TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda merupakan hewan liar yang telah terdomestikasi. Secara zoologis digolongkan kedalam kingdom Animalia, filum Chordata yaitu hewan yang bertulang belakang, kelas Mammalia yaitu hewan yang menyusui anaknya, sub kelas Theria, ordo Perissodactyla yaitu hewan yang tidak memamahbiak, famili Equidae, dan spesies Equus caballus (Radiopetra, 1997).
Kuda domestikasi
merupakan hasil kontribusi dua atau tiga jenis kuda liar yaitu kuda (Equus puzewalski), keledai (Equus mullus) dan zebra (Equus brucheli). Tabel 1 menyajikan tipe, kegunaan, jenis, bobot badan dan daerah asal dari berbagai kuda yang ada di dunia. Populasi kuda di dunia mencapai 62 juta ekor, yang terdiri dari 500 bangsa, tipe dan varietas. Bangsa kuda pada awalnya dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara spesifik (Bowling dan Ruvinsky, 2004). Klasifikasi Kuda Kuda dapat diklasifikasikan menjadi kuda tipe ringan, tipe berat maupun kuda poni dengan ukuran, bentuk tubuh dan kegunaan yang berbeda. Kuda tipe ringan mempunyai tinggi 1,45-1,70 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg dan sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik atau kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda tipe berat mempunyai tinggi 1,45-1,75 m saat berdiri, dengan bobot badan lebih dari 700 kg dan biasa digunakan sebagai kuda pekerja. Kuda poni memiliki tinggi kurang daripada 1,45 m jika berdiri dengan bobot badan 250-450 kg, beberapa kuda berukuran kecil biasanya juga terbentuk dari keturunan kuda tipe ringan (Ensminger, 1962). Kuda Arab dianggap masyarakat sebagai cikal bakal dari berbagai kuda yang ada sekarang ini. Kuda yang dapat ditemukan di wilayah Asia Tenggara dimasukkan kedalam ras Timur. Berdasarkan bentuk wajahnya, kuda ras Timur diduga merupakan keturunan kuda Mongol. Kuda ini merupakan keturunan jenis Puzewalski yang ditemukan tahun 1879 di Asia Tengah (Jacoebs, 1994).
Tabel 1. Tipe, Kegunaan, Jenis, Tinggi, Bobot Badan dan Habitat Asli Kuda di Dunia Tipe
Kegunaan
Jenis
Tinggi (m)
Bobot Badan (kg)
Kuda Tunggang
Kuda tunggang berlari cepattiga
Kuda Albino Amerika
1,45-1,70
450-700
Kuda Pacu
Kuda Tarik
Habitat Asli Amerika Serikat
Kuda Sadel Amerika
Amerika Serikat
Kuda Arab
Arab Saudi
Kuda Appalossa
Amerika Serikat
Kuda Morgan
Amerika Serikat
Kuda Spotted Maroko
Amerika Serikat
Kuda Palomino
Amerika Serikat
Kuda Thoroughbred
Inggris
Kuda tunggang berlari cepatlima
Kuda Sadel Amerika
1,45-1,70
450-700
Amerika Serikat
Kuda Poni untuk ditunggangi
Kuda Shetland & Welsh
0,9-1,45
250-450
Shetland
Kuda Pacu Pelari
Kuda Thoroughbred
1,55-1,65
450-575
Inggris
Kuda Pacu berpakaian
Kuda Standardbred
1,45-1,55
450-600
Amerika Serikat
Kuda Quarter
Kuda Quarter
1,45-1,65
450-650
Inggris
Kuda Berpakaian Tipe Berat
Kuda Cleveland Bay
1,45-1,65
450-650
Inggris
isles
Inggris
Kuda French Coach
Perancis
Kuda Jerman Coach
Jerman
Kuda Hackney
Inggris
Kuda Yorkshire Coach
Inggris
Kuda Berpakaian Tipe Sedang
Didominasi oleh Kuda
Kuda Transportasi
Kuda
Kuda Poni untuk Menarik
Kuda Hackney
1,45-1,70
450-700
Amerika Serikat
1,45-1,55
450-600
Amerika Serikat
0,9-1,45
250-450
Inggris
Sadel Amerika Serikat
Morgan&Standardbred
Kuda Shetland & Welsh
Shetland isles
Sumber : Ensminger, 1962
4
