4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan survei TNC (the nature concervancy)
dan P4L (pusat
pembelajaran dan pengembangan pesisir dan laut) hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Berau menyebar mulai dari bagian utara Tanjung Batu sampai bagian selatan Biduk-biduk.
Wilayah pesisir bagian utara di Kecamatan
Kepulauan Derawan mempunyai luas hutan mangrove sebesar 36.232 ha yang terdiri dari 16.299 ha hutan nipah, 13.215 ha hutan bakau, dan hutan nibung sebesar 509 ha. Sedangkan pada Kecamatan Gunung Tabur, yakni di sepanjang sungai Berau terdiri dari 644 ha hutan nipah, dan sekitar 459 ha daerahnya ditumbuhi hutan nipah campur kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah pesisir bagian utara Kabupaten Berau didominasi oleh hutan nipah khususnya di sepanjang sungai berau, sedangkan hutan mangrove menyebar di sepanjang pesisir pantai. Kondisi hutan mangrove kawasan pesisir bagian tengah didominasi oleh hutan bakau seluas 10.626 ha, 6.580 ha hutan nipah, dan 1.490 ha hutan nibung yang terdapat di Kecamatan Sambaliung. Di kecamatan Segah terdapat 89 ha hutan bakau, sedangkan hutan nipah dan hutan nibung jumlahnya sedikit. Kawasan pesisir bagian selatan didominasi oleh hutan bakau seperti di Kecamatan Talisayang sekitar 16.072 ha, dan di Kecamatan Biduk-biduk sekitar 9.277 ha. Potensi hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Berau dibagi atas 3 wilayah, yaitu : (1) wilayah pesisir bagian utara meliputi Kecamatan Kepulauan Derawan; (2) wilayah pesisir bagian tengah meliputi Kecamatan Sambaliung; dan (3) wilayah pesisir bagian selatan meliputi Kacamatan Talisayang dan Kecamatan Biduk-biduk.
4.2 Karakteristik Fisika Kimia Perairan Parameter fisik yang diukur meliputi suhu perairan, salinitas, kecerahan, kedalaman, sedangkan parameter kimia yang diukur adalah pH perairan. Hasil pengukuran data lapang ditampilkan pada Lampiran 1.
40
Berdasarkan Lampiran 1 dapat dilihat bahwa nilai suhu, salinitas dan pH perairan memiliki nilai yang hampir seragam untuk setiap stasiun. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa suhu air di daerah survey berkisar antara 29,0 – 30,5oC. Kisaran suhu tersebut masih dalam kondisi yang baik untuk kehidupan mangrove, dimana hutan mangrove umumnya hidup di daerah tropik-sub tropik dengan rata-rata temperatur diatas 25 oC. Hasil analisa dan pengamatan di lapangan menunjukkan salinitas air di daerah survey berkisar antara 24 – 26 o/oo. Variasi ini ditentukan oleh proporsi percampuran air laut dan air tawar, besar kecilnya air tawar dan sungai yang masuk ke laut sangat menentukan salinitas di muara sungai atau estuaria. Kisaran salinitas 24 – 26 o/oo tersebut masih dalam kondisi yang baik untuk kehidupan mangrove. Berdasarkan hasil pengukuran pH di lapangan menunjukkan bahwa daerah survey memiliki pH berkisar antara 5 – 6. Nilai pH tersebut masih sesuai dengan pH untuk pertumbuhan mangrove, dimana ekosistem mangrove akan tumbuh baik pada pH dengan kisaran nilai 5,0 – 9,0. Kecerahan perairan di lokasi studi sangat rendah, yaitu berkisar antara 20 – 65 cm, dengan kedalaman berkisar antara 0,37 – 2,2 m, hal ini karena endapan yang berlumpur, sehingga merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan mangrove. Pasang surut merupakan salah satu factor yang berperan besar dalam keberadaan mangrove.
Berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat
diketahui bahwa pasang surut di lokasi studi tinggi (kira-kira sekitar 2 meter), hal inilah yang menyebabkan lokasi studi merupakan jalur mangrove yang lebih lebar.
4.3 Koreksi Geometrik dan Radiometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 18 titik GCP (ground control point), dan didapatkan nilai RMSE (root mean square error) sebesar 0,32. Teknik yang digunakan adalah nearest neighbor karena teknik ini hanya mengambil kembali nilai yang terdekat yang telah tergeser ke posisi baru sehingga tidak akan mengubah nilai-nilai pixel yang ada.
41
Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya, metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah histogram adjustment. Berikut pada Tabel 6 ditampilkan nilainilai minimum dan maksimum tiap kanal dari histogram citra sebelum dan setelah terkoreksi radiometrik, sedangkan histogramnya ditampilkan pada Lampiran 2. Tabel 6 Nilai minimum dan maksimum digital number sebelum dan setelah terkoreksi radiometrik 16 Juni 1991 Min Max Sebelum koreksi radiometrik 1 Kanal 1 98 255 2 Kanal 2 13 255 3 Kanal 3 1 255 4 Kanal 4 0 255 5 Kanal 5 0 255 6 Kanal 7 0 255 Setelah koreksi radiometrik 1 Kanal 1 0 157 2 Kanal 2 0 242 3 Kanal 3 0 254 4 Kanal 4 0 255 5 Kanal 5 0 255 6 Kanal 7 0 255 No
Kanal
15 Mei 2000 Min Max
27 Feb 2001 Min Max
21 Mei 2002 Min Max
56 32 21 9 7 4
255 255 255 255 255 255
149 89 57 11 9 1
255 255 255 255 255 255
132 81 52 11 9 1
255 255 255 255 255 235
0 0 0 0 0 0
199 223 234 246 248 251
0 0 0 0 0 0
106 166 198 244 246 254
0 0 0 0 0 0
123 174 203 244 246 254
Asumsi pada metode penyesuaian histogram bahwa nilai minimum pada suatu liputan adalah nol, jika tidak dimulai dari nol maka penambahan tersebut disebut sebagai offset-nya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka nilai minimum pada data sebelum terkoreksi dianggap sebagai pengurang, sehingga akan kita dapatkan rentang nilai minimum dan maksimum setelah citra mengalami koreksi radiometrik dengan metode penyesuaian histogram seperti tertera pada Tabel 6. Metode penyesuaian histogram ini tidak mengubah pola dari grafik sebaran nilai pixel tapi hanya menggeser nilai minimum ke titik nol dan nilai maksimum bergeser sesuai nilai offset-nya.
4.4 Ekstraksi Informasi Nilai Digital dan Radians Data Landsat-7 ETM+
42
Pada Lampiran 3 ditampilkan persentase penutupan kanopi dan dominansi jenis mangrove di tiap stasiun hasil survei lapang serta hasil ekstraksi nilai spektral Landat-7 ETM+ tanggal perekaman 21 Mei 2002.
Nilai spektral
diperoleh dengan mengambil nilai pixel sesuai dengan posisi lokasi stasiun di lapangan. Dari data tersebut diatas yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan algoritma indeks vegetasi. Pada Tabel 7 ditampilkan perubahan dari nilai digital ke nilai radians, hal ini untuk melihat perbedaan hasil apabila menggunakan nilai digital dan nilai radians.
4.5 Penajaman Citra (Image Enhancement) Pada pengamatan secara visual masing-masing kanal tunggal secara terpisah dalam mendeteksi objek mangrove, ternyata kanal yang paling representatif secara visual bisa membedakan mangrove dengan objek-objek lain adalah kanal 5, yang terletak pada selang panjang gelombang 1.55-1.75 μm. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13. Hal ini membuktikan bahwa pada selang panjang gelombang 1.55-1.75 μm tersebut kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah berpengaruh sangat kuat sehingga bisa membedakan antara mangrove dengan tumbuhan darat.
B1
B2
B3 mangrov
B4
B5
B7
Gambar 13 Citra tiap kanal untuk identifikasi mangrove (21 Mei 2002).
