PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA
FARRY APRILIANO HASKARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja Pada Pabrik Gula adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2008
Farry Apriliano Haskari NIM F151060081
iii
ABSTRACT FARRY APRILIANO HASKARI. Model Scheme of Macro Ergonomics Factor for Work System Productivity in Sugar Mill. Under supervision of SAM HERODIAN and LENNY SAULIA. Sugar mill is a part of sugar industry representing a dynamic work system which occupies machine and human labour. The good scheme ergonomic covers the micro and macro ergonomics to improve productivity of work system. This research was conducted in order to learn and determine the macro and micro parameter of ergonomics at the work system in a sugar mill. The determination of these parameters was applied in model scheme of micro and macro ergonomic factors to improve work system productivity. The illumination, temperature, humidity, noise, vibration, and operator perceptions ware collected as data input for modelling system using artificial neural network. As the result, the optimum productivity level in PG Bungamayang can be reached if the combination of macro and micro ergonomic factors for the illumination 100-200 lux, temperature 25 0C, humidity 60-70%, noise 85 dB, vibration 1.6-2 m/s2 and very care to organizational work system of the operator perception level with the predicted productivity level equals to 1858-1865 ton cane/shift, and in PG Jatitujuh can be reached if illumination 220-260 lux, temperature 28-29 0C, humidity 62-66%, noise 80 dB, vibration 1.2-1.6 m/s2 and very care to organizational work system of the operator perception level, with the predicted productivity level equals to 1464-1592 ton cane / shift. Keywords: macro ergonomic, work system, productivity.
iv
RINGKASAN FARRY APRILIANO HASKARI. Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula. Dibimbing oleh SAM HERODIAN dan LENNY SAULIA. Pabrik gula adalah bagian dari industri gula yang merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan (turnover) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi). Produktivitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia (human factor). Dalam rangka meningkatkan produktivitas, perbaikan prestasi kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, pekerjaan dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan Produktivitas tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. Penelitian ini telah dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas. Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei sampai Juni 2008. Prosedur penelitian yang digunakan secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, kalibrasi dan validasi, kemudian dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik meliputi tingkat pencahayaan (illuminasi), suhu, kelembaban, kebisingan dan getaran. Pengukuran ini dilakukan di kedua pabrik gula pada stasiun gilingan, pemurnian, pemasakan, pengupan, puteran, boiler dan power house dengan mengukur kondisi lingkungan fisik di tempat operator bekerja. Pada PG Bungamayang dilakukan pada 24 titik pengukuran dan di PG Jatitujuh dilakukan pada 48 titik pengukuran dengan 10 kali ulangan pada masing-masing titik. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran detak jantung dengan heart rate dan menggunakan kuisioner. Pengukuran beban kerja
v
dilakukan pada tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Kegiatan yang diamati pada stasiun ini yaitu kegiatan mengatur bagas pada tungku pembakaran boiler. Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi dengan menggunakan kuisiner dilakukan pada 79 orang responden di PG Bungamayang dan 54 orang responden di PG Jatitujuh. Data ergonomi mikro dan makro ini kemudian digunakan dalam simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) menggunakan software Matlab R2008a dengan menggunakan neural network toolbox. Model JST yang dibangun terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama terdiri dari enam parameter input antara lain pencahayaan, suhu, kelembaban, keisingan, getaran dan perspektif operator terhadap lingkungan organisasinya dengan tiga parameter output antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan kelelahan. Model JST tahap kedua menggunakan tiga parameter input antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan kelelahan dengan satu parameter output yaitu tingkat produktivitas (ton cane/shift). Dari hasil kalibrasi dan validasi model JST untuk PG Bungamayang, tahap pertama diperoleh model JST 6-2-1 dengan jumlah sepuluh node pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.768 dan nilai validasi R2=0.765. Model JST tahap kedua diperoleh model JST 3-1-1 dengan tiga node pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.789 dan nilai validasi R2=0.818. Sedangkan untuk PG Jatitujuh, hasil kalibrasi dan validasi model JST tahap pertama diperoleh model JST 3-3-1 dengan jumlah node 300 pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.881 dan validasi R2=0.858. Dan untuk model JST tahap kedua diperoleh model JST 3-4-1 dengan 300 node pada hidden layer menunjukkan nilai kalibrasi R2=0.6646 dan validasi R2=0.7018. Optimasi model dilakukan untuk mendapatkan bentuk rancangan sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomi mikro dan makro yang optimum sehingga dalam proses produksi sesuai dengan kondisi ergonomi mikro dan makro yang sesuai dengan nilai ambang batas bagi operator. Berdasar hasil optimasi disimpulkan bahwa tingkat produktivitas yang optimum di PG Bungamayang dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 100-120 lux, suhu 25 0C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 dB, getaran antara 1.6-2 m/s2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya, maka tingkat produktivitas yang dicapai antara 1858-1865 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 2.9-3.25% (174-195 ton cane/day), dan 1.5% (94.5 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 120 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. Tingkat produktivitas yang optimum di PG Jatitujuh dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 220-260 lux, suhu 28-29 0C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 dB, getaran antara 1.2-1.6 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya dengan tingkat produktivitas yang dicapai antara 1464-1592 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 5.7-12.1% (342-726 ton cane/day), dan 4.36% (196 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 260 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. Kata kunci : makro ergonomi, sistem kerja, produktivitas
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA
FARRY APRILIANO HASKARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
viii
Judul Tesis Nama NIM
: Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula : Farry Apriliano Haskari : F151060081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. Ketua
Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Prof. Dr. Ir. Armansyah H.T, M.Agr.
Tanggal Ujian: 16 Oktober 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan Rahmat-Nya sehingga dengan perkenan-Nya jualah Tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa akanlah sulit untuk dapat menyelesaikan penelitian tesis ini tanpa bantuan moril dan semangat dari banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya pada : 1 Dr. Ir. Sam Herodian, M.S, selaku Ketua Pembimbing yang selalu memberi bimbingan, arahan, waktu dalam penelitian dan penulisan tesis dan semangat untuk berkarya dengan sebaik-baiknya. 2 Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si., Pembimbing anggota yang memberikan bimbingan, arahan, waktu, bantuan dalam penelitian dan penulisan tesis. 3 Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si., sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji penulisan tesis ini. 4 Departemen Perguruan Tinggi Negeri (DIKTI) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program peningkatan kemampuan Strata-2 di Institut Pertanian Bogor melalui sumber dana BPPS. 5 PG Bungamayang dan PG Jatitujuh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan kegiatannya dalam rangka riset ergonomi pada proses pabrikasi gula. 6 Teman-teman Program Studi Keteknikan Pertanian 2006 yang telah banyak memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini, terkhusus pada tim peneliti (Lamto Widodo, Sukris TC, Budi Santoso, Ludi C, Heru, Bayu, Tania, Malik dan Vidy) 7 Keluarga besar Sagiman dan Fachsor Lanwi Gumay, khususnya istriku tercinta Nesty Gumayeka serta buah hatiku Azzahra Raudhah Ramadhani dan Muhammad Azmi atas kesabaran, dukungan dan do’anya. 8 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2008 Farry Apriliano Haskari
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup, 14 April 1976 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Mayor. Purn. Sagiman dan Ibunda Suparmi. Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah di SDN No.2 Sukarami tahun 1982-1988, kemudian SMPN 40 Palembang tahun 1988-1991, dan SMAN 13 Palembang tahun 1991-1994. Pendidikan tinggi ditempuh di Universitas Sriwijaya, Palembang, Pada Fakultas Pertanian (FP) Jurusan Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pada program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Keteknikan Pertanian dengan mendapatkan Beasiswa BPPS dari DIKTI.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xxii
1 PENDAHULUAN....................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 1.3 Tujuan ................................................................................................ 1.4 Batasan Masalah dan Asumsi ............................................................
1i 1 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 2.1 Ergonomika........................................................................................ 2.2 Ergonomi Mikro .................................................................................. 2.2.1 Kebisingan .................................................................................. 2.2.2 Suhu dan Kelembaban ................................................................ 2.2.3 Pencahayaan .............................................................................. 2.2.4 Getaran ....................................................................................... 2.3 Ergonomi Makro................................................................................. 2.4 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja .................................. 2.4.1 Kelelahan ..................................................................................... 2.4.1.1 Definisi Kelelahan .................................................................. 2.4.1.2 Jenis Kelelahan ..................................................................... 2.4.1.3 Gejala-Gejala Kelelahan ........................................................ 2.4.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan ....................... 2.4.1.5 Mekanisme Terjadinya Kelelahan .......................................... 2.4.2 Beban Kerja ................................................................................ 2.4.3 Kecelakaan Kerja ........................................................................ 2.5 Produktifitas .......................................................................................
5 5 5 6 9 9 10 11 12 12 12 12 14 15 17 17 20 20
3 METODE PENELITIAN.............................................................................. 3.1 Tempat dan Waktu ............................................................................. 3.2 Obyek dan Alat .................................................................................. 3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 3.3.1 Studi Pendahuluan ...................................................................... 3.3.2 Pengambilan Data ....................................................................... 3.3.2.1 Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik ........ 3.3.2.2 Pengukuran Beban Kerja...................................................... 3.3.2.3 Pengukuran Makro Ergonomi ............................................... 3.3.3 Pemodelan Sistem ...................................................................... 3.3.3.1 Proses Pembelajaran Model JST ......................................... 3.3.3.2 Verifikasi dan Validasi Model JST.........................................
22 22 22 22 23 23 23 26 30 30 32 35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 4.1 Profil Perusahaan .............................................................................. 4.1.1 Pabrik Gula Jatitujuh ................................................................... 4.1.1.1 Sejarah Perusahaan ............................................................. 4.1.1.2. Mesin dan Peralatan Produksi ............................................. 4.1.1.3 Sarana Penunjang dalam Proses Produksi .......................... 4.1.1.3.1 Stasiun Boiler ................................................................. 4.1.1.3.2 Stasiun Instrument listrik .................................................
36 36 36 36 38 39 39 40
xii
4.1.1.4 Proses Produksi ................................................................... 4.1.2 Pabrik Gula Bungamayang.......................................................... 4.1.2.1 Sejarah Perusahaan ............................................................. 4.1.2.2 Proses Produksi ................................................................... 4.1.2.2.1 Stasiun Penerimaan Bahan Baku .................................. 4.1.2.2.2 Stasiun Pemerahan Nira ................................................ 4.1.2.2.3 Stasiun Pemurnian Nira ................................................. 4.1.2.2.4 Stasiun Penguapan ....................................................... 4.1.2.2.5 Stasiun Kristalisasi......................................................... 4.1.2.2.6 Stasiun Puteran ............................................................ 4.1.2.2.7 Stasiun Boiler ................................................................ 4.1.2.2.8 Stasiun Listrik ................................................................ 4.2 Ergonomi Mikro .................................................................................. 4.2.1 Pecahayaan ................................................................................ 4.2.1.1 Shift Pagi .............................................................................. 4.2.1.2 Shift Siang ............................................................................ 4.2.1.3 Shift Malam .......................................................................... 4.2.2 Suhu ........................................................................................... 4.2.2.1 Shift Pagi .............................................................................. 4.2.2.2 Shift Siang ............................................................................ 4.2.2.3 Shift Malam .......................................................................... 4.2.3 Kelembaban ................................................................................ 4.2.3.1 Shift Pagi .............................................................................. 4.2.3.2 Shift Siang ............................................................................ 4.2.3.3 Shift Malam .......................................................................... 4.2.4 Kebisingan .................................................................................. 4.2.4.1 Shift Pagi .............................................................................. 4.2.4.2 Shift Siang ............................................................................ 4.2.4.3 Shift Malam .......................................................................... 4.2. 5 Getaran ...................................................................................... 4.2.5.1 Shift Pagi .............................................................................. 4.2.5.2 Shift Siang ............................................................................ 4.2.5.3 Shift Malam .......................................................................... 4.3 Ergonomi Makro................................................................................. 4.3.1 Pabrik Gula Jatitujuh ................................................................... 4.3.1.1 Struktur Organisasi ............................................................... 4.3.1.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan ........................................ 4.3.2 Pabrik Gula Bungamayang.......................................................... 4.3.2.1 Struktur Organisasi ............................................................... 4.3.2.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan ........................................ 4.4 Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan .................................. 4.4.1 Beban Kerja Menggunakan Heart Rate ................................... 4.4.1.1 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Jatitujuh ........................... 4.4.1.1.1 Shift Pagi..................................................................... 4.4.1.1.2 Shift Siang .................................................................. 4.4.1.1.3 Shift Malam ................................................................ 4.4.1.2 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Bungamayang ................ 4.4.1.2.1 Shift Pagi................................................................... 4.4.1.2.2 Shift Siang ................................................................. 4.4.1.2.3 Shift Malam ............................................................... 4.4.2 Kuisioner Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan ........ 4.5 Simulasi ............................................................................................ 4.5.1 Sebaran Data .........................................................................
40 49 49 50 51 51 52 53 54 55 56 58 58 58 58 59 59 60 60 60 61 61 61 62 62 63 63 63 64 64 64 65 65 66 66 66 67 68 68 70 71 71 72 73 79 82 84 84 90 97 104 106 106
xiii
4.5.2 Analisis Model ........................................................................ 4.5.3 Verifikasi Model JST ............................................................... 4.5.3.1 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang ............................................................. 4.5.3.2 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang ............................................................. 4.5.3.3 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh ....................................................................... 4.5.3.4 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh ....................................................................... 4.5.4 Validasi Model JST ................................................................. 4.5.4.1 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang ............................................................. 4.5.4.2 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang ............................................................. 4.5.4.3 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh ....................................................................... 4.5.4.4 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh ....................................................................... 4.5.5 Prediksi Model ........................................................................ 4.5.5.1 Illuminasi ......................................................................... 4.5.5.2 Suhu ................................................................................ 4.5.5.3 Kelembaban .................................................................... 4.5.5.4 Kebisingan....................................................................... 4.5.5.5 Getaran ........................................................................... 4.5.5.6 Lingkungan Organisasi .................................................... 4.5.6 Optimasi Rancangan Sistem Kerja ..........................................
107 107
5 KESIMPULAN........................................................................................... 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 Saran .................................................................................................
136 136 137
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
138
LAMPIRAN ...................................................................................................
140
107 108 108 109 110 110 110 111 111 112 113 116 120 123 127 130 133
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Effek kebisingan dibawah 85 dB ..............................................................
6
2
Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan ..................................................................
8
3
Pemandu untuk illuminasi ........................................................................
9
4
Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis ...
19
5
Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh .....................................................................................
29
6
Katagori pekerjaan berdasarkan IRHR.....................................................
29
7
Rincian penggunaan areal unit usaha Bungamayang ..............................
50
8
Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan .................
54
9
Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi .....................................................................
58
10 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ...................................................................
59
11 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam .................................................................
59
12 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi .....................................................................
60
13 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ...................................................................
60
14 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam .................................................................
61
15 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi .....................................................................
61
16 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ...................................................................
62
17 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam .................................................................
62
18 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi .....................................................................
63
19 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ...................................................................
63
20 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam .................................................................
64
21 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi .....................................................................
64
22 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ...................................................................
65
xv
23 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam .................................................................
65
24 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
72
25 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
72
26 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ..............................
73
27 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama .....................................................................................
74
28 Denyut jantung operator kedua (mulyadi) pada saat step test...................
75
29 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua.........................................................................................
76
30 Energy cost pada operator pertama dan kedua .......................................
79
31 Energy cost pada kedua operator pada shift siang...................................
81
32 Energy cost pada kedua operator pada shift malam ................................
84
33 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
84
34 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ...............................
85
35 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama .....................................................................................
86
36 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
86
37 Denyut jantung operator kedua pada saat step test .................................
87
38 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua.........................................................................................
88
39 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift pagi..............
90
40 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
91
41 Denyut jantung operator pertama pada saat step test .............................
91
42 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama pada shift siang ...........................................................
92
43 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
93
44 Denyut jantung operator kedua pada saat step test .................................
93
45 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua.........................................................................................
94
46 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift siang ..............
97
47 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
97
48 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ..............................
98
xvi
49 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama pada shift malam .........................................................
99
50 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ...............................................
99
51 Denyut jantung operator kedua pada saat step test ................................. 100 52 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua......................................................................................... 101 53 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift malam............ 103 54 Indikator tingkat beban kerja secara subyektif.......................................... 104 55 Indikator tingkat kecelakaan kerja secara subyektif.................................. 104 56 Indikator tingkat kelelahan secara subyektif ............................................. 104 57 Indikator tingkat perspektif karyawan terhadap lingkungan organisasi ..... 104 58 Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi secara umum pada proses produksi gula ....... 105 59 Perspektif operator shift pagi terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula ............. 105 60 Perspektif operator shift siang terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula ............. 105 61 Perspektif operator shift malam terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula. .. 105 62 Sebaran data input pada enam parameter ergonomi untuk model JST tahap pertama.......................................................................................... 106 63 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama ...................... 107 64 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 6-2-1 (Training) dengan 10 node pada hidden layer................................. 108 65 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ......................... 108 66 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama ...................... 109 67 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 3-3-1 (Training) dengan 300 node pada hidden layer............................... 109 68 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ......................... 110 69 Pengaruh variasi jumlah node dalam validasi model JST yang dibangun .................................................................................................. 110 70 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ......................... 111 71 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun ............. 111 72 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun ............. 112 73 Nilai input JST yang digunakan dalam optimasi tingkat produktivitas ....... 134
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pada pabrik gula .......................................................................................................
3
2
Diagram alir metode penelitian .............................................................
23
3
Alat ukur temperatur digital ....................................................................
24
4
Vibrationmeter .......................................................................................
25
5
Tachometer ...........................................................................................
26
6
Skema pemodelan dengan Jaringan Syaraf Tiruan ...............................
30
7
Model JST tahap I yang dikembangkan pada tiap shift kerja .................
31
8
Model JST tahap II yang dikembangkan pada tiap shift kerja ................
32
9
Ilustrasi pembelajaran backpropagation.................................................
33
10
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi .......................................................................................
73
11
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama .......................
74
12
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi .......................................................................................
75
13
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ..........................
76
14
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi......................................................
76
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi.............................................................
77
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja ....................................................................................
78
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua (mulyadi) melakukan kerja pada shift pagi .............................................
78
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test sebelum bekerja pada shift siang...........................................................
79
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang ...........................................................
80
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test sebelum bekerja pada shift siang...........................................................
80
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang ...........................................................
81
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja pada shift malam......................................................
82
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam.........................................................
82
15 16 17 18 19 20 21 22 23
xviii
24
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam ........................................................
83
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift malam.........................................................
83
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi .......................................................................................
85
27
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama .......................
86
28
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi ................................................................................................
87
29
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ..........................
88
30
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi......................................................
88
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi.............................................................
89
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja ....................................................................................
89
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift pagi.............................................................
90
Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test pada shift siang .....................................................................................
91
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama pada shift siang ......................................................................................................
92
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift siang ..............................................................................................
93
37
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ..........................
94
38
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift siang ....................................................
95
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang ...........................................................
95
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja ....................................................................................
96
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang ...........................................................
96
Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test pada shift malam ...................................................................................
98
43
Grafik Hubungan IRHR dengan TECST operator pertama ......................
