22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP. Hasil analisis sebaran kelompok umur dibedakan berdasarkan masing-masing stasiun dari bulan Mei - Oktober 2011. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
n = 54 n = 54
n n= = 30 30
n = 44
n = 57
n = 76 n = 86
n = 88
n = 92
n = 49
n = 85
n = 70
n = 84
(a)
(b)
Gambar 6. Sebaran kelompok umur tiram (a) stasiun non muara sungai (b) stasiun muara sungai
23
Sebaran kelompok umur di stasiun non muara sungai pada bulan Mei memiliki satu kelompok umur yaitu pada panjang rata-rata 50,89 mm. Selanjutnya, pada bulan Juni terdapat enam kelompok umur dengan panjang ratarata 36,54 mm, 50,44 mm, 60,78 mm, 71,60 mm, 100,81 mm, dan 115,80 mm. Pada bulan Juli memiliki tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 39,78 mm, 51,88 mm, dan 73,30 mm. Pada bulan Agustus terdapat empat kelompok umur pada panjang rata-rata 32,45 mm, 40,44 mm, 52,04 mm, dan 72,58 mm. Pada bulan September memiliki empat kelompok umur dengan panjang rata-rata 36,89 mm, 46,46 mm, 55,37 mm, dan 66,82 mm. Pada bulan Oktober memiliki tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 47,31 mm, 66,64 mm, dan 83,30 mm. Sebaran kelompok umur di stasiun muara sungai pada bulan Mei terdapat tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 38,66 mm, 48,62 mm, dan 67,32 mm. Pada bulan Juni memiliki lima kelompok umur yaitu pada panjang rata-rata 36,71 mm, 52,20 mm, 63,02 mm, 70,67 mm, dan 103,30 mm. Pada bulan Juli terdapat empat kelompok umur dengan panjang rata-rata 40,30 mm, 50,72 mm, 57,66 mm, dan 76,13 mm. Pada bulan Agustus memiliki empat kelompok umur pada panjang rata-rata 39,62 mm, 48,84 mm, 59,38 mm, dan 84,97 mm. Pada bulan September terdapat tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 52,11 mm, 72,54 mm, dan 84,36 mm. Pada bulan Oktober memiliki empat kelompok umur pada panjang rata-rata 39,78 mm, 52,05 mm, 64,11 mm, dan 75,49 mm. Pertumbuhan populasi tiram pada masing-masing stasiun memiliki perbedaan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai panjang asimptotik, koefisien pertumbuhan, dan umur teoritis. Panjang asimptotik (L∞) adalah panjang maksimum tubuh tiram yang tidak dapat di capai. Koefisien pertumbuhan (K) merupakan kemampuan tiram saat tumbuh yang dihitung secara kuantitatif. Umur teoritis yaitu umur tiram pada saat panjang nol. Nilai panjang asimptotik di stasiun non muara sungai adalah 121,59 mm, sedangkan di stasiun muara sungai adalah 108,46 mm. Nilai koefisien pertumbuhan di stasiun non muara sungai adalah 1,2, sedangkan di stasiun muara sungai adalah 1,0. Umur teoritis di stasiun non muara sungai adalah -0,0895, sedangkan di stasiun muara sungai adalah -1,4720. Perbedaan tersebut dapat diduga karena kondisi fisika kimia perairan di stasiun
24
non muara sungai dan stasiun muara sungai memiliki perbedaan. Pertumbuhan tiram dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi lingkungan perairan. Nilai panjang asimptotik stasiun non muara sungai lebih besar dibandingkan dengan stasiun muara sungai, sehingga dapat diduga bahwa tiram yang terdapat pada stasiun muara sungai lebih cepat mati dibandingkan dengan stasiun non muara sungai. Nilai koefisien pertumbuhan stasiun non muara sungai lebih besar dibandingkan dengan stasiun muara sungai, sehingga tiram di stasiun non muara sungai lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan stasiun muara sungai. Hal ini dapat diduga karena kondisi lingkungan perairan di stasiun non muara sungai lebih baik bagi kehidupan tiram dibanding dengan kondisi lingkungan perairan di stasiun muara sungai. Jumlah kohort (kelompok umur) yang dihasilkan di stasiun non muara sungai berkisar mulai dari satu hingga enam kohort, sedangkan di stasiun muara sungai berkisar mulai dari tiga hingga lima kohort. Jumlah kohort terendah di stasiun non muara sungai yaitu pada bulan Mei, sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan Juni. Jumlah kohort terendah di stasiun muara sungai yaitu pada bulan Mei dan September, sedangkan yang tertinggi pada bulan Juni. Jumlah kohort tertinggi pada stasiun non muara sungai dan muara sungai masing-masing sama, yaitu di bulan Agustus. Faktor fisika perairan yang menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi benthos seperti bivalvia yaitu suhu (Odum 1998 in Sitorus 2008), sedangkan suhu dimasing-masing stasiun mendukung kehidupan biota perairan termasuk tiram. Selain itu, kandungan bahan organik terlarut maupun dalam sedimen dapat mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran, dan kepadatan tiram (Levinton 1982).
