4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL ANALISIS Pengujian vektor autoregresi pada penelitian ini menggunakan bantuan aplikasi perangkat lunak Eviews versi 6 yang dikembangkan dan didistribusikan oleh Quantitative Micro Software (QMS). Pengujian meliputi uji stasioneritas data, uji lag optimal, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, estimasi vector error correction model, uji impuls response function dan forecast error variance decomposition. 4.1.1. Uji Stasioneritas Data Uji stasioneritas dilakukan untuk analisis mengenai pola data atau sifat dari pergerakan data deret waktu yang sesuai dengan pola data tersebut. Plot deret waktu yang berfluktuasi dengan ragam yang konstan disekitar rataan yang konstan menunjukkan bahwa deret waktu tersebut stasioner. Sedangkan plot deret waktu yang tidak berfluktuasi disekitar rataan yang konstan atau tidak berfluktuasi dengan ragam yang konstan mengindikasikan bahwa data deret waktu tersebut tidak stasioner. Apabila data deret waktu tersebut sudah stasioner maka metode analisis yang digunakan adalah vektor autoregresi (VAR), sedangkan bila data deret waktu tersebut semua atau salah satu tidak stasioner pada level nol (0) dan dilakukan pembedaan maka model yang dipilih adalah vector error correction model (VECM). Artinya data stasioner harus pada pembedaan yang sama, karena seluruh variabel harus berada pada derajat yang sama. Uji kestasioneritasan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller Test (uji ADF). Uji kestasioneran ini secara informal dapat dilihat dari plot data. Jika dalam grafik terlihat ada kecenderungan peningkatan nilai seiring bertambahnya waktu maka kemungkinan data tersebut belum stasioner. Pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 terlihat plot data dari produksi biodiesel, harga CPO, harga TBS dan harga minyak
44
goreng. Masing-masing plot data pada gambar-gambar tersebut menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan nilai. Dengan melihat gambar tersebut dapat diambil kesimpulan sementara bahwa variabel-variabel penelitian tersebut belum stasioner. Untuk memastikan kestasioneran data maka dilakukan uji formal menggunakan Augmented Dickey Fuller Test (uji ADF).
Gambar 4.1 Grafik untuk variabel PBIO dan HCPO
Gambar 4.2 Grafik untuk variabel HTBS dan HMGO
Hipotesa yang diuji adalah H0 :
1
= 0 (menunjukkan adanya
akar unit atau datanya bersifat stasioner) dan H1 : hi otesa tersebut
1
1
≠ 0 Pada
merupakan nilai dari ADF. Jika nilai absolut dari
ADF tersebut lebih besar dari nilai kritis maka hipotesa H0 yang menyatakan bahwa terdapat akar unit di dalam data ditolak dan berarti bahwa data deret waktu tersebut stasioner. Sebaliknya, bila nilai absolut dari ADF lebih kecil dari nilai kritis maka H0 dapat
45
diterima atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa data deret waktu tersebut terdapat akar unit atau data tidak stasioner. Hasil uji ADF ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Hasil uji stasioneritas pada level Variability HCPO PBIO HTBS HMGO
Keterangan: HCPO PBIO HTBS HMGO
Test Critical Value 5% -2.948404 -2.948404 -2.960411 -2.948404
t-statistic -2.354081 -2.380322 -1.104748 -0.522833
Probability 0.1617 0.1544 0.7012 0.8748
: Harga Crude Palm Oil (CPO) : Produksi Biodiesel : Harga Tandan Buah Segar : Harga Minyak Goreng
Tabel 4.1 menunjukkan uji stasioneritas pada level I(0) untuk harga CPO, produksi biodiesel, harga tandan buah segar dan harga minyak goreng menunjukkan bahwa data deret waktu tersebut semuanya tidak stasioner. Hal ini dapat dilihat dari nilai Test Critical Value nya yang lebih besar dari nilai mutlak t-statistic. Tabel 4.1 tersebut menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji lanjutan terhadap data yaitu pada pembedaan pertama (first difference). Pada pembedaan pertama semua variabel berdasarkan uji ADF sudah stasioner. Hal ini berarti bahwa seluruh variabel tersebut stasioner pada pembedaan pertama sehingga bisa dikatakan bahwa variabel terintegrasi pada derajat 1 atau I(1). Hasil uji ADF untuk pembedaan pertama dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2 Hasil uji stasioneritas pada pembedaan pertama Variability Test Critical Value 5% t-statistic Probability HCPO -2.951125 -5.279692 0.0001 PBIO -2.951125 -7.688221 0.0000 HTBS -2.960411 -4.116358 0.0032 HMGO -2.951125 -5.383764 0.0001
46
4.1.2. Uji Lag Optimal Penentuan panjang lag dalam model VAR menunjukkan derajat bebas. Perkiraan VAR sangat peka terhadap panjang lag yang digunakan. Pengujian ini dilakukan untuk menentukan jumlah lag optimal yang dapat digunakan dalam variabel yang akan dianalisis. Penentuan lag dapat digunakan dengan beberapa pendekatan antara lain Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC). Model yang baik adalah model yang mampu memberikan tingkat residual atau error yang paling kecil. Model dengan nilai AIC atau SC terkecil dipilih sebagai model terbaik dengan panjang lag yang cukup efisien. Hasil pengujian lag optimum dapat dilihat pada Tabel 4.3. Terlihat pada Tabel 4.3, LR, FPE, AIC, dan HQ menentukan panjang lag yang sama yaitu pada lag lima. Karena empat kriteria memberikan hasil yang sama, maka dipilih panjang lag lima. Penelitian panjang lag optimal berada pada lag lima, ini akan menentukan lag yang berpengaruh pada perhitungan.
