TINJAUAN PUSTAKA Jagung (Zea mays) Jagung (Zea mays) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Jagung merupakan komoditas pokok kedua setelah beras, selain merupakan bahan pangan, jagung juga merupakan bahan baku pakan yang penting. Jagung biasanya digunakan sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk yang tinggal di beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya).
Gambar 1. Jagung dan Morfologi (www.litbang.deptan.go.id) Bahan utama yang digunakan dari jagung ialah bijinya. Biji jagung kaya akan karbohidrat, sebagian besar berada di bagian endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Penyimpanan Jagung dan Permasalahannya Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu dari komoditi yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi atau menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi (Sidih, 1996). Penyimpanan dilakukan setelah panen dan pengeringan. Musim panen jagung
15
di setiap wilayah di Indonesia tidak merata sepanjang tahun. Pada saat panen, terjadi kelebihan produksi jagung karena belum tersedianya sarana penyimpanan yang baik dan biasanya jagung tersebut diekspor. Namun pada saat paceklik, penyediaan bahan baku jagung sangat susah sehingga sering melakukan impor (Sidih, 1996). Daya simpan jagung berbeda-beda tergantung pada kandungan air bahan. Bahan yang kadar airnya rendah relatif lebih tahan lama untuk disimpan dibandingkan dengan bahan yang berkadar air tinggi (Hall, 1970). Kadar air yang aman untuk penyimpanan ialah dibawah 13% (Syarief dan Halid, 1992). Dalam penyimpanan akan terjadi peningkatan atau penurunan kadar air bahan, hal tersebut tergantung dari suhu dan kelembaban udara disekeliling tempat penyimpanan. Batas kadar air maksimum yang aman untuk penyimpanan bijian berpati antara 13 - 14% (Standar SNI). Kerusakan yang terjadi pada bahan makanan yang disimpan dalam kondisi buruk terdiri dari kerusakan kimiawi, kerusakan enzimatis, dan kerusakan biologis (Syarief dan Haryadi, 1984). Selama penyimpanan, jagung dapat terserang oleh serangga, mikroorganisme, dan tikus, namun serangga dan jamur merupakan penyebab kerusakan utama. Selain melukai biji, serangga biasanya sekaligus menyebarkan
jamur dengan cara
membawa spora jamur pada permukaan tubuhnya. Selain itu, aktivitas metabolisme serangga dapat menyebabkan kenaikan kadar air substrat yang selanjutnya memacu pertumbuhan cendawan (Mus et al., 2002). Pencemaran jagung terjadi pada saat penyimpanan, juga terjadi karena jamur menyerang tanaman di lapangan. Ada tujuh spesies jamur yang ditemukan pada jagung di lapangan, rumah petani, dan gudang penyimpanan, yaitu Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut yang dominan adalah Aspergillus spp (Mus et al., 2002) sebab kandungan nutrien dalam jagung merupakan komposisi optimal bagi pertumbuhan Aspergillus spp. Dedak Padi Dedak padi merupakan hasil samping proses penggilingan padi dan
hasil
ikutan pengolahan padi (Oriza Sativa) menjadi beras. Menurut deskripsi FAO, yang dimaksud dengan “Rice Bran” adalah hasil samping penggilingan padi yang tersusun oleh lapisan-lapisan luar butir beras (kernel) dan lembaga. Pemanfaatan dedak padi 16
di Indonesia hanya terbatas pada pakan ternak dan beberapa industri pembuatan kue, hal ini sangat disayangkan, mengingat dedak dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan mengekstrak minyak dedak (DSN, 2001).