99
44
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift malam ............................................................................................ 100
45
Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua .......................... 101
46
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam .................................................. 101
25 26
31 32 33 34 35 36
39 40 41 42
xix
47
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam......................................................... 102
48
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja .................................................................................... 102
49
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift malam......................................................... 103
50
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 113
51
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 114
52
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 114
53
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)......................................................... 114
54
Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 115
55
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 115
56
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) ........................................................................ 116
57
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)......................................................... 116
58
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 117
59
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 117
60
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 117
61
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................ 118
62
Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 118
63
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 119
64
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................................ 119
65
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan suhu (0C) ................................................................ 120
66
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 120
67
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 121
xx
68
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 121
69
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................... 121
70
Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 122
71
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 122
72
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................................... 123
73
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) ..................................................... 123
74
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 124
75
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 124
76
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 125
77
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................... 125
78
Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 125
79
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 126
80
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................................... 126
81
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) ...................................................... 126
82
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 127
83
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 127
84
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 128
85
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) ......................................................... 128
86. Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 129 87
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 129
88
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)......................................................................... 129
xxi
89
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) ......................................................... 130
90
Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 130
91
Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 131
92
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 131
93
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi .............................................................................................. 131
94
Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 132
95
Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 132
96
Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ................. 133
97
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi .............................................................................................. 133
98
Form untuk membuat model JST ........................................................... 154
99
Form untuk membuat parameter yang digunakan pada model JST ....... 154
100 Proses training pada model JST yang dibuat ......................................... 155 101 Grafik performance dari nilai MSE dan Ulangan .................................... 155 102 Grafik regresi hasil training, validasi dan test model JST ....................... 156 103 Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm .... 157 104 Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung .................... 157 105 Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer............................................. 157
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja .............................................................................. 141
2
Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja .............................................................................. 143
3
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang.................................................................................... 145
4
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh ............................................................................................. 148
5
Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi ........................... 151
6
Teladan perhitungan laju penggunaan energi (kkal/menit) ....................... 153
7
Model JST yang dibangun dengan menggunakan Neural Network Tools Box di MATLAB R2008a ...................................... 154
8
Step Test dan Heart rate beserta interface .............................................. 157
9
Titik pengukuran (tanda +) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Bungamayang.................................................................................... 158
10 Titik pengukuran (tanda x) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Jatitujuh ............................................................................................. 159
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditas kedua di Indonesia setelah beras, konsumsi gula kristal yang tinggi sekitar 3.5 juta ton/tahun menjadikan gula sebagai salah satu kebutuhan pokok. Indonesia sebagai negara agraris dengan kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tebu belum mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan gula sebagai real sugar factory memegang peranan paling penting bagi industri gula sebagai pemasok bahan baku tebu. Pengembangan perkebunan tebu melalui pembukaan areal baru menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan tebu di luar jawa pada umumnya merupakan hak guna usaha (HGU) oleh swasta sehingga dalam pengelolaanya
sepenuhnya
merupakan
tanggung
jawab
perusahan
(IKAGI 2007). Pabrik gula yang merupakan bagian dari industri gula merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Pada waktu musim giling, pabrik beoperasi selama 24 jam. Para operator dibagi dalam 3 shift, setiap shift selama 8 jam. Kondisi kerja di lingkungan pabrik secara ergonomi perlu penelitian lebih lanjut karena tingkat kebisingan di atas ambang batas (80 dB), temperatur kerja di beberapa titik mencapai 40-45 0C. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan dan keselamanatan kerja pegawai, apalagi jika harus bekerja dalam waktu yang cukup lama yakni 8 jam. Nagamachi (1996) telah mengkaji masalah hubungan antara perancangan sistem kerja, ergonomi makro dan produktivitas.
Dari hasil penelitiannya
disimpulkan bahwa perlu dilakukan harmonisasi antara teknologi dan manusia sehingga didapat sistem yang produktivitasnya meningkat. Hendrick (2002) mempublikasikan bahwa perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu
2
meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan (turnover) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi). Produktifitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia (human factor). Dalam rangka meningkatkan produktifitas, perbaikan prestasi kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, operatoran dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan produktifitas tenaga kerja. Kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayan dan kelembaban yang kurang baik dapat berakibat fatal bagi operator, seperti kehilangan pendengaran,
terganggunya
keseimbangan,
gangguan
konsentrasi,
meningkatnya kadar emosi, dan juga dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh. Hal tersebut mungkin kurang disadari oleh para tenaga kerja yang bekerja sehari-hari di dalam pabrik. Untuk mengetahui karakteristik kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban dan beban kerja yang dialami tenaga kerja dalam suatu lingkungan kerja serta tinjauannya dan aspek kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja dalam industri perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan ergonomika. Aplikasi ilmu ergonomika bertujuan untuk menghasilkan hubungan yang sinergi antara manusia, mesin, dan lingkungan kerja dengan tolak ukur kesehatan,
kenyamanan,
dan
produktifitas kerja yang optimal.
keselamatan
kerja
sehingga
dihasilkan
3
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan ergonomik secara mikro dan makro dalam hubungan dengan produktivitas kerja di dalam pabrik gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya belum terukur secara tepat. Aspek ergonomi mikro dan makro sangat berhubungan dan menentukan tingkat
kemampuan
dan
kenyamanan
menjalankan tugasnya di pabrik gula.
operator
atau
karyawan
dalam
Oleh karena itu perlu dikaji seberapa
besar pengaruh ergonomi mikro dan makro terhadap kemampuan operator atau karyawan dalam menjalankan tugasnya di pabrik gula sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.
Secara keseluruhan parameter yang
berpengaruh terhadap produktivitas kerja operator atau karyawan pada pabrik gula ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pada pabrik gula
4
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. 1.4 Batasan Masalah dan Asumsi Penelitian ini dibatasi untuk ruang lingkup sebagai berikut : 1
Sistem kerja yang dikaji adalah sistem kerja di lingkungan pabrikasi gula mencakup stasiun-stasiun yang terlibat dalam proses pabrikasi gula.
2
Pengamatan
mikro
ergonomik
mencakup
kelembaban udara, kebisingan dan getaran.
illuminasi,
suhu
udara,
Sedang makro ergonomik
mencakup pembagian kerja (shift kerja), sistem pengupahan, lingkungan organisasi (persepsi operator) serta sarana penunjang baik fisik maupun sosial. 3
Pemodelan sistem menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST).
4
Sistem kerja di pabrik pada waktu pabrikasi berjalan diamati dengan rentang selama 3 shift kerja per hari. Dalam pengambilan dan pengolahan data, beberapa asumsi yang
digunakan adalah sebagai berikut : 1
Tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga optimasi sistem kerja dapat dilakukan dengan baik.
2
Perilaku operatoran yang diamati diambil secara rata-rata.
3
Suplai bahan baku tebu selalu tersedia dan kemacetan pada setiap stasiun minimal.
4
Faktor-faktor diluar parameter mikro dan makro ergonomi yang diamati dianggap tidak berpengaruh atau tetap.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ergonomika Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu ergos yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan atau hukum. Ergonomi didefinisikan oleh Sutalaksana (1979) sebagai suat cabang ilmu yang sitematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang suatu sitem kerja yang baik, efektif, aman nyaman. Menurut International Ergonomics Association (IEA) ergonomika dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dan elemen lainnya dalam sistem yang berhubungan dengan perancangan, operatoran, produk dan lingkungan untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia (Syuaib 2003). Human factors (disebut juga human engineering) adalah nama lain dari ergonomika yang biasa digunakan di Amerika Utara dan sebagian Amerika Serikat. Pada dasarnya ergonomika memiliki dua tujuan penting, yaitu pertama adalah untuk menaikkan efektifitas dan efisiensi pakerjaan dan aktivias lain yang dilakukan,
termasuk
menaikkan
kemampuan
penggunaan,
mengurangi
kesalahan dan meningkatkan produktifitas dan yang kedua adalah untuk menaikkan keinginan tertentu manusia seperti keselamatan, kenyamanan, penerimaan pengguna, kepuasan kerja dan kualitas kehidupan, sama halnya dengan mengurangi kelelahan dan stres (Fitriyani 2003). Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro. 2.2 Ergonomi Mikro Pada awal perkembangan ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan pada kaitan kesesuaian kemampuan manusia dengan operatoran/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut pulat (1991) adalah ciri khas dari ergonomi mikro.
6
Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut: 1
Identifikasi masalah.
2
Pembandingan
operatoran/tugas
dengan
kemampuan
manusia.
Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud. 3
Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif.
4
Memilih solusi terbaik.
5
Mengimplementasi solusi.
6
Melakukan tindak lanjut (follow up). Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya
diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro. Pengukuran mikro ergonomik meliputi pencahyaan, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran. 2.2.1 Kebisingan Bunyi atau suara didefinisiakan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara. Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan (Wilson 1989). Bunyi dikatakan bising apabila menggangu pembicaraan, membahayakan pendengaran dan mengurangi efektifitas kerja. Woodson (1981), telah meneliti pengaruh kebisingan terhadap prestasi manusia, meskipun kebisingan dibawah 90 dB tidak menimbulkan ancaman terhadap telinga manusia, tetapi kebisingan dapat menurunkan prestasi kerja dan ganguan. Tabel 1 memperlihatkan dampak dari kebisingan tersebut. Tabel 1 Effek kebisingan dibawah 85 dB Tingkat Kebisingan (dB) 80 75 70 65 60 55 50 40 <30
Effek atau akibat Kesulitan untuk berkomunikasi Berbicara dengan keras bila saling berkomunikasi Level tertinggi untuk berkomunikasi Level tertinggi yang dapat diterima untuk lingkungan bising Level yang diterima untuk kondisi siang hari Level tertinggi untuk lingkungan tenang Level yang diterima orang-orang yang menginginkan ketenagan Sangat baik untuk berkonsentrasi Level kebisingan terendah
7
Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma'mur (1988) adalah: 1
Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise) misalnya, mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain.
2
Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steasy state, narrow band noise) misalnya, gergaji sirkuler, katup gas,dan lain-lain.
3
Kebisingan terputus-putus (intermitten) misalnya, lalu lintas, pesawat terbang di lapangan udara, dan lain-lain.
4
Kebisingan impulsif (impact atau impulsif noise) misalnya, pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan lain-lain.
5
Kebisingan impulsif berulang misalnya, mesin tempa di perusahan. Kebisingan yang terjadi dalam pabrik dapat mengganggu kinerja operator
dan pada taraf yang buruk dapat menyebabkan ketulian. Pada lingkungan kerja, kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi operator yang ada. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan perancangan lingkungan kerja yang nyaman. Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a) Frekuensi Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat persatuan waktu (cps = cycle per second), yang disebut Hertz. Bunyi yang dapat diterima oleh telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara 20-20000 Hz. Apabila kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila lebih dari 20000 Hz disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia. b) Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Lama
mendengar
ditentukan
oleh
beban
bising,
yaitu
jumlah
perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan, seperti pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan Intensitas (dB) OSHA
ISO
Indonesia (MENAKER) 85 90 85 ... 92 87.5 88 95 90 ... 97 92.5 91 100 95 94 105 100 97 110 105 100 115 110 Sumber (Sudirman 1992 dalam Wijaya A 2005)
Waktu kerja (jam) 8 6 4 3 2 1 0.5 0.25
Perhitungan lama mendengar yang diizinkan dapat dihitung dengan menggunakan beberapa standar, diantaranya adalah The U.S. Department of Defense standard (standar DOD) dan Occuptional Safety and Health Administration standard (standar OSHA). Rumus yang digunakan pada pada kedua standar adalah:
Waktu ( jam) = Waktu ( jam) =
8 2
( L −84 ) / 4
8 2
( L − 90 ) / 5
DOD .............................................
(1)
OSHA ..............................................
(2)
Dimana : L = intensitas kebisingan (dB)
Untuk meminimalisasi efek kebisingan yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, upaya pengendalian kebisingan diantaranya sebagai berikut:
Pengendalian kebisingan,
keteknikan,
yaitu
modifikasi proses
memodifikasi dan
modifikasi
peralatan
penyebab
lingkungan
dimana
peralatan dan proses tersebut berjalan.
Pengendalian sumber kebisingan, yang dilakukan dengan subtitusi antar mesin,
proses
dan
material
terutama
penambahan
penggunaan
spesifikasi kebisingan pada peralatan baru.
Perlindungan diri, yaitu dengan menggunakan sumbat telinga Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 30 dB.
9
2.2.2 Suhu dan Kelembaban Sudah merupakan suatu kondisi umum bahwa di area pabrik dimana aktivitas mesin berjalan sepanjang hari akan menghasilkan panas yang cukup tinggi di lingkungan sekitar. Suhu kerja adalah suhu lingkungan tempat kerja yang merupakan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara (dinyatakan dalam %) dan sangat dipengaruhi oleh temperatur udara Dalam bekerja diperlukan suhu lingkungan yang baik, misalnya ditempat kita bekerja ditanami pohon-pohonan agar memberikan rasa sejuk bagi operator. Seorang operator dalam melakukan kegiatannya sebaiknya dalam keadaan suhu badan yang normal agar konsentrasi operatorannya tidak tergangganggu. Berdasarkan penelitian suhu optimum kerja daerah tropis (di Indonesia) antara 24 - 26 °C. Suhu konstan den gan sedikit fluktuasi di sekitar 37 °C terdapat di bagian dalam otak, jantung, dan o rgan bagian dalam
(suhu
inti). Suhu inti yang konstan diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal, sedang perubahan yang menyolok tidak baik karena tidak akan sesuai dengan kehidupan makhluk yang berdarah panas (Sulistyadi dan Susanty 2003). Menurut Sulistyadi (2003) kelembaban relative normal pada saat bekerja antara 50-70%. 2.2.3 Pencahayaan Menurut Susanty (2003), ada tiga aspek penting tentang pencahayaan yaitu kekuatan, arah datang dan jenis cahaya. Kesalahan sering dilakukan karena pemahaman yang tidak benar yaitu semakin terang berarti semakin baik. Pada kenyataannya kekuatan cahaya yang berlebihan akan cepat melelahkan mata sebagaimana halnya pencahayaan yang kurang: mata akan silau akibat pantulan cahaya yang terlampau kuat, dan bekerja berat bila cahaya tak mencukupi. Jumlah pencahayaan yang dibutuhkan pada berbagai aktivitas terdapat pada Tabel 3. Tabel 3 Pemandu untuk illuminasi Kebutuhan illuminasi 80- 170 170 – 350 350 – 700 1000 - 10 000
Hasil operatoran Tidak cermat Agak cermat Cermat/Teliti Amat Teliti
Jenis operatoran Melihat Memasang Mambaca, menggambar Mencocokkan
10
Illuminasi didefinsikan sebagai “kepadatan (density) sinar yang mengalir dari sebuah sumber cahaya (sumber energi radian)”. Satuan internasional yang dipakai adalah ‘lux” ialah banyaknya cahaya yang menerpa sebuah bidang (1 lux = 1 lm m-2). Selain itu sering dipakai satuan lumen (lm) dan candel (Cd). Kecerahan (luminance) merupakan ukuran dari sebuah permukaan yang memancarkan sinar atau yang memantulkan sinar dan surnber cahaya. Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat obyek secara
jelas,
cepat,
tanpa
menimbulkan
kesalahan.
Kebutuhan
akan
pencahayaan yang baik akan makin diperlukan pada saat mengerjakan suatu operatoran yang memerlukan ketelitian pada penglihatan. Kemampuan mata untuk dapat melihat obyek dengan jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras diantara obyek dan sekelilingnya, luminensi (brigntness) dan lama kegiatan melihat. Arah yang salah dari datangnya cahaya dapat menyebabkan silau sehingga menimbulkan bayangan pada permukaan pandang.
Keadaan
bayangan dapat ditentukan oleh jenis cahaya. Cahaya lampu pijar menimbulkan bayangan yang tajam, berbeda dengan lampu neon, sementara itu jenis lampu dapat berperan dalam mencitrakan warna. 2.2.4 Getaran Getaran mekanis merupaka getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis. Besarnya getaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1
Intensitas
2
Frekuensi, dan
3
Lamanya getaran Getaran tersebut dapat menyebabkan tergangunya konsentrasi kerja,
mempercepat proses kelelahan dan menyebabkan gangguan pada anggota tubuh seperti: mata, telinga, syaraf, otot dan lain-lain (Sulistyadi 2003). Menurut Bridger (2003), getaran dengan frekwensi antara 4-8 Hz sangat berbahaya. Menurut ISO (ISO 2631-1 1985), getaran dengan percepatan lebih besar dari 0.32 m/s2 dapat menimbulkan efek yang sangat serius bagi kesehatan seperti kesulitan dalam menulis atau minum, sulit bicara dan pandangan mata kabur.
11
2.3 Ergonomi Makro Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisasi, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam operatoran. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has Come”, Hendrick menyampaikan bahwa ada 3 urutan generasi pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin, termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics. Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan egonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Faktor Engineering. Menurut IEA, hal ini disebut dengan Cognitive Ergonomics. Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro, optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi , termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur.
12
2.4 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja 2.4.1 Kelelahan 2.4.1.1 Definisi Kelelahan Tarwaka dkk (2004) mengatakan definisi kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan adalah aneka keadaan yang
disertai
penurunan
(Sedarmayanti 1996).
