2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Deskripsi Spiny Lobster (Panulirus spp.)
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Tubuh lobster diselubungi dengan kerangka kulit yang keras dan mengandung zat kapur serta terdapat duri-duri (Gambar 1).
Pada kerangka
terdapat warna-warna yang indah. Duri-duri besar dan kecil yang kuat serta tajam mulai dari ujung sungut kedua (second antenna), kepala, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya (Subani, 1978).
Sumber: http://www.breef.org (22 Desember 2011).
Gambar 1 Morfologi spiny lobster. Menurut Holthuis (1991), lobster yang terkait dengan Genus Panulirus, diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia Phylum: Arthropoda Kelas: Crustacea Ordo: Decapoda
6
Sub Ordo: Macrura Reptantia Super Family: Palinuroidea Family: Palinuridae Genus: Panulirus Spesies: P. argus
P. echinatus
P. guttatus
P. inflatus
P. japonicas
P. longipes (Milne Edwards 1868)
P. ornatus (Fabricius 1798)
P. penicillatus (Olivier 1791)
P. versicolor (Latreille 1804)
P. stimpsoni
P. cygnus
P. gracilis
P. homarus (Linnaeus 1758)
P. interruptus
P. laevicauda
P. marginatus
P. pascuensis
P. polyphagus (Herbst 1793)
P. regius
Menurut Ritonga (2006) lobster memiliki morfologi tubuh yang terbagi dua, yaitu bagian depan dan
belakang.
Bagian depan yaitu kepala yang bersatu
dengan dada disebut cephalothorax (karapas) dan bagian belakang disebut abdomen (ekor) yaitu dari perut hingga ekor. Ciri-ciri morfologi lobster adalah sebagai berikut: 1) Badan besar dan dilindungi kulit keras yang mengandung zat kapur;
7
2) Mempunyai duri-duri keras dan tajam, terutama di bagian atas kepala dan antena atau sungut; 3) Pasangan kaki jalan tidak punya chela atau capit, kecuali pasangan kaki kelima pada betina; 4) Dalam periode pertumbuhan lobster selalu berganti kulit (moulting); 5) Memiliki warna bermacam-macam yaitu, ungu, hijau, merah, dan abu-abu, serta membentuk pola yang indah; 6) Antena tumbuh baik, terutama antena kedua yang melebihi panjang tubuhnya. 2.1.2 Jenis lobster di pantai selatan Jawa dan sebarannya di dunia Perairan Indonesia termasuk daerah penyebaran lobster.
Penyebarannya
sangat luas diperkirakan mencapai 6.799.000 km2 yang tersebar di 21 provinsi. Provinsi-provinsi yang produktif adalah Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perairan wilayah Indonesia bagian barat meliputi perairan barat Sumatra, sebagian selatan Bengkulu, perairan selatan Jawa, dan perairan Bali. Penyebaran lobster di perairan selatan Jawa meliputi Pangandaran, Pamengpeuk, dan Pelabuhanratu (Permatasari, 2006). Menurut Williams (1986), jenis-jenis spiny lobster yang tertangkap di perairan selatan Jawa adalah: 1) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus); 2) Lobster bunga (Panulirus longipes); 3) Lobster mutiara (Panulirus ornatus); 4) Lobster batu (Panulirus penicillatus), 5). Lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus); dan 6) Lobster hijau bambu (Panulirus versicolor). Ciri-ciri khusus lobsteryang hidup di seluruh perairan pantai di Indonesia adalah (Moosa dan Aswandy 1984; Holthuis 1991): 1) Panulirus homarus Linnaeus (1758) Lobster ini disebut Scalloped spiny lobster (Inggris) atau udang karang atau udang barong (Indonesia) (Gambar 2).
Lobster ini mempunyai warna dasar
kehijauan atau kecoklatan dengan dihiasi bintik-bintik terang tersebar di seluruh permukaan segmen abdomen.
Kaki memiliki bercak-bercak putih. Ukuran
panjang tubuh maksimum adalah 31 cm, panjang karapas 12 cm dan rata-rata panjang tubuh antara 20 - 25 cm. Panulirus homarus aktif di malam hari dan
8
hidup berkoloni. Lobster mendiami perairan dangkal antara 1 - 90 m, kebanyakan berada pada kedalaman 1 - 5 m dan tinggal diantara batu-batu, di daerah berombak, kadang-kadang di air agak keruh. Lobster muda mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kekeruhan, sedangkan lobster dewasa lebih menyukai perairan yang jernih dan bersih.
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 2 Panulirus homarus Linnaeus (1758).
Penyebaran secara geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik barat, Afrika Timur ke Jepang, Indonesia, Australia dan Kaledonia Baru. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan pulau Jawa adalah di perairan teluk Pelabuhanratu, Pameungpeuk, Pacitan, Tanjung Panaitan, dan Kepulauan Seribu (Gambar 3).
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran lobster Panulirus homarus di seluruh dunia.