Gambar 2. Dedak Padi dan Morfologi (www.litbang.deptan.go.id) Penyimpanan Dedak Padi dan Permasalahannya Salah satu sifat terpenting dari dedak adalah ketidakstabilan minyak dalam dedak. Dalam proses penggilingan padi enzim pemecah minyak lipase dan minyak dilepaskan dari sel-sel sehingga bercampur. Keadaan itu menyebabkan pemecahan lemak secara cepat dan pembentukan asam-asam lemak bebas. Masa penyimpanan dapat berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas dedak padi, jika waktu penyimpanan terlalu lama akan terjadi kenaikan kadar air yang menyebabkan terjadi ketengikan hidrolisis (Jamila, 2007). Apabila dedak disimpan tanpa inaktifasi lipase maka lemak secara cepat menghasilkan asam-asam lemak bebas yang kemudian teroksidasi sehingga mengakibatkan lemak menjadi tengik dan tidak dapat dimakan. Apabila kadar air dedak tinggi maka akan tumbuh jamur yang dapat menghasilkan racun yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Dedak padi mudah mengalami ketengikan disebabkan kandungan minyaknya yang tinggi (6-10%), terutama ketengikan oksidatif. Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10-12 minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak bebas yang sangat mudah tengik (Maulana, 2007). Dedak halus mengandung 13,6% protein; 8% serat kasar; 9,6% lemak; dan energi 16390 Kcal (Busro, 2005). Kandungan nutrien jagung dan dedak padi dapat dilihat pada Tabel 1.
17
Tabel 1. Kandungan Nutrien Jagung Kuning dan Dedak Padi Kandungan Nutrisi Bahan Makanan
Jagung Kuning
Dedak Padi
3329 8,6 7,8 3,8 2,5 0,01 0,13 1,9 0,2 0,1 0,2 0,2 0,1 0,4 0,4 0,5 1,0 0,5 0,4
1900 13 7,7 13 12 0,06 0,9 3,4 0,2 0,1 0,5 0,3 0,2 0,4 0,5 0,4 0,8 0,4 0,6
Energi (kkal/kg) Protein Kasar (%) Protein dapat tercerna (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Phosphor tersedia (%) Asam Linoleat (%) Methionin (%) Sistin (%) Lysine (%) Histidin (%) Triptophan (%) Threonin (%) Arginin (%) Iso Leusin (%) Leusin (%) Phanilalanin (%) Valin (%) Sumber : NRC (1994)
Penyimpanan Bahan Karakteristik bahan hasil olahan biji-bijian yang erat kaitannya dengan penyimpanan, yaitu kadar air bahan, daya tumbuh bahan pasca panen, aktifitas respirasi bahan selama penyimpanan, densitas atau kerapatan bahan dalam tempat penyimpanan, sudut curah, dan beberapa sifat-sifat fisik lainnya. Kadar air yang aman untuk penyimpanan ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Pertimbangan teknis, yaitu tingkat kadar air yang setimbang dengan kondisi lingkungannya (suhu dan kelembaban relatif) dan ambang batas aktifitas air yang aman terhadap kemungkinan berbagai penyebab kerusakan. Menyimpan bijian pada kondisi kadar air yang setimbang dengan lingkungan dinilai lebih efisien secara ekonomis dibandingkan dengan menyimpan pada tingkat kadar air yang setara dengan aktifitas air yang aman dari kerusakan. Secara ekonomi, penyimpanan ini akan menyebabkan penurunan kualitas yang lebih sedikit sehingga kerugian yang terjadi dapat diminimalkan. Menurut Hall (1970) beberapa metode penyimpanan bahan baku secara modern adalah sebagai berikut: 1. Penyimpanan secara terbuka di lantai, atau pada tempat tertentu
18
2. Penyimpanan pada silo atau gudang 3. Penyimpanan pada kontainer 4. Penyimpanan di kantong-kantong secara terbuka 5. Penyimpanan dalam kantong yang sudah ditutup secara permanen. Penyimpanan bahan pada ruangan terbuka menyebabkan bahan cepat mengalami penurunan daya simpan dan kualitas karena pengaruh fluktuasi lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, ruangan terbuka dapat mencemari bahan baik pencemaran mikro misalnya mikroba maupun pencemaran makro, misalnya serangga (Robi’in, 2007). Pada keadaan kadar air setara dengan kelembaban relatif kesetimbangan (RHS) 70 % atau Aw 0,70 pada suhu 27-300C, keadaan ini masih dalam batas aman untuk penyimpanan bahan yang berasal dari biji-bijian. Kadar air aman simpan umumnya sekitar 13-14% sedangkan kadar air aman dari gangguan kerusakan, yaitu setara dengan Aw 0,62 sekitar 11-12%
(Syarief dan Halid, 1993). Kesuksesan
