8
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Biji Jagung Biji jagung terdiri atas empat bagian pokok, yaitu kulit ari (pericarp) dan tudung pangkal biji (tip cap) dengan persentase 5% hingga 6%, lembaga (germ) 12% sampai 14%, dan sisanya endosperma (82%). Kulit ari merupakan lapisan pembungkus biji yang tersusun oleh epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan tegmen (seed coat). Bagian terbesar dari biji jagung adalah endosperma. Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga (Watson 2003). Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung dari jenis varietas, cara tanam, iklim dan tingkat kematangan (Rukmana 2005). Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri atas pati, serat kasar, dan pentosan. Penampang longitudinal biji jagung gigi kuda (dent corn) disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Penampang longitudinal biji jagung gigi kuda (Hoseney 1994) Sementara itu, lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian, yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zatzat gizi selama perkecambahan biji. Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tudung pangkal biji dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan biji. Setiap bagian anatomi tersebut memiliki komposisi yang berbeda-beda. Menurut Watson (2003), komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ditunjukkan pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1 Komposisi kimia rata-rata biji jagung utuh dan bagiannya Kandungan (%)* Komponen Pati Protein Lemak Gula Abu Biji utuh 73,4 9,1 4,4 1,9 1,4 Endosperma 87,6 8,0 0,8 0,62 0,3 Lembaga 8,3 18,4 33,2 10,8 10,5 Perikarp 7,3 3,7 1,0 0,34 0,8 Tudung pangkal biji 3,3 9,1 3,8 1,6 1,6 *Persentase bobot kering, Sumber: Watson (2003) Dari Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa komponen utama yang terdapat pada jagung adalah pati. Endosperma jagung mengandung 80,0% dari 73,4% pati yang terdapat dalam biji jagung. Komponen terbesar kedua dalam endosperma setelah pati adalah protein, yaitu 20,4% dari 9,1% protein yang terdapat dalam biji jagung. Sementara itu, lembaga merupakan tempat terdapatnya sebagian besar lemak jagung, yaitu sebanyak 85,6% dari total 4,4% lemak yang terdapat pada biji jagung. Lemak jagung terutama dalam bentuk trigliserida. Sementara itu, serat sebagian besar terdapat pada kulit ari dan tudung pangkal biji. Kandungan serat dalam kulit ari adalah 90,7% dan pada tudung pangkal biji adalah 95% dari 9,5% serat yang terdapat pada biji jagung utuh (Watson 2003). Sebanyak 79,5% dari 1,4% mineral jagung terdapat pada lembaga, mungkin karena diperlukan untuk pertumbuhan embrio. Menurut Haryadi et al. (1991), komponen anorganiknya terutama berupa senyawa fosfor. Sebagian besar dalam bentuk garam potassium dan magnesium. Fitin merupakan bentuk penting senyawa fosfor, yang dibebaskan oleh enzim fitase untuk merangsang pertumbuhan embrio. Mineral keempat (setelah P, K, dan Mg) adalah sulfur (S) yang terdapat dalam bentuk asam amino metionina dan sisteina. Di samping itu, jagung merupakan sumber selenium yang penting pada ransum ternak. Jagung mengandung dua jenis vitamin larut lemak, yaitu vitamin A (beta karoten) dan vitamin E serta sebagian besar vitamin larut air. Jagung mengandung vitamin B1 (thiamin) dan piridoksin dalam jumlah yang cukup untuk ternak. Niasin dalam jagung berada dalam bentuk terikat. Perlakuan dengan alkali dapat membebaskan niasin (Haryadi et al. 1991). Karbohidrat pada jagung dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu karbohidrat sederhana, karbohidrat struktural, dan karbohidrat kompleks sumber energi. Karbohidrat sederhana pada jagung terdiri dari sekitar 2% glukosa, fruktosa, dan gula nukleotida. 4-8% sukrosa, 0,4% maltosa, serta karbohidrat sederhana lainnya, seperti raffinosa, maltotriosa, gula alkohol, dan senyawa pektat yang berasosiasi dengan selulosa membentuk protopektin yang tidak larut dalam air. Karbohidrat struktural meliputi komponen pektin, hemiselulosa, selulosa, pentosan, arabinogalaktan, xyloglucan (sebagian besar terdapat pada perikarp, tudung pangkal biji, dan aleuron). Karbohidrat struktural ini dapat berfungsi sebagai serat makanan (Haryadi et al. 1991). Karbohidrat kompleks sumber energi terutama berbentuk pati. Granula pati tersusun dari dua jenis polimer gula, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa sebanyak 25-30% bobot pati, sedangkan amilopektin 70-75% bobot pati. Amilosa jagung mempunyai derajat polimerisasi 100-1000 unit glukosa dan amilopektin
