4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai ciri-ciri morfologi berbadan
panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein cukup tinggi, rasa dagingnya enak, lezat, dan gurih (Saanin 1984). Ikan patin merupakan ikan konsumsi budidaya air tawar unggulan dari famili Pangasidae yang dikenal dengan nama lokal patin, jambal atau pangasius. Morfologi ikan patin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999).
Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidei
Famili
: Schilbeidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius sp.
5
2.2
Enzim Enzim ialah protein yang mengkatalisis reaksi-reaksi biokimia. Enzim
biasanya terdapat dalam sel dengan konsentrasi yang sangat rendah, selain itu juga enzim mempunyai kemampuan untuk meningkatkan laju reaksi tanpa mengubah posisi kesetimbangan (Kuchel dan Gregory 2006). Enzim ikut mengambil bagian dalam seluruh aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, seperti sintesis dan penguraian, ekskresi, detoksifikasi, dan penyediaan energi (Shinya 2008). Enzim bekerja dengan dua cara, yaitu menurut Teori Kunci-Gembok (Lock and Key Theory) dan Teori Kecocokan Induksi (Induced Fit Theory). Menurut teori kunci-gembok, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim karena adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif (active site) dari enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci masuk ke dalam situs aktif, yang berperan sebagai gembok, sehingga terjadi kompleks enzim-substrat. Pada saat ikatan kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula (Stenes 1998). Teori induksi enzim, menekankan enzim melakukan penyesuaian bentuk untuk berikatan dengan substrat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kecocokan dengan substrat dan membuat ikatan enzim substrat lebih reaktif. Molekul enzim memiliki sisi aktif tempat melekatnya substrat dan terbentuk molekul kompleks enzim-substrat. Pengikatan substrat oleh enzim yang sesuai dapat mendorong terbentuknya molekul kompleks enzim-substrat (Chang 2003).
2.3
Katepsin Protease merupakan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida
pada protein. Enzim ini untuk melakukan aktivitasnya membutuhkan air sehingga dikelompokkan dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler. Selain diperlukan untuk degradasi protein nutrien, enzim protease terlibat dalam sejumlah mekanisme patogenisitas, proses koagulasi darah, proses sporulasi, diferensiasi, sejumlah proses pasca translasi protein dan mekanisme ekspresi protein ekstraseluler (Rao et al. 1998). Protease secara umum dibagi dalam dua golongan yaitu proteinase dan peptidase. Proteinase
6
mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis fragmen polipeptida menjadi asam amino (Suhartono 1992). Dilihat dari letak pemutusan ikatan peptida, protease dibedakan menjadi endopeptidase atau proteinase (EC 3.4.21-99) dan eksopeptidase (EC 3.4.11-21). Endopeptidase memutuskan ikatan peptida yang berada di dalam rantai protein sehingga
dihasilkan
peptida
dan
polipeptida,
sedangkan
eksopeptidase
menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida. Berdasarkan sifat kimia dan sisi aktifnya dikenal empat golongan proteinase yaitu serin (EC 3.4.21), sistein (EC 3.4.22), aspartat (EC 3.4.23), dan metallo endopeptidase (EC 3.4.24) (Otto dan Schirmeister 1997). Sistein protease merupakan kelompok besar enzim, termasuk katepsin lisosomal dan kalpain. Secara
fisiologis,
sistein proteinase mempunyai
peranan penting pada
metabolisme protein dan sebaliknya. Selain itu, sistein proteinase juga dihubungkan dengan aktivitas berbagai prohormon, proenzim, dan peptide (Hultmann 2003). Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan termasuk ikan. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan otot ikan, katepsin, dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel subseluller dan dibagi dalam dua tempat, yaitu pada serabut otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein (Salleh et al. 2006). Katepsin juga ditemukan pada lisosom dan sel fagosit (Carreno 2000). Katepsin dikenal sebagai famili endopeptidase dan atau famili eksopeptidase. Sebagian besar katepsin bekerja optimal pada pH asam walaupun beberapa diantaranya aktif pada pH netral (Haard dan Simpson 2000). Katepsin B ditemukan secara luas pada lisosom. Katepsin B dapat diisolasi dari beberapa spesies mamalia dan berbagai jaringan, seperti limpa, liver, kelenjar paratiroid, dan otak. Katepsin B adalah glikoprotein dengan jumlah manosa yang sangat rendah atau rendah. Katepsin H dan katepsin L ditemukan lebih banyak dibandingkan katespin B. Ketiga enzim ini dipurifikasi bersama melalui beberapa tahap sampai mereka terpisah oleh kromatografi pertukaran ion. Metode yang
7
