12
metabolisme suatu protein sebagaimana fungsinya, yaitu dapat meningkatkan sintesis jaringan tubuh serta memelihara jaringan dan fungsi tubuh. Nilai gizi protein dapat diukur dengan berbagai cara, protein efficiency ratio (PER), net protein ratio (NPR), true digestibility (TD), biological value (BV), dan net protein utilizaton (NPU).
3
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan (April s.d. November 2013). Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Rumah Tempe Indonesia (RTI) Bogor, Laboratorium Pilot Plant Laboratorium Southeast Asean Food Agricultural Science Technology Center (SEAFAST Center), Laboratorium Hewan, dan Laboratorium Biokimia Pangan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan tikus putih galur Sprague Dawley (sebagai hewan percobaan) dan tepung tempe sebagai bahan penelitian. Komposisi penyusun ransum tikus terdiri atas pati jagung, campuran mineral, campuran vitamin (merk ‘Fitkom’), minyak jagung, carboximethylcelulose (CMC), kasein, dan beberapa sampel protein uji yaitu tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG). Bahan-bahan untuk keperluan analisis proksimat, analisis kandungan asam amino, analisis kandungan serat pangan, analisis kandungan asam lemak, analisis kandungan isoflavon, analisis vitamin E, analisis antioksidan metode DPPH, serta analisis MDA. Alat utama yang digunakan dalam penelitian adalah alat pembuatan tepung tempe, seperangkat kandang metabolik, timbangan bahan, timbangan tikus, seperangkat peralatan untuk analisis proksimat, HPLC dan spektrophotometer. Proses pengambilan organ dari hewan hidup memerlukan peralatan yaitu perangkat bedah. Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu : (1) tahap uji in vitro meliputi proses pembuatan tempe, proses pembuatan tepung tempe, analisis proksimat tepung tempe, analisis komposisi asam amino, analisis komposisi asam lemak, analisis kandungan serat pangan, analisis vitamin E, analisis isoflavon, serta kapasitas antioksidan secara in vitro metode DPPH, (2) tahap uji in vivo meliputi proses perancangan ransum, masa adaptasi, seleksi dan pengelompokan, masa percobaan (penimbangan berat badan, pengumpulan urin dan feses tikus percobaan), analisis nitrogen urin dan feses tikus percobaan, penentuan nilai gizi protein, pengambilan organ sampel berupa hati serta pengukuran MDA hati.
13
Tahap Uji In Vitro Proses Pembuatan Tempe (Rumah Tempe Indonesia) Proses pembuatan tempe dilakukan berdasarkan cara pembuatan yang dilakukan di Rumah Tempe Indonesia (RTI), kedelai pertama kali dibersihkan dalam kondisi masih kering. Setelah itu kedelai dicuci dengan air hingga bersih dari semua partikel debu dan kotoran lain. Kedelai direbus dalam air mendidih bersuhu 1000C selama 30 menit agar kedelai menjadi lunak dan kulitnya mudah lepas. Setelah direbus, kedelai direndam dengan cara membiarkan kedelai rebus beserta air perebusnya mendingin, kemudian dibiarkan pada suhu ruang selama 20-22 jam. Untuk memastikan proses berlangsung dengan baik, pH-nya diukur (pH yang baik 3-5). Tahap selanjutnya adalah proses pelepasan kulit kedelai dengan menggunakan mesin pengupas. Kedelai tanpa kulit direbus kembali selama 30-45 menit. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan zat anti gizi pada kedelai, meningkatkan daya cerna, dan membunuh mikroba yang tidak dikehendaki. Butir-butir kedelai ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu kamar (25-27 0C). Biji kedelai dicampur dengan ragi tempe (inokulum). Penambahan inokulum ke dalam kedelai masak sebaiknya dilakukan pada kondisi keasaman antara pH 4.8-5.0, kadar air 45-55 persen dan telah mencapai suhu kamar. Kedelai yang telah dicampur dengan inokulum dibungkus dengan kantong plastik PE (polietilen) yang telah diberi lubang. Pemeraman (inkubasi) pada suhu sekitar 30-37 0C dan kelembaban relatif (RH) 70-85 %, selama 46-48 jam hingga seluruh permukaan tempe tertutupi oleh miselium berwarna putih. Proses Pembuatan Tepung Tempe (Inayati 1991) Proses pembuatan tepung tempe secara umum melalui tahap-tahap pemotongan tempe segar, pengukusan dengan uap, pengeringan dengan oven, penggilingan dan pengayakkan. Tempe dipotong dengan ketebalan 0.5 cm. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pengukusan selama 10 menit pada suhu 80oC menggunakan pengukus serta dengan pengeringan selama 6 jam pada suhu 60oC akan menghasilkan tepung tempe dengan derajat putih yang baik. Penggilingan menggunakan pin disc mill serta pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran 60 mesh. Analisis Proksimat (AOAC 1995) a.
