4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini kondisi semua tinja yang diperoleh adalah normal. Ciriciri tinja owa jawa yang normal, yaitu berwarna kuning hingga coklat kehitaman, berbentuk seperti tinja manusia namun berukuran lebih kecil, tidak ada darah dan mukus serta konsistensi lembek dan tidak berair.
4.1
Protozoa Parasitik Hasil pengamatan pada 37 sampel tinja dari 4 ekor owa jawa di PSSP
LPPM-IPB tidak ditemukan protozoa parasitik. Menurut Permanawati1 (2009, komunikasi pribadi), pada tahun 2006 pernah ditemukan protozoa parasitik pada pemeriksaan tinja owa jawa di PSSP LPPM-IPB. Protozoa parasitik yang ditemukan, yaitu Entamoeba sp. dan Balantidium sp.. Protozoa ini ditemukan hanya pada satu ekor owa jawa. Hasil pengamatan 24 sampel tinja dari 6 ekor owa jawa di JGC ditemukan protozoa parasitik. Protozoa parasitik ini ditemukan tidak pada semua owa jawa di JGC.
Tabel 1 Keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa No
Lokasi
Protozoa Entamoeba
Balantidium
1
PSSP LPPM-IPB
-
-
2
JGC
+
+
Keterangan: - tidak ditemukan protozoa parasitik + ditemukan protozoa parasitik
4.1.1 Genus Entamoeba Menurut Soulsby (1982), Noble dan Noble (1989), dan Levine (1990), genus Entamoeba biasanya ditemukan di dalam intestinum invertebrata dan vertebrata. Kista memiliki inti yang vesikuler dengan endosoma kecil di dekat 1
drh. Permanawati, Pusat Studi Satwa Primata PSSP LPPM-IPB
pusat inti dan granul-granul di sekitarnya. Inti berjumlah 1-8 buah dan dapat disertai benda kromatid pada kista yang masih muda. Pada hasil penelitian ditemukan protozoa berbentuk bulat dengan inti seperti gelembung dengan jumlah yang bervariasi. Berdasarkan ciri-ciri yang diperoleh dan disesuaikan dengan literatur, maka protozoa yang ditemukan adalah bentuk kista dan dapat dimasukkan ke dalam genus Entamoeba.
Entamoeba sp. (kista)
1
1 2
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
2
Sumber: http://www.wodsworth.org
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Inti
Gambar 2a Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan kista genus Entamoeba.
Entamoeba histolytica
3
3 1
2 1
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
Sumber: http://www.msgpp.org
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Inti 3. Benda kromatid
Gambar 2b Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan Entamoeba histolytica
Selain itu, ditemukan pula protozoa (Gambar 2b) berbentuk bulat dengan inti yang tidak terlalu terlihat jelas dan benda kromatid yang berbentuk menyerupai
batang/cerutu.
Bentuk
benda
kromatid
yang
menyerupai
batang/cerutu merupakan bentuk yang khas pada kista Entamoeba histolytica (Levine 1990). Berdasarkan persamaan bentuk dan struktur, maka protozoa ini adalah Entamoeba histolytica. Menurut Soulsby (1982) dan Noble dan Noble (1989), E. histolytica dan Entamoeba coli dapat dijumpai pada manusia, primata, babi, anjing dan kucing. Joslin (1993) juga menyatakan bahwa E. histolytica patogen pada primata dan manusia. Entamoeba juga bahkan dapat ditemui di dalam protozoa lainnya (Farmer 1980). Protozoa ini memproduksi sebuah kista infektif yang tahan terhadap kekeringan dan disinfektan. Menurut Fortman et al. (2002) protozoa saluran pencernaan yang sering menginfeksi satwa primata, antara lain E. histolytica, Cryptosporidium spp. dan Balantidium coli. Penularan protozoa parasitik ini melalui fecal-oral route, kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan ekskretanya serta pakan dan air minum yang terkontaminasi. Menurut Gandahusada et al. (1998), manusia merupakan induk semang dari enam spesies Entamoeba yang hidup dalam usus besar, yaitu Entamoeba histolytica, Entamoeba coli, Entamoeba hartmanni, Iodamoeba butschlii, Dientamoeba fragilis, Endolimax nana dan satu spesies Entamoeba yang hidup dalam mulut, yaitu Entamoeba gingivalis. Semua Entamoeba ini tidak patogen kecuali E. histolytica yang dapat menjadi patogen. Menurut Gandahusada et al. (1998), E. histolytica memilki 3 bentuk dalam daur hidupnya, yaitu bentuk histolitika, bentuk minuta dan bentuk kista. Bentuk histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk histolitika bersifat patogen dan memiliki ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika berukuran 20-40 mikron, sedangkan ukuran bentuk minuta adalah 10-20 mikron. Bentuk kista berukuran 10-20 mikron dan berbentuk bulat atau lonjong. Bentuk kista ini juga merupakan bentuk yang infektif. Kista dikeluarkan bersama tinja dan dapat bertahan lama pada lingkungan.