Kuda Lokal Indonesia Penduduk asli Indonesia telah beternak kuda sebelum kedatangan bangsa Eropa. Peternakan kuda pada saat itu belum memenuhi persyaratan teknis beternak kuda, karena kuda hidup di alam bebas dan sangat tergantung pada kebaikan alam. Akibatnya, peternakan kuda rakyat menghasilkan kuda dengan kualitas rendah. Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke Indonesia memberikan pengaruh yang besar terhadap usaha pemuliaan kuda di Indonesia. Pengaruh yang dihasilkan diperoleh dangan memperbaiki ras kuda lokal, memperbaiki cara beternak penduduk dengan menjelaskan secara sederhana bagaimana cara memberi makan, merawat kuda serta petunjuk-petunjuk lain yang berhubungan dengan beternak kuda (Soehardjono, 1990) Soehardjono (1990) menyebutkan bahwa kuda lokal di Indonesia awalnya ada dua jenis, yaitu kuda Batak dan kuda Sandel (Sandelwood). Kuda Batak hidup di dataran tinggi Tapanuli (Sumatera Utara). Kuda Sandel atau kuda Timor terdapat di wilayah Indonesia bagian timur. Kehadiran beberapa jenis kuda tertentu di Indonesia sudah lama dan memiliki nama yang berbeda di berbagai daerah seperti kuda Gayo, kuda Batak, kuda Priangan, kuda Jawa, kuda Sulawesi, kuda Sumbawa, kuda Flores, kuda Sandel dan kuda Timor. Sekitar tahun 1955 pemerintah mulai berusaha memperbaiki genetik kuda lokal dengan mendatangkan kuda non-pacu dari luar negeri. Sekitar tahun 1965 dikenal kuda Thoroughbred yang kemudian disilang dengan kuda lokal (kuda Sumba) untuk menghasilkan kuda pacu Indonesia (Soehardjono, 1992). Performa kuda lokal Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim tropis dan lingkungan. Tinggi badan kuda lokal tersebut berkisar antara 1,15-1,35 m (tergolong kedalam jenis kuda poni). Bentuk kepala besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk kuat, punggung lurus dan kuat. Kaki kuda lokal Indonesia berotot kuat, kening dan persendian baik, bentuk kuku kecil yang berada diatas telapak yang kuat (Jacoebs, 1994). Kegunaan kuda lokal Indonesia sebagian besar adalah sebagai sarana transporatasi, pengangkut barang, sarana hiburan juga sebagai bahan pangan masyarakat lokal (Prabowo, 2003). Tiga daerah yang masyarakatnya banyak 5
mengkonsumsi daging kuda yaitu Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Ditjenak, 2009). McGregor dan Moris (1980), menyatakan bahwa kuda poni di Indonesia merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk transportasi dan pengembangan peternakan. Kuda Sumba Kuda lokal Indonesia, khususnya kuda Sumba digolongkan kedalam kuda poni. Kuda ini telah beradaptasi secara fisik dan merubah gaya hidup mereka untuk beradaptasi pada tempat mereka hidup (Edwards, 1994; Roberts, 1994). Kuda Sumba pinggulnya agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah diintroduksi ke pulau Sumba. Kuda Sumba dianggap sebagai jenis kuda yang baik untuk kuda pacu, maka pada tahun 1841 pejantan-pejantan kuda unggul, diekspor ke pulau Jawa, Singapura dan Malaysia, Manila dan Mauritius (Afrika Timur). Sebagai akibatnya hanya disisakan pejantan yang berkualitas rendah, sehingga mutu peternakan kuda merosot (Soehardjono, 1990). Kuda Sumba memiliki penampilan yang primitif, tinggi sekitar 1,27 m perbandingan kepala lebih besar daripada badan, dan bagian kepala lebih mengarah tipe Mongolian dengan leher yang pendek, konformasi kuda Sumba tidak sempurna tetapi bagian punggung sangat kuat (Edwards, 1994). Kuda Makasar Kuda Makasar berasal dari pulau Jawa. Kuda pejantan yang berasal dari pulau Jawa dibawa ke Makasar untuk dikembangbiakkan oleh masyarakat Makasar. Kuda ini awalnya dimanfaatkan sebagai kuda tunggang atau beban bagi kepentingan operasi militer. Namun, seiring berkembangnya zaman, kuda ini mulai dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kuda pekerja untuk transportasi dan menggarap lahan pertanian bahkan menjadikan kuda sebagai bahan makanan (Soehardjono, 1990). Soehardjono (1990) menambahkan bahwa kuda Makasar memiliki tempramen yang stabil serta berdaya tahan kuat, kaki tegap dan kuat serta resisten terhadap penyakit. Tinggi kuda Makasar sekitar 1,25 m (4 kaki). Perototan yang kuat menjadikan kuda ini sering digunakan sebagai kuda beban.
