8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Asal Usul Kuda Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat di seluruh dunia berasal dari
binatang kecil, oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai Eohippus atau Dawn horse yang telah mengalami proses evolusi sekitar 60 juta tahun lalu (Edward, 1994). Klasifikasi zoologis ternak kuda adalah (Ensminger, 1962) : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Perissodactyla
Famili
: Equidae
Genus
: Equus
Spesies
: Equus caballus
Kuda diperkirakan didomestikasi sekitar 10.000 tahun yang lalu. Sejak dilakukan
domestikasi,
terjadi
perkembangbiakan
secara
selektif
yang
menghasilkan banyak jenis atau golongan kuda. Terdapat 5 golongan dari Equus caballus yang merupakan nenek moyang dari kuda yang berkembang saat ini, yaitu (Sosroamidjodjo dan Soeradji, 1990) : 1.
Equus caballus gmelini
2.
Equus caballus occidentalis
3.
Equus caballus germanicus
4.
Equus caballus orientalis/ agilis
5.
Equus caballus ferus/ przwalski
9 Indonesia mempunyai beberapa jenis kuda yang semuanya termasuk tipe kuda poni dengan tinggi pundak kurang dari 140 cm. Kuda tersebut dianggap sebagai keturunan kuda-kuda Mongol (Przewalski) dan kuda Arab. Kuda-kuda tersebut pada umumnya diberi nama sesuai dengan asalnya di Indonesia, yaitu Sandel (dari Sumba), Sumbawa, Bima, Timor, Subu (dari Sawo), Flores, Lombok, Bali, Batak, Sulawesi, Jawa, dan Priangan (Prakkasi, 2006). Keadaan fisik kuda yang terdapat di Indonesia beraneka ragam karena dipengaruhi oleh keadaan geografis wilayahnya. Kuda di Indonesia memiliki ukuran tubuh tidak terlalu besar yaitu bertinggi badan 1,13 m hingga 1,33 m, hal ini disebabkan karena Indonesia berada di daerah beriklim tropis (Soehardjono, 1990). Dari ukuran tersebut maka kuda Indonesia termasuk ke dalam jenis kuda poni. Bentuk kepala besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup, serta daun telinga kecil. Adapun ciri-ciri lain yaitu bentuk leher tegak dan lebar, tengkuk umumnya kuat, punggung lurus, pinggul kuat, letak ekor tinggi, tulang rusuk berbentuk lengkungan serasi, kaki berotot kuat, persendian baik, memiliki ukuran kuku kecil, dan berada di atas telapak yang kuat (Blakely dan Bade, 1995). Jika kuda berdiri akan nampak sikapnya kurang serasi karena kedua kaki bagian depan lebih berkembang dibandingkan dengan kaki belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat berbagai jenis kuda yang berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Soehardjono, 1990).
2.1.1 Sejarah Kuda Sumba Pulau Sumba merupakan salah satu pulau terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkenal lantaran kemegahan megalitik marapunya serta ketangkasan dan kesatriaan para umbu di punggung kuda Sumba dalam pesona perang pasola
10 tiap tahunnya. Kuda Sumba bagi masyarakat Sumba merupakan simbol kesejahteraan, prestise dan strata sosial dalam masyarakat Sumba. Usaha melestarikan kuda Sumba yang menyatu dengan ritual adat dan sebagai kearifan lokal merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba (Disnak Provinsi NTT, 2012). Kuda Sumba disebut juga kuda Sandelwood Pony. Nama “Sandelwood” sendiri diambil dari nama cendana (sandelwood, Santalum album) yang pada masa lampau pernah menjadi komoditas unggulan dan diekspor dari Sumba serta pulau-pulau di Nusantara ke negara Asia lainnya, seperti India. Kuda Sumba telah menjadi komoditi perdagangan orang Sumba sejak 1840 melalui Waingapu yang kebanyakan dilakukan oleh bangsawan setempat. Populasinya sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat meluasnya penyakit dan juga persaingan dari ternak sapi ongole Sumba (SO). Pada masa kini, perbaikan mutu dan penampilan kuda Sumba (Sandelwood) telah menjadi program nasional, dilakukan melalui program pemuliaan murni dan grading up dengan persilangan terhadap kuda “thorougbred” asal Australia untuk kecepatan dan tenaga (Disnak Provinsi NTT, 2012).
