TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul Kuda Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat diseluruh dunia berasal dari binatang kecil yang oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai Eohippus atau Dawn horse yang telah mengalami proses evolusi sekitar 60 juta tahun yang lalu. Tahun 1867 kerangka lengkap dari fosil Eohippus telah ditemukan dibentukan tebing Eocene dan pada tahun 1931 kerangkanya disusun kembali di Big Horn Basin, Wyoming USA oleh palaeontologi dari Institut Teknologi California. Proses evolusi kuda terjadi melalui beberapa tahapan yang dimulai dari (1) Eohippus, berkembang pada zaman Eocene dengan tinggi badan 35 cm (20-50 cm), berat 5.5 kg, mempunyai empat jari kaki dan gigi geraham pendek yang sangat cocok untuk memakan tunas-tunas rumput, (2) Mesohippus, perkembangannya dimulai pada zaman Ologocene dengan tinggi badan 45 cm, bentuk punggung hampir sama dengan Eohippus, mempunyai kaki yang lebih panjang dengan tiga jari kaki, gigi premolar dan incisor lebih kuat dan mampu memotong daun-daun yang lebih beragam, (3) Miohippus, berkembang pada akhir zaman Oligocene dan awal zaman Miocene dengan tinggi sekitar 60 cm, bentuk kaki dan gigi lebih berkembang dibandingkan dengan Mesohippus, mempunyai tiga jari kaki dengan jari kaki bagian tengah lebih menonjol dan mempunyai gigi seri yang lebih jelas, (4) Merychippus, berkembang pada pertengahan dan akhir zaman Miocene dengan tinggi lebih dari 90 cm, jari kaki tengah semakin membesar sedangkan kedua jari lainnya mengecil, gigi seri semakin jelas dan semakin cocok untuk merumput, mempunyai leher yang panjang yang memungkinkan menggapai makanan dipermukaan dan meningkatkan jarak pandang, (5) Pliohippus, berkembang pada pertengahan zaman Pleistocene sekitar 6 juta tahun yang lalu. Pliohippus mempunyai tinggi sekitar 1.22 m, seluruh gigi untuk merumput telah lengkap, mempunyai persendian tulang yang sangat kuat dengan satu buah kuku dan merupakan prototype yang menggambarkan bentuk kuda modern yang ada saat ini. Pliohippus merupakan salah satu kelompok subgenerik yang mewakili zebra, keledai dan heminoid, (6) Equus caballus, berasal dari Pliohippus yang berkembang sekitar 5 juta tahun yang lalu pada
zaman es. Menurut bahasa latin caballus berasal dari kata fons caballinus yang diambil dari cerita dongeng tentang Pegasus (Edward 1994). Penyebaran Kuda di Dunia Penyebaran kuda dimulai dari Amerika Utara ke arah Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika yang terjadi sekitar 1 juta tahun yang lalu pada akhir zaman es (9000 SM). Sekitar abad ke-16 penjelajah Spanyol mendarat di Mexico dengan membawa 16 ekor kuda dan selanjutnya kuda-kuda ini berkembang dan menyebar di wilayah Amerika (Edward 1994). Dari penyebaran ini maka tetua kuda berasal dari tiga tipe primitif kuda yaitu : (a) Forest Horse (Equus cabalus silvaticus) adalah kuda dengan tinggi 1.52 m dan berat sekitar 545 kg. Warna bulu biasanya merah atau hitam dengan rambut yang kasar, ekor dan bulu tengkuk yang lebat, mempunyai tapak kaki yang lebar yang cocok untuk daerah berawa, (b) Asiatic Wild Horse (Equus cabalus przewalskii przewalskii) adalah kuda liar yang ditemukan di Asia
Tengah oleh peneliti Rusia
bernama Nikolai
Mikhailovitch Przewalski pada tahun 1879. Kuda ini memiliki tinggi sekitar 1.32 m. Keempat kaki, ekor, rambut tengkuk berwarna hitam dan daerah bawah perut berwarna cream. Kuda ini berbeda dengan keturunan domestik lainnya karena jumlah kromosomnya 66 sedangkan kuda domestik jumlah kromosomnya 64, (c) Kuda Tarpan (Equus cabalus gmelini) adalah kuda liar yang menyebar ke Eropa Timur sampai stepa ukraina. Kuda ini memiliki tinggi sekitar 1.32 m (Edward 1994). Berdasarkan tipe tetua tersebut maka berkembanglah empat dasar tipe kuda yaitu (1) Pony tipe I, hidup di daerah Utara sampai Eropa Barat dengan tinggi 1.22 – 1.27m, memiliki warna tubuh coklat dan bay, (2) Pony tipe II, hidup di daerah Utara Eurasia, tahan pada kondisi dingin dan mimiliki tinggi badan 1.42-1.47m, (3) Pony tipe III, hidup di daerah Asia Tengah dan tahan pada kondisi panas dengan tinggi badan sekitar 1.5 m, (4) Pony tipe IV, hidup di daerah Asia Barat merupakan kuda padang pasir dan tahan pada kondisi panas dengan tinggi badan sekitar 1.22 m (Edward 1994).