Kadar air Kadar air ditentukan secara langsung dengan menggunakan oven bersuhu 100 oC. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, dan selanjutnya ditimbang. Sejumlah sampel disimpan pada cawan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Berikut rumus menghitung kadar air : Kadar Air (%) = x 100 %
14
dimana:
a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel kering (g) c = berat sampel awal (g)
b.
Kadar abu Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : berat abu Kadar abu (%) = berat sampel x 100 %
c.
Kadar lemak Semua sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan yang tidak banyak mengandung air, sehingga sampel dapat langsung dianalisis. Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot tertentu dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai mencapai bobot tetap, didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : berat lemak x 100 % Kadar lemak (%) = berat sampel
d.
Kadar protein Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan 3.8±0.1 ml H2SO4 pekat serta tambahkan batu didih. Sampel didestruksi hingga cairan menjadi jernih. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yaitu labu erlemeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml. Destilat dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi biru. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandardisasi menggunakan
15
larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan : Kadar N (%) =
ml HCL contoh-ml HCL blanko x [HCl]x 0.014 gram sampel
x 100 %
Kadar protein (%) = Total nitrogen (%) x faktor konversi Keterangan : Faktor konversi = 6.25
e.
Kadar serat kasar Sampel yang telah bebas lemak dengan metode soxhlet sebanyak ± 2 gram ditempatkan dalam erlenmeyer 600 ml lalu ditambahkan 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih kemudian direfluks selama 30 menit. Suspensi yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring dan residunya dicuci sampai tidak bersifat asam lagi. Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 200 ml NaOH dan direfluks kembali selama 30 menit sambil sesekali digoyang-goyangkan. Suspensi yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%, dan residunya dicuci dengan air mendidih dan alkohol 95% sebanyak ± 15 ml. Kertas saring beserta isinya dikeringkan dalam oven 110°C sampai bobotnya konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar serat kasar dapat diperoleh dengan persamaan berikut : bobot residu Kadar serat kasar (%) = bobot sampel awal x 100 % f.
Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus : Karbohidrat (% bb) = 100 % - (% air + % abu + % protein + % lemak)1) = 100 % - (% abu + % protein + % lemak)2) Karbohidrat (% bk) 1) semua nilai dalam perhitungan menggunakan basis basah 2) semua nilai dalam perhitungan menggunakan basis kering Analisis Komposisi Asam Amino (AOAC 1999) Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta analisis asam amino. a.
Tahap pembuatan hidrolisat protein Sampel sebanyak 30 mg ditimbang dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 0C selama 24 jam. Pemanasan dalam oven dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel dan mempercepat reaksi hidrolisis. b.
Tahap pengeringan Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0.01 N dan cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer dalam keadaan vakum untuk
16
mengubah sistein menjadi sistin, ditambahkan 10-20 ml air ke dalam sampel dan dikeringkan dengan freeze dryer. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. c.
Tahap derivatisasi Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran larutan stok OPA dengan larutan buffer kalium borat pH 10.4 dengan perbandingan 1:2. Larutan stok OPA dibuat dengan cara mencampurkan 50 mg OPA ke dalam 4 ml metanol dan 0.025 ml merkaptoetanol, dikocok hati-hati dan ditambahkan larutan brij-30 30% sebanyak 0.050 ml dan buffer borat 1 M, pH 10.4 sebanyak 1 ml. Larutan stok pereaksi OPA disimpan pada botol berwarna gelap pada suhu 4 oC. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitril 60% atau buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. Kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman. d.
Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 5 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Konsentrasi asam amino yang ada pada bahan ditentukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam 100 gram bahan dapat dihitung dengan rumus: luas daerah sampel C x fp x BM % asam amino = luas daerah standar x bobot sampel (μg) x 100 % Keterangan:
C fp BM
= Konsentrasi standar asam amino (µg/ml) = faktor pengenceran = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/ml) Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut: Temperatur : 27 0C (suhu ruang) Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18) Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit Tekanan : 3000 psi Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95% Detektor : Fluoresensi Panjang gelombang : 254 nm Analisis Asam lemak (AOAC 1995) Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. a.
Ekstraksi Terlebih dahulu lemak diekstraksi dari bahan lalu dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat. Analisis asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi gas. Tahap pertama dilakukan ekstraksi soxhlet untuk memperoleh lemak.
17
b.
Pembentukan metil ester (metilasi) Sebanyak 15-30 mg contoh lemak ditimbang dalam tabung bertutup teflon. Kemudian 1 ml NaOH 0.5 N ditambahkan dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 16 % dan 5 mg/ml standar internal, dipanaskan kembali selama 20 menit. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta 1 ml isooktan, dikocok dengan baik. Lapisan isooktan dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi 0.1 g Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit. Fase cair dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas. c.
Identifikasi dengan kromatografi gas. Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alat kromatografi gas. d. Analisis komponen asam lemak, sebagai FAME Kondisi alat diatur sebagai berikut : Kolom : cyanopropil methyl sil (capilary column) Dimensi kolom : p = 60 m, Ǿ dalam = 0.25 mm ; 0.25 µm film tickness Laju alir N2 : 20 ml/menit : 30 ml/menit Laju alir H2 Laju alir udara : 200-250 ml/menit Suhu injektor : 2200C Suhu detektor : 2400C Suhu kolom : 1250C Kolom temperatur : 1850C diam 5 menit 2250C diam 5 menit Rate 100C/menit Ratio : 1:8 Volume injeksi : 1 µl Kecepatan linear : 20 cm/sec Pelarut sebanyak 1 µl diinjeksikan ke dalam kolom. Waktu retensinya dibandingkan standar untuk mendapatkan informasi mengenai jenis dari komponen-komponen dalam contoh. Contoh dan standar dilakukan secara terpisah, tidak ada penambahan larutan standar ke dalam contoh. Jumlah kandungan komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut : Kandungan asam lemak = Ket
Ax As C
Ax As
x C standar
gram sampel
= Area sampel = Area standar = berat standar asam lemak.
Analisis serat pangan (AOAC 1995) Terlebih dahulu kertas saring yang telah dioven ditimbang (W1). Sampel kering bebas/rendah lemak ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, kemudian ditambah sebanyak 50 ml MES-TRIS (buffer pH 8.2) dan
18
distirer sampai homogen. Selanjutnya ditambahkan sebanyak 50 µl α-amilase, disimpan di penangas air pada suhu 95-100oC selama 35 menit. Campuran didinginkan sampai mencapai suhu 60oC, dan dinding erlenmeyer dibilas dengan 10 ml air. Sebanyak 100 µl enzim protease ditambahkan dan diinkubasi pada suhu 60oC selama 30 menit. Selanjutnya sebanyak 0.561 N HCL ditambahkan sampai pH 4.5 (4.1-4.6) dan kemudian ditambahkan sebanyak 200 µl amyloglukosidase dan diinkubasi pada suhu 60oC selama 30 menit. Campuran diendapkan dengan 225 ml etanol 95% pada suhu 60oC. Endapan tersebut dibiarkan selama 1 jam pada suhu kamar. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu dicuci dengan 10 ml etanol 78%, 10 ml etanol 95% dan 10 ml aseton dan dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama semalam. Kertas saring ditimbang bersama residunya. Dilakukan juga koreksi terhadap kadar protein yang tidak tercerna dan kadar abu dalam residu. Perhitungan serat pangan total adalah sebagai berikut : Serat pangan total :
bobot rata-rata 2 residu-(gram protein+gram abu) bobot sampel
x 100%
Analisis vitamin E, metode HPLC (AOAC 1995) a.