10
mempunyai derajad polimerisasi 12-20 unit glukosa untuk rantai pendek dan 4060 unit glukosa untuk yang berantai panjang (Haryadi et al. 1991; Jane 2009). Ikatan antara protein dan pati dalam endosperma biji jagung cukup kuat. Air saja tidak cukup untuk memisahkan protein dan pati selama proses pembuatan pati dengan metode basah. Sel endosperma sangat besar dengan dinding-dinding sel tipis dan secara nyata dibedakan dalam dua jenis, yaitu vitrous endosperm terlihat bening dan transparan, sedangkan opaque endosperm terlihat bertepung. Vitrous endosperm sering kali disebut horny endosperm dan opaque endosperm disebut juga floury endosperm. Vitrous endosperm mengandung granula pati berbentuk polygonal dan tersusun rapat dalam matriks protein yang kompak, sedangkan opaque endosperm mengandung granula pati berbentuk spherical dan tersusun kurang rapat dalam filamen-filamen lembaran protein yang tipis dengan menyediakan banyak rongga udara diantara granula-granula (Hoseney 1994). Martinez et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan (p-value < 0,05) antara kekerasan dan densitas biji jagung, dan adanya korelasi negatif yang signifikan (p-value < 0,05) antara kekerasan biji dan flotation index. Adanya hubungan tersebut dapat dijelaskan dari hasil pengamatan dengan SEM pada biji jagung keras dan lunak. Kerapatan penyusunan granula pati pada endosperma jagung keras dan jagung lunak ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Biji jagung dari jenis hard kernel (atas) dan soft kernel (bawah) (Martinez et al. 2006) Gambar 2.2 juga memperlihatkan bahwa biji jagung keras memiliki pola granula pati yang berbeda dari jagung lunak. Granula pati jagung lunak berbentuk spherical dan tersusun longgar di dalam matriks protein, berkebalikan dengan jagung pati keras yang granula patinya pada umumnya berbentuk polygonal dan tersusun rapat sehigga kaku. Semakin rapat dan teratur granula pati tersusun dalam endosperma, semakin tinggi kerapatan dan densitas biji jagungnya, sehingga kekerasan bijinya juga semakin meningkat. Demikian juga, jika kerapatan rendah, maka flotation indexnya meningkat dan kekerasan bijinya semakin rendah.
11
2.2 Protein pada Biji Jagung Protein mengisi hampir 10% dari seluruh biji jagung. Ikatan antara protein dan pati dalam endosperma biji jagung cukup kuat. American Physiological Society (1987) mengklasifikasikan protein jagung berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin atau zein (larut dalam etanol 70%), dan glutelin (larut dalam larutan NaOH). Pada jagung biasa, kandungan zein, glutelin, albumin, dan globulin masing-masing adalah 47,2%, 35,1%, 3,2% dan 1,5% (Inglett 1987), sedangkan menurut Vasal (1994) Porsi fraksi protein pada endosperma adalah 3% albumin, 3% globulin, 60% zein, dan 26% glutelin. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan fraksi protein dalam biji jagung dapat direkayasa seiring dengan kemajuan bioteknologi. Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperma jagung. Berdasarkan pada konstanta sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio axial 15:1). Protein zein mempunyai komposisi asam amino dengan kadar asam glutamat, prolina, leusina, dan alanina yang tinggi, serta kadar lisina, triptofan, histidina, dan metionina yang rendah. Berdasarkan pada perbedaan kelarutan, ada 2 (dua) jenis protein zein, yaitu α-zein yang larut pada etanol 95% dan β-zein yang larut pada etanol 60%. α-zein mengandung lebih banyak histidina, arginina, prolina, dan metionina daripada βzein (Laszity 1986). Menurut Subandi et al. (1988), mutu protein merupakan salah satu kriteria untuk menentukan nilai gizi suatu komoditi. Faktor yang mempengaruhi mutu protein adalah kadar protein itu sendiri dan pola asam amino penyusunnya. Kadar dan komposisi asam amino penyusun protein dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan tumbuhnya. Komposisi asam-asam amino jagung hibrida biasa dan varietas hasil mutasi genetik (opaque 2) disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2
