4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Sintesis polistiren dilakukan dalam reaktor polimerisasi dengan suasana vakum. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontak dengan udara karena stiren dapat mengalami reaksi autooksidasi. Adanya udara dalam monomer dapat menyebabkan reaksi polimerisasi tidak dapat berlangsung dikarenakan terhambatnya aktivitas inisiator benzoil peroksida oleh oksigen. Penelitian sebelumnya [Rohandi, 2006], menunjukkan bahwa rendemen polistiren yang paling tinggi, diperoleh
dengan waktu polimerisasi 16 jam dengan perbandingan
stiren:benzoil peroksida 500:1 (DPn 500). Pada penelitian ini, proses polimerisasi dilakukan dengan metode yang sama dan diperoleh rendemen rata-rata 80%. Polistiren yang dihasilkan tidak sepenuhnya murni, kemungkinan masih terdapat monomer yang tidak mengalami reaksi polimerisasi. Oleh karena itu, diperlukan proses pemurnian lebih lanjut melalui proses pelarutan dan pengendapan. Setelah dimurnikan, diperoleh polistiren berwarna putih dengan bentuk serbuk yang halus.
4.1.1 Analisis Gugus Fungsi Analisis gugus fungsi bertujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada dalam polimer. Secara kualitatif, dapat dilakukan dengan membandingkan puncak-puncak serapan yang ada pada spektrum inframerah
dengan tabel korelasi. Polistiren memiliki puncak
karakteristik yaitu puncak ulur = C-H aromatik pada daerah 3100-3000 cm-1, puncak ulur cincin benzen pada 1675-1500 cm-1 dan puncak ulur benzen monosubsitusi pada daerah 770-690 cm-1. Spektrum inframerah untuk polistiren serbuk hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar
4.1,
yang
menunjukkan
puncak
serapan
khas
untuk
polistiren.
25
Gambar 4. 1 Spektrum Inframerah Polistiren Tabel 4. 1 Puncak serapan spektrum IR Polistiren Bilangan gelombang ( cm-1)
No
Jenis vibrasi
1
3025, 3059, dan 3081
Ulur =C-H aromatik
2
2849 dan 2922
Ulur cincin benzen
3
1601
Ulur C=C aromatik
4
756 dan 697
Ulur benzen monosubsitusi
4.1.2 Analisis Permukaan Polistiren Foto permukaan dari film polistiren diambil menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran 200X. Film polistiren yang dihasilkan bersifat transparan dan homogen. Hasil mikroskop optik menunjukkan struktur permukaan polistiren yang halus dan tidak berpori (Gambar 4.2).
Gambar 4. 2 Mikrograf polistiren dengan perbesaran 200X
26
4.1.3 Analisis Kristalinitas dan Sifat Termal Polistiren Reaksi polimerisasi radikal bebas dicirikan dari hasil reaksi yang tidak teratur (acak). Oleh karena itu, polistiren yang dihasilkan cenderung memiliki struktur yang acak atau struktur ataktik. Hasil ini didukung oleh data difraktogram XRD polistiren yang menunjukkan bahwa kristalinitas dari polistiren yang terbentuk sangat rendah, sebesar 40,76%.
Gambar 4. 3 Difraktogram Polistiren Termogram hasil analisis menggunakan TG/DTA dari polistiren dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. 4 Termogram Polistiren
27
Dari termogram TGA (warna biru) terlihat bahwa polistiren hasil sintesis terdekomposisi pada suhu 343,0- 450°C. Termogram DTA (warna hijau) dari polistiren menunjukkan bahwa polistiren hasil sintesis tidak mempunyai suhu transisi gelas (Tg) ataupun suhu pelelehan (Tm). Berdasarkan literatur [www.matweb.com, 2006], polistiren memiliki Tg pada suhu 83100°C dan Tm pada suhu 190-260°C. Perbedaan ini dapat disebabkan karena polistiren hasil sintesis mempunyai derajat kristalinitas yang rendah, seperti terlihat pada difraktogram polistiren (Gambar 4.3). Selain reaksi polimerisasi terjadi melalui radikal bebas, rendahnya kristalinitas dapat juga disebabkan pada saat proses pendinginan. Pada proses pendinginan, polimer yang berada pada suhu tinggi, langsung didinginkan ke suhu ruang. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adanya waktu bagi rantai polimer untuk mengatur diri,sehingga rantai polimer menjadi tidak teratur.