43
Tabel 7 Perubahan dari nilai digital ke nilai radians Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
2
Nilai Radians Landsat-7 ETM+ (W/(m .sr.µm))
Nilai Spektral Landsat-7 ETM+ 1
2
3
4
5
7
1
2
3
4
5
7
56 49 54 49 51 39 30 51 83 56 54 56 56 59 49 44 59 49 71 95 39 54 51
64 56 49 54 47 39 39 49 85 66 59 59 61 68 56 47 71 54 73 88 42 59 71
78 61 63 66 54 34 34 59 95 88 66 61 61 73 54 46 76 59 76 93 44 61 85
80 85 112 95 78 102 112 134 136 95 75 68 87 78 117 129 83 73 146 160 92 70 102
46 53 102 43 51 53 65 85 92 70 38 46 48 53 82 68 51 38 102 114 51 51 53
27 29 49 27 34 27 32 39 44 37 25 27 25 27 34 29 32 25 39 63 25 25 29
36,631 31,180 35,073 31,180 32,737 23,392 16,383 32,737 57,657 36,631 35,073 36,631 36,631 38,967 31,180 27,286 38,967 31,180 48,312 67,002 23,392 35,073 32,737
43,926 37,535 31,943 35,937 30,346 23,955 23,955 31,943 60,701 45,523 39,931 39,931 41,529 47,121 37,535 30,346 49,517 35,937 51,115 63,097 26,352 39,931 49,517
42,867 32,299 33,543 35,407 27,948 15,515 15,515 31,056 53,435 49,084 35,407 32,299 32,299 39,759 27,948 22,974 41,624 31,056 41,624 52,192 21,731 32,299 47,219
71,474 76,320 102,491 86,013 69,535 92,798 102,491 123,816 125,754 86,013 66,628 59,843 78,259 69,535 107,338 118,969 74,382 64,689 135,447 149,017 83,106 61,781 92,798
4,680 5,563 11,748 4,301 5,311 5,563 7,078 9,603 10,486 7,709 3,670 4,680 4,932 5,563 9,224 7,457 5,311 3,670 11,748 13,263 5,311 5,311 5,563
0,791 0,879 1,757 0,791 1,099 0,791 1,011 1,318 1,538 1,230 0,704 0,791 0,704 0,791 1,099 0,879 1,011 0,704 1,318 2,372 0,704 0,704 0,879
44
Untuk lebih memperjelas tampakan dari berbagai objek dilakukan penajaman citra (image enhancement).
Penajaman bisa dilakukan dengan
berbagai metode, salah satunya adalah dengan pembuatan citra komposit. Citra komposit membutuhkan tiga kanal sebagai masukan pada filter red, green dan blue. Pemilihan kanal tersebut dilakukan dengan metode optimum index factor (OIF).
Pemilihan kanal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan
penampilan citra yang kontras untuk diinterpretasi secara visual serta kombinasi kanal yang efisien untuk diklasifikasi secara digital.
OIF tertinggi akan
menyajikan lebih banyak warna, sehingga diharapkan akan memberikan lebih banyak informasi. Hasil penajaman citra ini didapatkan tampakan yang kontras pada citra sehingga memudahkan dalam proses interpretasi serta meningkatkan informasi yang diperoleh. Matriks korelasi antar kanal pada citra tiap tanggal perekaman ditampilkan pada Tabel 8, sedangkan standart deviasinya ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 8 Matriks korelasi antar kanal pada tiap tanggal perekaman Correlation Matrix Th. 1991 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Kanal 7 Th. 2000 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Kanal 7 Th. 2001 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Kanal 7 Th. 2002 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Kanal 7
Kanal 1
Kanal 2
Kanal 3
Kanal 4
Kanal 5
0,900 0,738 -0,780 -0,635 -0,057
0,913 -0,604 -0,443 0,211
-0,418 -0,272 0,304
0,920 0,493
0,708
0,992 0,990 0,648 0,859 0,929
0,995 0,663 0,866 0,929
0,641 0,852 0,922
0,903 0,780
0,962
0,959 0,915 -0,064 0,236 0,572
0,967 0,030 0,320 0,660
0,111 0,385 0,705
0,922 0,681
0,865
0,930 0,880 -0,048 0,149 0,450
0,965 0,123 0,311 0,594
0,160 0,357 0,631
0,916 0,689
0,868
45
Tabel 9 Standart deviasi tiap kanal pada tiap tanggal perekaman Std. Dev.
Kanal 1
Kanal 2
Kanal 3
Kanal 4
Kanal 5
Kanal 7
Th. 1991
22,734
17,403
20,436
80,633
50,136
13,589
Th. 2000
51,344
53,454
59,679
46,504
55,612
40,679
Th. 2001
26,899
39,992
50,689
86,115
76,906
60,290
Th. 2002
20,858
26,642
33,766
76,558
62,801
34,230
Berdasarkan matriks korelasi dan standar deviasi pada Tabel 8, maka kita bisa menghitung nilai OIF tiap kombinasi kanal pada tiap tanggal perekaman. Nilai OIF tertinggi dari sejumlah 6 kanal (kanal 1, kanal 2, kanal 3, kanal 4, kanal 5 dan kanal 7) yang digunakan, kita mendapatkan 20 kombinasi OIF pada tiap tanggal perekaman.
C36 =
6! = 20 3!(6 − 3)!
Hasil OIF dari masing-masing citra ditampilkan pada Tabel 10. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa OIF tertinggi pada setiap citra terletak pada kombinasi kanal yang berbeda. Citra tahun 1991 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 347, citra tahun 2000 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 234, citra tahun 2001 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 134, sedangkan citra tahun 2002 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 145. Berdasarkan rumus yang digunakan dalam mencari nilai OIF, OIF yang tinggi tersebut merupakan hasil dari nilai standar deviasi yang tinggi dan korelasi antar kanal yang rendah, dengan korelasi antar kanal yang rendah tersebut diharapkan akan mendapatkan informasi yang saling melengkapi. Dari satu nilai OIF tersebut bisa dibuat enam kombinasi citra komposit, pada citra tahun 1991 nilai OIF tertinggi adalah kanal 347, maka kombinasi yang bisa didapatkan, yaitu RGB 347, RGB 374, RGB 437, RGB 473, RGB 734 dan RGB 743. Citra tahun 2000 didapatkan kombinasi RGB 234, RGB 243, RGB 324, RGB 342, RGB 423 dan RGB 432. Citra tahun 2001 didapatkan kombinasi RGB 134, RGB 143, RGB 314, RGB 341, RGB 413 dan RGB 431. Sedangkan citra tahun 2002 didapatkan kombinasi RGB 145, RGB 154, RGB 415, RGB 451, RGB 514 dan RGB 541.
46
Tabel 10 Nilai OIF dari tiap kombinasi kanal No
Kombinasi Kanal
OIF-1991
OIF-2000
OIF-2001
OIF-2002
1
1,2,3
23,74
55,25
41,39
29,29
2
1,2,4
52,88
65,70
165,41
123,44
3
1,2,5
45,64
59,04
94,92
79,35
4
1,2,7
46,00
51,04
58,05
41,40
5
1,3,4
63,95
69,12
170,17
132,24
6
1,3,5
56,72
61,69
100,58
84,72
7
1,3,7
51,65
53,40
62,90
45,31
8
1,4,5
65,74
63,68
173,60
157,54
9
1,4,7
87,94
58,77
145,76
120,67
10
1,5,7
61,76
53,69
98,08
80,36
11
2,3,4
61,23
69,44
5,47
109,75
12
2,3,5
54,04
62,20
100,23
75,45
13
2,3,7
36,01
54,04
64,74
43,21
14
2,4,5
75,33
63,97
159,60
122,96
15
2,4,7
85,34
59,29
135,96
97,75
16
2,5,7
59,57
54,31
96,04
69,75
17
3,4,5
93,92
67,53
150,71
120,81
18
3,4,7
94,37
62,68
131,66
97,67
19
3,5,7
65,55
57,01
96,10
70,47
20
4,5,7
68,06
53,99
90,48
70,19
Pada objek yang sama, apabila kombinasi kanal yang dimasukkan ke filter biru, hijau dan merah berbeda maka objek tersebut akan ditampilkan dengan warna yang berlainan. Dalam pendeteksian mangrove, dari keenam kombinasi kanal yang bisa dibentuk, diperoleh hasil visual terbaik untuk citra tahun citra tahun 1991 adalah RGB 347, sedangkan citra tahun 2000 adalah RGB 342, citra tahun 2001 adalah RGB 341, serta citra tahun 2002 adalah RGB 451 (Gambar 14).
