3
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Campylobacter jejuni Campylobacter spp. merupakan bakteri Gram negatif, tidak berspora, dan bersifat oksidase positif. Bentuk sel pleomorfik dan berukuran kecil, yaitu lebar 0.2-0.5 µm dan panjang 0.5-8.0 µm. Bakteri ini berbentuk spiral, ramping, dan memiliki satu atau lebih flagela yang memberikan kemampuan untuk bergerak cepat (Adams & Moss 2008). Menurut Debruyne et al. (2008), genus Campylobacter termasuk ke dalam famili Campylobacteraceae. Genus ini terdiri dari 14 spesies yang beberapa diantaranya patogen bagi manusia. Klasifikasi Kingdom : Bacteria Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Epsilonproteobacteria
Ordo
: Campylobacterales
Famili
: Campylobacteraceae
Genus
: Campylobacter
Spesies
: Campylobacter jejuni
Gambar 1 Bentuk morfologi C. jejuni. Menurut Songer dan Post (2005), C. jejuni tumbuh optimal pada suhu 42-45 C. Bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi dan sangat sensitif dalam kondisi asam. Pada suhu beku, C. jejuni mampu bertahan lama namun
4
kelangsungan hidupnya menurun, sehingga bakteri ini dapat bertahan hidup dalam produk unggas hingga beberapa bulan. Campylobacter jejuni bersifat mikroaerofilik dan 'capnophilic' (menyukai karbondioksida) sehingga optimal tumbuh pada suasana yang mengandung karbondioksida 10% dan 5-6% oksigen (Fernandes 2009). Campylobacter spp. tidak mampu mengoksidasi karbohidrat, namun bakteri ini memiliki sistem metabolisme kemoorganotropik yang mampu menggunakan asam amino sebagai sumber energi (Sellars et al. 2002).
Campylobacteriosis pada Ayam Ayam merupakan inang utama dari C. jejuni. Bakteri ini hidup secara komensal pada mukosa saluran pencernaan ayam. Campylobacter jejuni dapat bersifat patogen pada ayam usia muda, tapi umumnya pada ayam dewasa tidak bersifat patogen. Pada day old chicken (DOC), infeksi dapat dengan mudah terjadi tanpa menimbulkan gejala klinis (Snelling et al. 2005; Lee & Newell 2006). Penularan Campylobacter spp. pada peternakan ayam dapat terjadi secara vertikal
dan
horizontal.
Menurut
Sahin
et
al.
(2003b),
penularan
Campylobacter spp. secara vertikal dapat terjadi melalui kontaminasi telur dalam saluran reproduksi ayam betina selama tahap perkembangan telur dan juga melalui kontaminasi pada kerabang telur oleh feses yang mengandung Campylobacter spp. dan berpenetrasi ke dalam bagian telur. Secara horizontal, penularan Campylobacter spp. pada suatu peternakan ayam dapat terjadi melalui kontaminasi dari lingkungan sekitar. Menurut Pearson et al. (1993) bakteri ini dapat mengontaminasi pakan dan air minum. Kontaminasi silang melalui udara, serangga, burung liar, dan pekerja juga dapat terjadi. Penyebaran penyakit dari satu ayam ke ayam lainnya dalam satu kandang terjadi dengan sangat cepat. Ayam yang terinfeksi dalam suatu peternakan dapat menyebarkan penyakit ke semua populasi ayam dalam waktu beberapa hari (Lee & Newell 2006). Serangga merupakan vektor penyebar C. jejuni. Lalat dan kumbang adalah vektor yang dapat menyebarkan C. jejuni dalam suatu peternakan ayam. Selain itu, rodensia dan burung liar yang berkeliaran di sekitar peternakan ayam juga dapat menjadi sumber penyebaran C. jejuni. Menurut Shane dan Stern (2003),
5
rodensia dan burung liar merupakan reservoar bagi C. jejuni yang dapat menyebarkan bakteri tersebut melalui kotoran yang mengandung bakteri. Proses infeksi C. jejuni pada ayam dapat terjadi melalui rute oral. Infeksi masuk melalui pakan atau air minum yang terkontaminasi. Bakteri masuk melalui mulut ke dalam lambung, dan selanjutnya ke saluran intestinal. Patogenesis akibat infeksi C. jejuni dimulai ketika bakteri ini berpenetrasi pada lapisan mukosa usus. Bakteri ini berpenetrasi dengan menggunakan flagella. Bakteri yang telah berpenetrasi akan melekat pada sel epitel dengan bantuan fibronectin binding protein (CadF), lipoprotein (JlpA), flagellin, dan lipopolisakarida (LPS). Proses perlekatan bakteri akan diikuti oleh proses invasi sel epitel yang mengakibatkan terjadinya respon peradangan (Songer & Post 2005; Cox et al. 2010). Menurut van Vliet dan Ketley (2001), respon peradangan yang terjadi mengakibatkan kerusakan pada mukosa usus dan memicu terjadinya diare. Selain itu, kejadian diare juga dapat terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh C. jejuni, yaitu enterotoksin dan sitotoksin. Toksin ini dianggap merupakan salah satu faktor terjadinya diare akibat infeksi C. jejuni (Shane & Stern 2003). Infeksi Campylobacter spp. pada broiler dapat terjadi sejak ayam berumur 7 hari. Masa inkubasi penyakit pada ayam selama 2-7 hari (Shane & Stern 2003; Lee & Newell 2006). Campylobacteriosis pada ayam dapat menimbulkan diare dan dilatasi saluran pencernaan mulai dari distal lengkung duodenum sampai bifurkasio pada sekum. Pada kejadian tersebut juga terjadi perdarahan akibat enteritis hemoragi yang ditimbulkan oleh infeksi C. jejuni. Penyakit yang ditimbulkan ini dapat pulih tanpa pemberian antibiotik (Dhillon et al. 2006; Pisestyani 2010).
Campylobacteriosis pada Manusia Campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh infeksi bakteri Campylobacter spp. Bakteri ini dapat menyebabkan enterokolitis akut. Gejala klinis yang terjadi diantaranya demam, nyeri perut, dan diare. Gejala lainnya berupa muntah, sakit kepala, dan panas dingin juga sering ditemukan. Diare merupakan gejala utama dari infeksi C. jejuni. Feses yang dihasilkan mengandung Campylobacter 106-109 sel per gram, berbau busuk, berair, bahkan berdarah.
6
Penyakit ini bersifat self limiting disease yang dapat sembuh dalam waktu seminggu (van Vliet & Ketley 2001; Adams & Moss 2008). Kejadian campylobacteriosis pada manusia umumnya disebabkan oleh C. jejuni (95%) dan C. coli (5%) (Songer & Post 2005). Sumber infeksi pada manusia dapat berasal dari makanan atau minuman yang terkontaminasi dan melalui kontak langsung dengan hewan atau feses hewan yang terinfeksi. Konsumsi daging ayam yang tidak matang sempurna merupakan faktor utama penyebab campylobacteriosis pada manusia. Kontaminasi pada daging ayam dapat terjadi selama proses pemotongan dan pengeluaran jeroan, sedangkan kontaminasi pada air minum bisa terjadi melalui feses burung liar dan berbagai jenis hewan domestik yang mengandung Campylobacter spp. dalam fesesnya. Proses pemanasan dapat membunuh Campylobacter spp. Oleh karena itu, dengan proses pengolahan yang benar diharapkan mampu mengurangi risiko penularan C. jejuni pada manusia (Wesley 2009). Mekanisme patogenik campylobacteriosis belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui beberapa faktor virulensi dari C. jejuni berperan penting dalam proses infeksi, diantaranya kemampuan motilitas, kemotaksis, dan produksi racun. Campylobacter jejuni
mampu memproduksi beberapa toksin, utamanya
enterotoksin dan sitotoksin. Kemampuan motilitas memiliki peran yang sangat penting dalam virulensi karena diperlukan untuk menembus lapisan dinding usus. Ketika kemampuan motilitas bakteri hilang, maka infeksi yang terjadi juga hilang (Cox et al. 2010). Menurut van Vliet dan Ketley (2001), campylobacteriosis pada manusia dapat menimbulkan penyakit kronis yang disebut Guillain-Barrè Syndrome (GBS). Sindrom ini merupakan salah satu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer. Kejadian GBS pada manusia menyebabkan infiltrasi sel mononuklear pada saraf perifer yang akan mengakibatkan degenerasi akson atau demielinasi pada saraf perifer. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan motoris dan alexia (Ang et al. 2001; Winer 2001). Mekanisme dari penyakit ini belum sepenuhnya diketahui. Namun menurut Ang et al. (2001), kejadian GBS dapat dipicu oleh adanya infeksi saluran pencernaan
akibat
C.
jejuni.