4.2 Nitrasi Polistiren Polistiren merupakan polimer yang bersifat nonpolar. Agar diperoleh polistiren yang mempunyai gugus polar, polistiren dimodifikasi melalui proses nitrasi. Melalui proses ini, diperoleh polistiren dengan gugus polar NO2. Untuk membuktikan polistiren telah mengalami nitrasi, dilakukan analisis gugus fungsi dengan FTIR. Spektrum polistiren ternitrasi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4. 5 Spektrum Inframerah Polistiren ternitrasi Terdapat perbedaan antara spektrum polistiren (Gambar 4.1) dengan spektrum polistiren ternitrasi, yaitu adanya puncak serapan pada bilangan gelombang 1519 , dan 855 cm-1.
28
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1519 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-NO2. Sedangkan puncak serapan pada 855 cm-1, menunjukkan adanya benzen disubsitusi pada posisi para. Polistiren tersubsitusi pada posisi orto dapat juga dilakukan, akan tetapi produk ini tidak dominan. Hal ini dikarenakan terjadi halangan sterik yang lebih besar jika NO2 masuk ke posisi tersebut, sehingga diperlukan energi yang lebih besar. Keadaan tersebut kurang disukai, sehingga produk dengan disubsitusi pada posisi orto sangat rendah. Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa polistiren telah berhasil dinitrasi. Polistiren ternitrasi yang diperoleh bersifat rapuh, berwarna kuning, dan dapat larut dalam DMF.
4.3 Isolasi Kitin dan Transformasi Menjadi Kitosan 4.3.1 Isolasi Kitin dari Kulit Udang Bahan baku isolasi kitin adalah kulit udang yang terdiri dari bagian kepala, badan, dan ekor. Kulit udang ini diproses melalui beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan penghilangan warna. Pada tahap isolasi diperoleh kitin sebesar 19,60 gram dari kulit udang kering sebanyak 60 gram. Rincian massa dan rendemen tiap proses dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4. 2 Rincian Massa dan Rendemen Proses Isolasi Kitin Proses
Massa (gram)
Kulit udang kering
Rendemen
60
Penghilangan protein (deproteinasi)
38,31
63,85%
Penghilangan mineral (demineralisasi)
22,18
36,97%
Penghilangan warna
19,60
32,67%
Untuk menghilangkan protein, digunakan larutan NaOH 3,5% dengan suhu reaksi 65°C. Diperlukannya suhu yang cukup tinggi
karena protein diikat oleh kitin melalui ikatan
kovalen dan membentuk kompleks yang stabil, sehingga sulit untuk melepasnya. Kitin hasil deproteinasi dan demineralisasi berwarna kuning kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh adanya pigmen astaxanthin dan kantaxanthin yang terikat pada kitin [Kristi, 2001]. Penghilangan warna dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan aseton. Penghilangan warna kitin perlu dilakukan karena ikatan rangkap –C=C- pada senyawa berwarna dapat menggangu analisis gugus fungsi dengan FTIR. Hal ini disebabkan karena bilangan gelombang ikatan rangkap
–C=C= dengan –C-N- hampir sama yaitu pada bilangan
-1
gelombang 1675-1500 cm .
29
Spektrum inframerah kitin hasil isolasi dari kulit udang dapat dilihat pada Gambar 4.6. Puncak-puncak serapan menunjukkan adanya gugus OH, NH2, C=O amida dan CH3. Jenis vibrasi gugus-gugus tersebut dapat dilihat pada tabel 4.3. Data-data berikut ini menunjukkan bahwa kitin berhasil diisolasi dari kulit udang.
97.5
468.70 590.22
538.14
750.31 1074.35
1024.20
1157.29
1114.86
1377.17
3450.65
82.5
694.37
1315.45
3271.27
1658.78 1629.85
1568.13
1544.98
90
2927.94 2885.51
3111.18
%T
75
4000
3000
2000
1500
1000
khitin
500 1/cm
Gambar 4. 6 Spektrum Inframerah Kitin Tabel 4. 3 Puncak Serapan Spektrum Inframerah Kitin No
Bilangan gelombang ( cm-1)
Jenis vibrasi
1
3111,18 - 3450,65
Ulur O-H, N-H
2
2885,51- 2927,94
Ulur C-H, CH3
3
1658,78
Ulur C=O amida I
4
1377,17
Ulur C-O-C
4.3.2 Transformasi Kitin Menjadi Kitosan Tahap ini dilakukan melalui reaksi hidrolisis dengan basa kuat. Basa kuat berfungsi untuk melepaskan gugus asetil pada kitin, sehingga dihasilkan kitosan dan ion asetat. Usulan mekanisme reaksi ditunjukkan pada Gambar 4.7 (Fessenden, et al.,1986).