Jenis Kuda Terbaik di Dunia Kuda Arab merupakan sumber atau cikal bakal semua bangsa kuda di dunia karena kemurnian genetiknya sangat potensial untuk dikembangkan sehingga kuda Arab mempunyai karakter dan peranan yang sangat penting dalam upgrading (Edward 1994). Perkembangan kuda Arab dimulai pada abad ke 7 di wilayah Arabia dan pada abad 18 sampai 19 di wilayah Inggris, Rusia, Skandinavia, dan Amerika. Di Amerika kuda Arab mulai dikembangkan di Vermont tahun 1793 yang menghasilkan keturunan kuda Arab dengan tinggi 154 – 167 cm. Keturunan kuda Arab juga dikembangkan di Inggris yang disebut Barb atau Turk dengan cara menyilangkan pejantan kuda Arab dengan kuda lokal Inggris untuk memperoleh kuda pacu yang baik seperti keturunan kuda Arab yang dimiliki ratu Victoria yang bernama Zozeb yang selalu memenangkan pacuan selama 8 tahun (Soehardjono 1990). Kuda Arab adalah kuda yang memiliki bentuk yang indah, stamina yang kuat, kesehatan dan intelegensia yang baik dibandingkan dengan kuda yang lain. Selain itu ciri-ciri khusus yang dimiliki kuda Arab adalah tinggi badan 156 - 165 cm, bulu tengkuk dan ekor terlihat bagus dan lembut, bentuk kepala indah, mata bersinar, bentuk kepala lonjong dengan moncong yang kecil dan lubang hidung lebar, kaki bagian depan panjang dan ramping dengan perototan yang kuat, badannya kompak dengan punggung yang pendek, ramping dan cekung, mempunyai ekor yang tidak tertarik saat bergerak karena bentuknya melengkung dan meninggi, kaki bagian belakang mempunyai konformasi yang lemah, mempunyai 17 tulang rusuk, 5 lumbar vertebra dan 16 tulang ekor (Edward 1994). Kuda Thoroughbred mulai dikembangkan sebagai kuda pacu pada abad ke 17 dan 18 di wilayah Inggris dengan mendatangkan tiga kuda pejantan dari daerah Timur yaitu Byerley Turk, Darley Arabian dan Godolphin Arabian yang kemudian disilangkan dengan kuda betina lokal Inggris (Soehardjono 1990). Kata Thoroughbred muncul sekitar tahun 1821 dan dicatat di General Stud Book yang merupakan buku yang berisi catatan silsilah tentang Thoroughbred di Inggris dan Irlandia. Industri pacuan kuda Thoroughbred berkembang diseluruh dunia sekitar 200 tahun yang lalu dan breed ini muncul sebagai satu-satunya breed paling besar yang mempengaruhi populasi kuda di dunia. Potensi dan keseragaman genetik
dicapai oleh proses pemuliaan yang selektif sehingga menghasilkan kuda yang memiliki ukuran, pergerakan, konformasi, kecepatan, keberanian dan stamina yang baik (Edward 1994). Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kuda Thoroughbred adalah tinggi 176 – 178 cm, bentuk kepala dan rahang bagus, perpaduan antara kepala dan leher terlihat bagus dan simetris dengan pundaknya, proporsi badan panjang, kaki bagian belakang panjang dan anggun dengan persendian yang baik sehingga memberikan daya dorong yang maksimum, kaki bagian depan bagus dan panjang dengan otot yang besar serta persendian yang rata, tulang dibawah lutut berukuran dibawah 20 cm, mempunyai bahu yang panjang dan membentuk slope yang tidak terlalu menonjol sehingga menghasilkan langkah yang panjang dan rendah (Edward 1994). Penyebaran dan Perkembangan Kuda Di Indonesia Perkembangan kuda di Indonesia dimulai sejak berdirinya kerajaan Hindu dan Budha pada abad ke-7 Masehi. Kerajaan-kerajaan ini memiliki armada maritim yang kuat sehingga mempercepat usaha pengembangbiakan dan penyebaran kuda keseluruh wilayah Indonesia mulai dari pulau Jawa sampai Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau kecil lainnya (Soehardjono 1990). Kuda yang terdapat di wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia termasuk jenis kuda pony yang merupakan keturunan kuda Mongolia (keturunan kuda Przewalski) yang menyebar dari wilayah bagian Timur dan Selatan dari pegunungan India dan Tibet sampai ke Indonesia melewati Thailand dan Cina. Kuda pony pada umumnya memiliki tinggi badan antara 1.13 – 1.33 m dengan bentuk badan yang kurang serasi karena kaki bagian depan lebih berkembang dibandingkan kaki bagian belakang (Edward 1994). Pemuliaan kuda dikepulauan Indonesia dimulai sejak tahun 1800 dengan mendatangkan beberapa ekor kuda yaitu kuda Arab, kuda Australia dan kuda Eropa. Jenis kuda Eropa didatangkan dari negara Belanda, Jerman dan Belgia. Kuda-kuda ini selanjutnya disebarluaskan ke beberapa daerah di Indonesia untuk dikawinkan dengan kuda lokal yang terdapat di daerah tersebut. Kuda Arab disebarluaskan dan dikembangbiakan di daerah Sumatera Barat, kuda Australia di daerah Jawa dan kuda Eropa di daerah Sulawesi Utara (Soehardjono 1990).
Keturunan kuda yang dihasilkan di Sumatera Barat dinamakan kuda Sandel Arab Sumatera Barat (SA), di daerah Jawa dinamakan kuda Priangan dan di daerah Sulawesi Utara dinamakan kuda Minahasa (Soehardjono 1990). Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918 membangun pusat pengembangan dan pembibitan kuda di Padang Mangatas, Sumatera Barat yang berfungsi sebagai tempat persilangan kuda Sandel dan Kuda Arab. Hasil persilangannya dinamakan kuda Sandel Arab yang memiliki tinggi 1.28 – 1.42 m. Pengembangbiakan kuda kembali dilaksanakan pada tahun 1950 setelah terjadi perang dunia ke-2 oleh pihak Kavaleri Angkatan Darat untuk membentuk pasukan berkuda. Pengembangan dilakukan di Parompong, Jawa Barat dengan mendatangkan kuda pejantan dari luar negeri yang bernama Dark Chevallier dan telah berhasil membuahkan keturunan kuda pacu yang baik (Soeharjono 1990).