Kandungan asam-asam amino pada endosperma jagung opaque 2 dan hibrida biasa (g per 100 g protein)
Asam amino Lisina Histidina Amida amonia Arginina Asam aspartat Asam glutamat Treonina Serina Prolina Glisina Alanina Valina Sisteina Metionina Isoluesina Leusina Tirosina Fenilalanina
Opaque 2 3,4 3,4 3,4 5,1 8,4 19,1 3,9 5,0 9,4 4,0 7,0 5,0 2,4 2,0 3,9 11,6 4,7 5,0
Jagung biasa 2,0 2,8 3,3 3,8 6,2 21,3 3,5 5,2 9,7 3,2 8,1 4,7 1,8 2,8 3,8 14,3 5,3 5,3
Kedua endosperma mengandung 8,69% protein kasar (N x 6,25) Sumber : Paulis dan Wall (1969) dalam Subandi et al. (1988)
12
Protein prolamin jagung (zein) dihubungkan dengan dua jenis struktur endosperma. Chandrashekar dan Mazhar (1999) telah melaporkan hubungan antara vitrous dan opaque endosperm dengan proporsi masing-masing jenis zein. Secara umum telah disepakati bahwa keberadaan α-zein dan β-zein keduanya penting dalam struktur endosperma biji jagung karena keduanya mempunyai pengaruh pada kenampakan dari endosperma dan kekuatan biji (ketahanan terhadap penggilingan), sebagai akibat dari cara granula-granula pati terkemas dalam berbagai matriks protein. Bila biji jagung diletakkan di atas kaca dan disinari dari bawah, maka akan terlihat bahwa vitrous endosperm cenderung transparan dan dapat meneruskan cahaya, sedangkan opaque endosperm nampak berwarna hitam dan tidak dapat meneruskan cahaya. 2.3
Papain
Penggunaan papain pada penelitian ini didasarkan pada besarnya potensi tanaman pepaya yang ada di Indonesia, baik yang dibudidayakan oleh petani maupun kelompok petani dan pengusaha besar. Data BPS (2012) menunjukkan luas areal tanaman pepaya sebesar 11679 Ha tahun 2012, tumbuh 5,64% dari tahun 2011 yang mencapai 11055 Ha. Papain merupakan enzim proteolitik pada getah pepaya (lateks), baik batang, daun, dan buahnya. Nama lain papain adalah papayatin atau vegetable pepsin karena mempunyai mekanisme kerja yang serupa dengan pepsin dan tripsin dalam kemampuannya mencerna. Berdasarkan Nomenclature Commission The International Union of Biochemistry tahun 1978, nomor kode enzim papain adalah EC3.4.22.2 yang berarti masuk klas utama hidrolase, subklas enzim yang mempunyai keaktifan spesifik pada ikatan peptida, sub-subklas enzim thiol proteinase dan mempunyai nomor urut 2(dua) pada kelompok proteinase (Menard dan Storer 1998). Getah pepaya sebagai sumber papain terdapat pada semua bagian tanaman pepaya (Carica papaya Linn) kecuali pada akar dan biji, dan paling banyak terdapat pada buah pepaya muda. Menurut Dawson (1998) getah pepaya banyak mengandung enzim proteolitik papain dan kimopapain, menurut Suhartono (1992) selain mengandung dua senyawa di atas juga mengandung lisozim. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pepaya varietas semangka paris menghasilkan getah paling banyak, yaitu 221,2 g per lima butir buah selama 14 kali penyadapan. Getah yang disadap dari buah pepaya muda akan sangat mudah rusak oleh penyinaran ultraviolet dan kontaminasi ion-ion logam yang mengkatalisis proses oksidasi, sehingga proses penyadapan dilakukan pada pagi hari sebelum matahari terbit dan pada sore hari. Di pasaran dikenal ada 3 (tiga) jenis papain yang diperdagangkan, yaitu Papain kasar (Crude papain) merupakan getah pepaya segar yang langsung dikeringkan tanpa perlakuan sebelumnya, kecuali penambahan antioksidan dengan aktifitas proteolitiknya 50-70 U/g. Kedua adalah jenis papain bersih (Refined papain) merupakan getah segar yang sudah diberi perlakuan seperti pemisahan kotoran, penambahan antioksidan dan dikeringkan menjadi papain dengan aktifitas proteolitiknya 700-1000 U/g. Ketiga adalah jenis papain murni (Pure papain) merupakan getah setelah dibersihkan dari benda asing dan zat yang bukan enzim (Muhidin 1999).