penyimpanan tergantung pada kontrol serangan serangga dan mempertahankan tingkat kadar air, mulai dari kehilangan sampai perpindahan cairan yang dapat terjadi secara signifikan (Champ and Highley, 1987). Ada empat tipe kerusakan bahan pakan yang disimpan pada kondisi yang buruk, yaitu a) kerusakan fisik dan mekanik, yaitu kerusakan yang terjadi jika bahan tidak ditangani secara hati-hati waktu kegiatan panen, transportasi, pengolahan, dan penyimpanan. b) kerusakan kimiawi, meliputi kerusakan bahan akibat reaksi kimia atau reaksi pencoklatan non enzimatis yang merusak partikel karbohidrat, penurunan kandungan vitamin, dan asam nukleat. c) kerusakan enzimatik, yaitu terjadi akibat kerja beberapa enzim, seperti protease, amylase, dan lipase, misalnya pemecahan molekul lemak, seperti asam lemak bebas dan glycerol oleh enzim lipolitik dan aktivitas enzim proteolitik memecah protein menjadi polipeptida dan asam amino (Syarief dan Haryadi, 1984). d) kerusakan biologi terjadi akibat serangan serangga, binatang pengerat, burung, dan mikroorganisme selama penyimpanan (Syamsu, 1997).
19
Kadar Air dan Aktivitas Air Air merupakan nutrien paling sederhana yang terdapat di dalam pakan walaupun begitu bila air sudah berada di dalam tubuh air mempunyai peranan yang sangat luas. Air sangat berpengaruh terhadap perubahan baik kimiawi maupun fisik bahan (DeMau, 1989). Ketaren (1986) menyatakan bahwa adanya air pada bahan berlemak menyebabkan reaksi hidrolisa yang menimbulkan ketengikan. Selain itu air juga berfungsi menyelimuti lemak dari kontak langsung dengan oksigen sehingga dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi dan tidak terjadi ketengikan oksidatif (Purnomo, 1995). Kadar air merupakan banyaknya air terikat dan air bebas yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997). Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa kadar air yang aman untuk penyimpanan ditentukan berdasarkan tingkat kadar air yang setimbang dengan kondisi lingkungannya (suhu dan kelembaban realtif) dan ambang batas aktivitas air yang aman terhadap kemungkinan penyebab kerusakan. Perubahan kelembaban udara ruang penyimpanan juga berpengaruh terhadap penguapan dan absorpsi air dalam kemasan. Bila kelembaban udara ruang menurun maka akan terjadi penurunan kadar air, sebaliknya bila kelembaban ruang meningkat maka akan terjadi peningkatan kadar air (Wiraatmadja et al., 1995). Jumlah air bebas di dalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba dikenal dengan istilah aktivitas air (Winarno, 1991). Aktivitas air juga merupakan aktivitas kimia dari air yang merupakan ukuran dalam menentukan kemampuan air membantu proses kerusakan bahan (Adnan, 1982).
20
Gambar 3. Peta Stabilitas Bahan Sebagai Fungsi dari Aw (Labuza, 1971) dalam Winarno (1991) Gambar 3 memperlihatkan gambaran kerusakan pangan. Pada Gambar 3, terdapat pembagian tiga daerah isotherm, yaitu daerah I, (Aw dibawah 0,25), daerah II (Aw 0,25-0,80), dan daerah III (Aw diatas 0,80). Daerah paling stabil ialah daerah II sebab kerusakan yang terjadi pada daerah II dapat dicegah. Namun pada daerah II oksidasi dan hidrolisa lemak meningkat, hal ini disebakan oleh keaktifan katalis meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas air (Winarno, 1991). Pada daerah I merupakan daerah dengan oksidasi lemak terbesar, seiring dengan rendahnya aktivitas air, hal tersebut disebabkan oleh banyak terjadinya radikal bebas dan air tidak dapat lagi menjadi barier kontak lemak dengan oksigen. Pada daerah III kerusakan mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis berjalan dengan cepat. Hal tersebut disebabkan oleh sifat air bebas yang diperlukan oleh reaksi-reaksi tersebut (Alamsyah, 2004). Kerusakan Kimia Proses kimiawi yang dapat terjadi dalam penyimpanan pakan adalah terjadi perubahan atau kerusakan kandungan lemak dari pakan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam mempercepat kerusakan lemak dari pakan adalah kandungan minyak, kontak dengan udara, cahaya, temperatur ruangan, kadar air bahan, dan adanya katalis (Patterson, 1989). Kerusakan bijian dan bahan makanan pada penyimpanan dengan kondisi temperatur dan kadar air tinggi, terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim lipase dalam hidrolisis lemak (Pomeranz, 1974) lemak dipecah menjadi asam lemak bebas dan glicerol (Kaced et al., 1984).
