42
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Komposisi Lintah Laut dan Residu Logam Berat Hasil analisis proksimat bubuk kering dari lintah laut utuh adalah sebagai
berikut: protein 49,60%, lemak 4,58%, abu 11,74%, abu tidak larut asam 1,90%, air 15,25%, karbohidrat 18,83% dan serat kasar 0,45%. Pengukuran residu cemaran logam berat Hg (raksa), timbal (Pb) dan kadmium (Cd) tidak terdeteksi, dengan demikian lintah laut yang diambil dari perairan pantai Pulau Buton dapat dinyatakan aman dari cemaran logam berat tersebut. Lintah laut kering dengan kadar protein, lemak dan abu yang cukup tinggi ini akan memberikan sumbangan dalam peningkatan protein dan mineral pada pakan kelinci dengan perlakuan Discodoris sp sebanyak 4% dari pakan yang diberikan. Lintah laut yang digunakan berasal dari perairan Pulau Buton dengan ukuran panjang dalam keadaan segar berkisar 3-5 cm dan panjang usus berkisar 14-20 cm. Lemak yang terdapat pada lintah laut juga cukup tinggi yaitu 4,58%. Berdasarkan hasil penelitian Witjaksono (2005), fraksi nonpolar (lemak) terdiri dari fenol, sterol, asam lemak jenuh, dan asam lemak tak jenuh majemuk. Komponen ini juga akan berpengaruh terhadap komposisi pakan kelinci yang mendapat perlakuan Discodoris sp.
4.2
Rendemen Ekstrak Kasar Lintah Laut Kering Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering yang terbesar adalah ekstrak
metanol yaitu 5,12% untuk contoh utuh dan 4,51% untuk contoh tanpa jeroan. Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering bersifat polar. Untuk lebih jelasnya hasil rendemen ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering (%) Jenis bahan Contoh utuh Tanpa jeroan
Kloroform 2,27 0,74
Pelarut Etil asetat 1,01 0,38
Metanol 5,12 4,51
Ekstrak terbanyak diperoleh dari pelarut polar, yaitu metanol sebesar 5,12% untuk contoh utuh dan 4,51% untuk contoh tanpa jeroan sedang yang paling kecil
43
adalah ekstrak etil asetat sebesar 1,01% contoh utuh dan 0,38% untuk contoh tanpa jeroan. Tabel 6 membuktikan bahwa lintah laut kering mengandung berbagai senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda. Ekstrak metanol memiliki jumlah terbanyak karena pelarut metanol memiliki nilai konstanta dielektrik tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya kecuali air, sehingga dapat membuka dinding sel yang mengakibatkan hampir semua senyawa tertarik keluar dari dalam sel. Selain itu pelarut metanol mampu mengekstrak senyawa organik, sebagian lemak serta tanin (Heath dan Reineccius 1987).
4.3
Kelompok Komponen Kimia Lintah Laut Pengujian komponen kimia dilakukan terhadap tepung lintah laut kering
baik utuh maupun tanpa jeroan untuk menelusuri golongan senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. Pengujian ini hanya memperlihatkan hasil kualitatif berdasarkan warna dan endapan yang terbentuk. Hasil rekapitulasi uji komponen kimia identifikasi kelompok menunjukkan bahwa ekstrak kasar Discodoris sp kering pada fraksi polar (metanol) mengandung senyawa alkaloid, steroid, saponin, asam amino, dan fenol (Tabel 7). Tabel 7 Hasil identifikasi golongan senyawa ekstrak Discodoris sp Hasil Tanpa jeroan ++ ++
Pereaksi
Golongan
Wagner Meyer
Alkaloid Alkaloid
Utuh ++ ++
Dragendorf
Alkaloid
++
++
Lieberman-Burchard Steroid
++
+
Molish Saponin Ninhidrin
Karbohidrat Saponin Asam amino
+++ + +++
+++ + +++
FeCl3
fenol
+
+
Warna Endapan coklat Endapan putihkuning Endapan merah jingga Merah muda (pink) Cincin Ungu Ada busa Ungu-biru Hijau-oranye
Keterangan: +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, - tidak terdeteksi
Peranan komponen bioaktif bagi hewan air khususnya invertebrata laut adalah sebagai pencari makanan, pengenalan dengan populasi, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang sesuai, pengaturan sinkronisasi siklus reproduksi,
44
pemberi sinyal jika ada predator yang membahayakan (Stachowicz 2001), antifeedant (Ehara et al. 2002 yang disitir Derby 2007), antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007), pertahanan saat stres metabolisme (Gavagnin et al. 2003). Sebagian kecil invertebrata laut menghasilkan sendiri substansi kimia untuk pertahanan diri. Sebagian besar memanfaatkan zat kimia yang dihasilkan oleh organisme lain, atau mengembangkan hubungan simbiotik dengan organisme penghasil senyawa aktif (Murniasih 2005) Contoh zat kimia untuk pertahanan sendiri adalah pada nudibranch Dendrodoris limbata yang menghasilkan polygodial sebagai pertahanan diri terhadap predator. demikian
hewan
Senyawa ini tidak ditemukan dalam pakannya, dengan ini
mampu
mensintesis
metabolit
sekunder
seperti
sesquiterpenoid, diterpenoid, dan sesterpenoid untuk pertahanan diri (defensive compound) secara de novo (Cimino & Chiselin 1999). Menurut Riguera (1997) komponen polar dari invertebra laut didominasi oleh garam-garam alkaloid, asam amino, polihidrosteroid dan saponin. Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua tanaman mengandung flavonoid, kecuali tanaman alga (Markham 1988). Lintah laut termasuk pemakan rumput laut (alga) dari berbagai jenis dan ukuran, yang tumbuh pesat pada saat ketersediaan makanan cukup (Proksch et al. 2002). Flavonoid pada penelitian ini tidak terdeteksi, hal ini diduga karena makanannya kelompok alga yang tidak mengandung flavonoid.
(1) Alkaloid Alkaloid pada ekstrak kasar fraksi metanol terdeteksi kuat pada bubuk lintah laut utuh dan tanpa jeroan baik dengan pereaksi Wagner, Meyer
maupun
Dragendorf. Alkaloid
pada
umumnya
mencakup
senyawa
bersifat
basa
yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino.
Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan
heterogen. Secara klasik, alkaloid dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya
45
sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987). Alkaloid diklasifikasikan berdasarkan struktur N-heterosiklik. Beberapa alkaloid umum dan strukturnya (Gambar 7) antara lain adalah sebagai berikut (Facchini 2001):
Tropan
Isoquinolin
Piperidin
Piridin
Indol
Quinolin
Kafein
Gambar 7 Struktur beberapa alkaloid umum (Facchini 2001) (a) kokain adalah contoh tipe tropan dari alkaloid pirrolidin dengan
N-
heterosiklik diturunkan dari L-ornithin, turunan asam amino dari glutamat; (b) grup alkaloid piperidin diturunkan dari L-lysin; (c) grup alkaloid piridin diturunkan dari aspartat atau fenilalanin. Nikotin adalah contoh alkaloid jenis ini; (d) alkaloid quinolin seperti quinin yang dapat diturunkan dari L-triptofan; (e) alkaloid isoquinolin yang mempunyai N-heterosiklik isomerik dengan quinolin, dapat diturunkan dari tirosin. Morfin adalah alkaloid jenis ini; (f) alkaloid indol terdiri dari cincin indol yang diturunkan dari L-tryptofan. Jamur ergot adalah alkaloid jenis ini; (g) alkaloid purin, seperti kafein dan teobromin adalah turunan purin yang diturunkan dari aspartat, glisin dan glutamin. Kafein adalah stimulan pusat yang dapat digunakan sebagai stimulan kardiak dan pernapasan dan sebagai diuretik. Theobromin, alkaloid utama biji coklat berfungsi sebagai diuretik, relaksan otot halus, dan stimulan kardiak.