47
RGB 347 (1991)
RGB 342 (2000)
RGB 341 (2001)
RGB 451 (2002)
Gambar 14 Citra komposit hasil OIF. Dalam pemilihan kanal untuk pendeteksian mangrove, selain dengan menggunakan metode OIF, juga dibuat kombinasi komposit RGB 453 (Gambar 15). Dimana kanal 3 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 0,63 – 0,69 µm, untuk pemisahan vegetasi, yaitu memperkuat kontras antara vegetasi dan non vegetasi. Kanal 4 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 0,76 – 0,90 µm, membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman dengan tanah dan lahan dengan air. Kanal 5 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 1,55 – 1,75 µm, untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah (Gambar 15).
Awan Vegetasi Darat
Perairan
48
Gambar 15 Citra komposit RGB 453 (21 Mei 2002). Pada identifikasi mangrove dengan citra komposit RGB 453 ini cukup mudah untuk membedakan mangrove dengan objek-objek lain.
Berdasarkan
analisis visual pengamatan nilai-nilai digital dan pertimbangan visual warna pada citra komposit tersebut, mangrove primer ditunjukkan oleh warna merah gelap, mangrove sekunder warna orange gelap dan mengacu pada habitatnya yang hidup di sepanjang pantai perairan asin.
Tambak ditunjukkan dengan warna biru
kehijauan. Warna biru sampai hitam adalah perairan, semakin dalam perairan akan ditunjukkan dengan warna yang semakin gelap. Vegetasi darat ditunjukkan dengan warna orange. Awan ditunjukkan dengan warna putih. Citra tahun 2000 dan tahun 2001, sangat dipengaruhi oleh kondisi awan. Selain objek dibawahnya tidak bisa terdeteksi, awan disini juga mempengaruhi nilai digital dari objek, dimana nilainya akan lebih rendah dari yang semestinya. Selain dengan analisa visual seperti tersebut di atas, identifikasi mangrove juga dilakukan dengan analisa digital, yaitu dengan melihat pola spektral masingmasing objek (Lampiran 4).
4.6 Training Area
49
Pada prosedur klasifikasi supervised harus menetapkan terlebih dahulu daerah contoh (training area), dipilih tipe penutupan lahannya kemudian dilakukan labelling (kategori pixel). Training area mengidentifikasi karakteristik spektral untuk tipe feature berdasarkan deskriptor numerik (Campbell 1987). Pada waktu digitasi dalam pembuatan training area, pengambilan sampel harus mewakili dari masing-masing kelas penutup lahan. Dalam pengambilan training area ini lebih mudah jika diambil pada daerah yang homogen, artinya nilai simpangan baku kelompok pada tiap pixel rendah pada tiap saluran. Pada citra komposit, standard deviasi yang rendah ini akan ditampilkan dengan warna yang hampir seragam.
Selain nilai simpangan baku yang rendah, dalam
pengambilan training area ini juga dengan melihat histogram masing-masing objek. Berdasarkan hasil analisis visual pada citra komposit dan analisis digital dari masing-masing objek, maka lokasi studi akan dikelaskan menjadi beberapa kelas, diantaranya: (1) perairan, (2) mangrove primer, (3) mangrove sekunder, (4) tambak ikan, (5) lainnya/vegetasi darat dan (6) awan. Dari keenam objek tersebut training area diambil pada citra tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 di lokasi yang sama, kecuali tambak karena adanya perubahan yang cukup signifikan pada lahan tersebut antara tahun 1991 dan 2002. Training area diambil masing-masing objek sebanyak 10 region. Histogram dari masing-masing region tiap objek dari citra tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 ditampilkan pada Lampiran 4. Sedangkan pada Lampiran 5 ditampilkan rerata dari nilai statistik (minimum, maximum, mean, standart deviasi) serta covariance antar kanal pada tiap objek. Dari histogram pada Lampiran 4 terlihat bahwa setiap objek memiliki pola histogram yang berbeda-beda. Dan apabila dilihat perubahan histogram dari region objek mangrove primer dan mangrove sekunder tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 ada perubahan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2002 ada penurunan nilai rata-rata reflektansi dari kanal 1 (λ 0,45-0,52 μm), namun hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh awan pada citra tahun 2002. 4.7 Uji Ketelitian Keterpisahan (Separability) 4.7.1 Transformed divergency
50
Selang nilai transformed divergency adalah antara 0 sampai dengan 2.000. Apabila transformed divergency lebih dari 1.900 maka keterpisahan antar objek bagus, namun apabila kurang dari 1.700 maka keterpisahan antar objek buruk (Jensen 1986).
Arifin et al. 1996 juga mengemukakan apabila keterpisahan
tersebut kecil ( <=1.500) maka training area tersebut dapat digabung atau dihapus dengan mengganti kelas training area baru. Dari hasil uji keterpisahan dapat dilihat bahwa keterpisahan antara objek cukup baik (Tabel 11). Keterpisahan mangrove primer dengan perairan mencapai nilai maksimum yaitu 2.000, mangrove primer dengan mangrove sekunder mencapai nilai 1.985 (citra tahun 2000) dan 1.983 (citra tahun 1991), mangrove primer dengan tambak mencapai nilai maksimum yaitu 2.000, mangrove primer dengan lainnya mencapai nilai 2.000.
Mangrove sekunder dengan perairan
mencapai nilai 2.000, mangrove sekunder dengan tambak mencapai nilai 2.000, mangrove sekunder dengan lainnya mencapai nilai 1.884 (citra tahun 2000) dan 1.924 (citra tahun 1991). Berdasarkan Tabel 11 tersebut bisa disimpulkan bahwa keterpisahan antar objek sangat baik, termasuk keterpisahan mangrove dengan objek-objek lainnya. Secara lengkap mengenai evaluasi keterpisahan dari tiap objek dapat dilihat pada di bawah ini. Tabel 11 Nilai transformed divergency Kelas Th 2002 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan
Perairan
Mangrove Primer
Mangrove Sekunder
Tambak
2.000 2.000 2.000 2.000 2.000
1.985 2.000 2.000 2.000
2.000 1.884 2.000
1.999 2.000
2.000 2.000 2.000 2.000
1.983 2.000 2.000
2.000 1.924
1.998
Th 1991 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat
4.7.2 Jeffries-matusita distance (JM)
Lainnya/ Veg darat
2.000
51
Selang nilai jeffries-matusita distance adalah antara 0 sampai dengan 1.414, semakin tinggi nilai yang diperoleh maka keterpisahan semakin bagus. Evaluasi secara lengkap hasil uji jeffries-matusita distance dari tiap objek dapat dilihat pada Tabel 12. Dari hasil uji jeffries-matusita distance dapat dilihat bahwa keterpisahan perairan dengan objek lainnya mendapatkan nilai yang tinggi (hampir semua nilai mencapai lebih dari 1.400) sehingga bisa dikatakan keterpisahan sangat baik, begitu juga dengan mangrove primer (baik citra tahun 2002 maupun tahun 1991) memiliki keterpisahan yang baik. Keterpisahan mangrove primer dengan tambak mencapai nilai maksimum yaitu 1.414 (citra tahun 2000) dan 1.412 (citra tahun 1991).
Sedangkan keterpisahan antara mangrove primer dengan mangrove
sekunder mencapai nilai 1.402, dari nilai tersebut bisa dikatakan bahwa mangrove primer dengan mangrove sekunder bisa dibedakan dengan jelas.
