parameter kritis untuk simulasi umur simpan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh suhu, tetapi jenis mikroorganisme yang
terkandung
beragam
jenisnya,
sehingga
suhu
optimum
untuk
pertumbuhannya pun berbeda pula. Pada suhu optimum yang berbeda, jumlah total mikroba (TPC) tidak langsung menunjukkan laju kerusakan karena jenis mikroba yang tumbuh juga berbeda (Pujihastuti 2007). Pada penelitian ini parameter kritis yang digunakan adalah aktivitas air. Pemilihan parameter aktivitas air karena makanan kering termasuk minuman serbuk ini pada umummya mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan a w. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan yaitu reaksi Maillard, kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan off-flavor. Semua organisme membutuhkan air untuk kehidupan. Air berperan dalam proses metabolisme sel dalam bentuk cair, apabila air tersebut mengalami kristalisasi dan es atau terikat dalam larutan gula atau garam, maka air tidak dapat digunakan oleh sel mikroba. Jumlah air dalam bahan pangan disebut sebagai aktivitas air. Kandungan aktivitas air dalam makanan dideskripsikan sebagai “batasan” kandungan air dalam makanan yang dapat diukur, yaitu keberadaannya sebagai cairan banyak berperan pada saat terjadinya reaksi kimia dan biokimia yang ada dalam suatu bahan (Barbosa-Cánovas et al. 2007). Nilai aw yang rendah berpengaruh terhadap jumlah mikroba pada bahan pangan. Nilai aw yang rendah berarti jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk tumbuh pada bahan pangan tersebut sedikit sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba. Bakteri umumnya tumbuh dan berkembang baik hanya dalam media dengan nilai aw tinggi (0,91), khamir membutuhkan nilai aw lebih rendah (0,87-0,91) dan kapang lebih rendah lagi yaitu (0,80-0,87) (Buckle et al. 1987). Mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran aw tertentu oleh karena itu untuk mencegah pertumbuhan mikroba, nilai aw bahan pangan harus diatur. Pada
Tabel 14 dan 15 dapat disajikan bahwa semakin lama penyimpanan maka aw minuman fungsional lintah laut ini cendrung semakin meningkat. Nilai aw formula minuman serbuk T1 berkisar antara 0,50-0,60 . Formula minuman T1 pada 0 hari penyimpanan sudah menunjukkan nilai aw yang tinggi yaitu 0,50 hal ini berbeda dengan formula minuman T2 pada 0 hari penyimpanan yaitu 0,44. Tingginya nilai aw pada formula T1 dari pada formula T2 akan mempengaruhi jumlah mikroba yang tumbuh. Menurut Herawati (2008) aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air bahan pangan. Menurut Labuza (1982) makanan kering yang dikemas akan kehilangan kerenyahan ketika nilai aw berkisar antara 0,35-0,5 dan dikatakan tidak aman untuk dikonsumsi pada selang aw 0,7-0,75. Diatas selang tersebut mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh yang menyebabkan produk menjadi beracun. Penyimpanan dengan menggunakan tiga suhu yang berbeda pada dua formula minuman ini tidak banyak mempengaruhi nilai aw. Tabel 14
Water activity (aw) formula T1 minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan dengan tiga suhu yang berbeda
Suhu 30 °C Hari aw 7 0,50 14 0,54 21 0,54 28 0,54 35 0,57 42 0,57 49 0,57 56 0,60 60 0,60
Suhu 35 °C Hari aw 7 0,50 14 0,54 21 0,55 28 0,55 35 0,57 42 0,57 49 0,58 56 0,60 60 0,60
Suhu 45 °C Hari aw 7 0,52 14 0,53 21 0,53 28 0,54 35 0,54 42 0,55 49 0,55 56 0,56 60 0,58
Nilai aw pada dua formula minuman ini yang berkisar 0,44 sampai 0,60 tidak berpengaruh terhadap mutu produk selama penyimpanan karena bahan pangan yang mempunyai aw 0,70 sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Winarno 1990).