Jenis Kuda di Indonesia Wilayah Indonesia memiliki beberapa jenis kuda lokal yang tersebar hampir disetiap daerah dan memiliki karakteristik tersendiri seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Karakteristik kuda lokal Indonesia Jenis Kuda Kuda Sumba
Tinggi Badan (m) 1.27
Karakteristik -
Kuda Timor
1.22
-
Bentuk kepala terlihat lebih besar dibandingkan ukuran badannya dengan leher yang pendek Sifatnya jinak dan cerdas Konformasi badan kurang sempurna Bagian punggung kuat
-
Bentuk badan lurus dan leher pendek Bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor yang tinggi Bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu
Kuda Sandel
1.35
-
Ukuran tubuh kecil Bentuk kepala kecil dan bagus Mata yang besar Bulu yang lembut dan berkilauan Mempunyai kecepatan yang baik dan sangat aktif Kuku kaki yang keras dan kuat
Kuda Batak
1.32
-
Bentuk kepala bagus dengan bagian muka yang lurus, leher pendek dan lemah Memiliki bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping Bagian rump tinggi Ekor dan tengkuk mempunyai rambut yang bagus Posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam pergerakan
Kuda Jawa
1.27
-
Memiliki stamina yang baik dan tahan terhadap panas Ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya Sifatnya jinak Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya
Kuda Padang
1.27
-
Kuku kaki keras dan bentuknya bagus Bagian tumit lemah Mempunyai konformasi yang baik tetapi pertulangannya kecil
Kuda Makasar
1.25
-
Daya tahan tubuh kuat Kaki tegap dan kuat Bertemperamen stabil
Kuda Flores
1.24
-
Bentuk badan kecil Sifat yang jinak
Kuda Bima
-
Sumber : (Edward 1994; Soehardjono 1990)
- Bentuk badan kecil - Memiliki pinggang yang pendek Daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat
Kuda Pacu Indonesia Kuda Pacu Indonesia merupakan kuda Indonesia hasil grading up dari kuda betina Indonesia dengan pejantan Thoroughbred sampai generasi ketiga (G3) dan generasi keempat (G4) atau hasil perkawinan diantaranya (inter-semating) yang memiliki sertifikat kuda pacu Indonesia dan terdaftar pada biro registrasi kuda yang ditetapkan pemerintah atau kuda Indonesia yang mempunyai garis keturunan induk kuda Indonesia dan garis keturunan pejantan/pemacek Thoroughbred impor yang sudah diregistrasi pada pusat registrasi kuda yang ditetapkan oleh pemerintah (Pordasi 2000). Pemilihan kuda Thoroughbred sebagai pejantan karena kuda Thoroughbred memiliki karakteristik yang menonjol seperti kecepatan lari, daya tahan dan kecerdasan yang baik. Menurut Bowling dan Ruvinsky (2000), kuda Thoroughbred merupakan kuda yang sangat baik dalam melompat, balapan, dressage dan kuda ini telah digunakan untuk diseleksi sebagai bred khusus dalam kecepatan lari. Kuda lokal adalah kuda asli yang terdapat dibagian timur Indonesia dengan ciri-ciri; memiliki daya tahan terhadap iklim tropis, intelegensia yang cukup tinggi, kaki yang cukup kuat dan terkenal sebagai kuda yang cepat larinya. Pembentukan kuda pacu harus memenuhi standar kuda pacu Indonesia yang sesuai dengan SK Dirjenak no:105/TN.220/Kpts/DJP/Deptan/95, tgl 24/02/95 dengan syarat-syarat sebagai berikut (1) standar komposisi darah, (2) standar fisik atau performance seperti tinggi gumba, lebar dada, panjang badan dan kecepatan lari, (3) standar warna bulu, (4) standar mutu atau siklus mutu seperti mutu istal, mutu pejantan atau induk, mutu pemeliharaan, mutu reproduksi, mutu pemuliabiakan (seleksi), mutu hasil keturunan dan evaluasi mutu hasil, (5) sebagai bibit kuda pacu Indonesia harus mempunyai sertifikat lahir, sertifikat pacu dan kecepatan lari, sertifikat pemacek (untuk pejantan) (Pordasi 2000). Penggolongan kuda pacu Indonesia berdasarkan sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Persyaratan sifat kualitatif untuk kuda pacu Indonesia adalah hasil persilangan kuda betina lokal dengan Thoroughbred, bentuk badan langsing, kaki kuat dan
ringan,
bentuknya
mengarah
pada kuda Thoroughbred dan
