13
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu (1) survei kejadian penyakit di lapangan dan (2) deteksi virus dan identifikasi kutukebul. Kegiatan pertama dilakukan di areal pertanaman tomat pada lima strata ketinggian tempat yaitu: 100 – 300 m di atas permukaan laut (mdpl) (Anggada, Bogor), 300 – 600 mdpl (Rancamaya, Sukabumi), 600 – 900 mdpl (Cibedug dan Ciampea, Bogor; Leles dan Cilimus, Garut), 900 – 1200 mdpl (Bayongbong, Samarang, dan Cisurupan, Garut; Ciherang, Cianjur), dan 1200 – 1500 mdpl (Pacet, Cianjur; Lembang dan Pangalengan, Bandung). Kegiatan kedua dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Biologi Molekuler, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); dan Laboratorium Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN). Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2011 sampai dengan Maret 2012.
Metode Survei Kejadian Penyakit dan Pengambilan Sampel Tanaman Tomat Kegiatan ini bertujuan untuk mengamati tingkat kejadian penyakit klorosis dan kerupuk serta kelimpahan kutukebul di pertanaman tomat. Pada setiap lahan tanaman tomat yang terserang kedua penyakit tersebut dihitung tingkat kejadian penyakitnya dengan mengamati 100 tanaman sampel secara acak. Juga, pada setiap tanaman sampel yang diamati dilakukan pengumpulan pupa dan kantung pupa kutukebul yang ada pada tanaman tersebut. Pada kegiatan ini juga dilakukan pencatatan terhadap kondisi suhu udara, kelembaban nisbi, dan karakteristik budidaya seperti varietas tomat, umur tanaman, dan penggunaan pestisida. Untuk mengindentifikasi jenis virusnya, sampel daun dari tanaman yang memperlihatkan gejala kedua jenis penyakit tersebut diambil secara acak dari lima tanaman terserang. Selanjutnya, daun-daun sampel ini dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut. Deteksi Keberadaan Virus Daun sampel diambil dari masing-masing tanaman yang memiliki gejala penyakit klorosis, kerupuk maupun infeksi ganda. Deteksi virus dilakukan melalui tahapan ekstraksi RNA/DNA total dan amplifikasi DNA dengan RT-PCR/PCR. Ekstraksi RNA total Crinivirus menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Philekorea Technology) mengikuti prosedur produsen sedangkan ekstraksi DNA Begomovirus dilakukan dengan metode Cetyl triethylammonium bromide (CTAB) (Doyle and Doyle 1990). Selanjutnya, sampel daun bergejala Crinivirus dideteksi menggunakan metode reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) dan untuk Begomovirus menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Bagian minor coat protein (CPm) Crinivirus diamplifikasi menggunakan
14 pasangan primer spesifik ToCV-CF (5’-GTGTCAGGCCATTGTAAACCA-3’) dan ToCV-CR (5’-CACAAAGCGTTTCTTTTCATAAGCAGG-3’) yang berukuran 360 bp dan untuk TICV menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF (5’-AATCGGTAGTGACACGAGTAGCATC-3’) dan TICV-CR (5’-CTTCAAACATCCTCCATCTGCC-3’) yang berukuran 417 bp. Gen protein selubung (coat proteion) Begomovirus diamplifikasi menggunakan primer spesifik untuk gen AV1 Begomovirus (AVRDC, Taiwan) yaitu CPPROTEIN-V1 (5’TAATTCTAGATGTCGAAGCGACCCGCCGA-3’) dan CPPROTEIN-C1 (5’-GGCCGAATTCTTAATTTTGAACAGAATCA-3’) berukuran 780 bp. Ektraksi RNA Total TICV dan ToCV. Ekstraksi RNA total dengan jaringan daun tanaman tomat bergejala Crinivirus menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Philekorea Technology) mengikuti prosedur produsen. Sebanyak 0.1 g sampel daun digerus menggunakan mortar dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml lalu ditambahkan campuran 450 µl buffer ekstraksi (buffer XPRB) dan 4.5 µl merkaptoetanol (perbandingan 1:100) kemudian divorteks. Selanjutnya filter colomn berwarna putih disiapkan dan ditumpuk diatas tabung mikro 2 ml yang baru. Sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam filter colomn berwarna putih, lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm selama 2 menit. Setelah itu, supernatan dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung mikro 2 ml yang baru kemudian volumenya diukur. Kemudian etanol absolut ditambahkan sebanyak 0,5 vol supernatan kemudian homogenkan dengan menaik turunkan pipet. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam XPPLR mini colomn berwarna merah yang telah disiapkan dan ditumpuk diatas tabung mikro 2 ml yang baru lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Cairan yang tersisa lalu dibuang. Pada tahap pencucian, sebanyak 500 µl Wash buffer 1 dimasukan ke dalam tabung tadi, lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Cairan yang tersisa lalu dibuang. Selanjutnya sebanyak 750 µl Wash buffer 2 dimasukan ke dalam tabung tadi, lalu disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Cairan yang tersisa lalu dibuang. Kemudian tabung disentrifugasi kembali pada kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. XPPLR mini colomn berwarna merah (tanpa tabung koleksi 2 ml tadi) dipindahkan ke tabung koleksi 2 ml yang baru. Kemudian RNase-free water 50 µl dipipet dan dimasukan ke pusat membrane colomn lalu didiamkan selama 1 menit. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 2 menit untuk mengelusi RNA. Siapan RNA total disimpan di lemari pendingin -80°C dan digunakan sebagai template dalam reaksi RT-PCR. Prosedur RT-PCR dan PCR TICV dan ToCV. Reaksi RT dilakukan dengan volume total 25 μl yang mengandung 3 μl RNA total; 0,75 pmol random primer, 500 mM dNTP, 5 mM MgCl2 , 4 μl buffer RT (250 mM Tris-HCl, pH 8,3; 375 mM KCl; 15 mM MgCl2; 50 mM DTT), 20unit RNasin ribonuclease inhibitor (Promega, Madison, WI), dan 65 unit MMLV RT inhibitor (Promega, Madison, WI). Reaksi RT dilakukan pada suhu 42°C selama 60 menit dan dilanjutkan inakitivasi pada 95°C selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan PCR dalam tabung yang sama dengan menggunakan pasangan primer spesifik untuk ToCv dan TICV. Reaktan PCR (total volume 50 μl) mengandung 0,75 pmol primer; 3 μl
15 buffer PCR 10x (500 mM KCl; 100 mM Tris-HCl, pH 9; 1% Triton X-100), dan 0,5 μl Taq DNA polymerase (Promega, Madison, WI). Reaksi PCR dengan denaturasi inisiasi pada 94°C selama 1 menit, dilanjutkan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94°C selama 1 menit, penempelan primer pada 62°C selama 1 menit, dan pemanjangan pada 72°C selama 2 menit dan diikuti pemanjangan akhir pada 72°C selama 10 menit. Produk PCR kemudian dielektroforesis dengan mesin elektroforesis pada gel agarose 1% dalam buffer 0,5x TBE dan divisualisasi dengan mesin UV transilluminator. Ektraksi DNA Total. Ekstraksi DNA total dengan jaringan daun tanaman tomat bergejala Begomovirus menggunakan metode Cetyl triethylammonium bromide (CTAB) (Doyle and Doyle 1990). Proses ektraksi diawali dengan memanaskan terlebih dahulu 500 µl buffer ekstraksi/ CTAB buffer untuk masing-masing sampel ditambah dengan 1% merkaptoetanol dari volume total buffer di dalam waterbath dengan suhu 65°C. Sementara itu sampel daun digerus dengan bantuan nitrogen cair. Selanjutnya ekstrak daun hasil penggerusan dimasukkan ke dalam tabung koleksi 2 ml dan ditambahkan 500 µl buffer ekstraksi yang telah dipanaskan tadi, kemudian campur merata. Selanjutnya campuran hasil gerusan tadi diinkubasi kembali dalam waterbath dengan suhu 65°C selama 60 menit dan setiap 10 menit tabung tersebut dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Setelah 60 menit, campuran diambil dan didiamkan sebentar (± 2 menit) pada suhu ruang, kemudian ditambahkan 500 µl campuran Chloroform : Isoamil (CI) dengan perbandingan 24:1 lalu divorteks selama 5 menit. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Supernatna yang terbentuk diambil dan dihitung volumenya, kemudian dimasukkan ke dalam tabung koleksi 2 ml yang baru. Selanjutnya tabung berisi supernatan ditambahkan 1/10 sodium asetat (CH3COONA) dan dicampur dengan merata. Setelah itu tambahkan lagi ke dalamnya dengan 2/3 x volume isopropanol atau 2.5 x volume etanol absolut untuk presipitasi DNA. Selanjutnya diinkubasi semalaman dalam lemari pendingin dengan suhu -20°C. Keesokan harinya, tabung tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan DNA. Selanjutnya cairan supernatan (yang berada di lapisan paling atas) dibuang dan endapan DNA (yang berada di lapisan paling bawah tabung) dicuci dengan 500 μl etanol 70%, kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Setelah itu cairan supernatan dibuang dan endapan DNA dikeringkan di atas kertas tisu bersih. Setelah kering, endapan DNA dilarutkan kembali dengan 100 μl buffer TE (pH 8). Selanjutnya DNA total disimpan di lemari pendingin -20°C dan dapat digunakan untuk proses amplifikasi PCR. Prosedur PCR DNA TYLCV. Tabung koleksi 200 μl disiapkan, kemudian buffer PCR 10x + Mg2+ (sebanyak 2.5 μl), sukrosa 10x (sebanyak 2.5 μl), deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP) 10 mM (sebanyak 0.5 μl), forward primer (sebanyak 2 μl), reverse primer (sebanyak 2 μl), Taq DNA polymerase (sebanyak 0.5 μl), ddH2O (sebanyak 14 μl), template DNA hasil ektraksi (sebanyak 1 μl). Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25 μl menggunakan mesin Gene Amp PCR system 9700 yang bekerja 30 siklus yaitu denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit, penempelan primer pada suhu 50°C selama 1 menit dan sintesis DNA pada suhu 72°C selama 2 menit. Produk PCR kemudian
16 dielektroforesis dengan mesin elektroforesis pada gel agarose 1% dalam buffer 0,5x TBE dan divisualisasi dengan mesin UV transilluminator. Identifikasi dan Penghitungan Populasi Kutukebul Pupa dan kantung pupa kutukebul yang diambil dari 100 tanaman sampel pada pengamatan kejadian penyakit selanjutnya diidentifikasi jenis spesiesnya menggunakan bantuan mikroskop cahaya binokuler dan kunci identifikasi Martin (1987). Pupa dan kantung pupa tersebut diambil dari daun tomat dengan menggunakan jarum dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf berisi alkohol 80% dan disimpan sebagai stok preparasi. Setelah jenis spesies kutukebul teridentifikasi, yaitu B. tabaci dan T. vaporariorum, kelimpahan populasi kedua spesies kutukebul tersebut dihitung dengan merata-ratakan jumlah pupa dan kantung pupa pada spesies yang sama dari seluruh daun yang diambil. Populasi kedua kutukebul diketahui melalui penghitungan jumlah puparium dan kantung pupa masing-masing kutukebul. Jumlah populasi B. tabaci dan T. vaporariorum berupa pupa dan kantung pupa kemudian dicatat lalu dihitung ratarata populasi kutukebul per kebun. Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi Kutukebul Pupa dan kantung pupa kutukebul dari lapangan dilepaskan dari daun tomat dengan menggunakan jarum dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berbeda yang berisi larutan alkohol 80%. Pembuatan preparat pupa dan kantung pupa memiliki perbedaan yaitu pada pupa dilakukan proses pemanasan agar isi pupa bersih dan hasil akhir hanya berbentuk kantung pupa. Tabung reaksi berisi kantung pupa dimasukkan ke dalam gelas piala berisi kapas dan air, kemudian dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Hasil rebusan tersebut dituang ke dalam cawan syracuse dengan memakai penjepit. Tahap selanjutnya pupa dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi larutan KOH 10% dan direbus seperti sebelumnya. Setelah pupa lunak dan berwarna transparan, tabung reaksi diangkat dan dituang ke dalam cawan Syracuse. Supaya cairan isi pupa keluar dan pupa tidak sobek, maka secara perlahan pupa ditekan dengan jarum halus. Selanjutnya, pada tahap pewarnaan, kantung pupa dan pupa yang telah bersih isinya (kantung pupa) kemudian dipindahkan ke cawan yang baru dan dibilas dengan aquades. Kantung pupa yang sudah dicuci bersih dipindahkan ke dalam cawan syracase baru yang berisi campuran 1 ml asam asetik glasial serta 1 ml asam fuchsin dan direndam selama 20 menit. Kantung pupa yang telah berwarna merah kemudian direndam ke dalam larutan alkohol 80% selama 5 menit agar mendapatkan warna merah yang optimum. Kantung pupa selanjutnya direndam selama satu menit dalam cawan baru berisi carbol xylene, lalu direndam selama 5 menit dalam alkohol absolute. Kemudian direndam selama 10 menit ke dalam minyak cengkeh. Preparat kutukebul dibuat dengan meletakkan kantung pupa di bagian tengah kaca objek. Kemudian Canada balsam diteteskan di atas kantung pupa dan diratakan. Setelah kaca penutup dipasang pada kaca objek, preparat selanjutnya diletakkan ke dalam elemen pengering selama 7 hari. Preparat awetan puparium diidentifikasi menggunakan bantuan mikroskop cahaya binokuler dan kunci identifikasi Martin (1987).
17 Analisis Hubungan Kejadian Penyakit dengan Kelimpahan Kutukebul Hubungan antara kejadian penyakit klorosis (CRNV), kerupuk (BGMV), atau keduanya (ganda/ MLTV) dengan kelimpahan kutukebul (B. tabaci, BT, atau T. vaporariorum, TV) dan faktor biotik dan abiotik lainnya seperti ketinggian tempat (ELV), kelembaban nisbi (RH), jenis varietas (VAR), dan umur tanaman (UTN) dianalisis menggunakan model regresi linier berganda yang didefinisikan sebagai berikut: CRNV = b01 + b11 lnTV + b21 ELV + b31 RH + b41 VAR + b51 UTN + e1 BGMV= b02 + b12 lnBT + b22 ELV + b32 RH + b42 VAR + b52 UTN + e2 MLTV = b03 + b13 lnBT + b23 lnTV + b33 ELV + b43 RH + b53 VAR + b63 UTN + e3 dengan e1, e2, dan e3 merupakan komponen galat. Pendugaan koefisien regresi (b0i, b1i, b2i, ..., b6i; i = 1, 2, dan 3) menggunakan metode kuadrat terkecil dan pengujiannya menggunakan uji t-student serta pengujian model menggunakan sidik ragam (Anova). Pendugaan dan pengujian tersebut dilakukan dengan program Minitab versi 14. Penentuan model terbaik selain menggunakan statistik kesesuaian model, yaitu R2 dan nilai F, juga didasarkan pada landasan teori tentang hubungan antara kejadian penyakit (klorosis dan kerupuk) dan vektornya. Model CRNV harus mencakup peubah TV (LnTV) sebagai salah satu peubah bebasnya, sedangkan model BGMV harus mencakup peubah BT (LnBT) sebagai salah satu peubah bebasnya. Salah satu faktor abiotik yaitu suhu tidak dijadikan variabel dalam analisis regresi hubungan kejadian penyakit dengan kelimpahan kutukebul ini. Variabel yang diambil adalah ketinggian tempat sebagai pencerminan dari suhu tempat. Hal ini disebabkan karena data pengukuran suhu saat pengamatan di lapangan adalah data suhu satu waktu. Adapun data suhu tempat dapat diperoleh di BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), namun data tersebut merupakan data suhu akumulasi dan tidak semua tempat pengamatan terdapat data suhu.