4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian karakter massa air di Selat Sunda berdasarkan nilai sebaran suhu permukaan laut, yaitu massa air yang berasal dari Laut Jawa, massa air yang berasal dari Samudera Hindia dan percampuran dari kedua tipe massa air tersebut. Massa air di Laut Jawa cenderung dicirikan dengan suhu permukaan laut yang tinggi, sementara massa air dari Samudera Hindia memiliki suhu permukaan laut yang lebih rendah. Wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan percampuran dari kedua karakteristik massa air tersebut, memiliki distribusi suhu permukaan laut yang bersifat dinamis, dan bergeser ke utara atau selatan tergantung dorongan arus dominan.
4.1.1. SPL Musim Barat Sebaran SPL yang dapat diamati pada musim barat dapat dilihat pada Gambar 3. Bulan November merupakan awal masuknya musim barat di perairan Selat sunda. Distribusi SPL pada musim barat yaitu bulan November-Januari berada pada kisaran 27-29 °C. Rendahnya SPL di perairan Selat Sunda pada musim barat diduga karena adanya indikasi dominansi massa air dingin yang berasal dari Samudera Hindia dan juga diduga disebabkan oleh tingginya curah hujan di perairan tersebut ( Amri, 2002).
17
18
Pola pergerakan SPL di Selat Sunda merupakan SPL perata-rataan bulanan dari data 8 harian citra Aqua MODIS. Pada gambar terlihat bahwa di bulan November, SPL di laut Jawa lebih tinggi dibandingkan SPL di selatan Jawa, sedangkan SPL di perairan Selat Sunda cukup hangat dengan kisaran 29 °C berada di ujung mulut selatan selat. Memasuki bulan Desember, terlihat adanya pergerakan massa air yang bersuhu 29 °C di perairan dekat Lampung, mulut selat bagian utara dan selatan. Pada bulan Januari SPL di perairan Selat Sunda menjadi semakin rendah dengan kisaran nilai 25 °C-28 °C.
November
Desember
Januari
0
C
Gambar 3. Distribusi SPL pada Musim Barat 4.1.2. SPL Musim Peralihan 1 Bulan Februari merupakan awal masuknya musim peralihan 1, yang ditunjukan oleh Gambar 4. Tampilan gambar tersebut juga menunjukan bahwa distribusi SPL di Samudera Hindia cukup hangat dibandingkan SPL di Utara Jawa, sehingga berpengaruh terhadap hangatnya SPL di perairan Selat Sunda di bagian selatan mulut selat. Kondisi ini berbeda jauh saat memasuki bulan Maret, SPL di Samudera Hindia terlihat lebih rendah dibandingkan di Utara Jawa,
19
sehingga mengakibatkan SPL di Selat Sunda menjadi lebih rendah pada bulan Maret dan meningkat pada bulan April sebagai akhir musim peralihan 1.
Februari
Maret
April
0
C
Gambar 4. Distribusi SPL pada Musim Peralihan 1
4.1.3. SPL Musim Timur Gambar 5 menunjukan SPL bulanan pada bulan Mei hingga Juli. Bulan Mei merupakan awal masuknya musim timur, SPL pada musim timur terlihat lebih hangat dibandingkan pada musim barat dan musim peralihan. SPL tinggi terlihat tersebar di perairan Selat Sunda, Indikasi ada dominansi massa air hangat yang berasal dari Laut Jawa seperti terdeteksi citra suhu permukaan laut pada musim timur, diperkuat juga oleh data temporal suhu permukaan laut (Gambar 8).
Mei
Juni
Juli
Gambar 5. Distribusi SPL pada Musim Timur
0
C
20
4.1.4. SPL Musim Peralihan 2 Bulan Agustus merupakan awal masuknya musim peralihan 2, dicirikan dengan rendahnya nilai SPL di selatan Jawa akibat pengaruh dari angin muson tenggara. SPL pada musim peralihan 2 menjadi lebih rendah dibandingkan musim timur, hal ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Agustus
September
Oktober
0
C
Gambar 6. Distribusi SPL pada Musim Peralihan 2
Fluktuasi rata-rata bulanan SPL di perairan Selat Sunda dari tahun 20072010 dapat dilihat pada Gambar 7. Pada musim peralihan 2 ( Agustus-Oktober) dan musim barat (November-Januari) nilai suhu permukaan laut cenderung menurun dibandingkan dengan SPL pada musim peralihan 1 (Februari-April) dan musim timur (Mei-Juli), sehingga grafik tersebut menunjukan SPL yang cenderung meningkat memasuki musim timur sedangkan rendah pada musim barat. Hal ini menunjukan adanya indikasi dominasi massa air hangat yang berasal dari Laut Jawa. Suhu permukaan laut di perairan Selat Sunda dan sekitarnya bervariasi sepanjang tahun. Suhu permukaan laut berkisar antara 26,9 °C sampai 30,9 °C.