temperamennya aktif. Sedangkan persyaratan kuantitatif adalah tinggi gumba
pada umur 6 tahun minimal 150 cm dan maksimal 170 cm, berat badan pada umur 6 tahun minimal 350 kg. Warna bulu pada kuda pacu Indonesia menurut peraturan No.011/DPP/75 Pordasi Pusat adalah hitam (black), hitam coklat (brown black), coklat (brown), Jeragam (by brown), coklat muda keemasan, kelabu (grey), bopong (creamy), dan putih (Pordasi 2000). Ukuran Tubuh Kuda Pacu Indonesia Ukuran tubuh kuda dapat digunakan untuk menentukan tipe kuda dan memperkirakan kecepatan pacu kuda tersebut. Perbedaan ukuran tubuh yang sangat terlihat pada tiap generasi adalah tinggi badan, tinggi punggung, lebar dada dan panjang badan. Keempat ukuran tubuh ini sangat memegang peranan dalam kecepatan pacu dan kemampuan loncat (jumping). Tinggi badan memegang peranan yang penting dalam pengklasifikasian kelas pacuan kuda dimana tiap kelas memiliki standar tinggi seperti (1) Kelas A, 158-162 cm, (2) Kelas B, 153-157.9 cm, (3) Kelas C, 148-152.9 cm, (4) Kelas D, 143-147.9 cm, (5) Kelas E,
≤142 cm (PORDASI 2003). Lingkar dada
mempunyai peranan yang penting dalam pernafasan karena berhubungan langsung dengan sirkulasi oksigen dalam tubuh pada saat lari. Kuda yang memiliki lingkar dada yang besar cenderung mempunyai organ pernafasan yang sempurna. Panjang badan memegang peranan yang penting dalam menentukan kecepatan pacu. Kuda dengan panjang badan yang relatif pendek akan memiliki pergerakan badan yang lebih cepat dan sangat membantu dalam kesinambungan gerak (Gay 1964). Hubungan antara konformasi dan karakteristik kecepatan lari pada anak kuda umur 6-8 bulan adalah peningkatan kecepatan yang dihasilkan anak kuda disebabkan oleh panjang langkah. Anak kuda yang larinya cepat diketahui memiliki kaki lebih berat dan frekuensi langkah yang lebih dan hal ini terdapat pada kuda yang relatif lebih tinggi (Bowling dan Ruvinsky 2000). Menurut Komisi Peternakan dan Kesehatan Veteriner Pordasi (2000) ukuran tubuh yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam membentuk standar kuda pacu Indonesia adalah tinggi badan dan kecepatan lari seperti yang terdapat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Standar fisik dan kecepatan kuda pacu Indonesia Kelas Kuda Pacu Kuda Pacu lokal Kuda Pacu G1 Kuda Pacu G2 Kuda Pacu G3 Kuda Pacu G4 Thoroughbred
Tinggi Badan (cm) 115 – 130 130 – 140 140 – 150 150 – 160 160 – 165 Diatas 170
Kecepatan Lari (mnt/m) 1.5 menit/1000m 1 menit/1000m 0.8 menit/1000m 0.7 menit/1000m 0.6 menit/1000m 0.5 menit/1000m
Permasalahan Kuda Pacu Indonesia Perkembangan perkudaan Indonesia mulai dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2003 mengikuti arah persilangan terhadap darah Thoroughbred dengan sistem persilangan grading-up sesuai dengan keputusan hasil loka-karya Munas III Pordasi tahun 1975. Grading-up adalah usaha persilangan untuk membentuk bangsa baru yang memanifestasikan karakter tertentu dengan cara menyilangkan betina lokal (sandel) dengan pejantan Thoroughbred, yang hingga detik ini telah hadir sampai generasi keempat (G4). Komposisi darah kuda pacu Indonesia hasil grading-up adalah 87.5 % darah kuda Thoroughbred dan 12.5 % darah kuda lokal untuk G3, 93.75 % darah kuda Thoroughbred dan 6.25 % darah kuda lokal untuk G4, 90.625 % darah kuda Thoroughbred dan 9.375 % darah kuda lokal untuk (G3 x G4) (Pordasi 2000). Pengulangan grading-up kearah generasi yang lebih tinggi setelah G4 akan memberikan hasil yang tidak efisien karena : -
Peningkatan kemurnian darah yang dicapai pada kurun waktu tertentu akan diikuti dengan peningkatan kemurnian darah yang sangat kecil (tidak pernah mencapai 100 %) dan umumnya kuda tersebut dinamakan kuda Griffin yang cenderung tidak akan membawa keuntungan atau merugi.
-
Apabila sifat-sifat dari pejantan Thoroughbred ada yang tidak dikehendaki maka dengan kemurnian darah yang lebih dari 93.75 % akan muncul pada generasi hasil grading-up.