46
Kandungan ekstrak siput laut (Nerita albicilla) (Martin et al.1986) adalah suatu senyawa alkaloid isopteropodin yang bersifat antitumor. Ectinascidins-743 dari tunicate (Tetrahydroisoquinoline) termasuk golongan alkaloid yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Bernik dan Jimeno 2001).
(2) Steroid/Triterpenoid Steroid dengan pereaksi Liberman Burchard pada contoh utuh terdeteksi kuat, tetapi pada contoh tanpa jeroan lemah. Hal ini diduga karena bagian jeroan mengandung berbagai zat yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa: triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol dan kaempesterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, yaitu sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Struktur salah satu jenis triterpenoid (sitosterol) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Struktur sitosterol (Foye 1995)
47
Beberapa steroid, seperti fukosterol, diisolasi dari sumber daya hayati laut bersifat non toksik dan mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong aktivitas antidiabetes (Bhakuni 2005). Pada alkaloid steroid, gugus hidroksil pada atom C3 diganti dengan suatu senyawa N dari alkaloid (Robinson 1995).
(3) Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat, seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lainlain). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Struktur umum saponin (Hoffman 1991) Saponin dari kedelai diketahui berperan sebagai anti agregasi platelet (Sastrohamijoyo 1996), hasil penelitian King (2002) membuktikan bahwa saponin kedelai
dan
Quillaja
mempunyai
kemampuan
dalam
mencegah
48
hiperkolesterolemik pada tikus yang diberi kolesterol dalam ransumnya. Hal ini terjadi karena beberapa mekanisme diantaranya mekanisme yang melibatkan asam empedu dan ekskresi sterol netral. Saponin pada ekstrak kasar fraksi metanol dalam penelitian ini terdeteksi lemah, sehingga lintah laut kering bukanlah sumber saponin yang baik
(4) Fenol hidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat ‘senyawa fenol’ serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987). Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintetis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossipol, pirogallol, katekol resorsinol dan eugenol (Ketaren 1986). Pada penelitian ini fenol terdeteksi lemah. Struktur fenol hidrokuinon dapat dilihat pada Gambar 10.
49
Gambar 10 Struktur umum fenol hidrokuinon (Kkgm 2007)
4.4
Aktivitas Antioksidan Metode DPPH Pengujian aktivitas antioksidan dalam lintah laut dilakukan menggunakan
metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) yang memiliki rumus molekul C18H12N5O6 dan Mr=394,33 (Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006) adalah suatu radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk DPPH tereduksi (diphenylpicrylhydrazine) yang stabil. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004; Suratmo 2009). Stabil karena radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan Umiyah 2005; Vattem dan Shetty 2006). Absorbansi maksimum DPPH pada panjang gelombang 517 nm dengan spektra sinar tampak 360-720 nm (Amrun dan Umiyah 2005) Ketika sebuah antioksidan mampu mendonorkan hidrogen yang beraksi dengan radikal DPPH, reaksi ini akan memberikan peningkatan kompleks non radikal dan menurunkan radikal DPPH yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning. Penurunan absorbsi dapat diukur secara spektrofotometrik dan dibandingkan dengan kontrol etanol atau metanol untuk mengkalkulasikan aktivitas scavenging radikal bebas DPPH (Vattem dan Shetty 2006). Ketika DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
50
yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Suratmo 2009).
Struktur kimia DPPH
dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH (Sumber: Molyneux 2004)
Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan pada metode DPPH ini adalah 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok contoh ekstrak dengan konsentrasi 5000 ppm. BHT adalah antioksidan sintetik yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Antioksidan sintetik ini biasa dicampurkan ke dalam bahan pangan karena efektif menghambat aktivitas radikal bebas dan bersifat sinergis dengan antioksidan lainnya. Namun penggunaan antioksidan sintetik dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). BHT dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50 dan 100 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok BHT konsentrasi 500 ppm. Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat (antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubstitusi para dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
51
untuk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali dengan radikal DPPH. Terakhir adalah pembentukan kompleks antara radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya (Suratmo 2009). Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value) atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value). Nilai ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,100,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). BHT banyak ditambahkan pada produk pangan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah ketengikan. Bahan pangan yang biasa diberi tambahan BHT adalah lemak, minyak, atau bahan makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh. Salah satu contohnya minyak kelapa sawit. Menurut Herawati dan Akhlus (2006), penambahan 200 ppm BHT mampu menahan kadar peroxide pada minyak kelapa sawit dibawah 2 meq/kg selama 210 menit, sedangkan tanpa menggunakan BHT diperoleh 2 meq/kg hanya dalam waktu 30 menit. Hasil penelitian Hanani et al. (2005) menunjukkan bahwa BHT memiliki IC50 pada konsentrasi 3,81 ppm, sehingga antioksidan sintetik BHT dapat dikategorikan sebagai antioksidan yang memiliki aktivitas yang kuat. Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas dengan cara mendeaktivasi senyawa radikal tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Penambahan BHT dalam bahan makanan diduga dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia. Oleh karena itu, penggunaannya mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa antara lain Rumania, Swedia dan Australia (Rita et al. 2009).
52
Gambar 12 Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006) Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut (Discodoris sp) kering mempunyai nilai tertinggi pada pelarut polar (metanol) yaitu dengan nilai IC50 781,23 ppm untuk contoh utuh dan 1657,07 ppm untuk contoh tanpa jeroan. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 8. Angka IC50 lintah laut jika dibandingkan dengan standar BHT menunjukkan bahwa lintah laut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah. Tabel 8 Nilai absorbansi, inhibisi BHT dan ekstrak metanol % inhibisi
Persamaan garis IC50 (ppm)
1,836 0,523 0,233 0,181
71,514 87,309 90,141
y = 24,8 ln(x)15,45
14,00
Metanol utuh
100 200 500 1000 2000 4000
1,466 1,403 1,179 1,014 0,632 0,170
20,153 23,584 35,784 44,771 65,577 90,741
y = 18,56 ln(x)73,60
781,23
Metanol tanpa jeroan
100 200 500 1000 2000 4000
1,762 1,701 1,527 1,344 0,934 0,309
4,239 7,554 17,011 26,957 49,239 83,315
y = 20,10 ln(x)98,99
1657,07
Sampel Blanko BHT
Konsentrasi (ppm) 0 25 50 100
Absorbansi
53
Tabel 8 menunjukkan bahwa pelarut polar (metanol) mempunyai nilai aktivitas antioksidan yang tertinggi. Selain jenis pelarut dalam mengekstrak komponen bioaktif dari lintah laut, baik rendemen maupun aktivitas antioksidan juga dipengaruhi oleh bagian yang diekstrak. Contoh yang diekstrak secara utuh (mantel dan jeroan) memiliki rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Tingginya aktivitas antioksidan pada contoh utuh diduga disebabkan pada jaringan yang mempunyai aktivitas metabolisme yang lebih tinggi, aktivitas enzim antioksidan juga tinggi seperti pada hati dan insang lebih tinggi dibanding jaringan otot ikan (Ansaldo et al. 2000), kelenjar pencernaan dibanding dinding tubuh pada polychaeta, atau insang dibanding mantel pada cephalopoda
(Zielenki dan Portner 2000 yang disitir dari
Heise et al. 2003).
4.5
Aktivitas Antioksidan Metode NBT Aktivitas antioksidan dengan metode NBT menunjukkan bahwa ekstrak
kasar lintah laut (Discodoris sp) kering mempunyai nilai tertinggi pada pelarut polar (metanol) yaitu dengan kisaran 69,73%-89,44%. Untuk pelarut semipolar (etilasetat) aktivitas antioksidannya berkisar 43,02%-54,23% dan yang terendah adalah pada pelarut nonpolar (kloroform) yaitu berkisar 15,24%-40,64%. Data analisis aktivitas antioksidan dari berbagai pelarut terhadap bubuk lintah laut kering dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rendemen ekstrak kasar dan aktivitas antioksidan lintah laut kering (%) Kloroform Pelarut Jenis bahan rendemen aktivitas Contoh utuh 2,27 15,24 Tanpa 0,74 40,64 jeroan
Etil asetat rendemen aktivitas 1,01 54,23 0,38
43,02
Metanol rendemen aktivitas 5,12 89,44 4,51
69,73
Tabel 9 menunjukkan bahwa pelarut polar (metanol) mempunyai nilai rendemen dan aktivitas antioksidan yang tertinggi. Selain jenis pelarut dalam mengekstrak komponen bioaktif dari lintah laut, baik rendemen maupun aktivitas antioksidan juga dipengaruhi oleh bagian yang diekstrak.
