2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Kerja Pabrik Gula Tebu merupakan salah satu komoditi pertanian Indonesia yang memberikan
nilai tambah yang cukup besar terhadap produk domestik secara nasional. Lahan tebu tersebar baik di pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Menurut data Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI 2009)
terdapat 58 pabrik gula
dengan penyebaran 46 pabrik di Jawa dan 12 pabrik di luar Jawa. Total lahan tebu seluruh Indonesia seluas 434 127 ha, yang terdiri dari 279 650 ha di pulau Jawa dan 154 477 ha di luar Jawa, potensi ini sangat mungkin dikembangkan untuk produk-produk turunan selain produk utama gula pasir dan tetes. Potensi ini belum termasuk jika dihitung seluruh lahan tanam yang tersedia. Pengembangan komoditas tebu masih sangat terbuka dan potensial. Luas lahan tanam masih dapat dikembangkan khususnya di luar pulau Jawa. Demikian juga dengan rendemen dan yeild tebu yang dihasilkan lahan. Menurut prediksi Asosiasi Gula Indonesia (AGI 2009), rendemen yang dihasilkan lahan di Jawa rata-rata 8.72 dan di luar Jawa sebesar 8.14. Nilai ini sangat mungkin dinaikkan dengan teknologi pengolahan lahan yang lebih baik. Permintaan gula untuk pasar dunia menurut FAO (2009) meningkat dari 158.4 juta ton pada tahun 2007 menjadi 162.2 juta ton pada tahun 2008. Sementara produksi gula dunia sebesar 167.6 juta ton tahun 2007 menurun menjadi 158.5 juta ton pada tahun 2008. Dengan demikian produk utama tebu yaitu gula akan langsung terserap pasar dunia karena jumlah permintaan lebih besar dari jumlah produksi. Jika dilihat dari hasil produksi, hasil utama dari tebu sampai saat ini adalah raw sugar, white sugar dan tetes. Raw sugar dan white sugar dapat langsung digunakan oleh konsumen akhir maupun industri makanan, obat, dan minuman. Sementara tetes tebu dapat diolah lanjut menjadi MSG atau etanol.
MSG
dimanfaatkan industri makanan dan minuman sementara etanol dapat diolah lanjut menjadi bio-fuel sebagai bahan bakar alternatif. Tuntutan penggunaan bio-fuel juga meningkat tajam seiring dengan problem lingkungan global yang menjadi issue internasional. Di Amerika dan Brazil, etanol bukan hanya digunakan sebagai campuran bensin 5%, 10% saja, bahkan sudah mencapai 80% - 100% mobil
8
berbahan bakar etanol. Pengembangan produk ini di masa datang merupakan hal yang sangat potensial dan strategis. Produk lain yang dihasilkan pabrik gula adalah bagas atau ampas tebu. Produk ini adalah produk sampingan dan merupakan limbah industri. Namun demikian limbah ini masih memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Bagas yang sudah dikeringkan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar boiler (mesin utama dalam industri gula). Hasil suatu pabrik gula mencukupi untuk mensuplai bahan bakar boilernya. Dengan demikian akan didapatkan efisiensi energi. Setelah dibakar, residu bagas dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik yang dapat dikembalikan ke lahan atau dilepas ke pasaran sebagai media tanam tanaman lainnya. Sistem kerja industri gula dimulai dengan proses budidaya tanaman tebu. Proses budidaya terdiri dari dua kategori yaitu Replanting Cane (RPC) dan Ratoon Cane (RC). RPC adalah tanaman tebu yang ditanam pada areal bekas tanaman tebu yang dibongkar. RC adalah tanaman tebu yang tumbuh dari keprasannya. Dalam proses budidaya tebu terdapat perbedaan antara RPC dengan RC. Pada budidaya tanaman RPC, terdapat proses penyiapan lahan bekas tanaman tebu yang dibongkar. Pembongkaran ini dilakukan untuk mengolah kembali tanah yang telah padat akibat berbagai perlakuan pada tebu keprasan dan dapat memperbaiki kualitas tanah sehingga diharapkan bisa meningkatkan produksi tebu yang dihasilkan. Sebelum ditanami tebu, lahan dipersiapkan dengan berbagai tahapan yaitu penebaran
blotong,
aplikasi
stillage,
penebaran
dolomite,
pembajakan,
penggaruan, trackmarking, penaburan gypsum, ripping, furrowing dan basalt. Setelah lahan siap kemudian mulai ditanami bibit tebu. Bibit yang akan ditanam sebagian besar berasal dari kebun bibit sendiri. Varietas yang ditanam didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa varietas tersebut mempunyai potensi gula tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, mudah ditebang, tidak roboh, dan disesuaikan dengan bulan tanam. Bulan tanam berkorelasi dengan tingkat kemasakan tebu. Varietas masak awal ditanam pada bulan April–Juni, varietas masak tengah ditanam pada bulan Juli– Agustus, dan varietas masak akhir ditanam pada bulan September-Oktober. Proses
9
penanamannya masih menggunakan cara manual oleh tenaga harian atau dengan sistem borongan. Dalam penanaman ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu, tebang bibit dan angkut, pembongkaran bibit, pengeceran, pencacahan, penutupan bibit dan pemadatan Setelah proses penanaman, tahap berikutnya adalah proses perawatan tanaman. Pemeliharaan terhadap tanaman perlu dilakukan sebagai suatu cara untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimal. Kegiatan perawatan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pemeliharaan secara mekanis (mechanical maintenance)
dan
pemeliharaan
secara
manual
(manual
maintenance).
Pemeliharaan mekanis meliputi pemupukan, kultivasi, remounding, preemergence, serta tabur carbuforan. Sedangkan pemeliharaan manual meliputi penyulaman, post-emergence, hand weeding, dan pengendalian hama secara biologis. Proses terakhir di lahan adalah proses pemanenan.
Pemanenan dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik. Kegiatan ini dapat dikatakan berhasil apabila; (1) kesegaran tebu (cane freshness), yaitu total jam mulai dari tebu dibakar sampai tebu tersebut digiling dapat terjaga, (2) kebersihan tebu dari kotoran. Kotoran disini adalah dapat berupa klaras, daun pucuk, sogolan, siwilan, batang mati, akar, dan tanah serta gulma, dan (3) tebu tertinggal (cane wastage) berupa lonjoran, tunggul yang tertinggal di kebun, dan batang pucuk seminimal mungkin. Pemanenan dilakukan pada musim kering, yaitu sekitar bulan April-Oktober. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemasakan tebu yang diprogramkan akan mencapai optimal pada musim kering serta kemudahan transportasi tebu dari areal menuju pabrik. Kegiatan panen diawali dengan tahap persiapan yang sekurangkurangnya tiga bulan sebelum panen dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi
tebu, pembuatan program tebangan, penentuan kemasakan
tebu, dan persiapan sarana dan prasarana tebang. Selain itu juga perlu dilaksanakan analisa kemasakan tebu (Maturity Test) untuk mengetahui periode kemasakan optimal tebu dan untuk memperkirakan kapan tebu harus ditebang.
10
Pelaksanaan tebangan dilakukan dalam tiga sistem tebang, yaitu manual (bundle cane), semi mekanis (loose cane), dan mekanis (chopped cane). a) Bundle Cane Sistem tebang ini adalah sistem tebang dengan menggunakan 100% tenaga manusia (full manual). Proses tebang angkut manual terdiri dari proses penebangan dan pengangkutan. Proses penebangan dimulai dengan pemotongan batang tebu, pembersihan kotoran dan pucuk tebu, peletakan batang tebu di guludan sampai dengan pengikatan batang tebu. Proses pengangkutan mulai dari pengangkatan ikatan tebu dari guludan dinaikkan ke pundak, pengangkutan ke truk dan penaikan ke bak truk.
Penebang tebu terdiri dari laki-laki dan
perempuan, berusia antara 17 - 55 tahun dengan kondisi fisik yang baik. Rata-rata penebang memiliki kemampuan fisik yang memadai, sebab tuntutan kondisi kerja cukup berat meliputi kebutuhan tenaga untuk menebang, kondisi lahan, kondisi rumpun tebu, lama waktu kerja, serta lingkungan fisik terutama temperatur udara yang cukup tinggi. Proses tebang angkut bundle cane secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Sistem tebang angkut bundle cane (full manual) Proses tebang dimulai dengan pemotongan batang tebu menggunakan alat potong berupa sabit atau golok. Kecepatan potong batang tebu secara manual
11
ditentukan oleh beberapa hal yaitu tenaga penebang, alat yang digunakan, cara melakukan penebangan, serta karakter rumpun batang tebu. Jenis alat yang digunakan bermacam-macam. Sebagian besar perusahaan tidak melakukan hal tersebut dan menyerahkan pemilihan alat tebang kepada masing-masing penebang. Karena faktor kebiasaan setempat yang berlainan, bentuk alat tebang yang digunakan satu dengan yang lain berbeda. Pekerja memilih alat tebang yang paling sesuai untuk masing-masing baik dari segi bentuk maupun ukurannya. Beberapa perusahaan melakukan standardisasi bentuk dan ukuran sabit berdasarkan pada studi yang dilakukan, yaitu berdasarkan karakteristik batang tebu dan biomekanika posisi efektif proses tebang. Cara melakukan penebangan cukup sederhana yaitu dengan mengayunkan alat tebang baik berupa golok atau sabit ke batang tebu, dengan posisi potong ideal maksium 5 cm dari tanah. Posisi potong ini tidak boleh terlalu tinggi sebab nilai rendemen gula dalam batang tebu paling banyak terdapat pada batang bawah. Untuk melakukan pemotongan dan mencapai kondisi ideal ini tidaklah terlalu mudah karena posisi batang tebu satu dengan yang lain seringkali tidak beraturan, saling menyilang. Posisi ini terutama untuk jenis tebu Ratoon Cane (RC), jenis tebu yang sudah mengalami beberapa kali penumbuhan ulang tanpa pembongkaran lahan. Untuk jenis tebu Replanting Cane (RPC), bentuk susunan batang tebu lebih teratur dan lebih mudah dilakukan penebangan sesuai dengan batas ideal. Pada tebu jenis RPC penebang dapat melakukan penebangan beberapa batang tebu dengan sekali ayunan alat potong, dengan demikian proses potong lebih cepat. Sedangkan pada jenis tebu RC, penebang hanya dapat melakukan pemotongan batang tebu 1 atau 2 batang saja, sehingga kecepatan potong lebih rendah dari jenis RPC. Setelah batang tebu dipotong, penebang akan membersihkan batang tebu dari daun-daun tebu kering yang masih menempel di batang, serta membuang pucuk batang yang masih muda.