30
H OH H OH
H O
H OH
H O
HO HO
O
H H
NH
O
HO
H
H
C
NH
H O
CH3
H O
O HO
H CH3
C
H
H
NH
H O
n
OH
C
CH3
OH-
H OH H OH
H O
H OH
H O
HO HO
O
H H
O
NH
H O HO
H
C
H
CH3
O
H -
NH
HO
H C CH3
O O
H
H H O
n
NH OH
C
H OH
CH3
H OH H OH
H O
H OH
H O
HO HO
O
H H
O
NH
H O HO
H
H
C
H
CH3
O
-
NH
O
CH3
-
O
-CH3COO
HO H
n
H
H
H
C
O
NH OH
C
H OH
CH3
-
H OH H OH
H O
H OH
H O
HO HO
O
H H
O
NH C
HO
H
H CH3
H
H O
O NH2
HO
H n
H
H H O
NH OH
C
CH3
Gambar 4. 7 Usulan mekanisme reaksi deasetilasi kitin Spektrum Inframerah untuk kitosan yang dapat dilihat pada Lampiran A, menunjukkan puncak serapan yang mirip dengan kitin. Perbedaannya terletak pada intensitas puncakpuncak serapannya, dimana terjadi penurunan intensitas puncak serapan pada bilangan gelombang 1658,78 cm-1 dan sebaliknya terjadi kenaikan puncak serapan pada 3450 cm-1. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan gugus C=O amida I sebagai akibat terbentuknya gugus –NH2.
31
Penentuan derajat deasetilasi dapat dilakukan melalui analisis kuantitatif dari spektrum inframerah kitosan berdasarkan persamaan (3-2) dari Domzy dan Robert (1985). Dari hasil perhitungan (Lampiran A), diperoleh derajat deasetilasi kitosan sebesar 70,92 %.
4.4 Pembentukan Poliblend Pembentukan poliblend antara polistiren dan kitosan dengan penambahan
polistiren
ternitrasi menghasilkan poliblend yang kurang homogen. Film dari poliblend yang terbentuk menunjukkan bagian kitosan tidak bercampur dengan polistiren, terlihat dari warna film yang tidak transparan dan terdapatnya bintik-bintik kuning.
4.4.1 Analisis Gugus Fungsi Spektrum poliblend yang dihasilkan merupakan gabungan puncak-puncak serapan yang terdapat pada polistiren murni, polistiren ternitrasi, dan kitosan (Gambar 4.8).
100
621.08
540.07
767.67 744.52 702.09
906.54
1068.56
968.27
1180.44 1153.43
1367.53 1334.74
1446.61
1026.13
1600.92
1490.97
1730.15 1944.25
1870.95
70
1803.44
4038.94
80
1666.50
90
4249.18
%T
60
40
4500 PS Kitosan
4000
3500
2910.58 2848.86
3059.10
3462.22
50
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 8 Spektrum inframerah poliblend PS:PSn:Kitosan (65:5:30) Spektrum inframerah poliblend dengan komposisi lainnya dapat dilihat pada Lampiran B. Puncak-puncak serapan yang terdapat pada poliblend PS:PSn:Kitosan (65:5:30) hampir sama dengan puncak-puncak polimer penyusunnya. Nilai-nilai puncak serapan dari spektrum poliblend, polistiren dan kitosan dapat dilihat pada tabel berikut:
32
Tabel 4. 4 Data analisis gugus fungsi menggunakan FTIR Bilangan Gelombang (cm-1)
Jenis Vibrasi PS (film)
PSternitrasi
Kitosan
90:0:10
90:5:10
65:5:30
Ulur =C-H aromatik
3080,32
-
-
3080,32
3062,92
3059,10
Ulur cincin benzen
1600,92
-
-
1600,92
1595,13
1600,92
769,6
-
-
769,60
771,53
767,67
-
1519
-
1543,05
1539,20
Intensitas
Ulur cincin benzen monosubsitusi C-NO2
kecil
Benzen disubsitusi
-
855
-
840,96
842,89
842
Ulur O-H, N-H
-
-
3448,72
3449
3448
3462,22
Ulur C=O amida I
-
-
1658,78
1666,50
1668,43
1730,15
*komposisi poliblend = Polistiren: polistiren nitrasi: kitosan Tabel diatas mengidentifikasikan bahwa poliblend yang dihasilkan mengandung gugusgugus fungsi dari polistiren, polistiren ternitrasi, dan kitosan. Spektrum poliblend tidak menunjukkan adanya gugus fungsi yang baru. Hal ini mengindikasikan interaksi yang terjadi antar polimer dalam poliblend berupa interaksi secara fisik.
