4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi dan Karakteristik Bahan Baku Produk tuna steak dikemas dengan plastik dalam keadaan vakum. Pengemasan dengan bahan pengemas yang cocok sangat bermanfaat untuk mencegah kemunduran mutu. Pengemasan digunakan untuk melindungi bahan dari proses pengeringan. Daya simpan maksimum produk perikanan dapat dicapai bila menggunakan bahan mentah yang benar-benar segar, menggunakan bahan pengemasan yang cocok dan benar-benar melekat pada produk yang dibekukan. Selama pembekuan secara umum produk akan mengalami tiga jenis kerusakan (loss), yaitu kerusakan karena aspek mekanis, hal ini disebabkan oleh produk yang menempel atau terjatuh dari rak atau conveyor, Kemunduran mutu, Pengeringan (dehydration), yaitu berkurangnya kadar air selama produk dibekukan dan disimpan beku. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya salju di atas produk beku atau memutihnya permukaan produk beku itu. Produk tuna steak yang berasal dari pasar swalayan Bogor dalam keadaan yang masih memiliki ciri-ciri produk segar yang ditandai dengan warna daging yang cerah serta setelah melalui proses thawing tekstur tuna steak masih padat dan elastis jika ditekan dengan jari. Pembekuan pada tuna steak untuk menghambat kemunduran mutu pada produk yang disebabkan oleh mikroorganisme, proses kimiawi dan fisik, sehingga dapat memperpanjang daya simpan dan mempertahankan mutu produk. Karakteristik steak ikan tuna meliputi tekstur dan warna. Ikan tuna merupakan ikan yang berlemak tinggi sehingga perlu penanganan hati-hati agar diperoleh bahan baku yang segar. Proses penanganan yang baik dan benar meliputi quick, cold, clean, dan carefully harus diterapkan dari awal ikan ditangkap hingga proses pengolahan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang masih memiliki kriteria ikan segar ketika ikan telah ditangkap maupun melalui proses pengolahan. Karakteristik Ikan tuna dengan sumber pembanding Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada Tabel 4.
25
Tabel 4 Karakteristik Ikan tuna yang digunakan pada penelitian Sampel
Warna
Tekstur
SNI
Yellow fin (BL 1) Albacore (BL 2)
Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna putih dengan guratan merah muda Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna merah kehitaman Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna merah muda pucat Warna daging krem, cerah dan mengkilap Warna daging krem, sangat cerah dan sangat mengkilap
Elastis, padat, kurang kompak, Elastis, kurang padat, dan kurang kompak
7530.1-2009
Nilai organoleptik 7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
9
7530.1-2009
9
01-4485.2006
8
01-4485.2006
8
Bige eye (BL 3) Blue fin (BL4) Bige eye (MB 1) Yellow fin (MB 5) Tuna steak (G3) Tuna steak (E1)
Elastis, padat, kurang kompak Elastis, padat, kurang kompak Elastis, padat dan kompak Elastis, padat dan kompak Tekstur kompak, padat dan elastis Tekstur kompak, padat dan elastis
4.2 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA pada dasarnya untuk melisis jaringan dan mendapatkan DNA yang berkualitas, terpisah dengan komponen lain. Proses ekstraksi dilakukan untuk memperoleh DNA yang berkualitas dimana DNA yang diekstraksi sudah terpisah dengan komponen lain sehingga jika divisualisasi menghasilkan pita yang jelas. Secara garis besar proses ekstraksi DNA terdiri dari tiga tahapan yaitu perusakan dinding sel (lisis), Pemisahan DNA dari bahan lain, dan permurnian DNA (Nicholl 1993 dan Surzycki 2000 dalam Ardiana 2009). Proses ekstraksi DNA dapat menggunakan beberapa cara antara lain dengan CTAB ataupun menggunakan kit komersial. Pada penelitian ini digunakan metode CTAB dan menggunakan kit Vivantis. Bahan baku berupa tuna steak yang diekstraksi menggunakan CTAB dan kit Vivantis. Ekstraksi DNA menggunakan CTAB memerlukan nitrogen cair untuk melisis jaringan atau sel sebab metode CTAB merupakan metode manual dimana larutan dibuat sendiri. Metode CTAB