Tabel 4.3 Hasil uji lag optimal Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5
-1040.924 -968.2949 -950.4195 -935.8042 -920.5114 -870.1165
NA 121.8293 25.37159 16.97257 13.81290 32.51285*
2.23e+24 5.84e+22 5.48e+22 6.97e+22 1.01e+23 2.06e+22*
67.41445 63.76096 63.63997 63.72931 63.77493 61.55590*
67.59948 64.68612* 65.30524 66.13470 66.92045 65.44154
67.47476 64.06254 64.18281 64.51340 64.80029 62.82252*
* indicates lag order selected by the criterion
4.1.3. Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara variabel-variabel atau peubah yang digunakan dalam penelitian ini atau yang ada dalam model. Hubungan kausalitas antar variabel atau peubah dapat diketahui dengan
47
melakukan Pairwise Granger Causality Test. Hasil uji kausalitas Granger apabila nilai probability variabel lebih kecil dari atau sama dengan 5 persen maka terdapat hubungan kausalitas diantara variabel tersebut. Tetapi sebaliknya jika nilai probability lebih dari 5 persen maka tidak terdapat hubungan kausalitas diantara variabelnya. Hasil uji Kausalitas Granger dapat dilihat pada hasil berikut. e endent variable: HCPO Excluded PBIO HTBS HMGO All
Chi-sq 7 1168β6 15 4βγ18 4 598785 β9 γ7404
df 5 5 5 15
Prob 0 β1β1 0 0087 0 4668 0 0144
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa harga tandan buah segar mempengaruhi Granger harga CPO yang ditunjukkan dengan nilai probability nya yang kurang dari 5%. Sedangkan produksi biodiesel dan harga minyak goreng tidak menyebabkan Granger harga CPO. Dependent variable: PBIO Excluded HCPO HTBS HMGO All
Chi-sq β1 07869 β9 40705 11 61499 58 6775γ
df 5 5 5 15
Prob 0 0008 0 0000 0 0405 0 0000
Untuk variabel yang mempengaruhi produksi biodiesel ternyata dari hasil uji kausalitas Granger semua variabel yaitu harga CPO, harga tandan buah segar dan harga minyak goreng memberikan pengaruh. e endent variable: HTBS Excluded HCPO PBIO HMGO All
Chi-sq df 8 γ51015 1β γβ518 10 β8γβ5 γβ 10β11
Prob 5 5 5 15
0 1γ79 0 0γ06 0 0676 0 006β
48
Kalau melihat hasil uji dari variabel yang mempengaruhi harga tandan buah segar maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata harga tandan buah segar juga dipengaruhi oleh produksi biodiesel. e endent variable: HMGO Excluded HCPO PBIO HTBS All
Chi-sq 5 0γ79β9 γ 400β81 γ 575948 18 9γβ69
df 5 5 5 15
Prob 0 411γ 0 6γ85 0 6119 0 β168
Untuk variabel minyak goreng ternyata menurut uji kausalitas Granger tidak dipengaruhi oleh harga CPO, produksi biodiesel maupun harga tandan buah segar. Uji kausalitas granger ini dapat disederhanakan dalam bentuk diagram untuk mempermudah dalam visualisasi seperti Gambar 4.3 berikut.