Pada penelitian ini bentuk trofozoit tidak ditemukan pada tinja. Hal ini dikarenakan bentuk trofozoit tidak dapat bertahan lama diluar tubuh induk semang dibandingkan dengan bentuk kista (Handajani 2009, komunikasi pribadi)2. Namun menurut Soulsby (1982), trofozoit dapat ditemukan pada tinja hewan penderita diare. Menurut Linn et al. (2006), genus Entamoeba umumnya menginfeksi primata dunia baru (New World Monkey), primata dunia lama (Old World Monkey) dan kera. Old World Monkey biasanya lebih mudah tertular oleh E. histolytica (Joslin 1993). Gejala klinis yang ditimbulkan berupa kekurusan, dehidrasi, anorexia, muntah dan diare yang dapat disertai mukus dan darah, meskipun lebih sering asimtomatis. Penemuan patologi dari infeksi protozoa ini adalah ulcer pada mukosa usus yang selanjutnya dapat mengakibatkan colitis ringan. Rothman dan Bowman (2003) juga menemukan genus Entamoeba pada tinja gorilla pegunungan di Virunga dan Bwindi, Afrika. Kejadian alami E. histolytica dapat menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas pada primata (Lilly et al. 2002).
4.1.2 Genus Balantidium Selain Entamoeba, pada penelitian ditemukan protozoa berbentuk agak bulat dan oval. Berdasarkan morfologi yang sesuai, maka protozoa yang ditemukan dapat digolongkan ke dalam genus Balantidium. Genus Balantidium adalah parasit yang berhabitat pada usus besar manusia, babi, monyet dan beberapa hewan lainnya, seperti ruminansia dan kuda (Soulsby 1982). Menurut Soulsby (1982) dan Gandahusada et al. (1998), Balantidium coli memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif (trofozoit) dan bentuk kista. Bentuk trofozoit adalah lonjong dan berukuran 60-70 mikron. Bagian anterior menyempit dan terdapat sitostoma yang berfungsi sebagai mulut, sedangkan bagian posterior bentuknya melebar dan terdapat sitopig (cytopyge) yang berfungsi untuk mengeluarkan zatzat yang tidak diperlukan. Pada bentuk trofozoit juga terlihat adanya vakuola dan makronukleus. Seluruh permukaan dikelilingi oleh bulu getar (cilia) yang berfungsi sebagai alat lokomosi dan mengambil makanan. Kista genus 2
Dr. drh. Sri Utami Handajani, FKH IPB
Balantidium berbentuk ovoid, memiliki makronukleus berbentuk ginjal atau sosis dan berdinding tebal. Kista dalam tinja dapat hidup 1-2 hari pada suhu kamar.