6
Pemanfaatan Kuda Pemanfaatan kuda oleh manusia bermacam-macam tergantung pada tipe, umur dan kebiasaan, yaitu (1) sebagai sumber makanan, (2) sebagai peralatan militer (3) sebagai kuda olahraga, dan (4) kuda pertanian atau kuda tarik atau sebagai alat transportasi. Kuda Sebagai Sumber Makanan Awalnya, kuda diburu oleh manusia untuk dijadikan sebagai sumber makanan. Pemburuan kuda ini terjadi sebelum kuda didomestikasi sekitar 25.000 juta tahun yang lalu. Tulang-tulang kuda tertimbun di Solutre, Rhone Valley, Perancis Selatan. Tulang ini diperkirakan berasal dari peternakan kuda yang memiliki 100.000 ekor kuda (Ensminger, 1962). Pengenalan daging kuda dimulai pada abad ke-19 oleh negara Perancis melalui sebuah masakan (taboo) yang berasal dari daging kuda. Hal ini merupakan kejadian langka pada abad tersebut. Saat itu, taboo menjadi bahan perdebatan besar, tidak hanya dengan status masakan Perancis, tetapi juga dengan status kuda tersebut. Legalisasi daging kuda untuk makanan manusia pada tahun 1866 dibenarkan terutama atas dasar sosial ekonomi. Konsumsi kuda menjadi kontroversi karena status ternak kuda yang menjadi ternak kesayangan (Spring, 2007) Ternak kuda mempunyai potensi cukup besar sebagai salah satu sumber makanan. Potensi tersebut dapat dilihat dari populasi ternak dan produksi daging yang dihasilkan. Tiga daerah yang menjadi penghasil daging kuda terbesar di Indonesia yaitu Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Ditjenak, 2009). Menurut Kadir dan Nuraeni (2002) bahwa kabupaten Jeneponto merupakan daerah pemotongan kuda terbesar di Sulawesi Selatan, sehubungan dengan latar belakang masyarakat yang sangat menyukai jenis daging kuda. Daging kuda memiliki kandungan gizi yang hampir setara dengan jenis daging ternak lainnya seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. Evanovsky dan Foster (1997) melaporkan bahwa daging kuda di Amerika banyak diminati karena kandungan proteinnya yang tinggi, rendah lemak, cita rasa yang agak manis dan mempunyai keempukan yang lebih baik daripada daging sapi. Perkembangan
7
Tabel 2. Kandungan Gizi Beberapa Macam Daging Ternak (Per 100 Gram) Jenis Ternak
Kalori Protein Lemak P Fe (kal) (g) (g) (mg) (mg)
Ca Vit.A (mg) (S.I)
Vit.B (mg)
Air (g)
Ayam
302
18,6
25,0
200
1,5
14
810
0,08
73,0
Itik
326
16,0
28,6
188
1,8
15
900
0,10
54,0
Domba
206
17,1
14,8
191
2,6
10
-
0,15
66,0
Kambing
154
16,6
9,2
124
1,0
11
-
0,09
70,0
Kerbau
84
18,7
0,5
151
2,0
7
-
0,02
84,0
Sapi
207
18,8
14,0
170
2,8
11
30
0,08
66,3
Kuda
118
18,1
4,1
221
2,7
10
-
0,07
76,0
Sumber : Soediaoetama (2000)