4.2. Kepadatan Kepadatan populasi tiram pada masing-masing stasiun dan setiap bulan mengalami perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi secara fluktuatif pada skala temporal. Hasil kepadatan populasi tiram pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
25
Tabel 2. Jumlah kepadatan tiram (ind/m2) Bulan Non Muara Sungai Muara Sungai
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
18±2,00
15±3,21
26±1,53
31±3,22
17±4,62
24±4,04
10±4,58
19±10,82
29±2,08
30±11,24
29±6,11
28±7,94
Jumlah kepadatan populasi tiram tertinggi di stasiun non muara sungai yaitu pada bulan Agustus sebesar 31 ind/m2 dengan simpangan baku sebesar 3,22 dan terendah pada bulan Juni sebesar 15 ind/m2 dengan simpangan baku sebesar 3,21. Jumlah kepadatan populasi tiram tertinggi di stasiun muara sungai yaitu pada bulan Agustus sebesar 30 ind/m2 dengan simpangan baku sebesar 11,24 dan terendah pada bulan Mei sebesar 10 ind/m2 dengan simpangan baku sebesar 4,58 (Gambar 7). Variasi yang tidak terlalu besar tersebut menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki karakter yang tidak jauh berbeda antar satu stasiun dengan stasiun lainnya. Kepadatan populasi pada masing-masing stasiun masuk pada kategori kepadatan sedang, karena memiliki kisaran kepadatan 10-31 ind/m2. Menurut Tuan (2000) kerang dengan kepadatan 50-100 ind/m2 disebut kepadatan maksimum, kepadatan 16-50 ind/m2 disebut kepadatan sedang, dan kepadatan 716 ind/m2 disebut kepadatan minimum. Kepadatan populasi tiram pada bulan Mei dan Agustus di stasiun non muara sungai lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun muara sungai, sedangkan pada bulan Juni, Juli, September, dan Oktober di stasiun non muara sungai lebih rendah dibandingkan dengan stasiun muara sungai. Tinggi rendahnya kepadatan suatu area dapat menunjukkan sebaran spasial suatu biota. Berdasarkan hasil perhitungan, kepadatan stasiun muara sungai lebih tinggi (24,16 ind/m2) dibandingkan dengan non muara sungai (21.83 ind/m2) tersebut cukup menunjukkan bahwa stasiun muara sungai memiliki sifat sebaran spasial yang lebih luas dibandingkan stasiun non muara sungai.
26
Gambar 7. Grafik kepadatan tiram stasiun non muara sungai dan stasiun muara sungai
Kepadatan populasi tiram di stasiun muara sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun non muara sungai. Nilai simpangan baku di stasiun muara sungai pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan stasiun non muara sungai. Hal tersebut menunjukkan adanya variasi kepadatan tiram yang besar di stasiun muara sungai. Hal ini dapat diduga stasiun muara sungai memiliki kandungan bahan organik dan makanan yang melimpah. Variasi kepadatan tiram di stasiun non muara sungai cenderung kecil. Hal tersebut dapat diduga karena adanya aktivitas manusia seperti nelayan yang mengambil tiram untuk dikonsumsi pribadi. Salinitas yang berbeda pada masing-masing stasiun dapat mempengaruhi kepadatan populasi tiram. Kisaran salinitas di stasiun muara sungai (28-30 ‰) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan stasiun non muara sungai (32-36 ‰). Romimohtarto (1985) in Sitorus (2008) menyatakan bahwa tiram dapat hidup pada kisaran salinitas 15-32‰, bahkan dapat bertahan hidup pada salinitas <15 ‰. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan di stasiun muara sungai lebih sesuai, sehingga kepadatan populasi tiram di stasiun muara sungai lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun non muara sungai.