21
Kerusakan kimiawi meliputi kerusakan bahan makanan akibat reaksi kimia ataupun reaksi pencoklatan non enzimatis yang merusak karbohidrat, penurunan kandungan vitamin, dan asam nukleat. Umumnya kerusakan tersebut terjadi akibat suhu yang tinggi ataupun pengeringan yang spontan (Syarief dan Haryadi, 1984). Harapan utama ialah tidak terjadinya perubahan terhadap kandungan nutrisi selama penyimpanan sebab kandungan nutrisi sangat penting dalam penyusunan ransum dan aplikasinya. Ketengikan Ketengikan yang terjadi pada bahan yang mengandung minyak dan lemak yaitu ketengikan hidrolisis dan ketengikan oksidasi yang berbeda dalam mekanismenya (Gunawan dan Tangendjaja, 1986). Kondisi iklim panas dan lembab meningkatkan gejala ketengikan yang terdiri atas dua jenis, yaitu : 1. Ketengikan hidrolitik yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme terhadap lemak menyebabkan proses hidrolisis sederhana lemak menjadi asam lemak, digliserida,
mono-gliserida,
dan
gliserol.
Ketengikan
hidrolitik
tidak
mempengaruhi nilai nutrisi. 2. Peroksidasi lemak menyebabkan pembentukan radikal bebas pada ikatan tak jenuh akibat pemisahan hidrogen dari asam lemak tak jenuh, yang menurunkan nilai energi lemak. Reaksi dipercepat dengan kehadiran mineral-mineral yang terdapat dalam oksigen. Ketengikan hidrolisis merupakan akibat reaksi antara bahan pakan dengan air. Pada penyimpanan terlalu lama menyebabkan terjadinya kenaikan kandungan air biasanya terjadi ketengikan hidrolisis, akan tetapi ketengikan ini tidak selamanya terjadi bersamaan dengan ketengikan yang lain (Hattab, 1977). Tahap reaksi hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 4. Trigliserida αH2C-O-CO-R βH2C-O-CO-R αH2C-O-CO-R
Air
+
3H2O
Gliserol Asam Lemak H2C-OH =
H 2C
+
3R-CO-OH
H2C-OH
Gambar 4. Tahap Reaksi Hidrolisis Lemak (Ketaren, 1986)
22
Akibat yang ditimbulkan dari reaksi hidrolisis adalah terjadinya perubahan bau dan rasa dari minyak atau lemak, yaitu timbulnya rasa tengik (Djatmiko dan Pandjiwidjaja, 1984). Sebagai ilustrasi, dedak padi yang mempunyai kandungan minyak yang tinggi mudah terhidrolisis oleh enzim lipase bebas. Hidrolisis diakibatkan oleh reaksi antara lipase dan minyak di dalam dedak padi yang menghasilkan asam lemak bebas (Gunawan dan Tangendjaja, 1986). Kadar asam lemak bebas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan yaitu sebelum penyimpanan sebesar 16.5% dan setelah dua bulan penyimpanan sebesar 80.7% . Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase sangat tinggi sehingga hampir seluruh minyak dapat terhidrolisa dalam waktu dua bulan penyimpanan. Ketengikan oksidasi yang umum dijumpai yaitu reaksi oksidasi pada ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap yang mempengaruhi reaksi ini menyebabkan lemak menjadi keras dan kental. Peroksida merupakan hasil antara yang biasanya dipakai sebagai ukuran tingkat ketengikan (Kaced et al., 1984). Peningkatan bilangan peroksida menunjukkan bahwa lemak dalam bahan telah menjadi tengik. Ketengikan oksidatif ialah reaksi dimana laju reaksi meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Ketengikan oksidatif terutama dipengaruhi oleh kontak langsung antara lemak dengan oksigen dan air tidak lagi menjadi barrier bagi lemak (Purnomo, 1995). Reaksi ini biasanya terjadi pada Aw rendah (< 0,3). Tahap reaksi oksidatif dalam bahan terlihat pada Gambar 5. As. Lemak tidak jenuh R1-C-C=C-C-R2