26
memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan kit komersial. Jaringan daging yang telah diberi nitrogen cair serta penggerusan yang bertujuan untuk melisis jaringan lalu diberi larutan CTAB untuk mengikat DNA. Pemberian larutan proteinase K untuk mendegradasi protein serta kloroform berfungsi untuk membersihkan protein dan polisakarida dari larutan, dengan hilangnya protein dan senyawa pengotor lainnya seperti lemak, RNA maka DNA dapat diekstraksi secara utuh. RNase juga dapat digunakan dalam ekstraksi DNA dimana RNase merupakan enzim yang berfungsi untuk membuang RNA pada proses ekstraksi DNA. RNase bekerja optimum pada suhu 37-45 0C (Dwiyitno 2008). Hasil ekstraksi yang bertujuan mendapatkan DNA dapat dilihat menggunakan gel elektroforesis di bawah sinar UV dengan adanya pita. Hal ini bertujuan dimana hasil ekstraksi akan digunakan sebagai DNA cetakan pada proses PCR (Muladno 2002). Penggunaan proteinase K akan optimum seiring dengan meningkatnya pH. Semakin tinggi pH maka proteinase K akan optimal, begitu sebaliknya. Suhu optimum proteinase K adalah 55-65 0C. Proteinase merupakan suatu endolitik proteinase yang dapat memutus ikatan peptida pada sisi karboksilik dari gugus alifatik, aromatik, dan hidrofobik dari asam amino. Penambahan larutan isopropanol maupun etanol untuk mengkondensasi atau mengendapkan DNA sehingga pada proses akhir ekstraksi DNA diperoleh DNA dalam bentuk pelet yang terdapat pada tabung microtube. Proses ekstraksi DNA merupakan suatu langkah awal utama untuk mendapatkan DNA dimana jika jumlah DNA hasil ekstraksi tidak mencukupi atau tidak terekstraksi maka akan menjadi faktor penghambat pada proses PCR. Ekstraksi DNA juga bertujuan untuk melarutkan komponen selular yang selanjutnya diperoleh DNA. Ekstraksi DNA secara umum menggunakan beberapa larutan seperti pelarut organik serta deterjen untuk mengikat DNA seperti larutan CTAB (Merente et al.1998 dalam Dwiyitno 2008). CTAB (cetyltrimety ammonium bromide) merupakan surfaktan pada proses ekstraksi
DNA
yang
diikuti
dengan
penambahan
Elektroforegram DNA genom dapat dilihat pada Gambar 8.
fenol-kloroform.
27
Gambar 8. Elektroforegram DNA genom
Ket : 1 = Yellow fin 2 = Albacore 3 = Big eye 4 = Blue fin 5 = Big eye
6 = Yellow fin 7 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 8 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 9 = Marker
4.3 Amplifikasi Gen Sitokrom b Amplifikasi dilakukan menggunakan proses PCR yaitu suatu reaksi berantai Polimerase. Proses amplifikasi suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai tunggal. Secara umum proses PCR dibagi menjadi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Proses amplifikasi dapat dilaksanakan jika telah dilakukan proses optimasi PCR dimana proses annealing (penempelan) dapat menempel pada suhu tertentu sehingga proses PCR dapat dilakukan. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus untuk mendapatkan salinan DNA. Amplifikasi gen cyt b menggunakan primer dengan target 750 pasang basa. Primer forward dan reverse akan menempel pada suhu 50-55 0C pada DNA utas tunggal dimana pada saat penempelan proses denaturasi yang mencapai suhu 94 0
C diturunkan suhunya agar primer dapat menempel. Primer yang telah menempel
akan membuat DNA baru dengan bantuan DNA polimerase dan dNTP. Hasil produk PCR akan divisualisasi menggunakan gel elektroforesis dibawah sinar UV. Gel agarosa 2 % digunakan dalam penelitian ini dengan spesifikasi 100 V,
28