efisiensi
dan
ketahanan
dalam
bekerja
Ramandhani dalam Budiono dkk (2003) mengatakan
definisi kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap orang, yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatan. Kelelahan adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari hari yang mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Suma'mur 1989). 2.4.1.2 Jenis Kelelahan Jenis kelelahan terbagi menjadi dua menurut Ramandhani dalam Budiono (2003), yaitu: A Kelelahan Otot (Muscular Fatique) Adalah suatu kelelahan yang ditunjukkan melalui gejala sakit nyeri yang luar biasa, seperti: ketegangan otot pada daerah sendi. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot. Secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan
fisik
menguntungkan
ini
dapat
seperti
menyebabkan
melemahnya
sejumlah
kemampuan
hal
tenaga
yang kerja
kurang dalam
melakukan operatorannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja. Kelelahan otot adalah gejala nyeri atau sakit mendadak yang terjadi pada otot yang mengalami pembebanan berlebihan yang terlokalisir ditempat tersebut. Tanda-tandanya: kekuatan kontraksinya melemah, kontraksi dan relaksasi melamban serta fase laten memanjang. Otot yang lelah akan menyebabkan gangguan koordinasi, sehingga dapat meningkatkan resiko atau kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja, disamping itu pada otot yang lelah
13
kandungan
asam
laktat
dan
karbondioksidanya
akan
meningkat
(Kurniawan 2000). B Kelelahan Umum (General fatique) Adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Beberapa jenis kelelahan fisik secara umurn dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1
Kelelahan penglihatan muncul dari terlalu letihnya mata
2
Kelelahan seluruh tubuh sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh
3
Kelelahan mental penyebabnya dipicu oleh operatoran yang bersifat mental dan intelektual
4
Kelelahan saraf penyebabnya oleh karena terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik
5
Terlalu monotonnya operatoran dan suasana sekitarnya
6
Kelelahan kronis sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu panjang
7
Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur Menurut Nurmianto (1926) bahwa jenis kelelahan kerja terbagi menjadi
dua, yaitu: A Kelelahan Otot Adalah kondisi dinamis dari operatoran yang akan meningkatkan sirkulasi darah yang juga mengirim zat-zat makanan bagi otot dan mengusir asam laktat. Suasana kerja dengan otot statis, aliran darah agak menurun, sehingga asam laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal, disamping itu juga dikarenakan beban otot yang tidak merata pada sejumlah jaringan tertentu yang pada akhirnya akan mempengaruhi kineria (performance) seseorang. B Kelelahan Umum Perasaan adanya kelelahan urnum yang ditandai dengan berbagai kondisi, antara lain: 1
Kelelahan visual (indera penglihatan)
2
Kelelahan seluruh tubuh
3
Kelelahan mental
4
Kelelahan urat saraf
14
5
Stress (pikiran tegang)
6
Rasa malas bekerja (circadian fatique)
2.4.1.3 Gejala-Gejala Kelelahan Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatique symptom) secara subjektif dan objektif menurut Ramandhani dalam Budiono dkk (2003), antara lain: 1
Perasaan lesu, ngantuk dan pusing
2
Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi
3
Berkurangnya tingkat kewaspadaan
4
Persepsi yang buruk dan lambat
5
Tidak atau berkurangnya gairah untuk kerja
6
Menurunnya kinerja jasmani maupun rohani Bila kelelahan telah merupakan keadaan penyakit, kelelahan tersebut
telah bersifat medis dan gejala-gejala yang ditemukan pada tenaga kerja menurut Suma'mur (1989), adalah: 1
Pusing kepala
2
Jantung berdebar-debar
3
Nafas sesak
4
Hilang nafsu makan
5
Gangguan pencernaan
6
Tidak bisa tidur
Kelelahan klinis ini terjadi pada tenaga kerja yang memiliki konflik-konflik kejiwaan atau kesulitan psikologis. Gejala atau perasaan lelah akibat kegiatan menurut Sedarmayanti (1996), antara lain dapat menyebabkan: 1
Kepala berat
2
Lelah seluruh badan
3
Kaki terasa berat
4
Banyak menguap
5
Pikiran kacau
6
Mengantuk
7
Rasa berat pada mata
8
Gerakan kaku atau canggung
9
Berdiri tidak seimbang
10 Ingin berbaring
15
Nurmianto (1996) mengatakan bahwa kelelahan dapat ditandai dengan kondisi yang cenderung untuk mengantuk, Gejala-gejalanya adalah 1
Rasa letih, lelah, lesu dan lemah (4 L)
2
Mengantuk
3
Motivasi kerja menurun
4
Rasa pesimis
2.4.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Terdapat 5 kelompok sebab kelelahan menurut suma'mur (1989), yaitu: 1
Keadaan monoton
2
Beban dan lamanya operatoran baik fisik maupun mental
3
Keadaan lingkungan seperti: cuaca kerja, penerangan dan kebisingan
4
Keadaan kejiwaan seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik
5
Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi Budiono dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat 6 kelompok penyebab
kelelahan, yaitu: 1
Intensitas dan lamanya upaya fisik dan psikis
2
Masalah lingkungan kerja: kebisingan dan penerangan
3
Irama detak jantung
4
Masalah-masalah fisik: tanggung jawab, kecemasan dan konflik
5
Nyeri dan penyakit lainnya
6
Gizi atau nutrisi Menurut
Grandjean
(1991)
menjelaskan
bahwa
faktor
penyebab
terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran. Masalah lingkungan kerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Penerangan Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Penerangan dapat berasal dari cahaya alami dan cahaya buatan. Banyak obyek
16
kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang
lebih
baik
dan
(Habsari dalam Budiono dkk
keadaan
lingkungan
yang
menyegarkan
2003). Upaya mata yang melelahkan menjadi
sebab kelelahan mental, gejala yang ditimbulkannya yaitu: sakit kepala, penurunan intelektual daya konsentrasi dan kecepatan berfikir (Suma'mur 1988). Sinar yang terlalu kuat, menyilaukan atau terlalu lemah akan menimbulkan pembebanan bagi tenaga kerja yang menyebabkan kelelahan lebih mudah terjadi (Kurniawan 2000). 2 Kebisingan Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan yang sangat mengganggu aktivitas atau kegiatan manusia sehingga dapat mengurangi konsentrasi dalam bekerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Kebisingan mengganggu perhatian yang perlu terus menerus dicurahkan, maka dari itu tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap satu proses produksi atau hasil dapat membuat kesalahan-kesalahan, akibat dari terganggunya konsentrasi. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin reaksi psikologis, juga kebisingan berakibat meningkatnya tingkat kelelahan (Suma'mur 1988). Kebisingan adakalanya dapat diadaptasikan oleh telinga, sampai seberapa tinggi tingkat kebisingan dapat dianggap tidak mengganggu masih sulit ditetapkan. Perlu dijaga agar tingkat bising tidak sampai mengakibatkan hilangnya kesempatan istirahat karena akan menyebabkan lelah kronis (Sedarmayanti 1996) 3 Lingkungan Kerja Panas (Iklim kerja) Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa operator di dalam lingkungan panas, seperti disekitar boiler, tungku pemanasan atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara
suatu
kisaran
panas
lingkungan
yang
konstan
dengan
menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan salah satunya adalah
17
gangguan perilaku dan performance kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian. 2.4.1.5 Mekanisme Terjadinya Kelelahan Suma'mur (1989) mengatakan bahwa kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat, terdapat sistem aktivasi dan sistem imbibisi. Kedua sistem ini saling mengimbangi tetapi kadang-kadang salah satu dari padanya lebih dominan sesuai dengan keperluan. Sistem aktivasi bersifat simpatis, sedangkan sistem imbibisi bersifat parasimpatis. Agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan, kedua sistem tersebut harus berada pada kondisi yang memberikan stabilitas kepada tubuh. Kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri, yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu: sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam thalamus
yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan
menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Adapun sistem penggerak terdapat dalam formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan, dalam tubuh ke arah bekerja, berkelahi, dan melarikan diri. Apabila sistem penghambat yang kuat, seseorang berada dalam kelelahan, sebaliknya manakala sistem aktivasi yang kuat, seseorang dalam keadaan segar untuk bekerja. 2.4.2 Beban Kerja Menurut Mc.Cormick dan Sanders (1993), metabolisme merupakan proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk, yaitu energi panas dan energi mekanik. Energi panas terjadi akibat kita melakukan suatu operatoran, dan energi mekanik digunakan untuk kegiatan internal tubuh (proses pernafasan maupun pencernaan) dan kegiatan eksternal seperti bekerja, berjalan maupun kegiatan lainnya. Energi yang tersedia dalam tubuh dihasilkan melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam sel-sel otot tubuh. Metabolisme ini berkaitan dengan kelancaran transportasi bahan-bahan metabolik ke seluruh tubuh yang diedarkan oleh sistem transportasi tubuh. Kelancaran sistem peredaran darah ini dapat dipantau melalui jumlah denyut jantung dan nadi per satuan waktu yang berperan layaknya pompa darah. Semakin besar kebutuhan tenaga dalam
18
melakukan suatu aktifitas maka akan semakin cepat pula jantung dan nadi itu berdenyut. Beban kerja merupakan beban seseorang ketika melakukan suatu operatoran. Beban ini akan diketahui pada saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keringat yang keluar.
Kapasitas kerja manusia dibatasi dan terutama ditentukan oleh
kemampuan untuk menyediakan oksigen dan makanan yang cukup. Konsumsi energi sebesar 20 kJ per menit, termasuk energi untuk metabolisme basal sebesar 4.2 kJ adalah nilai tetap maksimum yang dapat dihasilkan seorang pria dewasa. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan empat parameter fisiologis sebagai berikut (Zanders 1972): 1 Suhu Tubuh Peningkatan beban kerja akan menaikkan suhu tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dijadikan parameter pengukuran beban kerja fisik. Pada operator yang bekerja pada suhu udara tinggi, peningkatan suhu tubuh tidak proporsional dengan laju konsumsi O2, sifat ini dapat dijadikan indikasi pengukuran heat stress. 2 Konsumsi Oksigen (O2) Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi memerlukan O2, dengan demikian konsumsi O2 dapat dijadikan parameter untuk pengukuran benda kerja, dengan mengequivalenkan antara kebutuhan energi dan kebutuhan O2 diperoleh hubungan yang nyata antara keduanya. Konsumsi energi bersih per kegiatan dapat diukur dengan cara menguranginya dengan energi yang diperlukan untuk metabolisme basal. 3 Laju Paru-Paru dan Frekuensi Pernafasan Laju paru-paru dan frekuensi pernafasan seimbang dengan konsumsi O2, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernafasan dapat dihitung besarnya konsumsi O2 dan dapat diketahui besarnya beban kerja. 4 Denyut Jantung Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk operatoran statis (Zander 1972 dan Sanders 1987).
19
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan parameter-parameter di atas, tingkat beban kerja fisik dapat digolongkan dalam beberapa tingkat, seperti terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4
Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis
Konsumsi Konsumsi Konsumsi Denyut energi dalam energi oksigen jantung/menit 8 jam (kkal) (kkal/menit) (liter/menit) Isirahat < 720 < 1.5 < 0.3 60-70 Sangat Ringan 768-1200 1.6-2.5 0.32-0.5 65-75 Ringan 1200-2400 2.5-5.0 0.5-1.0 75-100 Sedang 2400-3600 5.0-7.5 1.0-1.5 100-125 Berat 3600-4800 7.5-10.0 1.5-2.0 125-150 Sangat Berat 4800-6000 10.0-12.5 2.0-2.5 150-180 Luar Biasa Berat >6000 >12.5 >2.5 >180 Sumber: American Industrial Hygiene Association dalam Mc. Cormick 1970. Tingkat kerja
Pengukuran beban kerja fisik yang termudah untuk dilakukan pada kondisi lapang adalah dengan mempergunakan pengukuran denyut jantung. Tetapi, pengukuran ini memiliki kelemahan, karena hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan (Hayashi. et al 1997). Salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan mempergunakan metode step test atau metode langkah, selain dari sepeda ergometer. Dengan metode step test dapat diusahakan suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat dilakukan dimana-mana, terutama di lapang, dibandingkan dengan mengguanakan sepeda ergometer (Hayashi. et al 1997). Menurut Hayashi. et al (1997), denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test). Step test mempunyai komponen pengukuran yang mudah, selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, sehingga dengan demikian dengan metode ini ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Hayashi. et al 1997). Dengan metode ini beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Herodian 1998).
20
2.4.3 Kecelakaan Kerja Keberhasilan seseorang operator dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut harus diperhatikan agar dapat memaksimalkan fungsi kerja operator sehingga marnpu menyelesaikan operatoran dengan cepat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja Untuk menghindari kecelakaan kerja dari awal seseorang operator perlu memperhatikan faktor tersebut Secara garis besar faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua (2) kelompok, yaitu: 1
Kelompok faktor diri (individual), dan
2
Kelompok faktor situasional Kelompok faktor diri terdiri dari beberapa faktor yang datang dari diri
operator itu sendiri. Beberapa hal seperti penalaran, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang bekerja. Kelompok faktor situasional terdiri dari faktor yang dapat diubah atau diatur. Faktor ini berada di luar diri manusia Kelompok faktor situasional terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu: 1
Faktor sosial keorganisasiannya seperti kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja
2
Faktor fisik operatoran yang bersangkutan seperti keterkaitan antara seseorang yang bekerja dengan alat, mesin dan lingkungan kerja
2.5 Produktifitas Rendahnya produktivitas tenaga kerja yang terlibat dalam sektor industri merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab atas rendahnya sumbangan industri pada produk domestik bruto. Dalam konsep manajemen, manusia diharapkan mau memanfaatkan tenaga sepenuhnya atau seoptimum mungkin untuk meningkatkan produktivitas, yang diikuti oleh terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi yang menyenangkan. Usaha ini menuntut
keterlibatan
seluruh
perusahaan
dimana
setiap
orang
dapat
merasakan pentingnya produktivitas yang meningkat lalu berperan serta (Kussriyanto 1986). Unsur utama yang menyebabkan suatu lingkungan tertentu memberikan motivasi adalah gabungan dari kondisi fisik dan sikap mental. Sejauh mana salah satu unsur tersebut lebih penting, bergantung pada sifat dan pentingnya operatoran bagi karyawan. Hasil kerja yang sangat memuaskan dapat dicapai
21
dalam suatu keadaan yang buruk, manakala hasrat karyawan untuk berprestasi amat kuat. Sebaliknya, kondisi yang sangat baik tidak berarti menghalangi munculnya hasil kerja yang justru sangat mengecewakan apabila para karyawan tidak mempunyai gairah untuk berprestasi. Karyawan yang bermotivasi tinggi dapat membuat "keajaiban" di dalam lingkungan yang buruk. Sebagai contoh misalnya operatoran-operatoran teknik para tawanan perang yang mereka laksanakan dalam usaha melarikan diri. Tanpa peralatan yang lengkap, terpaksa bekerja di tempat yang gelap, terputusputus dan dibayangi rasa ketakutan kalau-kalau ketahuan, mereka membuat terowongan, mendesain dan memasang sistem ventilasi serta merancang cara membuang berton-ton tanah tanpa diketahui oleh lawan. Dengan motivasi tinggi para tawanan itu tidak menghiraukan kondisi lingkungan kerja yang buruk dan mereka terus maju untuk mencapai sasaran. Mereka benar-benar dipimpin oleh orang-orang yang mernberikan berbagai pengarahan secara jelas dan yang selalu memberikan dorongan, sehingga semangat kerja mereka terjaga terus dalam keadaan apa pun. Kepemimpinan yang baik membantu orang mengatasi lingkungan kerja yang buruk (Kussriyanto 1986).
22
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas. Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Agustus 2008. 3.2 Obyek dan Alat Obyek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Sistem kerja di tempat pabrikasi: Penelitian difokuskan pada jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, alat/mesin yang ditangani, lingkungan kerja dan fasilitas pendukung. Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan untuk mengukur kondisi kerja operator dan lingkungan kerja adalah sebagai berikut ; 1
Kuisioner persepsi
2
Timbangan badan
3
Vibration meter
4
Humidity & IR Temperatur Meter
5
Lux & Light Meter
6
Sound Level Meter
7
Disto-meter Digital
8
Heart Rate Monitor
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2, yang secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, kemudia dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan, penjelasan masing-masing tahap adalah sebagai berikut.
23
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian 3.3.1 Studi Pendahuluan Penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan meliputi studi awal lapangan dan studi pustaka/ literatur. Berdasarkan studi pendahuluan, kemudian masalah dapat dirumuskan yaitu rancangan sistem kerja berbasis pendekatan ergonomi makro. 3.3.2 Pengambilan Data 3.3.2.1 Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik Data yang diambil adalah data jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, pembagian kerja, lingkungan kerja, alat yang digunakan sampai fasilitas pendukung. Lingkungan kerja yang dimaksud meliputi luas ruang, temperatur, kelembaban, kebisingan, getaran, pencahayaan. Sedangkan fasilitas pendukung antara lain poliklinik, tempat ibadah, sarana sosial dan pendidikan.
24
Teknik pengukuran lingkungan kerja adalah sebagai berikut: 1 Pengukuran Luas Ruangan Pengukuran luas ruangan dimaksud disini adalah luas ruangan yang akan menjadi objek penelitian. Alat yang digunakan untuk pengukuran luas ruangan ini yaitu meteran dan distro meter.
Alat distro meter ini digunakan karena lebih
praktis dan teliti karena telah memanfaatkan sinar infra merah sebagai sebagai sensor alat ukurnya. 2 Pengukuran Temperatur dan Kelembaban Pengukuran temperatur dan kelembaban dilakukan pada stasiun kerja. Alat yang digunakan yaitu pengukur tempertur digital dengan menggunakan sensor infra merah (Gambar 3) dan alat pengukur kelembaban (RH meter).
Gambar 3 Alat ukur temperatur digital Pengukuran akan dilakukan pada beberapa titik pada masing-masing stasiun pengukuran dan pada tingkat waktu tertentu (diseuaikan dengan shift kerja), sehingga sebaran temperatur dan kelembaban pada suatu waktu di dalam stasiun kerja dapat diketahui. 3 Pengukuran Pencahayaan Pengukuran pencahayaan dilakukan pada stasiun kerja. Pengukuran ini menggunakan alat ukur pencahayaan digital dan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan untuk melihat pola sebaran intensitas cahaya. Pengukuran juga dilakuan pada tingkat waktu tertentu untuk melihat adanya perubahan pola sebaran intensitas cahaya berdasarkan waktu.
25
4 Pengukuran Kebisingan Pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara memetakan tingkat kebisingan pada stasiun-stasiun pengolahan. Pengukuran kebisingan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya.Tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter dengan tinggi alat pada saat pengukuran ± 160 cm dari lantai atau setara dengan rata-rata tinggi telinga orang Indonesia. Memberikan kuesioner kepada beberapa operator yang bekerja di stasiun-stasiun pengolahan untuk mengetahui keluhan-keluhan atau dampak yang ditimbulkan dari kondisi lingkungan kerja. 5 Pengukuran Getaran Data tingkat getaran mekanis yang dihasilkan mesin, diukur dengan cara : 1
Mengukur getaran mekanis pada mesin searah sumbu x, y, dan z menggunakan vibrationmeter (Gambar 4). Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui nilai getaran sumber.
Gambar 4 Vibrationmeter 2
Mengukur
putaran
poros
mesin
(rpm)
menggunakan tachometer
(Gambar 5). Pengukuran ini bertujuan mengetahui frekuensi getaran sumber.
26
Gambar 5 Tachometer 3
Mengukur getaran yang merambat ke lantai atau tempat lain dimana getaran merambat dengan menempelkan vibrationmeter.
3.3.2.2 Pengukuran Beban Kerja Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh rancangan sistem kerja terhadap karyawan adalah dengan mengukur beban kerja. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan metode subyektif yaitu dengan kuisioner persepsi karyawan dan secara obyektif dilakukan dengan mengukur kelelahan dan melihat prestasi kerja karyawan. Data beban kerja operator dapat diketahui berdasarkan parameter denyut jantung operator, yang diukur dengan Heart Rate Monitor. Alat ini disetel secara otomatis merekam denyut jantung operator setiap 5 detik untuk mengetahui tingkat beban kerja yang dialami operator pada saat bekerja. Verifikasi pengukuran beban kerja dengan parameter denyut jantung dilakukan dengan metode step-test. Verifikasi ini dilakukan sebelum pengukuran denyut jantung dilakukan pada beberapa subyek yang berbeda. Metoda step test dilakukan dengan cara melangkah naik turun bangku step test setingi 30 cm dengan ritme kecepatan langkah yang berbeda yang diatur dengan alat digital metronome. Ritme kecepatan langkah yang diukur yaitu 20 siklus/menit, 25 siklus/menit, dan 30 siklus/menit. Setiap masing-masing ritme dilakukan selama 3 menit dengan diselingi istirahat selama 5 menit. Rata-rata denyut jantung dan tenaga yang digunakan saat melakukan step-test diplotkan dalam bentuk grafik dicari persamaan hubungan antara denyut jantung dan tenaga. Untuk menghindari subjektivitas nilai denyut jantung (HR) yang umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal, psikologis dan lingkungan, maka perhitungan nilai HR harus dinormalisasikan agar diperoleh nilai HR yang objektif (Syuaib 2003).
Normalisasi nilai denyut jantung dilakukan dengan cara
27
perbandingan HR relatif saat kerja terhadap HR saat istirahat.
Nilai
perbandingan HR tersebut dinamakan IRHR (Increase Ratio of Heart Rate). Perbandingan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
IRHR =
HR work HR rest
..........................................................
(2)
Dimana: HR work
= denyut jantung saat melakukan pekerjaan (beats/ minute)
HR rest
= denyut jantung saat istirahat (beats / minute)
Kemudian untuk memperoleh Total Energy Cost Step Test (TECST) yaitu total energi yang digunakan pada step test digunakan persamaan berikut ini:
TEC ST = w.g.2 f .h /( 4.2 .10 3.t )
..........................................................
(3)
Diamana: TECST
= Total Energy Cost saat step test (kkal/menit)
w
= Berat badan (kg)
g
= Percepatan gravitasi (9.8 m/detik2)
f
= Frekwensi step test
h
= Tinggi bangku step test (meter)
4.2
= Faktor kalibrasi satuan dari joule menjadi kalori
t
= waktu (menit)
Kemudian dibuat grafik korelasi antara TECST dengan IRHR sehingga diperoleh permsamaan dengan bentuk umum untuk seorang subjek sebagai berikut: .
Dimana: Y = TECST (kkal/menit) X = IRHR
..........................................................
(4)
28
Persamaan ini kemudian digunakan untuk mengkonversi nilai IRHR menjadi TECW pada saat melakukan aktivitas. Untuk mengetahui nilai energi yang dikeluarkan sebenarnya untuk melakukan pekerjaan perlu dihitung nilai WEC (Work Energy Cost) dengan persamaan sebagai berikut:
..........................................................