2.1.2 Deskripsi Kuda Sumba Menurut Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 426/Kpts/Sr.120/3/2014 tentang Penetapan Rumpun Kuda Sandel, yaitu : 1.
Nama rumpun
: Kuda Sandelwood
2.
Asal-usul
: Berasal dari persilangan antara kuda poni Sumba dan Kuda Tiberi Timur Tengah
11 3.
Wilayah sebaran asli geografis : Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur
4.
Wilayah sebaran
: Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pulau Jawa, Pulau Madura dan Pulau Bali
5.
Karakteristik
Tabel 1. Karakteristik Sifat Kualitatif Warna Bulu
Ekor
Tempramen
Hitam cokelat, putih,
Hitam cokelat, putih,
Aktif
cokelat, krem, abu-abu dan
cokelat, krem, abu-abu
Belang
dan Belang
Tabel 2. Karakteristik Sifat Kuantitatif Jantan Tinggi pundak Betina
131 ± 2,0 cm
Jantan
133 ± 1,3 cm
Betina
140 ± 0,7 cm
Jantan
138 ± 1,1 cm
Betina
151 ± 0,9 cm
Jantan
209 ± 5,6 kg
Betina
246 ± 2,3 kg
Jantan
130 ± 1,4 cm
Betina
130 ± 1,2 cm
Panjang badan Ukuran Tubuh
Lingkar dada
Bobot badan
Tinggi pinggul
131 ± 1,3 cm
Umur dewasa kelamin
1,5 – 2 tahun
Umur beranak pertama
2,5 – 3 tahun
Jarak beranak
1 tahun
Lama berahi
5 – 6 hari
Siklus berahi
10 – 39 hari
12 2.1.3 Keunggulan Kuda Sumba Ukuran tubuh kuda Sumba umumnya memiliki postur lebih kecil dibandingkan kuda-kuda ras Australia atau Amerika. Keistimewaan terletak pada kaki dan kuku yang kuat dan leher besar. Kuda Sumba juga memiliki daya tahan yang istimewa. Kuda Sumba memiliki ciri-ciri yaitu kaki berotot kuat, kening dan persendiannya baik, sedangkan bentuk kuku kecil dan berada di atas telapak yang kuat (Disnak Provinsi NTT, 2012). Kuda Sumba sampai sekarang masih merupakan kuda yang diternakkan di Pulau Sumba dan dikirim ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang, serta kuda pacu. Lomba pacuan kuda Sumba masih bisa dinikmati di berbagai daerah di Indonesia terutama di Jawa, Madura, dan tentu saja di Sumba sendiri. Daya tahan tubuh kuda Sumba telah teruji secara nasional dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kelas penunggang terlama dan terjauh bersama penunggang asal Lembang, Jawa barat, Billy Mamola pada Agustus 2008 lalu di Lembang, Jawa Barat. Kuda Sumba mampu menempuh perjalanan 500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat sampai ke Pangandaran, daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengan (Disnak Provinsi NTT, 2012). Kekuatan kuda Sumba yang bertumpu pada kuku disebabkan kondisi alam Sumba yang tandus dan berbukit-bukit serta cara pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau dilepas bebas merumput padang.
Jenis makanan kuda
Sumba dari rerumputan liar, diperkirakan ikut mempengaruhi kekuatan dan daya tahan kuda Sumba (Disnak Provinsi NTT, 2012).