Campylobacter
jejuni
memiliki
struktur
7
lipopolisakarida (LPS) pada bagian membran luarnya. Inti oligosakarida pada LPS C. jejuni mengandung gangliosida yang strukturnya sangat mirip dengan gangliosida pada sel saraf manusia. Struktur LPS pada C. jejuni bersifat sangat antigenik, sehingga pada saat terjadi gastroenteritis akibat C. jejuni tubuh akan memproduksi antibodi untuk menghancurkan struktur LPS tersebut. Kemiripan struktur antara inti oligosakarida pada LPS dan gangliosida pada sel saraf ini mengakibatkan antibodi dan sel mononuklear dari dalam tubuh ikut menyerang bagian gangliosida dari sel saraf perifer. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik dan sensorik akan diserang, sehingga terjadi disfungsi motorik dan sensorik. Kejadian ini pada akhirnya dapat mengakibatkan kelumpuhan pada manusia (van Vliet & Ketley 2001).
Karakteristik Koliform Bakteri koliform merupakan kelompok bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagai produk pangan. Istilah koliform bukan merupakan istilah taksonomi melainkan mewakili sekelompok spesies dari beberapa genus yang memiliki banyak karakteristik umum. Kelompok koliform diantaranya Escherichia, Enterobacter, Kleibsiella, dan Citrobacter. Bakteribakteri tersebut merupakan bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang bersifat Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, pada umumnya motil, anaerob fakultatif, dan mampu memfermentasi laktosa yang menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 32 C atau 35 C. Beberapa spesies dapat tumbuh pada suhu tinggi (44.5 C), namun pada umumnya tumbuh pada suhu 4-5 C. Semua anggota kelompok koliform sensitif terhadap suhu rendah dan dapat mati pada suhu pasteurisasi. Kelompok koliform dapat ditemukan pada feses manusia, hewan berdarah panas, dan burung. Beberapa diantaranya juga dapat ditemukan di tanah, air, dan tanaman (Mead 2007; Ray & Bhunia 2008). Kelompok koliform yang merupakan kontaminan feses disebut koliform fekal. Koliform fekal adalah bagian dari bakteri kelompok koliform yang mampu memfermentasi laktosa pada suhu 44.5 + 0.2 C dalam waktu 48 jam dan bersifat thermotolerant. Koliform fekal terdiri dari Escherichia, Kleibsiella, dan
8
Enterobacter. Kebanyakan dari kelompok ini terdiri dari E. coli. Escherichia coli merupakan indikator keberadaan bakteri enterik patogen dalam feses. Peningkatan populasi koliform fekal pada air memungkinkan adanya peningkatan bakteri patogen (McMurry et al. 1998; Mead 2007). Beberapa bakteri dari kelompok koliform fekal dapat ditemukan pada makanan mentah dari produk hewani. Pada produk pasteurisasi juga sering ditemukan akibat proses sanitasi setelah pemanasan yang tidak benar. Pada makanan mentah, kontaminasi koliform fekal dapat berasal dari feses dan sanitasi yang buruk (Ray & Bhunia 2008).