lebih efisien, yakni kromatografi afinitas disesuaikan untuk mempurifikasi katepsin B (Polgar 1990). Katepsin C merupakan salah satu enzim lisosom. Katepsin C dapat mendegradasi kolagen dan dapat mencerna lebih lanjut fragmen‐ fragmen peptide yang dihasilkan dari aktivitas katepsin D (Park 2005). Katepsin D pertama kali ditemukan pada jaringan otot daging oleh Siebert, kemudian diindentifikasikan oleh Mekinodan dan Ikeda pada tahun 1965. Katepsin D dipercaya berperan dalam pendegradasian secara signifikan pada tekstur selama penyimpanan dingin. Katepsin D juga dilaporkan merupakan salah satu katepsin penting dalam pelunakan pada post‐mortem karena katepsin D menyerang secara langsung protein pada otot yang akan menghasilkan peptida yang dapat dipecah lebih lanjut oleh katepsin lainnya (Park 2005). Katepsin B dan katepsin L keduanya merupakan sistein proteinase yang kemungkinan paling penting dalam kemunduran tekstur daging (Aoki et al. 2000). Aktivitasnya berbeda beda tiap spesies ikan. Aktivitas optimum dilaporkan pada suhu 40-50 °C dan aktivitasnya menurun dengan penurunan suhu. Katepsin secara umum bekerja pada pH 3-4 walaupun beberapa katepsin juga mempunyai aktivitas tinggi pada pH 6-6,5 (Kolodziejska dan Sikorsi 1996). Aktivitas katepsin akan memberikan pengaruh pada tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak. Daging yang melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000). Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas molekuler dengan subtrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponim serta dalam pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin H lebih toleran terhadap medium yang bersifat alkali dibandingkan katepsin B (Elisabeth 1994). Karakteristik berbagai jenis enzim katepsin disajikan pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Karakteristik katepsin A-L yang ditemukan pada otot Enzim
Grup fungsional
pH optimum
Target protein
A
Berat molekul (kDa) 100
-OH
5,0-5,2
Dampaknya sedikit pada protein
B1
25
-SH
5,0
Miosin, aktin, dan kolagen
B2
47-52
-SH
5,5-6,0
Spesifiknya luas
C
200
-SH
5,0-6,0
Dampaknya sedikit pada protein
D
42
-COOH
3,0-4,5
Miosin, aktin, titin, nebulin, M- dan C- protein
E
90-100
-COOH
2,0-3,5
Dampaknya sedikit pada protein
H
28
-SH
5,0
Miosin dan aktin
L
24
-SH
3,0-6,5
Miosin, aktin, kolagen, α- aktinin, dan troponin
Sumber: Choi et al. (2005)
2.4
Inhibitor Protease Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan laju
rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor protein alami lebih dari 100 jenis telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah disintesis. Inhibitor proteinase memiliki berbagai macam bentuk dan sering dikelompokkan berdasarkan mekanisme reaksinya dan kesamaan teksturnya. Inhibitor enzim proteinase dibagi menjadi tiga kelas, pertama adalah inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah yang melibatkan selektifitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase (Creghton 1989 diacu dalam Wijaya 2005). Molekul enzim dapat kehilangan aktivitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi dan perubahan konfirmasi protein. Hambatan atau inhibisi pada suatu reaksi yang menggunakan enzim sebagai katalis dapat terjadi apabila penggabungan substrat
9
pada bagian aktif enzim mengalami hambatan. Molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor (Lehninger 1993). 2.4.1
Inhibitor protease sistein Aktivitas proteinase sistein dapat diatur dan dihambat secara endogenous,
melalui inhibitor alami maupun melalui pengikatan sistein pada kondisi lingkungan tertentu seperti pH dan agen pengkelat. Jika sistem kontrol pada lingkungan proteinase tidak seimbang maka akan menyebabkan kerusakan serius. Kebanyakan patogen mempunyai proteinase sistein sendiri untuk menginvasi inangnya (Hultmann 2003). Interaksi antara protease sistein dan inhibitornya telah menjadi tujuan beberapa penelitian pada dua dekade ini. Spesifik inhibitor dari protease sistein sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya proteolisis yang destruktif. Pengertian yang mendalam pada interaksi proteinase sistein dan inhibitornya yang dapat memberikan informasi penting untuk mengontrol aktivitas proteolitik (Hultmann 2003). Proteinase sistein inhibitor dari hewan dan mamalia berupa sistatin yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu stefin, sistatin, dan kininogens. Pada umumnya semua protease sistein mempunyai stabilitas yang besar terhadap suhu tinggi (sampai 100 oC) dan pH yang ekstrim (LMW-CPls pH 2-12, kininogens pH 5-12) maupun spesifitasnya pada protease sistein (Otto dan Schirmeister 1997). Sistatin adalah protease sistein inhibitor yang secara luas tersebar pada jaringan hewan dan cairan tubuh. Sistatin diklasifikasikan dalam tiga kelompok berdasarkan struktur molekulnya. Kelompok I sistatin kekurangan ikatan disulfida seperti sistatin A, B dan rat cystatin β. Kelompok II sistatin yang mempunyai karakteristik dua ikatan disulfida, seperti human cystatin, chicken cystatin, dan rat cystatin. Kelompok I dan II ini mempunyai berat molekul 10-20 kDa. Kelompok III sistatin adalah kininogens yang mempunyai rantai tunggal glikoprotein yang mengandung 3 domain like cystatin dengan berat molekul 68 sampai 120 kDa (Oliviera et al. 2003 ; Ustadi et al. 2005). Inhibitor endogenous dari proteinase sistein, yaitu sistatin telah dilaporkan dapat bereaksi sebagai agen pertahanan melawan bakteri, virus dan hama. Salah satu sistatin yang ditemukan dari kulit tikus dan juga pada manusia. Lingkungan tempat ikan hidup yang penuh dengan
