TINJAUAN PUSTAKA Kuda (Equus caballus) Kuda merupakan mamalia ungulata (hewan yang berdiri pada kuku) yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda berdiri pada satu kuku sehingga dimasukkan dalam ordo Perissodactyla. Dalam hal kekerabatan, kuda memiliki kesamaan nenek moyang dengan tapir dan badak. Kuda merupakan satu dari hewan modern paling sukses dari genus Equss, hal tersebut dikarenakan kemampuannya dalam bertahan hidup dari seleksi alam dan kemampuannya dalam berevolusi yang sangat baik (Kidd, 1985). Kuda modern saat ini dibedakan menjadi kuda domestikasi dan kuda liar. Kuda domestikasi (Equus caballus) adalah kuda yang sengaja dipelihara manusia untuk digunakan dan diambil manfaatnya. Sedangkan kuda liar (Equus ferus caballus) adalah kuda yang masih hidup di alam liar (Kidd, 1985). Domestikasi kuda terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Kuda pertama kali digunakan adalah sebagai sumber pangan, untuk perang dan olahraga, serta untuk tujuan pengangkutan. Kuda digunakan Sekarang ini untuk olah raga dan rekreasi, pertunjukan, pengendali ternak lain, serta teman bagi orang yang menyukai kuda. Kuda memiliki daya tarik tinggi bagi masyarakat, baik anak muda maupun orang dewasa (Bogart dan Taylor, 1983). Parakkasi (1986) menyatakan bahwa selain dapat digunakan untuk kegiatan konsumsi masyarakat (daging kuda dan air susu), kuda juga dapat dimanfaatkan untuk berperang, olahraga dan rekreasi, keperluan pertanian secara luas, dan untuk alat pengangkutan. Kuda pada umumnya mencapai dewasa pada umur enam tahun. Jika kuda memiliki kehidupan kerja yang panjang, kuda sebaiknya tidak dipaksa bekerja keras sampai kuda telah dewasa tubuh. Seekor kuda mulai menjadi tua ketika telah berumur sekitar 15 tahun. Pada saat tua, sistem tubuhnya bekerja kurang efisien daripada sebelumnya. Kuda akan kehilangan kekuatan dan tidak bisa bekerja keras seperti ketika kuda tersebut masih muda tetapi kuda akan masih sehat selama beberapa tahun asalkan diberi pakan yang sesuai, teratur, olahraga ringan, dan juga perlindungan pada musim dingin (Kidd, 1995)
3
Tata Laksana Pemeliharaan Kuda Kandang Kandang kuda terbagi menjadi dua tipe, yaitu individu dan koloni. Kandang individu hanya berisi satu ekor atau induk dan anak yang belum lepas sapih di setiap kandang sementara kandang koloni berisi sekelompok hewan dengan jumlah tertentu yang dikandangkan secara bersamaan. Kandang kuda umumnya berbentuk single stall atau individu (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Kandang di daerah tropis diusahakan dibangun dengan ventilasi sehingga pertukaran udara bisa berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan hawa panas didalamnya. Menurut Jacoebs (1994), sebaiknya air hujan tidak masuk ke dalam kandang. Atap pada kandang kuda lebih baik jika jaraknya semakin tinggi karena dapat menghasilkan sirkulasi udara yang lebih baik. Ketersediaan udara yang baik sangat dibutuhkan pada perkandangan kuda karena kuda mudah terkena penyakit pernafasan. Udara yang bersih sangat penting untuk kesehatan dan kenyamanan kuda serta akan mempengaruhi kekuatan kuda tersebut (McBane, 1991). Alas kandang kuda harus selalu dalam keadaan bersih dan lunak serta beralaskan serbuk gergaji atau jerami. Alas yang lunak bertujuan agar melindungi kuda ketika sedang berguling, memberikan kehangatan, dan untuk kenyamanan kuda serta melindungi kaki kuda, terutama untuk kuda olahraga dan pacu (McBane, 1994). Permukaan alas kandang juga tidak boleh licin atau kasar yang dapat mengakibatkan goresan luka pada kuda. Selain itu, alas kandang tidak menjadi sarang parasit-parasit atau bakteri dan alas kandang tidak mengakibatkan stres pada kuda yang dapat mengganggu tingkah laku atau produktivitas kuda (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Bangunan kandang harus dilengkapi dengan ventilasi yang sempurna. Ventilasi yang sempurna dapat dibuat dengan pengaturan dinding yang sebagian terbuka. Ventilasi yang sempurna sangat menguntungkan bagi kuda sebab ventilasi berguna untuk mengeluarkan udara kotor (CO2, H2S, metan, NH3, dan partikel lainnya) dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar (O2) dari luar. Dengan kondisi ini, udara segar di dalam kandang dapat dipertahankan (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
4
Pakan Salah satu faktor yang sangat menunjang keberhasilan peternakan kuda adalah pakan. Pakan akan menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan kuda. Pakan pokok kuda adalah rumput. Ada beberapa jenis rumput yang dapat diberikan kepada kuda, antara lain : Panicum muticum dan Brachiaria mutica. Kuda sudah dapat hidup dengan makan rumput saja, tetapi untuk mencapai prestasi yang baik, kuda perlu diberi pakan tambahan seperti konsentrat. Konsentrat merupakan tambahan energi bagi kuda. Konsentrat untuk kuda dibagi menjadi dua jenis, yaitu 1) konsentrat sereal yang terdiri dari jagung, gandum, produk tepung, sorgum, berbagai produk padi, dan 2) produk non sereal yang terdiri dari gula bit, rumput kering (alfafa), legum, dan kacang-kacangan seperti soya dan peas (McBanne, 1994). Kuda memiliki cecum yang besar dan mengandung mikroorganisme yang mampu mencerna pakan berserat, sehingga kuda dapat memanfaatkan hijauan dan jerami serta mengubahnya menjadi zat- zat gizi yang dapat diserap. Kebutuhan pakan yang bersifat spesifik bervariasi tergantung pada pemanfaatan kuda yang bersangkutan. Kebutuhan energi kuda yang istirahat lebih sedikit dibandingkan