13
Untuk mendapatkan mutu papain kasar yang baik, pengeringan dilakukan dengan oven, cabinet dryer, dan pengering vakum pada suhu antara 50–60OC selama enam jam. Cara ini lebih baik dibandingkan dengan pengeringan matahari, karena tidak tergantung pada cuaca dan proses pengeringan dapat lebih merata (Muhidin 1999). Jagtiani et al. (1988) menyatakan bahwa pengering vakum merupakan alat pengering terbaik untuk mengeringkan papain. Setelah proses pengeringan selesai, selanjutnya lapisan tipis getah kering yang diperoleh dihancurkan hingga berbentuk tepung. Sisi aktif papain adalah satu gugus sulfhidril (-SH) dalam asam amino sistein 25 dan histidin 159 yang merupakan bagian utama dalam proses katalisis. Berdasarkan keaktifan gugus sulfhidril, papain dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pertama papain aktif dengan gugus –SH yang bebas; kedua adalah papain inaktif dengan gugus –SH membentuk ikatan disulfida dengan sistein lain; dan ketiga adalah papain inaktif dengan gugus –SH teroksidasi menjadi asam sulfenat. Menurut Kirsch (2001), modifikasi oksidatif dari gugus –RSH akan membentuk asam sulfenat (RSOH), dan oksidasi lebih lanjut akan menghasilkan asam sulfinat (RSO2H) dan selanjutnya menjadi asam sulfonat (RSO3H). Dimana reaksi gugus sulfhidril menjadi asam sulfinat dan asam sulfonat dianggap sebagai reaksi yang tidak dapat balik (irreversible), sementara asam sulfenat terlalu reaktif untuk tetap bertahan dan merupakan hasil antara yang tidak stabil serta masih dapat balik (reversible). Untuk mempertahankan keaktifan papain harus ditambahkan antioksidan untuk mencegah terjadinya oksidasi yang dapat menurunkan aktifitas proteolitik papain. Sedangkan untuk mengaktifkan kembali perlu ditambahkan aktivator. Beberapa antioksidan yang lazim digunakan adalah asam askorbat, natrium hidrogenbisulfit, dan natrium metabisulfit. Adapun aktivator yang umum digunakan adalah sisteina. Rachdiati (2006) melaporkan bahwa panambahan natrium metabisulfit 0,01M pada pH 4,0 menghasilkan peningkatan aktivitas papain kasar sebesar 26,56%, dan penggunaan sistein 0,04M pada pH 6,0 menghasilkan peningkatan aktifitas papain kasar sebesar 78,63%. Kemampuan proteolitik papain tersebut, menjadikan papain banyak digunakan sebagai pelunak daging, pembuat konsentrat protein, penghidrolisis protein, pelembut kulit pada industri penyamakan kulit, anti dingin pada industri bir, sebagai bahan baku obat, kosmetik dan lain-lain. Distribusi penggunaan papain untuk industri di negara maju adalah untuk industri bir 75%, industri daging 10%, industri ikan 5%, industri makanan lainnya 5%, industri farmasi 3%, dan penggunaan lainnya 2%. Sebagai penghidrolisis protein, papain mempunyai daya memecahkan molekul protein atau hidrolisis protein. Hidrolisis protein tersebut dapat berlangsung pada pH, suhu, kemurnian, dan konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat (Suhartono 1989). Hal ini sering digunakan pada pembuatan pepton dan asam amino. Pada penelitian ini papain akan digunakan untuk memecahkan matriks protein yang melingkupi granula pati yang berada pada bagian horny endosperm pada biji jagung. 2.4
Mekanisme Pemutusan Ikatan Peptida oleh Papain
Mekanisme reaksi papain dengan protein pada jagung secara umum mengikuti persamaan Michaelis Menten, yaitu :
14
k2 k1 E + S → ES → S + P k-1 Keterangan : E : Enzim papain S : Substrat protein jagung ES : Kompleks enzim substrat P : Produk Menurut Suhartono (1989), papain memotong protein pada sisi karboksil dari asam amino valina, lisina dan arginina. Pemotongan pada sisi karboksil dilakukan oleh sisi aktif papain, yaitu gugus sulfidril (-SH) atau juga sering disebut gugus thiol. Proses penguraian matriks protein pada endosperma jagung di awali oleh pembentukan ikatan kovalen thiol ester antara gugus thiol pada sisteina (sisi aktif papain) dengan gugus karboksil pada asam amino valina, lisina, dan arginina dari zein, glutelin, globulin, dan albumin. Selanjutnya adalah penguraian enzim substrat melalui pemutusan ikatan peptida pada sisi karboksil dari substrat protein dan menjadi molekul protein berantai peptida lebih pendek. Reaksi pembentukan ikatan kovalen thiol ester mengikuti reaksi esterifikasi gugus thiol dengan asam karboksilat pada kondisi asam (pH < 7) (Fessenden dan Fessenden 1981) dengan reaksi sebagai berikut : Pep — SH + Pep‘ — COOH Keterangan : Pep 2.5