400 mA selama satu jam. Produk PCR yang telah dimasukkan ke dalam sumur (well) akan bergerak secara horizontal ke kutub positif. Proses pengujian keaslian dengan metode berbasis DNA menggunakan PCR dimana proses pelipatgandaan salinan DNA terjadi secara in vitro. PCR merupakan suatu metode yang sensitif oleh karena itu agar tidak mendapatkan hasil yang false positive proses dilakukan dengan memperhatikan kebersihan untuk mencegah kontaminan (Glick dan Pasternak 1998). Tahap penentuan suhu annealing (penempelan) dilakukan agar primer dapat menempel pada DNA utas tunggal yang sebelumnya telah di denaturasi dimana suhu PCR berubah-ubah pada setiap tahap yaitu pada tahap denaturasi, annealing, dan elongasi (Glick dan Pasternak 1998). Suhu annealing merupakan langkah yang kritis pada proses amplifikasi. Jika suhu annealing terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi yang tidak spesifik sedangkan jika temperatur terlalu tinggi maka proses amplifikasi tidak akan terjadi (Karusanagar et al. 1999). Hasil elektroforesis produk PCR yang dilakukan dengan 35 siklus pada suhu penempelan (annealing) 50-55 0C menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 750 pasang basa pada semua sampel tuna steak (Thunnus sp). Fragmen DNA yang berukuran 750 pasang basa dengan menggunakan primer fish cyt bf dan cyt b 1-5r berhasil mengamplifikasi DNA target sebesar 750 pasang basa. Hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil elektroforesis produk PCR memiliki ketebalan yang berbeda-beda, pada lajur ketujuh menghasilkan pita yang paling tebal dibandingkan yang lain. Ketebalan pita disebabkan konsentrasi DNA yang terdapat pada lajur tujuh cukup tinggi dibandingkan yang lain yaitu pada DNA yellow fin tuna. Pita yang tipis disebabkan karena konsentrasi DNA sangat sedikit yaitu pada lajur keempat. Adanya perbedaan ketebalan pita yang dihasilkan karena pada proses ekstraksi konsentrasi DNA yang diperoleh berbeda pada setiap sampel yang digunakan. Bayangan yang terbentuk dibawah gen target diduga terbentuknya primer dimer yang disebabkan primer yang saling menempel satu sama lain.
29 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
750 bp 500 bp
Gambar 9. Elektroforegram produk PCR Ket : 1= kontrol (-) 2= Yellow fin 3 = Albacore 4 = Big eye 5 = Blue fin
6 = Big eye 7 = Yellow fin 8 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 9 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 10= Marker
Hasil elektroforegram pada produk PCR dibawah sinar UV memiliki kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan migrasi DNA didalam agarosa ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ukuran molekul DNA, konsentrasi agarosa, konformasi DNA, voltase yang digunakan, adanya ethidium bromida dalam gel serta komposisi larutan buffer. Semakin besar ukuran DNA maka bergerak lebih lambat dibandingkan dengan molekul berukuran kecil. Migrasi DNA di dalam gel akan dipengaruhi oleh konsentrasi gel, gel dengan konsentrasi yang rendah akan menyebabkan migrasi DNA dalam gel bergerak lebih cepat dibanding migrasi DNA pada konsentrasi tinggi. Bentuk DNA akan menyebabkan migrasi dengan kecepatan berbeda. Molekul DNA yang bertumpuk akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan molekul DNA linier. Kecepatan migrasi DNA sebanding dengan tingginya voltase yang digunakan,
umumnya voltase yang digunakan 40-100 volt tergantung pada
panjang gel dan hasil resolusi yang diinginkan (Baker 2000). Ethidium bromida dalam gel akan menyebabkan migrasi DNA berkurang sebesar 15 %. Jika tidak ada larutan buffer dalam larutan, maka aliran listrik akan sangat minimal dan migrasi DNA sangat lambat, dengan larutan buffer yang memiliki kekuatan ion tinggi akan meningkatkan panas sehingga aliran listrik menjadi maksimal.