konsumsinya sangat lambat dibandingkan dengan perkembangan konsumsi daging asal ternak ruminansia dan unggas. Perkembangan ini tergantung pada umur potong, bangsa kuda dan keberadaan fungsinya sebagai hewan pekerja. Sistem yang digunakan untuk potongan kuda di Amerika adalah sama dengan sistem potongan (retail cuts) pada sapi. Karakteristik dagingnya yang telah diketahui antara lain adalah lebih banyak daging (lean) dibanding ternak lainnya dan mempunyai rasa yang agak manis. Daging dari kuda berumur lebih dari tiga tahun mempunyai warna merah terang dan lebih baik dalam flavour. Daging dari kuda muda lebih empuk dan mempunyai warna yang lebih terang. Potongan daging kuda yang paling populer berasal dari hindquarter, tenderloin, sirloin, fillet steak, dan rump (Evanovsky dan Foster, 1997). Stull (1998) menyatakan bahwa umumnya ternak kuda yang dipotong di Amerika memiliki kondisi tubuh yang ideal untuk menghasilkan daging yang baik. Kuda Sebagai Peralatan Militer Manusia menggunakan kuda sebagai sarana dalam berperang. Kuda ditunggangi para prajurit dan untuk mengangkut peralatan perang seperti alat pemanah dan pelanting bata. Menurut catatan sejarah, penggunaan kuda dalam kemiliteran sudah dilakukan oleh bangsa-bangsa Kassistan di Mesopotania, Hyksas di Mesir, Milarnia di Syria, dan Arya di India sejak tahun 1700-1400 SM (Soehardjono, 1990).
8
Pemanfaatan berbagai jenis kuda sebagai penunjang tempur mengalami kemajuan terutama setelah Inggris pada abad XVIII menggunakan satuan kavaleri dalam pasukannya di Amerika. Penggunaan kuda sebagai sarana militer berkembang di Indonesia sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang mulai berperang dan kuda digunakan sebagai kendaraan perang (Soehardjono, 1990). Kuda Untuk Olahraga Kuda digunakan sebagai sarana berolahraga atau biasa disebut pacuan kuda. Pacuan kuda adalah olahraga berkuda yang paling alami. Kuda dirancang menggunakan kecepatannya untuk mengalahkan lawan-lawannya. Seekor kuda pacu dilatih untuk menahan berat joki pada punggungnya dan sejumlah kendali tertentu, tetapi faktor yang paling menentukan keberhasilannya adalah kondisi kuda (Pilliner dan Houghton, 1991). Olahraga berkuda di Indonesia dikembangkan oleh bangsa Belanda sebelum perang dunia kedua di beberapa tempat di pulau Jawa. Olahraga ini awalnya hanya diperuntukkan oleh kalangan keluarga kerajaan, namun tahun 1929-1930-an olahraga ini mengalami perkembangan yang pesat dengan seringnya diselenggarakan pertandingan di Jakarta dan Bandung. Olahraga ini mengalami kemunduran dan hampir lenyap pada masa pendudukan Jepang. Usaha peternak memajukan olahraga ini dengan cara mendatangkan kuda jenis tunggang dari Australia dalam rangka mengusahakan pemuliaan kuda yang ada (Soehardjono, 1990). Kuda Sebagai Alat Transportasi Peranan kuda tidak hanya sebagai sumber makanan, tetapi sudah mulai bergeser menjadi alat transportasi, rekreasi, dan olahraga. Namun, fungsi kuda sebagai alat transportasi sehari-hari sudah banyak mengalami penurunan, karena adanya alat-alat transportasi bioteknologi tinggi seperti mobil dan angkutan umum lainnya. Akan tetapi, di beberapa tempat di Indonesia kuda masih banyak digunakan sebagai alat transportasi. Variasi alat transportasi yang menggunakan kuda antara lain adalah Kereta Perang, Kereta Kencana, dan Kereta Kuda (Angga, 2009).