Nilai yang
paling rendah dari hasil uji jeffries-matusita distance pada penelitian ini adalah 1.220 (citra tahun 2000) dan 1.204 (citra tahun 1991) yaitu antara mangrove sekunder dengan vegetasi darat, hal ini disebabkan karena adanya overlaping beberapa pixel dari kedua objek tersebut. Berdasarkan Tabel 12 dapat disimpulkan bahwa keterpisahan objek cukup baik, kecuali mangrove sekunder dengan vegetasi darat. Tabel 12 Nilai jeffries-matusita distance Kelas
Perairan
Mangrove Primer
Mangrove Sekunder
Tambak
1.402 1.405 1.413 1.398 1.413
1.402 1.414 1.382 1.411
1.414 1.220 1.413
1.405 1.414
1.400 1.406 1.402 1.406
1.402 1.413 1.386
1.412 1.204
1.378
Lainnya/ Veg darat
Th 2002 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan
Th 1991 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat
4.8 Uji Ketelitian Matrik Kontingensi
1.413
52
Selain evaluasi keterpisahan tiap kelas, uji ketelitian klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan error matriks. Matrik ini membandingkan antara data referensi dengan data hasil klasifikasi.
Beberapa karakteristik hasil
klasifikasi, diantaranya producers accuracy, users acuracy and overall accuracy yang dianalisa dengan melihat perbedaan antara dua klasifikasi (Congalton 1991). Pada Tabel 13 ditampilkan hasil perhitungan nilai average user’s accuracy (average commission error), producer’s accuracy (average omission error), overall accuracy dan overall kappa dari citra tahun 1991 dan tahun 2002 masingmasing metode. Overall accuracy menekankan hasil overall klasifikasi yang difokuskan hanya pada diagonal utama pada error matriks klasifikasi, sedangkan overall kappa menghitung bagaimana akurasi didistribusikan pada kelas-kelas individu. Overall kappa adalah suatu ukuran dalam menilai hasil klasifikasi penginderaan jauh dengan menggunakan data referensi, dimana data referensi disini adalah data masukan yang kita berikan pada saat training area. Selang nilai overall kappa ini antara 0,0 sampai dengan 1,0. Nilai 1,0 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi sangat bagus dan sesuai dengan data referensi. Mather (2004) mengatakan bahwa jika nilai overall kappa lebih dari 0,75 menunjukkan klasifikasi baik, sedangkan jika nilainya kurang dari 0,4 maka klasifikasi buruk. Tabel 13 menunjukkan bahwa apabila menggunakan metode maximum likelihood didapatkan nilai overall accuracy sebesar 93,45% (tahun 2002) dan 92,37% (tahun 1991) serta nilai overall kappa sebesar 0,9026 (tahun 2002) dan 0,8800 (tahun 1991). Metode neural network back propagation diperoleh nilai overall accuracy 86,52% (tahun 2002) dan 89,06% (tahun 1991) serta nilai overall kappa sebesar 0,7923 (tahun 2002) dan 0,8210 (tahun 1991). Berdasarkan matrik kontingensi antara training area dan hasil klasifikasi dari metode maximum likelihood dan neural network back propagation pada dasarnya diperoleh nilai akurasi yang tinggi.
Namun dari kedua metode
klasifikasi yang digunakan ternyata metode maximum likelihood akan diperoleh akurasi lebih tinggi dari pada neural network back propagation.
53
Tabel 13 Ketelitian matrik kontingensi Maximum Likelihood Objek
Neural Network Back Propagation
user’s accuracy
producer’s accuracy
user’s accuracy
producer’s accuracy
Th. 2002 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan Rata-rata Overall accuracy
99,24 97,34 33,76 90,17 91,19 90,68 83,73 93,45
93,84 96,98 93,84 98,01 80,04 97,97 93,45
99,95 92,24 18,26 64,52 74,11 69,69 69,79
89,09 96,66 90,15 98,43 32,17 99,21 84,29
Overall kappa
0,9026
Th. 1991 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Rata-rata Overall accuracy
99,68 97,45 34,28 29,95 89,31 70,13 92,37
Overall kappa
86,52 0,7923 94,19 96,18 93,33 97,97 75,02 91,34
99,97 89,13 24,90 38,58 92,72 69,60
90,91 99,46 91,25 95,37 41,65 83,72
89,06 0,8800
0,8210
Hasil klasifikasi tersebut di atas sudah cukup bagus karena sudah memenuhi standar minimal ketelitian Landsat. Standar ketelitian untuk sensor MSS dengan resolusi spasial 80 x 80 meter adalah sebesar 85%, sedangkan untuk sensor TM yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 meter tentu akan lebih tinggi lagi ketelitiannya (Jaya, 1996). Tabel 14 dan 15 menunjukkan persentase suatu kelas benar masuk kelas yang sebenarnya dan berapa persen dari kelas masuk ke kelas lain. Pada Tabel 14 merupakan hasil yang dicapai apabila menggunakan metode maximum likelihood dan Tabel 15 menggunakan metode neural network back propagation. Masingmasing metode klasifikasi tersebut akan memberikan nilai tingkat ketelitian yang berbeda. Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa evaluasi ketelitian apabila menggunakan metode Maximum Likelihood, pada tahun 2002 kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam mangrove primer sebesar 96,99%, 0,14%
54
masuk kelas perairan, 1,88% masuk kelas mangrove sekunder, 0,02% masuk kelas tambak, 0,96 masuk kelas lainnya dan 0,01% masuk kelas awan. Mangrove sekunder yang benar masuk kelas mangrove sekunder sejumlah 93,84%, sedangkan 1,11% masuk kelas mangrove primer dan 4,14% masuk kelas lainnya. Pada tahun 1991, kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer sejumlah 96,18%, 1,34% masuk kelas mangrove sekunder, 0,06% masuk kelas tambak dan 2,07% masuk kelas lainnya. Mangrove sekunder yang benar masuk kelas sekunder sejumlah 93,33%, 0,50% masuk kelas mangrove primer dan 6,08% masuk kelas lainnya.
Dari Tabel 14
bisa
disimpulkan bahwa masing-masing kelas telah terpetakan dengan baik. Tabel 14 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan maximum likelihood Classified Data (%) Th 2002 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan Th 1991 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat
Referensi Data (%) Perairan
Mangrove Mangrove Tambak Primer Sekunder
Lainnya
93,84 2,21 1,79 0,37 1,20 0,60
0,14 96,99 1,88 0,02 0,96 0,01
0,10 1,11 93,84 0,00 4,14 0,81
0,45 0,36 0,00 98,01 1,18 0,00
1,59 0,03 17,62 0,57 80,04 0,14
94,19 2,16 0,64 2,40 0,60
0,34 96,18 1,34 0,06 2,07
0,10 0,50 93,33 0,00 6,08
0,00 0,00 0,00 97,97 2,03
0,00 0,06 22,33 2,58 75,02
Awan
1,40 0,14 0,07 0,07 0,35 97,97
Tabel 15 merupakan hasil evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan metode Neural Network Back Propagation. Hasil klasifikasi citra tahun 2002 menunjukkan bahwa mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer sejumlah 96,66%, sedangkan 3,27% yang seharusnya masuk mangrove primer masuk kelas mangrove sekunder. Mangrove sekunder yang benar masuk mangrove sekunder adalah 90,15%, selainnya yaitu 2,60% masuk mangrove primer, 6,70% masuk kelas lainnya dan 0,55% masuk kelas awan. Pada data Tahun 1991, kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer 99,46%, sebesar 0,53% masuk mangrove sekunder dan 0,01%
55
masuk kelas tambak. Mangrove sekunder yang benar masuk mangrove sekunder adalah 91,25%, sedangkan 2,12% masuk mangrove primer dan 6,63% masuk kelas lainnya. Tabel 15 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan neural network back propagation Classified Data (%) Th 2002 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan Th 1991 Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat
Referensi Data (%) Perairan
Mangrove Mangrove Primer Sekunder
Tambak
Lainnya
Awan
89,09 3,41 2,73 0,72 2,05 2,00
0,01 96,66 3,27 0,05 0,01 0,00
0,00 2,60 90,15 0,00 6,70 0,55
0,89 0,45 0,00 98,43 0,22 0,00
0,08 12,45 51,15 2,60 32,17 1,55
90,91 7,78 0,78 0,11 0,41
0,00 99,46 0,53 0,01 0,00
0,00 2,12 91,25 0,00 6,63
4,63 0,00 0,00 95,37 0,00
0,00 6,51 48,18 3,66 41,65
0,00 0,30 0,00 0,00 0,50 99,21
Berdasarkan Tabel 14 dan 15 diketahui bahwa secara umum training area masing-masing objek telah terkelaskan dengan baik, baik dengan metode klasifikasi
maximum likelihood maupun neural network back propagation.