Pada contoh yang
diekstrak secara utuh (mantel dan jeroan) memiliki rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Rendemen contoh utuh yang terbesar adalah 5,12%,
54
contoh tanpa jeroan 4,51%. Aktivitas antioksidan contoh utuh berkisar 85,92%92,96% dan contoh tanpa jeroan memilki aktivitas antioksidan yang lebih rendah berkisar 69,04%-70,43%. Tingginya aktivitas antioksidan pada contoh utuh diduga disebabkan, pada jaringan yang mempunyai aktivitas metabolisme yang lebih tinggi, aktivitas enzim antioksidan juga tinggi seperti pada hati dan insang lebih tinggi dibanding jaringan otot ikan (Ansaldo et al. 2000), kelenjar pencernaan dibanding dinding tubuh pada polychaeta, atau insang dibanding mantel pada cephalopoda (Zielenki dan Portner 2000 yang disitir dari Heise et al. 2003). Tingginya antioksidan pada fraksi larut air (polar) ini sesuai dengan kebutuhan hidup dari biota perairan untuk pertahanan dirinya terhadap radikal bebas. Semua organisme, termasuk invertebrata laut memiliki sistem pertahanan antioksidan untuk menghadapi reaktif oksigen spesies (ROS) baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Contoh enzimatis adalah katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPx) yang mengkonversi H2O2 menjadi tidak reaktif, superoksida dismutase (SOD) merusak super anion (O2-), glutation S transferase (GST) mengkonjugasi lipid hidroperoksidase dengan glutation. Contoh non enzimatik terdapat pada selaput lendir telur cocoon Polychaeta, tetapi pada juvenil dan dewasa yang berfungsi adalah yang enzimatik (Rosa et al. 2005). Hasil penelitian Rosa et al. (2005) menunjukkan bahwa cacing yang terpapar H2O2 selama 10 hari mengalami peningkatan glutation S tranferase dan lipid peroksidase serta kerusakan DNA. Katalase dan SOD tinggi pada bagian posterior, bagian tengah sedang dan bagian anterior rendah. Sedangkan glutation peroksidase tinggi pada bagian tengah, glutation S transferase tinggi pada bagian anterior bagian tengah dan posterior rendah. Hasil penelitian Rosa et al. (2005) membuktikan bahwa selaput lendir cacing memiliki aktivitas katalase 12,71 u/mg protein, sedang badan hanya 2,44 u CAT/mg protein, laju perusakan H2O2 terhadap selaput lendir lebih tinggi dibanding kontrol dan polychaeta. Hal ini membuktikan bahwa bagian larut air yang banyak lendirnya pada penelitian ini juga diketahui mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Pada selaput lendir contoh yang diuji oleh Rosa et al. (2005) ditemukan
55
mikroorganisme berbentuk batang dengan ukuran 2 um, lebar 0,5-1,0 um, mempunyai endospora dan termasuk tipe kelompok Bacillus. Rendemen dari ekstrak kasar yang tertinggi terdapat pada pelarut yang polar (metanol). Warna ekstrak kasar untuk semua pelarut berwarna hijau kehitaman dengan bentuk pasta lembab untuk fraksi metanol dan pasta kering untuk fraksi lainnya (hexan, kloroform, etilasetat). Beberapa jenis Polychaeta yang kontak dengan sedimen setiap hari terpapar kondisi stres yaitu tekanan oksigen, H2O2, dan sulfit, sebagai contoh Heteromastus filiformis mempunyai SOD yang tinggi pada bagian posterior yang memiliki adaptasi parapoda untuk perubahan tekanan oksigen yang tinggi sehingga bagian ini akan menderita stres oksidatif (Abele and Puntarulo 2004). Terukurnya antioksidan pada fraksi larut air (polar) ini sesuai dengan kebutuhan hidup dari biota perairan untuk pertahanan dirinya terhadap radikal bebas. Semua organisme, termasuk invertebrata laut memiliki sistem pertahanan antioksidan untuk menghadapi reaktif oksigen spesies (ROS) baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Katalase dan SOD tinggi pada bagian posterior, bagian tengah sedang dan bagian anterior rendah. Sedangkan glutation peroksidase tinggi pada bagian tengah, glutation S transferase tinggi pada bagian anterior bagian tengah dan posterior rendah. Rendemen dari ekstrak kasar yang tertinggi terdapat pada pelarut yang polar (metanol). Warna ekstrak kasar untuk semua pelarut berwarna hijau kehitaman dengan bentuk pasta lembab untuk fraksi metanol dan pasta kering untuk fraksi lainnya (heksana, kloroform, etilasetat). Secara empiris masyarakat Bajo dan Madura mengkonsumsi lintah laut secara utuh baik dibakar (sate) maupun direbus. Demikian juga dengan masyarakat Madura di pantai Pamekasan yang sudah memanfaatkan lintah laut sebagai obat kuat dan air rebusan sebagai obat/jamu. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak kasar lintah laut kering mempunyai aktivitas antioksidan yang rendah jika dibandingkan dengan BHT dengan IC50 sebesar 781,23 ppm dengan rendemen 5,12%, sedangkan untuk BHT diperoleh IC50 sebesar 14,00 ppm.
56
Komponen yang mungkin berperan sebagai antioksidan adalah alkaloid, saponin dan asam amino. Komponen steroid/terpenoid lebih berperan sebagai antikolesterol.
4.6
Hasil Uji In-vivo pada Kelinci
4.6.1 Hubungan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan berat Pertambahan rata-rata berat kelinci selama penelitian berkisar 405-572 gram atau sekitar 23,78%-29,56%. Gambaran pertumbuhan kelinci selama periode penelitian disajikan pada Gambar 13. Data lengkap pertumbuhan disajikan pada Lampiran 2. Gambar 13 menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami pertambahan berat dari minggu ke 0 sampai minggu ke 12 dengan kecenderungan perlakuan positif dan simvastatin lebih besar pertambahan beratnya dibanding perlakuan kontrol negatif dan Discodoris sp. Pertambahan berat kelinci dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Bruck (1997) mencapai 30% dan lebih tinggi dibanding hasil penelitian Azima (2004) yaitu 18,98-28,20% yang menggunakan kelinci dari ras yang sama (New Zealand white) dan periode waktu
penelitian yang sama
(12 minggu).
