4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run yang dimulai dari menit ke-0 sampai ikan tidak sadar (pingsan). Deret perlakuan yang dilakukan adalah ikan nila jantan pada konsentrasi acepromazine 40 ppm, 50 ppm, dan 60 ppm; ikan nila betina pada konsentrasi acepromazine 40 ppm, 50 ppm, dan 60 ppm; serta campuran ikan nila jantan dan ikan nila betina pada konsentrasi 40 ppm, 50 ppm, dan 60 ppm. Hasil pengamatan terhadap perubahan tingkah laku ikan pada tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan Perlakuan
A
B
C
Waktu Pengamatan
0-15
15-30
30-45
45-60
60-75
Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diam di dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, sebagian ikan memasuki fase light sedation Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke
Posisi tubuh tegak, sirip punggung meregang, gerakan operkulum mulai melemah, dan sebagian ikan memasuki fase light sedation
Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Pingsan (57,57,62)
Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, respon terhadap rangsangan luar lambat, sebagian ikan masuk ke fase deep sedation
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Pingsan (47,50,480
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan
Pingsan (40,39,36)
75-90
19
Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan (lanjutan)
D
E
F
G
permukaan, sebagian ikan memasuki fase deep sedation Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diam di dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diamdi dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi Posisi tubuh agak miring, sirip punggung meregang, gerakan operkulum melemah dan sebagian ikan memasuki fase light sedation Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diam di dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi
tetapi jarang dan lemah
Pingsan (40,39,36)
Posisi tubuh agak miring, sirip punggung meregang, gerakan operkulum melemah dan sebagian ikan memasuki fase light sedation
Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Pingsan (73,74)
Posisi tubuh agak miring, sirip punggung meregang, gerakan operkulum melemah dan sebagian ikan memasuki fase light sedation
Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Pingsan (67,68,64)
Posisi tubuh miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, respon terhadap rangsangan luar lambat, sebagian ikan masuk ke fase deep sedation Posisi tubuh agak miring, sirip punggung meregang, gerakan operkulum melemah dan sebagian ikan memasuki fase light sedation
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat
Pingsan (54,57,55)
Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah
Pingsan (63,68,72)
Pingsan (u1=76)
20
Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan (lanjutan) Posisi tubuh Posisi tubuh Ikan agak miring, miring, mulut kehilangan gerakan sesekali keseimbangan, operkulum disembulkan ke posisi tubuh normal, mulut permukaan, respon terbalik, masih Pingsan sesekali terhadap ada gerakan H (57,55,58) disembulkan rangsangan luar tetapi jarang ke permukaan, lambat, sebagian dan lemah sebagian ikan ikan masuk ke memasuki fase fase deep sedation light sedation Posisi tubuh Ikan kehilangan miring, mulut keseimbangan, sesekali posisi tubuh disembulkan terbalik, masih ada ke permukaan, gerakan tetapi respon jarang dan lemah Pingsan Pingsan I terhadap (u3=42) (u1=47,u2=54) rangsangan luar lambat, sebagian ikan masuk ke fase deep sedation Keterangan : A = Ikan nila betina dengan pemberian acepromazine 40 ppm B = Ikan nila betina dengan pemberian acepromazine 50 ppm C = Ikan nila betina dengan pemberian acepromazine 60 ppm D = Ikan nila jantan dengan pemberian acepromazine 40 ppm E = Ikan nila jantan dengan pemberian acepromazine 50 ppm F = Ikan nila jantan dengan pemberian acepromazine 60 ppm G = Campuran ikan nila jantan dan betina dengan pemberian acepromazine 40 ppm H = Campuran ikan nila jantan dan betina dengan pemberian acepromazine 50 ppm I = Campuran ikan nila jantan dan betina dengan pemberian acepromazine 60 ppm
Hasil pengamatan pada Tabel 4 menunjukkan pemberian konsentrasi uji 40 ppm memberikan pengaruh yang lambat terhadap aktivitas ikan uji. Hal ini dapat terlihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan oleh ikan uji hingga mencapai tahap pingsan. Perubahan aktivitas ikan uji mulai terlihat pada menit ke-30 hingga menit ke-45. Pada rentang waktu ini ikan uji mulai kehilangan keseimbangan, mulut sering disembulkan ke permukaan, posisi tubuh mulai rebah dan kurang responsif terhadap rangsangan dari luar. Pada penggunaan konsentrasi uji 40 ppm ikan uji tanpa pembedaan jenis kelamin memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-63, 68, dan 72. Ikan uji betina memasuki tahap pingsan masingmasing untuk tiap ulangan adalah pada menit ke-57, 57, dan 62, sedangkan ikan uji jantan memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-76, 73 , dan 74.