27
4.3. Pola sebaran populasi Pola sebaran populasi tiram yaitu seragam, karena pada setiap bulan dan di masing-masing stasiun nilai Indeks Morisita < 1 (Tabel 3). Hasil pola sebaran populasi tiram yang bersifat seragam, kemudian dilanjutkan dengan uji ChiSquare untuk memastikan pola sebaran populasi tiram bersifat seragam atau tidak (Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Indeks Morisita (Id) dan hasil uji Chi-Square
Id
Non Muara Sungai X² hitung Keterangan
Id
Muara Sungai X² hitung Keterangan
Mei
0,8574
0,4444
Seragam
0,8690
4,2000
Seragam
Juni
0,8467
1,4091
Seragam
1,0771
12,3158
Mengelompok
Juli
0,8958
0,1842
Seragam
0,9094
0,3023
Seragam
Agustus
0,9195
0,6739
Seragam
1,0071
8,6136
Mengelompok
September
0,8878
2,6122
Seragam
0,9361
2,6353
Seragam
Oktober
0,9043
1,4000
Seragam
0,9578
4,5000
Seragam
2
X tabel=5,9910
Uji Chi-Square dilakukan pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan H0 = Tidak berbeda nyata yang berarti pola sebaran jenisnya bersifat seragam dan H1 = Berbeda nyata yang berarti pola sebaran jenisnya tidak bersifat seragam. Hasil dari X2 hitung pada masing-masing stasiun dan setiap bulan lebih kecil dibandingkan X2 tabel, namun bulan Juni dan Agustus di stasiun muara sungai memiliki nilai X2 hitung lebih besar dibandingkan X2 tabel yang berarti tolak H0. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gagal tolak H0 yang berarti tidak berbeda nyata pola sebaran jenisnya bersifat seragam. Pola sebaran populasi tiram bersifat seragam, namun keadaan di alam yang sebenarnya tiram tersebar secara mengelompok. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan maupun kesediaan makanan pada perairan tersebut sesuai dengan habitat tiram (Sitorus 2008). Selain itu, terkait dengan pengambilan contoh tiram yang tidak dilakukan secara acak dan plot transek kuadrat yang jumlahnya masih kurang dan belum memenuhi kaidah statistik.
28
Pada penelitian terdahulu, ditemukan pola sebaran populasi tiram yang bersifat mengelompok maupun seragam. Supriyantini et al. (2003) melakukan penelitian di Demak dan hasil pola sebaran populasi tiram adalah mengelompok. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Suryono et al. (2002) di Rembang dan penelitian yang dilakukan oleh Swartinah (2005) di Jepara memperoleh hasil pola sebaran populasi tiram bersifat mengelompok. Namun, pada penelitian Widiastuti (1998) diperoleh hasil pola sebaran populasi tiram yang bersifat seragam. Berikut merupakan gambar tiga pola dasar penyebaran (Gambar 8).
Gambar 8. Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat
4.4. Uji Kesamaan Habitat Uji kesamaan habitat dilakukan untuk mengetahui karakteristik lingkungan dari dua stasiun pengambilan contoh. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata dan simpangan baku masing-masing parameter kualitas fisika dan kimia air pada masing-masing stasiun, diperoleh parameter yang memiliki nilai simpangan baku terbesar adalah kedalaman. Oleh karena itu, data yang digunakan untuk menentukan kesamaan habitat adalah data kedalaman (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil pengukuran kedalaman (cm) perairan Mei Juni Juli Agustus September Oktober Rata-rata±SB
Non Muara Sungai 85 70 70 80 90 150 90,83±30,07
Muara Sungai 186 160 160 125 100 120 141,83±30,00
29