H+ → Pep‘— COS—Pep + H2O
: Peptida
Perkembangan Penggunaan Enzim pada Industri Pengolahan Jagung
Penelitian penggunaan enzim pada industri pengolahan jagung banyak dilakukan untuk meningkatkan rendemen, mengurangi waktu proses, dan mengurangi penggunaan SO2 pada proses produksi pati jagung. Secara umum, pembuatan pati dengan metode penggilingan basah terdiri dari tahap pembersihan, perendaman dengan SO2, pemisahan komponen-komponen biji jagung yang meliputi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati serta starch finishing (Johnson dan May 2003). Perendaman dengan larutan sulfur dioksida (SO2 ) pada konsentrasi 0,1-0,4% dilakukan selama 24 sampai 36 jam pada suhu 48-52oC (Watson dan Eckhoff 2004). Penggunaan SO2 dimaksudkan untuk melunakkan bagian kernel jagung, menghancurkan matriks protein di antara granula pati, dan membuat lembaga lebih mudah terpisah dari bagian endosperma. SO2 juga berfungsi sebagai antimikroba yang akan mencegah tumbuhnya organisme yang akan menurunkan mutu produk pati yang dihasilkan (Eckhoff dan Watson 2009). Di samping itu, perendaman dengan SO2 dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Bakteri ini dapat menghasilkan asam laktat yang mampu meningkatkan pelunakan biji dan melemahkan dinding sel endosperma (Johnson dan May 2003).
15
Lamanya waktu perendaman dalam larutan SO2 pada proses perendaman (steeping) menyebabkan tingginya biaya produksi pati jagung. Berbagai penelitian untuk memperpendek lama waktu perendaman telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Haros et al. (2004) yang melaporkan bahwa penambahan asam laktat di dalam proses perendaman dapat mempermudah terjadinya proses difusi SO2 ke dalam biji jagung dan mempermudah terjadinya pemecahan matriks protein sehingga dapat mengurangi lama perendaman. Perlakuan awal dengan memberikan gas amonia terhadap biji jagung juga telah dilakukan oleh Core (2004) yang bertujuan untuk melonggarkan ikatan antara komponen-komponen di dalam biji jagung sehingga mudah untuk dipisahkan dan memperpendek lama perendaman dalam larutan SO2, yaitu hanya selama enam jam. Johnston dan Singh (2001) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan enzim secara spesifik untuk meningkatkan rendemen pati tanpa menggunakan SO2 sebagai bahan untuk perendaman. Dalam penelitian tersebut didapati bahwa enzim tidak dapat berpenetrasi masuk ke dalam biji dan memecahkan matriks protein yang mengelilingi partikel pati. Untuk itu perlu dilakukan pengecilan ukuran biji jagung menjadi grits jagung untuk menghilangkan hambatan difusi enzim dalam biji. Namun demikian, pengecilan ukuran ini dapat berdampak pada pecah atau rusaknya lembaga. Lembaga yang rusak atau pecah dapat mengakibatkan nilai lembaga hilang dan minyak yang keluar dapat menyebabkan permasalahan baru pada tahap pemisahan selanjutnya. Hal ini harus dijadikan pertimbangan karena lembaga merupakan bagian bernilai ekonomi tinggi dalam biji jagung. Johnston dan Singh (2004) melakukan pengembangan metode penggunaan enzim dalam proses produksi pati dengan terlebih dahulu merendam biji jagung dengan air agar terjadi hidrasi sebelum dilakukan pengecilan ukuran. Setelah direndam dengan air, biji dipecahkan untuk mempermudah enzim terdifusi masuk ke dalam biji. Dengan metode tersebut, dilaporkan bahwa penambahan enzim protease pada larutan yang sudah mengandung SO2 tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata. Hal ini disebabkan SO 2 dapat bekerja baik dengan atau tanpa penambahan enzim. Dalam penelitian tersebut, Johnston dan Singh (2004) juga melaporkan bahwa enzim protease (bromelain) memberikan hasil rendemen yang paling tinggi dibandingkan kelompok enzim yang lain (cellulase, xylanase, cellobiase, β-glucanase, dan kombinasinya), dan diketahui juga bahwa penggunaan bromelain terhadap jagung giling kasar (grits) yang telah terhidrasi ternyata mampu mengurangi lama waktu perendaman. 2.6