9
Delman merupakan salah satu alat transportasi tradisional yang pengoperasiannya tidak menggunakan mesin melainkan menggunakan kuda sebagai penggantinya. Delman masih banyak digunakan di Indonesia dan Belanda. Orang Belanda sering menyebut kendaraan ini dengan nama dos-a-dos (punggung pada punggung, arti harfiah bahasa Perancis), yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi. Istilah dos-a-dos kemudian oleh penduduk pribumi Batavia disingkat menjadi sado. Alat transportasi lain yang menggunakan kuda adalah gerobak. Gerobak adalah sebuah kendaraan atau alat yang memiliki dua atau empat roda yang digunakan sebagai alat transportasi. Gerobak dapat ditarik oleh hewan seperti kuda, sapi, kambing, zebu, atau dapat pula ditarik manusia (Angga, 2009) Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan dikurangi dengan darah, kepala, kaki (mulai dari carpus dan tarsus kebawah), kulit, organ dalam seperti jantung, hati, paru-paru, limpa, saluran pencernaan dan saluran reproduksi (Soeparno, 2005). Nilai komersial karkas sangat dipengaruhi oleh proporsi otot, tulang dan lemak. Karkas dipengaruhi oleh bobot ternak, bangsa, proporsi bagianbagian non karkas, ransum, umur, dan jenis kelamin (Berg dan Butterfield, 1976). Bangsa ternak yang mempunyai bobot potong besar menghasilkan karkas yang besar juga. Bobot potong yang semakin meningkat menghasilkan karkas yang semakin meningkat pula, sehingga dapat diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging menjadi lebih besar (Soeparno, 2005). Hasil karkas dinyatakan dalam persentase karkas, yaitu perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong (Forrest et al., 1975; Tulloh, 1978). Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas atau bobot karkas layu. Bobot karkas dingin mengalami penyusutan bobot sekitar 2-3% dari bobot karkas panas yang hilang sebagai drip. Pertumbuhan dan Perkembangan Komponen Fisik Karkas Pertumbuhan ternak mengalami dua proses, yaitu (i) bobot badan ternak yang meningkat sampai mencapai bobot badan dewasa yang disebut dengan pertumbuhan; dan (ii) perubahan konformasi dalam bentuk dan berbagai fungsi 10
tubuh dan kemampuannya dalam melakukan suatu aktivitas maksimal yang disebut dengan perkembangan. Pertumbuhan komponen penyusun karkas ternak merupakan akumulasi dari jaringan lean (otot), lemak dan tulang. Laju pertumbuhan jaringan ini berbeda satu sama lain tergantung pada umur dan bobot badan. Menurut United States Departement of Agriculture (USDA), produktivitas karkas ditentukan oleh empat faktor utama yang digunakan sebagai indikator perdagingan yaitu ketebalan lemak punggung dalam inchi, luas urat daging mata rusuk (Udamaru) dalam inchi kuadrat, berat karkas dalam kilogram serta persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung (Minish dan Fox, 1979). Jaringan Tulang Tulang adalah jaringan pembentukan kerangka tubuh yang mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan ternak. Selama pertumbuhan, tulang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan lemak. Rusuk merupakan tulang yang perkembangannya paling akhir. Tulang tumbuh secara terus menerus dengan laju pertumbuhan yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif cepat, sehingga rasio otot dengan tulang meningkat. Ternak yang masih muda, rasio tulang lebih besar dibandingkan jaringan lemak karena pada saat ini pertumbuhan lebih diarahkan kepada jaringan tulang dan otot (Lawrence, 1980). Menurut Pulungan dan Rangkuti (1981), bahwa pertumbuhan relatif tulang lebih kecil dibandingkan dengan bobot karkas dengan perkembangan yang lebih kecil atau dengan kata lain persentase tulang berkurang dengan meningkatnya karkas. Tulang akan bertambah selama hidup ternak dan pada ternak tua terjadi pembentukan tulang yang berasal dari tulang rawan yang mempertautkan tulang dengan tendon atau ligamentum. Tulang mempunyai fase darah, fase limfatik dan nervus tulang mampu memperbaiki dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan karena terdapat suatu tekanan. Sepertiga berat tulang terdiri atas kerangka organik berupa jaringan dan sel-sel, yang menyebabkan sifat elastis dan keras pada tulang. Dua per tiga berat tulang terdiri atas komponen anorganik (paling banyak adalah garam-garam kalsium dan fosfat) yang menyebabkan sifat keras dan kaku pada tulang (Frandson, 1992).