Kecepatan proses pembersihan ini juga
tergantung pada jenis tebu yang dipanen. Tebu jenis RC biasanya lebih banyak daun-daun kering yang tertinggal di batang, sebab pada saat pemeliharaan cukup sulit untuk membuangnya. Tebu jenis RPC lebih sedikit daun kering dan bentuk tebunya lurus sehingga mudah dibersihkan.
12
Tahap berikutnya adalah meletakkan batang-batang tebu yang sudah dibersihkan melintang di atas guludan. Batang-batang tebu ini selanjutnya akan diikat dengan tali dari bambu atau kulit tebu dengan ukuran berat angkat kira-kira 18 – 25 kg per ikat. Pekerjaan mengikat dilakukan sebagian besar oleh pekerja laki-laki sebab diperlukan tenaga yang cukup besar agar ikatan cukup kuat. Hanya sedikit pekerja perempuan yang dapat melakukan tugas ini. Proses selanjutnya adalah mengangkat dan mengangkut ikatan-ikatan tebu ke atas truk untuk dibawa ke pabrik. Tugas ini dilakukan hanya oleh pekerja laki-laki, bahkan di beberapa tempat tidak semua pekerja laki-laki penebang sanggup melakukan pekerjaan ini. Pekerja angkut harus mengangkat ikatan tebu dari guludan, dinaikkan ke atas pundak, kemudian berjalan melintasi lahan dengan kondisi yang sulit dan licin sampai ke truk pengangkut. Pada saat awal penaikan tebu ke truk posisi truk masih kosong atau baru berisi sedikit tebu, pekerja dapat melemparkan ikatan tebu langsung ke atas truk, satu pekerja lain akan berada di atas truk untuk mengatur tumpukan agar rapi. Setelah bak truk bagian bawah terisi, semakin ke atas pekerja angkut tidak dapat melempar langsung ikatan tebu dari pundak ke atas truk, mereka harus berjalan menaiki tangga bambu atau kayu sambil memikul ikatan tebu. Semakin ke atas tumpukan semakin sulit pekerja menaiki tangga tersebut. Setelah truk terisi penuh, kembali pekerja yang di atas truk harus membersihkan kotoran-kotoran baik daun-daun kering yang masih terlalu banyak atau tanahtanah yang menempel pada ikatan tebu. Setelah semuanya selesai tebu akan dikirim ke pabrik. Namun demikian, sistem ini merupakan sistem tebangan yang dalam pelaksanaan tebang, ikat, dan pemuatannya dilakukan dengan tenaga manusia, sedangkan pengangkutan ke pabriknya menggunakan truk. b) Loose Cane Sistem tebangan semi mekanis ini adalah sistem penebangan dengan kegiatan tebang dilakukan secara manual, namun dalam pemuatannya dilakukan secara mekanik yaitu dengan menggunakan grab loader. Proses tebang sama dengan proses bundle cane, menggunakan 100% tenaga manusia, sampai dengan meletakkan hasil potongan batang tebu di atas guludan dan batang tebu diikat. Setelah itu proses pemuatan ke atas truk dilakukan dengan menggunakan grab loader yang akan mengangkat ikatan tebu dengan lengan mekanis dan diletakkan
13
di atas trailer atau truk. Tahap selanjutnya, trailer akan ditarik dengan traktor ke pabrik. Proses tebang angkut dengan metode loose cane atau semi manual tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Sistem tebang angkut Loose Cane (semi manual) c) Chopped Cane Penebangan dengan sistem chopped cane adalah proses tebang angkut yang full mechanic, artinya mulai dari penebangan sampai pengangkutan seluruhnya menggunakan tenaga mesin. Pekerja hanya bertugas mengoperasikan mesin tersebut. Proses tebang dilakukan dengan menggunakan mesin cane harvester, seperti tersaji pada Gambar 3. Sebelum dilakukan penebangan tebu harus dibersihkan dari kotoran daun-daun kering. Metode pembersihan yang digunakan biasanya menggunakan metode cepat membersihkan kotoran daun-daun kering. Jarak antara waktu pembakaran dan proses giling tidak boleh lebih dari 24 jam, karena akan menurunkan rendemen tebu. Setelah tebu dibakar, harvester akan memotong batang tebu, kemudian tebu masuk ke dalam mesin dipotong-potong menjadi potongan pendek berukuran lebih kurang 40 – 60 cm, dan hasilnya akan dilempar ke dalam truk angkut yang posisinya sudah siap di samping harvester. Mesin pemotong ini berdimensi cukup besar dan posisinya harus di atas guludan,
14
sehingga setelah panen tanah akan menjadi keras. Oleh karena itu lahan yang dipanen dengan harvester adalah lahan yang akan dilakukan replanting (metode tanam dengan pembongkaran tanah) bukan yang ratoon (metode tanam dengan pemapasan/kepras).
Gambar 3 Sistem tebang angkut Chopped Cane (full mechanic) Hal lain yang menjadi kendala proses ini adalah kondisi lahan yang belum benar-benar kering, mengurangi jumlah tenaga kerja, investasi awal serta biaya operasi yang cukup besar. Dengan demikian proses ini pada pelaksanaannya hanya dilakukan sebagai penyangga atau membantu memenuhi kuota pengiriman tebu, yaitu jika terjadi kekurangan suplai tebu ke pabrik karena kendala tebang angkut manual, misalnya dilakukan pada kondisi jumlah tenaga kerja yang sedikit dan diperlukan pengiriman tebu dalam waktu yang cepat. Setelah tebu selesai ditebang, kemudian diangkut ke pabrik dengan truk, dan mulai proses selanjutnya yaitu pabrikasi untuk menghasilkan gula. Dimulai dengan timbangan tebu untuk mengetahui banyaknya tebu yang akan digiling, kemudian tebu dimasukkan ke dalam Cane Yard untuk diproses lanjut. Skema proses pembuatan gula dari tebu dapat dilihat pada Gambar 4.
15
POLYMER
3
CANE RECEIVING
1
BIOCIDES OXYGEN SCAVENGERS ANTISCALANTS DISPERSANTS CORROSION INHIBITORS
WATER
WATER FILTER
RAW JUICE
MILLING
POLYMERS
EVAPORATORS
COAGULANT SULFUR DIOXIDE
BOILER
RAW JUICE
CORROSION
VACUUM PANS
VISCOSITY CLEANER MODIFIER
CALCIUM 4
FLOATATION
5
DISTILLATION
CRYSTALIZER
POLYMERS
CENTRIFUGE DRYER
ALCOHOL ANHYDROUS ALCOHOL HYDRATE
ALCOHOL NEUTRALIZATION
6
PHOSPHATE
ANTISCALANTS CLARIFIERAND CLEANERS POLYMERS
NEUTRALIZATION
7
AIR
SUGAR STORAGE
ANTISEPTIC YEAST PREPARATION
FINISHED PRODUCT
10
CENTRIFUGE
INTERMEDIATE TANK
WATER
FERMENTATION
FERMENTATION PRODUCT
9
ANTISCALANTS
ANTIFOAMS DISPERSAN 2
COOLING TOWER
TO REFINERY
8
BIOCIDE, DISPERSANTS, AND CORROSION INHIBITORS
Gambar 4 Proses pabrikasi gula secara umum (Sumber: PG Jatitujuh Cirebon) Secara umum proses pabrikasi sampai menghasilkan gula dapat dibagi dalam 4 stasiun operasi yaitu: a) Proses Ekstraksi b) Pengendapan Kotoran Dengan Kapur (Liming) c) Proses Penguapan (Evaporasi) d) Proses Kristalisasi e) Proses Penyimpanan f) Proses Pemurnian g) Proses Pendidihan h) Proses Pengolahan Sisa a. Proses Ekstraksi Tahap pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Di kebanyakan pabrik, tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang
16
berukuran besar. Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya digunakan di mesin pemanas (boiler). Di lain pabrik, sebuah diffuser digunakan seperti yang digambarkan pada pengolahan gula bit. Jus yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di dalam gula. Skema proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Proses ekstraksi gula (Sumber: PG Jatitujuh Cirebon) Jus dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 15% gula dan serat residu, dinamakan bagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula, sekitar 50% air serta pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang terhitung sebagai “abu”. Sebuah tebu bisa mengandung 12 hingga 14% serat dimana untuk setiap 50% air mengandung sekitar 25 hingga 30 ton bagasse untuk tiap 100 ton tebu atau 10 ton gula. b. Pengendapan kotoran dengan kapur (Liming) Pabrik dapat membersihkan jus dengan mudah dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming. Jus hasil ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan jus yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui clarifier dengan kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat mengendap dan jus yang
17
keluar merupakan jus yang jernih. Kotoran berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan, dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian dikembalikan ke proses. c. Proses Penguapan (Evaporasi) Setelah mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan evaporasi. Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi. Jus yang sudah jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ‘evaporator majemuk' (multiple effect evaporator) yang dipanaskan dengan steam merupakan cara yang terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi). d. Kristalisasi Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar untuk dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan. Larutan induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil pecahan sukrosa. Oleh karena itu, tahapan-tahapan berikutnya menjadi semakin sulit, sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi tidak mungkin lagi dilanjutkan.