Demikian juga khususnya untuk training area objek mangrove juga akan terkelaskan dengan baik, baik menggunakan metode klasifikasi
maximum
likelihood maupun neural network back propagation.
4.9 Klasifikasi Citra (Image Classification)
Salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pemetaan mangrove adalah terletak pada pemilihan metode klasifikasi. Klasifikasi citra bertujuan untuk melakukan kategorisasi secara otomatik dari semua pixel ke dalam kelas penutup lahan atau suatu tema tertentu. Prosedur operasi dilakukan dengan pengamatan dan evaluasi setiap pixel yang terkandung di dalam citra dan dikelompokan ke setiap kelompok informasi.
56
4.9.1 Klasifikasi maximum likelihood
Maximum likelihood adalah metode standard untuk klasifikasi (McLachlan 1991). Asumsi dari algoritma maximum likelihood ini adalah objek homogen akan menampilkan histogram yang terdistribusi normal (bayesian).
Pada
algoritma ini pixel dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space. Berdasarkan hasil klasifikasi pada citra landsat-5 TM tahun 1991 diketahui bahwa pada lokasi studi yang meliputi: Pilanjau dan Pesayan (Kecamatan Sambaliung) Desa Radak/Buyung-buyung, Desa Semurut,
Desa
Tuban, Tabalar Muara (Kecamatan Talisayan) mempunyai hutan mangrove primer seluas 13.012,11 ha dan mangrove sekunder seluas 1.698,57 ha. Pada citra tahun 2002 Landsat-7 ETM+, berdasarkan klasifikasi maximum likelihood diketahui luas hutan mangrove primer seluas 11.584,53 ha dan mangrove sekunder seluas 1.709,01 ha (Tabel 16). Tabel 16 tersebut juga menampilkan total dari perubahan setiap penutup lahan, dan diketahui dari keempat metode klasifikasi yang digunakan luas lahan tambak mengalami peningkatan. Sedangkan peta hasil klasifikasi dengan metode maximum likelihood ditampilkan pada Lampiran 6. Peta hasil overlay antara citra hasil klasifikasi maximum likelihood tahun 1991 dan tahun 2002 ditampilkan pada Lampiran 7. Tabel 16 Luasan objek hasil klasifikasi maximum likelihood Kelas Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan
Th. 1991 (ha) 5.315,40 13.012,11 1.698,57 371,07 4.317,48 0,00
Th. 2002 (ha)
Perubahan (ha)
5.674,77 11.584,53 1.709,01 587,34 4.792,59 366,39
359,37 -1.427,58 10,44 216,27 475,11 366,39
57
4.9.2 Klasifikasi neural network back propagation
Back propagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma ini menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward), untuk mendapatkan error ini tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu, pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Kusumadewi 2003; Kusumadewi 2004). Input layer yang digunakan sejumlah enam (kanal 1, 2, 3, 4, 5 dan 7) dan enam output layer, yaitu meliputi: perairan, mangrove primer, mangrove sekunder, tambak, lainnya, awan.
Kombinasi jumlah hidden layer yang
digunakan adalah 6, 12, 18 dan 24. Neural network ditraining menggunakan algoritma back propagation dengan kombinasi nilai learning rate masing-masing 0,001, 0,01, 0,1, 0,2 dan 0,3. Sedangkan momentum yang digunakan adalah 0,5. Learning rate berpengaruh pada kecepatan training, sedangkan momentum sensitif terhadap error surface. RMS error 0,0001 sebagai convergency point, dimana training akan berhenti ketika convergency dicapai.
Pada Tabel 17
menunjukkan bahwa hasil klasifikasi dengan akurasi terbaik dicapai apabila menggunakan 12 hidden layer dengan nilai learning rate 0,2, sehingga akan didapatkan nilai akurasi sebesar 86,67% dengan iterasi yang terendah yaitu ke-77. Tabel 17 Akurasi berdasarkan perbedaan learning rate dan jumlah hidden layer Learning Rate Hidden layer
0,001
0,01
0,1
0,2
0,3
Iterasi
Acc
Iterasi
Acc
Iterasi
Acc
Iterasi
Acc
Iterasi
Acc
6
1.000
23,33
1.000
60,00
167
85,00
64
85,00
70
85,00
12
1.000
16,67
902
85,00
102
85,00
77
86,67
241
85,00
18
1.000
45,00
1.000
80,00
135
85,00
435
85,00
1.000
75,00
24
1.000
38,33
563
85,00
144
86,67
320
85,00
1.000
16,67
Luasan hasil klasifikasi dengan metode neural network back propagation ditampilkan pada Tabel 18.
Pada tabel tersebut juga ditampilkan total dari
58
perubahan setiap penutup lahan hasil klasifikasi Neural Network Back Propagation, mangrove primer mengalami pengurangan luas sebesar 599,76 ha, sedangkan mangrove sekunder mengalami pengurangan sebesar 848,70 ha. Citra hasil klasifikasi dengan metode neural network back propagation ditampilkan pada Lampiran 8, perubahan antara tahun 1991 dan tahun 2001 dengan metode ini ditampilkan pada Lampiran 9. Tabel 18 Luasan objek hasil klasifikasi neural network back propagation Kelas
Th. 1991 (ha)
Perairan Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan
Th. 2002 (ha)
Perubahan (ha)
4.467,33 14.669,01 1.665,99 474,75 3.115,26 322,29
98,19 -599,76 -848,70 308,25 719,73 322,29
4.369,14 15.268,77 2.514,69 166,50 2.395,53 0,00
4.10 Overlay Citra Hasil Klasifikasi dengan Referensi
Akurasi ketelitian hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation diperoleh dengan cara membandingkan masing-masing hasil klasifikasi dengan peta referensi. Peta referensi yang digunakan disini merupakan hasil digitasi manual (menggunakan software Arc View) yang dilakukan oleh TNC. Kombinasi kanal yang digunakan dalam digitasi adalah RGB 542. Pada Tabel 19 ditampilkan hasil matrik kontingensi antara hasil metode masing-masing klasifikasi dengan peta referensi. Tabel 19 Matrik kontingensi metode maximum likelihood dan neural network back propagation dengan peta referensi Metode Klasifikasi
Maximum likelihood (%) Non mangrove Mangrove
Neural network back propagation (%) Non mangrove Mangrove
Non mangrove
0,7779
0,0437
0,7623
0,0186
Mangrove
0,0141
0,1642
0,0298
0,1893
Overall accuracy
94,21
95,17
Overall kappa
0,8145
0,8561
Dari kedua metode klasifikasi yang digunakan pada penelitian diperoleh hasil bahwa metode yang lebih baik dalam memetakan mangrove (kasus
59
Kabupaten Berau) adalah metode neural network back propagation dengan nilai overall accuracy sebesar 95,17% dan overall kappa sebesar 0,8561. Pada Gambar 16 ditampilkan hubungan antara hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation. Dari hasil analisis regresi antara kedua metode klasifikasi tersebut diperoleh hasil koefisien korelasi yang cukup
neural network
tinggi (r = 0,936).
maximum likelihood
Gambar 16 Hasil regresi antara metode klasifikasi maximum likelihood dengan neural network back propagation. Pada Tabel 20 menampilkan luas tiap objek hasil overlay antara hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa objek mangrove primer pada klasifikasi maximum likelihood yang juga dimasukkan kelas mangrove primer pada klasifikasi neural network back propagation seluas 11.582,91 ha. Mangrove primer pada hasil klasifikasi maximum likelihood dimasukkan mangrove sekunder pada klasifikasi neural network back propagation seluas 1,62 ha.