Gambar 4.3 Visualisasi uji kausalitas Granger
Terlihat pada Gambar 4.3 pada pengujian ini diketahui bahwa produksi biodiesel dipengaruhi oleh harga CPO sebagai bahan baku utamanya serta harga tandan buah segar sebagai sumber dari CPO. Produksi biodiesel ini juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng. Hal ini seperti diungkapkan oleh beberapa pihak disebabkan karena kekhawatiran masyarakat bahwa jika CPO digunakan untuk produksi biodiesel maka bagian CPO untuk minyak goreng akan berkurang sehingga permintaan terhadap CPO akan bertambah. Permintaan
49
terhadap CPO akan berdampak pada kenaikan harga CPO dan oleh karena CPO merupakan bahan baku dari biodiesel maka harga biodiesel akan terpengaruh. Hubungan antara harga CPO dan harga minyak goreng secara langsung pada analisis kausalitas Granger ini tidak dapat ditangkap, tetapi bukan berarti tidak ada hubungan secara langsung antara keduanya. Hal ini bisa disebabkan karena harga CPO yang mengikuti harga internasional sedangkan harga minyak goreng dikontrol oleh pemerintah. Oleh karena itu hasil uji kausalitas Granger ini akan diperkuat oleh uji impulse response function (IRF) untuk mengetahui besaran pengaruh dari masing-masing variabel dalam penelitian. 4.1.4. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan karena data yang digunakan berfluktuasi dengan asumsi data tidak stasioner dan untuk menentukan apakah data mengalami kointegrasi atau tidak. Proses kointegrasi ini memberikan informasi mengenai hubungan jangka panjang yang ada dengan menggunakan data deret waktu yang tidak stasioner. Dua variabel atau lebih yang tidak stasioner sebelum dilakukan pembedaan tetapi setelah dilakukan pembedaan pada tingkat pertama, maka besar kemungkinan terdapat hubungan jangka panjang diantara variabel atau peubah tersebut. Langkah selanjutnya, untuk mengetahui keterkaitan jangka panjang antar variabel-variabel atau peubah permintaan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen. Variabel-variabel yang akan diuji harus merupakan variabel yang stasioner pada derajat yang sama. Hasilnya jika nilai Trace statistic lebih kecil dibandingkan nilai Critical value maka variabel-variabel tersebut tidak terkointegrasi, sebaliknya jika nilai trace statisticnya lebih besar dibandingkan dengan nilai critical value maka variabelvariabel tersebut dikatakan terkointegrasi. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.
50
Tabel 4.4 Hasil uji kointegrasi Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3
0.991552 0.798321 0.620349 0.008317
220.5535 77.33802 29.30563 0.250541
47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0001 0.0000 0.0002 0.6167
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa pada r <= 3 nilai trace statistic nya lebih kecil dari critical value pada tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti hipotesis 0 yang menyatakan bahwa terdapat paling tidak 3 kointegrasi tidak dapat ditolak dan hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi belum dapat diterima. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing variabel tersebut saling mempengaruhi dan memiliki hubungan stabilitas atau keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Variabel-variabel ini dalam periode pendek akan cenderung saling menyesuaikan untuk mencapai keseimbangan jangka panjangnya. 4.1.5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Variabel-variabel atau peubah tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama akan bersifat stasioner setelah dilakukan pembedaan. Uji kointegrasi diatas menunjukkan bahwa pada variabel-variabel penelitian terindikasi adanya kointegrasi dengan rank 3 pada derajat kepercayaan 5%. Dengan demikian maka model yang digunakan adalah model VEC. Hasil estimasi VECM dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut sedangkan untuk selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
51
Tabel 4.5 Hasil estimasi VECM Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
HCPO(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
PBIO(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
HTBS(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
HMGO(-1)
-0.612350 (0.14411) [-4.24920]
-48.27822 (11.7257) [-4.11731]
-0.145270 (0.03278) [-4.43110]