13 2.2
Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang meliputi perubahan
bobot hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponenkomponen tubuh seperti otot, lemak, tulang, dan organ serta komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein, dan abu (Soeparno, 1998). Suatu individu erat kaitannya dengan perkembangan, perkembangan adalah perubahan bentuk suatu konformasi tubuh, termasuk perubahan struktur tubuh, perubahan kemampuan, dan komposisi (Purbowati, 2009). Perkembangan lebih banyak ditentukan oleh perubahan proporsi berbagai tubuh hewan sejak embrio sampai dewasa, sedangkan pertumbuhan dimulai saat pembuahan berlangsung secara cepat menjelang kelahiran dan semakin cepat hingga usia pubertas. Pertumbuhan dipengaruhi oleh zat-zat makanan, genetik, jenis kelamin, dan hormon (Davies, 1982). Laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan dan genetik dimana bobot badan awal fase penggemukan berhubungan dengan bobot badan dewasa. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan, dan iklim (Tomaszeweska, 1993). Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yaitu dengan penimbangan berulang-ulang dan dibuat dalam pertambahan bobot badan harian, mingguan atau per satuan waktu lain (Tillman, dkk 1998). Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan dan pubertas, namun setelah usia pubertas hingga usia dewasa, laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa sampai pertumbuhan ternak berhenti (Siregar, 2007).
Jika telah mencapai kedewasaan dan
14 pertumbuhan telah terhenti tetapi mereka mengalami perubahan maka perubahan tersebut karena penimbunan lemak bukan pertumbuhan murni (Bambang, 2005). 2.3
Hubungan antara Panjang Badan dan Lingkar Dada dengan Bobot Badan Bobot badan merupakan salah satu aspek produksi yang sangat penting
untuk menentukan mutu ternak.
Bobot badan berkaitan erat dengan proses
produksi karena faktor-faktor yang menyebabkan terlambatnya pertumbuhan akan meyebabkan tertundanya pubertas, sehingga berahi baru terjadi bila bobot badan tertentu telah tercapai (Pane, 1986).
Bobot badan suatu ternak sangat perlu
diketahui karena bertujuan untuk manajemen pemeliharaan seperti menentukan berapa banyak pakan yang harus diberikan, waktu ternak akan dikawinkan, waktu ternak akan dijual dan pemberian dosis obat atau vaksin yang akan diberikan pada ternak tersebut (Mc Nitt, 1983). Ukuran-ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan seekor ternak. Ukuran-ukuran tubuh seringkali digunakan di dalam melakukan seleksi bibit, mengetahui sifat keturunan, tingkat produksi, maupun dalam menaksir bobot badan. Ukuran tubuh digunakan untuk menaksir bobot badan serta dapat memberikan gambaran mengenai bentuk tubuh ternak sebagai salah satu kriteria dalam seleksi. Penilaian prestasi ternak tetap berpedoman pada ukuran-ukuran tubuh yang merupakan manifestasi dari pertumbuhan dan perkembangan ternak (Ensminger, 1987). Pertumbuhan seekor ternak dimanifestasikan dengan berubahnya ukuranukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan, maupun tinggi pundak. Ukuran-ukuran tubuh seperti panjang badan, lingkar dada, dan tinggi pundak dapat memberikan petunjuk bobot badan ternak dengan tingkat keakuratan cukup
15 tinggi dan sering digunakan sebagai parameter teknis penentuan bibit ternak (Santosa, 1995). Hal ini sependapat dengan pernyataan Williamson dan Payne (1978) bahwa pemakaian ukuran-ukuran tubuh memberikan petunjuk tentang bobot badan dari seekor ternak dengan ketelitian yang baik. Ukuran-ukuran tubuh mempunyai hubungan erat dengan komponen kondisi tubuh ternak (Ensminger, 1987).