4.5. Parameter Fisika Kimia Perairan Hasil parameter fisika kimia perairan pada masing-masing stasiun berbeda. Selain itu, nilai parameter fisika kimia perairan mengalami fluktuasi setiap bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan cuaca pada setiap bulan. Hasil pengukuran dan perhitungan parameter-parameter fisika kimia perairan dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai suhu di stasiun non muara sungai berkisar antara 29-31 °C, sedangkan di stasiun muara sungai berkisar antara 26-33 °C. Kemudian, salinitas pada stasiun non muara sungai berkisar antara 32-36 ‰, sedangkan pada stasiun muara sungai berkisar antara 28-30 ‰. Kedalaman pada stasiun non muara sungai berkisar antara 70-150 cm, namun pada stasiun muara sungai berkisar antara 100-186 cm. Nilai kecerahan pada stasiun non muara sungai berkisar antara 25-70 cm, namun pada stasiun muara sungai yaitu berkisar antara 20-40 cm. Nilai TSS dan TDS pada bulan Mei di masing-masing stasiun tidak ada, karena tidak dilakukan analisis kualitas air. Nilai TSS di stasiun non muara sungai berkisar antara 4-31 (mg/l) dan stasiun muara sungai berkisar antara 2-93 (mg/l). Nilai TDS di stasiun non muara sungai berkisar antara 3.670-31.500 (mg/l), sedangkan di stasiun muara sungai berkisar antara 3.350-32.800 (mg/l). Tekstur substrat pada masing-masing stasiun umumnya memiliki tekstur liat. Nilai pH di masing-masing stasiun dan pada setiap bulan rata-rata sebesar 7. Nilai DO di stasiun non muara sungai berkisar antara 3,2-5,2 (mg/l), sedangkan di stasiun muara sungai berkisar antara 2,4-4,4 (mg/l). Nilai C-organik pada bulan Mei di stasiun non muara sungai sebesar 1,12 % dan di stasiun muara sungai sebesar 3,27 %, sedangkan pada bulan Oktober di stasiun non muara sungai sebesar 5,99 % dan di stasiun muara sungai sebesar 4,31 %. Parameter fisika kimia perairan yang terdapat di perairan Pantai Mayangan dibandingkan dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004 tergolong baik. Menurut Sutarmanto et al. (1995) kisaran suhu yang baik bagi biota laut adalah 25-35 °C, sedangkan nilai kisaran suhu yang terdapat di stasiun non muara sungai maupun stasiun muara sungai masih berada dalam ketentuan kisaran tersebut. Nilai suhu diperairan dapat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam
30
perairan, ketinggian geografis, dan luas penutupan vegetasi mangrove (Odum 1994). Ketinggian geografis di stasiun muara sungai lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun laut, sehingga suhu yang terdapat di stasiun muara sungai memiliki nilai kisaran yang lebih besar dibandingkan stasiun non muara sungai. Nilai TDS pada masing-masing stasiun melebihi batas kisaran nilai TDS menurut Barus (2004) berkisar antara 500-2.000 mg/l. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai kecerahan dan warna air pada masing-masing stasiun. Kecerahan dapat dipengaruhi oleh kekeruhan. Kekeruhan dapat menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton 1982). Bivalvia umumnya memiliki habitat hidup di daerah berlumpur atau berpasir, substrat lempung, kayu, dan batu (Suwigyo 2005). Hal ini sesuai dengan hasil tekstur substrat yang terdapat di stasiun non muara sungai maupun stasiun muara sungai yang umumnya bersifat liat (lempung). Salinitas pada tiap bulan mengalami perubahan. Pola gradien salinitas bergantung pada musim, topografis, pasang surut, dan jumlah air tawar yang masuk (Nybakken 1992). Nilai salinitas meningkat seiring dengan menurunnya nilai suhu dan meningkatnya nilai DO (Levinton 1982). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu di stasiun non muara sungai saat terjadi peningkatan salinitas, maka nilai DO mengalami peningkatan, begitupun sebaliknya. Nilai pH bagi hewan akuatik berkisar dari 6,0-8,5 (Romimohtarto 1985). Kisaran nilai pH pada masing-masing stasiun berada pada kisaran tersebut, sehingga tiram dapat hidup pada habitat yang memiliki kisaran nilai pH 7-8. Nilai DO pada suatu perairan adalah 4 mg/l (Sastrawijaya 1991). Namun, pada hasil penelitian masih didapatkan nilai DO < 4 mg/l. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan tiram. Nilai DO di stasiun non muara sungai lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun muara sungai. Hal ini terjadi sebab lokasi stasiun muara sungai memiliki nilai salinitas yang lebih rendah karena lebih banyak menerima masukan air tawar. Kandungan C-organik pada masing-masing stasiun memiliki kriteria mulai dari rendah hingga sangat tinggi. Kriteria ini diperoleh berdasarkan Djainuddin et al. (1994) in Siahaan (2006) bahwa kandungan C-organik < 1% dikatakan sangat