(5)
Dimana: WEC
= Work Energy Cost (kkal/min)
TEC
= Total Energy Cost (kkal/min)
BME
= Basal Metabolic Energy (kkal/min)
Basal Metabolic Energy (BME) adalah energi basal yang dikeluarkan manusia setiap menitnya untuk melakukan aktivitas fungsi organ tubuhnya. Nilai BME itu ekuivalen dengan nilai VO2 (ml/min) dan nilai VO2 itu sendiri dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh (A) setiap manusia dan jenis kelamin. Persamaan untuk menghitung luas permukaan tubuh yaitu:
A = h 0.725.w0.425. 0.007246 ..........................................................
(6)
Dimana: A
= Luas Permukaan Tubuh (m2)
h
= Tinggi Tubuh (cm)
w
= Berat Tubuh (kg)
Untuk meperoleh nilai VO2 dapat digunakan tabel konversi yang tersedia pada Tabel 5. Menurut Sanders (1993), secara umum konsumsi 1 liter oksigen ekuivalen dengan konsumsi tenaga sebesar 5 kkal. Karena berat badan seseorang mempengaruhi beban kerja yang diterima, maka untuk mengetahui nilai beban kerja yang sebenarnya (WEC’) yang diterima oleh operator pada saat melakukan kerja maka pengaruh berat badan harus ditiadakan. Untuk mendapatkan nilai WEC’ (Work Energy Cost per Weight) digunakan persamaan dibawah ini:
29
′ / ..........................................................
(7)
Dimana: WEC’
= Work Energy Cost per Weight (kal/kg.menit)
WEC
= Work Energy Cost (kal/menit)
w
= Berat Badan (kg)
Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh
Tabel 5
1/100
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
136 148 161 173 186 198 210 223 235
137 150 162 174 187 199 212 224 236
138 151 162 176 188 200 213 225 238
140 152 164 177 189 202 215 228 240
141 153 166 178 190 203 215 228 240
142 155 167 179 192 204 217 229 241
143 156 168 181 193 205 218 230 243
145 157 169 182 194 207 219 231 244
146 158 171 183 195 208 220 233 245
147 159 172 184 197 209 221 234 246
2
m
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9
catatan : untuk perempuan nilai VO2 harus dikalikan 0.95
Untuk mengetahui nilai tingkat beban kerja dapat diperoleh dengan membandingkan nilai IRHR saat kerja dengan Tabel 6 untuk mengetahui tingkat beban
kerja
tersebut.
Berikut
katagori
pekerjaan
berdasarkan
IRHR
(Syuaib 2003). Tabel 6 Katagori pekerjaan berdasarkan IRHR Katagori Ringan Sedang Berat Sangat Berat Luar Biasa Berat
Nilai IRHR 1.00
Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja (KEP.51/MEN/1999), beban kerja dikatagorikan berdasarkan kebutuhan kalori menjadi tiga tingkatan yaitu: 1 Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100-200 kkal/jam 2 Beban kerja sedang membutuhkan kalori >200-350 kkal/jam 3 Beban kerja berat membutuhkan kalori >350-500 kkal/jam
30
3.3.2.3 Pengukuran Makro Ergonomi Pengukuran makro ergonomi dengan cara: 1
Inventarisasi fasilitas umum yang tersedia antara lain perumahan, transportasi, klinik kesehatan, sekolah, tempat ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas rekreasi, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dll
2
Kuisioner
persepsi
karyawan
terhadap
lingkungan
organisasi
(Lampiran 5) 3.3.3 Pemodelan Sistem Untuk melihat pengaruh dan prilaku dari setiap parameter terhadap tingkat produktivitas sistem kerja di pabrik gula dilakukan dengan menggunakan model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang ditampilkan pada Gambar 6. Model JST yang dikembangkan terdiri dari dua model yaitu model JST I dan model JST II dengan masukan (input) data dari aspek mikro dan makro ergonomi dalam tiga shift kerja yang diberlakukan dalam proses produksi gula dengan keluaran (output) berupa model JST produktivitas sistem kerja di pabrik gula (ton cane/shift).
PABRIK GULA
SHIFT KERJA
SHIFT KERJA PAGI
SHIFT KERJA SIANG
SHIFT KERJA MALAM
ASPEK ERGONOMI:
ASPEK ERGONOMI:
ASPEK ERGONOMI:
1. MIKRO
1. MIKRO
1. MIKRO
- KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA
- KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA
- KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA
2. MAKRO
2. MAKRO
2. MAKRO
- FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI
- FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI
- FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI
MODEL JST I dan MODEL JST II
MODEL JST PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA DI PABRIK GULA
Gambar 6 Skema pemodelan dengan Jaringan Syaraf Tiruan
31
Lapisan keluaran dibuat berdasarkan nilai pengukuran ergonomi mikro dan makro yang menghasilkan produktivitas kerja, dengan rangkaian model dengan menggunakan dua tahap JST dengan masing-masing terdiri dari tiga lapisan atau multi layer. Tahap I (Gambar 7): 1
Lapisan
masukan menggunakan parameter
ergonomi mikro dan
parameter ergonomi makro 2
Lapisan tersembunyi, sebagai lapisan pemrosesan atau pembanding antara lapisan masukan dan lapisan keluaran yang menghasilkan nilai pembobot diantara lapisan-lapisan tersebut
3
Lapisan keluaran terdiri dari 3 unit keluaran yaitu kelelahan, kecelakan kerja, dan beban kerja
KEBISINGAN
GETARAN
KELELAHAN
SUHU
KELEMBABAN
KECELAKAAN KERJA
PENCAHAYAAN LINGKUANGAN ORGANISASI
BEBAN KERJA
Gambar 7 Model JST tahap I yang dikembangkan pada tiap shift kerja Tahap II (Gambar 8): 1
Lapisan masukan menggunakan parameter ergonomi hasil JST tahap I
2
Lapisan tersembunyi, sebagai lapisan pemrosesan atau pembanding antara lapisan masukan dan lapisan keluaran yang menghasilkan nilai pembobot diantara lapisan-lapisan tersebut
3
Lapisan keluaran terdiri dari 1 unit keluaran yaitu produktivitas sistem kerja pabrik gula
32
Gambar 8 Model JST tahap II yang dikembangkan pada tiap shift kerja Dari model yang dikembangkan memungkinkan untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh masing-masing parameter input (ergonomi mikro dan ergonomi makro) pada setiap shift kerja terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. 3.3.3.1 Proses Pembelajaran Model JST Data sampel hasil pengukuran digunakan sebagai bahan pada proses pembelajaran (training), dengan menggunakan metode back propagation (Siang J.J 2005) - Input pada lapisan masukan merupakan input bagi lapisan tersembunyi
Hj = ∑ Vij xi , j = 1, 2, ......h ...................................................
(8)
i
I K = ∑ Wkj y j , k = 1,2, .......m ................................................... i
Dimana: Hj
= input pada lapisan tersembunyi node j
Ik
= input pada lapisan keluaran (output) node k
H
= jumlah node pada lapisan tersembunyi
M
= jumlah node pada lapisan keluaran (output)
(9)
33
Gambar 9 Ilustrasi pembelajaran backpropagation - Perhitungan nilai output node j pada lapisan tersembunyi dan output node k pada lapisan keluaran dengan persamaan berikut:
y j = f ( H j ) , j = 1,2, ...k .........................................................
(10)
z k = f ( I k ) , k = 1,2, ...m .........................................................
(11)
Sehingga persamaan keluaran output pada lapisan keluaran ke k dengan masukan nilai input x adalah:
z x = f ( I k ) = f ∑ Wkj y j j = f ∑ Wkj f ( H j )) j
= f ∑ Wkj f ∑ V ji xi ........................................ i j
(12)
fungsi (f) yang digunakan pada proses pembelajaran merupakan fungsi aktivasi log-sigmoid:
f (H j ) = f (I k ) =
1 1+ e
−β ( H j )
1 1 + e −β ( Ik )
............................................................
(13)
............................................................
(14)
34
- Prinsip
backpropagation
adalah
mengoptimalkan
nilai
fungsi
dengan
memperkecil nilai galat (error) hingga mencapai minimum global, melalui perbaikan nilai pembobot dengan membandingkan nilai output jaringan dengan nilai target yang diberikan dengan menggunakan persamaan jumlah kuadrat galat:
E=
(
1 ∑ t kp − z kp 2
)
2
.............................................................
(15)
dimana: t = target dan z = keluaran JST
- Perbaikan nilai pembobot dilakukan untuk memperkecil nilai galat dengan menggunakan metode delta rule:
∆Wkj = ηδ k y j ...................................................................... dimana: η
(16)
= konstanta laju pembelajaran
∆Wkj = perubahan nilai pembobot W kj
δ k = galat output ke k yj
= fungsi log-sigmoid
∆V ji = ηδ j xi ......................................................................
Dari persamaan-persamaan diatas
(17)
maka nilai pembobot dapat dirumuskan
melalui persamaan berikut:
Wkjbaru = Wkjlama + ∆Wkj = Wkjlama + ηy j (t k − z k ) f ' ( I k ) ....................
(18)
V jibaru = V jilama + ∆V ji = V jilama + ηx j f ' ( H j )∑ k δ k Wkj .....................
(19)
- Semua proses diatas dilakukan secara berulang-ulang melalui pemberian nilai input-output, proses aktivasi dan perubahan nilai pembobot. Kinerja jaringan dievaluasi melalui nilai Mean Square Error (MSE), hal ini untuk melihat tingkat ketelitian model yang telah dibangun.
∑ (Y MSError = dimana :
k
− Tk ) n
2
...............................................
Yk
= nilai prediksi jaringan
Tk
= nilai target yang diberikan pada jaringan
n
= jumlah contoh data pada set validasi
(20)
35
3.3.3.2 Verifikasi dan Validasi model JST Verifikasi model dilakukan untuk melihat hasil ketelitian pada proses pembelajaran (training) JST, sedangkan validasi model dilakukan sebagai pengujian ketepatan (akurasi) prediksi JST untuk memberikan jawaban yang benar melalui pemberian sampel data baru di luar data yang digunakan pada proses pembelajaran. Verifikasi dan akurasi model dirumuskan sebagai nilai R2 (koefesien determinasi) yang berada pada selang 0 – 1, dimana nilainya akan semakin meningkat dengan semakin baik tingkat akurasinya.
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Perusahaan 4.1.1 Pabrik Gula Jatitujuh 4.1.1.1 Sejarah Perusahaan Pada tahun 1971, Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan Bank Dunia dalam rangka membentuk Indonesia Sugar Study atau disingkat ISS. Salah satu program dari ISS adalah mencari areal baru yang berorientasi pada lahan kering. Pada thun 1972 diadakan survei untuk mengetahui wilayah atau daerah yang mempunyai lahan kering dan survei ini dilakukan di seluruh Indoneisa, termasuk diantaranya adalah hutan Loyang, Jatimunggul dan Jatitujuh yang berada di daerah Jawa Barat.
Untuk menindak lanjuti dari kerjasama
antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia maka pada tanggal 23 Juni 1975, Menteri Pertanian mengeluarkan SK No. 795/Mentan/VI/1975 mengenai izin pendirian pabrik di Jatitujuh yang dikenal dengan nama “Proyek Gula Jatitujuh”, kemudian menyusul pada tanggal 10 Juni 1975 dikeluarkan SK Dirjen Kehutaanan No. 2033/DJ/J/1975 yang berisi tentang dasar-dasar pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan SK Menteri tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1976, berdasarkan atas Sk Mentan No. 481/KPTS/UM/76 areal yang ada di kawasan kehutanan BKPH Jatimungul Cibenda dan BKPH Jatimungul Kerticala dibebaskan untuk dikelola oleh PNP XIV Proyek Gula Jatitujuh. Tanggal 1 November 1977, berdasarkan pada SK Menteri Pertanian No.654/KPTS/Org/10/1977 tanggal 31 Oktober 1977, maka PNP XIV yang didirikan pada tahun 1968 harus melepaskan tanggung jawabnya atas Proyek Gula Jatitujuh dan pengelolaan selanjutnya dilakukan oleh staf Bina Perusahaan Negara (BPN) yang pada waktu itu beranama SBM atau Staf Bantuan Menteri. Pabrik Gula Jatitujuh diresmikan tanggal 5 September 1980 oleh presiden RI yang pada waktu itu dijabat oleh bapak Soeharto. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1981 tanggal 1 April 1981, PNP XIV berubah statusnya menjadi PT. Perkebunan XIV (Persero dimana PG Jatitujuh menjadi salah satu pabrik gula yang bernaung dibawah PTP.XIV (Persero) tersebut.
37
Dalam perjalanan usahannya, PTP XIV banyak mengalami hambatan baik teknis maupun manajemen sehingga selama berdiri belum pernah memperoleh laba, bahakan akhirnya terlilit hutang dalam jumlah yang besar sehingga mengakibatkan timbulnya masalah finansial yang sangat berat. Dalam rangka untuk menyehatkan usahannya, pengelolaan PTP XIV diserahkan kepada PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/13/1988 pada tanggal 30 Desember 1988. Pengaturan ini berlangsung tuntas secara fisik tada tanggal 30 Januari 1989. PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang disingkat PT RNI merupakan BUMN yang berada di bawah Departemen Keuangan dengan ciri usaha yaitu melaksanakan kegiatan dibidang
pengeleolaan manajemen
produksi, pemasaran dan distribusi baik dilaksananakn sendiri, kerjasama operasi, kerjasama investasi maupun berbagai bentuk kerjasama lainya sepanjang masih terkait dengan bidang usaha utamanya.
Perkembangan
selanjutnya dengan adanya perubahan anggaran dasar perseroan yang termuat dalam akta No. 94 tanggal 28 Agustus 1996 yang dibuat oleh Notaris Achmad Abid SH, nama PT. Perkebunan XIV berubah menjadi PT PG Rajawali II dan Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu unit produksinya. Pembangunan pabrik dilaksanakan dari bulan Maret 1976 sampai Sepetember 1978 dengan kontraktor Perancis (Fiver Caoil Babcock). Adapun tujuan dari pendirian pabrik adalah untuk meningkatkan produksi gula guna memenuhi
konsumen
dalam
negeri,
mencipatakanlapangan
kerja
dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut, meningkatkan pendapatan negara dari sektor non-migas dan menggunakan kembali bekas tanah hutan yang tidak produktif. Pabrik-pabrik yang dimiliki oleh PT. Rajawali diantaranya adalah: 1 PG Rajawali I 2 PG Rajawali II 3 PG Rajawali III
: PG Candi Baru, PG Krebet Baru, PG Rejo Agung Baru, PG Madu Kismo : PG Tersana Baru, PG Karang Suwu, PG Sindang Laut, PG Jatitujuh, PG Subang : PG Telage Mula
Lokasi areal PG Jatitujuh terletak pada dua Kabupaten aitu Majalengka dan Indramayu. PG Jatitujuh terletak antara 10806’33”-108016’24” BT dan 6031’2”-6036’40” LS. Jarak dari kota Cirebon adalah 77 kilometer, sedang jarak ke Kabupaten Majalengka maupun Indramayu adalah 32 kilometer. Lokasi PG Jatitujuh merupakan wilayah yang sebelumnya berupa hutan yang subur dan
38
memiliki curah hujan yang cukup sehingga cocok untuk tanaman tebu yang memerlukan tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah serta tidak menggangu areal tanaman pangan, air untuk keperluan pabrik diambil dari sungai Cimanuk yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pabrik. Selain itu, lokasi PG Jatitujuh cukup jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak menggangu lingkungan sekitarnya. Berdasarkan SK menteri pertanian tanggal 9 Agustus 1976 bahwa areal PG Jatitujuh ditetapkan seluas 12022.5 ha terdiri dari : Kabupaten Majalengka 5671.3 ha (BKPH. Jatitujuh: 2752.2 ha dan BKPH Cibenda : 2919.1 ha) serta kabupaten Indramayu 6351.2 ha (BKPH Kerticala : 5360.9 Ha dan BKPH Jatimunggul : 990.3 Ha). Juga ada penambahan dari Perhutani sebesar 1,091 ha, jadi luas lahan secara kelseluruhan adalah 13114.4 ha.
Topografi atau
keadaan permukaan tanah mulai dari rata (landai) hingga bergelombang. Jenis tanah yang terdapat pada areal PG Jatitujuh terdiri dari : Mediteran (47%), Kambisol (22%), Assosiasi (22%), Grumosol (6%), Podsolik (2%), Allevial (1%). Secara umum, iklim di wilayah Pg Jatitujuh termasuk tipe C dan D dengan curah huhan kurang dari 1500 mm per tahun. Perbedaan suhu udara rata-rata terhadap rata-rata tahunan umurnya lebih besar dari 1 0C. Kondisi-kondisi lainya adalah sebagai berikut: 1
Suhu rata-rata tertinggi 30.38 0C pada bulan September, sedangkan suhu rata-rata terendah 26.38 0C pada bulan Januari
2
RH rata-rata tahunan adalah 78-82%. Tertinggi 87-88% pada bulan Januari-Februari, terendah 66-73% pada bulan Agustus-September. Perbedaan kelembaban kurang dari 5% terhadap rata-rata tahunan
3
Kecepatan angin 4.6 - 6.04 Km/jam pada bulan-bulan lain. Rata-rata 3.97 Km/jam per tahun
4.1.1.2. Mesin dan Peralatan Produksi Peralatan merupakan suatu benda atau perkakas yang digunakan untuk membantu manusia dalam menyelesaikan suatu operatoran/proses sehingga waktu penyelesaian menjadi lebih singkat dengan jumlah produk lebih banyak. Sedangkan mesin adalah gabungan dari beberapa peralatan yang bekerja secara
sinergis
dan
menjalankan
suatu
fungsi
tertentu
PG
Jatitujuh
menggunakan berbagai peralatan industri untuk mendukung kinerjanya.