4.4.2 Analisis Termal Analisis sifat termal pada penelitian ini dilakukan dengan TG/DTA.Hasil analisis terhadap polistiren dan poliblend dengan komposisi PS:Kitosan ( 90:10), PS:PSn:Kitosan (85:5:10), dan PS:PSn:Kitosan(65:5:30) dapat dilihat pada Gambar 4.9. Sedangkan, termogram untuk masing-masing komposisi dapat dilihat pada Lampiran C.
33
Gambar 4. 9 GabunganTermogram Polistiren dan Poliblend a) PS:Kitosan (90:10), b)PS:PSn:Kitosan (85:5:10), c) dan PS:PSn:Kitosan (65:5:30) Hasil analisis keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.5 dibawah ini: Tabel 4. 5 Data analisis TG/DTA Komposisi Poliblend
Suhu dekomposisi PS
Suhu dekomposisi Kitosan
Polistiren (100)
343,0- 450°C
-
PS :Kitosan (90:10)
346,14-455,8°C
267,4-306,9°C
PS:PSn:Kitosan(85:5:10)
349,0-455,8°C
269,7-311,6°C
PS:PSn:Kitosan (65:5:30)
352,05-457,0°C
266,2-308,0°C
Termogram TGA menunjukkan adanya dua tahap dekomposisi. Dekomposisi pertama merupakan dekomposisi kitosan dan yang kedua adalah dekomposisi polistiren. Kitosan terdekomposisi terlebih dahulu karena kitosan memiliki stabilitas termal yang lebih rendah dibandingkan polistiren. Polistiren hasil sintesis terdekomposisi pada rentang suhu 343,0450°C. Suhu dekomposisi rata-rata untuk polistiren dalam poliblend dimulai pada suhu 349°C. Kenaikan sifat termal dari polistiren menunjukkan bahwa kehadiran kitosan dan
34
polistiren ternitrasi dalam poliblend mempengaruhi suhu dekomposisi dari polistiren. Kehadiran kitosan yang bersifat kristalin, dapat mengisi bagian polistiren yang kosong sehingga polistiren menjadi lebih rapat dan teratur, akibatnya polistiren lebih sulit terdekomposisi. Pengaruh komposisi kitosan terhadap penurunan % berat poliblend selama analisis TGA dapat dilhat pada tabel 4.6. Tabel 4. 6 Perbandingan berat kitosan yang terdekomposisi Komposisi
% Kitosanawal
% PSawal
(dalam poliblend)
(dalam poliblend)
PS: Kitosan (90:10)
10
PS:PSn: Kitosan (85:5:10) PS:PSn: Kitosan (65:5:30)
% Kitosan yang terdekomposisi
% PS yang terdekomposisi
90
6,25
93,75
10
85
5,14
94,86
30
65
16,43
83,60
Pada poliblend dengan komposisi kitosan 10%, suhu dekomposisi polistiren tanpa penambahan polistiren ternitrasi lebih rendah dibandingkan poliblend dengan penambahan polistiren ternitrasi. Interaksi yang lemah antara polistiren dengan kitosan menyebabkan gaya termal lebih mudah diabsorpsi kitosan. Adanya polistiren ternitrasi, dapat menaikkan suhu dekomposisi polistiren. Namun, peningkatannya tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa polistiren ternitrasi dapat meningkatkan kompatibilitas antara polistiren dengan kitosan. Polististiren ternitrasi dapat menjadi penghubung antara polistiren yang bersifat nonpolar dengan kitosan yang bersifat polar. Polistiren akan berinteraksi dengan bagian nonpolar dari polistiren. Sedangkan, kitosan yang mengandung gugus-gugus fungsi bebas yang bersifat polar akan berinteraksi dengan gugus NO2 dari polistiren ternitrasi. Semakin banyak komposisi kitosan dalam poliblend, suhu dekomposisi kitosan menurun. Namun, penurunannya tidak terlalu signifikan. Penurunan % berat di awal, kemungkinan besar berupa pengotor yang berasal dari kitosan karena pada termogram polistiren murni tidak terlihat adanya dekomposisi awal. Pengotor dapat berupa air yang berasal dari kurang keringnya kitosan saat proses isolasi dan transformasi kitin. Tabel 4.6 menunjukkan adanya perbedaan antara jumlah polimer yang dicampur dalam poliblend dengan jumlah polimer hasil dari dekomposisi, yakni terjadi penurunan komposisi kitosan dibandingkan komposisi awal pembentukan poliblendnya. Hasil % berat polistiren yang diperoleh dari dekomposisi menunjukkan peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan % berat polistiren awal pembentukan poliblend. Hasil ini 35
menunjukkan bahwa adanya sebagian dari kitosan yang masuk ke dalam fasa polistiren, sehingga polistiren menjadi lebih rapat. Sebagian dari kitosan yang tidak masuk ke fasa polistiren tersebut, akan terdekomposisi terlebih dahulu. Hal ini mendukung data suhu dekomposisi polistiren dengan meningkatnya komposisi kitosan. Semakin banyak kitosan dalam poliblend akan semakin banyak pula kitosan yang masuk ke dalam fasa polistiren sehingga suhu dekomposisi fasa polistiren menjadi semakin tinggi.