21
Fluktuasi nilai SPL ini cenderung meningkat memasuki musim timur dan menjadi rendah memasuki musim barat dan peralihan. 30.00 29.50 SPL ( 0 C)
29.00 28.50 28.00 27.50 27.00 26.50 jan
feb
mar
apr
mei
juni juli Bulan
ags
sept
okt
nov
des
Gambar 7. Fluktuasi nilai rata-rata bulanan SPL di perairan Selat Sunda dan sekitarnya tahun 2007 sampai dengan tahun 2010.
4.2. Variasi nilai SPL di perairan laut Selat Sunda
31.00 30.00 2007
SPL (0C)
29.00 2008 28.00
2009
27.00
2010
26.00 25.00
Gambar 8. Nilai rata-rata SPL di perairan Selat Sunda dari tahun 2007 sampai 2010 Grafik di atas menunjukan variasi SPL di perairan Selat Sunda selama periode tahun 2007 sampai 2010. Terlihat pada grafik bahwa musim timur
22
memiliki kisaran nilai SPL 29 °C -30 °C yang diduga merupakan suhu optimum bagi ikan pelagis. SPL cenderung meningkat pada musim timur. Adapun adanya perbedaan SPL yang rendah pada musim timur di tahun 2008 yaitu 28 °C, diduga karena adanya pengaruh dari kondisi perairan laut yang dinamis, menurut Manurung. et al (1998), variabilitas faktor lingkungan perairan Selat Sunda sangat tinggi, hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan ikan dan kondisi oseanografi di perairan Selat Sunda.
4.3. Distribusi Konsentrasi Klorofil-a Sebaran spasial distribusi konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda mulai tinggi pada bulan Februari (Musim Peralihan 1) dan mencapai maksimum pada bulan Juni (Musim Timur). Pada bulan November dan Desember konsentrasi klorofil-a rendah dan tinggi kembali pada bulan Januari sebagai akhir musim barat. Distribusi konsentrasi klorofil tinggi pada musim Timur diduga akibat tingginya konsentrasi klorofil-a di Selatan Jawa bagian barat dan bergerak ke Selat Sunda. Tingginya konsentrasi klorofil-a di Selatan Jawa pada musim timur diduga karena pengaruh dari pergerakan massa air yang kaya akan nutrien akibat fenomena upwelling dan berpengaruh juga ke perairan sekitarnya dalam hal ini dapat mencapai perairan Selat Sunda, namun untuk validasi lebih akurat diperlukan tambahan data tinggi paras muka laut. Selain itu, dari sebaran spasial diketahui bahwa Laut Jawa memberikan pengaruh besar pada konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda, hal ini terlihat dari tingginya konsentrasi klorofil-a pada musim timur ( Mei-Juli) yang penyebaranya mencapai perairan Selat Sunda. Tingginya konsentrasi klorofil-a pada musim
23
timur diduga akibat pengaruh dari pergerakan arus yang bergerak dari wilayah timur menuju perairan barat yang membawa serta massa air yang kaya akan nutrien ke Selat Sunda. Sebaran spasial rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a selama tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Gambar 9.
Januari
Februari
Maret
Mg/m3
April
Mei
Juni
Mg/m3
Juli
Oktober
Agustus
September
November
Desember
Gambar 9. Sebaran spasial bulanan konsentrasi klorofil-a tahun 2007-2010.