Radikal Bebas R1-C-C=C-C-R2 + H2
R1-C-C=C-C-R2 + R1-C-C=C-C-R2 O-O+ Peroksida
R1-C-C=C-C-R2 + R1-C-C=C-C-R2
O-OH Hidroperoksida
Radikal Bebas
Gambar 5. Tahap Reaksi Oksidatif Lemak (Winarno, 1991) Lama penyimpanan akan meningkatkan oksidasi lemak dedak padi yang ditunjukkan dengan bertambahnya bilangan peroksida (Syamsu, 2000). Nilai
23
peroksida di atas 10 dianggap tidak aman dan mengindikasikan terjadinya ketengikan pakan. Hal ini terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen tersebut menyebabkan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan dalam lemak dan minyak, serta produk-produk yang mengandung lemak dan minyak. Bawang Putih (Allium sativum) Bawang putih adalah herba semusim berumpun yang memiliki ketinggian sekitar 60cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang-ladang di daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari. Ciri-ciri bawang putih ialah batangnya batang semu dan berwarna hijau, bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih, tiap siung terbungkus kulit tipis dan jika diiris baunya sangat tajam, daunnya berbentuk pita (pipih memanjang) dan berakar serabut. Bunganya berwarna putih.
Gambar 6. Bawang Putih (www.litbang.deptan.go.id) Winarno dan Koswara (2002) menyatakan bahwa bawang putih mengandung asam amino sistein yang merupakan penentu komponen bioaktif bawang putih. Sistein teralkalisasi dan kemudian mengalami oksidasi akan menghasilkan protein aliin. Aliin merupakan prekursor tak berwarna dan tak berbau pada bawang putih, namun apabila bawang putih diiris atau dihancurkan maka akan timbul aktifitas suatu enzim yaitu allinase. Enzim allinase ini mengkonversi aliin menjadi alisin, senyawa yang memberi bau khas bawang putih. Mekanisme perubahan zat allicin terlihat pada Gambar 7.
24
Polisakarida, Protein, Enzim, As amino, γ-glutamilsistein, S-alilsistein,Sulfoksida
Komponen sulfur Larut Air: S-alilsistein S-alilmerkaptosistein Asam amino
Penuaan alami Jalur Biokonversi
Pemecah Sel Aliin + Alinase
Alicin
Pemecahan Sel Alisin Jalur Dekomposisi Dekomposisi Cepat
Komponen Sulfur Larut Minyak: Dialil sulfida Dialil disulfida Dialil trisulfida Ayone, Vinilditin
Panas + Pelarut Organik
Gambar 7. Perubahan Kimiawi dalam Bawang Putih (Amagase et al., 2001) Bawang putih mengandung minyak atsiri yang bersifat anti bakteri dan anti septik, kandungan alisin dan aliin berkaitan dengan daya anti kolesterol. Umbi bawang putih mengandung kalsium, saltivine, diasulphide, belerang, protein, lemak, fosfor, besi, dan vitamin. Nurjanah (2007) melaporkan bahwa umbi bawang putih mengandung α-glutamylcysteins dalam jumlah banyak bahan ini kemudian dihidrolisis maupun dioksodasi membentuk alliin. Saat terjadi pemotongan maupun penggilingan bawang putih, enzim akinase dengan cepat menguraikan alliin. Kandungan kimia bawang putih terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Kimia Bawang Putih Komponen
Jumlah
Bahan kering (%)
83,09
Protein kasar (%)
16,78
Serat kasar (%)
0,42
Lemak kasar (%)
4,11
Beta-N (%)
58,61
Abu (%)
3,17
Ca (%)
0,26
P available (%)
0,38
Na (%)
0,07
Energi (kal/g)
3.344
Sumber: Hastuti (2008)
25