Preparasi sampel sampel ditimbang ± 5 gram didalam erlemeyer berleher asah. Ditambah 0.5 gram asam askorbat dan 20 ml etanol p.a, dikocok sampai rata. Kemudian diambil 5 ml ditambah 5 ml KOH 60 %, kocok dengan strirrer ± 30 menit, kemudian ditambah lagi etanol 5 ml. Setelah semua tercampur, sampel disimpan ditempat gelap selama satu malam. Larutan strirrer kembali ± 30 menit sambil ditambah 25 ml campuran petrolium eter : dietil eter (1 : 1). Setelah itu, larutan dipindahkan ke corong pemisah dan erlemeyer dibilas dengan air suling, kemudian dikocok ± 2 menit. Larutan tersebut dibiarkan sampai terpisah, bagian atas ditampung dalam labu kocok yang lain, bagian bawah ditambahkan kembali 15 ml campura petrolium eter : dietil eter (1:1) kemudian dikocok ± 2 menit. Bagian atas disatukan dengan yang tadi, bagian bawah dicuci lagi dengan larutan (1:1). Larutan bawah dibuang, sedangkan larutan atas dicuci dengan air suling ± 5 x 50 ml, pencuci sampai bebas basa. Larutan di freeze dryer, selanjutnya ditambah air : acetonitril (200 ml : 200 ml) sebanyak 5 ml. Larutan diambil 1 ml kemudian ditambah air : actonitril (200 ml : 200 ml) sampai volumenya menjadi 5 ml. Filtrat dilewatkan ke dalam kolom berisi glass wall. Filtrat diambil sebanyak 5 µl dan diinjeksi ke dalam sistem HPLC. b.
Penyiapan larutan standar : Larutkan 1 mg tokoferol ke dalam 100 ml metanol 95 %. Filtrat diambil 5 µl dan diinjeksi ke dalam sistem HPLC. c. Kondisi HPLC : Kondisi alat diatur sebagai berikut : Kolom : C18. Mobile fase : Metanol : air (95:5) Flow fase : 1,0 mL/menit. Detector UV : Panjang gelombang 325 nm.
19
Analisis Isoflavon (AOAC 2003) Preparasi sampel Sebanyak 4 gram sampel dimasukkan ke erlemeyer asah 250 ml, ditambah 40 ml larutan ekstraksi, metanol : air (80:20). Erlemeyer dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan ke dalam water bath shaker pada suhu 65oC selama 2 jam. Dinginkan, buka alumunium foil, sebanyak 3 ml NaOH 2 N ditambahkan, dan divortex. Sebanyak 1 ml asam asetat glasial ditambahkan dan dikocok, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50 ml, tepatkan sampai tanda tera dengan larutan ekstraksi. Saring dengan kertas saring Whatman. Sebanyak 5 ml filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, tambahkan dengan 4 ml aquabidest dan tepatkan dengan metanol dan aquades (1:1) dan dikocok. Sebanyak 1 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tube sentrifuge, sentrifuge selama 5 menit pada kecepatan 7000 rpm, dan masukkan supernatan ke dalam vial.
a.
b.
Preparasi standar Sebanyak 5 mg standar daidzin, 5 mg standar genistin, dan 20 mg standar daidzein, 20 mg genistein, 5 mg standar glycitin ke dalam labu ukur 50 ml. Sebanyak 2 mg vial glycitin dimasukkan ke labu ukur 50 ml, kemudian bilas vial dengan metanol. Kemudian dilarutkan dengan metanol sampai tanda batas. Kocok homogenat, buat 5 deret standar. Deret standar 1 : 1.0 ml standar induk + 6 ml aquabidest, tepatkan sampai tanda tera dengan metanol : aquades (1:1) hingga 200 ml. Deret standar 2 : 1.0 ml standar induk + 6 ml aquabidest, tepatkan sampai tanda tera dengan metanol : aquades (1:1) hingga 100 ml. Deret standar 3 : 2.0 ml standar induk + 12 ml aquabidest, tepatkan sampai tanda tera dengan metanol : aquades (1:1) hingga 100 ml. Deret standar 4 : 4.0 ml standar induk + 24 ml aquabidest, tepatkan sampai tanda tera dengan metanol : aquades (1:1) hingga 100 ml. Deret standar 5 : 4.0 ml standar induk + 24 ml aquabidest, tepatkan sampai tanda tera dengan metanol : aquades (1:1) hingga 50 ml. Kondisi alat : Kolom : C18 reverse phase 200 x 2,1 mm Laju alir : 0.4 ml/menit Volume injeksi : 20 µl Detektor : UV detektor λ 260 nm. Fase gerak 1 : metanol : asam asetat glasial (88:10:2) Fase gerak 2 : metanol : asam asetat glasial (98:2) c.