39
Peralatan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi dalam setiap stasiun di pabrik. Fungsi dan 4.1.1.3 Sarana Penunjang dalam Proses Produksi Sarana penunjang adalah fasilitas dan/atau tempat, dan/atau alat khusus yang keberadaanya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kelencaran proses produksi. Sarana tersebut biasanya tidak berhubungan secara langsung dengan jalannya aliran proses. Beberapa sarana penunjang yang dimiliki oleh PG Jatitutuh adalah Pembangkit Tenaga Uap (Stasiun Boiler). Stasiun Instrumen Listik (Power house), Stasiun Terapung Penyedia Air, Stasiun Water Tretment, Besali, Instalasi Kapur (pemadam kapur) dan instalasi SO2 (tobong belerang), Pusat Penelitian Agronomi (Puslitagro). 4.1.1.3.1 Stasiun Boiler Stasiun boiler merupakan sumber energi uap yang akan digunakan untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik. PG Jatitujuh terdapat 3 unit boiler, 2 unit buatan Fives cail Babcock (FBC) Perancis, dan satu unit yang lain buatan Hitachi, Jepang. Kapasitas uap yang dihasilkan tiap boiler adalah 55 ton/jam. Air yang dibutuhkan tiap boiler adalah 40 ton/jam. Air yang dimasukkan ke dalam ketel harus dihilangkan kandungan oksigennya, hal ini bertujuan agar penguapan tidak menimbulkan gelembung-gelembung gas. Penghilangan oksigen dalam air ini dilakukan dengan menggunakan destilator. Sumber panas pada boiler berasal dari tungku, bahan bakar dari tungku ada 2 jenis, yaitu bahan bakar minyak (BBM) atau bagase (ampas tebu). BBM dirasa cukup mahal, BBM hanya digunakan disaat tidak ada bagase. BBM yang digunakan jenis IDO (International Diesel Oil). IDO bersifat kental, sehingga perlu diencerkan terlebih dahulu dengan pemanasan sebelum digunakan. Bila ampas telah tersedia, maka bahan bakar yang digunakan adalah bagase, hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya operasional. Proses yang terjadi pada boiler dengan bahan bakar ampas adalah sebagai berikut: Bagase dari gilingan (Kadar air kurang lebih 5%) diangkut oleh konveyor, pada conveyor terdapat lubang pemasukan (input) bagase menuju ke tungku. Lubang pemasukan dari tungku dihubungkan oleh cerobong, yang di dalamnya terdapat distributor yang berfungsi untuk mengatur jatuhnya bagase ke tungku. Bagase dari lubang pemasukan di sedot dengan udara paksa yang berasal dati blower, hal ini bertujuan agar pembakaran di dalam tungku lebih merata. Pada tempat jatuhnya
40
bagase ke tungku sering terjadi penumpukan bagase, sehingga harus diumpankan ke dalam tungku setiap beberpa menit. Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran dibuang melalui saluran yang terdapat di bawah tungku. Antara tungku dan saluran dipisahkan oleh saringan yang terbuat dari besi baja. Abu yang berada dalam saluran kemudian dialirkan ke lahan. Panas yang dihasilkan di dalam tungku digunakan untuk memanaskan air yang berada di dalam ketel. Uap yang dihasilkan oleh ketel adalah uap basah. Uap ini kemudian diubah menjadi uap kering oleh separator. Pengubahan uap kering dikarenakan generator tidak bisa berputar bila uap yang digunakan uap basah. Uap yang dihasilkan dari boiler kemudian disalurkan ke stasiun penggilingan, turbin uap penghasil energi listrik, unigrator, dan lain-lain. 4.1.1.3.2 Stasiun Instrument listrik Stasiun ini merupakan stasiun penyedia energi listrik. Energi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap. PG Jatitujuh memiliki 2 buah generator pembangkit listrik dengan tegangan 6000 volt/generator. Uap kering yang digunakan untuk menggerakkan generator berasal dari stasiun boiler. Penggunaan uap kering dikarenakan turbin generator tidak dapat bergerak dengan memakai uap basah. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk menggerakkan pompa, motor listrik, penerangan, dan lain-lain. Pembangkit listrik tenaga uap ini digunakan selama musim giling, sedangkan pada waktu tidak giling menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel. Energi listrik dari pembangkit diesel ini digunakan untuk penerangan pabrik dan perumahan karyawan. 4.1.1.4 Proses Produksi Proses produksi yang berlangsung di PG Jatitujuh menggunakan sistem sulfitasi rangkap dua, untuk menghasilkan gula SHS. Secara keseluruhan proses pembuatan gula dibagi menjadi 5 stasiun, yaitu: 1
Stasiun gilingan
2
Stasiun pemurnian
3
Stasiun penguapan
4
Stasiun masakan
5
Stasiun puteran
41
1 Stasiun Penggilingan Tebu yang telah ditimbang diletakkan pada Cane Yard. Cane Yard berfungsi untuk menarnpung tebu disaat meja tebu penuh. Tebu dari Cane Yard didorong dan diangkat oleh cane stacker (canter pillar) ke meja tebu. Meja tebu berfungsi untuk mengatur pemasukan tebu ke dalam cane carrier (roller). Meja tebu
bekerja
dengan
sistem
rantai
yang
berputar
dengan
penggerak
elektromotor, rantai tersebut memiliki kisi-kisi yang runcing, berfungsi untuk membawa (menahan) tebu. Pada meja tebu terdapat leveller yang berfungsi untuk meratakan tebu. Pemasukan tebu dan gerakan leveller diatur oleh operator. PG Jatitujuh dilengkapi dengan 2 unit meja tebu yang terletak disebelah utara dan selatan cane carrier. Pada tahun ini PG Jatitujuh menambahkan 1 unit meja tebu sebagai tambahan pemasukan tebu ke cane carrier, hal ini dikarenakan kedua meja tebu yang telah ada sering mengalami kerusakan ( rantai sering putus). Cane carrier (roller) berfungsi untuk mengangkut tebu ke pencacah pisau dan unigrator (semi hammer shradder). Cane carrier digerakkan oleh motor listrik yang kecepatannya dapat diatur sesuai dengan kapasitas yang dikehendaki. Dari cane carrier tebu masuk ke pencacah pisau, pencacah ini berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tebu kemudian dibawa ke unigrator. Unigrator berfungsi untuk mencacah tebu yang telah terpotong menjadi bagian-bagian yang halus, sehingga sel-sel tebu yang mengandung gula dapat terbuka. Pada tahun ini penggerak pencacah pisau dan unigrator diganti oleh turbin uap, pada tahun-tahun sebelumnya menggunakan penggerak motor listrik, penggantian ini dilakukan karena penggerak motor listrik sering berhenti akibat dari beban yang berlebihan. Dari unigrator tebu diangkut oleh belt conveyor menuju ke stasiun gilingan. Gilingan berfungsi untuk memerah nira dalam tebu dan menekan kehilangan gula dalam ampas. PG Jatitujuh mempunyai 4 buah gilingan yang digerakkan oleh turbin uap. Setiap gilingan terdiri dari 3 rol. dimana setiap rol terdapat alur yang bertujuan untuk memperlebar permukaan pemerahan. memperkuat daya cengkeram antar rol, serta tempat mengalirnya nira hasil perahan. Tekanan hidrolik yang diberikan pada gilingan sebesar 200 Kg/cm3. Semakin besar tekanan yang diberikan maka ampas yang dihasilkan semakin halus.
42
Tebu dari unigrator masuk ke gilingan 1, nira yang dihasilkan dari gilingan 1 masuk ke saringan nira mentah, sedangkan ampasnya diberi imbibisi (pelarut) nira dari gilingan 3. Ampas ini kemudian dibawa oleh conveyor ke gilinga 2. Nira dari gilingan 2 masuk ke saringan nira mentah, sedangkan ampasnya di tambah imbibisi nira dari gilingan 4, kemudian dibawa oleh conveyor ke gilingan 3. Nira yang dihasilkan dari gilingan 3, masuk ke saringan nira mentah. Ampas yang dihasilkan dari gilingan 3 diberi imbibisi air panas, kemudian dibawa oleh conveyor masuk ke gilingan 4. Air yang digunakan sebagai imbibisi merupakan campuran dari air panas dan air dingin hingga mencapai suhu 50-70 °C. Perlakuan ini bertujuan untuk menyedot ni ra dalam ampas, sehingga ampas yang dihasilkan mempunyai kandungan gula (pol) yang rendah, dan dapat mempermudah pembakaran. Nira yang dihasilkan dari gilingan 4 digunakan sebagai imbibisi pada ampas yang dihasilkan dari gilingan 2. Ampas yang dihasilkan dari gilingan 4 sudah tidak digiling lagi, tetapi dibawa oleh conveyor menuju ke stasiun boiler sebagai bahan bakar. Nira yang dihasilkan dari gilingan kemudian ditampung dalam cush-cush elevator yang dilengkapi saringan untuk menyaring nira mentah. Nira mentah yang telah tersaring kemudian dikirim ke stasiun pemurnian untuk diproses lebih lanjut. Ampas yang keluar dari gilingan 4 dibawa oleh belt conveyor menuju ke stasiun boiler sebagai bahan bakar. Pada tahun ini di stasiun gilingan ditambahkan alat baru, yaitu hagglund yang dipasang pada gilingan 2 dan 3. Alat ini berfungsi untuk mengurangi kehilangan zat gula yang menempel pada ampas, dan mengurangi kadar air ampas. 2 Stasiun Pemurnian Stasiun ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada dalam nira mentah. Sistem pemurnian yang digunakan adalah sulfitasi. Bahan pemurnian yang dipakai adalah susu kapur, belerang dan bahan penggumpal (flokulan). Nira mentah dari gilingan (pH 6.4) dipompa dan disalurkan ke timbangan nira mentah. Timbangan berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap berapa nira mentah yang dihasilkan dan berapa tebu yang digiling. Timbangan ini berkapasitas 300 ton/jam, dengan penggerak hidrolik. Dari timbangan, nira kemudian masuk ke tangki nira tertimbang. Dari tangki nira tertimbang, nira dipompa ke heater 1. Pada heater ini nira di panaskan hingga suhu 75 °C. Tujuan pemanasan adalah untuk mempercepat reaksi, mematikan bakteri, mengurangi buih, dan sifat dari sukrosa yang tidak tahan terhadap temperatur
43
yang tinggi sehingga perlu dilakukan pemanasan bertahap. Cara kerja dari heater adalah: tangki heater disekat, dari tengah-tengah tangki dialirkan uap panas yang berasal dari evaporator. Dari heater 1 kemudian nira dialirkan ke defekator 1. Di defekator ini nira diberi larutan susu kapur (Ca(OH)2) hingga pH nya 7.5. Tujuan pemberian susu kapur adalah untuk menimbulkan endapan secara bertahap. Nira mentah kemudian masuk ke defekator 2. Di defekator 2 nira diberi susu kapur lagi hingga ph nya 8.6. Dari defekator 2 nira kemudian masuk ke proses sulfitasi 1 (Pemberian gas SO2). Gas SO2 berasal dari reaksi sulfur (belerang) dengan oksigen bebas di udara (dibakar), kemudian uap belerang ini diisap dan dicampurkan ke larutan nira. Sulfitasi berlangsung hingga ph nya 7.2. Tujuan suifitasi adalah untuk menetralkan kelebihan kapur yang berasal dari defekator. Kadar belerang yang ditambahkan pada proses sulfitasi adalah 45-48 kg/l00 ton tebu. Kadar kapur yang ditambahkan dapat diatur dengan menurunkan atau menaikkan ph hingga mencapai pH 7. Pengaturan ini dilakukan dengan mengatur defekator 2, secara otomatis valve susu kapur akan membuka atau menutup, pH 7 dapat diketahui dari skala yang tertera pada panel. Dari
proses
sulfitasi
kemudian
nira
ditambah
phospat.
Tujuan
penambahan phospat adalah membantu mempercepat pembentukan endapan, serta mengurangi pembentukan kerak pada evaporator. Nira kemudian dialirkan ke tangki netralisator. Dari tangki netralisator nira dipompa ke heater 2. Pemanasan pada heater 2 berlangsung pada suhu 105 °C. Tujuan pemanasan a dalah untuk menyenpurnakan dan mempercepat reaksi, serta membunuh mikroorganisme yang terdapat dalam nira. Nira mentah kemudian masuk ke prefloc tower, dalam prefloc tower nira akan membentuk siklo yang menyusur dinding bejana sehingga tidak ada oksigen yang berbentuk gelembung atau gas-gas terembun yang turut masuk, bila gelembung gas tersebut turut masuk akan dapat memperlambat proses pengendapan kotoran. Dalam prefloc tower dilakukan penambahan flokulan yang berfungsi untuk mempercepat pengendapan kotoran, yaitu dengan menarik kotoran-kotoran dalam nira, sehingga membentuk gumpalan kotoran yang lebih besar yang berakibat kotoran cepat mengendap. Bahan yang digunakan sebagai flokulan adalah flokulan jenis anion bermerek superfloc.
44
Dari prefloc tower nira dialirkan ke tangki Clarifier (tangki pengendap), yang berfungsi untuk mengendapkan kotoran. Cara kerja tangki ini adalah: Tangki terdiri dari 4 kompartement kerucut berpengaduk dengan RPM 0.20. Nira masuk dari bagian atas kompartemen yang paling atas, nira kotor akan berada pada bagian dinding nira kotor, sedangkan nira jernih berada dibagian nira jernih. Nira jernih dipompa saringan nira jernih untuk disaring. Dari saringan, kemudian nira ditampung pada tangki nira jernih, kemudian dipompa ke stasiun penguapan. Nira kotor dari Clarifier diproses lagi untuk diambil gulanya. Proses yang terjadi adalah: Nira kotor yang berada di bagian paling bawah dipompa dan dicampur ampas halus dalam mixer feeder, dari sini kemudian masuk ke dalam Rotary Vacum Filter (RVF) untuk dipisahkan antara nira dan kotoran padat (blotong). Pada RVF terdapat vacum tinggi yang bertekanan 40-50 CmHg dan vacum rendah 5 CmHg. Campuran ampas dan nira dialirkan ke bak yang terletak di bagian bawah RVF. Di dalam bak ini nira disedot oleh vacum rendah. Pada RVF terdapat padatan yang lembek dan menyatu yang disebut blotong. Setelah disedot oleh vacum rendah blotong disiram air panas, yang sekaligus disedot oleh vacum tinggi agar tidak terlepas dari vacum. Penyiraman air bertujuan agar zat gula yang tersisa dalam blotong bisa tercuci dan masuk ke bak untuk diserap kembali. Pada RVF terdapat banyak sekali pipa kecil yang berfungsi untuk mengalirkan nira atau filtrat yang telah disedot ke bagian pipa filtrat yang kemudian diteruskan ke tangki nira mentah. Blotong dari vacum tinggi masuk ke bagian bebas vacum, ruang bebas vacum ini bertujuan agar blotong mudah dilepaskan oleh scrapper. Blotong yang telah terlepas kemudian dibawa oleh belt conveyor untuk disalurkan ke bagian pengumpul blotong, blotong kemudian dimasukkan ke dalam truk untuk digunakan sebagai pupuk organik. Nira dari tangki nira jernih dipompa ke heater 3. Pada heater 3, nira dipanaskan hingga suhunya 115 °C (Mendidih). Pemanasan ini bertujuan agar dalam stasiun penguapan tidak terjadi pendidihan. Bila dalam stasin penguapan terjadi proses pendidihan, maka waktu proses akan semakin lama. 3 Stasiun penguapan Tujuan penguapan adalah untuk menguapkan sebagian besar air yang terdapat dalam nira, sehingga dihasilkan nira yang kental. Nira jernih. yang
45
dilhasilkan dalam proses pemurnian merupakan nira yang relatif encer, sehingga perlu diuapkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses penguapan adalah, proses penguapan harus berlangsung singkat. Keadaan ini akan menjaga agar tidak terjadi kerusakan sukrosa. Proses penguapan menghasilkan nira pekat, nira pekat merupakan keadaan dimana nira mendekati konsentrasi jenuh, sebelum terbentuk kristal di dalamnnya. PG Jatitujuh memiliki 6 unit pan penguapan (evaporator), dengan 1 unit evaporator bergilir untuk dibersihkan, sehingga hanya memakai 5 unit pan penguapan. Uap yang digunakan bertekanan 1.5 Kg/cm2, uap ini berasal dari uap bekas turbin gilingan, unigrator, dan turbin alternator. Pan penguapan disusun seri, sehingga tekanan pada tiap pan penguapan berbeda-beda. Alur dari proses penguapan adalah: Uap bekas dan nira jernih masuk ke evaporator 1. Nira yang telah diuapkan di evaporator l, masuk ke evaporator 2, Uap nira dari evaporator 1 digunakan untuk menguapkan nira dievaporator 2. Uap dari evaporator 2, digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 3, dan digunakan untuk pemanas pada heater 1. Uap dari evaporator 3 digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 4. Uap pada evaporator 4 digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 5. Uap dari evaporator 5 dikondensasi menjadi air. Air yang dihasilkan dalam proses kondensasi di badan penguap 1 dan 2 digunakan untuk mengisi boiler, sedangkan pada badan penguap 3, 4. dan 5 digunakan untuk prosesing. Nira yang dihasilkan akan ditampung dalam tangki nira kental, nira yang dihasilkan berwarna gelap kecoklatan, warna ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi di evaporator (proses karamelisasi). Nira kental kemudian masuk ke Juice Syrup Purification (JSP). Di dalam JSP, nira kental dimurnikan dengan cara mengapungkan kotoran-kotoran yang terbawa dalam nira. Bahan pembantu yang digunakan untuk pemurnian dalam JSP antara lain asam phospat, susu kapur, dan flokulan anion. Kotoran-kotoran dalam JSP dicampur dengan air panas, kemudian dipompa ke stasiun pemurnian. Dari JSP nira masuk ke proses sulfitasi nira kental (penambahan gas SO2). Sulfitasi nira kental bertujuan agar gula yang dihasilkan berwarna putih, dan untuk mereduksi logam-logam yang ada di dalam nira. Dari proses sulfitasi nira kental, kemudian nira dipompa ke peti nira kental, kemudian diproses lebih lanjut dalam stasiun masakan.
46
Dengan penguapan diharapkan jumlah nira kental yang dihasilkan tinggal 20% dari nira jernih yang dimasukkan, namun keadaan ini jarang dicapai. Di PG Jatitujuh terdapat 2 jenis evaporator yaitu evaporator dengan prinsip dijatuhkan dari atas dan prinsip semburan pipa. Cara kerja prinsip semburan pipa: Nira jernih dipompa dan dimasukkan ke bagian dasar badan penguap sampai 1/3 dari tinggi pipa. Nira jernih dipompa terus, maka nira akan menyembur ke atas. Di tengah-tengah evaporator terdapat pipa uap, nira yang menyembur itu kemudian diuapkan . Nira hasil penguapan akan diuapkan pada penguap berikutnya. Prinsip semburan pipa digunakan pada pan penguap 2 sampai 6. Cara kerja evaporator dengan prinsip hujan: Nira jernih dipompa ke bagian dasar evaporator, selanjutnya disaring, dipompa dan dimasukkan ke bagian atas dari evaporator. Nira kemudian didistribusikan ke dalam kisi-kisi. Kisi-kisi ini berisi nira dan uap yang berselang-seling. Nira kemudian dijatuhkan (seperti hujan) dan ditampung dalam bak di bagian dasar evaporator untuk disalurkan ke penguapan selanjutnya. Pemasukan uap berasal dari samping badan penguap. Prinsip jatuhan dari atas ini digunakan agar harapan penguapan dapat tercapai. Penguapan dengan prinsip jatuhan dari atas hasil penguapannya lebih cepat bila dibanding dengan prinsip semburan pipa. 4 Stasiun masakan atau kristalisasi Stasiun masakan bertujuan untuk mengambil semaksimal mungkin sukrosa dalam bentuk kristal, dan mencegah kehilangan sukrosa seminimal mungkin. Proses masakan menggunakan sistem A, C, dan D. Stasiun masakan memiliki 6 unit pan masakan, Pan 1, 2, dan 6 adalah pan masakan A, pan 3 adalah pan masakan C, pan 4 adalah pan pembibitan C dan D, sedangkan pan 5 adalah pan masakan D. Dalam proses masakan diusahakan agar tercapai hasil kristal gula yang memenuhi syarat, kehilangan gula yang sekecil-kecilnya, waktu proses yang singkat, dan biaya yang dilakukan dalam proses murah. Prinsip kristalisasi adalah pembesaran inti kristal, yaitu inti kristal sengaja ditambah dengan nira kental atau stroop. Masakan A bertujuan untuk mengkristalkan nira kental dan nira leburan. Bahan dasar masakan A adalah nira kental, klare A, nira leburan, gula C, dan bibit A. Proses masakan dimulai dengan proses pembuatan bibit A, bahannya
47
adalah campuran nira kental dan Fine Crystal Seed (FCS) sebanyak 100-200 ml. Untuk kapasitas masakan 400 Hl. FCS adalah bubuk gula murni sebagai inti dari kristal. Nira kental dan FCS dipanaskan terus hingga mencapai titik jenuh, maka akan keluar inti kristal. Inti kristal ini disebut bibit yang akan diperbesar dalam pan masakan A. Bibit A sebanyak 200 Hl ditambah dengan nira kental dan nira leburan hingga mencapai volume 450 Hl. Campuran ini dipanaskan hingga tua atau terbentuk kristal gula yang besarnya 0.9-1.1 mm. Setelah tua kemudian masakan diturunkan ke palung pendingin masakan A. Dari palung pendingin kemudian masakan A dipompa ke stasiun puteran dan menghasilkan gula SHS dan stroop A. Masakan C bertujuan untuk mengkristalkan gula pada stroop A. Bahan dasar masakan C adalah stroop A, gula D2 dan bibit C. Proses masakan dimulai dengan proses pembuatan bibit C, bahannya adalah campuran stroop A dan Fine Crystal Seed (FCS) sebanyak 100-200 ml, untuk kapasitas masakan 400 Hl. Stroop A dan FCS dipanaskan terus hingga mencapai titik jenuh, maka akan keluar inti kristal. Inti kristal ini disebut bibit yang akan diperbesar dalam pan masakan C. Kemudian bibit C sebanyak 200 Hl ditambah dengan stroop A hingga mencapai volume 450 Hl. Campuran ini dipanaskan hinga tua atau terbentuk kristal gula yang besarnya 0.9-1.1 mm. Setelah tua kemudian masakan diturunkan ke palung pendingin masakan C. Dari palung pendingin kemudian masakan C dipompa ke stasiun puteran dan menghasilkan gula C dan stroop C. Masakan D bertujuan untuk mengkristalkan gula pada stroop C. Bahan dasar masakan D adalah stroop C, dan klare D2. Bahan-bahan tersebut dimasak dalam pan D hingga berwujud seperti benang. Kemudian masakan diturunkan dalam palung pendingin gula D. Masakan D memiliki 6 unit palung pendingin, palung ini berfungsi untuk mendinginkan hasil masakan dan diharapkan akan terjadi kristal lanjut. Perjalanan gula D dari palung 1 sampai 6 membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam, hal ini disebabkan karena setelah gula dingin dan terjadi kristal lanjut gula dipanaskan lagi dengan pipa pengaduk yang didalamnya terdapat air panas hingga suhu gula mencapai 50-60 °C. Pemanasan ini b ertujuan agar gula mudah dipompa. Dari palung 6 gula dipompa ke mixer feeder D2, Di dalam mixer feeder maskan diputar lagi hingga suhunya 60 °C. Kemudian hasil masakan D dipompa
48
ke stasiun puteran menghasilkan gula D1 dan tetes. Gula D1 diputar menghasilkan gula D2 dan klare D2. Gula D2 digunakan sebagai bahan dasar masakan C, sedangkan klare D2 digunakan sebagai bahan baku masakan D. Urutan operatoran pada proses pemasakan yang terjadi dari masakan A, C dan D hampir sama, yaitu: 1
Penarikan hampa (ruangan dalam pan masakan divakumkan) hingga bertekanan lebih dari 60 CmHg, dengan memompa udara di dalam pan ke luar. Dengan ruang yang hampa maka dapat menarik bahan yang akan dimasak
2
Memasukkan bibit, untuk masakan A dan C, dan klare D2 untuk masakan D, hingga volumenya 200 Hl.