Gambar 3 Penyebaran geografis lobster hijau pasir (Panulirus homarus Linnaeus,1758).
9
2) Panulirus longipes Milne Edwards (1868) Lobster ini disebut Longlegged spiny lobster (Inggris) atau lobster bunga (Indonesia) (Gambar 4). Lobster ini berwarna dasar kecoklatan dengan warna kebiruan pada ruas antenna.
Abdomen
berbintik-bintik putih.
Kaki jalan
berbintik-bintik putih dengan warna pucat memanjang pada tiap-tiap ruas kaki. Ukuran panjang tubuh maksimum adalah 30 cm dengan rata-rata panjang tubuh antara 20 - 25 cm, dan maksimum panjang karapas 12 cm dengan rata-rata panjang karapas antara 8 - 10 cm. Panulirus longipes mendiami tempat yang sedikit terlindung dan menyukai perairan yang bersifat oseanik. Lobsterini tinggal di dalam lubang batu atau karang dan pada malam hari naik ke tubir untuk mencari makan.
Lobster hidup di air yang jernih atau sedikit keruh pada
kedalaman antara 1 - 18 m (meskipun ditemukan juga pada kedalaman perairan 122 m) di daerah berbatu dan terumbu karang, aktif di malam hari dan hidup soliter.
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 4 Panulirus longipes Milne Edwards (1868). Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik barat, Afrika timur ke Jepang dan Polinesia. Dua sub-spesies yang dikenali sebagai P. longipes adalah lobster wilayah barat yang mendiami Afrika timur ke Thailand, Taiwan, Filipina dan Indonesia, sedangkan lobster wilayah timur yang dikenali dengan sub-spesies P. femoristriga mendiami Jepang, Maluku, Papua New Guinea, Australia timur, Kaledonia baru dan Polinesia. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan pulau Jawa adalah di perairan Pangandaran dan Situbondo (Gambar 5).
10
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran lobster Panulirus longipes di seluruh dunia.
Gambar 5 Penyebaran geografis lobster bunga (Panulirus longipes Milne Edwards, 1868). 3) Panulirus ornatus Fabricius (1798) Lobster ini disebut Ornate spiny lobster (Inggris) atau lobster mutiara (Indonesia) (Gambar 6). kekuningan.
Memiliki warna dasar biru kehijauan sampai biru
Segmen abdomen berwarna kegelapan pada bagian tengah dan
bagian sisi mempunyai bercak putih. Kaki memiliki bercak-bercak putih. Lobster ini mendiami perairan dangkal di pantai antara 1 - 8 m yang kadang-kadang sedikit keruh, tetapi juga ditemukan pada kedalaman lebih dari 50 m. Hidup di substrat beasir dan berlumpur, kadang-kadang di bawah batu dan terumbu karang. Lobster ini memiliki ukuran panjang maksimum hingga 50 cm, tetapi biasanya ukurannya jauh lebih kecil, yaitu antara 30 - 35 cm.
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 6 Panulirus ornatus Fabricius (1798).
11
Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik barat dari Laut Merah dan Afrika timur, ke selatan Jepang, Kepulauan Solomon, Papua New Guinea, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji. Tahun 1988, lobster ini ditemukan di pantai timur Israel di Mediterania. Penyebaran lobsterini di wilayah perairan selatan pulau Jawa adalah di perairan teluk Pelabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, dan kepulauan Seribu (Gambar 7).
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus ornatus di seluruh dunia.
Gambar 7 Penyebaran geografis lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius, 1798). 4) Panulirus penicillatus Olivier (1791) Lobster ini disebut pronghorn spiny lobster (Inggris) atau lobster batu (Indonesia) (Gambar 8). Lobster ini berwarna dasar hijau muda sampai hijau kecoklatan. Lobste rjantan biasanya berwarna lebih gelap. Kaki berwarna putih. Mendiami perairan dangkal antara 1 - 4 m dengan substrat berbatu. Kondisi air jernih, tidak dipengaruhi oleh sungai, seringkali dalam zona surfing dan dalam perairan bergelombang. Oleh karena itu sering berada di dekat pantai dan pulaupulau kecil. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup soliter. Panjang tubuh maksimum sekitar 40 cm, panjang tubuh lobster dewasa sekitar 30 cm. Lobster jantan biasanya jauh lebih besar dibandingkan betina.
12
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 8 Panulirus penicillatus Olivier (1791). Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik barat dan Pasifik timur yaitu Laut Merah, timur Afrika ke Jepang, Hawaii, Samoa dan Kepulauan Tuamotu dan lebih ke timur ke pulau-pulau lepas pantai barat Amerika (Pulau Clipperton, Kepulauan Revillagigedo, Pulau Cocos, Kepulauan Galapagos) dan di beberapa daerah dekat pantai Meksiko (Sinaloa, Nayarit dan Guerrero). lobsterini di wilayah perairan selatan pulau Jawa
Penyebaran
adalah di perairan teluk
Pelabuhanratu, Pameungpeuk, Pacitan, dan Tanjung Panaitan (Gambar 9).