31
rendah, 1-2 % dikatakan rendah, 2,01-3 % dikatakan sedang, 3,01-5 % dikatakan tinggi, dan > 5 % dikatakan sangat tinggi. Kondisi mangrove di stasiun non muara sungai dan stasiun muara sungai memiliki perbedaan. Kondisi mangrove di stasiun non muara sungai di dominasi oleh pohon dan tidak terdapat semai serta anakan, sedangkan di stasiun muara sungai terdapat pohon, anakan, dan semai. Kerapatan mangrove di stasiun non muara sungai lebih kecil dibandingkan dengan stasiun muara sungai. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 9. bahwa mangrove di stasiun non muara sungai terlihat lebih jarang dibandingkan dengan stasiun muara sungai. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh pasang surut yang terjadi di masing-masing stasiun. Stasiun non muara sungai merupakan stasiun yang didominasi oleh sistem laut, sehingga lebih banyak terkena dampak pasang surut air laut. Pada stasiun muara sungai merupakan stasiun yang di dominasi oleh sistem sungai, sehingga pengaruh pasang surut lebih kecil dibandingkan stasiun non muara sungai. Selain itu, mangrove di stasiun non muara sungai mudah terkena abrasi dibandingkan pada stasiun muara sungai. Berdasarkan hasil penelitian kerapatan mangrove yang lebih tinggi memiliki kepadatan populasi tiram yang lebih tinggi, sedangkan kerapatan mangrove yang lebih rendah memiliki kepadatan populasi tiram yang lebih rendah pula. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan populasi tiram dipengaruhi oleh kerapatan mangrove dan kerapatan mangrove berbanding lurus dengan kepadatan populasi tiram.
Stasiun non muara sungai
Stasiun muara sungai
Gambar 9. Kondisi mangrove di perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat
32
Menurut Badan Riset Kelautan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP DKP) tahun 2009, luas hutan mangrove di wilayah perairan Pantai Mayangan sekitar 290 Ha. Selain itu, diperkirakan perairan sebelah utara Desa Mayangan terkena abrasi sekitar 100 Ha, sehingga diperkirakan luas hutan mangrove hanya sekitar 190 Ha. Berdasarkan Google Earth Image TerraMetrics (2007) diperkirakan ±25 % ditumbuhi oleh pohon bakau atau sekitar 196,5 Ha. Lahan mangrove bagian utara Desa Mayangan merupakan wewenang Dinas Kehutanan setempat yang dapat digunakan sebagai areal tambak dengan ketentuan setiap petak masih ditumbuhi pepohonan bakau sekitar 80 %. Namun, kenyataannya terdapat sebagian masyarakat telah mengkonversikan hampir separuh lahan tersebut (BRKP DKP 2009). Menurut analisis Citra Satelit Landsat tahun 2005/2006, luas hutan mangrove di Kabupaten Subang diperkirakan sekitar 885,92 Ha, yang terdiri dari 552,88 Ha di Kecamaatan Blanakan dan 333,05 Ha di Kecamatan Legon Kulon. Desa Mayangan termasuk ke dalam Kecamatan Legon Kulon. Berdasarkan data yang diperoleh terjadi penurunan luas lahan mangrove di Perairan Pantai Mayangan dari tahun 2005/2006 dengan luas lahan 333,05 Ha dan pada tahun 2009 dengan luas lahan 190 Ha. Hal ini dapat disebabkan oleh abrasi yang terjadi di wilayah perairan tersebut.
4.6. Strategi Pengelolaan Strategi pengelolaan tiram yang dapat diterapkan agar sumberdaya tiram di Perairan Pantai Mayangan tetap lestari dan berkelanjutan, yaitu adanya pengaturan wilayah pemanfaatan tiram oleh masyarakat sekitar perairan. Pemanenan tiram dapat dilakukan pada stasiun yang memiliki kepadatan populasi tiram lebih tinggi yaitu di stasiun muara sungai, karena jika terus dilakukan pemanenan di stasiun yang memiliki kepadatan tiram lebih rendah dapat menyebabkan degradasi populasi tiram di wilayah tersebut. Selain itu, kondisi mangrove yang memiliki kepadatan populasi tiram lebih rendah dapat dijaga agar kerapatannya tidak berkurang.