Perhitungan
Isoflavon (µg/g) =
(Asp x m)+b X50x10 Wsp x 5
Dimana : Asp : luas area contoh m : slope cb : intersep Wsp : bobot sampel (g)
50 : vol labu pengenceran 1 10 : vol labu pengenceran 2
20
5
: vol pemipetan sampel dengan pengenceran 1 ke pengenceran 2
Kemudian konsentrasi glukosida isoflavon genistin, daidzin, dan glycitin dikonversikan terhadap equivalen aglikon dengan persamaan : MWa Cae : x Cg MWg
Dimana : Cae : Equivalen aglicon isoflavon (µg g-1) MWa : Bobot molekul aglikon MWg : Bobot molekul glukosida Ca : Konsentrasi genistin, glysitin, atau daidzin (µg g-1) Isoflavon total dihitung dengan menjumlahkan konsentrasi Daidzein, glysitein, dan genistein dengan konsentrasi aglikon equivalen terhadap glukosida (daidzin, glysitin, dan genistin). Ta : Ca (daidzein) + Ca (glycitein) + Ca (genistein) Tae : Cae (daidzin) + Cae (glycitin) + Cae (genistin) Dimana : Ta : Jumlah konsentrasi aglikon Tae : jumlah konsentrasi aglikon equivalen terhadap glukosida Isoflavon total, µg equivalen aglikon/g = Ta + Tae Analisis aktivitas antioksidan metode DPPH (Awah et al. 2010) Sebanyak 2.0 ml larutan ekstrak pada beberapa konsentrasi yang diencerkan dua kali (2.5 – 40 µg/ml) dalam etanol dicampur dengan 1.0 ml DPPH 0.3 mM dalam etanol, campuran tersebut kemudian dikocok dan dibiarkan pada suhu ruang dalam kondisi gelap selama 25 menit. Larutan blanko dibuat untuk setiap larutan sampel (2 ml) dan 1.0 ml etanol. Sedangkan kontrol negatif adalah 1.0 ml larutan DPPH 0.3 mM ditambahkan 2.0 ml etanol. Sebagai kontrol positif digunakan L-ascorbic acid. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm. IC50 menggambarkan kadar dimana 50% radikal ditangkap oleh sampel uji. % inhibisi=
abs kontrol - abs sampel x 100 % abs kontrol Tahap Uji In Vivo
Perancangan Ransum (AOAC 1995) Komposisi ransum yang diberikan adalah isonitrogenous dengan perhitungan berdasarkan standar AOAC 1995. Ransum dari setiap sampel yang telah tersusun selanjutnya dianalisis proksimat guna mencocokkan kesesuaian dengan komposisi standar AOAC. Rancangan komposisi ransum percobaan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
21
Tabel 4 Rancangan Komposisi Ransum Percobaan Komponen Protein
Lemak Mineral Vitamin Serat
Sumber Protein standar/protein uji Minyak jagung Campuran mineral Campuran vitamin CMC
Jumlah 10 %
Perhitungan 1.60 100 % × % 8 − ( 100 × % 5 − ( 100 1% =
8% 5% 1% 1%
Air
Air minum
5%
Karbohidrat
Pati jagung
% sisanya
1 − (
× %
100
× % 5 − ( 100 100 – (lainnya)
) )
)
)
Sumber : AOAC (1995) Tikus Percobaan Tikus percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague Dawley yang berumur 4 minggu, lepas sapih, dan berjenis kelamin jantan, yang diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Jumlah tikus percobaan yang digunakan sebanyak 25 ekor dan dibagi menjadi lima kelompok. Tikus dikandangkan secara individual dalam kandang metabolik guna memperoleh feses dan urin secara terpisah. Kandang terbuat dari stainless steel berlubang-lubang ukuran sekitar 17.5 x 23.75 x 17.5 cm. Kandang berlokasi pada ruangan dengan suhu optimum 22-24°C, kelembaban udara 50-60%, ventilasi yang cukup, namun tidak ada jendela yang terbuka, dan bebas dari kebisingan, asap industri, dan polutan lainnya. Selain itu, ruangan juga mudah dibersihkan dan disanitasi (Muchtadi 2010b). Masa adaptasi Masa adaptasi tikus