3
Memasukkan uap kedalam pan dan memanaskan bahan yang ada didalamnya hingga terbentuk kristal yang rapat (kristal berukuran kecilkecil).
4
Menambahkan nira kental, untuk pan masakan A hingga volumenya 450 Hl. Menambahkan stroop A, untuk pan masakan C hingga volumenya 450 Hl. Dan menambahkan stroop C dan klare D untuk pan masakan D.
5
Memanaskan bahan yang ada di dalam pan sampai terbentuk kristal gula yang berukuran 0.9-1.1 mm untuk pan A dan C, sedangkan pan D hanya sampai terbentuk seperti benang.
6
Menetralkan ruang pan atau membuang hampa dengan membuka kran pemasukan udara.
7
Mengeluarkan masakan ke palung pendingin. Pada saat bahan masakan turun, pan masakan diberi uap dan air panas.
Pemberian uap dan air panas ini bertujuan untuk membersihkan kristal gula yang menempel pada dinding pan masakan. Hasil dalam proses kristalisasi dipengaruhi oleh kecepatan kristalisasi, dan besarnya tekanan yang diberikan. Kecepatan kristalisasi dipengaruhi oleh kandungan kotoran dalarn larutan, viskositas larutan dan sirkulasi larutan. 5 Stasiun puteran Stasiun puteran bertujuan untuk memisahka kristal gula dengan stroop dan kotoran yang terbawa dalam masakan. Pemisahan kristal diiakukan dengan menggunakan saringan yang bekerja dengan gaya sentrifugal. Ada 2 jenis puteran yang digunakan pada stasiun puteran, yaitu puteran kontinyu dan puteran diskontinyu.
49
Puteran kontinyu (BMA) atau Low Grade Centrifugal (LGC) digunakan untuk memutar masakan D, yaitu untuk memisahkan tetes (molasses) dari kristal gula, dan memisahkan gula D2 serta klare D2, dan puteran diskontinyu atau High Grade Centrifugal (HGC) atau puteran gula SHS yang digunakan untuk memisahkan kristal gula dengan stroop. Stasiun puteran memiliki 5 unit puteran HGC, yaitu 3 unit untuk masakan A, dan 2 unit untuk masakan C. Puteran LGC ada 7 unit, 5 unit untuk memutar masakan D1, dan 2 unit untuk memutar masakan D2. Untuk puteran HGC diberikan air panas bersuhu kurang lebih 50 °C sebagai pencuci, agar gula yang dihasilkan le bih putih. Gula yang dihasilkan dikirim ke stasiun penyelesaian. Puteran yang dipakai berupa basket dengan dinding berlubang. Dinding bagian dalam dilapisi saringan sebanyak 2 lapis, dimana lapisan pertama berbentuk gas (saringan yang bergelombang), sedangkan lapisan kedua berbentuk saringan tembaga. Puteran ini bekerja dengan berputar, sehingga bila masakan dituangkan ke dalamnya akan terlempar ke dinding karena adanya gaya sentrifugal, sedangkan kristalnya tertahan pada saringan. Cairan yang keluar dari saringan ditampung pada lapisan dinding luar kemudian dikeluarkan dari basket. 4.1.2 Pabrik Gula Bungamayang 4.1.2.1 Sejarah Perusahaan Unit Usaha Bungamayang didirikan sebagai salah satu perwujudan usaha pemerintah
untuk
memenuhi
dan
melestarikan
swasembada
gula.
Pembangunan kebun dan pabrik dirintis sejak tahun 1982 dan giling perdana pada tahun 1984 dibawah naungan Management PTP. XXI-XXII (persero) hingga tahun 1989. Selanjutnya pada thun 1990 sampai 1995 management di kelola oleh PTP. XXXI (Persero) dan pada tanggal 11 Maret 1996 PT. Perkebunan XXXI (Persero) bergabung dengan PT. Perkebunan X (Persero) menjadi PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero). Unit
Usaha Bungamayang
merupakan salah satu unit produksi
dilingkungan PTP. Nusantara VII (Persero) yang mengusahakan komoditi tebu, memiliki lahan HGU serta unit pengolahan (Pabrik) untuk mengolah hasil tanaman tebu sendiri (TS) maupun tebu rakyat (TR) dengan sistim jual beli tebu.
50
Unit Usaha Bungamayang terletak di Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara pada 104057’ Bujur Timur, 4022’ Lintang Selatan dan ketinggi 10-50 m diatas permukaan laut, dengan topografi bergelombang dan kemiringan 0-8%. Jenis tanah dan iklim secara umum di Unit Usaha Bungamayang yaitu: - Jenis tanah : podzolik merah kuning dan cokelat kuning - pH tanah antara : 4.5 – 5.0 - Ketebalan topsoil : 5 – 15 cm - Kedalaman air tanah : 40 – 50 meter. - Curah hujan antara 1450-2200 mm/tahun dengan hari jujan 115-182 hari - Kelembaban udara rata-rata 81% Luas areal Hak Guna Usaha pada Unit Usaha Bungamayang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rincian penggunaan areal unit usaha Bungamayang No 1. 2. 3. 4. 5.
Penggunaan Areal Ditanami tebu Jalan Emplasement / Barak Kantor / Perumahan / Lain-lain Rawa / tanah tidak produktif Total
Luas (ha) 10848.66 1439.34 548.19 543.40 6194.85 19574.44
Dasar Hukum HGU: -
Rayon I : Nomor HGU: 7/SKS/1989
-
Rayon II: Nomor HGU: 21 Tahun 1995 Pabrik pada Unit usaha memiliki kapasitas giling sebagai berikut:
- Kapasitas Design Awal
: 4000 Ton Tebu per hari (TCD)
- Kapasitas Giling Inclusive saat ini
: 6000 TCD
- Rencana Pengembangan Kapasitas (Expandable)
: 10000 TCD
4.1.2.2 Proses Produksi Proses pengolahan tebu menjadi gula merupakan suatu rangkaian proses sejak diterimanya bahan baku dari kebun sampai menjadi gula produk yang memenuhi standar konsumen. Prosesnya dilakukan melalui beberapa stasiun yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) stasiun, yaitu Pengolahan dan Pendukung.
51
Satasiun Pengolahan terdiri dari : 1
Penerimaan bahan baku
2
Proses Pemerahan nira
3
Proses Pemurnian nira
4
Proses Penguapan
5
Proses Kristalisasi
6
Proses Putaran, Pengering dan Pendingin, Pengemasan gula sampai penyimpanan di Gudang
4.1.2.2.1 Stasiun Penerimaan Bahan Baku 1
Tebu ditebang dari kebun yang masuk ke pabrik ditentukan beratnya dengan jembatan timbang
2
Pengangkuatan dari kebun dengan truck, container, traktor container
3
Pencatatan timbangan dilakukan dengan sistem komputer
untuk
menghindari kesalahan manusia 4
Tebu tertimbang digiling berdasarkan urutan masuk (FIFO – Fist In Fisrt Out)
5
Tebu yang belum digiling (tunggu urutan) diletakkan di Cane Yard dengan cara: a
Dilasah di Cane Yard (Grounded)
b
Ditaruh dalam Container
c
Dalam bak truk
4.1.2.2.2 Stasiun Pemerahan Nira Pemerahan nira tebu umumnya dilakukan dengan cara penggilingan tebu. Namun beberapa menggunakan cara diffusi dan ini dilakukan pula pada Unit Usaha Bungamayang.
Untuk mendapatkan hasil pemerahan yang maksimal
umumnya didahului dengan Sistem Pengerjaan Pendahuluan. 2.1 Stasiun Pengerjaan Pendahuluan (Preparasi) 1
Dengan memakai Truck Tippler, Cane Stacker dan Hilo, tebu dimasukkan Cane Carrier melalui meja tebu menuju ke pengerjaan pendahuluan
2
Dalam Stasiun pengerjaan pendahuluan terjadi proses: −
Pemotongan batang tebu pada Cane Cutter
−
Pencacahan potongan-potongan tebu pada Shredder
−
Bentuk cacahan berupa potongan sabut dengan panjang ± 5 cm.
52
3
Hasil dari Stasiun pengerjaan pendahuluan adalah perubahan bentuk tebu menjadi sabut dengan spesifikasi sebagai berikut: −
Tidak ada nira terperah
−
Bukaan sel tebu (Cell Opening / Preparasi Index) : 90-93%
2.2 Stasiun Pemerahan Nira / Diffuser 1
Tebu berbentuk cacahan secara merata dan ajeg masuk ke Diffuser yang terdiri dari 12 tray yang sudah berisi air imbibisi pda Tray-Tray genap 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 (suhu ± 700C)
2
Pompa-pompa dijalankan berturut-turut dari no. 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 saat ampas melewati Tray-Tray tersebut. Setelah ampas melewati Tray 10 air imbibisi mulai diberikan dan selanjutnya pompa no ganjil ( 1 s/d 11) dijalankan. Pemberian susu kapur dimulai bila ampas mencapai Diffuser (Tray 12)
3
Pompa Scalding Juice, Unscreen dan Screened Juice dijalanka jika sudah memenuhi syarat Min Brix ± 6% serta isi Tangki ± 50%
4
5
Yang harus dijaga agar didapat hasil pemerahan nira optimal adalah : -
Kerataaan dan ketebalan ampas 0.8 – 1 meter
-
Suhu ± 70 0C
-
pH ± (6.0)
-
Kecepatan maksimal 0.9 m/menit
Ampas dari Diffuser (megas) dengan kadar air ± 70% diperah pada Dewatering dan Drying Mill untuk mengeluarkan air dan sebagian dalam ampas, sehingga diharapkan ampas keluar Drying Mill sebagai berikut:
6
-
%pol ampas <1
-
Kadar Zat Kering >50
Hasil perahan nira dari Dewatering dan Drying Mill dikembalikan ke Diffuser masuk ke Tray no.9
7
Ampas dari Drying Mill dikirim ke Boiler sebagai bahan bakar
4.1.2.2.3 Stasiun Pemurnian Nira 1
Nira dari stasiun Gilingan / Diffuser di Pompa ke Stasiun Pemurnian Nira melalui Flow Meter secara ajeg (kontinyu)
2
Nira dari Diffuser dipanasi di Juice heater sampai suhu 75 0C
3
Pemberian susu kapur dengan 6 Be dalam Tangki Reaksi dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pada:
53
-
Tangki Reaksi I (Pre Liming Tank) hingga pH menjadi 7.0 – 7.2 dilengkapi dengan pengaduk untuk mendapatkan reaksi yang homogen dengan waktu tinggal dalam Tangki Reaksi I selama ± 3 menit
-
Tangki Reaksi II (Secondary Liming Tank) hingga pH menjadi 10.5. Tangki ini juga dilengkapi dengan pengaduk. Waktu tinggal dalam Tangki Reakasi II adalah 15-30 detik, agar terbentuk inti endapan Ca
Phospat,
Al
Hydroksida,
endapatan-endapan
koloid
dan
Tri Calsium Phospat 4
Nira terkapur direaksikan dengan Gas SO2 di Sulphur Tower, agar terbentuk inti endapan Calsium Sulphit
5
Nira dipasi sampai suhu ± 105 0C pada pemanas nira II (PP II)
6
Nira dari PP II yang telah mengandung inti endapan dikirim ke Clarifier melalui Flash Tank untuk reaksi lanjut dan pengendapan
7
Floculant diberikan pada dosis 2.0 – 5.0 ppm sebelum nira masuk Clarifier
8
Pengendapan kotoran terjadi dalam Single Tray Clarifier dimana waktu tinggal nira ± 45 menit
9
Nira jernih dari Single Tray Clarifier langsung dikirim ke Stasiun Penguapan untuk diuapkan sehingga menjadi nira kental
10 Nira kotor dikeluarkan dari bagian bawah Single Tray Clarifier ditambah Basilo selanjutnya dikirim ke Rotary Vacuum Filter 11 Hasil dari Rotary Vacuum Filter, berupa nira tapis dan blotong, nira tapis, selanjutnya dicampur ke Pre Liming tank untuk diproses ulang. Blotong dimanfaatkan untuk pupuk tanaman tebu 4.1.2.2.4 Stasiun Penguapan 1
Nira jernih dari Clarifier dengan suhu ± 103 0C dipisahkan dari kotoran kasar pada DSM Screen sebelum dimasukkan ke Tangki Nira Jernih
2
Dengan Pompa Nira Jernih dikirim ke badan penguapan yang bekerja secara Quadruple (4 badan seri)
3
Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan (Tabel 8) sebagai berikut:
54
Tabel 8 Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan Tekanan Uraian
uap pemanas
Suhu uap
Tekanan uap
pemanas
nira
Suhu uap nira
BADAN I
0.9 kg/cm
120 0C
0.5 kg/cm
105 0C
BADAN II
0.5 kg/cm
105 0C
0-5 cmHg
95 0C
BADAN III
5 cmHg
95 0C
30 cmHg
75 0C
BADAN IV
30 cmHg
75 0C
64 cmHg
58 0C
4
Brix nira jernih masuk badan penguapan 10-13% brix dan keluar badan penguapan (nira kental) ± 64% brix
5
Nira kental dengan % brix = 64 dipompa ke Sulphitator direaksikan dengan gas SO2 untuk Bleaching (pemucatan warna) sampai pH nira kental keluar Sulphitator menjadi 5.4 – 5.6.
4.1.2.2.5 Stasiun Kristalisasi a
Masakan Utama -
Nira kental tersulfitir ditampung di Peti Nira Kental Bibitan Masakan Utama (A) inti kristalnya dari C atau D II dengan menambahkan leburan gula / Clare SHS. Diupayakan Bibitan Masakan Utama untuk 2-3 Masakan utama dengan HK bibit ≥88 dan ukuran kristal 0.6 – 0.8
-
Membesarkan kristal masakan A dengan menambahkan nira kental
-
Masakan A HK : 83-87; brix turun = 92-95 dengan ukuran kristal 0.91.1 mm
b
Masakan C -
Bibit Masakan C dibuat dari inti kristal gula D II dengan menambahkan Stroop A
-
Membesarkan kristal Masakan C dengan menambahkan Stroop A sampai dengan volume yang diinginkan
-
Masaan C pada saat turun
-
HK
: 74-77
-
Brix
: 94-97
-
Ukuran kristal
: 0.4 – 0.6 mm
55
c
Masakan D -
Bibitan Masakan D dibuat untuk 2 (dua) Masakan D dengan fine crystal sebagai inti kristal dan menambahkan Stroop A/Clare D/Stroop C.
-
HK D III
: 69
HK D II
: 66
HK D I
: 60
Urut-urutan penambahan Stroop/Clare dimulai dari yang ber-HK tinggi ke HK rendah untuk mempercepat proses kristalisasi
-
Masakan D turun dengan HK 58-61 dan brix=97-99 serta ukuran kristasl ± 0.3 mm rata (max 3 ukuran)
-
Untuk pemakaian Continous Vacuum Pan ( UU. Bungamayang) pembuatan
bibit
dilakukan
di
pan
Konvensional,
sedangkan
pembesaran kristal di Continous Vacuum Pan. 4.1.2.2.6 Stasiun Puteran 1
Masakan Utama -
Masakan Utama diputar dalam 2 (dua) tahap
-
Puteran pertama yaitu Puteran A dilakukan untuk memisahkan gula A dari Stroop A dengan RPM sesuai standar
-
Untuk membantu pemisahan Stroop A dari gula A digunakan air panas yang disemprotkan pada saat pemutaran
-
Stroop hasil Puteran dikirim ke Stasiun Masakan untuk diproses lebih lanjut
-
Gula A hasil Puteran A dilakukan pencucian dalam Mingler untuk selanjutnya diputar pada Puteran II (Puteran SHS)
-
Pada Puteran SHS, disemprotkan air padas dan Steam yang berfungsi untuk membantu pemisahan gula dari Stroopnya dan pengeringan
-
Clare SHS hasil pemutaran dikirim ke Stasiun Masakan untuk proses kristalisasi lebih lanjut
-
Gula SHS dari Puteran SHS dengan kadar air ± 0.1% dikeringkan di Sugar Dryer dengan dihembuskan udara kering (± 80 dihembuskan udar kering pada suhu kamar (40 0C)
0
C dan
56
-
Gula produk (SHS) yang sudah kering disimpan di Sugar Bin untuk dilakukan pengarungan
2
Masakan Bibit -
Pemutaran Masakan C dilakukan dalam 1 (satu) tahap yang bertujuan untuk memisahkan hasil gula C dengan Stroop C
-
Dalam pemutaran diharapkan tidak banyak gula C yang pecah / hancur dan terikut dengan Stroop C
-
Pada pemuataran disemprotkan air seminimal mungkin untuk membantu pemisahan gula dengan Stroopnya
-
3
Diharapkan gula C sebagai bibit adalah:
HK Gula 92 -95
Kristal tidak pecah (ukuran ± 0.5 mm rata)
Masakan Akhir -
Pemutaran Masakan akhir dilakukan dalam 2 (dua) tahap
-
Masakan D sebelum diputar harus dilakukan kristalisasi lanjut di Crystalizer sampai ≥ 18 jam, sehingga suhunya turun dari ± 60 0C menjadi ± 45 0C - 40 0C
-
Sebelum diputar Masakan D perlu dipanasi dalam re-heater hingga suhu putran 54-55 0C
-
Puteran I menghasilkan gula D-I dan tetes
-
Diharapkan hasil Puteran I sebagai berikut:
HK Tetes ≤ 34 dengan brix =90-93
Gula D-I tidak pecah (hancur) dengan HK ± 88
-
Gula D-I diberi pengencer dengan Clare D atau air panas
-
Putaran II menghasilkan gula D II sebagai inti Bibitan Masakan dan Clare D yang dihasilkan diproses / diskristalisasi lebih lanjut.