Ukuran-ukuran tubuh yang sering dipakai dalam memprediksi bobot
badan ternak antara lain panjang badan dan lingkar dada (Kadarsih, 2003). Panjang badan dan lingkar dada adalah komponen tubuh ternak yang berkorelasi positif tinggi dengan memberikan nilai penyimpangan yang semakin kecil (Dwiyanto, 1982). Koefisien korelasi antara lingkar dada dan panjang badan dengan bobot badan sangat tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya. Ukuran tubuh berbeda antar ternak, tetapi ada korelasi antar ukuran tubuh. Korelasi positif terjadi apabila peningkatan satu sifat menyebabkan sifat lain juga meningkat. Apabila satu sifat meningkat dan sifat lain menurun maka disebut korelasi negatif (Laidding, 1996). Lingkar dada memiliki pengaruh yang besar terhadap bobot badan karena dalam rongga dada terdapat organ-organ seperti jantung dan paru-paru. Lingkar dada yang besar menunjukkan metabolisme tubuhnya lebih baik karena dukungan dari sirkulasi darah yang bekerja secara optimal dibantu oleh organ jantung dan paru-paru yang berada pada rongga dada sehingga dapat membantu pertumbuhan otot (Ensminger, 1991). Lingkar dada besar juga menunjukkan pergerakan yang cepat dan proses keluar serta masuknya udara lebih lancar (Sasimowski, 1987). Ukuran lingkar dada menunjukkan keadaan alat respirasi dan sirkulasi yang mendukung proses metabolisme tubuh yang dapat merubah pakan menjadi energi (Schmidt, 1971), begitu juga dengan pertumbuhan panjang badan ternak.
16 Bertambahnya panjang badan diduga menyebabkan otot-otot yang menimbun tulang ke arah panjang meluas yang pada gilirannya akan menambah bobot badan (Manggung, 1979).
Panjang badan juga dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat pertumbuhan tulang rusuk, dimana tulang rusuk yang tumbuh panjang dapat memungkinkan ternak mampu menampung jumlah pakan yang banyak (Sugeng, 2006). Lingkar dada dilakukan dengan cara melingkari pita ukur pada tubuh ternak tepat dibelakang kaki depan.
Pita ukur harus dikencangkan sehingga pita ukur
pada bagian dada terasa. Semakin besar nilai lingkar dada maka dapat diduga akan mempunyai bobot badan yang besar pula.
Pengukuran panjang badan
dilakukan dengan cara membentangkan mistar ukur atau tongkat ukur mulai dari sendi bahu sampai tulang tapis (Gilbert, 1993; Ensminger, 1987).
2.4
Pendugaan Bobot Badan berdasarkan Rumus Lambourne Pendugaan bobot badan sangat penting dilakukan oleh para pemilik ternak
untuk mengetahui bobot badan ternak.
Cara ini merupakan cara lain untuk
mengetahui berat badan ternak selain penimbangan bobot badan. Apabila setiap kali harus selalu dilakukan penimbangan, hal ini dirasa kurang praktis di samping timbangan itu jumlahnya terbatas.
Penentuan bobot badan selain dilakukan
dengan cara penimbangan secara langsung dapat juga dilakukan dengan cara mengukur ukuran tubuh tertentu kemudian menghitungnya dengan menggunakan rumus pendugaan bobot badan. Rumus Lambourne merupakan salah satu rumus yang dapat digunakan untuk pendugaan bobot badan. Rumus Lambourne menggunakan lingkar dada dan panjang badan sebagai ukuran tubuh yang mempengaruhi bobot badan,
17 karena bertolak dari anggapan bahwa bobot badan tidak hanya dipengaruhi oleh satu ukuran tubuh saja tetapi dipengaruhi oleh berbagai ukuran tubuh. Dalam menggunakan rumus Lambourne sebagai pendugaan bobot badan harus diperhatikan keadaan ternak seperti : sehat, banyak minum, isi perut, dan bunting. Kelebihan dari rumus Lambourne adalah kedua variabel ukuran tubuh tersebut dapat saling mengkoreksi satu sama lain sehingga apabila ditemukan ternak dengan lingkar dada yang sama tetapi bobot badannya berbeda maka panjang badan akan mengkoreksi bobot badan rumus, begitupun sebaliknya (Suwarno, 1958).