Gambar 13 Gambaran pertumbuhan berat badan kelinci selama penelitian untuk perlakuan kontrol negatif (■), kontrol positif (●), simvastatin (▲), dan Discodoris ( )
57
4.6.2 Hasil pengamatan kimia darah (1) Kadar kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL Dalam darah (plasma) terdapat lemak (lipid) yang terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid, asam lemak. Kolesterol dalam tubuh berikatan dengan protein yang disebut lipoprotein yang berfungsi sebagai transportasi darah yaitu: kilomikron, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), HDL (high density lipoprotein), dan IDL (intermediate density lipoprotein). Lipoprotein ini tersusun dari bagian lemak dan protein. Kilomikron dan VLDL terutama terdiri dari trigliserida, LDL sebagian besar terdiri dari kolesterol sedangkan HDL sebagian besar terdiri dari protein. LDL sering disebut kolesterol jahat, karena membawa kolesterol dari hati ke darah, sehingga kalau LDL tinggi, banyak kolesterol yang dibawa ke darah, sedangkan HDL sebaliknya membawa kolesterol dari darah ke hati. Pengaruh perlakuan pada kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL selama penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 4. Kadar rata-rata kolesterol total serum semua kelinci pada awal pengujian berkisar 39,85±2,05 mg/dl (kontrol negatif) sampai 90,80±7,49 mg/dl (perlakuan simvastatin). Kadar rata-rata kolesterol total perlakuan kontrol positif mengalami kenaikan setelah minggu ke 4 sampai minggu 12 yaitu dari 46,65 mg/dl menjadi 572,40±1,83 mg/dl. Perlakuan Discodoris pada minggu ke 4 mengalami peningkatan, tetapi minggu ke 8 dan 12 mengalami penurunan yaitu 69,75 mg/dl. Perkembangan kolesterol total serum darah kelinci yang tertinggi selama pengamatan adalah untuk kontrol positif yang berkisar dari 60,05±7,42 mg/dl pada awal pengamatan (minggu ke 0) dan meningkat menjadi 572,40±1,83 mg/dl pada minggu ke 12. Pemberian bubuk Discodoris sp dan simvastatin dapat menurunkan
kolesterol
total.
Perlakuan
pemberian
bubuk
lintah
laut
(Discodoris sp) mampu menekan peningkatan kolesterol pada akhir pengujian dan secara statistik terlihat pengaruh yang nyata dari pemberian lintah laut dalam menurunkan kolesterol serum kelinci (Gambar 14). Kelinci yang diberi perlakuan Discodoris sp selama pengamatan tidak ada yang mengalami hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol total berkisar antara 46,60±3,39 mg/dl sampai 115,85±5,16 mg/dl pada minggu ke 4, tetapi pada
58
minggu ke 8 dan 12 mengalami penurunan menjadi 69,75±1,90 mg/dl. Penurunan kolesterol ini diduga disebabkan oleh beberapa hipotesis yang mungkin diajukan diantaranya adalah: perangsangan ekskresi kolesterol ke dalam usus dan perangsangan
oksidasi
kolesterol
menjadi
asam-asam
empedu
(Aikawa & Libby 2004). Tabel 40 Rata-rata kadar kolestrol total, trigliserida, HDL dan LDL selama pengamatan (mg/dl)
LDL (mg/dl)
HDL (mg/dl)
Triglisedrida (mg/dl)
Kolesterol Total (mg/dl)
Perlakuan
0
4 a
Waktu (Minggu) 8
41,50 ± 0,00
a
30,50 ± 1,69
12 a
31,60 ± 0,00a
K. Negatif
39,85 ± 2,05
K. Positif
60,05 ± 7,42a
268,30 ± 0,00c
324,40 ± 0,00c
572,40 ± 1,83c
Simvastatin
90,80 ± 7,49b
48,75 ± 3,46a
70,75 ± 10,39b
38,15 ± 9,26a
Discodoris
46,60 ± 3,39a
115,85 ± 5,16b
69,50 ± 8,62b
69,75 ± 1,90b
K. Negatif
41,85 ± 11,24a
44,25 ±2,76b
34,60±0,00a
33,90±2,26a
K. Positif
47,65 ±6,85a
102,87 ± 2,51c
158,60±2,97b
210,35±14,35c
Simvastatin
52,85 ± 1,48a
18,35±1,20a
32,70±2,68a
100,00±4,53b
Discodoris
37,77 ± 1,07a
46,20±0,00b
32,70±2,68a
40,87± 6,72a
K. Negatif
28,60 ± 2,96a
49,43 ± 9,09a
64,00 ± 5,93a
64,30 ± 12,05b
K. Positif
26,15 ± 3,32a
42,60 ± 2,82a
58,90 ± 2,82a
18,95 ± 11,24a
Simvastatin
27,80 ± 0,28a
59,85 ± 4,73a
53,90 ± 28,28a
62,50 ± 0,00b
Discodoris
20,10 ± 4,48a
59,45 ± 1,91a
101,87 ± 7,25a
103,23 ± 15,22c
K. Negatif
44,70 ± 4,67a
15,27 ± 5,10a
19,75 ± 0,63a
45,35 ± 7,00a
K. Positif
68,45 ± 19,72a
175,80 ± 22,76c
236,60 ± 39,45b
435,20 ± 98,99b
Simvastatin
70,67 ± 12,73a
77,15 ± 14,63b
37,10 ± 4,67a
82,40 ± 8,42a
Discodoris
79,70 ± 7,13a
31,15 ± 9,68ab
20,50 ± 0,28a
17,50 ± 3,53a
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata menurut Tukey (α=0,05)
Penurunan kadar kolesterol pada perlakuan simvastatin disebabkan oleh terjadinya hambatan pada kerja enzim HMG-KoA reduktase, sehingga biosintesis kolesterol dalam hati terhambat (Keidar et al. 1994 dan Matsunaga et al. 1994, Libby & Aikawa 2003, Larosa & Brooklyn 2002). Hasil penelitian Usman (2000) menunjukkan bahwa ekstrak kayu gabus mempunyai potensi sebagai anti hiperkolesterolemia pada tikus jantan strain Wistar selama 28 hari.
59
Mekanisme penurunan kolesterol karena meningkatnya kolesterol yang keluar melalui feses, yang diduga karena adanya alkaloid dan karbohidrat yang larut air. Peningkatan ekskresi kolesterol dalam feses menyebabkan meningkatnya sintesis asam empedu hepatik mengakibatkan simpanan kolesterol di hati menurun. Aktivitas sintesis kolesterol yang tinggi
menghabiskan cadangan
kolesterol dalam hati, sehingga memerlukan sintesis kolesterol di hati yang lebih tinggi (Machfouz & Kummerow 2000), dengan demikian kolesterol dalam serum dapat direduksi. Uji kimia pada penelitian ini juga terdeteksi adanya alkaloid dan karbohidrat yang berpotensi sebagai penurun kolesterol
Gambar 14 Kadar kolesterol total rata-rata serum kelinci selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Dilaporkan pula oleh Rachmadani (2001) bahwa ekstrak daun jati belanda berpotensi menurunkan kolesterol secara bermakna pada tikus hiperlipidemia. Senyawa yang terdapat pada daun jati belanda berupa tanin dan triterpenoid yang diduga banyak berperan sebagai antioksidan dan dalam sintesis hormon steroid. Hasil penelitian Azima (2004) menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis berpotensi sebagai anti hiperkolesterolemia pada kelinci new zealand white selama 12 minggu. Mekanisme penurunan kolesterol diduga karena adanya senyawa komponen kimia yang terdiri dari tanin, flavonoid, terpenoid, alkaloid dan saponin yang berperan sebagai antioksidan. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya sebagai penangkal radikal bebas dan radikal peroksi sehingga efektif dalam menghambat oksidasi, terutama pada senyawa lipida. Demikian juga dengan serbuk lintah laut yang mengandung komponen bioaktif. Komponen
60