Untuk mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas kuda pacu Indonesia maka ditetapkan bahwa grading-up pada kuda pacu Indonesia dilakukan hanya sampai generasi keempat sambil melihat dan mengevaluasi perkembangan prestasi generasi selanjutnya (G5 dan seterusnya) (Pordasi 2000).
Deoxyribonucleic Acid (DNA) DNA adalah materi genetik atau penyimpan utama dari informasi genetik. Informasi genetik ini disalin dan dipindahkan ke molekul RNA, sekuen nukleotid yang mengandung kode untuk sekuen asam amino yang khas. Protein kemudian disintesis dalam suatu proses translasi dari RNA. Pada organisme tinggi seperti manusia, ternak dan tumbuhan DNA biasanya terdapat di dalam inti sel dan beberapa organ lain di dalam sel seperti mitokondria dan kloroplast. Molekul DNA adalah dua rangkaian nukleotida yang tersusun secara linier dan saling berikatan membentuk susunan berpilin (double helix). Satu rangkaian nukleotida merupakan susunan dari banyak nukleotida yang diikat satu sama lain oleh ikatan phosphodiester sedangkan kedua rangkaian nukleotida tersebut direkatkan oleh ikatan hidrogen (Nicholas 1993). Setiap nukleotida disusun oleh tiga komponen, yaitu molekul gula pentosa, gugus fosfat, dan basa nitrogen. Dua komponen pertama terdapat di semua nukleotida dengan susunan dan bentuk yang identik sedangkan komponen ketiga (basa nitrogen) mempunyai susunan dan bentuk yang berbeda di dalam satu nukleotida dengan nukleotida lainnya. Basa nitrogen menempel pada posisi karbon 1’ dari pentosa sedangkan gugus phosphat pada posisi karbon 3’ atau karbon 5’ dari pentosa. Serangkaian nukleotida dapat terbentuk dengan mengikatkan gugus hidroksi (OH) pada karbon 3’ dari satu pentosa dan gugus phosphat pada karbon 5’ dari pentosa sebelahnya, yang susunan memanjangnya menjadi pentosa-phosphat-pentosa-phosphat-pentosa dan seterusnya. Karena struktur molekulnya, pentosa urutan terdepan berujung 5’ sedangkan pentosa urutan terbelakang berujung 3’ (Muladno 2002). Berdasarkan bentuk molekulnya basa nitrogen dikelompokkan menjadi dua, yaitu purin dan pyrimidin. Basa purin terdiri atas basa Adenin (A) dan Guanin (G). Basa pyrimidin terdiri atas basa Cytosin (C) dan Thymin (T) sedangkan pyrimidin pembentuk RNA adalah Cytosin (C) dan Urasil (U). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks ganda maka basa nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu rangkaian akan berpasangan dengan basa nitrogen dari setiap nukleotida pada rangkaian lainnya melalui ikatan hidrogen, dimana pengikatan basa nitrogen dari masing-masing nukleotida tersebut sangat spesifik. Basa A dari
satu nukleotida selalu berikatan dengan basa T dari nukleotida lainnya dan basa G selalu berpasangan dengan basa C. Pasangan A dan T terbentuk dengan dua ikatan hidrogen sedangkan pasangan G dan C terbentuk dengan tiga ikatan hidrogen sehingga pasangan G dan C lebih stabil daripada pasangan A dan T. Rangkaian DNA heliks ganda selalu berpasangan secara spesifik, maka satu rangkaian DNA tunggal merupakan komplemen dari rangkaian tunggal DNA pasangannya. Sebagai
contoh,
rangkaian
DNA
tunggal
5’-AAACGTCGTACCTGT-3’
berkomplemen dengan rangkaian DNA tunggal 3’-TTTGCAGCATGGACA-5’. Penulisan susunan molekul DNA diawali terlebih dahulu dengan angka 5’ yang menempel pada basa yang menunjukan bahwa basa tersebut berada pada urutan terdepan. Penulisan angka 3’ pada basa terakhir menunjukan bahwa basa tersebut berada pada urutan terakhir (Muladno 2002; Nicholas 1993). Daerah 12SrRNA Daerah 12SrRNA merupakan salah satu jenis gen RNA ribosomal pada mtDNA yang telah dipergunakan secara luas sebagai penanda genetik dalam analisis filogenetik. Daerah 12SrRNA merupakan daerah pengkode sehingga memiliki laju evolusi yang lebih lambat dibandingkan daerah kontrol dan bersifat stabil secara evolusioner. Kekhususan sifat yang dimiliki oleh daerah 12SrRNA memungkinkannya untuk dipergunakan secara luas dalam studi filogenetik antar spesies hingga antar famili (Minelli 1993). Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada bagian tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan ensim dan dua macam