Balantidium sp. (kista)
1 2
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
1 2
Sumber: http://www.course1winona.edu
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Makronukleus
Gambar 3 Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan genus Balantidium. Genus Balantidium biasanya bersifat non patogen namun terkadang dapat menyebabkan diare, colitis, penurunan berat badan dan letargi pada primata. Protozoa ini dapat ditemukan di Old World Monkey dan New World Monkey serta kera. Balantidium sp. juga dapat menyebabkan enterocolitis ulceratif yang hebat dan kematian pada jenis kera besar (Fortman et al. 2002).
4.2
Profil Lembaga Ex Situ Berdasarkan studi, dua lokasi studi memiliki tujuan yang berbeda dalam hal
upaya pelestarian owa jawa di habitat ex situ. PSSP LPPM-IPB yang bekerja sama dengan
Taman
Safari
Indonesia
(TSI)
mendirikan
sebuah
fasilitas
pengembangbiakan (breeding) ex situ untuk owa jawa yang dikenal dengan Fasilitas Breeding PSSP LPPM-IPB. Tujuan dari program ini adalah untuk mendukung program konservasi spesies melalui pengembangbiakan dalam penangkaran ex situ. Lain halnya dengan PSSP LPPM-IPB, program konservasi ex situ yang dilakukan oleh JGC adalah rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan satwa yang berada diluar habitatnya untuk dikembalikan ke habitat aslinya melalui rangkaian proses rehabilitasi. Upaya inilah yang dilakukan
oleh Yayasan Owa Jawa yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan RI yang didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project melalui program rehabilitasi di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center). Perbedaan tujuan dari dua lokasi studi ini menyebabkan adanya perbedaan perlakuan dalam program pemeliharaan. Namun kedua lokasi studi ini juga tetap memperhatikan prosedur dan standar pemeliharaan satwa primata yang diizinkan oleh Center for Disease Control (CDC).
4.3
Hubungan Infeksi Parasit dengan Program Pemeliharaan
4.3.1 Manajemen Pakan Owa jawa merupakan satwa primata frugivora, yaitu pemakan buah-buahan. Buah-buahan yang sering diberikan di JGC, antara lain pisang, apel, markisa, jeruk, pepaya dan manggis. JGC juga memberikan buah hutan yang didapatkan dari hutan sekitar. Pemberian pakan buah hutan ini dimaksudkan agar owa jawa terbiasa dengan pakan alaminya. Contoh buah hutan yang sering diberikan adalah buah harendong dan buah afrika. Selain buah, owa jawa juga menyukai hijauan, seperti kangkung. Pakan hijauan yang berasal dari hutan yang sering diberikan adalah daun rasamala. Pemberian pakan di JGC dilakukan setiap dua jam sekali, yaitu mulai pukul 06.00 hingga 16.00 WIB. Buah-buahan yang sering diberikan pada owa jawa di PSSP LPPM-IPB adalah jeruk, apel dan salak, sedangkan pakan hijauan yang diberikan adalah kangkung, sawi, buncis dan wortel. Selain buah dan hijauan, di PSSP LPPM-IPB juga memberikan monkey chow dan diberikan bersama pakan buah lainnya. Pakan diberikan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari.