bioaktif yang terdapat pada lintah laut adalah; alkaloid, steroid, saponin, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol. Selain itu diketahui juga melalui hasil penelitian Witjaksono (2005) bahwa lintah laut pada fraksi nonpolar mengandung beberapa jenis asam lemak tidak jenuh majemuk yang diduga dapat menurunkan kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan HDL sebagaimana yang dilaporkan oleh Raghu dan Venkatesan (2008) yang menyatakan bahwa suplemen minyak ikan (omega 3) yang diberikan selama 2 minggu sebanyak 1g/hari dapat menurunkan kolesterol, trigliserida, LDL, VLDL dan meningkatkan HDL. Kandungan asam lemak dan omega 3 yang terdapat pada lintah laut kering terdiri dari asam palmitat 13,7%, asam palmitoleat 14,7%, asam stearat 16,2%, brasikasterol 26,5%, dihidrobrasikasterol 26,9%, kolesterol 26,1%, asam miristat 11,73%, asam oleat 15,96% (Witjaksono 2005). Kelompok sterol dari lintah laut ini lebih dari 50%. Sterol merupakan alkohol berbobot molekul tinggi yang terdapat pada fraksi tidak tersabunkan dari minyak dan lemak pada jaringan hewan dan tanaman. Hasil penelitian Marliyati (2005) menunjukkan bahwa sterol lembaga gandum terbukti dapat mencegah peningkatan kadar kolesterol darah kelinci. Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika Serikat kadar kolesterol manusia dibawah 200 mg/dl masih dianggap baik, cukup dicek setiap lima tahun. Tapi kalau kadarnya berkisar 200-239 mg/dl, maka harus berdiet dan memeriksa kadar kolesterol setiap tahun. Kalau sampai diatas 240 mg/dl orang tersebut berisiko penyakit jantung (Permanasari 2007). Kadar kolesterol normal darah kelinci berkisar antara 40-80 mg/dl kolesterol total, 10-40 mg/dl untuk LDL dan 60-110 mg/dl untuk trigliserida (Momuat 2001). Berdasarkan standar ini, maka perlakuan kontrol negatif, Simvastatin dan Discodoris selama pengamatan nilainya masih dalam kondisi normal. Sebaliknya kontrol positif dari minggu ke 4 sampai minggu ke 12 sudah mengalami hiperkolesterolemik. Penyakit kardiovaskular bukan semata masalah negara maju. Sekitar 80% dari kematian akibat kardiovaskular justru terjadi di negara berpendapatan menengah ke bawah. Pada tahun 2010 penyakit kardiovaskular diperkirakan akan
61
menjadi penyebab kematian pertama di negara-negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Penyakit kardiovaskular tidak membedakan pria, wanita, batas geografis dan sosioekonomis, telah menjadi epidemi global (Anonimous 2005). Discodoris sp dapat mencegah penyakit jantung koroner diduga melalui proses
pencegahan
atau
penghambatan
faktor-faktor
predisposisi
dari
aterosklerosis. Tabel 10 menunjukkan bahwa kadar trigliserida serum kelinci pada awal penelitian
berkisar 37,77±1,07 mg/dl sampai 56,67±16,35 mg/dl dan secara
statistik tidak berbeda untuk masing-masing perlakuan. Kadar trigliserida kontrol positif mengalami peningkatan dari minggu keempat sampai minggu ke 12 yaitu 102,87±2,51 mg/dl sampai 223,63±25,15 mg/dl. Kontrol negatif, Simvastatin dan Discodoris dari awal pengamatan sampai minggu ke 12, relatif tidak mengalami perubahan seperti terlihat pada Tabel 11. Untuk lebih jelasnya perkembangan nilai rata-rata trigliserida serum kelinci dapat dilihat pada Gambar 15. c b c a
a a
a
b
b a a
b
a a
a
a
Gambar 15 Kadar rata-rata trigliserida serum kelinci selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Perlakuan Simvastatin dan Discodoris sp dapat menekan peningkatan kadar trigliserida jika dibandingkan dengan kontrol positif. Simvastatin dan Discodoris dapat menurunkan absorpsi lemak di usus sehingga kadar trigliserida darah bisa setara secara signifikan dengan kontrol negatif. Kadar trigliserida dipengaruhi oleh jumlah lemak dan energi yang dikonsumsi. Jika terjadi kelebihan energi, sebagian
energi tersebut akan diubah menjadi trigliserida dan selanjutnya
disimpan menjadi lemak tubuh dalam jaringan adiposa. Kondisi hipertrigliserida
62
disebabkan oleh konsumsi lemak yang tinggi (Marinetti 1990). Dalam penelitian ini untuk kontrol positif yang ditambah kolesterol dan pakan standar, telah mengalami kadar trigliserida yang tinggi (210,35 mg/dl). Standar yang ideal pada manusia adalah 10-160 mg/dl (Nutracare 2008). Standar trigliserida normal untuk kelinci adalah 60-110 mg/dl. Kadar HDL awal serum kelinci berkisar 20,10±4,48 mg/dl sampai 28,60±2,96 mg/dl dan terjadi peningkatan pada akhir penelitian, terutama untuk perlakuan Discodoris. Perlakuan Discodoris dapat meningkatan kadar HDL, namun peningkatan yang signikan terjadi pada minggu ke 12. Pada minggu 0, 4, dan 8 kadar HDL rata-rata semua perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0,05. Khusus untuk perlakuan kontrol positif pada minggu ke 12 kadar HDLnya yang terendah yaitu 18,95 mg/dl. Menurut Sormin (2006) risiko terjadinya penyakit jantung koroner 6 kali lebih tinggi pada pasien (manusia) dengan kadar HDL kurang dari 35 mg/dl. The National Cholesterol Education Programe (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) menetapkan kadar kolesterol HDL minimum 40 mg/dl untuk pria dan 50 mg/dl untuk wanita sebagai sasaran terapi dan perlu mendapatkan intervensi. Peranan HDL sebagai reverse cholesterol transport (RCT) yang dapat meningkatkan
efluks
kelebihan
kolesterol
dari
jaringan
periper
dan
mengembalikan ke hati untuk diekskresikan melalui empedu (Sormin 2006). Peran protektif kolesterol HDL dalam pencegahan terjadinya aterosklerosis, membuktikan bahwa peningkatan HDL akan menurunkan angka kematian karena PJK. HDL dengan bantuan beberapa enzim paraoxonase (PON-1), platelet activating
factoracethylhydrolase
(PAF-AH)
dan
lecitin
cholesterol
acyltransferase (LCAT), masing-masing atau bersama-sama mengubah partikel LDL menjadi pecahan yang tidak bersifat aterogenik. Reaksi ini terjadi karena adanya pengaruh HDL mencegah reaksi oksidasi LDL yang berperan sebagai reaksi transpor balik (reverse tranport) yang mengangkut partikel lipoprotein ke dalam hati kembali dan selanjutnya sebagian lemak diolah menjadi asam empedu dan dikeluarkan bersama feses (Abdurahman 2003). Perkembangan nilai HDL pada serum kelinci selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 16.
63
Gambar 16 Rata-rata kadar HDL selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Kolesterol tidak larut dalam air, untuk dapat ditransportasikan dalam tubuh, ia harus berikatan dengan protein yang disebut lipoprotein yang terdiri atas kilomikron, LDL, VLDL, HDL, dan IDL. Fungsi utama dari LDL adalah untuk tranportasi kolesterol dari hati ke jaringan. Rata-rata LDL kelinci sebelum perlakuan berkisar 44,70±4,67 mg/dl sampai 79,70±7,13 mg/dl. Kadar LDL perlakuan Discodoris selanjutnya pada minggu keempat sampai minggu ke 12 mengalami penurunan. Secara statistik selama pengamatan hanya kontrol positif yang berbeda secara signifikan seperti terlihat pada Tabel 10 dan Gambar 17. Pada minggu ke 12 perlakuan kontrol positif mempunyai nilai rata-rata LDL tertinggi yaitu 435,20±98,99 mg/dl. Kadar LDL normal untuk kelinci adalah 1040 mg/dl (Momuat 2001). Kadar kolesterol yang tinggi perlu diwaspadai karena merupakan cikal bakal proses penyumbatan pembuluh darah, terlebih lagi bila yang meninggi adalah kadar kolesterol LDL, yang dikenal sebagai lemak "jahat". Jadi LDL memang berbahaya, tetapi VLDL lebih berbahaya dan LDL teroksidasi adalah yang sangat berbahaya karena dialah yang memacu berbagai mekanisme terbentuknya ateroma pembuluh darah. Proses oksidasi LDL secara normal dihambat oleh sistem yang ada dalam tubuh. Namun bila sistem antioksidan tubuh tidak memadai proses oksidasi LDL akan terus berjalan. Cukup tidaknya sistem antioksidan tubuh
64
seseorang untuk menangkal proses tersebut dapat dilihat dari pemeriksaan status antioksidan total dan/atau kadar SOD dan GPx (Harmanto 2005).