30
Penggunaan DNA yang berasal dari mitokondria memiliki beberapa alasan seperti jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada inti sel. Penggunaan cyt b didasarkan karena dapat digunakan untuk identifikasi spesies vertebrata yang mengandung informasi spesies yang spesifik dan dapat digunakan untuk filogenetik (Parson et al. 2000). Selain itu laju mutasi pada mitokondria 5-10 kali lebih cepat dibandingkan pada inti. Hal ini dikarenakan mtDNA tidak memiliki mekanisme DNA repair yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk samping. Penggunaan gen cyt b yang terdapat pada mitokondria efektif untuk identifikasi spesies dan analisis filogenetik (Biswas et al. 2005)
4.4 Penentuan Urutan Nukleotida Gen Sitokrom b Proses sekuensing merupakan suatu metode untuk memperoleh urutan nukleotida dari suatu spesies. Proses sekuensing merupakan modifikasi dari replikasi DNA dimana proses ini menyediakan informasi untuk identifikasi spesies (Dwiyitno 2008). Metode sekuensing yang digunakan adalah metode Sanger. Prinsip metode Sanger berdasarkan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Proses sekuensing diawali dengan proses PCR yang dibagi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan
elongasi.
Komponen
lain
yang
ditambahkan
adalah
ddNTP
(dideoxynucleoside triphosphate). Komponen ddNTP terdiri dari komponen dideoxyadenosine, dideoxycytidine, dideoxyguanidine, dan dideoxythymidine triphosphate. Komponen ddNTP yang bereaksi dengan salah satu komponen dNTP maka sintesis DNA tidak dapat terjadi. Sebagai contoh jika komponen ddNTP yaitu ddATP bereaksi dengan kompoenn dNTP yaitu dATP maka sintesis DNA akan berhenti karena tidak memiliki 3-OH yang mengakibatkan tidak terbentuknya DNA baru (Barnum 2005). Proses sintesis DNA akan berhenti dan berlangsung secara acak dimana proses pemberhentian (kode stop) tidak bisa diatur sehingga akan menghasilkan panjang yang berbeda. Analisis autentikasi produk hasil perikanan menggunakan gen target DNA mitokondria relatif mudah
31
dilakukan dilaboratorium dan dibandingkan dengan bank data (Bossier 1999). Hasil sekuensing DNA ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil sekuensing spesies ikan tuna No
Kode sampel
1 2 3 4 5 6 7
BL1 (Thunnus albacares) BL2 (Thunnus alalunga) BL3 (Thunnus obesus) BL4 (Thunnus thynnus) MB1 (Thunnus obesus) MB5 (Thunnus albacares) G3 (Thunnus sp.)
Spesies hasil pencocokan blast Thunnus albacores Thunnus alalunga Thunnus obesus Thunnus macoyyi Thunnus obesus Thunnus albacores Thunnus albacores
Nomor akses NCBI DQ080284.1 GU256526.1 DQ080280.1 EF141183.1 DQ080280.1 DQ080287.1 DQ080287.1
Homologi 99% 99% 100% 99% 99% 99% 99%
Hasil sekuensing berupa urutan nukleotida dibandingkan dengan bank data (www.ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan metode BLAST. Berdasarkan data hasil sekuensing pada Tabel 5 tidak terjadi pemalsuan bahan baku. Hal ini dapat dilihat sampel yang digunakan dengan hasil sekuensing menggunakan metode BLAST telah sesuai. Ikan tuna dengan spesies yellow fin (Thunnus albacores), albacore (Thunnus alalunga), big eye (Thunnus obesus), dan blue fin (Thunnus macoyyi) dengan menggunakan gen target cyt b berhasil diidentifikasi. Hasil sekuensing selain berupa urutan nukleotida juga dapat melihat tingkat homologi spesies yang diuji. Tingkat homologi merupakan persentase kesamaan spesies yang diuji dengan data yang tersedia di bank data. Spesies yellow fin (Thunnus albacares), albacore (Thunnus alalunga), big eye (Thunnus obesus), dan blue fin (Thunnus macoyyi) memiliki tingkat homologi berturut-turut adalah 99%, 99%, 99%, 100%. Perbedaan pada tingkat homologi ini disebabkan adanya ketidaksamaan dengan bank data yaitu sebesar 1%. Hal ini juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan urutan nukleotida pada spesies. Metode sekuensing selain menghasilkan data berupa urutan nukleotida juga dapat menghasilkan dendogram yaitu suatu diagram yang menunjukkan hubungan kekerabatan