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus penicillatus di seluruh dunia.
Gambar 9 Penyebaran geografis lobster batu (Panulirus penicillatus Olivier,1791). 5) Panulirus polyphagus Herbst (1793) Lobster ini disebut mud spiny lobster (Inggris) atau lobster bambu coklat (Indonesia) (Gambar 10). Lobster ini memiliki warna dasar hijau muda kebiruan dengan garis putih melintang terdapat pada setiap segmen. Kaki memiliki bercak-
13
bercak putih. Panulirus polyphagus mendiami perairan yang keruh dan sering ditemukan hidup pada dasar laut yang berlumpur dengan kisaran kedalaman perairan antara 3 - 90 m, tapi biasanya pada kedalaman di bawah 40 m. Panjang tubuh maksimum dapat mencapai 40 cm dengan rata-rata panjang tubuh antara 20 - 25 cm. Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik barat, mulai dari pantai Pakistan dan India hingga Vietnam, Filipina, Indonesia, barat laut Australia dan teluk Papua. Penyebaran lobsterini di wilayah perairan selatan pulau Jawa adalah di perairan teluk Pelabuhanratu, Pameungpeuk, dan Tanjung Panaitan (Gambar 11).
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 10 Panulirus polyphagus Herbst (1793).
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus polyphagus di seluruh dunia.
Gambar 11 Penyebaran geografis lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus Herbst, 1793).
14
6) Panulirus versicolor Latreille (1804) Lobster ini disebut painted spiny lobster (Inggris) atau lobster hijau bambu (Indonesia) (gambar 12). Lobster ini memiliki warna-warni yang indah. Antenna berwarna merah jambu di bagian dasarnya dan warna yang serupa juga terlihat pada bagian sisi karapas. Warna dasar lobsteradalah hijau terang dengan garis putih melintang yang diapit oleh garis hitam. Pada lobsteryang masih muda warna dasarnya adalah kebiruan atau keunguan. Panulirus versicolor mendiami perairan dangkal dari sublitoral hingga ke kedalaman 15 m, di daerah terumbu karang, di perairan yang jernih dan daerah surfing. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup soliter. Panjang tubuh maksimum dapat mencapai 40 cm dan ratarata panjang tubuh adalah kurang dari 30 cm.
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991.
Gambar 12 Panulirus versicolor Latreille (1804). Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik barat, mulai dari Laut Merah dan seluruh pantai timur Afrika, ke selatan Jepang, Mikronesia, Melanesia, Australia utara dan Polinesia. Penyebaran lobsterini di wilayah perairan pulau Jawa adalah di perairan teluk Pelabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, kepulauan Seribu, dan Situbondo (Gambar 13).
15
Sumber: Moosa dan Aswandi, 1984; Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus versicolor di seluruh dunia.
Gambar 13 Penyebaran geografis lobster hijau bambu (Panulirus versicolor Latreille, 1804). 2.1.3 Indera lobster Lobster dapat merespon bubu atau umpan dengan panca inderanya. Lobster mempunyai indera penglihatan dan penciuman yang sangat tajam (Permatasari, 2006).
Walaupun penglihatan secara tidak langsung tidak penting untuk
pergerakan lobster akan tetapi sebagai tambahan untuk pergerakannya pada jarak yang pendek (Cobb & Phillips, 1980). Cobb and Phillips (1980) menjelaskan beberapa alat indera lobster yang dipakai untuk mencari makan, diantaranya: 1) Penglihatan Mata lobster merupakan supeosition type, yang secara khusus ditemukan pada arthropoda dewasa yang aktif pada malam hari, atau hidup di dasar laut. Mata ini terbuka hanya untuk intensitas cahaya yang rendah. Mata lobster bekerja sangat baik untuk mengamati objek dibawah intensitas cahaya yang rendah. Penerimaan bayangan objek pada mata lobster sangat mungkin diperkirakan. Mata lobster ini beradaptasi dengan baik untuk menangkap adanya gerakan. 2) Kemoreseptor Lobster dapat membedakan bau, dan bau yang paling merangsang lobster adalah kombinasi dari beberapa zat kimia. Kemoreseptor ini berupa bulu-bulu organ yang terletak di permukaan antenna utama, antennulus, bagian mulut, dan kaki jalannya.
16
2.1.4 Makanan dan cara makan Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster merupakan hewan nokturnal yang aktif pada malam hari.