Kolibasilosis pada Ayam Bakteri koliform merupakan mikroflora normal pada saluran pencernaan hewan berdarah panas, unggas, dan manusia (Ray & Bhunia 2008). Lebih dari 90% dari jumlah total koliform terdiri dari E. coli. Umumnya E. coli bersifat komensal pada saluran pencernaan ayam, namun beberapa strain E. coli bersifat patogen (Mead 2007). Menurut Bolder (1998), jumlah bakteri koliform pada saluran pencernaan ayam dapat mencapai 106-109 cfu/g. Sebagian besar dari jumlah tersebut bersifat komensal dan beberapa diantaranya bersifat patogen. Penularan bakteri koliform patogen pada peternakan ayam dapat terjadi melalui kontaminasi feses pada air dan pakan. Air minum berperan penting sebagai jalur transmisi berbagai jenis bakteri patogen. Beberapa jenis bakteri koliform dan bakteri patogen lainnya dapat bertahan lama dalam air (Jafari et al. 2006). Menurut Ismail (2011), tingginya jumlah bakteri koliform dalam saluran pencernaan dapat berdampak pada penurunan bobot badan ayam. Hal ini disebabkan beberapa strain E. coli yang bersifat patogen dapat menimbulkan terjadinya kolibasilosis pada ayam. Kolibasilosis pada ayam merupakan penyakit infeksius yang menyerang saluran pernafasan dan pencernaan ayam. Kejadian ini dapat menimbulkan kematian jika tidak dilakukan pengobatan.
9
Bakteri Koliform pada Manusia Pada manusia, bakteri koliform juga merupakan mikroflora normal dalam saluran pencernaan. Jenis bakteri ini umumnya bersifat komensal, namun beberapa strain E. coli bersifat sangat patogen pada manusia. Beberapa strain yang dianggap sangat patogen pada manusia adalah E. coli O157 yang merupakan penyebab infeksi E. coli utama pada manusia dan E. coli O104:H4 yang merupakan penyebab wabah E. coli di Jerman pada tahun 2011 (Ogden 2007; CDC 2011b). Bakteri koliform dapat ditemukan di tanah, tanaman, dan air. Kontaminasi tersebut dapat berasal dari kotoran hewan atau manusia yang mengandung koliform fekal di dalamnya. Penularan bakteri koliform patogen pada manusia dapat terjadi melalui konsumsi bahan pangan dan air yang terkontaminasi. Kontaminasi pada daging dan susu dapat terjadi secara langsung melalui feses hewan. Selain itu, kontaminasi juga dapat terjadi pada proses pengolahan bahan pangan melalui air dan tanah yang terkontaminasi. Proses penyimpanan yang tidak tepat dan sanitasi yang buruk juga menjadi salah satu sumber kontaminasi bakteri koliform pada bahan pangan (Ray & Bhunia 2008). Kejadian infeksi E. coli pada manusia dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala klinis, namun dalam beberapa kasus terlihat adanya gejala diare berair dan kolitis hemoragi. Diare merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Kolitis hemoragi ditandai dengan adanya gejala diare berat yang sering disertai dengan diare berdarah, kram perut, mual, dan muntah. Akibat kehilangan banyak cairan tubuh pada saat diare dan muntah, maka risiko dehidrasi sering terjadi. Pada infeksi yang berat, penyakit ini dapat menimbulkan kematian pada manusia jika tidak dilakukan pengobatan (OIE 2009; CDC 2011b).
Antimikroba dan Antibiotik Antimikroba merupakan obat yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dan berbagai jenis mikroorganisme, diantaranya virus, protozoa, jamur, dan rikettsia. Aktivitas kerja antimikroba dibedakan
menjadi aktivitas
bakteriostatik dan aktivitas bakterisidal. Antimikroba yang memiliki aktivitas bakteriostatik bekerja dengan menghambat pertumbuhan mikroba, sedangkan
10
antimikroba bakterisidal mampu membunuh mikroba. Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisidal apabila kadar antimikroba tersebut ditingkatkan (Kee & Hayes 1996; Setiabudy & Gan 2003). Sifat antimikroba berbeda satu dengan lainnya. Beberapa jenis antimikroba bersifat aktif terhadap bakteri Gram positif, namun bakteri Gram negatif tidak peka. Berdasarkan sifat ini, antimikroba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum sempit dan berspektrum luas. Antimikroba berspektrum luas merupakan antimikroba yang aktif terhadap berbagai jenis mikroba baik Gram positif maupun Gram negatif, misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan antimikroba berspektrum sempit merupakan antimikroba yang hanya aktif pada beberapa jenis mikroba tertentu misalnya benzil penisilin dan streptomisin (Setiabudy & Gan 2003). Mekanisme kerja antimikroba dibagi dalam lima kelompok, yaitu mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba, dan menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Penggunaan
antimikroba
ini
ditentukan
berdasarkan
indikasi
dengan
mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya gambaran klinik penyakit infeksi, jenis mikroba, dan patogenisitas mikroba. Oleh karena itu, indikasi untuk memberikan antimikroba pada pasien harus dipertimbangkan dengan seksama (Setiabudy & Gan 2003). Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba sebagai metabolit sekunder yang mempunyai massa molekul rendah sehingga pada konsentrasi rendah dapat menghambat dan membasmi mikroba jenis lain. Namun dalam praktik sehari-hari antimikroba yang tidak diturunkan dari produk mikroba juga sering digolongkan sebagai antibiotik (Kee & Hayes 1996; Setiabudy & Gan 2003).