4.4.3 Analisis Kristalinitas Analisis ini bertujuan untuk menentukan derajat kristalinitas dari poliblend. Penentuan kristalinitas dilakukan dengan membandingkan luas puncak-puncak kristalin dan amorf yang ada pada difraktogram (Lampiran D) berdasarkan persamaan (3-3). Dari hasil analisis, difraktogram memperlihatkan bahwa struktur poliblend cenderung memiliki daerah amorf. Hasil penentuan derajat kristalinitas secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. 7 Data analisis derajat kristalinitas No
Komposisi Poliblend
% Kristalinitas
1
Polistiren (100)
40,76%
2
Polistiren:Kitosan (90:10)
38,14%
3
Polistiren:Polistiren ternitrasi:Kitosan (90:5:10)
41,32%
4
Polistiren:Polistiren ternitrasi:Kitosan (65:5:30)
50,14%
Data diatas menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan kristalinitas dari poliblend dengan bertambahnya kitosan. Kehadiran kitosan yang bersifat kristalin dapat mengisi bagian amorf dari polistiren, sehingga poliblend menjadi semakin teratur dan rapat. Hasil ini didukung oleh hasil analisis sifat termal (TGA), yang menunjukkan adanya sebagian dari kitosan masuk ke dalam fasa polistiren. Kristalinitas poliblend tanpa penambahan polistiren ternitrasi lebih rendah bila dibandingkan poliblend dengan penambahan polistiren ternitrasi pada komposisi yang sama. Pada poliblend tanpa penambahan polistiren ternitrasi, terjadi interaksi non ikatan antara polistiren dengan kitosan dikarenakan adanya perbedaan kepolaran, sehingga strukturnya tidak homogen dan cenderung bersifat tidak teratur (amorf).
Dengan penambahan polistiren
ternitrasi, polistiren dan kitosan dapat terjadi interaksi yang lebih baik, sehingga memungkinkan terbentuk poliblend yang homogen dan kompatibel antara polistiren dengan kitosan, akibatnya kristalinitas poliblendnya meningkat.