18
Gambar 6 Sentifugasi gula
Dalam sebuah pabrik pengolahan gula kasar (raw sugar) umumnya dilakukan tiga proses pendidihan. Pertama atau pendidihan “A” akan menghasilkan gula terbaik yang siap disimpan. Pendidihan “B” membutuhkan waktu yang lebih lama dan waktu tinggal di dalam panci pengkristal juga lebih lama hingga ukuran kristal yang diinginkan terbentuk. Beberapa pabrik melakukan pencairan ulang untuk gula B yang selanjutnya digunakan sebagai umpan untuk pendidihan A, pabrik yang lain menggunakan kristal sebagai umpan untuk pendidihan A dan pabrik yang lainnya menggunakan cara mencampur gula A dan B untuk dijual. Pendidihan “C” membutuhkan waktu secara proporsional lebih lama daripada pendidihan B dan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuk kristal. Gula yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai umpan untuk pendidhan B dan sisanya dicairkan lagi. Sebagai tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk dibuat alkohol.
19
e. Penyimpanan Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut ketika sampai di negara pengguna. f. Pemurnian Proses pemurnian terdiri dari afinasi, karbonatasi, penghilangan warna, pendidihan dan pengolahan sisa (recovery). Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang dinamakan dengan “afinasi”. Gula kasar dicampur dengan sirup kental (konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat). Campuran hasil (‘magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup sehingga pengotor dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk dilarutkan sebelum perlakuan berikutnya (karbonatasi). Cairan yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses. Tahap pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Salah satu dari dua teknik pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, Ca(OH)2] ke dalam cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran tersebut. Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk partikelpartikel kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan berbagai padatan supaya mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan padatan tersebut stabil, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kondisi-kondisi
20
reaksi. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk tersebut akan mengumpulkan sebanyak mungkin materi-materi non gula, sehingga dengan menyaring kapur keluar maka substansi-substansi non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan. Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap untuk proses selanjutnya berupa penghilangan warna. Selain karbonatasi, teknik yang lain berupa fosfatasi. Secara kimiawi teknik ini sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah pembentukan fosfat dan bukan karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit lebih kompleks, dan dapat dicapai dengan menambahkan asam fosfat ke cairan setelah liming seperti yang sudah dijelaskan di atas. Ada dua metoda umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya mengandalkan pada teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui kolom-kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi
granular
(granular
activated
carbon,
GAC)
yang
mampu
menghilangkan hampir seluruh zat warna. GAC merupakan cara modern setingkat “bone char”, sebuah granula karbon yang terbuat dari tulang-tulang hewan. Karbon pada saat ini terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah secara khusus untuk menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga sangat kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan terbakar keluar dari karbon. Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin penukar ion yang
menghilangkan
lebih
sedikit
warna
daripada
GAC
tetapi
juga
menghilangkan beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang meningkatkan jumlah cairan yang tidak diharapkan. Cairan jernih dan hampir tak berwarna ini selanjutnya siap untuk dikristalisasi kecuali jika jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan konsumsi energi optimum di dalam pemurnian. Oleh karenanya cairan tersebut diuapkan sebelum diolah di panci kristalisasi. Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk mengawali/memicu pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk memisahkan keduanya. Proses ini dapat diumpamakan dengan tahap pengeringan pakaian dalam mesin cuci yang berputar. Kristal-kristal
21
tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan. Cairan sisa baik dari tahap penyiapan gula putih maupun dari pembersihan pada tahap afinasi masih mengandung sejumlah gula yang dapat diolah ulang. Cairan-cairan ini diolah di ruang pengolahan ulang (recovery) yang beroperasi seperti pengolahan gula kasar, bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara dengan gula kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Seperti pada pengolahan gula lainnya, gula yang ada tidak dapat seluruhnya diekstrak dari cairan sehingga diolah menjadi produk samping: molase murni. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau dikirim ke pabrik fermentasi seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol. 2.2 Ergonomi Menurut Bridger (1995) istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu “Ergos” yang berarti kerja dan “Nomos” yang berarti hukum. Ergonomi adalah aplikasi informasi pengetahuan tentang keinginan manusia pada permasalahan perancangan. Dengan demikian ergonomi adalah dasar pengetahuan mencakup data dan metodologi yang menitikberatkan faktor-faktor pengguna dalam perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah, dan tempat rekreasi. Ergonomi disebut juga human factor engineering. Ergonomi digunakan oleh berbagai macam ahli seperti ahli anatomi, arsitektur, perancangan produk industri, fisika, fisioterapi, psikologi dan teknik industri. Ergonomi dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaanya. Disiplin ini akan secara khusus mempelajari kemampuan dan keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada saat berhadapan dengan lingkungan pekerjaannya yang berupa perangkat keras (mesin, peralatan kerja, dsb.) dan perangkat lunak (metode kerja, sistem dan prosedur).
22
Aspect Science Human Science Medicine Psychology Sociology Pedagogics
Engineering Science Physics Construction Measurement and Control
Economics and Social Science Ecologics Economics Industrial Law
ERGONOMICS Praxeologies Micro Ergonomics Rules for the technical design of work tools and workplaces
Macro Ergonomics Rules for the design of organization, production and working groups
Gambar 7 Bidang keilmuan yang terkait dengan ergonomi (sumber:http://www.lfe.mw.tumuenchen.de/lehrstuhl) Pada bulan Agustus 2000 IEA Council
(International Ergonomics
Association) mendefinisikan bahwa Ergonomics (or human factors) is the scientific discipline concerned with the understanding of interactions among humans and other elements of a system, and the profession that applies theory, principles, data and methods to design in order to optimize human well-being and overall system performance. Dengan demikian ergonomi adalah multidisiplin ilmu mencakup human science, engineering science dan economic and social science. Secara organisatoris bidang ilmu, hubungan antar bidang ilmu tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Dalam membahas penerapan ergonomi, Schmidtke (1993) menyatakan bahwa tujuan ergonomi
adalah untuk meningkatkan
performansi seluruh sistem kerja dan pada waktu yang sama mengurangi ketegangan pekerja selama melaksanakan pekerjaan tersebut dengan cara menganalisa pekerjaan, lingkungan kerja dan interaksi manusia mesin. Lingkup ini adalah lingkup ergonomi mikro atau disebut juga traditional ergonomic. Komponen manusia dalam sudut pandang ergonomi merupakan komponen utama yang harus diperhatikan. Manusia terdiri dari komponen fisik dan non fisik. Ilmu yang mempelajari aspek fisik dikenal dengan antropometri, yang merupakan bagian dari ranah ergonomi berkaitan dengan pengukuran dimensi dan karakteristik tertentu dari tubuh manusia seperti volume, titik berat. Antropometri
23
terdiri atas antropometri statis, dinamis dan
newtonian. Antropometri statis
mengukur dimensi fisik manusia dengan 2 posisi yaitu duduk dan berdiri statis. Pengukuran dilakukan dengan kursi ukur atau antropometer standar. Antropometri dinamis adalah ilmu yang mempelajari dimensi fisik manusia pada waktu manusia melakukan gerakan-gerakan relatif terhadap posisi statis. Gerakan relatif misalnya menjulurkan tangan ke depan untuk menjangkau sesuatu, kemudian digerakkan ke atas dan ke bawah, maka akan didapat sudut-sudut maksimum gerakan pada masing-masing arah tersebut. Contoh lain adalah gerakan bola mata naik turun terdapat juga batasan sudut yang dapat dilakukan. Antropometri newtonian membahas tentang kemampuan tenaga komponen tubuh manusia. Misalnya berapa kemampuan angkat maksimum tangan kanan, berapa kemampuan maksimum tangan kiri, berapa kemampuan punggung dan sebagainya.
Data
antropometri digunakan untuk menentukan dimensi tempat kerja, peralatan, furnitur dan pakaian sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia dan untuk meyakinkan bahwa ketidaksesuaian antara dimensi peralatan atau produk dengan dimensi pengguna dapat dihindarkan. Hal lain yang terkait dengan ergonomi adalah biomekanika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang aktivitas-aktivitas manusia ketika bekerja atau beraktivitas dan bagaimana cara pengukurannya (berhubungan dengan biomekanika). Menurut Kromer (2001) biomekanika adalah penerapan prinsip-prinsip fisika mekanika pada sistem tubuh manusia mencakup keseimbangan statis dan dinamis. Sedangkan untuk penerapan dalam sistem kerja industri menurut Chaffin( 1991) yang mengutip dari Frankel dan Nordin (1980), biomekanika menerapkan hukumhukum fisika dan konsep teknik untuk menggambarkan gerakan-gerakan dari berbagai segmen tubuh manusia dan besarnya gaya-gaya yang bekerja pada bagian-bagian tubuh tersebut selama aktifitas normal harian. Biomekanika kerja merupakan ilmu yang mempelajari gerakan-gerakan tubuh saat bekerja dimana meliputi kekuatan, kecepatan, ketelitian, ketahanan dan ketrampilan gerak. Pengukuran kekuatan fisik individu tidak hanya ditentukan oleh kekuatan otot saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif lainnya seperti: besarnya tenaga yang dikeluarkan, cara dan sikap melaksanakan aktivitas, jenis kelamin, umur dan arah dari gerakan anggota tubuh.
24
2.2.1
Man-Machine Model Ergonomi adalah ilmu tentang perancangan sistem kerja. Menurut Leamon
dalam Bridger (1995) sistem kerja terdiri dari manusia, mesin (alat) dan lingkungan. Masing-masing komponen berinteraksi dengan yang lain, saling mempengaruhi seperti skema Man-Machine Model yang disampaikan oleh Leamon pada Gambar 8.