Binatang ini keluar atau meninggalkan tempat
persembunyiannya untuk mencari makan, beijah, atau bertelur yang umumnya dilakukan pada waktu terjadi perubahan kekeruhan air. Lobster memangsa organisme dasar, yaitu binatang-binatang kecil, seperti krustasea kecil, ikan, cacing, gastropoda, dan bangkai binatang yang sangat tergantung pada kondisi perairan. Makanan lainnya adalah ikan dan sejenis hewan lain yang mengandung protein dan lemak. Lobster menggunakan kukunya yang lancip untuk mencengkram mangsanya dan kemudian dimasukkan ke dalam mulut (Subani, 1978). Mata bertangkai lobster digunakan hanya untuk melihat jarak-jarak pendek, karena keruhnya daerah pinggiran pantai yang mengakibatkan mata tidak bisa berfungsi secara penuh dan sangat mempengaruhi jarak pandang (Cobb and Phillips, 1980). Shelton dan Laverack (1970) dalam Cobb and Phillips (1980) menerangkan tingkah laku lobster saat pertama kali mendeteksi zat terlarut yang terbawa oleh arus, yaitu menyatukan antennulae-nya secara cepat (perilaku ini bertujuan untuk memperjelas reseptor dan membukanya terhadap volume air yang lebih besar, serta mempertinggi respon dari sel kemoreseptor). Diikuti dengan gerakan maxilliped (tungkai maksila yang berfungsi sebagai alat bantu makan) dengan penuh semangat saat konsentrasi kimia dari makanan yang dideteksi meningkat.
Respon terbesar dari lobster adalah ketika menerima bermacam-
macam gabungan bau organik. 2.1.5 Habitat spiny lobster secara umum Secara umum habitat spiny lobster memiliki karakteristik yang sama, baik jenis lobster yang berada di pantai selatan Jawa dan sebarannya di dunia. Habitat lobster adalah daerah-daerah yang banyak terdapat karang-karang, terumbu karang, batuan granit, atau batuan vulkanis (Subani, 1983). Umumnya mereka hidup pada tempat yang dalam dan bersembunyi di sarangnya yang berupa celah dan lubang-lubang karang pada siang hari.
Pada malam hari akan menuju
17
perairan yang lebih dangkal sampai kedalaman 1 meter untuk mencari makan (Direktorat Jendral Perikanan, 1989). Umumnya lobster tidak menyukai tempat-tempat terbuka dan perairan yang arusnya kuat. Tempat yang disukai lobster adalah perairan yang tenang, tempattempat yang terlindung dari arus dan gelombang yang kuat, serta memiliki dasar berupa pasir atau pasir berkarang (Budiharjo, 1981 dalam Ritonga, 2006). 2.2
Alat Tangkap Kegiatan penangkapan lobster di Indonesia masih menggunakan teknologi
alat tangkap sederhana (tradisional) dengan usaha penangkapan sekala kecil. Operasi penangkapan dilakukan dengan menggunakan perahu bercadik, mesin penggerak mengunakan kombinasi motor tempel dengan layar (Zulkarnain, 2011). Nelayan tradisional identik dengan perikanan pesisir dengan berbagai macam alat yang mereka ciptakan sendiri di antaranya adalah perangkap yang terdiri dari beragam jenis. Menurut Subani dan Barus (1989), alat-alat yang termasuk ke dalam kategori perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers) adalah semua alat tangkap yang bersifat sebagai jebakan. Alat tangkap seperti ini bersifat pasif, dibuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), misalnya bubu (fish pot), sero (guiding barrier), dan lain-lain. Alat-alat tersebut baik dipasang dengan batasan waktu tertentu atau temporer, semi permanen maupun secara permanen, diapungkan atau dihanyutkan, ikan-ikan teerangkap karena tertarik oleh umpan maupun tidak. Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan.
Variasi bentuknya banyak sekali, hampir setiap daerah perikanan
memiliki bentuk model sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti sangkar (cage), silinder (cylindrical), gendang, segitiga, memanjang, kubus, atau segi banyak (polygon), bulat setengah lingkaran dan lain-lain. Secara garis besar bubu terdiri dari bagian badan (body), mulut (funnel).
Badan berupa rongga atau ruang
dimana tempat ikan terkurung. Mulut bubu berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tetapi dipersulit bahkan tidak dapat keluar. Bubu terbagi menjadi tiga jenis berdasakan atas daerah dioperasikannya, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut.
Bubu dasar adalah bubu yang
18
dioperasikannya di daerah dasar perairan, bubu diberi pemberat secukupnya agar tenggelam dan tidak mudah teengaruh arus.