C
-586.6817
511174.6
275.3727
Error Correction:
D(HCPO)
D(PBIO)
D(HTBS)
D(HMGO)
CointEq1
0.065309 (0.90094) [ 0.07249]
-131.4849 (55.8857) [-2.35275]
0.202915 (0.15919) [ 1.27466]
1.078142 (0.51658) [ 2.08707]
CointEq2
0.007169 (0.00443) [ 1.61772]
-1.407614 (0.27489) [-5.12069]
0.001747 (0.00078) [ 2.23055]
0.004380 (0.00254) [ 1.72370]
CointEq3
0.617213 (2.85990) [ 0.21582]
535.3889 (177.401) [ 3.01796]
-0.622291 (0.50533) [-1.23146]
-1.737379 (1.63982) [-1.05950]
D(HCPO(-1))
-0.369451 (0.93418) [-0.39548]
153.5152 (57.9475) [ 2.64921]
-0.138236 (0.16506) [-0.83747]
-0.969399 (0.53564) [-1.80979]
D(HCPO(-2))
-0.915205 (0.70770) [-1.29321]
58.05090 (43.8990) [ 1.32237]
-0.275026 (0.12505) [-2.19938]
-0.846875 (0.40578) [-2.08701]
D(HCPO(-3))
-0.654045 (0.65153) [-1.00386]
-9.790574 (40.4147) [-0.24225]
-0.176965 (0.11512) [-1.53720]
-0.635100 (0.37358) [-1.70006]
D(HCPO(-4))
0.490049 (0.66503) [ 0.73688]
41.09184 (41.2523) [ 0.99611]
0.002152 (0.11751) [ 0.01832]
-0.205702 (0.38132) [-0.53945]
D(PBIO(-1))
-0.003544 (0.00420) [-0.84476]
0.375961 (0.26023) [ 1.44474]
-0.000889 (0.00074) [-1.19931]
-0.003566 (0.00241) [-1.48269]
D(PBIO(-2))
-0.003844 (0.00319) [-1.20538]
0.517094 (0.19784) [ 2.61372]
-0.000538 (0.00056) [-0.95463]
-0.002101 (0.00183) [-1.14877]
52
Persamaan VECM adalah sebagai berikut VAR Model - Substituted Coefficients: =============================== D(HCPO) = 0.065309192284*( HCPO(-1) - 0.612350176027*HMGO(-1) 586.681697993 ) + 0.00716890326138*( PBIO(-1) 48.2782165129*HMGO(-1) + 511174.562631 ) + 0.617212727326*( HTBS(-1) - 0.145269722001*HMGO(-1) + 275.372683012 ) 0.369450987714*D(HCPO(-1)) - 0.915204818945*D(HCPO(-2)) 0.65404470723*D(HCPO(-3)) + 0.49004891865*D(HCPO(-4)) 0.00354390388993*D(PBIO(-1)) - 0.00384439082025*D(PBIO(-2)) 0.00551906469568*D(PBIO(-3)) - 0.00741578120025*D(PBIO(-4)) + 1.61680921918*D(HTBS(-1)) + 1.42746089992*D(HTBS(-2)) + 3.93985380619*D(HTBS(-3)) - 3.81427340429*D(HTBS(-4)) + 0.251090268534*D(HMGO(-1)) - 0.361396293546*D(HMGO(-2)) 0.101309955176*D(HMGO(-3)) - 0.270857568601*D(HMGO(-4)) + 125.453605992 D(PBIO) = - 131.484883156*( HCPO(-1) - 0.612350176027*HMGO(-1) 586.681697993 ) - 1.40761411451*( PBIO(-1) - 48.2782165129*HMGO(-1) + 511174.562631 ) + 535.3888962*( HTBS(-1) - 0.145269722001*HMGO(1) + 275.372683012 ) + 153.51518553*D(HCPO(-1)) + 58.0508985987*D(HCPO(-2)) - 9.79057390559*D(HCPO(-3)) + 41.0918354932*D(HCPO(-4)) + 0.375961422836*D(PBIO(-1)) + 0.517093958504*D(PBIO(-2)) + 0.133073226928*D(PBIO(-3)) + 0.158297333985*D(PBIO(-4)) - 529.917330746*D(HTBS(-1)) 243.213126066*D(HTBS(-2)) + 111.469911895*D(HTBS(-3)) 293.017688206*D(HTBS(-4)) - 73.0342761624*D(HMGO(-1)) 75.1226835383*D(HMGO(-2)) - 45.9160257866*D(HMGO(-3)) 29.01910842*D(HMGO(-4)) + 10220.0714817 D(HTBS) = 0.202914853866*( HCPO(-1) - 0.612350176027*HMGO(-1) 586.681697993 ) + 0.00174656487595*( PBIO(-1) 48.2782165129*HMGO(-1) + 511174.562631 ) - 0.622290837204*( HTBS(-1) - 0.145269722001*HMGO(-1) + 275.372683012 ) 0.138235538828*D(HCPO(-1)) - 0.275025517945*D(HCPO(-2)) 0.176964630351*D(HCPO(-3)) + 0.00215238970809*D(HCPO(-4)) 0.000889000166843*D(PBIO(-1)) - 0.000537979747005*D(PBIO(-2)) 0.0011334173482*D(PBIO(-3)) - 0.00181070757716*D(PBIO(-4)) + 0.917030088539*D(HTBS(-1)) + 0.443817966876*D(HTBS(-2)) + 1.22876774853*D(HTBS(-3)) - 0.620158755645*D(HTBS(-4)) + 0.0938786100256*D(HMGO(-1)) - 0.0577974736675*D(HMGO(-2)) + 0.0800652221419*D(HMGO(-3)) + 0.013511708666*D(HMGO(-4)) + 21.9000981527 D(HMGO) = 1.07814160141*( HCPO(-1) - 0.612350176027*HMGO(-1) 586.681697993 ) + 0.00437981744036*( PBIO(-1) 48.2782165129*HMGO(-1) + 511174.562631 ) - 1.73737856909*( HTBS(1) - 0.145269722001*HMGO(-1) + 275.372683012 ) 0.969398899*D(HCPO(-1)) - 0.84687482248*D(HCPO(-2)) 0.635100094005*D(HCPO(-3)) - 0.205702043944*D(HCPO(-4)) 0.00356649273703*D(PBIO(-1)) - 0.00210079000268*D(PBIO(-2)) 0.00172359526136*D(PBIO(-3)) - 0.00159451126435*D(PBIO(-4)) + 2.14993003761*D(HTBS(-1)) + 2.24296823623*D(HTBS(-2)) + 1.97236952889*D(HTBS(-3)) + 0.693329935301*D(HTBS(-4)) 0.147486155175*D(HMGO(-1)) - 0.144978785132*D(HMGO(-2)) 0.365763363707*D(HMGO(-3)) - 0.229106105219*D(HMGO(-4)) + 123.059902846
53