4.1.2.2.7 Stasiun Boiler Boiler merupakan suatu alat untuk menghasilkan uap pada tekanan tertentu, dengan memindahkan panas dari bahan bakar ke air dalam suatu bejana tertutup. a Bahan Bakar Pada saat operasi normal bahan bakar utama yang digunakan adalah ampas (Bagasse) yangkeluar dari gilingan akhir atau dari gudang ampas. Suplai
57
residu dipergunakan pada saat awal gilingan atau dalam keadaan darurat, antara lain: -
Sistem tranportasi ampas ada gangguan
-
Tidak giling dan ampas habis
-
Fluktuasi beban terlalu besar
-
Ampas basah
-
Ampas mengandung banyak tanah/pasir
b Air Pada saat operasi normal air yang digunakan adalah condensat tidak mengandung gula yang diperlukan dari hasil kondensasi (pengembunan) uap yang dipakai pada Stasiun Pengupan dan Stasiun Masakan. Pada saat-saat tertentu mempergunakan Deep Wheel yang sudah melalui Water Treatment / Water Softener, apabila: -
Pada awal giling atau dalam keadaan darurat
-
Sistem pengaman penyaluran air Condensat terjadi ganguan
-
Jumalah air Condensat kurang
c Uap Uap yang dihasilkan diharapkan dengan tekanan 20 kg/cm2 dan temperaturnya 3250C. Uap yang dihasilkan disalurkan ke : -
Turbin Uap Boiler : Feed Water Pump ; FD. Fan dan ID. Fan
-
Stasiun Gilingan untuk Turbin Uap : Cane Cutter, Semi Hammer Shredder dan Mill
-
Stasiun Listrik untuk Turbin Uap : Generator
-
Stasiun Boiling untuk krengsengan, Sugar Dryer, tekanan uap diturunkan melalui Pressure Reducer dari 20 kg/cm2 menjadi 3 kg/cm2
-
Sistem Suplai uap untuk proses melalui : Pressure Reducer tekanan uap diturunkan dari 20 kg/cm2 menjadi 1 kg/cm2 dan melalui Desuperheater dengan dibantu air dari Feed Water, tempertur uap diturunkan dari 160 0C menjadi 130 0C
d Abu -
Abu kasar dan abu halus yang ditangkap oleh Dust Collector serta kotoran hasil pembakaran dikirim ke lahan tebu.
-
58
e Udara Udara yang diperlukan untuk pembakaran didapat dari udara luar yang dipanaskan dalam suatu alat pemanas udara 4.1.2.2.8 Stasiun Listrik 1
Pada saat operasi normal dalam masa giling, tenaga listrik yang dipakai dihasilkan dari Turbin Generator.
Pada saat awal giling atau dalam
keadaan darurat, misalnya ada ganggunan pada Turbin Generator, tenaga listrik yang diperlukan diperoleh dari Diesel Generator. 2
Diluar masa giling, sumber tenaga listrik dihasilkan dari Diesel Generator
3
Tenaga listrik yang dihasilkan disalurkan untuk:
4
-
Memenuhi seluruh keperluan tenaga listrik dalam pabrik
-
Bengkel Induk
-
Penerangan Jalan
-
Perumahan
Tenaga listrik yang dihasilkan dari Turbin / Diesel Generator adalah 6000 Volt, kemudian ditransformasikan menjadi 380 / 220 Volt
4.2 Ergonomi Mikro 4.2.1 Pecahayaan 4.2.1.1 Shift Pagi Tabel 9 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 36 - 19206 49.86 - 20000 260.6 - 345.60 6.642 - 651.7 119.84 - 308.7 25.88 - 33.45 255.1 - 332.3 19.224 - 51.19 51.68 - 1293.10 11.28 - 49.86 21.736 - 46.02 14.916 - 30.66 20.7 - 661.60 96.33 - 454.9
Dari hasil pengukuran illuminasi (lux) seperti tampak pada Tabel 9, diperoleh bahwa illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang pada shift pagi memiliki kisaran antara 20.7 - 19206 lux, dengan tingkat pencahyaan terendah terjadi di stasiun power house dan tertinggi
59
di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 6.642 20000 lux.
Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun pemurnian dan
illuminasi tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.1.2 Shift Siang Tabel 10 Illuminasi pada tujuh stasiun PG Jatitujuh pada shift siang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
untuk
PG
Bungamayang
dan
Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 31.3 - 20000 71.8 - 20000 52.72 - 1164 9.024 - 646.9 39.94 - 298.3 3.157 - 10.931 72.93 - 135.4 4.788 - 20.15 48.66 - 144.8 3.937 - 47.96 20.72 - 27.53 2.517 - 68.88 29.53 - 98.48 5.274 - 16.44
Dari hasil pengukuran illuminasi (lux) pada shift siang seperti tampak pada Tabel 10, diperoleh bahwa illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang pada shift siang memiliki kisaran antara 20.72 - 20000 lux, dengan iluminasi terendah terjadi di stasiun power house dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 2.517 - 20000 lux. Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun power house dan illuminasi tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.1.3 Shift Malam Tabel 11 Illuminasi pada tujuh stasiun PG Jatitujuh pada shift malam No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
untuk
PG
Bungamayang
dan
Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 21.23 - 302.5 49.09 - 7710 4.89 - 20.63 5.639 - 117.8 9.29 - 12.73 8.302 - 15.33 10.6 - 14.99 5.089 - 36.17 41.39 - 65.8 4.611 - 79.02 19.21 - 20.09 74.31 - 75.94 7.2 - 33.93 12.726 - 24.75
Pada shift malam (Tabel 11) illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 4.89 – 302.5 lux, dengan iluminasi terendah terjadi di stasiun pemurnian dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 4.611 - 7710
60
lux.
Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun puteran dan illuminasi
tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.2 Suhu 4.2.2.1 Shift Pagi Tabel 12 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Temperatur udara (0C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 28.63 – 31.13 36.12 - 37.70 34.6 – 35.3 37 - 38.60 32.9 – 33 36.18 - 37.49 35.17 – 35.7 32.99 - 37.29 34.71 – 35.80 37.3 - 37.90 35.38 – 35.88 33.9 - 34.57 30.8 – 32.4 29.39 - 32.39
Dari hasil pengukuran temperatur udara (0C) (Tabel 12), temperatur udara untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 28.63 – 35.88 0C , dengan temperatur udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun power house. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 29.39 – 38.60 0C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun pemurnian. 4.2.2.2 Shift Siang Tabel 13 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Temperatur udara (0C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 34.5 - 36.91 35.6 - 36.11 35.4 - 36.7 36.4 - 39.7 35.1 - 35.2 29.3 - 29.6 35.5 - 36 29.19 - 29.6 36.71 - 36.88 29.2 - 30.6 35.6 - 35.7 30.59 - 31.69 33.9 - 35.69 27.68 - 28.7
Dari hasil pengukuran temperatur udara (0C) (Tabel 13), temperatur udara pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 34.5 – 36.91 0C , dengan temperatur
61
udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 27.68 – 39.7 0C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun pemurnian. 4.2.2.3 Shift Malam Tabel 14 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Temperatur udara (0C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 28.93 - 30.4 29.6 - 30.3 32.18 - 32.6 29.4 - 30.09 31.7 - 31.91 30.01 - 30.5 31.8 - 31.8 29.2 - 30.6 31.69 - 31.71 30.71 - 31.3 31.1 - 31.42 28.2 - 28.39 29.64 - 30 28.1 - 28.6
Pada shift malam (Tabel 14) temperatur udara (0C) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 28.93 – 32.6 0C, dengan temperatur udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun pemurnian. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 28.1 – 31.3 0C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun puteran. 4.2.3 Kelembaban 4.2.3.1 Shift Pagi Tabel 15 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 45.05 - 86.67 43.22 - 71.44 43.93 - 53.93 35.28 - 60.11 50.16 - 52.07 41.34 - 43.84 40.39 - 43.77 40.7 - 49.30 20.16 - 58.04 38.1 - 61.54 36.77 - 40.69 44.25 - 45.17 27.67 - 55.24 51.56 - 70.17
Pada shift pagi (Tabel 15) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 20.16-
62
86.67 % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 35.28-71.44%.
Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun
pemurnian dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.3.2 Shift Siang Tabel 16 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 29.67 - 46.2 43.12 - 64.48 34.22 - 40.81 31.46 - 49.98 35.72 - 42.2 64.39 - 67.84 34.27 - 38.29 63.76 - 67.98 21.28 - 40.23 56.22 - 68.17 34.64 - 36.54 44.87 - 49.95 20.02 - 38.33 58.78 - 70.65
Pada shift siang (Tabel 16) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 20.02-46.2 % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun boiler dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 31.46-70.65%.
Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun
pemurnian dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun boiler. 4.2.3.3 Shift Malam Tabel 17 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 54.53 - 91.64 70.1 - 83.23 58.26 - 71.56 67.3 - 71.2 60.83 - 66.75 67.18 - 69.58 60.55 - 64.96 67.4 - 74.11 29.42 - 67.8 53.77 - 65.86 58.43 - 59.42 64.66 - 68 33.11 - 70.47 62.45 - 66.9
Pada shift malam (Tabel 17) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 29.42-91.64 % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara
63
53.77-83.23%. Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun puteran dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.4 Kebisingan 4.2.4.1 Shift Pagi Tabel 18 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Jatitujuh pada shift pagi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
PG Bungamayang
dan
Kebisingan (dB) PG Bungamayang PG Jatitujuh 70.07- 98.54 69.21 - 93.51 83.76 - 86.94 87.54 - 96.07 101.65 - 85.5 87.57 - 90.91 81.7 - 85.58 89.34 - 93.86 70.8 - 89.52 91.02 - 97.24 85.1 - 100.33 94.62 - 96.33 75.99 - 87.08 89.4 - 94.64
Kebisingan (dB) pada shift pagi untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 70.07-100.33 dB dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di power house. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 69.21-97.24 dB.
Dengan
kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun puteran. 4.2.4.2 Shift Siang Tabel 19 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Jatitujuh pada shift siang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
PG Bungamayang
dan
Kebisingan (dB) PG Bungamayang PG Jatitujuh 72.7 - 98.74 69.43 - 94.35 80.58 - 87.52 88.31 - 97.02 87.64 - 87.98 86.11 - 90.75 82.41 - 83.05 86.76 - 88.41 78.8 - 87.85 87.11 - 92.25 87.65 - 97.34 97.33 - 97.67 77.18 - 102.89 89.23 - 96.24
Kebisingan (dB) pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 72.7-102.89 dB dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di boiler. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 69.43-97.67 dB.
Dengan
64
kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun power house. 4.2.4.3 Shift Malam Tabel 20 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
Kebisingan (dB) PG Bungamayang PG Jatitujuh 66.68 - 89.87 70.48 - 91.98 83.76 - 89.25 84.03 - 90.85 85.61 - 88.64 86.02 - 87.3 83.58 - 84.19 86.4 - 90.74 73.98 - 88.44 89.47 - 96.34 90.8 - 92.96 96.14 - 96.325 78.65 - 104.08 89.24 - 93.31
Kebisingan (dB) pada shift malam untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 66.68-104.08 dB dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di boiler. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 70.48-96.34 dB.
Dengan
kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun puteran. 4.2. 5 Getaran 4.2.5.1 Shift Pagi Tabel 21 Getaran pada tujuh stasiun PG Jatitujuh pada shift pagi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
untuk
PG
Bungamayang
Getaran (m/s2) PG Bungamayang 0.148 - 2.63 0.539 - 3.26 0.627 - 1.971 1.026 - 1.788 0.145 - 1.61 0.327 - 0.84 0.285 - 2.15
dan
PG Jatitujuh 0.876 - 7.63 0.603 - 1.48 0.435 - 1.56 0.563 - 1.98 1.28 - 2.56 1.3 - 1.584 0.332 - 0.35
Getaran (m/s2) pada shift pagi untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 0.145-3.26 m/s2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di pemurnian. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 0.332-7.63 m/s2.
Dengan getaran
terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan.
65
4.2.5.2 Shift Siang Tabel 22 Getaran pada tujuh stasiun PG Jatitujuh pada shift siang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
untuk
PG
Bungamayang
Getaran (m/s2) PG Bungamayang 0.12 - 3.925 0.371 - 3.615 0.475 - 1.317 0.441 - 0.679 0.447 - 2.156 0.342 - 0.878 0.4 - 1.864
dan
PG Jatitujuh 0.842 - 8.103 0.747 - 2.658 0.224 - 1.104 0.56 - 1.758 1.67 - 2.578 1.318 - 1.608 0.19 - 0.489
Getaran (m/s2) pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 0.12-3.925 m/s2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 0.19-8.103 m/s2. Dengan getaran terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan. 4.2.5.3 Shift Malam Tabel 23 Getaran pada tujuh stasiun PG Jatitujuh pada shift malam No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Stasiun Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler
untuk
PG
Bungamayang
dan
Getaran (m/s2) PG Bungamayang PG Jatitujuh 0.104 - 4.752 0.851 - 8.319 0.46 - 3.471 1.131 - 2.037 0.318 - 1.5578 0.21 - 1.917 0.511 - 0.828 0.58 - 1.757 0.116 - 0.699 1.488 - 3.51 0.347 - 0.946 1.1495 - 1.674 0.209 - 1.04 0.19 - 0.37
Getaran (m/s2) pada shift malam untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara 0.104-4.752 m/s2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara 0.19-8.319 m/s2. Dengan getaran terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan.
66
4.3 Ergonomi Makro 4.3.1 Pabrik Gula Jatitujuh 4.3.1.1 Struktur Organisasi Pengorganisasian merupakan salah satu unsur manajemen untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang mantap dalam pengelolaan pabrik gula. PG Jatitujuh menganut sistem spesialisasi (sistem teritorial yang dulu dipakai dan dianggap tidak efektif) dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan para pelaksana sesuai dengan bidang tugas yang dilimpahkannya sehingga mudah dalam pelaksanaannya. PG Jatitujuh dipimpin oleh seorang General Manager (GM) yang bertugas melaksanakan manajemen keseluruhan kegiatan termasuk keputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) pusat. GM mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang terjadi di PG Jatitujuh kepada direksi PT PG Rajawali. Dalam melaksanakan tugas GM dibantu oleh: 1. Kepala Bagian Tanaman (Plantation Manager) yang mempunyai tanggungjawab atas penyediaan lahan, pengolahan lahan, penanaman tebu, pemeliharaan tanaman, penebangan, dan pengakutan tebu ke pabrik 2. Kepala Bagian Pabrikasi (Processing Manager) yang bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan proses produksi gula dari tebu hasil angkut hingga menjadi gula kristal, peningkatan efisiensi proses, serta menjaga kelangsungan proses produksi 3. Kepala Bagian Instalasi (Engineering Manager) yang mempunyai tanggungjawab atas pemakaian dan perawatan peralatan dan mesin yang digunakan dalam proses produksi 4. Kepala Bagian Tata Usaha dan Ketenagakerjaan/TUK (Finance and Administration
Manager)
yang
mempunyai
tanggungjawab
atas
keuangan, mengkoordinasikan dan memimpin kegiatan pengolahan anggaran dan biaya produksi, kegiatan pembelian dan penjualan, serta mengawasi hasil produksi di gudang gula Karyawan yang bekerja di lingkungan PG Jatitujuh dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan dan memiliki jumlah yang berbeda pada masa giling
67
dengan di luar masa giling. Tingkatan tersebut adalah karyawan staf, karyawan bulanan, karyawan harian, karyawan kampanye (hanya pada masa giling), karyawan musiman (hanya pada masa giling), karyawan tebang (hanya pada massa giling) dan karyawan garapan tebu. Secara keseluruhan, karyawan PG Jatitujuh berjumlah 21964 orang. Pada musim giling karyawan pabrikasi dan instalasi masuk 24 jam dengan pergantian jam kerja sebagai berikut: Pagi : 07.00-15.00 Siang : 15.00-23.00 Malam : 23.00-07.00 Sedangkan pada waktu diluar giling, karyawan tersebut masuk pada jam kerja pagi. Untuk karyawan bagian tanaman dan bagian TUK masuk setip hari, kecuali hari minggu dan hari libur pada jam kerja pagi. 4.3.1.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan Perusahaan selalu berusaha mensejahterakan para operator dengan memberi berbagai fasilitas, seperti: pengadaan rumah dinas, sarana ibadah, olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, kesehatan, dan hakhak lainya yang diatur dalam peraturan perusahaan. PG Jatitujuh dalam rangka menunjang pengembangan perusahaan dan Sumber Daya Manusia memerlukan tenaga-tenaga terampil dan berpengalaman luas yang dapat menguasai tugas di bidang masing-masing. Oleh karena itu, perusahaan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan secara rutin kepada karyawan baik dilakukan di lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan. Pelaksanaan kegiatan ini biasanya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Sistem pengupahan diberikan setiap bulan dalam bentuk gaji. Pemberian gaji antara karyawan tingkat pimpinan, pelaksana dan musiman berbeda. Tingkat pimpinan gaji diberikan melalui pabrik dan dikirim (transfer) ke rekening masingmasing, sedangkan untuk tingkat pelaksana dan musiman gaji diberikan melalui loket di bagian Tata Usaha dan Ketenagakerjaan (TUK).
68
4.3.2 Pabrik Gula Bungamayang 4.3.2.1 Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Kantor Direksi berkedudukan di jalan Teuku Umar No. 300 Bandar Lampung Telpon Nomor (0721) 702233 dan Fax (0721) 702775 / 780079 Kebun PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) terletak di tiga propinsi/wilayah yaitu: 1. Propinsi Sumatera Selatan 2. Propinsi Lampung 3. Propinsi Bengkulu PTP. Nusantara VII (Persero) memiliki 25 Unit Usaha terdiri dari: Unit Usaha Wilayah Lampung: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Unit Usaha Kedaton Utara Unit Usaha Tulung Buyut. Unit Usaha Rejo Sari Unit Usaha Bekri Unit Usaha Bergen-Kalianda Unit Usaha Blambangan Umpuh Unit Usaha Way Lima Unit Usaha Way Berulu Unit Usaha Padang Ratu Unit Usaha Bungamayang
Unit Usaha Wilayah Sumatera Selatan: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Unit Usaha Betung. Unit Usaha Talang Sawit. Unit Usaha Pagar Alam. Unit Usaha Suli Inti. Unit Usaha Sungai Niru. Unit Usana Beringin / Baturaja. Unit UsahaTebenan. Unit Usaha Musi Landas. Unit Usaha Sungai Lengi Plasma. Unit Usaha Cinta Manis. Unit Usaha Senabing / Sungai Berau.
Unit Usaha Wilayah Bengkulu: 1 2 3 4
Unit Usaha Padang Pelawi Unit Usaha Ketahun. Unit Usaha Seluma. Unit Usaha Talo Pino.