Mangrove sekunder pada
klasifikasi maximum likelihood yang juga dimasukkan kelas mangrove sekunder pada klasifikasi neural network back propagation seluas 929,7 ha, sedangkan 564,84 ha masuk kelas mangrove primer, 0,18 ha masuk kelas tambak, 214,29 ha masuk kelas lainnya/vegetasi darat. Tabel 20 Matrik metode klasifikasi maximum likelihood dengan metode neural network back propagation
60
Maximum Likelihood (ha)
Metode Klasifikasi
Neural Network Back Propagation (ha)
Kelas
Perairan
Mangrove primer
Mangrov e sekunder
Tambak
Lainnya/ veg darat
Awan
Perairan
4.284,99
0,00
0,00
160,38
11,97
9,99
Mangrove primer
1.346,58
11.582,91
564,84
16,74
1.105,02
52,92
0,00
1,62
929,70
0,00
734,67
0,00
Tambak
12,15
0,00
0,18
325,71
84,42
52,29
Lainnya/veg darat
30,60
0,00
214,29
12,24
2.814,03
44,10
0,45
0,00
0,00
72,27
42,48
207,09
Mangrove sekunder
Awan
4.11 Indeks Vegetasi
Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (biasanya multi kanal) untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi atau pun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Nilai indeks vegetasi yang tinggi memberikan gambaran bahwa di areal yang diamati terdapat vegetasi yang mempunyai tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya nilai indeks vegetasi yang rendah merupakan indikator bahwa lahan yang menjadi objek pemantauan mempunyai tingkat kehijauan vegetasi rendah atau lahan dengan vegetasi sangat jarang atau kemungkinan besar bukan objek vegetasi. Pada Tabel 21 ditampilkan indeks vegetasi tiap stasiun dari beberapa algoritma pada citra Landsat-7 ETM+. Analisis regresi antara persentase kerapatan kanopi mangrove (peubah respon) dengan hasil transformasi indeks vegetasi (peubah bebas) digunakan untuk mencari hubungan matematis terbaik antara kedua peubah tersebut. Nilai koefisien determinasi hasil analisis regresi antara persentase kerapatan kanopi mangrove (peubah respon) dengan hasil transformasi indeks vegetasi (peubah bebas) pada tiap model persamaan ditampilkan pada Tabel 22.
61
Tabel 21 Hasil indeks vegetasi dari beberapa algoritma pada tiap stasiun Stasiun
RVI
TRVI
DVI
NDVI
GNDVI
SAVI
GVI
IPVI
SLAVI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1,667 2,363 3,056 2,429 2,488 5,981 6,606 3,987 2,353 1,752 1,882 1,853 2,423 1,749 3,841 5,178 1,787 2,083 3,254 2,855 3,824 1,913 1,965
1,291 1,537 1,748 1,559 1,577 2,446 2,570 1,997 1,534 1,324 1,372 1,361 1,557 1,322 1,960 2,276 1,337 1,443 1,804 1,690 1,956 1,383 1,402
128,670 150,870 212,437 171,025 138,937 207,202 230,465 266,102 248,375 157,348 124,499 111,323 155,523 127,126 229,663 262,552 136,893 124,198 283,449 305,449 177,722 115,975 175,497
0,250 0,405 0,507 0,417 0,427 0,714 0,737 0,599 0,404 0,273 0,306 0,299 0,416 0,272 0,587 0,676 0,282 0,351 0,530 0,481 0,585 0,313 0,326
0,239 0,341 0,525 0,411 0,392 0,590 0,621 0,590 0,349 0,308 0,251 0,200 0,307 0,192 0,482 0,594 0,201 0,286 0,452 0,405 0,519 0,215 0,304
0,374 0,605 0,757 0,623 0,637 1,065 1,101 0,896 0,604 0,409 0,457 0,446 0,621 0,407 0,877 1,011 0,422 0,524 0,793 0,720 0,874 0,468 0,487
7,588 20,010 38,904 25,640 18,708 46,610 55,714 56,265 31,439 14,526 9,480 5,881 18,868 6,505 45,110 58,989 8,357 12,523 50,022 45,803 35,621 7,798 20,474
0,625 0,703 0,753 0,708 0,713 0,857 0,869 0,799 0,702 0,637 0,653 0,649 0,708 0,636 0,793 0,838 0,641 0,676 0,765 0,741 0,793 0,657 0,663
1,503 2,016 2,263 2,166 2,091 4,403 4,536 3,045 1,967 1,515 1,705 1,618 2,102 1,534 2,888 3,909 1,585 1,863 2,538 2,277 3,073 1,643 1,758
62
Tabel 22 Nilai koefisien determinasi dari hasil analisis regresi antara persen penutupan kanopi dengan tansformasi indeks vegetasi No
Persamaan
RVI
TRVI
DVI
NDVI
GNDVI
SAVI
GVI
IPVI
SLAVI
1
Linear
0,5489
0,6164
0.36573
0,7285
0,8022
0,7278
0,6320
0,7267
0,5873
2
Logarithmic
0,6775
0,6774
0,4201
0,7787
0,8245
0,7779
0,6966
0,7462
0,6851
3
Inverse
0,7636
0,7272
0,4588
0,7924
0,7981
0,7919
0,6418
0,7626
0,7626
4
Quadratic
0,7756
0,7950
0,5309
0,8035
0,8297
0,8027
0,6950
0,8019
0,8002
5
Cubic
0,7978
0,7950
0,5381
0,8040
0,8331
0,8032
0,7064
0,8022
0,8131
6
Compound
0,4271
0,4875
0,3614
0,5951
0,6756
0,5944
0,5544
0,5933
0,4542
7
Power
0,5446
0,5446
0,4162
0,6525
0,7280
0,6517
0,6468
0,6142
0,5560
8
S-curve
0,6335
0,5942
0,4582
0,6791
0,7378
0,6785
0,6226
0,6326
0,6387
9
Growth
0,4271
0,4875
0,3614
0,5951
0,6756
0,5944
0,5544
0,5933
0,4542
10
Exponential
0,4271
0,4875
0,3614
0,5951
0,6756
0,5944
0,5544
0,5933
0,4542
11
Logistic
0,4271
0,4875
0,3614
0,5951
0,6756
0,5944
0,5544
0,5933
0,4542
63
Hasil koefisien determinasi indeks vegetasi dari Landsat-7 ETM+ rata-rata didapatkan nilai R2 yang tinggi, kecuali transformasi indeks vegetasi difference vegetation index (DVI) yaitu sebesar 0,5381. Dari sebelas model persamaan yang dicobakan, diperoleh hasil bahwa model persamaan cubic merupakan model yang paling baik untuk semua tranformasi indeks vegetasi yang digunakan pada penelitian ini. Koefisien determinasi indeks vegetasi (R2) untuk ratio vegetation index (RVI) 0,7978 dengan model persamaan cubic, transformed ratio vegetation index (TRVI) 0,7950 dengan model persamaan quadratic atau cubic, difference vegetation index (DVI) 0,5381 dengan model persamaan cubic, normalized difference vegetation index (NDVI) 0,8040 dengan model persamaan cubic, green normalized difference vegetation index (GNDVI) 0,8331 dengan model persamaan cubic, soil adjusted vegetation index (SAVI) 0,8032. Secara lengkap nilai koefisien determinasi indeks vegetasi ini ditampilkan pada Tabel 22. Grafik regresi antara transformasi indeks vegetasi dengan persentase kerapatan kanopi pada tiap transformasi indeks vegetasi ditampilkan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 tersebut menampilkan model persamaan paling baik untuk tiap transformasi indeks vegetasi berdasarkan nilai koefisien determinasinya. Pada Lampiran 10 dan Lampiran 11 ditampilkan hasil analisa uji anova dan diperoleh hasil bahwa semua transformasi indeks vegetasi RVI, TRVI, DVI, NDVI, GNDVI, SAVI, GVI, IPVI dan SLAVI untuk semua model persamaan yang dicobakan memiliki Fhitung > Ftabel sehingga tolak H0 dan terima H1, yang berarti bahwa peubah penjelas (RVI, TRVI, DVI, NDVI, GNDVI, SAVI, GVI, IPVI dan SLAVI) memiliki kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu persentase penutupan kanopi mangrove. Berdasarkan nilai R2 pada Tabel 22 dan hasil analisa uji anova pada Lampiran 10 dan 11 diketahui bahwa green normalized difference vegetation index (GNDVI) merupakan tranformasi indeks vegetasi yang paling baik untuk melihat kerapatan kanopi mangrove di Kabupaten Berau. Pada Tabel 23 berikut ditampilkan secara lebih jelas model persamaan paling baik untuk tiap transformasi indeks vegetasi.