Tabel
15 Water activity (aw) formula T2 minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) selama penyimpanan dengan tiga suhu yang berbeda
Suhu 30 °C Hari aw 7 0,44 14 0,44 21 0,50 28 0,54 35 0,54 42 0,54 49 0,54 56 0,55 60 0,56
Suhu 35 °C Hari aw 7 0,46 14 0,48 21 0,50 28 0,52 35 0,53 42 0,53 49 0,53 56 0,54 60 0,55
Suhu 45 °C Hari aw 7 0,45 14 0,49 21 0,49 28 0,49 35 0,50 42 0,53 49 0,54 56 0,55 60 0,55
Tabel 16 Nilai koefisien korelasi (R2) pada perhitungan pendugaan umur simpan minuman fungsional lintah laut formula T1 berdasarkan parameter water activity (aw) Suhu penyimpanan
1/T (1/K)
R2
K
Ln k
Ordo nol
Ordo satu
Ordo nol
Ordo satu
Ordo nol
Ordo satu
0,00330
0,903
0,8941
0,0107
0,0194
0,0107
-3,9425
308
0,00325
0,8988
0,8835
0,0108
0,0195
0,0108
-3,9373
318
0,00314
0,9455
0,9505
0,0057
0,0105
0,0057
-4,5564
°C
K
30
303
35 45
Tabel 17 Nilai koefisien korelasi (R2) pada perhitungan pendugaan umur simpan minuman fungsional lintah laut formula T2 berdasarkan parameter water activity (aw) Suhu penyimpanan
1/T (1/K)
R2
K
Ln k
Ordo nol
Ordo satu
Ordo nol
Ordo satu
Ordo nol
Ordo satu
0,00330
0,7984
0,7841
0,0022
0,0044
-6,1193
-5,4262
308
0,00325
0,8849
0,8734
0,0016
0,0031
-6,4378
-5,7764
318
0,00314
0,9199
0,9125
0,0018
0,0035
-6,3200
-5,6550
°C
K
30
303
35 45
Keterangan : K
= suhu penyimpanan dalam Kelvin
1/T
= 1/suhu penyimpanan dalam Kelvin
k
= laju reaksi
R2
= Koefisien korelasi antara 1/T dan ln k pada setiap suhu peyimpanan
Berdasarkan data perubahan nilai aw selama penyimpanan dapat dibuat grafik dan persamaan exponensial, karena model yang digunakan adalah ordo satu. Grafik perubahan nilai aw suhu penyimpanan 30 °C, 35 °C dan 45 °C dapat disajikan pada Gambar 26 dan 27. y = 0,5051e0,0194x R² = 0,8941
0,70 0.70
Water activity (aw)
0,60 0.60 0,50 0.50
y = 0,5084e0,0195x R² = 0,8835
0.40 0,40 0,30 0.30
y = 0,5166e0,0105x R² = 0,9505
0,20 0.20
0.10 0,10 0,00 0.00
00
7
14 2
21
428
35
642
49
856
60
10
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 26 Laju peningkatan nilai water activity (aw) pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp) formula T1 selama penyimpanan suhu 30 °C (●), suhu 35 °C (■) dan suhu 45 °C (▲).
y = 0,44e0,0044x R² = 0,7841
0.70 0,70 Water activity (aw)
0.60 0,60 0.50 0,50 0.40 0,40
y = 0,4611e0,0031x R² = 0,8734
0,40 0.30 0,30 0,20 0.20
y = 0,4508e0,0035x R² = 0,9125
0,10 0.10 0,00 0.00
0
7 10 14
2021
2830
35 40 42
50 49
56 60 60
70
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 27 Laju peningkatan nilai water activity (aw) pada serbuk minuman fungsional lintah laut (Discodoris sp.) formula T2 selama penyimpanan suhu 30 °C (●), suhu 35 °C (■) dan suhu 45 °C (▲).