Paavo Airola, seorang ahli gizi dan pendiri The International Academy of Biological Medicine dalam Winarno dan Koswara (2002) telah berhasil menemukan dan mengisolasikan sejumlah komponen aktif dari bawang putih, diantaranya: 1. Alisin, zat aktif yang mempunyai daya bunuh bakteri dan daya anti radang 2. Aliin, suatu asam amino yang bersifat antibiotik 3. Allitiamin, suatu sumber ikatan-ikatan biologi yang aktif serta vitamin B1 4. Antihemolytic faktor, faktor anti lesu atau anti kekurangan sel-sel darah merah 5. Selenium, suatu mikro mineral yang merupakan faktor antioksidan 6. Germanium, seperti selenium merupakan mineral anti kanker ampuh yang dapat menghambat dan memusahkan sel-sel kanker dalam tubuh 7. Antioksidan, anti racun atau pembersih darah dari racun-racun bakteri atau polusi logam-logam berat Berdasarkan zat komponen aktif dari bawang putih tersebut, bawang putih banyak digunakan sebagai aditif dalam ransum. Menurut Hastuti (2008), 7,5% bubuk bawang putih dari total ransum memperlihatkan bobot badan akhir yang tinggi dibandingkan dengan pemberian 2% piperazine. Wiryawan (2005) menemukan bahwa penggunaan 2,5% bubuk bawang putih dalam ransum menurunkan koloni bakteri Salmonella typhimurium secara nyata. Zeolit Zeolit berasal dari kata Zein yang dalam bahasa Yunani, yang artinya membuih dan lhitos, yang artinya batu. Hal tersebut sesuai dengan sifat Zeolit yang dapat berbuih apabila dipanaskan hingga suhu 1000C (Sidih, 1996). Pada dasarnya, molekul zeolit terdiri atas tetrahedral SiO4 dan AlO4 yang diikat dengan oksigen membentuk pollihedral yang berongga (Sidih, 1996). Struktur zeolit yang berongga ini menyebabkan zeolit dapat menyerap air atau zat lain dan bersifat reversible (Sidih, 1996). Zeolit alam sangat melimpah dan merupakan mineral yang digunakan secara luas didunia (Suhandy et al., 2000). Potensi penggunaan zeolit terutama disebabkan oleh sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Zeolit adalah golongan mineral aluminosilikat terhidrat, dengan kation alkali dan alkali tanah yang mengisi mengisi rongga-rongga kerangka aluminosilikat.
26
Gambar 8. Zeolit dan Struktur (www.litbang.deptan.go.id) Ada dua cara aktifasi zeolit, yaitu secara fisik dan kimia (Sryanto dan Husaini, 1991). Saat zeolit dipanaskan 300-4000 C selama beberapa jam air akan keluar dan zeolit dapat berfungsi sebagai pengabsorbsi yang efektif (Mumpton dan Fishman, 1977 dalam Murni, 1993). Daya serap zeolit terhadap air dan kation dapat ditingkatkan melalui aktifasi. Bekti (2002) menyebutkan bahwa zeolit dapat menurunkan kandungan logam berat bersifat toksik yang dapat menimbulkan pencemaran atau rusaknya lingkungan dibandingkan dengan beberapa pengering lainnya, seperti aluminium oksida dan silika gel. Dalam bidang industri, zeolit merupakan penyerap air yang paling baik. Pemakaian zeolit terus berkembang dan mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan tambahan (feed additive) dalam bidang perternakan dan perikanan (Ramon, 2006). Penggunaan zeolit dapat dicampur langsung dengan bahan, seperti debu, karena zeolit dapat merusak kulit dan aktivitas serangga yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Sidih, 1996). Hasil penelitian tentang zeolit menunjukkan bahwa zeolit dapat berpengaruh positif terhadap produksi ternak (Ramon, 2006). Murni (1993) menyatakan bahwa 2,5% Zeolit dapat mencegah produksi aflatoksin selama penyimpanan 4 minggu serta menurunkan kadar air pakan.
27