Y = − 292,43 + (351,00t ) 2
64
Gambar 17 Grafik hasil analisis regresi antara transformasi indeks vegetasi dengan persentase kerapatan kanopi mangrove.
Tabel 23 Persamaan regresi antara persentase penutupan kanopi mangrove dengan hasil transformasi indeks vegetasi
65
No
Formula
Model Persamaan Regresi
(
) (
(
)
(
) (
1
RVI
Y = − 127,11 + (130,79t ) − 25,74t 2 + 1,64t 3
2
TRVI
Y = − 292,43 + (351,00t ) − 79,63t 2 atau
)
Y = − 292,43 + (351,00t ) − 79,63t 2 + 8,51t 3
(
)
) (
)
) (
)
3
DVI
Y = − 15,25 + (0,057t ) + 0,005t 2 − 0,00001t 3
4
NDVI
Y = − 50,28 + (311,54t ) + 10,30t 2 − 242,44t 3
5
GNDVI
Y = 6,72 − (8,34t ) + 749,41t 2 − 839,39t 3
6
SAVI
Y = − 52,01 + (216,08t ) − 5,73t 2 − 68,25t 3
7
GVI
Y = 1,799 + (4,66t ) − 0,099t 2 + 0,0008t 3
8
IPVI
Y = − 644,90 + (1311,70t ) + 13,05t 2 − 619,27t 3
9
SLAVI
Y = 204,89 + (233,65t ) − 69,92t 2 + 5,22t 3
(
(
) (
(
) (
(
) (
(
(
) )
)
) (
) (
)
)
Keterangan: Y = persen penutupan kanopi ; t = hasil formula indeks vegetasi
4.12 Analisis Komponen Utama
Salah satu tantangan dalam analisis peubah ganda adalah mereduksi dimensi dari segugus data peubah ganda yang besar. Hal ini seringkali dilakukan dengan cara mereduksi gugus peubah tersebut menjadi gugus peubah yang lebih kecil atau gugus peubah baru yang jumlahnya lebih sedikit. Peubah-peubah baru tersebut merupakan fungsi dari peubah asal atau peubah asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang signifikan mengenai gugus data tersebut. Pereduksian dimensi ini sangat diperlukan pada saat melakukan eksplorasi data menggunakan plot-plot untuk memberikan informasi secara visual. Penggunaan komponen utama, yang merupakan fungsi linear tertentu dari peubah asal, sering
66
disarankan untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah. Komponen utama mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal. Komponen utama mampu mempertahankan sebagian informasi yang diukur menggunakan keragaman total hanya menggunakan sedikit komponen utama saja. Hasil analisis komponen utama dengan menggunakan data hasil pembakuan peubah asli X menjadi peubah baku Z, diperoleh nilai akar ciri dan vektor ciri (Tabel 24). Tabel 24 Hasil analisis komponen utama dari data Landsat-7 ETM+ Eigen analysis of the Correlation Matrix Eigenvalue
2,5180
1,3057
0,1155
0,0608
Proportion
0,629
0,326
0,029
0,015
Cumulative
0,629
0,956
0,985
1,000
PC1
PC2
PC3
PC4
Kanal 2
-0,522
-0,462
-0,289
0,656
Kanal 3
-0,497
-0,515
0,204
-0,668
Kanal 4
-0,470
0,548
-0,638
-0,268
Kanal 5
-0,510
0,469
0,684
0,226
Variable
Berdasarkan analisis komponen utama pada Tabel 24 menunjukkan bahwa komponen utama pertama (PC1) telah mampu menerangkan 62,9% dari keragaman yang ada, komponen utama kedua (PC2) mampu menerangkan 32,6%, komponen utama ketiga (PC3) mampu menerangkan 2,9%, sedangkan sampai komponen utama keempat (PC4) mampu menerangkan 1,5%. Kedua komponen utama (PC1 dan PC2) tersebut telah mampu menerangkan keragaman total data sebesar 95,6%. Plot scree analisis komponen utama ditampilkan pada Gambar
Nilai Eigen
18.
67
Gambar 18 Plot scree analisis komponen utama. Gambar 18 merupakan plot scree akar ciri empat komponen utama dari data Landsat-7 ETM+. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa plot scree mulai melandai setelah komponen utama ketiga. Namun nilai eigen >1 sampai pada komponen utama kedua sehingga banyaknya komponen utama yang dipilih untuk analisis adalah sebanyak dua komponen, yaitu komponen utama pertama dan komponen utama kedua.
Y = 2,5180 PC1 + 1,3057 PC 2 PC1 = − 0,522 x 2 − 0,497 x3 − 0,470 x 4 − 0,510 x5
PC1 = − 0,462 x 2 − 0,515 x3 + 0,548 x 4 + 0,469 x5 Maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 2,5180 {(− 0,522 x 2 ) − (0,497 x3 ) − (0,470 x4 ) − (0,510 x5 )}
+ 1,3057 {(− 0,462 x 2 ) − (0,515 x3 ) + (0,548 x 4 ) + (0,469 x5 )}
4.13 Overlay Citra Klasifikasi dengan Indeks Vegetasi (GNDVI)
Overlay antara citra klasifikasi dengan transfprmasi indeks vegetasi green normalized difference vegetation index (GNDVI) akan menghasilkan peta
68
mangrove dengan berbagai tingkat kerapatan, yaitu mangrove kerapatan jarang, mangrove kerapatan sedang dan mangrove kerapatan lebat. Tabel 25 ditampilkan luasan mangrove serta perubahannya pada berbagai tiap tingkat kerapatan. Tabel 25 Luasan kerapatan mangrove tahun 1991 dan tahun 2002 Kerapatan mangrove
Th. 1991 (ha)
Th. 2002 (ha)
Perubahan (ha)
Maximum likelihood Non mangrove
60.566,94
61.984,08
1.417,14
Mangrove jarang
1.343,52
1.437,75
94,23
Mangrove sedang
5.625,54
5.685,75
60,21
Mangrove lebat
7.741,62
6.170,04
-1.571,58
57.494,16
58.942,62
1.448,46
Mangrove jarang
2.680,11
3.097,26
417,15
Mangrove sedang
6.699,60
6.384,96
-314,64
Mangrove lebat
8.403,75
6.852,78
-1.550,97
Neural network back propagation Non mangrove
Tabel 25 menunjukkan bahwa ada perubahan penutupan lahan dari mangrove menjadi non mangrove seluas 1.417,14 ha (hasil metode maximum likelihood), atau 1.448,46 ha (hasil metode neural network back propagation). Dengan menggunakan metode neural network back propagation mangrove jarang di daerah penelitian bertambah seluas 417,15 ha, mangrove sedang berkurang seluas 314,64 ha, sedangkan mangrove lebat berkurang dari 8.403,75 ha menjadi 6.852,78 ha.
Jadi mangrove lebat dengan metode neural network back
propagation mengalami penurunan seluas 1.550,97 ha. Hasil overlay antara citra klasifikasi maximum likelihood dengan indeks vegetasi (GNDVI) ditampilkan pada Lampiran 12, sedangkan klasifikasi neural network back propagation dengan indeks vegetasi (GNDVI) pada Lampiran 13. Peta perubahan kerapatan mangrove antara tahun 1991 sampai tahun 2002 metode maximum likelihood ditampilkan pada Lampiran 14, sedangkan peta perubahan kerapatan mangrove antara tahun 1991 sampai tahun 2002 metode neural network back propagation ditampilkan pada Lampiran 15.