11
Eritromisin Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida yang dihasilkan oleh Streptomyces erythreus. Antibiotik ini memiliki sebuah cincin lakton makrosiklik yang terdiri dari keton dan gula amino. Eritromisin berupa kristal berwarna kekuningan yang kelarutannya rendah dalam air dan tidak stabil dalam suasana asam (Setiabudy 2003; Giguère 2006). Eritromisin bekerja dengan menghambat sintesis protein mikroba yaitu dengan berikatan secara reversibel pada ribosom sub unit 50S. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari jenis dan jumlah mikroba (Setiabudy 2003). Eritromisin sangat mudah didegradasi oleh asam lambung. Hal tersebut dapat dihindari dengan pemberian lapisan yang tahan asam pada eritromisin yang diberikan secara per oral atau digunakan sediaan dalam bentuk basa bebas, stearat, etilsuksinat atau ester estolat. Stearat dihidrolisis dalam usus menjadi basa, sedangkan etilsukinat dan ester estolat langsung diserap dan dihidrolisis dalam tubuh menjadi basa aktif. Eritromisin mudah diserap oleh usus halus bagian atas dan mudah didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh kecuali otak dan cairan serebrospinal. Antibiotik ini dimetabolisme dan diekskresikan sebagian besar dalam empedu. Sebagian besar dari obat ini akan terikut dalam feses meskipun penyerapan usus terjadi (Setiabudy 2003; Giguère 2006). Menurut Giguère (2006), eritromisin merupakan obat pilihan untuk pencegahan dan pengobatan diare akibat infeksi C. jejuni. Pada unggas, antibiotik ini juga dapat ditambahkan ke dalam air minum untuk pengobatan dan pencegahan infeksi staphylococcal atau streptococcal, dermatitis nekrosa, infectious coryza, dan infeksi M. gallisepticum.
Kloramfenikol Kloramfenikol merupakan turunan asam dikloroasetat yang mengandung gugus nitrobenzena. Kloramfenikol dapat diisolasi dari Streptomyces venezuelae. Obat ini berbentuk kristal putih yang sulit larut dalam air tapi dapat larut dalam lemak (Setiabudy & Kunardi 2003; Dowling 2006).
12
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat pembentukan protein mikroba. Obat ini berikatan secara irreversibel dengan reseptor pada ribososom sub unit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase, sehingga pembentukan ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba tidak terjadi. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi obat ini dapat bersifat bakterisidal terhadap mikroba-mikroba tertentu (Setiabudy & Kunardi 2003; Dowling 2006). Pada hewan monogastrik, kloramfenikol dapat diserap baik oleh saluran pencernaan. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata (Setiabudy & Kunardi 2003; Brumbaugh et al. 1983 diacu dalam Dowling 2006). Masa paruh eliminasi kloramfenikol bervariasi antar spesies. Eliminasi terutama oleh metabolisme hati melalui konjugasi dengan asam glukuronat. Metabolit yang tidak aktif akan diekskresikan melalui urin (Dowling 2006). Menurut
Hofacre
(2006),
kloramfenikol
memiliki
potensi
untuk
menimbulkan anemia aplastik pada manusia. Pada dosis tertentu kloramfenikol dapat menghambat sintesis protein mitokondria sel-sel sumsum tulang mamalia sehingga menimbulkan gangguan pada sistem hemopoetik. Hal tersebut mengakibatkan pelarangan penggunaan kloramfenikol pada hewan konsumsi di sebagian besar negara.
Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam Pada suatu industri unggas komersial, pencegahan penyakit merupakan fokus utama bagi seorang dokter hewan. Ketika prosedur biosekuriti gagal untuk mencegah masuknya suatu agen penyakit, maka penggunaan antibiotik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menekan kerugian ekonomi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunakan antibiotik pada peternakan ayam diantaranya, pemilihan obat yang sesuai dengan aturan, cara pemberian obat yang tepat, dan waktu henti obat (withdrawal time) dalam produk ternak. Penggunaan antibiotik pada peternakan ayam dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai tindakan pencegahan, obat terapi, dan pemacu
13
pertumbuhan. Antibiotik pemacu pertumbuhan dapat diberikan melalui pakan. Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada kebanyakan negara tidak diperbolehkan karena dapat menimbulkan resistensi berbagai jenis mikroba terhadap antibiotik. Infeksi bakteri pada ayam cenderung berjalan dengan cepat dan dalam waktu singkat dapat menimbulkan kematian. Selain itu, berbagai jenis penyakit pada ayam dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala klinis. Seorang dokter hewan harus mampu melihat tanda atau perubahan yang terjadi dalam kelompok ternak sedini mungkin agar kerugian ekonomi akibat suatu penyakit dapat ditekan. Pengobatan pada suatu peternakan ayam dilakukan secara populasi. Pengobatan ini dilakukan tidak hanya untuk menghindari penyakit pada ternak, namun juga dilakukan untuk mencegah penularan penyakit ke manusia. Dampak residu antibiotik pada produk pangan merupakan salah satu pertimbangan dalam penggunaan antibiotik pada ayam. Oleh karena itu, seorang dokter hewan diharapkan dapat menjamin bahwa daging ayam yang dipasarkan aman dan sehat untuk dikonsumsi.
14
Penggunaan Antibiotik pada Kejadian Campylobacteriosis di Ayam Penularan C. jejuni melalui makanan dapat dikontrol melalui proses sanitasi yang baik. Pengolahan pangan yang tepat mulai dari proses pemotongan diharapkan mampu mengurangi kejadian campylobacteriosis pada manusia. Pencegahan campylobacteriosis pada manusia juga dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik pada ayam. Sebagian besar Campylobacter sp. rentan terhadap
antibiotik,
diantaranya
eritromisin
(Songer
&
Post
2005;
Roasto et al. 2007). Pada suatu kajian mengenai resistensi C. jejuni terhadap beberapa antibiotik di Norwegia, diketahui bahwa C. jejuni rentan terhadap antibiotik golongan quinolone, yaitu eritromisin, gentamisin, enrofloksasin, dan asam nalidiksat. Sedangkan pada oksitetrasiklin dan ampisilin diketahui tingkat resistensi C. jejuni masing-masing sebesar 1.3% dan 4% (Norstrom et al. 2007). Sebuah hasil penelitian di Kanada pada tahun 2005 menunjukkan bahwa, persentase resistensi C. jejuni pada beberapa antibiotik berbeda-beda. Resistensi C. jejuni terhadap ampisilin sebesar 14.3%; asitromisin 17.9%; kloramfenikol 0%; siprofloksasin 3.7%; klindamisin 2.3%; eritromisin 6.7%; gentamisin 0.2%; asam nalidiksat 5.1%; streptomisin 13.6%; dan tetrasiklin 52.6% (Larkin et al. 2006). Tingkat resistensi C. jejuni terhadap antibiotik dari berbagai wilayah berbedabeda. Hal ini berkaitan dengan jenis strain dari isolat C. jejuni dan tingkat penggunaan suatu antibiotik pada wilayah tersebut.
Campylobacter spp. yang masuk ke dalam tubuh tahan terhadap asam lambung dan berkembang di usus kecil. Bakteri ini akan berpenetrasi ke dalam mukosa usus dan menginvasi sel epitel. Invasi jaringan oleh Campylobacter spp. dapat menimbulkan enteritis hemoragi yang menyebabkan terjadinya diare berdarah pada