Gambar 8 Man-machine model Leamon, diadaptasi dari Bridger (1995) Interaksi antar komponen terjadi secara terus-menerus sepanjang proses kerja dilakukan. Perubahan yang terjadi pada satu komponen akan mempengaruhi komponen yang lain dan dengan demikian harus direspon terutama oleh manusia yang mengendalikan proses tersebut. Komponen mesin/alat mencakup proses yang dikendalikan dalam alat tersebut, display dan sistem kendali. Proses yang dikendalikan adalah proses yang dilakukan mesin sesuai dengan fungsi dari alat tersebut yang disesuaikan dengan tugas yang yang harus diselesaikan. Untuk menggerakkan mesin/alat diperlukan alat pengandali yaitu control. Bagian ini bisa berupa pegangan, tuas, tombol tekan atau tombol putar, atau bahkan berupa penerima sinyal suara yang akan menggerakkan mesin. Jika sudah mendapat perintah operator melalui aksi dari efektor, mesin akan beroperasi sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Beberapa saat kemudian mesin akan memberikan informasi keadaan operasi melalui display pada mesin tersebut. Informasi display ini akan ditangkap oleh panca indera manusia/operator. Informasi yang diperlukan berbagai macam, misalnya : cahaya, suara, panas, tekanan, gelombang, ketinggian, posisi dll. Display dapat berupa layar baca, penunjuk temperatur, getaran, suara atau bentuk display digital.
25
Display yang baik adalah jika informasi yang dapat ditangkap oleh indera manusia
sesuai dengan kondisi mesin yang sesungguhnya. Persoalan yang timbul pada display sehingga susah memberikan rangsangan pada pekerja untuk beraksi meliputi: a) terlalu kecil b) terlalu besar c) bercampur dengan gangguan d) di luar batas penerimaan indera manusia e) perlu diamati lebih teliti f) perlu disimpan untuk jangka waktu lama, misalnya peta g) harus dirubah dalam format yang lain, misalnya sirine, bau gas. Komponen manusia terdiri atas efektor, indera dan pemroses informasi. Efektor adalah bagian dari tubuh manusia yang memberikan aksi kepada mesin/alat. Bagian ini mencakup tangan (jari-jari sampai pergelangan tangan), kaki (jari-jari dan telapak kaki), serta suara. Bagian tubuh ini berfungsi untuk memberikan perintah kepada alat sesuai dengan kebutuhan dari pekerjaan yang dikehendaki.
Pada
alat-alat
tradisional
sebagian
besar
pengendalinya
digerakkan/dioperasikan dengan tangan atau kaki. Namun beberapa alat modern saat ini banyak yang menggunakan perintah berupa suara. Aksi dari efektor harus cukup untuk menggerakkan control pada alat, sehingga dalam hal ini diperlukan perhitungan besarnya tenaga yang diperlukan, dan berapa kekuatan tangan atau kaki sesuai dengan data antropometri newtonian. Setelah alat bekerja, kondisi kerja akan ditampilkan alat dalam bentuk display. Informasi ini akan ditangkap indera manusia, yang terdiri dari panca indera. Jika informasi berupa visual dispaly, maka akan ditangkap oleh mata. Jika informasi berupa temperatur, akan ditangkap oleh indera perasa pada kulit dan seterusnya. Informasi keadaan alat ini selanjutnya akan dikirim ke otak untuk diolah, dibandingkan dengan referensi yang dimiliki operator/manusia. Jika informasi ini sudah sesuai dan dalam kondisi baik, maka operator tidak akan memberikan aksi tambahan kepada alat melalui efektor. Namun jika informasi ini kurang baik atau belum sesuai dengan keadaan yang dikehendaki sesuai dengan referensi operator, maka operator akan memberikan aksi melalui efektor untuk mengatur kondisi operasi mesin, demikian
26
seterusnya. Proses ini berjalan terus sehingga kondisi mesin dapat bekerja sesuai dengan yang dikehendaki sepanjang waktu kerjanya. Dalam melakukan pekerjaan, manusia juga memiliki suatu perilaku/behaviour yang akan menentukan apakah dia akan bekerja sesuai tugas dengan baik atau tidak. Salah satu aspek pendukung perilaku kerja manusia adalah motivasi. Seseorang yang memiliki motivasi yang baik akan melakukan kerja dengan baik, sedikit melakukan kesalahan (human error), produktivitas tinggi dan tingkat kelelahan dan kecelakaan kerja yang rendah. Komponen ketiga dalam man-machine model dari Leamon adalah komponen lingkungan. Komponen lingkungan terdiri dari ruang kerja (work space), lingkungan fisik, dan lingkungan organisasi. Ruang kerja adalah ruangan yang diperlukan untuk meletakkan alat, material, pendukung, ruang gerak serta ruang meletakkan hasil kerja. Lingkungan fisik meliputi kondisi pencahayaan, kebisingan, getaran, polusi, kelembaban, bau-bauan, dan temperatur. Kondisi fisik ini akan mempengaruhi langsung kepada manusia, sebab manusia memiliki keterbatasan fisik dan psikis dalam menerima kondisi lingkungan. Jika ambang batas kemampuan manusia dilewati, akan menimbulkan ketidaknyamanan, kelelahan yang berlebihan, motivasi kerja yang menurun, banyaknya kesalahan serta secara umum akan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan organisasi mencakup bagaimana pengorganisasian pekerjaan, pembagian jam kerja dan jam istirahat, kompensasi yang didapat pekerja, hari libur kerja, sistem kerja lembur dan sebagainya yang menyangkut organisasi dari perusahaan/tempat kerja tersebut. Wignjosoebroto (2003) memberikan penjelasan tentang posisi manusia dalam sistem kerja seperti pada Gambar 9. Komponen sistem kerja terdiri dari human operator, firmware, sofware, hardware dan dipengaruhi oleh lingkungan. Output dari sistem akan memberikan input sehingga perlu peningkatan kinerja selanjutnya. Sistem kerja akan didesain ulang sehingga mendapatkan nilai output yang dikehendaki
27
Gambar 9 Posisi manusia dalam sistem kerja (Sumber: Wignjosoebroto 2003) 2.2.2
Prinsip FJM dan FMJ Menurut Bridger (1995), dalam perancangan sistem kerja, perancangan akan
mempertimbangkan 2 komponen yang saling terkait yaitu komponen manusia dan komponen pekerjaan. Manusia akan selalu berinteraksi dengan pekerjaan dengan segenap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Di lain fihak sistem menuntut
agar
pekerjaan
dapat
diselesaikan
tanpa
banyak
kesalahan,
menghasilkan kualitas produk yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Keberhasilan dari sebuah sistem kerja dapat dilihat dari tingkat efektifitas, efisiensi dan produktivitas kerja. Semakin baik sebuah sistem kerja artinya semakin efisien, semakin efektif dan semakin produktif. Dalam melakukan perancanangan sistem kerja, perancang dihadapkan dengan 2 pilihan prinsip perancangan yaitu prinsip ‘fit the man to the job’ (menyesuaikan manusia kepada tuntutan pekerjaan), dan prinsip ‘fit the job to the man’ (menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia). Prinsip fit the man to the job didasarkan pada pemikiran bahwa produktivitas dan efisiensi suatu sistem kerja dapat ditingkatkan dengan cara memilih pekerja yang sesuai dengan tugas dan kondisi kerja yang harus dihadapi. Prinsip ini sesuai untuk beberapa pekerjaan, terutama yang menyangkut keamanan baik keamanan institusi, komunitas maupun keamanan negara. Misalnya
28
pekerjaan sebagai operator sistem keamanan bank yang harus memiliki kualifikasi khusus di bidang information technology (IT), serta memiliki integritas moral yang sangat baik. Hal ini harus dilakukan karena nasib bank tersebut termasuk jutaan nasabah tergantung kepada hasil kerjanya. Kesalahan sekecil apapun akan memiliki imbas yang sangat besar, sehingga harus dapat dihindari. Contoh lain adalah pekerjaan pilot pesawat tempur. Pekerjaan ini menuntut manusia/pilot memiliki kemampuan fisik sangat luar biasa, karena akan dituntut melakukan menuver-manuver ekstrim yang sangat sulit. Tuntutan lain pada pilot adalah kecerdasan tinggi sebab pada kondisi perang yang sesungguhnya perhitungan penyerangan atau bertahan bukan saja mempertaruhkan nyawa sang pilot, namun juga keamanan negara. Pilot juga dituntut memiliki moral sangat baik, memiliki kesetiaan terhadap institusi bahkan harus berjiwa patriotik sejati. Dalam 2 kasus di atas, prinsip perancangan yang harus memilih, menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan tepat untuk diambil. Namun demikian, jika prinsip ini diterapkan dalam banyak pekerjaan yang tidak menyangkut keamanan terlalu mendasar, maka akan menimbulkan banyak kesulitan, misalnya perancangan lantai produksi di perusahaan tekstil yang memerlukan jumlah pekerja sangat banyak, dilakukan sepanjang hari (24 jam, 3 shift). Jika pada saat melakukan perancangan alat kerjanya hanya berdasarkan kepada kebutuhan, dan hasilnya adalah alat canggih yang rumit, maka akan sangat kesulitan mencari operator apalagi dalam jumlah ribuan. Pendekatan alternatif dalam perancangan sistem kerja adalah prinsip fit the job to the man menitik-beratkan
yang mendasarkan metode perancanan sistem kerja dengan kepada
manusia/pekerjanya.
Perancang
akan
melihat
karakteristik manusia sebagai pertimbangan utama dalam menentukan tingkat kesulitan dari sebuah alat. Karakteristik
yang dimaksud mencakup karakter
anatomi, fisiologis dan psikologisnya. Jika sebuah alat disesuaikan dengan kemampuan manusia, maka pada waktu penggunaan alat tersebut akan dapat berjalan dengan lancar, operator tidak banyak melakukan kesalahan dan dengan demikian efisiensi dan efektifitas juga akan meningkat. Contoh perancangan yang sesuai dengan prinsip ini sangat banyak. Pendek kata selain sistem kerja yang menyangkut sistem keamanan, prinsip fit the job to the man dapat digunakan.