Gambar 17 Rata-rata LDL per bulan selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Penurunan kadar kolesterol total dan LDL pada serum darah kelinci yang diberi perlakuan Discodoris sp dapat diakibatkan oleh adanya kandungan alkaloid, saponin, steroid, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol pada tepung lintah laut. Hasil penelitian King (2002) menunjukkan bahwa saponin pada kedelai dapat menurunkan LDL plasma secara signifikan, demikian juga dengan saponin dari Quillaja yang mampu mencegah hiperkolesterolemia pada tikus yang diberi kolesterol. Jenis-jenis asam amino yang terdapat pada lintah laut disajikan pada Tabel 11, yang didominasi oleh asam glutamat yaitu 2,192% untuk daging dan 2,144% untuk jeroan. Selain asam glutamat yang nilainya lebih dari 1% adalah asam amino prolin, leusin dan lisin, sedangkan asam amino lain nilainya kurang dari 1% (Nurjanah et al. 2009). Kemungkinan asam amino yang terdapat pada lintah laut berperan sebagai antioksidan dan antikolesterol. Asam glutamat adalah asam amino non esensial yang dapat disintesis dari gugus amida pada molekul glutamin yang diubah menjadi karboksilat melalui proses hidrolis asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam depresi (Linder 1992).
65
Tabel 51 Asam amino yang terdapat pada lintah laut No
Jenis asam amino
Hasil (%) daging
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistein Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin Taurin
Jeroan
0,910 2,192 0,553 0,222 0,354 0,461 0,523 0,378 1,176 0,501 0,809 0,277 0,136 0,428 1,418 0,357 1,395 2,000
0,957 2,144 0,614 0,260 0,352 0,517 0,565 0,439 1,191 0,479 0,831 0,254 0,164 0,339 1,673 0,456 1,223 2,000
Sumber: Nurjanah et al (2009)
Asam amino leusin dan lisin termasuk asam amino esensial. Leusin dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit terutama penyembuhan luka setelah operasi dan menjaga sistem imun (Edison 2009). Lisin berfungsi sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen, menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih (Harli 2008). Lisin juga berperan penting produksi karnitin yang sangat penting mengoksidasi asam lemak (Edison 2009). Taurin merupakan asam amino bebas terbanyak dalam jaringan otot jantung dan otak (Nurachman 2004). Taurin mengandung gugus amino, tapi tidak memiliki gugus karboksil yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida sehingga tidak berfungsi sebagai pembangun struktur protein. Dapat disintesis dari asam amino metionin atau sitein dan piridoksin (Vitamin B6), dibentuk dalam hati yang diikuti dengan reaksi oksidasi dari dekarboksilasi asam amino sistein
66
(Marsh dan May 2009). Taurin memiliki dua peran dalam metabolisme yaitu sebagai penghambat neurotransmiter dan sebagai bagian dari pengemulsi asam empedu. Secara medis taurin dipakai untuk menangani kasus gagal jantung, diabetes, epilepsi dan beberapa kondisi lain (Nurachman 2004). Taurin mempunyai beberapa manfaat yaitu mencegah diabetes, mencegah kerusakan hati akibat alkohol dan penyembuhan pada masalah penglihatan. Taurin juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menormalkan tekanan darah dan melawan penyakit hati (Okuzumi dan Fujii 2000). Taurin ini juga berfungsi sebagai peredam reaktif oksigen spesies (ROS) dan reaktif nitrogen spesies (Fang et al. 2002). Selain komponen tersebut, lintah laut juga mengandung beberapa mineral penting yang juga dapat berfungsi sebagai antioksidan dan kofaktor enzim diantaranya adalah; magnesium 110,95 ppm (daging) dan 112,4 ppm (jeroan); mangan 6,93 ppm (daging) dan 7,25 ppm (jeroan); seng 7,52 ppm (daging) dan 4,35 ppm (jeroan) serta kalsium 179,98 ppm (daging) dan 187,98 ppm (jeroan), selenium 2,45 ppm (daging) dan 2,05 untuk jeroan (Nurjanah et al. 2009). Mineral seng (Zn), selenium (Se), mangan (Mn) inilah yang juga berfungsi sebagai antioksidan (Setright 1993).
(2) Pengaruh lintah laut terhadap SGOT dan SGPT Tes laboratorium digunakan untuk memastikan diagnosis serta untuk memantau penyakit dan pengobatan. Tes fungsi hati yang umum adalah AST (aspartate transaminase) yang disebut sebagai SGOT, dan ALT (alanine transaminase). Jika terjadi peradangan/kerusakan pada sel hati nilai kedua enzim ini akan meningkat. SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan sel hati dibanding SGOT. Peningkatan nilai SGOT dan SGPT sampai dua kali angka normal merupakan hal yang biasa, namun harus diwaspadai (Spritia, 2001). Nilai SGPT dianggap normal adalah 0-35 U/l optimal 24 U/l untuk manusia. Peningkatan nilai SGPT 50 kali dari normal menandakan rendahnya aliran darah pada hati, hepatitits, atau kerusakan sel hati yang disebabkan oleh obat/senyawa kimia seperti CCl4 (karbontetraklorida). Peningkatan SGPT ringan sampai sedang dapat disebabkan oleh adanya hepatitis, sirosis, kanker pada hati dan alkohol. Terkadang pada sirosis peningkatan nilai SGPT 2-4 kali kadar normal. Hasil
67
pengukuran SGOT-SGPT pada kelinci setelah mendapat perlakuan selama 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 62 Kadar SGOT-SGPT kelinci setelah mendapat perlakuan selama 12 minggu. Perlakuan K. Negatif
Minggu ke-12 (U/l) SGOT SGPT a 43,50 ± 3,53 33,00 ± 1,41a
K. Positif
56,50 ± 7,77a
85,50 ± 10,60b
Simvastatin
92,67 ± 4,93b
93,33 ± 6,03b
Discodoris
44,00 ± 2,82a
45,00 ± 1,41a
A ngka yang diikuti huruf berbeda nyata menurut Tukey (α=0,05)
SGOT banyak dijumpai pada organ jantung, hati, otot rangka, pankreas, paru-paru, sel darah merah dan sel otak. Saat organ tersebut mengalami kerusakan, maka SGOT akan dilepaskan kedalam darah dan nilainya akan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan kerusakan sel tersebut. Nilai normal SGOT pada manusia berkisar 3-45 U/l. Peningkatan nilai SGOT dapat terjadi karena adanya hepatitis C. Nilai SGOT dan SGPT hanya diukur pada akhir masa penelitian. Tujuan pengukuran parameter ini adalah untuk mengetahui dampak negatif dari perlakuan Discodoris sp dan obat Simvastatin. Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai SGOT berbeda secara signifikan untuk perlakuan simvastatin. Dengan kata lain pemberian Discodoris tidak mempengaruhi kerja hati. Demikian juga dengan nilai SGPT. Tingginya nilai SGOT-SGPT pada perlakuan Simvastatin dan SGPT pada kontrol positif terjadi karena pengaruh radikal bebas dan efek toksik dari obat yang menyebabkan sel mengalami kematian (nekrosis) seperti terlihat pada Tabel 13. SGOT-SGPT hanya menggambarkan tingkat kerusakan sel hati, kedua enzim ini tidak dapat menggambarkan tingkat kemampuan sel hati untuk meregenerasi diri. Dalam kondisi normal sel-sel tubuh memiliki kemampuan regenerasi, jika mereka akan menggantikannya dengan sel-sel baru. Kemampuan regenerasi inilah yang akan mengimbangi kerusakan sel. Bisa saja nilai SGOT-
68
SGPT mengalami kenaikan hingga di atas normal, tapi sesungguhnya sel hati tidak dalam kondisi sakit, karena sel yang telah mati diganti oleh sel yang baru
4.6.3 Pengaruh lintah laut terhadap sel hati Hati merupakan organ yang berperan penting dalam detoksifikasi racun dan hidrogen peroksida. Hal ini menyebabkan hati berpotensi mengalami kerusakan. Sebagian besar toksin memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dilanjutkan ke peredaran darah dan dibawa menuju sel-sel hati. Secara perlahan keterpaparan toksin dalam jangka waktu tertentu menyebabkan kerusakan pada sel hati. Beberapa jenis kerusakan hati yang terjadi antara lain degenerasi sel berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, kematian sel secara apoptosis maupun nekrosis, perlemakan hati (steatosis), sirosis dan sebagainya. Walaupun demikian, hati memiliki daya regenerasi sel yang sangat besar. Pada hati normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat giat, sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali. Pada nekrosa lokal hati, banyak sel-sel hati yang hilang namun dalam waktu 2 minggu sel-sel yang hilang dapat diganti kembali bila kausa nekrosa disingkirkan (Ressang 1984). Kerusakan yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa sel. Hasil penghitungan persentase sel yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 73 Persentase kondisi sel hati kelinci yang mengalami kerusakan Perlakuan
Sel normal
K. negatif K.positif Simvastatin Discodoris
91,96±0,95b 41,18±3,12a 89,23±2,99b 86,93±4,09b
Degenerasi hidropis 2,81±2,56a 60,46±14,52b 25,57±6,10a 5,63±5,73a
Degenerasi lemak 0,10±0,004a 1,75±1,97ab 3,69±1.29b 0,00±0,00a
Sel nekrosa 5,47±1,55a 3,84±0,78a 8,99±1,22b 6,41±0,80ab
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata berdasarkan Tukey (α=0.05)
Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah/persentase sel hati normal untuk perlakuan Discodoris sp, simvastatin dan kontrol negatif tidak berbeda nyata, tapi berbeda dengan kontrol positif. Kelinci yang mendapat perlakuan Discodoris sp mempunyai sel normal 86,93% dan yang mengalami degenerasi hidropis 5,63%, degenerasi lemak 0,00% serta sel yang mengalami nekrosa 6,41%.