21
Pengujian dengan konsentrasi 50 ppm mulai memberikan pengaruh terhadap ikan uji pada menit ke-30. Pengaruh yang diberikan tersebut dilihat dari gerakan operkulum yang mulai melemah, sirip punggung yang meregang, sesekali mulut disembulkan ke permukaan serta sebagian ikan memasuki fase light sedation dan deep sedation. Pada penggunaan konsentrasi uji 50 ppm ikan uji tanpa pembedaan jenis kelamin memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-57, 55, dan 58. Ikan uji betina memasuki tahap pingsan masing-masing untuk tiap ulangan adalah pada menit ke-47, 50, dan 48, sedangkan ikan uji jantan memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-67, 68 , dan 64. Pengujian dengan konsentrasi 60 ppm mulai memberikan pengaruh terhadap ikan uji pada menit ke- 15. Pengaruh yang diberikan tersebut dilihat dari gerakan operkulum yang mulai melemah, sirip punggung yang meregang, sesekali mulut disembulkan ke permukaan serta sebagian ikan memasuki fase light sedation dan deep sedation. Pada penggunaan konsentrasi uji 60 ppm ikan uji tanpa pembedaan jenis kelamin memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-47, 54, dan 42. Ikan uji betina memasuki tahap pingsan masing-masing untuk tiap ulangan adalah pada menit ke-40, 39, dan 36, sedangkan ikan uji jantan memasuki tahap pingsan masing-masing pada menit ke-54, 57 , dan 55. 4.2 Waktu Onset Pemingsanan Waktu onset adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu keadaan dimana status hewan uji kehilangan kesadaran (Mckelvey dan Hollingshead 2003). Pencatatan waktu onset pemingsanan ikan nila dilakukan mulai dari kondisi normal sampai kondisi pingsan. Pencatatan ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan acepromazine terhadap waktu yang dibutuhkan ikan nilai hingga pingsan. Hipotesis awal pada parameter ini adalah bahwa pemberian berbedaan konsentrasi acepromazine tidak berpengaruh terhadap waktu onset yang dibutuhkan oleh ikan nila hingga pingsan. Sebaliknya, hipotesis pembandingnya adalah perbedaan konsentrasi acepromazine memberikan pengaruh terhadap waktu onset pemingsanan. Hasil pengamatan terhadap waktu onset pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
22
80
74,33 66,33
Waktu Onset (menit)
70 60
58,67
50 40
55,33
48,33
67,67 56,67 47,67
38,33
40 ppm
30
50 ppm
20
60 ppm
10 0 nila betina
nila jantan
campuran
Jenis Kelamin
Gambar 3 Grafik pengaruh perlakuan terhadap waktu onset Grafik di atas menunjukkan bahwa pembedaan jenis kelamin ikan uji dan perbedaan konsentrasi acepromazine yang digunakan menyebabkan waktu onset yang berbeda-beda. Namun, interaksi antara pembedaan jenis kelamin dan perbedaan konsentrasi acepromazine tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu onset ikan uji. Waktu onset paling cepat ditunjukkan oleh ikan nila betina dengan pemberian acepromazine sebesar 60 ppm, yaitu selama 38,33 menit. Waktu onset paling lama ditunjukkan oleh ikan nila jantan dengan pemberian acepromazine sebesar 40 ppm, yaitu sebesar 74,33 menit. Waktu onset yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode Rancangan Acak Faktorial (RAF). Berdasarkan analisis