kuda yang sedang bekerja, kuda yang sedang laktasi perlu lebih banyak protein. Kebutuhan gizi kuda muda hampir seluruhnya lebih banyak dibanding kuda dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Pemberian pakan kuda untuk pemeliharaan sebaiknya diberikan secukupnya untuk menjaga kondisi sehari-hari. Energi tersedia untuk otot-otot usus, jantung dan paru-paru selama bekerja, energi untuk merumput, untuk mempertahankan suhu tubuh, serta untuk menggantikan sel-sel yang menjaga tubuh agar dapat beraktivitas (Pilliner, 1993). Menurut Parakkasi (1986), pemberian pakan hendaknya dibedakan berdasarkan umur, jenis, tipe kuda, dan aktivitas harian kuda. Limbah Peternakan Limbah peternakan dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, limbah ternak adalah feses dan urin sedangkan dalam arti luas ialah sisa dari produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya. Berdasarkan pengertian tersebut, yang dimaksud dengan limbah peternakan adalah kulit, tanduk, bulu, tulang, dan isi rumen. Total limbah yang dihasilkan peternakan
5
tergantung dari spesies ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang (Wiryosuharto, 1985). Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urin, air dari pencucian alat-alat), sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas. Limbah peternakan yang berupa kotoran dan sisa pakan dapat menurunkan mutu lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Kotoran ternak yang tercecer akan terbawa oleh aliran air hujan ke daerah-daerah yang lebih rendah dan selanjutnya akan menyebabkan penyakit (Setiawan, 1996). Menurut Widarto dan Suryana (1995), penanganan limbah yang biasa dilakukan peternak adalah dengan menampung di kolam terbuka sehingga fermentasi aerob dan degradasi senyawa organik berlangsung sangat lambat. Dampak Limbah Peternakan Perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan. Limbah tersebut menjadi polutan karena dekomposisi kotoran ternak berupa Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD), bakteri patogen yang menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara dan debu, serta bau yang ditimbulkannya (Sugiharto, 1987). Biological Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di lingkungan. Bahan buangan organik tersebut dipecah dan diuraikan menjadi gas CO2, air, dan gas NH3. Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan agar bahan buangan dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Bahan buangan tersebut akan dioksidasi oleh Kalium bichromat atau K2Cr2O7 menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion Chrom (Wardhana, 2004). Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi 6
mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badan 5.000 kg, selama satu hari produksi menghasilkan manur yang dapat mencemari 9.084 x 107 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis, yaitu sebagai media untuk berkembangbiaknya lalat. Kandungan air manur antara 27-86% merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manur 65-85% merupakan media yang optimal untuk lalat bertelur. Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran dengan menimbulkan debu (Syah, 2009). Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Peternakan Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tata laksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah, dan target penggunaan limbah (Etgen dan Reaves, 1978). Penanganan limbah menurut Murbandono (1993) dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balikkan. Perlakuan pembalikan ini akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan. Setelah itu, pengeringan dilakukan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat kering atau matang. Proses pengomposan biasa disebut sebagai proses penguraian bahan organik. Menurut Rao (1994), proses penguraian bahan organik adalah proses perombakan bahan organik yang melibatkan mikroorganisme pengurai dalam kondisi anaerobik maupun aerobik, baik mikroorganisme primer maupun sekunder yang dapat menghasilkan asam-asam organik berupa asam laktat, asetat, fumurat, suksinat, butirat, dan alkohol. Penanganan limbah cair menurut Sugiharto (1987) dapat diolah secara fisik, kimia, dan biologi. Pengolahan secara fisik disebut juga pengolahan secara primer dan membutuhkan biaya yang relatif murah karena tidak memerlukan biaya operasional yang tinggi. Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder dan memerlukan biaya yang lebih mahal dibanding secara primer karena diperlukan bahan penolong berupa zat-zat kimia. Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder yang digunakan untuk pengolahan bahan-bahan organik yang terkandung dalam limbah cair.
7
Limbah peternakan seperti feses dan urin merupakan salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam (Houdkova et al., 2008). Secara komersial, terdapat dua jenis tipe digester atau instalasi, yaitu tipe terapung (floating type) dan tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe terapung biasanya terdiri dari sumur pencerna yang diatasnya diletakkan drum-drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah seperti pasir, batu bata, dan semen. Tipe kubah dibangun dengan menggali tanah, kemudian dibuat bangunan dengan batu bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola) (Hambali, 2007). Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk organik. Penggunaan pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah tersebut (Soehadji, 1992).
8