11
Jaringan Otot Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot adalah penyusun utama daging, termasuk jaringan ikat, epitel, dan jaringan saraf serta jaringan lain yang terdapat dalam otot. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging. Perkembangan otot mengalami penghambatan karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur tertentu. Keterbatasan ini tidak dapat diatasi meskipun ternak tersebut diberikan pakan yang berkualitas tinggi, karena perkembangan dan pertumbuhan otot tersebut diatur oleh ekspresi miogenin dalam pembentukan selsel otot. Setelah otot mencapai pertumbuhan maksimal, pertambahan berat otot terjadi terutama karena deposisi lemak intramuskular. Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan (Pas et al.,1999). Lemak Penutup Karkas Tebal lemak penutup karkas merupakan faktor yang penting dalam menentukan komposisi karkas (Johnson dan Priyanto, 1991; Priyanto et al., 1997). Tebal lemak punggung juga berfungsi sebagai pelindung karkas yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas daging. United States Departement of Agriculture (USDA) menetapkan bahwa untuk menentukan nilai perdagingan sebuah karkas maka ketebalan lemak diukur pada lemak punggung antara rusuk 12 dan 13 diatas urat daging mata rusuk pada ¾ panjang irisan melintang (Minish dan Fox, 1979). Perlemakan yang berlebihan akan menurunkan jumlah daging yang dihasilkan. Banyaknya lemak bervariasi antara spesies dan merupkan faktor penting dalam menentukan nilai karkas. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Komponen Fisik Karkas Laju pertumbuhan komponen tubuh yang mempengaruhi komposisi fisik dan kimia karkas ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan serta respons genetik ternak tersebut terhadap pengaruh lingkungan seperti nutrisi, fisik dan mikrobiologis. 12
Bobot karkas merupakan indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi karkas. Namun, penggunaannya perlu dikombinasikan dengan indikator lain seperti tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk karena variasi tingkat bangsa, nutrisi dan jenis kelamin dalam pertumbuhan jaringan akan mengakibatkan penurunan tingkat akurasi (Priyanto et al., 1993). Bobot karkas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya bobot potong dimana lemak jeroan juga meningkat dengan laju pertumbuhan yang tetap. Terdapat hubungan yang erat antara bobot karkas dan komponen-komponennya dengan bobot tubuh (Berg dan Butterfield, 1976). Genetik Perbedaan laju pertumbuhan diantara bangsa dan individu ternak dalam satu bangsa, terutama disebabkan oleh ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak tipe besar akan lahir lebih berat daripada bangsa ternak yang kecil. Perbedaan ini disebabkan pada berat yang sama, bangsa tipe besar secara fisiologis lebih muda (Williams, 1986). Pada ternak kuda, tipe kuda mempengaruhi karkateristik karkas kuda seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Karkas Kuda Tipe Kuda Tipe Berat (Perancis)
Umur (bulan)
Bobot Hidup (kg)
6
Persentase (%) Karkas (HCW/BW)
Otot
Lemak
Tulang
327
59,6
68,3
9,6
17,6
12
483
64,9
70,1
10,9
15,6
18
573
57,4
71,8
9,4
16,1
24
627
61,0
69,8
12,9
14,9
30
735
60,0
69,0
14,2
14,5
Haflinger, Bardgiana, dan persilangannya
6
226,4
60,0
72,4
9,7
17,7
15
280,0
59,1
67,7
9,5
16,1
Kuda Pacu
A
514,0
60,0
69,1
13,4
14,2
Keterangan : A= adult , HCW/BW = Hot carcass weight/body weight Sumber : Martin-Rosset et al. (1980) ; Catalano (1986)
Genetik mempengaruhi pertumbuhan relatif otot, lemak dan tulang pada ternak. Misalnya, pada stadium awal pertumbuhan, otot, lemak, dan tulang mengikuti pola pertumbuhan yang serupa, relatif terhadap berat karkas. Pas et al. 13
(1999) menyatakan, bahwa proses pembentukan urat daging (myogenesis) merupakan suatu proses yang kompleks dengan ekspresi myogenin
dalam