fragmen oligonukleotida (primer) dalam suatu thermocycler. Dalam
reaksi PCR dibutuhkan beberapa komponen penting seperti sepasang primer (forward dan reverse), ensim DNA polymerase, larutan penyangga (buffer), deoxyribonucleoside triphosphat (dNTP), MgCl2, H2O dan DNA template serta mesin thermal cycler (Palumbi 1996). Prinsip pelipatgandaan jumlah molekul DNA target yang diinginkan pada teknik PCR adalah molekul DNA mengalami denaturasi pada pada suhu 95oC sehingga strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Pada suhu
antara 50oC – 60oC primer forward yang urutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya dan primer reverse akan menempel pada untai tunggal lainnya. Proses ini disebut annealling. Setalah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masingmasing maka pada suhu 72oC terjadi proses extension dimana ensin polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru sehingga satu molekul DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua molekul DNA. Selanjutnya proses denaturasi, annealling dan extension diulang kembali hingga 25-30 siklus (Muladno 2002; Nicholas 1993). Pembacaan Urutan DNA (DNA Sequencing) Pembacaan urutan DNA (sekuensing DNA) merupakan proses pembacaan urutan nukleotida dari suatu fragmen DNA tertentu dengan menggunakan proses elektroforesis. Ada dua metode sekuensing yang sering digunakan, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger. Metode Maxam-Gilbert dilakukan dengan cara mendegradasi fragmen DNA secara kimiawi sedangkan metode Sanger dilakukan dengan cara mensintesis molekul DNA dan memberhentikan sintesis tersebut pada basa tertentu. Pada dasarnya tiap metode meliputi pembuatan serangkaian benang tunggal berlabel yang panjangnya bervariasi, dimulai dari salah satu ujung fragmen yang sedang disekuens. Elektroforesis dari benangbenang tersebut dalam gel polyacrylamida memisahkan benang-benang itu berdasarkan ukurannya, yang menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel dengan tiap pita mewakili tersekuensnya satu basa. Ukuran fragmen yang dapat disekuens pada metode Maxam-Gilbert berkisar 250 basa dan 1000 basa pada metode Sanger. Pada umumnya metode Sanger lebih banyak digunakan karena lebih aman, mudah, praktis dan efisien. Larutan utama yang digunakan di dalam reaksi metode Sanger adalah dNTPs (Deoxynucleotides Triphosphates) untuk mensintesis molekul DNA baru dan ddNTPs (dideoxynucleotides Triphosphates) yang akan menghentikan pemanjangan molekul DNA pada basa tertentu. Hasil akhir dari reaksi tersebut adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi tetapi semuanya berakhir dengan nukleotida A (jika dNTP dicampur dengan ddATP), berakhir dengan nukleotida C (jika dNTP dicampur dengan ddCTP), berakhir
dengan nukleotida G (jika dNTP dicampur dengan ddGTP), dan berakhir dengan nukleotida T (jika dNTP dicampur dengan ddTTP). Untuk mendeskripsikan hasil elektroforesis dari metode ini adalah dengan menggunakan label yang berbeda (deoxynucleotides yang mengandung radioaktif atau label fluorescent pada primer, dNTP atau ddNTP) atau dengan pendekatan staining (silver staining) (Nicholas 1993). Filogenetik Tujuan utama mempelajari filogenetik adalah (1) merekonstruksi hubungan kekerabatan yang tepat antar organiame dan (2) memperkirakan waktu divergensi antar organisme sejak mereka masih berbagi leluhur yang sama (Li dan Graur 1991).