Mg/m3
Mg/m3
24
4.4. Variasi nilai konsentrasi klorofil di perairan Selat Sunda
0.80
0.70
Konsentrasi Klorofil-a (mg/m3)
0.60
0.50
0.40
2007 2008
0.30
2009
2010 0.20
0.10
0.00
Gambar 10. Sebaran rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Variasi distribusi konsentrasi klorofil di Selat Sunda disebabkan oleh adanya pengaruh dari 2 karakteristik massa air yang berbeda yaitu aliran massa air dari Samudera Hindia dan massa air dari utara Jawa. Perairan Samudera Hindia cenderung mempunyai konsentrasi klorofil-a yang rendah dibandingkan perairan utara Jawa , hal ini dikarenakan Perairan Samudera Hindia merupakan perairan lepas pantai, adapun terjadinya peningkatan nilai klorofil-a pada musim timur, diduga akibat adanya fenomena upwelling di perairan selatan Jawa di musim timur (Amri, 2002).
25
Grafik di atas memperlihatkan variasi yang cenderung meningkat pada periode musim timur ( Gambar 10). Musim barat cenderung mempunyai konsentrasi klorofil-a yang relatif rendah. Variasi nilai konsentrasi klorofil-a di perairan ini tidak terlepas dari pengaruh angin musiman yang terjadi di perairan Indonesia. Pada musim barat, aliran massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin lebih dominan masuk ke perairan Selat Sunda, sehingga karakteristik massa air di perairan tersebut lebih rendah dengan konsentrasi klorofil yang rendah, hal ini dapat dilihat pada tampilan sebaran spasial bulanan konsentrasi klorofil-a tahun 2007 sampai tahun 2010 (Gambar 9). Sebaliknya, pada musim timur massa air dari Laut Jawa lebih dominan mendorong massa air hangat dengan kandungan klorofil tinggi masuk ke Selat Sunda, sehingga pada musim ini dapat diindikasikan sebagai musim yang optimal untuk penangkapan. Menurut Muripto (2000), Selat Sunda merupakan perairan yang dipengaruhi oleh aliran dua massa air utama, yaitu massa air Laut Jawa dan Samudera Hindia. Oleh karena itu faktor oseanografi yang berpengaruh adalah pergerakan angin di Selat Sunda dan sekitarnya. Adanya pergerakan arah dan kecepatan angin apabila dihubungkan dengan sebaran konsentrasi klorofil akan memperkuat pernyataan bahwa tinggi atau rendahnya nilai konsentrasi klorofil-a dipengaruhi oleh angin dan perubahan musim. Pola angin yang berperan di Indonesia adalah angin muson. Letak geografi Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Benua Australia membuat kawasan ini paling ideal untuk berkembangnya angin muson. Perairan Selat Sunda merupakan salah satu kawasan yang dipengaruhi oleh angin muson. Angin muson barat berhembus pada bulan Oktober sampai April,
26
mengakibatkan belahan bumi selatan khususnya Australia bertemperatur tinggi dan tekanan udara rendah, sebaliknya di Asia memiliki temperatur rendah dan tekanan udara tinggi. Oleh karena itu terjadilah pergerakan angin dari Benua Asia ke Benua Australia sebagai angin muson barat. Angin ini melewati Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan. Angin muson timur berhembus setiap bulan April sampai Oktober, ketika matahari mulai bergeser ke belahan bumi utara, sehingga terjadi pergerakan angin dari benua Australia ke benua Asia melalui Indonesia, angin ini tidak banyak mengakibatkan turun hujan, oleh karena itu disebut juga sebagai musim kemarau. Pola pergerakan angin berdasarkan Gambar 11, menunjukan bahwa di perairan Selat Sunda dan sekitarnya dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Pada periode musim barat hingga awal musim peralihan, angin bertiup dari arah barat laut ( Desember – Maret). Bulan November dan April ( musim pancaroba), dimana pengaruh musim barat dan musim timur masih ada, menyebabkan terjadi pergerakan pola angin yang berlawanan di daerah Samudera Hindia sehingga terjadi pembelokan arah ke Selat Sunda dan Laut Jawa dengan kecepatan angin yang lebih tinggi di wilayah Samudera Hindia dibandingkan wilayah Laut Jawa, sehingga berpengaruh ke perairan Selat Sunda. Pada musim timur dan peralihan 2 pergerakan angin bertiup dari arah timur yaitu datang dari Samudera Hindia dan memiliki kecepatan yang tinggi menuju Selat Sunda. Berikut merupakan pola pergerakan angin yang dapat dilihat pada Gambar 11.