Teknologi Produksi Tepung Jagung
Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pada proses penggilingan, ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk yaitu bahan ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggilingan. Mekanisme pada proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan dan energi yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan (Riyani 2007). Jagung yang digunakan dalam pembuatan tepung umumnya merupakan tipe jagung warna putih, sedangkan yang berwarna kuning digunakan sebagai pakan. Jenis biji jagung tergantung pada komposisi bagian endospermanya. Jagung
16
dengan tipe jagung tepung (floury corn) sebagian besar terdiri atas bagian lunak dan digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan tepung. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan endosperma dari lembaga, kulit ari, dan tudung pangkal biji. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat paling tinggi. Kulit ari memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga harus dipisahkan dari endosperma karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tudung pangkal biji merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tudung pangkal biji tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung (Riyani 2007). Proses produksi tepung jagung diawali dengan pemisahan biji jagung dari berbagai kotoran berupa kerikil, sisa-sisa tongkol, maupun logam. Selanjutnya dilakukan pemisahan tudung pangkal biji, kulit ari dan lembaga pada biji jagung dengan endospermanya. Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan lemak, serat, abu, maupun sebagian protein yang terletak pada lembaga, tudung pangkal biji maupun kulit ari. Selanjutnya endosperma yang diperoleh dihaluskan dengan penggilingan dan pengayakan (Wahyudi 2003). Dengan prinsip dasar proses tersebut, maka tepung jagung pada umumnya masih mempunyai kandungan protein yang tinggi. Disamping itu, juga masih terdapat sebagian kecil lemak, abu maupun serat. Efektifitas proses degerminasi akan menghasilkan tepung dengan rendemen tinggi dan kandungan lemak, abu maupun serat yang kecil. Pada proses penggilingan kering dihasilkan jagung pecah (grits) dalam berbagai ukuran, yaitu flaking grits, coarse grits, brewers grits, snack grits. Di samping itu, juga dihasilkan cornmeal, corn flour, dan lembaga. Grits biasanya mengandung kurang dari 1% lemak, 1-1,5% fine meal, dan 2% flour. Lembaga biasanya digunakan untuk pakan ternak dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk makanan. Grits digunakan untuk membuat makanan sereal atau untuk makanan ringan yang dibuat dengan metode ekstrusi (Johnson 1991). Pengolahan biji jagung dengan alkali (alkali cooked milling) adalah proses pembuatan tepung jagung dengan penambahan Ca(OH)2 sebanyak 1% kemudian direbus dan dikeringkan baru kemudian digiling untuk mendapatkan tepung jagung. Tujuan dari penambahan Ca(OH)2 adalah untuk meningkatkan kandungan kalsium pada tepung jagung. Pengolahan dengan alkali ini biasanya digunakan pada industri pangan dengan tujuan untuk menghasilkan produk pangan tertentu (Gomez et al. 1989; Johnson 1991; Toro-Vazquez dan Gomez-Aldapa 2001; Eckhoff et al. 1999; Bangun et al. 2005). Secara umum skema proses produksi tepung jagung metode kering ditunjukkan pada Gambar 2.3. Di samping dalam skala besar, produksi tepung jagung juga dapat dilakukan pada skala kecil dan rumah tangga. Perbedaan keduanya terdapat pada tahapan proses dan jenis peralatan yang digunakan. Pada proses produksi skala kecil, sebelum dilakukan pemisahan endosperma dari lembaga, tudung pangkal biji dan kulit ari (degerminasi atau penyosohan) terlebih dahulu dilakukan perendaman biji jagung selama 10 hingga 60 menit. Setelah direndam, biji jagung ditiriskan dan
17
selanjutnya dilakukan proses degerminasi dengan menggunakan peralatan penyosoh jagung ataupun dengan menggunakan polisher gabah. Proses penyosohan berlangsung berulang-ulang hingga diperoleh endosperma yang bersih. Jagung pecah (flaking grits) hasil degerminasi, selanjutnya direndam 1 (satu) malam sebelum pada keesokan harinya digiling dengan hammer mill maupun disk mill atau keduanya.