Keempat persamaan tersebut masing-masing terdiri dari variabel-variabel yang sama pada sisi sebelah kanannya. Hasil estimasi VECM pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa tidak semua lag signifikan pada setiap persamaan. Keadaan ini merupakan tipikal dari metode VAR. Pada persamaan pertama dengan variabel dependen HCPO, variabel-variabel HTBS dan HMGO tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan HCPO. Pergerakan HCPO ini ternyata dipengaruhi oleh variabel PBIO pada 4 periode sebelumnya. Pola hubungan HCPO dengan variabel HCPO itu sendiri, PBIO dan HMGO cenderung negatif, sedangkan dengan HTBS umumnya positif. Pada persamaan kedua dengan variabel dependen PBIO, variabel HCPO memberikan pengaruh yang signifikan pada lag satu periode sebelumnya, variabel HTBS juga memberikan pengaruh yang signifikan pada lag satu periode sebelumnya, sedangkan variabel HMGO memberikan pengaruh yang signifikan pada lag dua periode sampai satu periode sebelumnya. Sementara itu variabel PBIO dipengaruhi oleh dinamika pergerakan variabel PBIO itu sendiri pada lag dua periode sebelumnya. Pola hubungan PBIO dengan dirinya sendiri adalah positif, sedangkankan hubungannya dengan HCPO umumnya positif dan hubungannya dengan HTBS dan HMGO umumnya negatif. Pada persamaan ketiga dengan variabel dependen HTBS, variabel HMGO tidak memberikan pengaruh yang signifikan, sedangkan variabel HCPO memberikan pengaruh yang signifikan pada lag dua periode sebelumnya dan variabel PBIO memberikan pengaruh yang signifikan pada lag empat periode sampai tiga periode sebelumnya. Pola hubungan HTBS dengan variabel HTBS itu sendiri cenderung positif, sedangkan hubungannya dengan HCPO dan PBIO umumnya negatif dan dengan HMGO cenderung positif.
54
Pada persamaan keempat dengan variabel dependen HMGO, variabel PBIO dan HTBS tidak memberikan pengaruh yang signifikan, sedangkan variabel HCPO memberikan pengaruh yang signifikan pada lag dua periode sebelumnya. Pola hubungan HMGO dengan variabel HMGO itu sendiri, HCPO dan PBIO adalah negatif, sedangkan hubungannya dengan HTBS adalah positif. 4.1.6. Impuls Response Function (IRF) Impuls response dapat diartikan sebagai adanya suatu respon dari suatu variabel endogen ketika variabel endogen yang lainnya di shock atau diguncangkan dalam variabel itu sendiri atau variabel endogen lainnya. Impuls respon function (IRF) digunakan untuk menelusuri atau mengetahui pengaruh suatu standar deviasi shock atau guncangan terhadap perubahan yang terjadi pada nilai variabel endogen pada saat ini dan di masa yang akan datang. Nilai IRF memberikan arah besarnya pengaruh antar peubah atau variabel yang diteliti, dalam hal ini yaitu harga CPO (HCPO), produksi biodiesel (PBIO), harga TBS (HTBS), dan harga minyak goreng (HMGO). Dalam model ini respon dari perubahan masing-masing variabel dengan adanya informasi baru diukur dengan 1-standar deviasi. Sumbu x (horizontal) merupakan periode setelah terjadinya guncangan, sedangkan sumbu y (vertikal) merupakan nilai respon. Pada dasarnya analisis ini digunakan untuk mengetahui respon positif atau negatif dari suatu variabel terhadap variabel lainnya.
55
Gambar 4.4 Respon HCPO terhadap guncangan variabel lainnya
Pada Gambar 4.4 grafik baris pertama kolom pertama, variabel harga
CPO
pada
perubahan
1-standar
deviasi
itu
sendiri
menunjukkan nilai positif. Pada awalnya guncangan HCPO sebesar 1-standar deviasi menunjukkan respon positif atau sekitar 380. Namun dampak guncangan ini akan terus menurun sampai periode ke-12 dengan nilai sekitar -47. Pada periode ke-13 dampak ini kembali menguat sampai periode ke-18, setelah itu kembali menurun hingga periode ke-23. Respon variabel harga CPO terhadap variabel produksi biodiesel dan harga tandan buah segar juga terlihat positif walaupun ada fluktuasi yang cukup terlihat. Sedangkan respon variabel harga CPO terhadap guncangan harga minyak goreng terlihat cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan produksi biodiesel akan direspon positif oleh harga CPO dengan kata lain peningkatan produksi biodiesel akan ikut memberi peran dalam peningkatan harga CPO dengan jalan meningkatkan permintaan CPO. Respon harga minyak goreng termasuk berfluktuasi dan
56
cenderung kembali ke titik nol sehingga dengan kata lain guncangan harga minyak goreng tidak terlalu mempengaruhi harga CPO.