dilakukan selama satu minggu sebelum melakukan perlakuan. Hal ini untuk membiasakan tikus percobaan terhadap lingkungan percobaan disekitarnya. Selain itu, dengan masa adaptasi dapat diketahui apakah tikus percobaan dapat terus digunakan dalam masa pengujian. Semua tikus percobaan diberi ransum protein kasein. Ransum diberikan secara ad libitum (berlebihan) untuk memberikan keleluasaan bagi tikus percobaan. Dengan demikian, dapat diketahui pola makan dari setiap tikus percobaan sebelum memasuki masa percobaan. Seleksi dan pengelompokan tikus. Setelah melewati masa adaptasi, dilakukan seleksi untuk mengetahui kondisi kesehatan tikus percobaan yang akan digunakan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan perlakuan pemberian ransum dengan jumlah lima ekor tikus perkelompok. Variasi berat badan antar tikus dalam satu kelompok tidak melebihi 10 g, dan variasi rataan berat badan antar kelompok tidak melebihi 5 g
22
(Muchtadi 2010b). Adapun pengelompokan dan perlakuan pada tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Pengelompokan dan Perlakuan Tikus Percobaan Kelompok Tikus Perlakuan Tikus yang diberi ransum protein Kasein (standar positif) Non protein Tikus yang diberi ransum non (standar negatif) Tepung tempe kedelai impor Tikus yang diberi ransum protein PRG tempe kedelai impor PRG Tepung tempe kedelai impor Tikus yang diberi ransum protein non PRG tempe kedelai impor non PRG Tepung tempe kedelai lokal Tikus yang diberi ransum protein grobogan tempe kedelai lokal grobogan
kasein protein tepung tepung tepung
Masa pemeliharaan Percobaan dilakukan selama 90 hari (tiga bulan) dimana pada 28 hari pertama digunakan untuk menghitung kualitas protein. Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan feses dan urin selama 10 hari yang dilakukan setiap hari. Pengerjaan ini dilakukan seteliti mungkin sehingga diyakini tidak ada feses atau urin yang terbuang. Oleh karena itu, penampungan feses dan urin dirancang dengan sebaik mungkin. Botol penampung urin diberi ± 1 ml larutan H2SO4 5% untuk mencegah penguapan amoniak. Selama percobaan urin dan feses yang dikumpulkan (terpisah untuk masing-masing tikus), selanjutnya disimpan dalam refrigerator selama menunggu akhir percobaan. Selain itu pula juga dilakukan perhitungan jumlah ransum yang dikonsumsi per hari dan penimbangan berat badan per dua hari. Ransum diberikan secara ad libitum feeding, begitu pun keperluan minumnya. Setelah 28 hari, hewan percobaan tersebut tetap dipelihara sampai hari ke-90 dan dikorbankan untuk diambil hatinya untuk keperluan analisis. Analisis nitrogen feses dan urin Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar nitrogen dalam feses dan urin dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sejumlah feses yang akan dianalisis dikeringkan dalam oven dan ditepungkan (digerus) terlebih dahulu. Sedangkan sejumlah urin yang akan dianalisis tanpa ada perlakuan sebelumnya. Hal yang perlu diketahui sebelum analisis ini yaitu bobot feses kering dan volume urin. Dengan demikian, dapat diperoleh jumlah nitrogen dari feses dan urin. Jumlah nitrogen feses diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen feses dengan angka bobot feses. Begitu pula jumlah nitrogen urin diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen urin dengan angka volume urin.
23
Pengukuran nilai gizi protein a.