69
4.14 Produktivitas Mangrove
Secara umum mangrove telah diketahui sebagai ekosistem produktif yang ekstrem, yang tidak hanya memiliki produktivitas primer yang tinggi, tapi juga mengekspor bahan organik dan mensuport berbagai organisme akuatik (Odum and Heald 1972 diacu dalam Woodroffe 1982). Produktivitas primer adalah jumlah karbon (unsur C) yang dihasilkan oleh tumbuhan yang memiliki klorofil dalam satu kubik air per satuan waktu (Levinton, 1982).
Dalam hal ini,
produktivitas mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari (Sukardjo and Yamada 1992). Dalam rantai makanan alami, ekosistem mangrove merupakan produsen primer antara lain melalui serasah yang dihasilkan, yang merupakan komponen net primary production (Bunt et al. 1979). Serasah hutan mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, akan menghasilkan detritus. Lewat proses dekomposisi, nutrien yang terkandung di dalam serasah atau detritus akan lepas ke perairan dan dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam fotosíntesis untuk pertumbuhannya.
Fitoplankton akan dimangsa oleh
zooplankton, dan fitoplankton serta zooplankton merupakan sumber makanan ikan dan larva ikan untuk. Detritus ini akan dimanfaatkan oleh berbagai ikan dan krustasea (ikan, udang, kepiting dan lain-lain) sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai konsumer puncak. Wafar et al. 1997 menambahkan bahwa serasah ini merupakan elemen penting dalam penghitungan energi dan fluxes nutrien di ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil penelitian TNC dan P4L 2003, secara umum rata-rata hutan mangrove di pesisir Kabupaten Berau mampu memproduksi serasah sekitar 1,482 gr/m2/hari, sehingga mampu memproduksi berat kering serasah sebesar 5,41 ton/ha/tahun. Berdasarkan hasil analisis tersebut, jika mengacu pada luas hutan mangrove daerah studi tahun 1991 dengan luas 17.783,46 ha, maka hutan mangrove daerah studi mampu memproduksi serasah sebesar 96.208,52 ton/tahun, sedangkan tahun 2002 dengan luas 16.335 ha, maka hutan mangrove mampu memproduksi serasah sebesar 88.372,35 ton/tahun.
70
4.15 Hubungan Antara Kerapatan Mangrove dengan Perikanan Tangkap
Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan yang positif antara luas hutan mangrove dengan besarnya hasil tangkapan udang maupun ikan. Menurut Kawaroe (2000), ikan jenis Englauris grayi dengan ukuran panjang total kurang dari 110 mm (Juvenil) banyak dijumpai pada kondisi mangrove yang memiliki produktivitas serasah tinggi. Ikan dewasa jenis Engraulis grayi dan Trichiurus haumale memerlukan ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan dan produktivitas serasah sedang dan kelas genang tinggi.
Juvenil Mugil
dussumieri banyak ditemukan pada kondisi mangrove dengan produktivitas serasah dan kelas genangan rendah.
Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya
dikatakan bahwa kondisi kualitas ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan, produksi serasah dan kelas genangan akan mencirikan dan berpengaruh terhadap keberadaan ikan. Telah dikemukakan bahwa salah satu manfaat dengan adanya ekosistem mangrove adalah sebagai tempat bertelur, sebagai suplayer dalam siklus rantai makanan dan sebagai tempat berlindung sebagian besar udang dan ikan. Udang bertelur di laut lepas, kemudian telur menetas dan berkembang menjadi larva, nauplius, mysis, post mysis dan udang juvenil.
Selama perkembangannya,
organisme ini akan terbawa atau mengikuti arus ke daerah pantai dan akan tinggal disini untuk mencari makan dan tumbuh menjadi besar di antara akar-akar pohon bakau. Kalau saatnya tiba, udang juvenil akan bermigrasi ke arah laut lepas dan tumbuh menjadi dewasa. Jadi jelas bahwa keberadaan udang dewasa di lepas pantai sangat dipengaruhi oleh tersedianya tumbuhan bakau dan vegetasi air lainnya di pantai. Gambar 19 dan 20 mencerminkan hubungan antara luas hutan di pantai dengan hasil tangkapan udang di laut (Kaswadji 2007).
71
Gambar 19 Hubungan antara hasil tangkapan udang dengan pantai yang bervegetasi: data dari Louisiana dan Teluk Mexico bagian timur laut (modifikasi dari Turner 1977 diacu dalam Kaswadji 2007).
Gambar 20 Hubungan antara hasil tangkapan udang dengan pantai yang bervegetasi: data dari Mosambik, Madagaskar, Thailand, Sumatera, Irian Jaya dan Australia (Kaswadji 2002). Gambar 19 dan 20 menunjukkan bahwa semakin luas pantai yang ditumbuhi tumbuhan, semakin besar hasil tangkapan udang di perairan di depannya.
Gambar 20 menunjukkan hubungan yang didasarkan pada area
mangrove dan produksi udang di Mozambique, Madagaskar, Thailand Barat, Irian, Papua dan Australia Utara, secara kasar mengikuti formula:
Y = 2,3559 X − 1.391,9 Lebih lanjut, Kaswadji 2002 sesuai dengan rumusan diatas memperkirakan produksi udang di Teluk Bintuni per meter persegi luasan mangrove adalah 2,84 gr/m2/tahun.
72
Jika mengacu pada hasil monitoring luas mangrove daerah studi dengan menggunakan citra Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+, maka tahun 1991 dengan luas mangrove 17.783,46 ha, secara kasar dengan merujuk pada perhitungan diatas maka hutan mangrove di lokasi studi mampu memberikan produksi potensial udang seberat 505,05 ton/tahun, sedangkan tahun 2002 dengan luas mangrove 16.335 ha, maka mampu memberikan produksi potensial udang seberat 463,91 ton/tahun. Berikut pada Tabel 26 ditampilkan produksi hasil perikanan tangkap di Kabupaten Berau. Tabel 26 Produksi hasil perikanan tangkap Kabupaten Berau 2000 (ton)
2001 (ton)
2002 (ton)
2003 (ton)
2004 (ton)
2005 (ton)
Pulau Derawan
4.336,4
4.687,1
5.016,7
5.410,5
-
4.123,6
Talisayan
3.822,9
4.036,3
4.315,7
1.765,4
-
1.335,7
Biduk-biduk
1.206,3
1.229,6
1.335,8
1.475,3
-
1.394,2
1010
533,5
571
617
-
739,7
974
706,3
750
767,1
-
767,9
Kecamatan
Gunung Tabur Sambaliung
Pada Tabel 26 tersebut terlihat bahwa produksi perikanan tangkap antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 mengalami peningkatan.
Namun
peningkatan hasil perikanan tangkap ini belum bisa dibuktikan karena pengaruh dari kerapatan mangrove. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh bertambahnya jumlah kapal maupun alat tangkap.
TNC mencatat bahwa alat tangkap di
Kabupaten Berau meningkat selama kurun waktu 1995-2002, dimana pada tahun 1995 tercatat sebanyak 1.565 unit dan tahun 2002 tercatat sebanyak 2.023 unit.
Peningkatan jumlah kapal maupun alat tangkap tersebut kemungkinan juga yang menyebabkan over fishing, sehingga pada tahun 2005 telah mengalami penurunan tangkapan ikan. Demikian yang dirasakan oleh nelayan kabupaten Berau, bahwa produksi perikanan menurun sangat signifikan.
73
Hubungan antara kerapatan pada ekosistem mangrove dengan hasil tangkapan dalam penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Data yang diperlukan dalam pengkajian ini diantaranya data hasil tangkapan yang disertai lokasi/posisi geografis yang pasti, serta data ikan yang bersifat menetap maupun ikan yang hanya melintas di perairan tersebut.