27
Gambar 11. Pola pergerakan angin di Selat Sunda dan sekitarnya. Sumber : Data angin ECMWF
28
4.5. Produksi Ikan Pelagis Data hasil tangkapan ikan pelagis yang diperoleh merupakan data sekunder dari TPI Labuan Pandeglang Banten, Dinas Perikanan Kabupaten Pandeglang, dan hasil wawancara. Data tersebut berupa data waktu penangkapan (bulan), jumlah dan jenis hasil tangkapan dari alat penangkapan ikan pelagis yaitu pukat cincin ( purse seine). Data produksi ikan yang digunakan adalah jenis ikan pelagis yang dominan selalu tertangkap setiap bulannya di TPI Labuan, data ikan tersebut yaitu jenis ikan tongkol (Euthynnus sp) yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis CPUE ( Cacth Per Unit Effort) untuk melihat kelimpahan ikan di suatu periran. Data ini dikumpulkan selama kurun waktu 2 tahun yaitu dari tahun 2009 sampai tahun 2010. Menurut Nyebakken (1988), ikan pelagis merupakan organisme yang hidup di perairan terbuka. Sementara itu Amin, et.al (1991), menyatakan ikan pelagis umumnya bertingkah laku bergerombol pada siang hari dan berpencar pada malam hari. Perairan Selat Sunda juga mempunyai sumber daya ikan yang banyak dimanfaatkan terutama jenis ikan pelagis, pemanfaatan sumber daya perikanan pelagis di Selat Sunda dilakukan dengan menggunakan alat tangkap mini purse seine ( pukat cincin mini). Produksi ikan ini di dapat dari data sekunder pelabuhan Labuan, Pandeglang Banten. Pada subbab berikut digambarkan hubungan antara SPL dan konsentrasi klorofil-a terhadap CPUE di perairan Selat Sunda. Menurut Muripto (2000), daerah penangkapan ikan pada musim timur terjadi di perairan sekitar Labuan yaitu di perairan Tanjung Lesung, Batu Hideung, Cikujang, Sumur dan Pulau Panaitan.
29
4.5.1. Hubungan SPL dengan catch per unit effort (CPUE) ikan tongkol di Selat Sunda Gambar 12 memperlihatkan hubungan antara SPL dengan CPUE ikan tongkol di perairan Selat Sunda yang diambil dari data perikanan. Secara umum, nilai SPL pada saat musim barat cukup rendah, dengan SPL berkisar antara 27-28 °C serta diikuti oleh rendahnya nilai CPUE ikan tongkol, sedangkan pada saat Musim Timur (Mei-Juli), SPL di lokasi penelitian berada pada kisaran 29-30,5 °C . Nilai CPUE ikan tongkol tinggi pada bulan Juni 2009 dan bulan Mei, Juni 2010. Tingginya nilai CPUE pada musim timur ini diduga karena ikan tongkol menyenangi perairan panas, sehingga SPL pada musim timur merupakan suhu yang optimum bagi penangkapan ikan tongkol di perairan tersebut. Berdasarkan uji statistik korelasi Pearson periode tahun 2009-2010 (Lampiran 8), menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang erat antara parameter SPL dengan CPUE ikan tongkol, hal tersebut juga dapat dilihat dari diagram pencar yang tidak menyebar normal dimana variabel y merupakan nilai CPUE dan variabel x merupakan SPL. Selain itu juga, tidak adanya korelasi antara SPL dengan CPUE ini diperkuat dengan kecilnya nilai R2 sebesar 0.27, hal ini diduga karena ikan tongkol tidak hanya dipengaruhi oleh suhu permukaan laut, tetapi juga sangat sensitif terhadap perubahan salinitas ( Gunarso, 1985). Berdasarkan data yang ada, menunjukan bahwa secara umum, hasil tangkapan tertinggi ikan tongkol terjadi pada musim timur dengan suhu 29-30,5 °C, hal ini dapat diindikasikan bahwa suhu yang cocok untuk penangkapan ikan tongkol di Selat Sunda adalah pada saat Musim Timur ( Mei-Juli). Hubungan SPL dengan CPUE ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 12.