Bubu apung adalah bubu yang
dioperasikan di atas permukaan air, bubu dapat mengapung karena diberi pelampung atau berupa rakit dari bambu, dan disesuaikan supaya tidak hanyut. Bubu hanyut, prinsipnya sama seperti bubu apung, hanya saja bubu ini dibiarkan hanyut mengikuti arus. Menurut Mallawa dan Sudirman (2004), bubu terdiri dari tiga bagian utama yaitu, badan bubu, lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu. Bubu
biasanya
digunakan
oleh
nelayan
untuk
menangkap
dan
mempertahankan kualitas target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller, 1990 dalam Zulkarnain, 2011). Selain itu bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan yang tidak layak atau di bawah ukuran ekonomis bisa dilepaskan kembali ke alam tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan atau by-catch dan mempunyai dampak minimum terhadap kerusakan dasar perairan. Menurut Zulkarnain (2011), sementara ini di Indonesia penggunaan bubu untuk menangkap lobster secara komersial belum banyak dilakukan, karena bubu yang digunakan oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan, dan kepiting bakau. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, di mana alat tangkap bubu merupakan alat tangkap utama untuk menangkap lobster dan telah berkembang menjadi usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Namun bubu yang mereka gunakan umumnya berukuran besar panjang x lebar x tinggi adalah (1 - 1,2 m) x (0,6 - 0,8 m) x (0,4 - 0,6 m), bentuknya masif atau besar, kaku dan terlalu berat, sangat sulit untuk digunakan di perahu berukuran kecil seperti yang digunakan nelayan tradisional Indonesia. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan selama ini tidak memperhatikan efektivitas dari alat tangkap bahkan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan atau merusak alam tempat di mana alat tersebut dioperasikan yang merupakan habitat bagi lobster atau ikan tujuan penangkapan dan banyak menangkap atau membunuh hewan lain yang bukan menjadi target penangkapan.
19
Menurut Zulkarnain (2011) efektivitas pada alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan.
Tujuan tersebut dimaksudkan harus
mempertimbangkan adanya upaya menjaga keberlangsungan sumber daya perikanan, yaitu penggunaan teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). 2.2.1 Hasil tangkapan Hasil tangkapan utama bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, dan udang kualitas baik, seperti kwe (Caranx spp.), baronang (Siganus spp.), kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lutjanus spp.), kakatua (Scarus spp.), ekor kuning (Caesio spp.), ikan kaji (Diagramma spp.), lencam (Letlrisnus spp.), udang paneid, udang barong (lobster), dan lain-lain (Subani dan Barus, 1989). Ikan-ikan yang menjadi target utama penangkapan biasanya ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti, rajungan, lobster, kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lutjanus spp.) dan lain-lain. Ikan-ikan tersebut memiliki harga yang tinggi, permintaan yang banyak karena rasanya yang enak. Permintaan hasil tangkapan yang segar dan bahkan masih hidup merupakan tantangan yang besar bagi nelayan.
Bubu adalah salah satu alat tangkap yang ideal untuk memenuhi
permintaan tersebut, karena ikan-ikan yang tertangkap pada bubu, tidak mengalami kerusakan atau kecacatan, sebagian besar masih hidup. Seekor lobster akan memiliki harga penuh atau tinggi berdasarkan ukuran dan kualitas, jika masih dalam keadaan hidup dan tidak ada bagian tubuhnya yang lepas.
Kecacatan sebagian besar karena alat tangkap dan penanganan.
Jika
lobster tertangkap pada jaring, kemungkinan lobster tersebut mati karena tercekik dan terbelit, bagian-bagin tubuh seperti kaki-kaki dan antenanya rentan sekali lepas dari badannya, dan pada saat pengambilan hasil tangkpan dari alat tangkap akan sangat sulit, hasil tangkapan akan rusak parah dan nelayan tidak akan mendapatkan harga yang diingainkan, kecuali nelayan tersebut mau merusak jaring atau alat tangkapnya demi mempertahankan keutuhan atau mutu hasil tangkapan.
20
Menurut Gasperz (1992) mutu adalah totalitas keistimewaan dan karakteristik suatu produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan tertentu.
Mutu adalah hal yang
berkaitan dengan kepuasan konsumen. Jika mutu bagus konsumen tidak akan takut untuk mengeluarkan biaya yang mahal untuk mendapatkannya. 2.3
Umpan Salah satu faktor penting masuknya ikan kedalam perangkap adalah umpan.
Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori, 1985). Menurut Martasuganda (2008), proses teerangkapnya ikan, udang dan kepiting ke dalam bubu antara lain dikarenakan oleh faktor sebagai berikut: 1) Biota perairan mencari makan atau dalam perjalanan beindah tempat, mencium bau umpan, mendekati atau menuju ke arah datangnya bau umpan, menyentuh bubu, mencari jalan untuk memasuki bubu, menemukan pintu masukkemudian memasuki bubu (teerangkap); 2) Biota perairan dalam perjalanan beindah tempat, kemudian menemukan bubu, study action, menemukan pintu masuk kemudian memasuki bubu; 3) Dalam perjalanan beindah tempat, kemudian menemukan bubu, thigmotaxis, menemukan pintu masuk kemudian memasuki bubu; 4) Dalam perjalanan beindah tempat, kemudian menemukan bubu, menemukan pintu masuk kemudian memasuki bubu dijadikan tempat berlindung; 5) Dalam perjalanan beindah tempat, kemudian menemukan bubu, menemukan pintu masuk kemudian memasuki bubu dijadikan sebagai shelter. Menurut Leksono (1983) diacu dalam Riyanto (2008), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif umpan yaitu: 1) Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada; 2) Umpan dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan; 3) Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik;
21
4) Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah dalam penanganannya; dan 5) Biaya Pengadaan relatif murah. Djatikusumo (1975) diacu dalam Riyanto (2008) menyatakan bahwa umpan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Tahan lama (tidak cepat busuk); 2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan; 3) Mempunyai bau yang spesifik untuk merangsang ikan datang; 4) Harga terjangkau; 5) Mempunyai ukuran memadai; dan 6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Umpan yang biasa digunakan dalam pengoperasian krendet berupa potongan-potongan ikan rucah, jenis moluska, pelecypoda, kekerangan, bulu babi, teripang, dan jenis hewan lain yang banyak mengandung protein, lemak, dan kitin (chitine). Ada juga yang menggunakan bau dari kelapa yang dibakar untuk menarik lobster atau ikan-ikan untuk memasuki perangkap (Febrianti, 2000). Menurut Ryanto (2008) kandungan alanin, glisin, prolin, tirosin, phenilalanin, lisin, dan histidin serta triptophan dan valin pada asam amino, diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan ikan. 2.3.1 Umpan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Jenis umpan ikan tembang sudah lazim digunakan oleh nelayan dalam operasi penangkapan menggunakan perangkap seperti bubu. Ciri khas ikan tembang adalah bentuknya yang memanjang, perut agak menipis, dengan sisi perut tajam, dengan sisi-sisi duri yang menonjol. Warna badan bagian atas biru kehijauan, sedangkan bagian bawah putih keperakan (Gambar 14).
Ikan ini
mempunyai sisik yang khas yaitu bagian belakang sisik yang berjumbai (fimbriated). Di wilayah Indonesia ikan tembang tersebar di seluruh perairan (Dwipongo, 1982 dalam Munzilin, 2000). Ikan tembang mengandung beberapa komposisi kimia yang dibutuhkan sebagai umpan seperti yang tertera pada Tabel 1.
22
Sumber : www.fishbase.us.
Gambar 14 Ikan tembang (Sardinella fimbriata). Tabel 1 Komposisi kimia ikan tembang (Sardinella fimbriata) per 100 gr Komposis Energi Air Protein Lemak Kalsium (Ca) Fosfor (P) Besi (Fe) Sumber : Hardiansyah (1990).
Jumlah 204 Kal 56 gr 16 gr 15 gr 20 mg 200 mg 2 mg
Berikut klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984): Pilum: Chordata Sub Filum: Vertebrata Kelas: Pisces Sub kelas: Teleostei Ordo: Malacopterygii Sub ordo: Clupeiformes Genus: Sardinella Spesies: Sardinella fimbriata 2.3.2 Umpan alternatif cacing tanah (Lumbricus rubellus) Cacing tanah menjadi umpan alternatif
karena cacing tanah memiliki
kandungan asam amino paling lengkap dan protein yang merupakan kandungan kimia yang merangsang napsu makan ikan. Cacing tanah Lumbricus rubellus berasal dari Eropa, sehingga sering dikenal dengan sebutan cacing Eropa atau cacing introduksi. Di Indonesia, cacing ini disebut juga dengan nama cacing Jayagiri (Gambar 15). Cici-ciri fisik cacing ini yaitu bentuk tubuh gilig dengan
23
bagian ventral pipih, panjang tubuh 7,5 - 10 cm, warna tubuh bagian punggung (dorsal) coklat cerah sampai ungu kemerahan, warna tubuh bagian ventral krem, dan bagian ekor kekuningan, jumlah segmen 95 - 100, klitelum berbentuk sadel dan menonjol, jumlah segmen pada klitelum antara 6 - 7 segmen yang berada pada segmen ke 27 - 32, lubang kelamin jantan terdapat pada segmen ke 14 dan lubang kelamin betina pada segmen ke 13, bergerak kurang aktif dan kadar air berkisar antara 70 -78 % (Rukmana, 1999).
Sumber : Kumolo, 2011. Hal 10.
Gambar 15 Anatomi cacing tanah (Lumbricus rubellus). Secara umum, cacing tanah memiliki sifat hermafrodit biparental, nocturnal, peka terhadap cahaya, sentuhan, dan getaran. Tidak memiliki klitelum, tidak memiliki gigi dan rentan terhadap berbagai jenis minyak dan deterjen (Palungkun 1999). Hagner dan Engemann (1968) mengklasifikasikan cacing tanah L. rubellus sebagai berikut: Kingdong: Animalia Divisi: Vermes Filum: Annelida Kelas: Oligochaeta Ordo: Opisthopora Family: Lumbricidae Genus: Lumbricus Spesies: rubellus
24
Cacing L. rubellus telah dimanfaatkan secara luas untuk berbagai keperluan, seperti: penghasil pupuk organik; bahan pakan ternak dan ikan; umpan pancing; bahan baku obat dan kosmetik; dan bahan baku makanan dan minuman. Cacing dapat dijadikan bahan baku untuk pakan ternak dan ikan sehubungan dengan kandungan protein yang tinggi (64 – 76 %). Kandungan gizi lainnya yaitu mengandung lemak (7 – 10 %), Ca (0,55 %), P (1 %), dan serat kasar (1,08 %) (Palungkun, 1999).