pembentukan sel-sel otot (mioblast). Genotip myogenin yang dimiliki oleh tiaptiap ternak akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan komposisi karkas. Lingkungan Faktor genetik dan lingkungan mempunyai hubungan yang erat. Kondisi lingkungan yang ideal diperlukan untuk mengekspresikan kapasitas genetik individu secara sempurna (Lawrie, 2003). Faktor lingkungan mencakup faktor fisiologi dan nutrisi (Soeparno, 2005). Faktor lingkungan yang berkaitan dengan fisiologi ternak adalah temperatur atau panas, iklim dan kelembaban. Temperatur dan kelembaban dapat menyebabkan stres. Pengaruh stres terhadap perubahan komposisi karkas tergantung pada tingkat kondisi stres, lama stres dan tingkat toleransi ternak terhadap stres. Kondisi panas atau dingin yang lama dapat menyebabkan perubahan hormonal ternak. Lingkungan sebagai faktor eksternal mempengaruhi produktivitas dan efisiensi pakan. Kuda merupakan ternak sosial yang dalam keadaan bebas di alam hidup berkelompok bergerak dari suatu padang rumput ke padang rumput lain. Penyebaran ternak ini sangat luas, dapat ditemui hidup dan berkembang di padang-padang sabana, di hutan sekunder dan pinggiran padang pasir (Zeuner, 1963). Pakan Ketersediaan pakan yang baik akan menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan kuda, sehingga pakan merupakan faktor penting dalam peternakan kuda. Pakan utama kuda adalah rumput dengan berbagai jenis seperti Panicum muticum dan Brachiaria mutica. Pakan rumput hanya cukup untuk digunakan bagi kelangsungan hidup, tetapi untuk kuda pacu atau olahraga perlu penambahan konsentrat dengan vitamin. Pakan konsentrat merupakan pakan tambahan energi. Konsentrat yang dapat diberikan antara lain konsentrat sereal yang terdiri dari gandum, jagung, produk tepung, sorgum, berbagai produk padi dan produk non sereal yang terdiri dari gula bit, rumput kering, kacang-kacangan seperti kedelai dan kacang (McBane, 1994)
14
Pakan kuda yang diberikan harus sesuai dengan umur dan fungsi kuda tersebut. Umur kuda dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu 1- 6 bulan, 6-12 bulan, 12-24 bulan, dan diatas 24 bulan. Kuda yang berumur 1-6 bulan tidak disediakan pakan khusus, karena masih menyusu pada induknya. Induk kuda yang masih menyusui memerlukan kebutuhan pakan yang cukup banyak baik untuk induk kuda maupun anaknya. Induk menyusui dan induk bunting memerlukan pakan tiga kali lipat terutama untuk vitamin dan mineral. Kacang-kacangan dan bungkil dapat membantu pembentukan air susu dalam jumlah yang cukup. Pengaturan pemberian pakan dapat dilakukan 2-3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore hari tergantung dari kuda dan fungsi kuda tersebut (Jacoebs, 1994). Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komposisi karkas, terutama dalam hal deposisi lemak. Kastrasi mengubah sistem hormonal ternak jantan, sehingga dapat mengakibatkan perubahan komposisi tubuh dan karkas. Perbedaan antara komposisi karkas antara jenis kelamin, terutama disebabkan oleh steroid kelamin. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh hormon terhadap produktivitas ternak terutama hormon-hormon kelamin, seperti testosteron pada ternak jantan dan hormon progesteron pada ternak betina. Hormon yang
paling menonjol pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan ternak adalah hormon estrogen dan testosteron. Hormon estrogen dapat menghambat pertumbuhan tulang, sehingga ternak betina memiliki kerangka tubuh yang lebih kecil dibanding kerangka ternak jantan, akan tetapi hormon estrogen dapat memacu pertumbuhan lemak tubuh, karena itu ternak betina akan menimbun lemak dalam tubuhnya lebih tinggi dibanding ternak jantan. Sebaliknya hormon testosteron dapat memacu pertumbuhan tulang dan menekan pertumbuhan lemak tubuh. Olehnya, persentase karkas ternak betina lebih tinggi dibanding persentase karkas ternak jantan (Turner dan Bagnara, 1976; Edey et al., 1981). Bila dibandingkan pada berat tubuh yang sama, maka jumlah lemak sapi, domba dan babi bervariasi. Pada sapi, jumlah lemak betina dara lebih banyak daripada jantan kastrasi, dan keduanya lebih banyak daripada sapi pejantan. Pada domba, jumlah lemak domba betina jauh lebih banyak daripada jantan muda kastrasi, dan lebih banyak daripada domba pejantan. Pada babi, jumlah lemak babi pejantan lebih 15
banyak daripada babi dara, dan lebih banyak daripada babi pejantan (Williams, 1986).