30
31
450.00 400.00
30 350.00 29
250.00 28 200.00 150.00
27
100.00
SPL ( 0C)
CPUE ( kg/unit)
300.00
26 50.00
Desember
Oktober
November
September
Juli
Agustus
Mei
Juni
April
Maret
Januari
Februari
Desember
Oktober
November
September
Juli
Agustus
Mei
Juni
April
Maret
Februari
25 Januari
0.00
2010
2009
CPUE
SPL
Gambar 12. Hubungan antara Konsentrasi SPL dengan CPUE ikan tongkol
4.5.2. Hubungan Klorofil-a dengan CPUE ikan Tongkol Berdasarkan Gambar 13, diketahui bahwa CPUE ikan tongkol selama kurun waktu 2 tahun cenderung berfluktuasi. Secara umum , peningkatan nilai konsentrasi klorofil-a diikuti oleh peningkatan CPUE, hal tersebut terjadi pada Musim Timur (Mei-Juli). Tingginya konsentrasi klorofil-a yang terjadi di Selat Sunda pada Musim Timur akibat masukan massa air yang kaya akan nutrien dari wilayah upwelling di pesisir Selatan Jawa. Tingginya konsentrasi klorofil-a yang juga diikuti oleh peningkatan nilai CPUE ikan tongkol terjadi pada bulan Juni 2009 dan bulan Mei 2010, namun
31
tidak semua peningkatan CPUE ikan tongkol diikuti oleh tingginya konsentrasi klorofil-a, hal ini dikarenakan ada waktu sela (time lag) dimana naiknya nilai konsentrasi klorofil-a tidak langsung berdampak pada naiknya nilai CPUE, tetapi membutuhkan beberapa waktu sehingga klorofil yang ada telah dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai sumber makanan, berikutnya zooplankton akan dimanfaatkan oleh ikan-ikan kecil sebagai bahan makanan atau dimakan langsung oleh ikan pelagis dalam hal ini ikan tongkol yang merupakan ikan karnivor. Nilai CPUE cenderung rendah pada Musim Barat dikarenakan rendahnya rata-rata konsentrasi klorofil-a, namum pada November 2010 terjadi peningkatan nilai CPUE, sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitriah (2008), yang menyatakan bahwa kenaikan hasil tangkapan ikan tongkol tidak selalu langsung dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi klorofil-a di suatu perairan, dikarenakan adanya selang waktu (time lag) sekitar satu bulan antara naiknya konsentrasi klorofil dengan naiknya hasil tangkapan ikan tongkol. Berdasarkan uji statistik, menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang erat antara parameter konsentrasi klorofil-a dengan CPUE ikan tongkol di perairan Selat Sunda, hal tersebut dapat ditunjukan dari diagram pencar yang menyebar tidak normal ( Lampiran 8 ). Rendahnya hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan CPUE ikan tongkol ini, diduga diakibatkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan tongkol selain SPL dan konsentrasi klorofila, yaitu adanya waktu sela sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu juga, perlu adanya analisis salinitas dan arus di perairan Selat Sunda untuk analisis tambahan sehingga diharapkan dapat mendapatkan hasil yang lebih akurat. Hubungan antara konsentrasi Klorofil-a dan CPUE ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 13.
32
450.00
0.8
400.00
0.7 0.6
300.00 0.5 250.00 0.4 200.00 0.3 150.00 0.2
100.00
0.1
50.00
0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
0.00
Klorofil-a (mg/m3)
CPUE (kg/unit)
350.00
2009
2010
CPUE
Konsentrasi Klorofil-a
Gambar 13. Hubungan antara Konsentrasi klorofil-a dengan CPUE ikan tongkol
Berdasarkan analisis deskriptif, menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda tidak langsung diikuti oleh peningkatan CPUE ikan tongkol, hal ini diduga disebabkan karena ikan tongkol merupakan ikan karnivor yang tidak langsung memakan fitoplankton, ada waktu tunda (time lag) antara peningkatan konsentrasi klorofil-a dan CPUE. Secara umum Gambar 13 menunjukan bahwa terjadi waktu sela 1 bulan antara peningkatan konsentrasi klorofil-a dan CPUE ikan tongkol. Hal tersebut ditunjukan pada bulan Maret, Oktober 2009 dan April, Oktober 2010. Tingginya konsentrasi klorofil tidak disertai dengan peningkatan CPUE, akan tetapi 1 bulan berikutnya terjadi peningkatan CPUE.