69
Kerusakan sel hati dalam bentuk degenerasi hidropis yang banyak terjadi pada kontrol positif yaitu 60,46% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada tingkat α 0,05%. Perlakuan kontrol negatif, simvastatin dan Discodoris sp tidak berbeda nyata pada tingkat α=0,05. Perlakuan Discodoris
sp dan
simvastatin dapat menurunkan kejadian degenerasi hidropis. Degenerasi hidropis merupakan indikasi intoksikasi hati yang agak ringan bersifat reversible (tidak menetap) yang disebabkan karena iritasi substansi kimia organik atau inorganik melalui vena porta dari usus ke hati. Secara makroskopis, hati yang mengalami degenerasi hidropis akan terlihat meluas, batasan hati terlihat tumpul, konsistensi lunak, warna hati abu-abu pucat kecoklatan dan jika diinsisi akan menonjol. Namun secara mikroskopis, sel hati akan terlihat mengalami perluasan, terjadi pembengkakan dan kepucatan sitoplasma; kadang terbentuk vakuolisasi beraspek keruh; plasma bergranul, serta inti sel kurang jelas. Degenerasi hidropis terjadi karena membran plasma sel mengalami kerusakan. Kerusakan ini menyebabkan impermeabilitas pompa sodium-potasium yang berguna dalam mengatur konsentrasi ion di dalam dan diluar sel. Dampak kerusakan tersebut menyebabkan peningkatan volume sodium (Na+), kalsium (Ca2+), plasma protein dan air serta menyebabkan berkurangnya potassium (K+) dan enzim di dalam sitoplasma sel tersebut. Pada kondisi ini cairan di sekitar sel akan mudah merembes masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan sel. Cairan tersebut terutama terakumulasi di dalam matriks sitosolik atau retikulum endoplasma. Kelebihan cairan di dalam sitoplasma menekan daerah sinusoid, akibatnya sinusoid menyempit (Cheville 1999). Degenerasi lemak untuk semua perlakuan secara statistik berbeda nyata, kecuali perlakuan Discodoris dan kontrol negatif. Perlakuan Discodoris sp dapat mencegah degenerasi lemak. Degenerasi lemak sering disebut dengan lipidosis. Degenerasi lemak membutuhkan iritasi yang hebat untuk mengganggu metabolisme lemak sel. Beberapa jaringan akan membentuk lipid pada sitoplasma sel saat mengalami cedera, tetapi beberapa jaringan yang lain akan memproduksi lipid lebih sedikit (Cheville 1999).
D
70
Akumulasi lemak dalam sel hati biasanya terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, misalnya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak, hipoksia kronis yang
menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, dan kondisi-
kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa seperti pada saat kelaparan dan diabetes melitus. Persentase sel hati yang mengalami nekrosa berkisar dari 3,84% (kontrol positif); 6,41% (Discodoris); 5,47% (kontrol negatif) dan 8,98% (Simvastatin). Secara statistik melalui uji Tukey menunjukkan hasil bahwa simvastatin berbeda secara signifikan dengan perlakuan lainnya dan mengalami kematian sel yang terbanyak. Penggunaan obat simvastatin selama 12 minggu secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan sel hati berupa kematian, hal ini juga didukung oleh data SGOT dan SGPT yang lebih tinggi (Tabel 13). Discodoris memperlihatkan hasil yang sama dengan kontrol negatif dan positif. Pemberian lintah laut tidak menyebabkan kematian sel hati. Gambar 18 dan Tabel 14 menunjukkan bahwa pemberian tepung lintah laut pada kelinci selama 12 minggu dapat mencegah kerusakan sel hati yang disebabkan oleh degenerasi lemak, degenerasi hidropis dan nekrosa. Nekrosa pada sel hati disebabkan karena sel kekurangan oksigen atau makanan (iskhemia) dan pengaruh substansi kimia organik dan anorganik (seperti mineral, asam, alkalis, dan fenol) serta sel yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Setelah kematian sel, sel tersebut membebaskan trombokinase yang menyebabkan koagulasi fibrinogen pada serum darah. Hasilnya, sitoplasma terlihat bergranul. Perubahan dari sitoplasma sendiri menyebabkan satu dari tiga perubahan yang jelas terjadi pada inti, diantaranya: (1) inti bisa kehilangan afinitas untuk dasar tegangan dan warnanya memucat hingga membentuk sebuah cincin dan akhirnya inti menghilang. Biasanya kebanyakan indikasi kematian inti yang seperti ini disebut karyolisis, (2) inti pecah menjadi bagian yang kecil. Perubahan ini sering disebut karyorrhexis, (3) inti menyusut, terjadi penambahan warna hematoxylin nucleus sel hati (inti berwarna biru) karena ada kondensasi kromatin yang disebut dengan pyknosis (Ressang 1984 dan Cheville 1994).
71
Gambar 18 Kerusakan sel hati kelinci dengan pewarnaan HE pembesaran (10x40) (kiri) kontrol positif (K+) kontrol negatif (K-), Simvastain (S), Discodoris sp (D), ▲= Normal; ∆ = Degenerasi hidropis; = Degenerasi lemak; = Kematian sel
4.6.4 Pengaruh lintah laut terhadap aorta Hasil pengamatan terbentuknya plak/lesi pada aorta kelinci percobaan dapat dilihat pada Gambar 19 serta persentase dan tingkat kejadian plak pada Tabel 14. Gambar 19 memperlihatkan bahwa kontrol negatif dan perlakuan Discodoris tidak terbentuk plak/lesi dibanding kontrol positif. Hal ini didukung oleh profil lipid serum darah kelinci selama pengamatan dan rasio total kolesterol/HDL dan perbandingan LDL dengan HDL. Dari hasil ini terlihat kemampuan tepung Discodoris sp dalam menekan terjadinya aterosklerosios. Plak atau lesi yang terbentuk pada perlakuan kontrol positif bersifat konsentrik (terdapat pada seluruh dinding aorta), sedang lesi yang terdapat pada perlakuan Simvastatin bersifat eksentrik (terdapat pada bagian tertentu saja dari dinding aorta).