Jones et al. (1983) menambahkan bahwa jenis kelamin bisa tidak
berpengaruh terhadap komponen karkas, termasuk distribusi tulang, daging dan lemak. Perbedaan komposisi karkas karena jenis kelamin dapat terjadi setelah mencapai fase pertumbuhan penggemukan. Karkas hewan jantan umumnya mempunyai proporsi lemak yang rendah dibandingkan dengan betina pada umur pemotongan yang sama. Warna daging hewan jantan mempunyai warna yang lebih gelap daripada daging betina. Perbedaan warna tersebut disebabkan oleh kandungan lemak daging dari hewan jantan lebih rendah dibandingkan dengan betina. Selain itu, hewan jantan lebih mudah stress dibandingkan dengan ternak betina sehingga akan menghasilkan daging dengan pH ultimat yang lebih rendah dan menyebabkan daya ikat air yang rendah serta warnanya yang lebih gelap (Wilson et al., 1981). Rasio dari lemak subkutan dan lemak intramuskular yang didasarkan pada tebal lemak punggung, pengembangannya dapat dilakukan antar bangsa ternak dan antar jenis kelamin yang berbeda (Baas et al., 1982). Umur dan Berat Tubuh Kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur dan berat tubuh adalah faktorfaktor yang mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lainnya dan dapat mempengaruhi komposisi tubuh. Variasi komposisi tubuh atau karkas sebagian besar didominasi oleh variasi berat tubuh dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur (Burton dan Reid, 1969). Pada sapi, dengan bertambahnya umur, terjadi peningkatan pertumbuhan organ-organ, dan terutama depot lemak, serta peningkatan komponen lainnya seperti otot dan tulang (Hedrick, 1968). Berat tubuh pada awal fase penggemukan domba berhubungan dengan berat dewasa. Komposisi pada saat kehilangan berat adalah sama dengan pada saat memperoleh kembali berat badan. Ternak tipe besar mulai gemuk pada berat tubuh yang lebih tinggi daripada ternak tipe kecil (Searle et al., 1972). Ternak yang lebih ringan biasanya mengandung otot lebih banyak dan lemak lebih sedikit. Proporsi lemak tubuh meningkat setelah ternak menjadi lebih besar. Koch et al. (1979) menyebutkan bahwa kadar laju deposisi lemak bisa konstan, tetapi persentase lemak tubuh meningkat pada saat dewasa dan struktur 16
lain berhenti tumbuh. Hal serupa juga terjadi saat berat karkas mengalami kenaikan sehingga proporsi otot, tulang dan fasia serta tendo menurun, sedangkan proporsi lemak meningkat. Penurunan proporsi tulang dan otot dalam tubuh atau karkas domba yang tumbuh optimal disebabkan oleh meningkatnya deposisi lemak pada stadium akhir pertumbuhan (Ashgar dan Yeates, 1979). Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas daging adalah umur kronologis ternak saat pemotongan. Umur sangat berpengaruh terhadap proporsi dari komponen utama karkas, yaitu daging, tulang dan lemak. Proporsi lemak semakin meningkat dengan bertumbuhnya umur. Daging dari ternak yang berumur tua lebih alot dibandingkan dengan daging dari ternak yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur jaringan ikat pada hewan tua dan bukan oleh jumlah kolagen pada jaringan tersebut. Warna daging berubah menjadi lebih tua dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh pigmen cokelat dan jumlah mioglobin yang lebih besar. Flavour dan kebasahan daging akan meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya deposit lemak dengan peningkatan kematangan oleh umur (Wilson et al., 1981).
17