29
Prinsip ini yang sampai dengan saat ini dianggap paling ergonomi dalam merancang sistem kerja. 2.2.3
Ergonomi Mikro dan Makro Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu
pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro.
Pada awal perkembangan
ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan
pada
kaitan
kesesuaian
kemampuan
manusia
dengan
pekerjaan/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut Pulat (1991) adalah ciri khusus dari ergonomi mikro. Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut: a) Identifikasi masalah. b) Pembandingan pekerjaan/tugas dengan kemampuan manusia. Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud. c) Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif. d) Memilih solusi terbaik. e) Mengimplementasi solusi. f) Melakukan tindak lanjut (follow up). Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro. Dalam perkembangan selanjutnya, Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisai, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam pekerjaan. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has
Come”,
Hendrick
menyampaikan
bahwa
ada
3
urutan
generasi
pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin,
30
termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics. Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan ergonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Factor Engineering. Menurut IEA, ranah ini disebut dengan Cognitive Ergonomics. Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro, optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi, termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur. Perbedaan utama antara
pendekatan micro ergonomics dan macro
ergonomics dipaparkan pada Tabel 1. Aspek penerapan ergonomi makro memiliki jangka pendek sehingga memerlukan penelitian berkelanjutan untuk dapat mengikuti perkembangan sistem organisasi yang sangat dinamis. Masalah lain yang membuka peluang penelitian adalah perbedaan tempat dan waktu yang akan berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan pola hidup dan kehidupan masyarakat setempat. Pendekatan lain yang serupa dan merupakan ranah ergonomi makro diperkenalkan oleh Manuaba (2002, 2005) dengan istilah SHIP Approach. SHIP merupakan singkatan dari Sistemic, Holistic, Interdisciplinary, Participatory. Pendekatan ini merangkum dari berbagai kepentingan perencanaan dan dalam
31
cakupan aspek yang sangat luas, sehingga tingkat keberterimaan hasil di lapangan sangat baik. Artinya dalam merancang sistem kerja harus mempertimbangan segala faktor terkait dan dalam tinjauan sistem (bukan parsialis), setiap elemen harus diintegrasikan dalam rancangan dengan prinsip optimasi dan harus melibatkan pihak-pihak terkait dalam pertimbangan rancangannya. Tabel 1 Perbandingan antara Ergonomi mikro dan Ergonomi makro. Micro Ergonomics Macro Ergonomics Level of detail
Micro
Macro
Unit of Work
Task-sub task
Group, Division
Goal
Optimize Worker
Optimize Work System
Focus
Details
Broad Overview
Measurement tools
Generally physical
Generally organizational
measure such as length,
and/or subjective measures
force, lumens, decibles,
such as number of people,
time
span of control, attitude, morale
Reseach History as Part 20 - 40 years
3 – 5 years
of Ergonomics Field Application History
10 -20 years
1 – 2 years
Application Skill
Anatomy, Physiology,
Organizational Behavior,
Perceptual Psychology,
Organizational Psychology
Industrial Engineering
(sumber : Pulat, Babur Mustafa dan David C. Alexander (Editors), Industrial Ergonomics – Case Study, 1991) Dalam perkembangan terbaru bahkan masalah pengembangan berkelanjutan (sustainable environment, sustainable energy dan sutainable development) sangat dipertimbangkan dalam perancangan sistem kerja. Pendekatan participatory ergonomic juga dikemukakan oleh Haims (1998), Jeppensen (2003), dan Hignet (2005), dan untuk menentukan strategi dan penelitian sistem kerja bergilir, melakukan perbaikan secara kontinyu dan sebagai solusi perancangan ergonomi. Dalam penelitian penulis sebelumnya (Widodo 2005), diketemukan terjadinya perubahan ritme biologi yang terkait dengan ritme sosio-spiritual sebuah komunitas yang pada gilirannya harus diperhatikan khususnya dalam perancangan
32
sistem kerja bergilir. Jika hal tersebut diabaikan akan terjadi ketidakseimbangan pola kehidupan individu dan terjadi kesenjangan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 2.2.4
Aplikasi Ergonomi Makro di Industri Beberapa aplikasi ergonomi makro di industri yang sudah dan sedang
dikembangkan antara lain Ergonomics Circle at Work, Crew Toolbox Meetings, Work Teams, Autonomous Work Group, Shifting Work Hour, Sociotechnical System Approach, Sistemic Holistic Interdisciplinair Partisipatory (SHIP) Approach dan lain-lain. Semua aplikasi tersebut memberikan hasil bahwa perancangan sistem kerja yang sukses (terutama di industri) harus memperhatikan faktor manusia (fisik, psikis, emosional dan spiritual), hubungan antar pekerja, pengaruh sosial dan lingkungan, pola perilaku organisasi, serta proses pengorganisasian masyarakat secara menyeluruh. Nagamachi (1996) telah mengkaji masalah hubungan antara perancangan sistem kerja, ergonomi makro dan produktivitas. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa ada hubungan sangat erat antara perkembangan teknologi dan perkembangan manusia, terutama dalam sistem industri yang banyak melibatkan tenaga kerja. Harus dilakukan harmonisasi dari kedua aspek tersebut sehingga akan didapatkan sistem yang produktivitasnya meningkat. Hendrick (2002) mempublikasikan bahwa perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Efektifitas organisasi juga akan meningkat jika Ergonomi Makro diterapkan dalam rancangan kerja organisasi. Sedangkan menurut Demerouti (2004), terdapat hubungan antara konflik di rumah, tanggung jawab pekerjaan, kesehatan kerja dan tingkat absensi dari pekerja dengan tatacara pengaturan kerja bergilir. Tidak terlalu bermasalah bagi pekerja yang selalu bekerja siang hari (dayshift) selama seminggu, sedangkan bagi pekerja yang bekerja senantiasa pergiliran malam akan mengalami konflik di rumah yang cukup banyak walaupun ada hari libur pada akhir minggu. Dengan demikian harus ada fleksibilitas pengaturan kerja bergilir sesuai karakter individu pekerja. Cruz et al. (2003) menyatakan bahwa pengaturan kerja bergilir dengan rotasi searah jarum
33
jam dan berlawanan arah tidak terlalu mempengaruhi durasi tidur, waktu dan kualitasnya, tetapi yang menjadi masalah adalah perubahan pada pergiliran pagi (06.00) dan pergiliran tengah malam (10.00). Dalam berbagai penelitiannya, Costa (2002) yang mengkaji pengaruh dan dampak sosial dari pengaturan jam kerja bergilir (shiftwork). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa biaya sosial akibat pengaturan jam kerja lembur sangat besar untuk jangka waktu yang panjang. Perancangan jam kerja bergilir harus mempertimbangkan ritme biologi (circardian rhythm), serta ritme social masyarakat pekerja tersebut (socio rhythm). Seperti dikutip Kroemer (2001) bahwa menurut Colligan dan Tepas, beberapa pola biologis manusia mengikuti ritme yang senantiasa berulang selama satu hari. Keberulangan ini tergantung dari berbagai kebiasaan hidup masing-masing individu. Berbagai ritme biologi manusia dapat dilihat pada Gambar 10.