Tabel 2 Jenis pakan owa jawa di dua lokasi studi Lokasi Buah-buahan
PSSP LPPM-IPB
JGC
Buah hutan (alami) -
Buah pasar (non alami) Jeruk Apel Salak
Harendong Afrika Darangdang Kondang Beunying Rasamala
Pisang Apel Markisa Jeruk Pepaya Manggis Asam Rambutan Sawo Kedondong Semangka Nanas Mangga Duku Anggur Bengkuang
Jenis Pakan Hijauan
Kangkung Sawi Buncis Wortel Kangkung Wortel Ketimun Terong Tomat Kacang panjang Jagung Daun pepaya
Pakan Tambahan
Monkey chow
Tahu rebus Ubi Tempe Vitamin Vitcom Telur puyuh
Sumber: www.Kotabelinyu.blogspot.com /IMG_3103_resize_resize1.jpg
(a)
(b)
Gambar 4 Jenis pakan owa jawa, (a) buah hutan dan (b) pakan tambahan di Javan Gibbon Center. Usaha pencegahan pembusukan pakan berbeda pada dua lokasi studi. Di PSSP LPPM-IPB pakan disimpan pada lemari pendingin, sedangkan di JGC memilih untuk memasok pakan dua kali seminggu. Kedua lokasi studi menjaga
kebersihan pakan dengan mencuci pakan lebih dahulu. Di PSSP LPPM-IPB buah dan hijauan dibersihkan menggunakan cairan pembersih khusus untuk buah dan sayur, sedangkan di JGC hanya dicuci dengan air dan buah hutan tidak dicuci. Buah hutan yang tidak dicuci ini dimaksudkan agar membiasakan owa jawa dengan kondisi buah alaminya. Penularan protozoa parasitik dapat terjadi melalui pakan dan air yang telah tercemar. Menurut Mootnick (1999) semua pakan harus diperiksa dan dicuci untuk menjamin kualitas pakan. Selain pakan, tempat pakan juga harus diperhatikan kebersihannya. PSSP LPPM-IPB membersihkan tempat pakan dua kali sehari. Air minum pada kedua lokasi studi ini selalu tersedia. PSSP LPPM-IPB dan JGC menggunakan sipper dan mangkuk air (ad libitum). PSSP LPPM-IPB melakukan evaluasi air rutin tiap tahun dan pengukuran pH air tiap dua minggu sekali. JGC tidak melakukan evaluasi kualitas air. Air yang digunakan untuk keseharian di JGC berasal dari sumber mata air gunung Pangrango yang dialiri melalui pipa sejauh 3,5 km (Ario 2009, komunikasi pribadi)3. Peran Entamoeba yang hidup bebas dan protozoa parasitik, yaitu E. histolytica dan B. coli sebagai agen dari waterborne zoonotic disease menurut Schuster dan Visvesvara (2004) telah teruji. Kedua protozoa parasitik ini menyebabkan disentri amoeba dan balantidiosis. Genus Entamoeba mudah menular melalui pakan atau air, dan sayuran mentah juga dapat menjadi sumber penularan (Soulsby 1982). Genus Entamoeba dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung Entamoeba dan pakan yang dibersihkan dengan air yang telah terkontaminasi. Joslin (1993) menyatakan bahwa penularan E. histolytica adalah melalui pakan, air dan serangga. Menurut Marshall et al. (1997) pada tahun 1991 hingga 1994, protozoa parasitik yang sering ditemukan pada kasus waterborne disease, adalah Giardia lambia, Naegleria Fowleri, Acanthamoeba spp., E. histolytica, Cryptosporidium parvum, Cyclospora cayetanesis, Isospora belii dan mikrosporidia. Oleh karena itu, penanganan pakan dan air yang baik dapat meminimalkan dan mencegah kontaminasi dari protozoa parasitik ini dan menghindari penularan penyakit antar hewan. 3
Anton Ario, Manajer Javan Gibbon Center
4.3.2 Manajemen Kandang Kandang owa jawa secara umum terbagi dua jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka (pulau). Kandang tertutup adalah kandang yang dibatasi atap dan dinding, baik berbahan kawat, besi, kaca, plastik maupun bata. Adapun kandang terbuka berupa tempat terbuka yang tidak ditutupi oleh apapun dan biasanya dikelilingi parit sebagai pengaman sehingga disebut kandang pulau. Pemilihan bentuk kandang disesuaikan dengan luas lahan, jumlah owa jawa yang akan ditempatkan dan tujuan pembuatan kandang (Pramesywari 2008). Kandang owa jawa di JGC dilengkapi dengan kandang malam atau hook dan sistem pintu ganda. Hook berupa bangunan di belakang kandang peraga dengan panggung kayu dan dihubungkan dengan pintu geser yang dapat dibuka dari luar oleh perawat satwa. Unsur fisik kandang terdiri atas dinding kawat dan besi, atap fiber glass, daun dan plastik serta lantai semen. Sistem menjaga kebersihan kandang di JGC dilakukan tiap dua kali sehari dengan cara menggiring owa jawa masuk ke hook. Hal ini untuk memudahkan perawat satwa membersihkan kandang. Pertama, kotoran dan sisa pakan dibersihkan kemudian air disemprotkan ke lantai, dinding dan sudut kandang.