Silo Utama
Silo Sementara
Timbangan otomatis Pembersih biji
Pembersih biji dari kerikil
Degerminator
Plant Sifter
Pemisah endosperm berdasar berat (gravity)
Silo Penampungan
Hammer Mills
Roller Mills
Silo Bahan Jadi
Plant Sifter
Penyaringan
Silo Bahan Jadi
Gambar 2.3 Skema produksi tepung jagung metode kering (Wahyudi 2003.)
18
Tepung jagung hasil penggilingan ada yang langsung dijual sebagai bahan baku nasi jagung, ada juga yang dipisahkan ukurannya antara yang kasar dan halus dengan tujuan untuk memudahkan konsumen memilih ukuran tepung sesuai dengan peruntukkannya. Selama ini masyarakat menggunakan tepung jagung hanya untuk campuran nasi beras dan bahan campuran kue kering dan kue tradisional. Secara umum skema proses produksi tepung jagung pada skala kecil dan rumah tangga ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Jagung Pipil Kering
Air
- Penimbangan - Pembersihan biji
Perendaman Awal
Degerminasi
Germ, Tip cap, Pericarp
Perendaman Kedua
Penggilingan
Air
Pengayakan Produk
Grits Jagung
Tepung Jagung
Gambar 2.4 Skema produksi tepung jagung skala kecil (BPPT 2009) 2.7
Potensi Pemanfaatan dan Syarat Mutu Tepung Jagung
Menurut Asosiasi Roti, Biskuit dan Mie Instan (Arobim), telah terjadi peningkatan utilisasi pabrik mi instan hingga 10% dari kapasitas terpasangnya, sehingga dapat meningkatkan produksi mi instan dari 16,5 miliar bungkus tahun 2012 menjadi 18 miliar bungkus pada tahun 2013. Peningkatan tersebut ditopang oleh masih terus terjadinya tren konsumsi mi instan sebagai makanan alternatif pengganti nasi (Arobim 2013). Terjadinya tren konsumsi mi instan dan banyaknya penelitian-penelitian tentang penggunaan tepung jagung untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu sebagai bahan baku mi (Waniska et al. 2000; Juniawati 2003; Budiah 2004; Fitriani 2004; Rianto 2006; Muhandri dan Subarna 2009; Ekafitri 2009; BPPT 2010), pasta (BPPT 2010), cookies (Azman 2000; Suarni 2005; BPPT 2008; Suarni 2009; Marissa 2010; Mariana 2010) , biscuit (Lopulalan 2008; BPPT 2009), bakery (Mudjisihono 1994; Richana et al. 2010) maupun produk olahan pangan tradisional lainnya (Fransiska 2010) menjadi daya dukung dan membuka peluang yang lebih luas penggunaan tepung jagung.
19
Upaya peningkatan mutu tepung jagung diharapkan dapat menghasilkan tepung jagung dengan mutu sebagaimana yang dipersyaratkan dalam SNI No.013727-1995 tentang standar mutu tepung jagung, yang mensyaratkan ukuran partikel tepung jagung adalah minimal 99% lolos ayakan ukuran 60 mesh, dan minimal 70% lolos ayakan ukuran 80 mesh (BSN 1995). Di samping itu, untuk tujuan penggunaan yang lebih luas, ukuran kehalusan partikel tepung jagung juga harus memenuhi standar mutu tepung terigu berdasarkan SNI No. 3751-2009, yaitu minimal 95% lolos ayakan 212 µm atau 70 mesh maupun tepung beras sesuai SNI No. 3549-2009 tentang syarat mutu tepung beras, yaitu minimal 90% lolos ayakan 80 mesh (BSN 2009). Di samping ukuran partikelnya, tepung jagung yang dihasilkan diharapkan mempunyai kadar lemak maksimal 1,5%. Uraian persyaratan mutu tepung jagung, tepung terigu, dan tepung beras, disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3.