data dengan menggunakan metode RAF, pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pembedaan jenis kelamin dan perbedaan konsentrasi acepromazine memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu onset ikan uji. Hasil analisis ini selanjutnya diuji lebih lanjut dengan menggunakan metode Tukey, yang hasilnya disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan metode Tukey (α =0,05) dapat dilihat bahwa pembedaan jenis kelamin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu onset ikan uji. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan waktu onset yang tercatat antara ikan nila jantan dan ikan nila betina, dimana ikan jantan memiliki waktu onset yang lebih lama dibandingkan dengan ikan betina. Hal ini
23
diduga berkaitan dengan berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau terabsorbsi pada lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005), sehingga ikan yang mempunyai kandungan lemak yang tinggi akan lebih mudah teranestesi. Sebagaimana diketahui, pada umumnya ikan betina memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi karena mengandung telur di dalam perutnya. Secara substansial, telur ikan terdiri atas tiga bentuk yaitu : kantung kuning telur (yolk vesicle), butiran kuning telur (yolk globule) dan tetesan minyak (oil droplet). Kantung kuning telur berisi glikoprotein dan pada perkembangan selanjutnya, menjadi kortikal alveoli. Butir-butir kuning telur terdiri atas lipoprotein, karbohidrat dan karoten. Oil droplet secara umum terdiri atas gliserol dan sejumlah kecil kolesterol (Sunarma et al. 2002). Ikan betina yang digunakan pada penelitian ini dapat diperkirakan memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi karena sedang mengandung telur di dalam perutnya. Pemberian konsentrasi yang berbeda juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu onset ikan uji. Semakin besar konsentrasi uji yang diberikan maka semakin cepat waktu onset ikan uji. Secara berurutan dari waktu onset yang paling cepat hingga paling lama adalah konsentrasi uji 60 ppm, 50 ppm, dan 40 ppm. Acepromazine adalah golongan phenothiazine neuroleptik yang mempunyai potensi untuk memblok post-sinapsis reseptor. Acepromazine mendepresi susunan syaraf pusat (CNS) sehingga menghasilkan efek sedasi, relaksasi otot, dan menurunkan aktifitas refleks. Pengujian terhadap waktu onset akibat pemberian acepromazine pada penelitian ini dapat disimpulkan kurang memuaskan karena waktu onset yang dibutuhkan ikan hingga pingsan cukup lama. Menurut Gunn (2000), anestesi yang ideal adalah anestesi yang mampu memingsankan ikan kurang dari tiga menit. Lamanya waktu yang dibutuhkan konsentrasi uji untuk memberikan pengaruh terhadap aktivitas ikan uji diduga karena konsentrasi uji yang diberikan belum cukup untuk mempengaruhi keseimbangan fungsi saraf dan jaringan otak ikan uji. Di samping itu, ikan nila termasuk ikan air tawar yang memiliki kisaran toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan perairannya, yakni pH air yang sangat rendah, kadar salinitas yang tinggi, dan kandungan oksigen perairan yang rendah (Arie 2000).