Metode Pertumbuhan
Pengukuran nilai gizi protein berdasarkan metode pertumbuhan memerlukan data berat badan, konsumsi ransum ransum dan protein yang dilakukan selama 28 hari. Parameter FCE, PER, dan NPR dihitung dengan persamaan berikut : Feed Convention Efficiency a. pertambahan berat badan (g) FCE (%) = x 100 jumlah ransum yang dikonsumsi (g) b.
Protein Efficiency Ratio pertambahan berat badan (g) PER = jumlah protein yang dikonsumsi (g)
c.
Net Protein Ratio pertambahan BB tikus group protein uji + penurunan BB tikus grup non protein NPR = jumlah konsumsi protein yang diuji
b.
Metode Keseimbangan Nitrogen Pengukuran nilai gizi protein berdasarkan metode keseimbangan nitrogen memerlukan data jumlah dan kadar nitrogen urin dan feses masing-masing kelompok percobaan selama 10 hari. Parameter TPD, BV, dan NPU dihitung dengan persamaan berikut : a. True Protein Digestibilty (TPD) N konsumsi-(N feses-N metabolik)
b.
TPD = N konsumsi Biological Value (BV) BV
c.
=
x 100 %
N konsumsi- N feses-N metabolik - N urin-N endogen N konsumsi- N feses-N metabolik
x 100 %
Net Protein Utilization (NPU) N konsumsi- N feses-N metabolik -(N urin-N endogen)
d.
NPU = x 100 % N konsumsi N metabolik = kadar N feses non protein. N endogen = Kadar N urin non protein. Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) PDCAAS = Skor Kimia x True protein digestibility Skor kimia
mg AAE protein sampel (mg/g protein)
= mg AAE protein standar (mg/g protein) x 100
Pengukuran Kadar MDA Hati (Singh et al. 2002) Pengambilan sampel organ hanya dilakukan pada kelompok ransum kasein, tepung tempe kedelai PRG, non PRG, dan grobogan. Setelah 90 hari tikus diberi perlakuan, sebanyak 16 ekor tikus dari empat kelompok tikus yang digunakan dikorbankan untuk diambil jaringan hatinya. Sebelum diambil organ hati, tikus dibius terlebih dahulu untuk mengurangi rasa sakit. Pembiusan dilakukan dengan pemberian ketamin secara injeksi. Setelah hewan tidak bergerak lagi, diletakkan di atas nampan bedah yang sudah dialasi sterofoam. Pembedahan dilakukan
24
dengan membuka kulit pembatas abdomen dan thoraks, kemudian rongga dada dibuka dan darah diambil dengan menggunakan syringe. Sebanyak ± 1 g organ hati segar dicacah dalam kondisi dingin dalam 5 ml larutan PBS (phosphat buffer saline) yang mengandung 11.5 g/l KCL. Homogenat disentrifugasi dua kali pada 4000 rpm selama 10 menit. Sebanyak 1 ml supernatan jernih ditambah 4 ml HCL dingin (0.25N) yang mengandung 15 % TCA, 0.38 % TBA, dan 0.5 % BHT. Campuran dipanaskan 800C selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi 3500 rpm selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada λ 532 nm. Absorbansi yang diperoleh kemudian diplotkan ke kurva standar TEP (tetraetoksi propana) untuk menghitung kadar MDA sampel. Rancangan Penelitian dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data berbagai parameter (FCE, PER, NPR, TD, BV, dan NPU) yang diperoleh kemudian diolah dengan Analisis One-Way ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Jika terdapat perbedaan nyata (p<0.05) atau sangat nyata (p<0.01), dilakukan uji lanjut yaitu menggunakan uji jarak Duncan. Adapun model matematika yang digunakan pada rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + εij Dimana : Yij µ τi εij
= Nilai pengamatan = Nilai tengah umum = Pengaruh perlakuan taraf ke-i = Sisaan
Pengolahan data statistika ini menggunakan software Statistical Product and Service Solution (SPSS) Versi 16.0. Data lain meliputi data uji kimia (analisis proksimat), profil perkembangan berat badan tikus percobaan, komposisi asam amino, komposisi asam lemak, kandungan serat pangan, kandungan vitamin E, dan kandungan isoflavon dianalisis secara deskriptif. Data analisis urin, data kapasitas antioksidan metode DPPH dan pengukuran MDA dianalisis dengan menggunakan microsoft excel.