Tabel 3 Manajemen kandang di dua lokasi studi Profil Unsur
Kondisi
PSSP
JGC
Dinding kawat dan besi, lantai Dinding kawat dan besi, lantai semen dan paving block
semen
Baik dan terawat
Dinding korosif dan terkelupas,
kandang
lantai berlumut dan basah
Tempat pakan Ada
Ada
dan air Frekuensi
2x sehari (pagi dan sore)
2x sehari (pagi dan sore)
pembersihan
Di PSSP LPPM-IPB terdapat dua kandang yang dihubungkan dengan lorong sehingga pergerakan owa jawa menjadi luas. Dinding kandang terbuat dari kawat dan besi, sedangkan lantai terbuat dari semen dan paving block. Berdasarkan pengamatan pada kandang, kebersihan kandang selalu dijaga di dua lokasi studi.
Di PSSP LPPM-IPB dinding dan lantai dalam keadaan baik, bersih dan terawat. Lantai kandang di JGC telah banyak ditumbuhi lumut dan basah. Beberapa dinding kandang di JGC juga telah korosif dan terkelupas. Lokasi kandang dekat dengan vegetasi di sekitar. Hal ini juga dapat menyebabkan owa jawa terinfeksi protozoa parasitik. Menurut Gandahusada et al. (1998) dan Soulsby (1982), kista Entamoeba dapat hidup dalam lingkungan dingin dan lembab selama kurang lebih 12 hari dan mati pada suhu 50°C dalam waktu 7,5 jam atau kurang.
Gambar 5 Kandang introduksi di Javan Gibbon Center.
4.3.3 Manajemen Kesehatan Pemeriksaan kesehatan owa jawa di dua lokasi studi dilakukan secara rutin. Tindakan ini merupakan upaya pencegahan penyakit pada owa jawa. Salah satu prosedur pemeriksaan kesehatan pada dua lokasi studi ini adalah deteksi dan kontrol parasit yang mencakup pemeriksaan tinja. Pemeriksaan kesehatan di PSSP LPPM-IPB dilakukan tiap enam bulan atau apabila ditemukan kasus. Menurut Permanawati (2009, komunikasi pribadi) parasit yang pernah ditemukan pada owa jawa di PSSP LPPM-IPB, antara lain protozoa Entamoeba sp. dan Balantidium sp. serta cacing, antara lain larva Strongylus, Taenia sp., dan Trichuris sp.. Upaya pencegahan infeksi strongyloid dilakukan dengan pemberian kapur tohor tiap satu tahun sekali di kandang dan pemberian anthelmentik (deworming). Anthelmentik yang biasa digunakan adalah Trivexan® (Pyrantel pamoat dan mebendazole) dosis 0,5-1 tablet PO dan diberikan bersama dengan pakan. Teknik pemeriksaan tinja yang digunakan adalah pemeriksaan natif dan teknik apung.
Pemeriksaan kesehatan di JGC juga dilakukan tiap enam bulan atau apabila ditemukan kasus dan tidak ada pengobatan khusus. Pemeriksaan kesehatan meliputi, pemeriksaan darah, tinja dan TB (Tuberculosis). Menurut Mootnick (1998), sebaiknya seluruh tinja owa diamati tiap hari dan diperiksa rutin tiap tiga kali dalam setahun. Selain pemeriksaan tinja, pemeriksaan darah dan tes TB juga dilakukan kira-kira sekali dalam setahun untuk memastikan owa dalam keadaan sehat serta vaksinasi tetanus tiap tujuh tahun sekali. Kasus diare pernah terjadi di PSSP LPPM-IPB dan JGC namun belum diketahui penyebabnya.