24
4.3 Waktu Pulih Sadar Waktu pulih sadar ditentukan untuk mengetahui lamanya waktu yang dibutuhkan ikan uji untuk kembali ke dalam kondisi normal setelah proses pemingsanan. Penentuan waktu pulih sadar dilakukan mulai dari ikan uji yang pingsan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air mengalir atau air bersih yang diberi aerasi hingga ikan sadar dan kembali ke kondisi normal. Pengamatan terhadap waktu pulih sadar ikan uji dapat dilihat pada Gambar 4. 84,67
90
Waktu Pulih Sadar
80
70,67
70
59,33
60
52,33
50,67
50 40
77,33
72,67
44,67 40 ppm
35,67
30
50 ppm
20
60 ppm
10 0 nila jantan
nila betina
campuran
Jenis Kelamin
Gambar 4 Grafik pengaruh perlakuan terhadap waktu pulih sadar Grafik di atas menunjukkan bahwa pembedaan jenis kelamin ikan uji dan perbedaan konsentrasi acepromazine yang digunakan menyebabkan waktu pulih sadar yang berbeda-beda. Namun, interaksi antara pembedaan jenis kelamin dan perbedaan konsentrasi acepromazine tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu pulih sadar ikan uji. Waktu pulih sadar
paling lama
ditunjukkan oleh ikan nila betina dengan pemberian acepromazine sebesar 60 ppm, yaitu selama 84,67 menit. Waktu pulih sadar paling cepat ditunjukkan oleh ikan nila jantan dengan pemberian acepromazine sebesar 40 ppm, yaitu sebesar 35,67 menit. Waktu pulih sadar yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode Rancangan Acak Faktorial (RAF). Berdasarkan analisis data dengan menggunakan metode RAF, pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pembedaan jenis kelamin dan perbedaan konsentrasi
25
acepromazine memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu pulih sadar ikan uji. Hasil analisis ini selanjutnya diuji lebih lanjut dengan menggunakan metode Tukey, yang hasilnya disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan metode Tukey (α =0,05) dapat dilihat bahwa pembedaan jenis kelamin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu pulih sadar ikan uji, dimana ikan betina memiliki waktu pulih sadar yang lebih lama dibandingkan dengan ikan jantan. Kandungan lemak yang terkandung dalam tubuh ikan uji diduga mempengaruhi waktu pulih sadar yang dibutuhkan untuk kembali ke kondisi normal. Hal ini berkaitan dengan berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau terabsorbsi pada lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005). Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, ikan betina yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan ikan jantan, sehingga ikan betina akan lebih banyak mengakumulasi acepromazine yang diberikan di dalam tubuhnya. Dengan demikian, ikan betina akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali ke kondisi normal karena jumlah bahan anestesi yang berada di dalam sistem peredaran darahnya lebih banyak. Pemberian konsentrasi yang berbeda juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu pulih sadar ikan uji. Semakin besar konsentrasi acepromazine yang diberikan maka semakin lama waktu pulih sadar ikan uji, karena semakin besar konsentrasi yang diberikan maka akan semakin besar jumlah bahan aktif yang berada pada sistem peredaran darah sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa kembali ke kondisi normal. 4.4 Tingkat Kelulusan Hidup (Survival Rate) Ikan Pengujian terhadap tingkat kelulusan hidup atau survival rate (SR) pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas dari penggunaan acepromazine sebagai bahan anestesi dan mengetahui konsentrasi optimum yang sebaiknya digunakan pada proses imotilisasi ikan untuk kemudian diterapkan pada sistem transportasi ikan. Pengujian terhadap tingkat kelulusan hidup juga penting dilakukan untuk mengetahui konsentrasi uji mana yang menyebabkan tingginya kematian pada ikan uji. Pengujian terhadap nilai SR dapat dilihat pada Gambar 5.
26
120 100
100100,00
100 93,33
80,00
80 SR (%)
100 93,33
73,33
66,67
60
40 ppm
40
50 ppm 60 ppm
20 0 nila jantan
nila betina
campuran
Jenis Kelamin
Gambar 5 Grafik pengaruh perlakuan terhadap nilai SR Berdasarkan pengujian dengan menggunakan metode RAF (Lampiran 3), pada selang kepercayaan 95%, pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai SR dihasilkan oleh pemberian acepromazine dengan konsentrasi yang berbeda sehingga dilakukan uji lanjut dengan menggunakan metode Tukey (Lampiran 3). Pembedaan jenis kelamin dan interaksi antara pembedaan jenis kelamin dengan perbedaan konsentrasi acepromazine tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai SR ikan uji, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut. Hasil pengujian dengan metode Tukey menunjukkan bahwa pengaruh berbeda nyata ditunjukkan antara konsentrasi 60 ppm dengan 50 ppm, serta antara 60 ppm dengan 40 ppm. Sedangkan pemberian acepromazine dengan konsentrasi 40 ppm dan 50 ppm tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai SR ikan uji. Tingkat kematian yang tinggi pada pemberian acepromazine dengan konsentrasi 60 ppm diduga bahwa ikan uji tidak mampu lagi mentolerir banyaknya zat anestesi yang masuk ke dalam tubuhnya pada konsentrasi tersebut. Menurut Mckelvey dan Hollingshead (2003), efek samping dari penggunaan acepromazine
yang
berlebihan
yaitu
hipotensi,
anemia
dan
dehidrasi.