degrees (Celcius)
beasts/min
mm Hg
μmoles/ min Midnight
Noon
Midnight
Gambar10 Berbagai ritme biologi manusia (circardian rhythm) selama 1 hari (sumber : Kroemer 2001)
34
Efek dari circardian Rythm juga dibahas oleh Natale et al. (2003), yang mempengaruhi tipologi kebiasaan tidur-bangun pada pengendali lalu lintas udara. Secara khusus dalam ranah teknologi manufaktur, Pinochet et al. (1996), melakukan konstruksi sistem knowledge-based untuk mendiagnosis integrasi sosioteknik pada teknologi manufaktur yang modern. Beberapa peneliti lain seperti Carayon (2000), Kleiner (2001), dan Axtell (2001) juga mencermati tentang berbagai hubungan penerapan teknologi, pendekatan ergonomi dan aspek sosioteknik yang ditimbulkan. 2.3 Lingkungan Fisik Tempat Kerja Lingkungan fisik ruang kerja mencakup kondisi fisik yang terdiri dari kebisingan, temperatur, kelembaban, getaran, pencahayaan, bau-bauan, sirkulai dan tingkat polusi. Kondisi fisik ruang kerja sangat mempengaruhi kinerja operator, apalagi jika posisi kerja operator di ruang tersebut harus terpapar dalam waktu yang cukup lama. Pengaturan lingkungan fisik yang baik harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat ambang batas ketahanan fisik dan psikis pekerja. Jika dalam hal tertentu kondisi lingkungan fisik tidak dapat diubah, alat pelindung diri (APD) harus dipersiapkan untuk melindungi pekerja. Alat pelindung diri sangat membantu pekerja dalam menghadapi kondisi ekstrim lingkungan kerja. Namun kesadaran ini di lapangan belum merata. Masih banyak pekerja yang enggan untuk menggunakan APD dengan alasan mengganggu gerakan, panas atau tidak nyaman. Dengan demikian perlu senantiasa diberikan pencerahan dan pengarahan kepada seluruh pekerja agar kesadaran untuk melindungi diri sendiri ini terbentuk dan risiko kecelakaan kerja dapat dikurangi. Berikut dipaparkan halhal utama yang merupakan komponen lingkungan fisik ruang kerja. 2.3.1 Kebisingan Menurut Suma’mur (1996), bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kebisingan dapat didefinisikan sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan yang dalam jangka waktu yang panjang akan dapat mengganggu kenyamanan saat bekerja. Keberadaan kebisingan sedapat mungkin harus
35
dihilangkan, setidaknya harus dikendalikan sehingga dampak yang ditimbulkan tidak terlalu merugikan, tetapi seharusnya kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pekerja yang ada. Menurut Moriber (1974), bising adalah sesuatu hal yang berbeda dari polutan yang lain dalam hal: a) Keberadaannya yang gampang menghilang, tidak seperti polutan udara lainnya yang bisa terakumulasi di atmosfer. b) Menimbulkan masalah pada masyarakat yang tidak dilibatkan dalam berbagai interaksi antara tumbuhan, hewan, dan manusia. Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma’mur (1996), yaitu sebagai berikut: a) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dll. b) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (stedy state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dll. c) Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara pesawat terbang di lapangan udara. d) Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan senapan atau meriam, ledakan. e) Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan. Tabel 2 Tingkat kebisingan dalam kantor Keadaan Kantor sangat tenang, penggunaan telepon memuaskan, cocok untuk konferensi besar Kantor tenang, memuaskan untuk konferensi (jarak meja 15 kaki) Memuaskan, dengan jarak meja 6-8 kaki Percakapan telepon agak terganggu Tidak memuaskan untuk konferensi lebih dari 2 sampai 3 orang Sangat bising untuk konferensi Sumber : Depnaker (1999)
Level (dB) 20-30 30-35 35-40 40-50 50-55 >55
36
Tabel 3 Tingkat kebisingan dalam industri Level (dB)
Keadaan
85-100
Terdapat pada pabrik tekstil, tempat kerja mekanis seperti penggiling, pengguna udara bertekanan, bor listrik, gergaji mekanis, dan lain-lain Terdapat pada pabrik pengalengan, ruang ketel, pneumatic
100-115
drill, dan sebagainya Terdapat pada mesin-mesin diesel besar, mesin turbin,
115-130
pesawat terbang dengan mesin turbo, compressor, sirine, dan lain-lain Terdapat pada mesin-mesin jet, roket, dan peledak
130-160
Sumber : Depnaker (1999) Tabel 4 Skala tingkat bising Skala
Tingkat Bising
Intensitas
(dB(A))
Menulikan
100-120
Sangat hiruk
80-100
Kuat
60-80
Sedang
40-60
Tenang
20-40
Sangat tenang
0-20
Ilustrasi Halilintar, meriam, mesin uap Jalan
hiruk
pikuk,
perusahaan
gaduh, pluit Kantor
gaduh,
jalan
pada
umumnya, radio Rumah gaduh, percakapan kuat, kantor pada umumnya Rumah tenang, percakapan biasa, kantor perorangan Berbisik, suara daun jatuh, tetesan air
Sumber : Notoatmodjo ( 2003)
Intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmik yang disebut desibel (dB) dengan membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2 (2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal. Ukuran kebisingan dinyatakan
37
dengan istilah sound pressure level (SPL). Alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu sound level meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara 30-130 dB dan dengan frekuensi 20-20000 Hz. Hasil keluaran pengukuran dengan alat ini adalah desibel (dB) dengan menggunakan dasar persamaan (Chanlett, 1979): SPL = 10 log (P/Pref)2..........................................................................(1) dimana SPL : tingkat tekanan kebisingan (dB) P
: tekanan suara (N/m2)
Pref : tekanan bunyi reference (2x10-5 N/m2) Terdapat 3 skala pengukuran untuk sound level meter yaitu: a) Skala pengukuran A: untuk memperlihatkan perbedaan kepekaan yang besar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi telinga untuk intensitas rendah (35-135 dB). b) Skala pengukuran B: untuk suara dengan kekerasan yang moderat (> 40 dB) tetapi sangat jarang digunakan dan mungkin tidak digunakan lagi. c) Skala pengukuran C: digunakan untuk suara yang sangat keras (> 45 dB) yang menghasilkan gambaran respon terhadap bising antara 20 sampai dengan 20000 Hz. Pada dasarnya pengaruh kebisingan pada jasmani para pekerja dibagi menjadi 2 golongan (Soemanegara 1975), yaitu: a) Tidak mempengaruhi indera penginderaan tetapi memberikan pengaruh berupa keluhan samar-samar dan tidak jelas berwujud penyakit. b) Pengaruh terhadap indera pendengaran baik bersifat sementara ataupun bersifat permanen (tetap), terdiri dari: 1) Accoustic trauma, yaitu tiap-tiap pelukaan insidential yang merusak sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran disebabkan oleh letusan senjata api, ledakan-ledakan atau suara yang dahsyat. 2) Occuptional deafness, yaitu kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen pada satu atau kedua telinga disebabkan oleh bising atau suara gaduh yang terus menerus dilingkungan kerja. Lama mendengar ditentukan oleh beban bising yaitu jumlah perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising tertentu dengan waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan sesuai dengan Tabel 4. Nilai ambang batas
38
kebisingan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) secara umum adalah 85 dB(A). Namun untuk menghitung waktu terpapar aman terhadap kebisingan dapat menggukan 2 buah standar yaitu : The U.S. Department of Defense standard (standar DOD) dan Occuptional Safety and Health Administration standard (standar OSHA). Rumus yang digunakan pada pada kedua standar adalah: Untuk DOD : Waktu (jam) =
8 2
L −84 ) / 4
........................................(1)
8 .......................................(2) 2 L −90 ) / 5 dimana : L = intensitas kebisingan (dB)
Untuk OSHA : Waktu (jam) =
Tabel 5 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinu yang diperkenankan ISO 85 ... 88 ... 91 94 97 100
Intensitas (dB) OSHA Indonesia (MENAKER) 90 85 92 87.5 95 90 97 92,5 100 95 105 100 110 105 115 110
Waktu kerja (jam) 8 6 4 3 2 1 0,5 0,25
Sumber (Sudirman 1992 dalam Wijaya 2005) Untuk meminimalisasi efek kebisingan yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, upaya pengendalian kebisingan di antaranya sebagai berikut: a) Pengendalian keteknikan, yaitu memodifikasi peralatan penyebab kebisingan, modifikasi proses dan modifikasi lingkungan dimana peralatan dan proses tersebut berjalan. b) Pengendalian sumber kebisingan, yang dilakukan dengan subtitusi antar mesin, proses dan material terutama penambahan penggunaan spesifikasi kebisingan pada peralatan baru. c) Perlindungan diri, yaitu dengan menggunakan sumbat telinga Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 30 dB.
39
2.3.2
Suhu dan Kelembaban Salah satu kondisi lingkungan fisik yang sangat mudah dideteksi adalah
temperatur. Keadaan pabrik yang terdiri dari beberapa mesin yang berputar sepanjang hari akan menghasilkan panas yang cukup tinggi di lingkungan sekitar. Suhu kerja adalah suhu lingkungan tempat kerja yang merupakan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara (dinyatakan dalam %) dan sangat dipengaruhi oleh temperatur udara. Dalam bekerja diperlukan suhu lingkungan yang baik, misalnya di tempat kita bekerja ditanami pohon-pohonan agar memberikan rasa sejuk bagi pekerja. Seorang pekerja dalam melakukan kegiatannya sebaiknya dalam keadaan suhu badan yang normal agar konsentrasi pekerjaannya tidak terganggu. Suhu badan manusia konstan dengan sedikit fluktuasi di sekitar 37 °C terdapat di bagian dalam otak, jantung, dan organ bagian dalam (= suhu inti). Suhu inti yang konstan diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal, sedang perubahan yang menyolok tidak baik karena tidak akan sesuai dengan kehidupan makhluk yang berdarah panas (Sulistyadi dan Susanty 2003).
Berdasarkan penelitian suhu
optimum kerja daerah tropis (di Indonesia) antara 24 - 26 °C. Menurut Sulistyadi (2003) kelembaban relatif normal pada saat bekerja antara 50-70%. 2.3.3
Pencahayaan Menurut Susanti (2003), ada tiga aspek penting tentang pencahayaan yaitu
kekuatan, arah datang dan jenis cahaya. Kesalahan sering dilakukan karena pemahaman yang tidak benar yaitu semakin terang berarti semakin baik. Pada kenyataannya kekuatan cahaya yang berlebihan akan cepat melelahkan mata sebagaimana halnya pencahayaan yang kurang: mata akan silau akibat pantulan cahaya yang terlampau kuat, dan bekerja berat bila cahaya tak mencukupi. Jumlah pencahayaan yang dibutuhkan pada berbagai aktivitas terdapat pada Tabel di bawah ini. Kadar cahaya didefinsikan sebagai “kepadatan (density) sinar yang mengalir dari sebuah sumber cahaya (sumber energi radian)”. Satuan internasional
40
yang dipakai adalah ‘lux” ialah banyaknya cahaya yang menerpa sebuah bidang. Selain itu sering dipakai satuan lumen (lm) dan candela (Cd). Tabel 6 . Pemandu Untuk Kadar Cahaya Kebutuhan kadar cahaya
Hasil pekerjaan
Jenis pekerjaan
80- 170
Tidak cermat
Melihat
170 – 350
Agak cermat
Memasang
350 – 700
Cermat/Teliti
Mambaca, menggambar
1000 - 10 000
Amat Teliti
Mencocokkan
Sumber : Susanti (2003) Kecerahan (luminance) merupakan ukuran dari sebuah permukaan yang memancarkan sinar atau yang memantulkan sinar dan surnber cahaya. Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat obyek secara jelas, cepat, tanpa menimbulkan kesalahan. Kebutuhan akan pencahayaan yang baik akan makin diperlukan pada saat mengerjakan suatu pekerjaan yang memerlukan ketelitian pada penglihatan. Kemampuan mata untuk dapat melihat obyek dengan jelas ditentukan olch ukuran obyek, derajat kontras diantara obyek dan sekelilingnya, luminensi (brigntness) dan lama kegiatan melihat. Arah yang salah dari datangnya cahaya dapat menyebabkan silau sehingga menimbulkan bayangan pada permukaan pandang.