Kandungan gizi yang terkandung dalam cacing tanah
(Lumbricus rubellus) sebagai berikut tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2 Tabel kandungan gizi cacing tanah (Lumbricus rubellus) Zat Gizi Protein Asam amino esensial Arginin Histidin Isoleusin Lisin Leusin Asam amino esensial Metionin Fenilalanin Treonin Valin Asam amino nonesensial Sistin Glisin Serin Tirosin Lemak Serat kasar Fosfor (P) Kalsium (Ca)
Komposisi (%) 64 - 76 4,13 1,56 2,58 4,84 4,33 2,18 2,25 2,95 3,10 2,29 2,92 2,88 1,36 07-Oct 1,08 1,00 0,55
Sumber: Palungkun, 1999.
Menurut Kumolo (2011) berkat kandungannya tersebut cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang, dan kodok. Sedangkan menurut penelitian para ahli, cacing tanah bisa dijadikan bahan pangan ternak dan ikan. Kandungan protein cacing tanah lebih tinggi dari tepung ikan. Kandungan asam aminonya juga paling lengkap, tidak berlemak, mudah dicerna, dan tidak bertulang sehingga seluruh jasadnya dipakai. Penelitian sebelumnya
25
menunjukkan bahwa ekstrak cacing L. rubellus mengandung berbagai jenis enzim pada
substrat
tertentu
antara
lain
yaitu,
protease,
α-amilase,
lipase,
amiloglukosidase, kitinase, dan selulase (Subandrio, 2004). 2.3
Analisis Statistika Transformasi
akar
kuadrat
biasanya
digunakan
untuk
data
yang
mengandung semua nilai-nilai yang kecil, misalnya data yang diperoleh melalui penghitungan kejadian-kejadian yang jarang. Untuk data ini, ragam cenderung menjadi proporsional terhadap nilai tengah.
Transformasi ini juga cocok
digunakan untuk data persentase dengan wilayah data berkisar antara 0 – 30 %. Jika sebagian besar data bernilai kecil, khususnya bernilai nol, maka transormasi yang digunakan adalah (Y + ½)1/2 (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
3 METODOLOGI 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Agustus 2011 sampai dengan September 2011,
di Sanggrawayang, Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi penelitian (fishing ground) yaitu di beberapa lokasi pesisir, di antaranya dusun di sekitar Desa Kertajaya, yaitu Dusun Sanggrawayang, Pamipiran, Cisaar, dan Cipendei.
3.2
Alat dan Bahan Penelitian yang dilakukan dengan uji coba penangkapan memerlukan unit
alat tangkap sebagai alat utama dalam penelitian dan alat dan bahan lain sebagai pendukung (Tabel 3). Bubu lipat rajungan (bubu standar) adalah bubu yang dijadikan acuan untuk dimodifikasi, dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat rajungan yang biasa dioperasikan di Indonesia (Gambar 16). Ukuran bubu lipat standar yang digunakan nelayan untuk penangkapan rajungan adalah 50 cm x 30 cm x 20 cm (p x l x t).
Sumber: Zulkarnain, 2012.
Gambar 1 Konstruksi bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar. Selain bentu konstruksi bubu, modifikasi yang diterapkan adalah penggunaan plastik berupa kisi-kisi pada funnel (Gambar 19). Bubu lipat modifikasi terdiri dari bubu lipat modifikasi pintu samping dan pintu atas (satu pintu). Berikut spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu samping (Tabel 4 dan Gambar 17) dan pintu atas (Tabel 5 dan Gambar 18).
27
Tabel 1 Alat dan bahan penelitian No
Alat dan bahan
Spesifikasi
Kegunaan
Panjang 8,5 m, depth 40 cm, lebar 90 cm. Panjang 60 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 30 cm. Frame besi galvanis diameter 6 mm. Cover net PE mesh size 1,5 inci 210 D/18.
Media angkut dan transportasi penelitian Pengambilan data hasil tangkapan
Umpan standar Menempatkan umpan pada bubu Penanda lokasi perendaman bubu Merangkaikan bubu dalam system longline
1
Perahu
2
3
Alat tangkap bubu lipat 18 buah: 6 buah bubu lipat rajungan sebagai bubu S (Standar), 6 buah bubu PS (Pintu Samping) dan 6 buah bubu PA (Pintu Atas). Tembang (segar)
4
Cacing tanah (hidup)
3-4 ekor pada masingmasing bubu Berat ± 50 gr/kantong/bubu
5
Kantong umpan
Kawat kasa
6
Pelampun tanda
7
Tambang
8
Timbangan
Plastik diameter 30 cm dan 20 cm Tali pelampung 50 m dan 20 m, tali utama 154 m, dan tali cabang 3 m sebanyak 18. Kapasitas 2 kg dan 5 kg
9
Penggaris dan jangka sorong
Skala 30 cm dan 20 cm
10
Perkakas
11
Alat tulis
Tang, pisau, gunting, coban, jarum dan lain-lain Spidol, pulpen, kertasHVS dan lain-lain.