Acepromazine juga dapat berpengaruh terhadap respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh (Forney 2004). Besar kemungkinan jika berbagai efek samping tersebut tidak segera ditangani akan menimbulkan kematian pada hewan uji.
27
4.5 Analisis Kualitas Air Proses transportasi ikan hidup berbeda dari ternak teresterial, dimana untuk ikan harus disediakan sistem pendukung kehidupan selama proses transportasi tersebut dilakukan. Dalam hal ini, pengelolaan kualitas air yang digunakan sangat penting dilakukan untuk membatasi terjadinya akumilasi metabolit yang berbahaya (King 2009). Peningkatan kadar CO2 selama proses transportasi akan meningkatkan kadar asam karbonat yang kemudian akan menurunkan nilai pH air (Ali et al. 1989). Pengujian kualitas air yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia fisik air baik sebelum maupun setelah proses pemingsanan. Parameter kualitas air yang diuji pada penelitian ini adalah oksigen terlarut (DO), pH, dan total amoniak nitrogern (TAN). Hasil pengujian kualitas air pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil pengujian kualitas air Perlakuan 40 Jantan ppm Betina Campuran 50 Jantan ppm Betina Campuran 60 Jantan ppm Betina
DO
Parameter Uji pH
TAN
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
5,21±0,02 5,21±0,02 5,21±0,02 5,19±0,02 5,19±0,02 5,19±0,02 5,18±0,032
5,17±0,011 5,16±0,043 5,16±0,026 5,12±0,043 5,14±0,02 5,11±0,026 5,06±0,036
7,16±0,032 7,16±0,032 7,16±0,032 7,13±0,02 7,13±0,02 7,13±0,02 7,11±0,043
7,09±0,01 7,08±0,017 7,09±0,032 7,07±0,043 7,07±0,043 7,06±0,02 7,02±0,026
0,217±0,017 0,217±0,017 0,217±0,017 0,219±0,032 0,219±0,032 0,219±0,032 0,215±0,026
0,276±0,02 0,274±0,032 0,276±0,032 0,275±0,026 0,272±0,01 0,273±0,017 0,274±0,032
5,18±0,032 5,04±0,01
7,11±0,043 7,04±-,026
Campuran 5,18±0,032 5,03±0,017 7,11±0,043 7,04±0,01
0,215±0,026 0,271±0,043 0,215±0,026 0,273±0,043
Pada Tabel 5 di atas, dapat dilihat perubahan kualitas air sebelum dan sesudah dilakukan pemingsanan. Sebelum dilakukan pemingsanan, kadar DO air terukur pada kisaran 5,18-5,21; pH 7,11-7,18; dan kadar TAN 0,215-0,217. Sesudah dilakukan pemingsanan, kadar air terukur pada kisaran 5,03-5,17; pH 7,04-7,09; dan TAN 0,276-0,327. Kisaran perubahan kualitas air tersebut masih dalam ambang batas yang layak untuk kelangsungan hidup ikan nila. Menurut Arie (2000), kualitas perairan yang baik bagi ikan nila untuk dapat hidup secara alami adalah kadar DO minimal 4 mg/L air, pH 4-11, dan kadar TAN 0,23-1,04
28
ppm. Perubahan kualitas air yang tidak signifikan ini juga menunjukkan bahwa penyebab ikan nila pingsan adalah penambahan acepromazine sebagai zat anestesi, bukan diakibatkan oleh perubahan kualitas air. Perubahan kualitas air yang signifikan pada proses transportasi dapat ditekan dengan memuasakan ikan terlebih dahulu. Ikan yang dipuasakan akan tidak akan banyak melakukan metabolisme dan mengeluarkan kotoran dalam jumlah yang sedikit. Kadar amonia dalam air selama proses transportasi dapat dikurangi dengan cara menggunakan air dengan kadar pH dan suhu yang rendah (Colt dan Tchobanoglosus 1976).