Keadaan bayangan dapat
ditentukan oleh jenis cahaya. Cahaya lampu pijar menimbulkan bayangan yang tajam, berbeda dengan lampu neon, sementara itu jenis lampu dapat berperan dalam mencitrakan warna 2.3.4
Getaran Getaran mekanis merupakan getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis.
Besarnya getaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu intensitas, frekuensi, dan lamanya paparan terhadap getaran tersebut. Getaran tersebut dapat menyebabkan terganggunya konsentrasi kerja, mempercepat proses kelelahan dan menyebabkan gangguan pada anggota tubuh seperti: mata, telinga, saraf, otot dan lain-lain (Sulistyadi 2003). Menurut Bridger (1995), getaran dengan frekwensi antara 4-8 Hz sangat berbahaya. Menurut ISO (ISO 2631-1, 1985), getaran dengan percepatan lebih besar dari 0.32 m/s2 dapat
41
menimbulkan efek yang sangat serius bagi kesehatan seperti kesulitan dalam menulis atau minum, sulit bicara dan pandangan mata kabur. 2.4
Kelelahan Menurut Grandjean (1988), kelelahan adalah berkurangnya sebagian
kemampuan fisik maupun non fisik manusia. Kelelahan merupakan fenomena dimana seseorang akan mengalami penurunan produktivitas dalam bekerja. Tarwaka et al.(2004) mengatakan definisi kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja (Sedarmayanti 1996). Ramadhani (2003) mengatakan definisi kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap orang, yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatan. Kelelahan adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari hari yang mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Suma'mur 1989). Menurut Sritomo Wignjosoebroto (2008), jenis kelelahan terbagi menjadi 2 yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan Otot (Muscular Fatique) adalah kelelahan yang disebabkan karena aktifitas otot yang berlebihan. Kelelahan otot ditunjukkan melalui gejala sakit nyeri yang luar biasa, seperti ketegangan otot pada daerah sendi. Kelelahan otot adalah gejala nyeri atau sakit mendadak yang terjadi pada otot yang mengalami pembebanan berlebihan yang terlokalisir ditempat tersebut. Tanda-tandanya: kekuatan kontraksinya melemah, kontraksi dan relaksasi melamban serta fase laten memanjang. Otot yang lelah akan menyebabkan gangguan koordinasi, sehingga dapat meningkatkan resiko atau kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja, di samping itu pada otot yang lelah kandungan asam laktat dan karbondioksidanya akan meningkat (Kurniawan 2000). Secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja.
42
Kelelahan Umum (General fatique) adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktifitas. Beberapa jenis kelelahan fisik secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: a) Kelelahan penglihatan muncul dari terlalu letihnya mata. b) Kelelahan seluruh tubuh sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh. c) Kelelahan mental yang disebabkan oleh pekerjaan yang bersifat mental dan intelektual. d) Kelelahan saraf yang disebabkan oleh karena terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik. e) Terlalu monotonnya pekerjaan dan suasana sekitarnya. f) Kelelahan kronis sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu panjang. g) Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur Gambaran mengenai gejala kelelahan (Fatique Symptom) secara subjektif dan objektif menurut Rama (2003), antara lain: a) Perasaan lesu, ngantuk dan pusing b) Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi c) Berkurangnya tingkat kewaspadaan d) Persepsi yang buruk dan lambat e) Tidak atau berkurangnya gairah untuk kerja f) Menurunnya kinerja jasmani maupun rohani Bila kelelahan telah merupakan keadaan penyakit, kelelahan tersebut telah bersifat medis dan gejala-gejala yang ditemukan pada tenaga kerja menurut Suma'mur (1989), adalah: a) Pusing kepala b) Jantung berdebar-debar c) Nafas sesak d) Hilang nafsu makan e) Gangguan pencernaan
43
f) Tidak bisa tidur Nurmianto (1996) mengatakan bahwa kelelahan dapat ditandai dengan kondisi yang cenderung untuk mengantuk, gejala-gejalanya adalah: a) Rasa letih, lelah, lesu dan lemah b) Mengantuk c) Motivasi kerja menurun d) Rasa pesimis Terdapat 5 kelompok sebab kelelahan menurut Suma'mur (1989), yaitu: a) Keadaan monoton b) Beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental c) Keadaan lingkungan seperti: cuaca kerja, penerangan dan kebisingan d) Keadaan kejiwaan seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik e) Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi Grandjean (1988) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, dan untuk memelihara/mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran. 2.5
Beban Kerja Menurut Mc. Cormick dan Sanders (1978), metabolisme merupakan proses
kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk, yaitu energi panas dan energi mekanik. Energi panas terjadi akibat kita melakukan suatu pekerjaan, dan energi mekanik digunakan untuk kegiatan internal tubuh (proses pernafasan maupun pencernaan) dan kegiatan eksternal seperti bekerja, berjalan maupun kegiatan lainnya. Energi yang tersedia dalam tubuh dihasilkan melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam sel-sel otot tubuh. Metabolisme ini berkaitan dengan kelancaran transportasi bahan-bahan metabolik ke seluruh tubuh yang diedarkan oleh sistem transportasi tubuh.
Kelancaran sistem peredaran darah ini dapat
dipantau melalui jumlah denyut jantung dan nadi per satuan waktu yang berperan
44
layaknya pompa darah. Semakin besar kebutuhan tenaga dalam melakukan suatu aktifitas maka akan semakin cepat pula jantung dan nadi itu berdenyut. Beban kerja merupakan beban seseorang ketika melakukan suatu pekerjaan. Beban ini akan diketahui pada saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keringat yang keluar (Rasyani 2001). Kapasitas kerja manusia dibatasi dan terutama ditentukan oleh kemampuan untuk menyediakan oksigen dan makanan yang cukup. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan empat parameter fisiologis meliputi suhu tubuh, konsumsi oksigen, laju paruparu/frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Zanders 1972). Peningkatan beban kerja akan menaikkan suhu tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dijadikan parameter pengukuran beban kerja fisik. Pada pekerja yang bekerja pada suhu udara tinggi, peningkatan suhu tubuh tidak proporsional dengan laju konsumsi O2, sifat ini dapat dijadikan indikasi pengukuran hear stress. Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi memerlukan O2, dengan demikian konsumsi O2 dapat dijadikan parameter untuk pengukuran beban kerja, dengan mengequivalenkan antara kebutuhan energi dan kebutuhan O2 diperoleh hubungan yang nyata antara keduanya. Konsumsi energi bersih per kegiatan dapat diukur dengan cara menguranginya dengan energi yang diperlukan untuk metabolisme basal. Laju paru-paru dan frekuensi pernafasan seimbang dengan konsumsi O2, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernafasan dapat dihitung besarnya konsumsi O2 dan dapat diketahui besarnya beban kerja. Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk pekerjaan statis. Pengukuran beban kerja fisik yang termudah untuk dilakukan pada kondisi lapang adalah dengan mempergunakan pengukuran denyut jantung. Tetapi, walaupun bagaimana cara pengukuran ini memiliki kelemahan, karena hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter
45
denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan (Hayashi et al. 1997). Salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan mempergunakan metode step test atau metode langkah, selain dari sepeda ergometer. Dengan metode step test dapat diusahakan suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat dilakukan dimana-mana, terutama di lapang, dibandingkan dengan menggunakan sepeda ergometer (Hayashi et al. 1997). Menurut Hayashi et al. (1997), denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test). Step test mempunyai komponen pengukuran yang mudah, selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, sehingga dengan demikian ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Hayashi et al.1997). Dengan metode ini beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Herodian 1998). Penelitian beban kerja operator menggunakan parameter denyut jantung (heart rate- HR) yang diukur pada saat istirahat dan pada saat bekerja. Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk pekerjaan statis (Zander 1972 dan Sanders 1987). Indikator-indikator fisiologis beban kerja dapat menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja, sesuai dengan kapasitas kerjanya. Untuk menghindari subyektivitas nilai denyut jantung yang umumnya sangat dipengaruhi faktor-faktor personal, psikologis, dan lingkungan, maka perhitungan nilai denyut jantung harus dinormalisasi agar diperoleh nilai denyut jantung yang lebih obyektif (Syuaib 2003). Normalisasi nilai denyut jantung dilakukan dengan cara perbandingan denyut jantung relatif saat kerja terhadap denyut jantung saat
46
istirahat. Nilai perbandingan HR tersebut dinamakan IRHR (Increase Ratio of Heart Rate) atau dengan persamaan: IRHR =
HRwork HRrest
dimana HRwork : denyut jantung pada saat bekerja HRrest Tabel 7 menunjukkan
: denyut jantung pada saat istirahat
kategori nilai IRHR dari jenis pekerjaan untuk
masing-masing pekerja (Syuaib 2003). Tabel 7 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR Kategori
Nilai IRHR
Ringan
1.00 < IRHR < 1.25
Sedang
1.25 < IRHR < 1.50
Berat
1.50 < IRHR < 1.75
Sangat berat
1.75 < IRHR < 2.00
Nilai IRHR dapat digunakan sebagai indikasi tingkat kejerihan atau tingkat beban yang dirasakan oleh pekerja. Tingkat ini juga dapat digunakan untuk memprediksi kurva belajar (learning curve) dari seorang pekerja pemula dibandingkan dengan pekerja berpengalaman (skillful). Menurut Syuaib (2002, 2003, 2007) pekerja berpengalaman memiliki nilai IRHR cenderung konstan berbagai pengamatan, sementara pekerja pemula memiliki nilai IRHR yang tinggi pada awal pengamatan, kemudian akan menurun menuju posisi konstan secara lagaritmik. Pekerjaan yang memerlukan tenaga yang lebih dan ketrampilan yang lebih tinggi yaitu pekerjaan mengoperasikan traktor tangan memiliki kecuraman kurva yang lebih tajam daripada pekerjaan yang memerlukan tenaga lebih kecil dan ketrampilan lebih sedikit yaitu pada pengoperasian traktor kemudi. Kurva untuk masing-masing jenis pekerjaan disampaikan pada Gambar 11 dan 12. Nilai ketajaman penurunan kurva ditunjukkan oleh koefisien pada fungsi logaritmik yaitu sebesar 0.16 untuk traktor tangan dan 0.03 untuk traktor kemudi. Dengan kata lain proses belajar untuk kedua macam pekerjaan berbeda.