Pohon
filogenetik
merupakan
grafik
yang
digunakan
untuk
menggambarkan hubungan kekerabatan antar taksa yang terdiri dari sejumlah nodus dan cabang (branches) dengan hanya satu cabang yang menghubungkan dua nodus paling berdekatan. Setiap nodus mewakili unit-unit taksonomi dan setiap cabang mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur. Pola percabangan yang terbentuk dari suatu pohon filogenetik disebut topologi. Nodus-nodus yang terdapat dalam dalam suatu pohon filogenetik dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu (1) nodus internal, mempresentasikan unit-unit leluhur atau nenek moyang, (2) nodus eksternal, mempresentasikan unit-unit taksonomi yang sedang dibandingkan satu sama lain dan dikenal dengan istilah operational taxonomy unit (OTU) (Li dan Graur 1991). Dalam rekonstruksi pohon filogenetik terdapat beberapa metode yang sering digunakan antara lain metode neighbor-joining, metode maximum parsimony dan metode maximum likelihood. Dari ketiga metode tersebut, metode neighborjoining merupakan metode yang paling sering digunakan karena memiliki waktu tercepat dalam proses analisis. Metode neighbor-joining adalah metode yang didasarkan pada prinsip pengelompokan taksa berdasarkan nilai jarak evolusioner pasangan-pasangan operational taxonomy unit (OTU). Metode neighbor-joining mengasumsikan bahwa topologi yang sebenarnya dari pohon filogenetik adalah topologi yang memiliki panjang cabang paling pendek yang dihasilkan melalui penggunaan sejumlah estimasi jarak evolusioner (Nei dan Kumar 2000). Konsep terpenting
pada metode neighbor-joining adalah konsep pasangan tetangga (neighbors) yang didefinisikan sebagai dua buah OTU yang saling dihubungkan oleh suatu nodus pada sebuah pohon. Penentuan pasangan tetangga dilakukan melalui serangkaian penghitungan algoritmik yang melibatkan sebuah pohon berbentuk bintang sebagai pohon inisial dan juga melibatkan penyusunan sejumlah matriks jarak evolutioner secara berulang (Nei dan Kumar 2000). Pohon filogenetik yang telah direkonstruksi perlu dilakukan pengujian statistik untuk meningkatkan nilai kepercayaan. Beberapa jenis uji statistik yang telah diformulasikan untuk memperkirakan tingkat kekeliruan acak yang terkandung dalam data molekuler antara lain : uji permutasi dan uji nonparametric resampling (metode bootstrap dan metode jackknife). Metode bootstrap adalah metode pengacakan ulang karakter-karakter menjadi set data baru dengan jumlah karakter yang sama seperti set data awal dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi pohon filogenetik baru. Pembentukan set data baru dan rekonstruksi filogenetik dilakukan secara berulang dalam beberapa replikasi misalnya 1000 kali (Swofford et al. 1996). Penggunaan metode bootstrap dalam menentukan tingkat kepercayaan pohon berdasarkan kenyataan bahwa distribusi karakter dalam data sangat dipengaruhi oleh efek acak sehingga semakin besar nilai bootstrap yang digunakan maka semakin tinggi tingkat kepercayaan topologi pohon hasil rekonstruksi tersebut (Nei dan Kumar 2000). Beberapa penelitian tentang filogenetik kuda telah sering dilakukan antara lain (1) Tahun 1999, pada 236 kuda dari delapan bangsa kuda Spanyol (Spanyol Celtic horse) dengan menggunakan 13 primer mikrosatelite dan metode UPGMA untuk rekonstruksi filogenetik guna mengetahui hubungan kekerabatan diantara delapan bangsa kuda tersebut (Canon et al. 2000), (2) Tahun 2002, pada 100 kuda Thoroughbred yang tersebar diwilayah Eropa, Timur Jauh dan Timur Dekat dengan menggunakan sekuens DNA mitokondria dan metode neighbor-joining untuk mengetahui hubungan kekerabatan lewat garis induk (Hill et al. 2002), (3) Tahun 2002, pada 104 kuda yang berasal dari Argentina (Argentinean Creole horse), Spanyol dan Amerika Selatan dengan menggunakan sekuens DNA mitokondria dan metode neighbor joining untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara tiga bangsa kuda tersebut (Mirol et al. 2002).