Gambar 4.5 Respon PBIO terhadap guncangan variabel lainnya
Pada Gambar 4.5 kolom pertama baris pertama, guncangan harga CPO cenderung direspon positif oleh produksi biodiesel. Pada kasus ini kenaikan harga CPO sebagai bahan baku biodiesel ternyata tidak direspon secara negatif oleh produksi biodiesel dan bahkan cenderung positif walaupun berfluktuasi. Hal ini salah satu penyebabnya adalah kebijakan pemerintah yang ingin terus meningkatkan produksi biodiesel. Demi meningkatkan penggunaan biodiesel, pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang energi terbarukan serta didukung peraturan presiden no. 5 tahun 2006 yang menyatakan bahwa pada tahun 2025 diharapkan bahan bakar nabati bisa mengantikan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 5%. Tetapi serapan biodiesel domestik belum stabil, hal ini dikarenakan kebijakan harga belum menggunakan patokan harga internasional.
57
Akibatnya, para produsen lebih memilih untuk ekspor daripada menjualnya di pasar domestik. Respon produksi biodiesel ini bergerak relatif di titik nol atau dengan kata lain guncangan harga minyak goreng tidak terlalu mempengaruhi produksi biodiesel.
Gambar 4.6 Respon HMGO terhadap guncangan variabel lainnya
Pada Gambar 4.6 baris pertama kolom pertama dan kedua dapat dilihat respon harga minyak goreng terhadap guncangan harga CPO dan produksi biodiesel. Respon harga minyak goreng terlihat positif dan cenderung meningkat. Hal ini seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa produksi biodiesel akan ikut memberi peran dalam peningkatan harga CPO dengan jalan meningkatkan permintaan CPO. CPO sebagai bahan baku minyak goreng, jika harganya naik maka harga minyak goreng pun akan ikut naik. Dengan kata lain dengan kenaikan harga CPO dan peningkatan produksi biodiesel maka harga minyak goreng juga akan ikut naik.
58
4.1.7. Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Variance
decomposition
atau
dekomposisi
varian
ini
digunakan untuk melihat karakteristik model setelah sebelumnya dianalisis perilakunya melalui impulse response. Pada dekomposisi varian ini akan dilihat bagaimana varian dari suatu variabel dipengaruhi oleh dirinya sendiri maupun dari pengaruh variabel lainnya. Dekomposisi varian ini digunakan untuk menyusun forecast error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara varian sebelum dan sesudah guncangan. Guncangan ini baik yang berasal dari variabel itu sendiri maupun guncangan dari variabel lainnya untuk melihat pengaruh relatif dari variabel-variabel penelitian terhadap variabel lainnya.
Tabel 4.6 Dekomposisi varian untuk variabel HCPO Variabel Dependen HCPO
Dijelaskan oleh Guncangan
Periode 1 4 8 12 16 20 24
HCPO 100.0000 81.69108 79.82257 72.97162 67.73333 71.52855 70.18827
PBIO 0.000000 3.906673 6.811531 10.50328 13.19341 10.52432 11.47499
HTBS 0.000000 4.399291 4.622217 6.699420 10.46193 8.142044 8.443266
HMGO 0.000000 10.00296 8.743685 9.825675 8.611334 9.805086 9.893478
Analisis dekomposisi varian pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa forecast error variance dari HCPO pada periode pertama ditentukan oleh variabel HCPO itu sendiri. Pada periode berikutnya pengaruh HCPO terhadap variabel HCPO itu sendiri semakin berkurang dan variabel lainnya mulai memberikan pengaruh kepada variabel HCPO. Pada periode ke-12 pengaruh variabel HCPO terhadap variabel HCPO itu sendiri turun menjadi 72,97%, sedangkan variabel lainnya dalam menjelaskan variabel HCPO semakin meningkat. Variabel PBIO memberikan kontribusi sebesar
59
10,50%, variabel HTBS memberikan kontribusi sebesar 6,69%, dan variabel HMGO memberikan kontribusi sebesar 9,82%. Hingga periode ke-24 variabel HCPO dapat dijelaskan dari variabel HCPO itu sendiri sebesar 70,18%. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi variabel HCPO lebih banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO itu sendiri daripada variabel lainnya.