Dengan memplotkan kebalikan suhu mulak (1/T) terhadap ln k (Tabel 16 dan Tabel 17), maka didapatkan grafik yang disajikan pada Gambar 28 dan 29. 1/T -3.8000 0.003120.003140.003160.003180.003200.003220.003240.003260.003280.003300.00332 -3.9000 -4.0000 y = 4223,2 - 17,789 R² = 0,8806
-4.1000 -4.2000 -4.3000 -4.4000 -4.5000 -4.6000
Gambar 28 Persamaan laju kinetik pendugaan umur simpan serbuk minuman fungsional formula T1. 1/T(■), linear (1/T) ( ). 1/T -5.4000 0.00310 0.00315 0.00320 0.00325 0.00330 0.00335 -5.4500 -5.5000 -5.5500 -5.6000
y = 1119 - 9,2343 R² = 0,2477
-5.6500 -5.7000 -5.7500 -5.8000
Gambar 29 Persamaan laju kinetik pendugaan umur simpan serbuk minuman fungsional formula T2. 1/T(■), linear (1/T) ( ). Gambar 28 dan 29 merupakan penggabungan linear dari tiga suhu yang digunakan pada penyimpanan serbuk minuman fungsional lintah laut. Persamaan y= 4223,2-17,789 dan y = 1119 -9,2343 merupakan model utama yang akan ditransformasikan kedalam model Arrhenius menjadi lnk= 17,789-4223,2 (1/T) dan lnk = 9,2343 – 1119 (1/T). Nilai k umumnya tidak dapat diperoleh jika
kriteria kadaluwarsa ditentukan yang digunakan berdasarkan perubahan sifat fisik (seperti persamaan Labuza maupun berdasarkan perubahan mutu organoleptik), maka pada metode digunakan hubungan langsung antara umur simpan yang diperoleh dengan temperatur. Sedangkan nilai k yang diperoleh dalam pendugaan ini dihubungkan dengan temperatur menggunakan persamaan Arrhenius: k = Ko e-(Ea/RT) atau dalam bentuk logaritmanya ln k = ln Ko -
𝐸𝑎
1
𝑅
𝑇
Grafik dari Hubungan (ln k) sebagai ordinat y dengan (1/T) sebagai absis x, akan memberikan persamaan garis lurus seperti y = a + b x . Dimana slope atau b akan sama dengan (Ea/RT) dan intersept atau a akan sama dengan = ln ko. Berdasarkan Gambar 26 dan 27 diperoleh garis lurus dan koefisien korelasi sebagai berikut : Y = 4223,2x-17,789
R2= 0,8806
ln k= -17,789+4223,2(1/T)
dan
y = 1119x-9,2343
R² = 0,2477
lnk = -9,2343 +1119(1/T) Setelah mendapatkan laju peningkatan nilai aw, maka umur simpan serbuk minuman fungsional pada suhu penyimpanan yang berbeda dapat dihitung dengan rumus ordo satu: t=
ln A −ln (Ao ) K
Umur simpan=
Nilai kritis aktivitas air −nilai aktivitas air awal laju peningkatan nilai aktivitas air
Menurut Institute of Food Technology (IFT) umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi sehingga produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (Arpah dan Syarief 2000). Berdasarkan Tabel 18 dapat disajikan umur simpan serbuk minuman fungsional lintah laut berdasarkan parameter aw dengan tiga suhu penyimpanan yang berbeda. Pendugaan umur
simpan menggunakan ordo satu karena parameter aktivitas air akan mengalami kenaikan selama penyimpanan. Secara keseluruhan umur simpan minuman serbuk formula T2 lebih tahan lama umur simpannya bila dibandingkan dengan minuman serbuk formula T1. Tabel 18 Umur simpan minuman serbuk fungsional lintah laut (Discodoris sp.) Temperatur (°C) 30 35 45
Umur simpan (hari) T1 16 20 31
T2 118 125 141
Umur simpan minuman serbuk fungsional dengan formula T2 berkisar antara 3-4 bulan sedangkan umur simpan minuman dengan formula T1 hanya sampai satu bulan lebih. Hal ini disebabkan karena sampai akhir penyimpanan nilai aw serbuk minuman fungsional formula T2 berkisar 0,55-0,56 sedangkan untuk nilai aw pada minuman serbuk fungsional formula T1 berkisar 0,58-0,60. Nilai aw rendah mampu menurunkan kecepatan pertumbuhan mikroorganisme karena fase lag pertumbuhan dapat diperpanjang serta dapat menurunkan sintesa sel (Jay 2000). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa umur simpan minuman serbuk formula T2 lebih awet bila dibandingkan dengan formula serbuk minuman T1. Berdasarkan parameter aw terhadap umur simpan menunjukkan bahwa, semakin rendah nilai aw maka umur simpan produk akan semakin lama karena apabila nilai aw turun maka, ketersediaan kandungan air untuk mikroorganisme akan berkurang sehingga perkembangbiakannya akan terhambat.