12
Kamera digital
13
Laptop/PC
10 MP
Umpan alternatif
Pengukuran berat (gram) hasil tangkapan Pengukuran panjang karapas, panjang total hasil tangkapan Memperbaiki alat yang rusak Mencatat data hasil tangkapan yang dibutuhkan Dokumentasi kegiatan Menyimpan dan mengolah data
Tabel 2 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu samping No. 1 2 3 4 5
6 7
Bagian Konstruksi Nama: Bentuk bubu Ukuran bubu Jumlah pintu masuk Jenis Modifikasi:
Bingkai (frame) Badan jaring (cover net)
Sumber: Zulkarnain, 2012
Spesifikasi Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping (PS) Persegi panjang (box type) 60 cm x 45 cm x 30 cm (p x l x t) 1 pintu; pintu samping - Ukuran bubu lebih besar dibanding bubu yang biasa dioperasikan nelayan; - Slope net (sudut kemiringan pintu masuk) atas dan bawah : 22,5o; - Ukuran pintu masuk cukup lebar; - Terdapat modifikasi berupa plastik berbentuk kisi-kisi pada pintu masuk bubu yang lebih menyulitkan hasil tangkapan untuk lolos; - Sumbu lipatan bubu terletak 20 cm dari bagian depan bubu; - Ruang dalam bubu lebih besar. Besi galvanis, diameter 6 mm PE mesh size 1,5 inci, 210 D/18
28
Gambar 2 Bubu lipat modifikasi pintu samping. Tabel 3 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu atas N o. 1 2 3 4 5
Bagian Konstruksi
Spesifikasi
Nama: Bentuk bubu Ukuran bubu Jumlah pintu masuk Jenis Modifikasi:
6 7
Bingkai (frame) Badan jaring (cover net)
Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas (PA) Trapesium (Trapezoidal Type) 60 cm x 45 cm x 30 cm (p x l x t) 1 pintu ; pintu atas - Ukuran bubu lebih besar dibanding bubu yang biasa dioperasikan nelayan; - Slope net (sudut kemiringan pintu masuk): 70o; - Ukuran pintu masuk cukup lebar; - Terdapat modifikasi berupa plastik berbentuk kisikisi pada pintu masuk bubu yang lebih menyulitkan hasil tangkapan untuk lolos; - Sumbu lipatan bubu terletak 15 cm (center) dari bagian depan bubu; - Ruang dalam bubu lebih besar. Besi galvanis, diameter 6 mm PE mesh size 1,5 inci, 210 D/18
Sumber: Zulkarnain, 2012
Gambar 3 Bubu lipat modifikasi pintu atas.
29
Gambar 4 Kantong umpan dan kisi-kisi pada funnel. 3.3
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode uji coba penangkapan (experimental
fishing). Operasi penangkapan dilakukan satu kali dalam satu hari selama kurang lebih 12 jam perendaman (soaking), yaitu setting pada sore hari sekitar pukul 16.30 WIB, dan hauling pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB. Bubu dioperasikan dengan metode longline yaitu dengan panjang tali utama 154 m, rangkaian bubu dipasang dengan jarak masing-masing 8 m, dengan panjang tali cabang 3 m. Jarak antara bubu pertama dengan ujung-ujung tali utama adalah 5 m, pada kedua ujung tali utama diikatkan jangkar atau pemberat dari batu dan tali pelampung tanda yang disesuaikan dengan kedalaman daerah operasi, dalam hal ini dipersiapkan tali pelampung dengan panjang 20 m dan 50 m. Penempatan umpan pada jenis bubu ditentukan dengan urutan ganjil dan genap nomor jenis bubu, pada jenis bubu dengan kode bubu ganjil maka digunakan jenis umpan ikan, sedangkan jenis bubu dengan kode angka genap digunakan jenis umpan cacing tanah. Jadi dari masing-masing jenis bubu S, PS, dan PA memiliki masing-masing tiga bubu dengan jenis umpan ikan tembang dan tiga bubu dengan jenis umpan cacing tanah. Pemasangan umpan pada bubu dilakukan dengan dua cara, yaitu pada jenis umpan ikan, badan ikan ditusukkan pada besi yang khusus untuk pemasangan umpan yang berada di tengah-tengah bagian dalam bubu, digunakan sebanyak tiga sampai lima ekor tergantung dengan ukuran ikan. Sedangkan umpan cacing, umpan dimasukkan ke dalam kantong umpan yang terbuat dari kawat kasa.