47
Gambar 11 Hubungan antara IRHR dan jumlah observasi pada operator traktor tangan (Syuaib 2002)
Gambar 12 Hubungan antara IRHR dan jumlah observasi pada operator traktor kemudi. (Sumber: Syuaib 2003) Kelelahan kerja manusia juga dipengaruhi oleh seberapa besar kemampuan yang digunakan. Jika kemampuan maksimum yang digunakan, maka durasi ketahanan manusia jauh lebih pendek dibandingkan jika hanya menggunakan sebagian saja dari kemampuan maksimum. Grandjaen (1988) memberikan gambaran hubungan antara lama waktu yang dapat dilakukan secara aman oleh
48
manusia terhadap persentase beban kerja fisik yang dilakukan. Grafik hubungan tersebut seperti pada Gambar 13 berikut.
Gambar 13 Hubungan antara beban kerja otot dengan durasi aman (Sumber: Grandjean 1998) Jika beban yang diterima terlalu berat atau durasi penerimaan beban melebihi waktu aman, maka akan sangat mungkin terjadi kelelahan yang berlebihan. Pekerja akan mampu bertahan untuk waktu yang lama jika beban fisik yang diterima antara 10-15% kemampuan maksimumnya. 2.6 Kecelakaan Kerja Keberhasilan seseorang operator dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut harus diperhatikan agar dapat memaksimalkan fungsi kerja operator sehingga mampu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Untuk menghindari kecelakaan kerja dari awal seseorang operator perlu memperhatikan faktor tersebut. Secara garis besar faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua (2) kelompok, yaitu: a) Kelompok faktor diri (individual), dan b) Kelompok faktor situasional. Kelompok faktor diri terdiri dari beberapa faktor yang datang dari diri pekerja itu sendiri. Beberapa hal seperti penalaran, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang bekerja.
49
Kelompok faktor situasional terdiri dari faktor yang dapat diubah atau diatur. Faktor ini berada di luar diri manusia. Kelompok faktor situasional terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu: 2.
Faktor sosial keorganisasiannya seperti kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja
3.
Faktor fisik pekerjaan yang bersangkutan seperti keterkaitan antara seseorang yang bekerja dengan alat, mesin dan lingkungan kerja .
2.7 Mekanisme Autopoiesis Menurut Jackson (2007), istilah autopoiesis berasal dari bahasa latin “auto” yang berarti swa/mandiri dan “poiesis” yang berarti kreasi atau produksi. Dengan demikian secara kebahasaan autopoiesis berarti swa-kreasi atau swa-poduksi. Teori autopoiesis berkembang dari Maturana dan Varela (1980) yang melakukan eksplorasi tentang apa yang membedakan sistem kehidupan dari nonkehidupan dan bagaimana sistem kehidupan bertahan walaupun ada perubahan dalam struktur dan komponen. Berangkat dari pertanyaan, apa yang membuat sebuah sistem kehidupan menjadi sistem kehidupan? Apakah jenis fenomena biologis adalah fenomena kognitif? Kedua pertanyaan ini telah sering dipertimbangkan, namun kedua orang ahli biologi tersebut menganggapnya sebagai pertanyaan biologis yang mendasar. Analisis mereka sangat menarik perhatian dan provokatif, karena telah membangun sebuah teori biologi sistematis yang mencoba untuk mendefinisikan sistem hidup tidak sebagai obyek observasi dan deskripsi, atau bahkan sebagai sistem yang berinteraksi, tetapi sebagai kesatuan mandiri yang hanya memiliki referensi untuk diri mereka sendiri. Konsekuensi dari penyelidikan mereka dan sistem hidup mereka sebagai pengambilan keputusan mandiri, mengacu kesatuan otonom secara mandiri, adalah mereka menemukan bahwa dua pertanyaan memiliki jawaban yang umum: sistem hidup adalah sistem kognitif, dan hidup sebagai suatu proses adalah proses kognisi. Hasil investigasi mereka adalah perspektif yang sama sekali baru tentang fenomena biologi (manusia). Selama penyelidikan, ditemukan bahwa deskripsi linguistik yang lengkap berkaitan dengan 'organisasi yang hidup' adalah kurang lengkap dan, pada kenyataannya, akan mengganggu hasil penelitian. Oleh karena
50
itu, diciptakan istilah 'autopoiesis' kata untuk menggantikan ekspresi 'organisasi melingkar'. Pendekatan sistem kehidupan berfokus pada otonomi yang diwujudkan melalui proses: a) swa-produksi (self-production), b) produksi dari respon yang mampu bertahan terhadap gangguan, c) sturktur hubungan antar sistem, d) bagaimana sistem bertahan dan mempertahankan identitas meskipun terjadi perubahan dalam komponen dan struktur Gambar 14 menunjukkan bagaimana komponen kunci dalam sistem autopoietik.
Gambar 14 Fitur kunci dalam sistem autopoiesis. (Sumber : Gregory 2006) Secara khusus, gambar ini menekankan bahwa sifat swa-produksi dari bagian komponen berfungsi untuk membedakan secara jelas sistem dari lingkungannya (sebaliknya, dari pandangan sistem terbuka di mana batas terletak ditentukan melalui penilaian subjektif tentang kekayaan interaksi antara komponen).
51
Dalam konteks fisika, Maturana dan Varela (1980) mendefinisikan bahwa mesin terbagi menjadi dua macam yaitu autopoiesis dan alopoietis. Mesin alopoietis melakukan kerja/produksi memberikan sesuatu untuk yang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Contohnya adalah lampu, blender dan komputer. Sedangkan mesin autopoiesis memproduksi daya untuk keperluan menjalankan mesin itu sendiri, misalnya sebuah mobil Proses autopoesis, menurut Whitaker (2005) dan Mingers (1995) adalah sebuah proses ”self-organization, self-creation, self-configuration, self-steering, dan self-maintenance”.
Autopoiesis berarti proses yang terjadi dalam suatu
keadaan tertentu yang secara mandiri mengatur diri sehingga terbentuk satu keadaan baru yang lebih baik. Istilah ini sebenarnya berkembang awal di dalam ranah biologi, kemudian menyebar dalam ranah-ranah lain termasuk ranah teknik dan sosial. Berdasarkan pada definisi ini, maka proses pembentukan sistem baru mengikuti proses yang tidak selamanya dapat diarahkan atau dikendalikan dengan baik. Dalam kapasitas tertentu proses dapat difahami sebagiannya, namun jika akan melakukan suatu proses manipulasi menemui beberapa anomali atau penyimpangan, hal ini disebabkan pemahaman kita yang tidak utuh terhadap proses tersebut. Al-Rasyid (2005) dalam beberapa makalahnya menyampaikan bahwa setiap benda baik hidup maupun benda mati memiliki nilai azali yang tidak berubah. Nilai ini berupa kecerdasan awal yang disebut dengan proto limit. Istilah proto limit menunjukkan bawa kecerdasan tersebut dapat kita tangkap secara ilmiah tetapi akan berhenti pada pertanyaan kenapa dimikian dan ternyata tidak ada satu jawabanpun yang dapat menyelesaikannya. Batas ini yang disebut sebagai proto limit. Contoh sederhana dari konsep protolimit adalah jika kita mengkaji materi air (H2O). Sudah diketahui bahwa atom hidrogen memiliki sifat dasar tertentu yang tidak diketahui kenapa dapat berperilaku demikian. Demikian juga atom oksigen memiliki proto limitnya sendiri. Kemudian jika 2 buah atom hidrogen bertemu dengan 1 atom oksigen, maka akan terbentuk ekologi baru (proto ekologi) yang kita sebut dengan H2O atau air. Kenapa tidak membentuk H4O? Jawabannya adalah bahwa hidrogen dan oksigen telah memiliki kecerdasan awal untuk saling mengikat membentuk ekologi baru. Sifat ekologi baru H2O ini
52
sangat berbeda dengan sifat atom pembentuk hidrogen dan oksigennya. Proses terjadi ekologi baru ini disebut dengan proses autipoiesis. Mekanisme autopoiesis ini bukan hanya terjadi dalam satu organisme, namun terus berkembang antar organisme membentuk sebuah ekologi, kemudian berkembang terus menjadi semakin besar. Intervensi dapat dilakukan dalam proses ini sepanjang tidak bertentangan dengan kecerdasan awal yang dimiliki oleh entitas sebelumnya. Hasil setiap proses autopoiesis ditentukan oleh kecerdasan awal setiap komponen dan saling komplementer dengan komponen yang lain. Satu komponen saja tidak akan mampu membentuk bentukan baru, setiap komponen memerlukan komponen yang lain untuk proses ini. Dalam ranah sosial menurut Gregory (2006), masyarakat industri ditandai oleh pemisahan masyarakat ke dalam berbagai sub-sistem fungsional. Masyarakat adalah sebuah contoh terbaik yang menunjukkan sistem memproduksi sendiri atau autopoietik yang terdiri dari enam subsistem: ekonomi, politik, hukum, ilmu pengetahuan, agama dan pendidikan. Sistem pendidikan diperlakukan sebagai kasus khusus seperti melalui itu siswa dapat belajar tentang subsistem lainnya seperti hukum, ekonomi, dll. Subsistem pendidikan meskipun tidak dapat menginstruksikan murid dalam segala hal, maka pilihan harus dibuat tentang prioritas pengetahuan dan kekuatan luar yang berasal dari sub-sistem pendukung. Oleh karena itu masing-masing sub-sistem, kecuali pendidikan, mengalami proses autopoiesis sendiri dan terkait satu dengan yang lain.