36
4.4.4 Analisis Sifat Mekanik Data hasil uji sifat mekanik dapat dilihat pada tabel 4.8. Parameter-parameter sifat mekanik yang diukur pada penelitian ini adalah kekuatan tarik (stress), regangan (strain), dan Modulus Young (E). Tabel 4. 8 Data hasil analisis uji mekanik Komposisi Poliblend
σ (MPa)
ε (%)
E (MPa)
Polistiren (100)
23,83
1,13
2093,54
PS :Kitosan (90:10)
7,58
0,41
1920,82
PS:PSn:Kitosan(85:5:10)
9,52
0,48
2052,49
PS:PSn:Kitosan(80:5:15)
9,99
0,53
1872,29
PS:PSn:Kitosan(75:5:20)
9,34
0,51
1841,06
PS:PSn:Kitosan(65:5:30)
9,68
0,53
1851,05
PS:PSn:Kitosan (55:5:40)
11,47
0,59
1967,90
Hasil analisis sifat mekanik diatas menunjukkan terjadinya penurunan sifat mekanik polistiren dengan adanya penambahan kitosan maupun polistiren ternitrasi. Penambahan kitosan dapat merusak keteraturan fasa polistiren .Pada komposisi kitosan 10%, poliblend tanpa penambahan polistiren ternitrasi memiliki sifat mekanik yang lebih rendah dibandingkan poliblend dengan penambahan polistiren ternitrasi. Hal ini menunjukkan dengan adanya polistiren ternitrasi, poliblend yang dihasilkan memiliki kekuatan mekanik yang lebih baik. Data ini didukung oleh analisis sifat termal (TGA) dan analisis kristalinitas. Walaupun telah ditambahkan polistiren ternitrasi, tetapi sifat mekanik dari poliblend masih lebih rendah dibandingkan polistiren murni. Hal ini dapat disebabkan karena polistiren ternitrasi bersifat sangat brittle/rapuh. Perbedaan sifat mekanik dari poliblend dengan komposisi kitosan 10% hingga 30%, tidak menunjukkan perbedaan nilai yang terlalu signifikan. Poliblend dengan komposisi kitosan 40%, memiliki sifat mekanik yang paling tinggi diantara poliblend yang lainnya,baik itu kekuatan tarik maupun perpanjangan. Meningkatnya sifat mekanik dari poliblend tersebut dapat disebabkan karena karakter dari kitosan sendiri yang bersifat kristalin dan elastis. Dengan mengisi rantai bagian amorf dari polistiren, kitosan dapat meningkatkan struktur poliblend menjadi lebih rapat atau teratur. Polimer yang memiliki keteraturan struktur akan memiliki kekuatan tarik yang lebih baik. Hal ini didukung dari analisis sifat termal, yang menunjukkan adanya sebagian kitosan masuk ke dalam fasa polistiren.
37
Nilai Modulus Young menunjukkan kekakuan dari suatu polimer. Dari seluruh poliblend yang dihasilkan, poliblend dengan komposisi PS:PSn:Kitosan (85:5:10) memiliki nilai yang paling tinggi. Jadi, poliblend tersebut bersifat paling kaku dan mendekati sifat polistiren murni.
4.4.5 Analisis Permukaan Hasil foto mikroskop optik pada poliblend untuk komposisi PS: Kitosan (90:10), PS:PSn:Kitosan(85:5:10), dan PS:PSn:Kitosan (55:5:10) dapat dilihat pada Gambar 4.10. Mikrograf poliblend lainnya dapat dilihat pada Lampiran D.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. 10 Mikrogram Poliblend dengan perbesaran 200X (a) PS:Kitosan (90:10), (b) PS:PSn:Kitosan (85:5:10), (c) PS:PSn:Kitosan (65:5:30) Poliblend hasil pencampuran kitosan dengan polistiren, baik dengan penambahan polistiren ternitrasi maupun tidak, menunjukkan terjadinya perubahan struktur permukaan. Jika dibandingkan dengan struktur permukaan polistiren murni (Gambar 4.2), permukaan dari poliblend cenderung tidak halus dan berpori. Pada komposisi kitosan 10%, poliblend yang ditambahkan polistiren ternitrasi menunjukkan struktur permukaan yang lebih homogen dibandingkan tanpa penambahan polistiren ternitrasi. Penambahan polistiren ternitrasi dapat meningkatkan interaksi antara kitosan dan polistiren. Hal ini mendukung analisis kristalinitas, yang menunjukkan adanya peningkatan derajat kristalinitas dengan adanya polistiren ternitrasi. Selain itu, hasil ini juga mendukung hasil analisis termal yang menunjukkan bahwa sebagian kitosan yang dicampurkan dapat masuk ke bagian polistiren membentuk poliblend yang homogen dan kompatibel. Pengaruh penambahan polistiren ternitrasi berdasarkan analisis permukaan dapat menjelaskan sifat mekanik poliblend. Poliblend dengan penambahan polistiren ternitrasi memiliki sifat mekanik yang jauh lebih baik dibandingkan poliblend tanpa penambahan polistiren ternitrasi.
38
Variasi komposisi kitosan dalam poliblend menyebabkan perbedaan struktur permukaan poliblend. Peningkatan komposisi kitosan dalam poliblend menyebabkan poliblend cenderung semakin homogen, seperti yang terlihat pada gambar 4.10b. Data ini didukung oleh analisis kristalinitas yang menunjukkan bahwa poliblend tersebut memiliki kristalinitas yang lebih tinggi sehingga struktur permukaannya pun akan lebih homogen (teratur).
39