10
patogen dapat memungkinkan juga kulit ikan mengandung mekanisme pertahanan nonspesifik (Hultmann 2003). 2.4.2 Mekanisme kerja inhibitor protease Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu hambatan tidak dapat balik (irreversible) dan hambatan dapat balik (reversible). Hambatan tidak dapat balik pada umumnya disebabkan oleh terjadinya proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus atau lebih yang terdapat pada molekul enzim inhibitor (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor tidak dapat balik atau disebut juga inactivator, selalu mengikat enzim secara kovalen (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik (reversible) biasanya merupakan interaksi non kovalen antar enzim dan inhibitor (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik terdiri dari hambatan bersaing (kompetitif) dan tidak bersaing (non kompetitif). Hambatan bersaing disebabkan karena ada molekul yang mirip dengan substrat, yang dapat pula membentuk kompleks, yaitu kompleks enzim inhibitor (EI). Pembentukan kompleks EI ini sama dengan pembentukan kompleks ES (enzim substrat), yaitu melalui penggabungan inhibitor dengan enzim pada bagian aktif enzim, sehingga persaingan antara inhibitor dengan substrat terhadap bagian aktif enzim. Inhibitor bersaing menghalangi terbentuknya kompleks ES dengan cara membentuk kompleks EI. Berbeda dengan kompleks ES, kompleks EI tidak dapat membentuk produk (P). Ciri inhibitor kompetitif ini adalah penghambatan dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat (Lehninger 1993). Hambatan non kompetitif tidak dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi substrat dan inhibitor yang melakukannya. Inhibitor ini dapat bergabung dengan enzim pada suatu bagian enzim di luar bagian aktif. Penggabungan antara inhibitor dengan enzim ini terjadi pada enzim bebas atau pada enzim yang telah mengikat substrat, yaitu kompleks enzim-substrat. Penggabungan inhibitor dengan enzim bebas menghasilkan kompleks EI, sedangkan penggabungan dengan kompleks ES menghasilkan kompleks ESI (enzim substrat inhibitor). Baik kompleks EI maupun ESI bersifat inaktif, sehingga kedua kompleks tersebut tidak dapat menghasilkan produk reaksi yang diharapkan (Lehninger 1993).
11
2.5
Pemekatan Inhibitor dan Enzim Katepsin Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan laju
rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor enzim proteinase berupa protein. Keuntungan dari penggunaan sistein ini adalah penyeimbang sistem kontrol pada suatu enzim dan memberikan informasi penting untuk mengontrol aktivitas proteolitik (Winarno 2010). Pemekatan dilakukan untuk memisahkan konsentrat protein dari komponen biomolekul lainnya seperti karbohidrat, lipid, dan asam nukleat. Berbagai metode pemekatan yang lazim digunakan dalam pemurnian enzim, yaitu pelarut organik, presipitasi dengan garam, polimer, dialisis, ultrafiltrasi, dan liofilisasi (Rosenberg 1996). Metode pemekatan yang lazim digunakan dalam pemurnian enzim adalah presipitasi dengan garam. Presipitasi yang digunakan untuk memurnikan enzim antara lain adalah presipitasi dengan pengaturan pH, peningkatan kekuatan ion, penurunan kekuatan ion, dan penggunaan pelarut organik. Presipitasi yang paling banyak digunakan adalah peningkatan kekuatan ion atau lebih dikenal dengan nama salting out (Rosenberg 1996). Presipitasi dengan garam (ammonium sulfat dan natrium sulfat) lebih disukai daripada presipitasi dengan pelarut organik, seperti etanol dan aseton. Ammonium sulfat sering digunakan karena kelarutannya tinggi, harganya murah dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein (Suhartono 1989). Presipitassi protein menggunakan ammonium sulfat dapat menyebabkan dehidrasi lingkungan mikro dari molekul protein. Ion-ion dari garam seperti ion sulfat (SO42-) akan menarik dan mengikat molekul air dari koloid protein. Pada konsentrasi rendah, ion-ion ini akan mengisi lingkungan molekul protein sehingga protein melarut yang disebut salting in. Pada konsentrasi tinggi terjadi peningkatan muatan listrik yang akan menarik molekul air dari koloid protein sehingga interaksi hidrofobik diantara sesama molekul protein akan menurunkan kelarutan protein dan terjadi salting out yang menyebabkan protein mengendap (Suhartono 1989; Rosenberg 1996).