72
Tabel 84 Skor pembentukan plak pada aorta kelinci Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Simvastatin Discodoris
Skor pembentukan plak pada aorta 1,1±0,1 a 2,4 ±0,1b 1,8 ±0,2c 1,1 ±0,2a
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata berdasarkan LSD (α=0.05).
Aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani athere berarti lemak, oma berarti massa dan skleros berarti keras. Pada aterosklerosis terjadi pengerasan dinding arteri akibat penimbunan berbagai komponen termasuk lipid, kristal kolesterol dan garam-garam kalsium, yang mengakibatkan arteri menjadi kaku dan menyebabkan penyempitan lumen arteri (Fergenbaun 2002). Kontributor utama terhadap patogenesis terjadinya serangan jantung, infark serebri dan penyakit vaskuler perifer (Nicholas III 2001).
Gambar 19 Gambaran pembentukan lesi aterosklerosis pada aorta kelinci (Pewarnaan HE, pembesaran 40x10), kontrol positif (K+), kontrol negatif (K-), Simvastatin (S), Discodoris sp (D). Tanda panah menunjukkan lesi aterosklerosis yang terbentuk. Aterosklerosis merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai faktor, diantaranya adalah disfungsi endotel, prekrutan monosit, inflamasi, proliferasi sel otot polos, akumulasi dan oksidasi lipid, nekrosis, kalsifikasi, dan
73
trombosit. Aterosklerosis itu sendiri bukanlah suatu penyakit yang berbahaya, tetapi apabila plak aterosklerosis koyak dan terjadi ketidak seimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme proteksi, maka dapat menyebabkan terjadinya trombosis (Karniawati 2000). Perkembangan aterosklerosis mengikuti pola yang relatif tetap. Pada lesi tahap dini dijumpai penumpukan lipid yang berlebihan di tunika intima dari pembuluh darah arteri. Penumpukan ini disertai masuknya monosit dan sel T, yang menunjukkan keterlibatan sistem kekebalan dengan respon inflamasi. Monosit yang masuk akan dikonversi menjadi makrofag dan akan memakan selsel lipid, lalu berubah menjadi sel busa. Sejumlah sel otot polos akan mengalami transisi dari keadaan kontraktil menjadi keadaan sekretorik dengan memproduksi matrik protein yang terkumpul dalam plak aterosklerosis. Terbentuknya kumpulan lipid yang ditutupi oleh jaringan ikat, maka nekrosis terjadi dari sel-sel busa. Pada tahap ini komplikasi trombotik berperan penting dalam terjadinya gejala klinis. Pada plak tahap lanjut, dapat dijumpai nekrosis sentral dan perubahan-perubahan yang menyertainya seperti fibrosis, perdarahan, intraplak, ulserasi dan mineralisasi (Nicholas III 2001). Tabel 15 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif mengalami pembentukan plak yang lebih tebal dibanding perlakuan lainnya. Perlakuan Discodoris sp tidak berbeda dengan kontrol negatif.
4.6.5 Pengaruh lintah laut terhadap ginjal Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1% dari berat badan, meskipun demikian menerima sekitar 20% curah jantung. Aliran darah ginjal tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri ke glomerulus yang melekat pada tubulus. Fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus tempat mengkoleksi bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu tubuli dan korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang bersirkulasi dibandingkan jaringan lainnya (Soeksmanto 2003). Adanya gangguan pada ginjal dapat diketahui dengan mengamati adanya proliferasi glomerulus yang berasal dari pembengkakan dan penambahan sel-sel endotel dan epitel, sehingga penghitungan jumlah sel-sel glomerulus dan diameter glomerulus ginjal serta gambaran seluler dari korteks dapat digunakan untuk menentukan adanya gangguan pada ginjal (Kincaid-Smith dan Withworth, 1987)
74
Ginjal adalah suatu organ yang sangat berguna untuk menyingkirkan toksikantoksikan dari tubuh. Senyawa-senyawa toksik diekskresikan ke dalam urin oleh mekanisme-mekanisme yang sama yang digunakan oleh ginjal untuk membuang hasil-hasil akhir metabolisme dari tubuh. Proses-proses ini adalah filtrasi glomerulus dan difusi tubulus yang pasif, serta sekresi tubulus yang aktif. Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan zat-zat sisa metabolisme yang mengandung nitrogen misalnya amonia. Amonia adalah hasil pemecahan protein dan bermacam-macam garam, melalui proses deaminasi atau proses pembusukan mikroba dalam usus. Selain itu, ginjal juga berfungsi mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan, misalnya vitamin yang larut dalam air; mempertahankan cairan ekstraselular dengan jalan mengeluarkan air bila berlebihan; serta mempertahankan keseimbangan asam dan basa. Sekresi dari ginjal berupa urin. Ginjal menerima sekitar 25% output cardiac, dan 20% disaring oleh glomerulus. Kapiler glomerulus mempunyai pori-pori yang besar (40 Ao), dan karena itu satu senyawa akan disaring pada glomerulus kecuali berat molekulnya besar (lebih besar dari 60.000). Kebanyakan agen-agen toksik berukuran kecil untuk disaring pada glomerulus. Tingkat pengikatan satu bahan toksik ke protein plasma mempengaruhi kecepatan filtrasi, karena satu ikatan agen toksik terlalu besar untuk melewati pori-pori. Sekali toksikan sudah disaring pada glomerulus, maka akan tinggal dalam lumen tubulus dan diekskresikan atau bisa diserap kembali secra pasif menembus sel-sel tubulus dari nefron kedalam aliran darah. Asas-asas yang mengatur difusi kembali dari toksikan menembus tubulus sama dengan yang berhubungan dengan pengiriman melalui membran secara pasif. Karena itu, toksikan dengan satu koefisien partisi lipid/air yang tinggi akan diserap kembali secara pasif, dan senyawa-senyawa polar dan ion tidak akan dapat berdifusi, tetapi diekskresikan kedalam urin (Mansyur, 2002). Di dalam ginjal terjadi rangkaian proses filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi uraiannya adalah sebagai berikut: (1) Penyaringan(filtrasi) Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses
75
penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitias yang tinggi pada glomerulus. Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya. (2) Penyerapan kembali (Reabsorbsi) Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal. Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. (3) Augmentasi Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin. Tabel 15 dan Gambar 20 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol negatif dan kontrol positif tidak berbeda nyata. Dengan kata lain pemberian kolesterol tidak berpengaruh terhadap endapan protein pada glomerulus ginjal, tetapi perlakuan Discodoris sp dan simvastatin menyebabkan terbentuknya endapan protein pada glomerulus ginjal. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya kadar abu tidak larut asam pada bagian lintah laut yang digunakan secara utuh dan akumulasi obat simvastatin selama 12 minggu secara terus menerus.
Hasil
analisis kadar abu tidak larut asam pada bubuk lintah laut yang digunakan secara utuh adalah 1,9%. Kadar abu maksimum untuk produk perikanan yang dikeringkan dengan cara penjemuran matahari dibatasi maksimum 0,3%. Angka
76
yang diperoleh pada lintah laut utuh kering sudah sangat tinggi, oleh sebab itu perlu dilakukan preparasi contoh yang tidak menggunakan jeroan dan kotorannya yang berupa feses, tanah, pasir dan batu yang terdapat bagian organ dalam. Tabel 95 Persentase endapan protein pada glomerulus ginjal kelinci percobaan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Simvastatin Discodoris
Endapan protein (%) 1,38±0,39a 2,70±0,81 a 6,37±2,02 b 10,28±1,11c
Angka yang diikuti huruf berbeda signifikan berdasarkan Tukey (α=0.05).
Gambar 20 Patologi ginjal kelinci dengan pewarnaan HE pembesaran 40x10. Tanda panah menunjukkan adanya endapan protein pada glomerulus ginjal. K- kontrol negatif, K+ kontrol positif, S Simvastatin, dan D Discodoris sp.