Tabel 4.7 Dekomposisi varian untuk variabel PBIO Variabel Dependen PBIO
Periode 1 4 8 12 16 20 24
Dijelaskan oleh Guncangan HCPO 0.081014 16.31155 33.53822 55.22114 51.68977 50.35217 56.91181
PBIO 99.91899 52.50135 38.14877 19.75872 22.42264 22.57310 19.35112
HTBS 0.000000 29.36661 18.07307 11.36052 12.84982 15.46263 12.51724
HMGO 0.000000 1.820486 10.23994 13.65962 13.03777 11.61209 11.21983
Tabel 4.7 ini menyajikan dekomposisi varian untuk variabel produksi biodiesel (PBIO). Forecast error variance dari PBIO pada periode pertama ditentukan oleh variabel PBIO itu sendiri sebesar 99,91% dan juga dijelaskan oleh variabel HCPO sebesar 0,08%, sedangkan variabel HTBS dan HMGO pada periode pertama ini tidak menjelaskan variabel PBIO. Pada periode berikutnya kontribusi PBIO dalam menjelaskan variabel PBIO itu sendiri menurun dan variabel lainnya meningkat. Pada periode ke-12 kontribusi variabel PBIO dalam menjelaskan variabel PBIO itu sendiri turun menjadi 19,75%. Kontribusi variabel HCPO dalam menjelaskan variabel PBIO meningkat cukup drastis, dari 0,08% pada periode pertama menjadi 55,22% pada periode ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang harga CPO akan mempengaruhi produksi biodiesel karena bahan baku utama biodiesel saat ini memang hanya CPO yang paling potensial.
60
Variabel HTBS dan HMGO juga memberi kontribusi yang cukup besar yaitu masing-masing sebesar 11,36 % dan 13,65%. Pada periode ke-24 kontribusi variabel PBIO terhadap variabel PBIO itu sendiri tidak berubah banyak yaitu sebesar 19,35% dan kontribusi variabel lainnya yaitu HCPO, HTBS, dan HMGO masing-masing sebesar 56,91%, 12,51%, dan 11,21%. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi PBIO dalam jangka panjang lebih dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada variabel PBIO itu sendiri, sedangkan variabel PBIO, HTBS, dan HMGO mempu menjelaskan variabel PBIO dengan kontribusi kurang dari 20%.
Tabel 4.8 Dekomposisi varian untuk variabel HTBS Variabel Dependen HTBS
Dijelaskan oleh Guncangan
Periode 1 4 8 12 16 20 24
HCPO 81.77558 73.06473 74.71039 70.14905 61.79588 67.92732 67.32532
PBIO 3.314058 9.957415 8.891678 10.24575 13.64096 10.41451 10.70872
HTBS 14.91036 9.721239 8.989095 10.05374 15.66056 11.74210 11.64194
HMGO 0.000000 7.256613 7.408834 9.551454 8.902596 9.916069 10.32402
Analisis dekomposisi varian pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa forecast error variance dari HTBS pada periode pertama banyak dijelaskan oleh variabel HCPO dengan kontribusi sebesar 81,77% baru kemudian dijelaskan oleh variabel HTBS dengan kontribusi sebesar 14,91%. Pada periode berikutnya kontribusi variabel HCPO dalam menjelaskan variabel HTBS cenderung menurun, begitu pula dengan kontribusi variabel HTBS. Dilain pihak, kontribusi variabel PBIO dan variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HTBS semakin meningkat. Pada periode ke-24 kontribusi variabel HCPO turun hingga mencapai 67,32% sedangkan variabel lainnya mampu menjelaskan variabel HTBS dengan
61
kontribusi berkisar di angka 10%. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi HTBS ternyata banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada variabel HTBS itu sendiri.
Tabel 4.9 Dekomposisi varian untuk variabel HMGO Variabel Dependen HMGO
Periode 1 4 8 12 16 20 24
HCPO 0.264230 55.74728 75.07728 74.41688 67.94365 69.63710 70.60745
Dijelaskan oleh Guncangan PBIO HTBS 10.20416 7.781488 9.228938 3.447033 7.533471 4.309230 10.76611 4.225103 14.75193 8.629169 14.76532 8.127823 14.23295 7.688884
HMGO 81.75012 31.57675 13.08001 10.59191 8.675247 7.469757 7.470722
Analisis dekomposisi varian pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa forecast error variance dari HMGO pada periode pertama banyak dijelaskan oleh variabel HMGO itu sendiri dengan kontribusi sebesar 81,75% sedangkan kontribusi variabel HCPO, PBIO, dan HTBS mampu menjelaskan variabel HMGO sebesar 0,26%; 10,20% dan 7,78%. Pada periode ke-12 kontribusi variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HMGO itu sendiri turun menjadi 10,59% sedangkan variabel HCPO memberikan kontribusi yang semakin tinggi yaitu sebesar 74,41%. Pada periode ke-24 kontribusi variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HMGO itu sendiri kembali turun menjadi 7,47% begitu pula dengan variabel HCPO kontribusinya turun menjadi 70,60%. Pada periode ini variabel PBIO dan HTBS memiliki kontribusi masing-masing sebesar 14,23% dan 7,68% dalam menjelaskan variabel HMGO. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi HMGO dalam jangka panjang lebih banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada oleh variabel HMGO itu sendiri.
62
4.2. IMPLIKASI MANAJERIAL Fluktuasi harga minyak goreng dalam jangka panjang ternyata lebih dipengaruhi oleh harga CPO daripada produksi biodiesel. Namun perlu diingat bahwa CPO selain merupakan bahan baku dari minyak goreng juga saat ini merupakan bahan baku utama dari biodiesel. Sehingga ketika terjadi peningkatan produksi biodiesel maka permintaan CPO juga akan meningkat. Peningkatan permintaan CPO ini bisa memicu kenaikan harga CPO. Ketika harga bahan bakunya naik maka harga minyak goreng akan ikut naik juga. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun harga minyak goreng lebih dipengaruhi oleh harga CPO namun secara tidak langsung akan dipengaruhi juga oleh produksi biodiesel. Kekhawatiran banyak pihak akan adanya persaingan bahan baku antara minyak goreng dan biodiesel memang cukup beralasan. Kenaikan permintaan memang akan memicu kenaikan harga tetapi kenaikan harga ini bisa ditekan dengan peningkatan penawaran akan CPO. Data statistik menunjukkan bahwa produksi CPO Indonesia mencapai diatas 21 juta ton dan ekspor CPO Indonesia mencapai diatas 16 juta ton. Sedangkan menurut Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) konsumsi CPO domestik hanya sebesar 5,5 juta ton. Hal ini menunjukkan persediaan CPO dalam negeri masih bisa ditingkatkan untuk menekan kenaikan harga. Produksi biodiesel kedepannya diprediksi akan terus meningkat. Prediksi peningkatan produksi biodiesel ini tidak terlepas dari produksi biodiesel yang masih dibawah kapasitas terpasangnya. Utilisasi aktual sampai tahun 2011 masih sekitar 40% maka jika kapasitas produksi dioptimalkan atau dimaksimalkan maka dengan demikian kebutuhan akan bahan baku yaitu CPO juga akan meningkat. Belum lagi jika kita melihat kepada rencana kebijakan bauran energi pemerintah yang menargetkan porsi 5% pada tahun 2025. Jika melihat data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral maka proporsi biodiesel saat ini baru sekitar 0,1% dari total energy nasional seperti terlihat pada Tabel 4.10 dan Gambar 4.7 berikut.
63
Tabel 4.10. Bauran energi Indonesia Energi
(Ribu BSM)
Minyak Mentah dan Turunannya Biomasa Gas Alam & Turunannya Batu bara Tenaga Air Panas bumi
Biodiesel (B100) Total
%
549,028 288,502 285,887 281,400 44,559 14,682 1,428 1,465,486
37.46% 19.69% 19.51% 19.20% 3.04% 1.00% 0.10% 100.00%
Sumber: Neraca energi Indonesia 2006-2010
19,51% 19,20%
3,04%
19,69% 37,46%
1,00% 0,10% 4,14%
Minyak Mentah dan Turunannya
Biomasa
Gas Alam dan Turunannya
Batu Bara
Tenaga Air
Panas Bumi
Biodiesel (B100)
Gambar 4.7. Bauran energi Indonesia (Sumber: Neraca energi Indonesia 2006-2010)
Minyak sawit masih menjadi andalan utama Indonesia sebagai bahan baku biodiesel karena bahan baku non-edible seperti jarak pagar masih dalam tahap pengembangan. Penggunaan CPO sebagai bahan baku biodiesel ini memang memiliki trade-off sendiri. Peningkatkan persediaan CPO dalam negeri bisa dilakukan dengan mengambil bagian CPO untuk ekspor tetapi konsekuensinya ekspor CPO Indonesia akan menurun. Peningkatan persediaan CPO ini bisa juga dilakukan dengan peningkatan produksi CPO sehingga tidak mengganggu persediaan CPO ekspor maupun persediaan CPO domestik.
64
Peningkatan produksi CPO sendiri bisa dilakukan dengan cara ekstensifikasi atau dengan cara intensifikasi. Peningkatan produksi CPO dengan cara ekstensifikasi saat ini sudah mulai dibatasi melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi penambahan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembukaan lahan. Selain itu juga untuk mengurangi dampak negatif lain dari pembukaan lahan diantaranya peralihan penggunaan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat ataupun peralihan lahan dari lahan pangan menjadi lahan nonpangan. Oleh karena itu pengkatan produksi dengan cara intensifikasi lebih disukai karena dampak yang ditimbulkan lebih bisa dikontrol. Dampak utama dari intensifikasi ini tertama dari sisi pencemaran lingkungan dari input produksi seperti pupuk kimia namun dampak ini bisa diminimalkan dengan mengganti pupuk kimia dengan pupuk alami atau organik. Jadi pada prinsipnya peningkatan produksi ini juga harus mengacu pada efisiensi, diversifikasi, konservasi dan lingkungan. Jadi peningkatan harga minyak goreng yang diakibatkan oleh peningkatan harga CPO akibat produksi biodiesel bisa ditekan dengan jalan meningkatkan persediaan CPO baik dengan pengurangan ekspor maupun dengan
peningkatan
produksi
CPO
yang
dilakukan
dengan
keberlanjutan baik dari sisi lingkungan, sosial maupun ekonomi.
asas