69
PT. Perkebunan Nusantara VII (persero) mempunyai tipe kebun sesuai Surat Keputusan Direksi nomor : 7.1/KPTS/01/1998 tanggal 29 September 1998. Tipe Unit Usaha ditetapkan berdasarkan bobot Tanaman dan pabrik sebagai berikut: Selain dari pada kebun, PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) juga memiliki tiga Kantor Perwakilan yaitu: 1
Kantor Perwakilan Palembang
2
Kantor Perwakilan Jakarta
3
Kantor Perwakilan Bengkulu Bebeapa jenis komoditi yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara VII
(Persero) antara lain: 1
Tanaman Kelapa Sawit
2
Tanaman Karet
3
Tanaman Kakao
4
Tanaman Teh
5
Tanaman Kelapa Hibrida
6
Tanaman Kelapa Konsumsi
7
Tanaman Tebu (gula) PT. Perkebunan VII (persero) dipimpin oleh seorang Direktur Utama
(Dirut) yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh 4 orang Direktur Bidang yaitu: 1
Direktur Produksi (Dirprod)
2
Direktur Keuangan (Dirkeu)
3
Direktur Pemasaran (Dirpam)
4
Direktur SDM – Umum (Dirsum) Unit Usaha Bungamayang merupakan salah satu Unit Usaha yang ada di
wilayah Lampung, dengan dipimpin oleh seorang General Manager (GM) dengan dibantu oleh : 1 2 3 4 5 6 7
Sinka (Sinder Kepala) Tan (Tanaman) TS (Tebu Sendiri) Sinka TMA (Tebang Muat Angkut) Sinka Peltek (Pelayanan Teknik) Sinka Teknik Sinka Pengolahan Sinka LitBang Sinka TUK
70
Masing-masing Sinka dibantu oleh Sinder, Mandor Besar, Mandor dan Opertor/Mekanik/Juru. Jenjang kepangkatan di PT. Perkbunan Nusantara VII (Persero) adalah KTS , KTB dan KTH. Pembinaan
sumber
daya
manusia
(PSDM)
ditempuh
melalui
training/kursus, L2P (Lembaga Latihan Perkebunan ) di UU. Rejosari, Lembaga pendidikan perkebunan Medan dan Yogya, dan tugas belajar ke Universitas dalam negri dan luar negri. 4.3.2.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan Sarana sosial yang disediakan oleh PG Bungamayang antara lain: 1
Sarana Perumahan : Untuk karyawan tetap UU. Buangmayang disediakan sarana perumahan sbb: a b c d e f
2
Tipe 250 Tipe 200 Tipe 120 Tipe 100 Tipe 50 Tipe 36
: 1 unit : 5 unit : 5 unit : 81 unit : 132 unit : 490 unit
Sarana tempat Ibadah : Untuk menunjang kegiatan ibadah karyawan disediakan 1 buah Masjid dan 5 buah Musholla
3
Sarana Pendidikan : Untuk anak-anak karyawan dan masyarakat umum disediakan sarana pendidikan sebagai berikut: a b c
4
TK, jumlah murid 130 orang dengan tenaga pengasuh 5 orang SD, jumlah murid 564 orang dengan tenaga guru 22 orang SMP, jumlah murid 333 orang dengan tenga guru 21 orang
Sarana Olah Raga : Untuk menjaga kebugaran karyawan disediakan Lapangan Bola Kaki, Lapangan Volley Ball, Lapangan Bola Tenis, dan Lapangan Tenis Meja
5
Sarana Pertemuan : Sebagai wadah kegiatan sosial disediakan satu Unit Gedung Pertemuan untuk kegiatan sosial, rapat kerja, pertemuan IKI (Ikatan Kekeluargaan Ibu-Ibu), pentas seni dengan daya tampung ± 200 orang yang dilengkapi pula dengan 1 set gamelan dan kulintang
6
Sarana Kesehatan : Untuk menjag kesehatan karyawan disediakan satu Unit Balai Kesehatan Kebun dengan tenaga paramedis
7
Keselamatan Kerja : Guna menjaga keselamatan kerja karyawan, perusahaan memiliki :
71
•
Organisasi Panitia K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)
•
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Sistem pengupahan karyawan tetap KTS, KTB, dan KTH di PTP. Nusantara VII (persero) diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atas dasar usulan Badan Musyawarah Direksi seluruh Indonesia yang dituangkan dalam surat Keputusan Direksi. Untuk penguapahan karyawan tetap diatur sesuai UMR berdasarkan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi PTP. Nusantara VII (Persero). PT. Nusantara VII (Persero) dalam memberi jaminan sosial berdasarkan peraturan pemeriantah dan hasil Keputusan Badan Musyawarah, yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan seperti : -
Tunjangan bahan bakar
-
Tunjangan transport
-
Bagi karyawan tetap harian mendapat tunjangan sembako masingmasing sebesar : a. Karyawan 15 kg b. Istri 10 kg c. Anak 7.5 kg setiap bulan
-
Cuti tahunan diberikan sesuai peraturan Pemerintah, bahkan untuk KTS ada cuti panjang setiap enam tahun sekali.
-
Bagi karyawan tetap diberikan pakaian dinas serta penghargaan masa kerja 25 tahun, 30 tahun dan 35 tahun.
4.4 Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan 4.4.1 Beban Kerja Menggunakan Heart Rate Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran detak jantung dan menggunakan kuisioner. Pengukuran deta jantung dilakukan pada stasiun boiler dengan pertimbangan bahwa lingkungan kerja di stasiun boiler memiliki aktivitas fisik yang besar, dan kondisi iklim serta getaran dan kebisingan yang cukup tinggi. Pengukuran beban kerja dilakukan pada tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Kegiatan yang diamati pada stasiun ini yaitu kegiatan mengatur bagas pada tunggu pembakaran boiler.
72
4.4.1.1 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Jatitujuh Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja setiap operator yang pengukuran dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler.
Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
Keterangan Laki-laki 50 tahun 162 cm 59.2 kg 26 tahun
Tabel 25 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
Keterangan Laki-laki 29 tahun 166 cm 71.9 kg 3 tahun
73
4.4.1.1.1 Shift Pagi 4.4.1.1.1.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
R#1
ST#1
R#2
ST#2
R#3
ST#3
0:00:00 0:01:20 0:02:40 0:04:00 0:05:20 0:06:40 0:08:00 0:09:20 0:10:40 0:12:00 0:13:20 0:14:40 0:16:00 0:17:20 0:18:40 0:20:00 0:21:20 0:22:40 0:24:00 0:25:20 0:26:40 0:28:00 0:29:20 0:30:40 0:32:00 0:33:20
HR (Heart Rate)
A Operator Pertama
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
Gambar 10
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 10. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Denyut jantung operator pertama pada saat step test Kondisi R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3
86 120 85 131 101 146
Denyut Jantung Rata-rata 86 86 84 85 85 86 85 84 84 85 84 87 85.23 120 120 120 120 120 121 121 120 118 118 119 118 119.46 85 85 86 87 87 90 88 88 85 84 84 86 86.23 131 130 130 131 132 133 133 135 137 137 137 138 133.92 101 96 92 91 89 88 88 87 86 86 87 86 89.54 146 147 148 150 152 154 154 155 157 157 157 157 153.15
Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut
74
jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 27). Tabel 27 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama Step Test 1 2 3
TECST (kkal/min) 1.2712 1.5890 1.9068
WEC’ (kal/kg.min) 4.3 9.7 15.1
IRHR
Persamaan
1.40 1.55 1.71
TEC = 2.0577 (IRHR) 1.6108
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik
TECST (kkal/min)
seperti pada Gambar 11. 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = 2.057x - 1.610 R² = 0.999
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
IRHR
Gambar 11 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama Dari Gambar 11 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.9999.
75
0:33:20
0:31:40
0:30:00
0:28:20
0:26:40
0:25:00
0:23:20
0:21:40
ST#3
0:20:00
0:18:20
0:16:40
R#3
0:15:00
0:13:20
0:10:00
0:08:20
0:11:40
ST#2
R#2
0:06:40
0:03:20
0:05:00
ST#1
R#1
0:01:40
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
0:00:00
HR (Heart Rate)
B Operator Kedua
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Gambar 12 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada shift pagi
saat step test
Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Denyut jantung operator kedua pada saat step test Kondisi R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3
89 117 95 137 111 150
89 117 95 137 111 150
92 117 97 137 108 151
93 120 97 137 108 153
Denyut Jantung 94 91 88 92 91 121 120 119 118 121 98 99 98 97 96 139 140 141 142 143 104 106 103 106 105 155 156 157 158 158
90 89 90 91 123 123 123 124 95 96 96 96 144 143 145 145 102 99 104 106 159 159 160 161
Rata-rata 90.69 120.85 96.54 141.31 105.00 156.85
Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 29).
76
Tabel 29 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua TECST (kkal/min) 2.0132 2.5165 3.0198
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 12.4 19.4 26.4
IRHR
Persamaan
1.33 1.46 1.49
TEC = 5.516 (IRHR) – 5.372
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik
TECST (kkal/min)
seperti pada Gambar 13. 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = 5.516x - 5.372 R² = 0.883
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
IRHR
Gambar 13 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua Dari Gambar 13 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang cukup besar yaitu 0.883. 4.4.1.1.1.2 Analisis Beban Kerja Fisik 140
R#1
HR (Heart Date)
120
ST#1
100 80 60 40 20 0:12:00
0:11:30
0:11:00
0:10:30
0:10:00
0:09:30
0:09:00
0:08:30
0:08:00
0:07:30
0:07:00
0:06:30
0:06:00
0:05:30
0:05:00
0:04:30
0:04:00
0:03:30
0:03:00
0:02:30
0:02:00
0:01:30
0:01:00
0:00:30
0:00:00
0
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 14
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi
77
Sebelum bekerja operator pertama melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 14, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung.
Dari hasil perhitungan rata-rata
denyut jantung saat istirahat
140 120 100 80 60 40 20 0
0:03:00
0:02:50
0:02:30 0:02:40
0:02:20
0:02:10
0:01:50 0:02:00
0:01:40
0:01:20 0:01:30
0:01:10
0:00:50 0:01:00
0:00:40
0:00:30
0:00:10 0:00:20
Kerja
0:00:00
HR (Heart Rate)
(HR rest) untuk step test ini yaitu 74.77 bpm.
Time
Gambar 15
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift pagi
pada saat operator pertama
Kegiatan kerja operator pengumpan bagas untuk tungku boiler tidak menentu tergantung dari tingkat tekanan pada boiler, dengan tekanan kerja pada boiler dipertahankan antara 20-23 bar. Kalau tekanan boiler antara 16-20 bar merupakan tekanan boiler dalam status awas sehingga operator pengumpan bagas akan bersiap untuk melakukan pengumpanan untuk meningkatkan atau mempertahankan tingkat tekanan di dalam boiler, dan bila tekanan antara 10-15 bar merupakan tekanan boiler dalam status bahaya, karena tekanan dalam kisaran ini dapat menyebabkan proses pabrikasi berhenti total dan merusak proses produksi. Biasanya tekanan di dalam boiler dengan status bahaya ini sangat menyibukkan operator pengumpan bagas untuk tungku boiler, dan bila proses pengumpanan dengan bagas gagal meningkatkan tekanan boiler, digunakan bahan bakar minyak untuk meningkatkan pembakan pada tungku boiler sehingga tekanan boiler meningkat. Namun boiler jarang dalam status bahaya kecuali terjadi kerusakan alat seperti macetnya konveyor pemasukan bagas dari stasiun gilingan atau bagas terlalu basah dan bagas cadangan terlambat diumpan bila bagas dari stasiun gilingan tidak ada (tebu habis). Kegiatan kerja operator pertama dapat dilihat pada Gambar 15, pada saat kerja operator pertama, tekanan boiler dalam status bahaya karena mengalami ganguan pada konveyor pengangkut bagas dari gilingan dan kurangnya suplai dari bagas cadangan, diperparah dengan rusaknya salah satu pompa injeksi
78
bahan bakar sebagai penyuplai bahan bakar untuk boiler. Status bahaya ini dapat ditangulangi dengan cepat lebih kurang 10 menit, sehingga proses pabrikasi tidak terhenti. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator pertama saat bekerja sebesar 1.46 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. 130
R#1
HR (Heart Rate)
120
ST#1
110 100 90 80 70 0:09:35
0:09:10
0:08:45
0:08:20
0:07:55
0:07:30
0:07:05
0:06:40
0:06:15
0:05:50
0:05:25
0:05:00
0:04:35
0:04:10
0:03:45
0:03:20
0:02:55
0:02:30
0:02:05
0:01:40
0:01:15
0:00:50
0:00:25
0:00:00
60
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 16
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja
Sebelum bekerja operator kedua juga melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 16, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kerja
Isti rah at
Kerja
Istirahat
0:00:00 0:00:10 0:00:20 0:00:30 0:00:40 0:00:50 0:01:00 0:01:10 0:01:20 0:01:30 0:01:40 0:01:50 0:02:00 0:02:10 0:02:20 0:02:30 0:02:40 0:02:50 0:03:00 0:03:10 0:03:20 0:03:30 0:03:40 0:03:50 0:04:00 0:04:10 0:04:20 0:04:30 0:04:40
HR (Heart Rate)
test ini yaitu 86.42 bpm.
Time
Gambar 17
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift pagi
pada saat operator kedua
Kegiatan kerja operator kedua dapat dilihat pada Gambar 17, pada saat kerja operator kedua, juga sama dengan kondisi saat operator pertama bekerja yaitu tekanan boiler dalam status bahaya. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator kedua saat bekerja sebesar 1.52 dengan katagori tingkat beban kerja berat.
79
Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 30). Tabel 30 Energy cost pada operator pertama dan kedua Operator
IRHR
1 2
1.46 1.52
Tingkat Beban Kerja sedang berat
TEC
BME
WEC
WEC'
(kkal/min) 1.40 3.01
1.015 1.120
(kal/kg.min) 0.38 1.89
6.5 26.3
4.4.1.1.2 Shift Siang 4.4.1.1.2.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator Pertama 140
R#1
HR (Heart Rate)
120
ST#1
100 80 60 40 20 0:12:50
0:12:15
0:11:40
0:11:05
0:10:30
0:09:55
0:09:20
0:08:45
0:08:10
0:07:35
0:07:00
0:06:25
0:05:50
0:05:15
0:04:40
0:04:05
0:03:30
0:02:55
0:02:20
0:01:45
0:01:10
0:00:35
0:00:00
0
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 18
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test sebelum bekerja pada shift siang
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja dapat dilihat pada Gambar 18. Dari grafik diatas diperoleh HR rest adalah 81.07 bpm.
HR (Heart Rate)
80
112 110 108 106 104 102 100 98 96 94 0:13:45
0:13:40
0:13:35
0:13:30
0:13:25
0:13:20
0:13:15
0:13:10
0:13:05
0:13:00
0:12:55
0:12:50
0:12:45
Time
Gambar 19
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift siang
pada saat operator pertama
Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.31, termasuk beban kerja sedang. B Operator Kedua 140 HR (Heart Rate)
ST#1
R#1
120 100 80 60 40 20
0:11:30
0:11:00
0:10:30
0:10:00
0:09:30
0:09:00
0:08:30
0:08:00
0:07:30
0:07:00
0:06:30
0:06:00
0:05:30
0:05:00
0:04:30
0:04:00
0:03:30
0:03:00
0:02:30
0:02:00
0:01:30
0:01:00
0:00:30
0:00:00
0
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 20
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test sebelum bekerja pada shift siang
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja dapat dilihat pada Gambar 20. Pola denyut jantung operator kedua pada saat step test hampir sama dengan pola denyut jantung operator satu. Dari grafik diatas diperoleh HR rest adalah 91.07.
HR (Heart Rate)
81
135.5 135 134.5 134 133.5 133 132.5 132 131.5 131 130.5 0:05:00
0:04:55
0:04:50
0:04:45
0:04:40
0:04:35
0:04:30
0:04:25
0:04:20
0:04:15
0:04:10
0:04:05
0:04:00
Time
Gambar 21
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift siang
pada saat operator kedua
Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.46 sehingga termasuk beban kerja sedang. 4.4.1.1.2.2 Analisis Beban Kerja Fisik Dari persamaan daya dari operator pertama dan kedua (Gambar 11 dan Gambar 13) diperoleh Total Energy Cost (Tabel 31) untuk operator satu dan operator dua pada shift siang, dengan IRHR kerja operator pertama 1.31 yang termasuk beban kerja sedang dengan TEC kerja 2.04 kkal/menit, sedang IRHR kerja operator kedua 1.46 yang termasuk beban kerja sedang dengan TEC kerja 1.21 kkal/menit. Tabel 31 Energy cost pada kedua operator pada shift siang Operator
IRHR
1 2
1.33 1.46
Tingkat Beban Kerja Sedang Sedang
TEC
BME
WEC
(kkal/min) 1.13 2.6819
1.015 1.12
WEC' (kal/kg.min)
0.11 1.562
1.9 21.7
82
4.4.1.1.3 Shift Malam 4.4.1.1.3.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator Pertama 140 120 100 80 60 40 20 0
ST#1
0:13:20
0:12:40
0:12:00
0:11:20
0:10:40
0:10:00
0:09:20
0:08:40
0:08:00
0:07:20
0:06:40
0:06:00
0:05:20
0:04:40
0:04:00
0:03:20
0:02:40
0:02:00
0:01:20
0:00:40
0:00:00
HR (Heart Rate)
R#1
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 22
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja pada shift malam
Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja dapat dilihat pada Gambar 22. Dari grafik diatas diperoleh HR rest
HR (Heart Rate)
adalah 85.92 bpm. 135 130 125 120 115 110 105 100
0:01:00
0:00:55
0:00:50
0:00:45
0:00:40
0:00:35
0:00:30
0:00:25
0:00:20
0:00:15
0:00:10
0:00:05
0:00:00
Time
Gambar 23
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift malam
pada saat operator pertama
Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.41, termasuk beban kerja sedang.
83
B Operator Kedua 140
R#1
ST#1
HR (Heart Rate)
120 100 80 60 40 20 0:11:40
0:11:05
0:10:30
0:09:55
0:09:20
0:08:45
0:08:10
0:07:35
0:07:00
0:06:25
0:05:50
0:05:15
0:04:40
0:04:05
0:03:30
0:02:55
0:02:20
0:01:45
0:01:10
0:00:35
0:00:00
0
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 24
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam
Dari grafik diatas diperoleh HRrest adalah 82.31.
HR (Heart Rate)
133 132 131 130 129 128 127 126 125 124 123
0:02:35
0:02:30
0:02:25
0:02:20
0:02:15
0:02:10
0:02:05
0:02:00
0:01:55
0:01:50
0:01:45
0:01:40
0:01:35
Time
Gambar 25
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift malam
pada saat operator kedua
Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.55 sehingga termasuk beban kerja berat. 4.4.1.1.3.2 Analisis Beban Kerja Fisik Dari persamaan daya dari operator pertama dan kedua diperoleh TEC kerja shift malam yaitu untuk operator pertama dengan IRHR kerja 1.41 bmp yang termasuk tingkat beban kerja sedang, dengan nilai TEC kerja sebesar 2.70 kkal/min, sedang untuk operator kedua dengan IRHR kerja 1.55 yang termasuk
tingkat
7.53 kkal/min.
beban
kerja
berat
memerlukan
TEC
kerja
sebesar
84
Tabel 32 Energy cost pada kedua operator pada shift malam Operator
IRHR
1 2
1.42 1.55
Tingkat Beban Kerja Sedang Berat
TEC
BME
WEC
(kkal/min) 1.31 3.18
1.015 1.120
WEC' (kal/kg.min)
0.30 2.06
5.0 28.6
4.4.1.2 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Bungamayang 4.4.1.2.1 Shift Pagi 4.4.1.2.1.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator P1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja setiap operator yang pengukuran dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler.
Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 33. Tabel 33 Karakteristik operator pengukuran P1 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Keterangan Laki-laki 48 tahun 152 cm 45.4 kg 23.4 tahun
pekerjaan
bagian
0:28:00
0:26:40
0:25:20
0:24:00
0:22:40
0:21:20
ST#3
0:20:00
0:18:40
0:17:20
R#3
0:16:00
0:14:40
0:13:20
ST#2
0:12:00
0:10:40
0:09:20
R#2
0:08:00
0:05:20
ST#1
0:04:00
0:02:40
0:01:20
R#1
0:06:40
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0:00:00
HR (Heart Rate)
85
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
Gambar 26
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 saat step test pada shift pagi
Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 26. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 34, dengan HR rest = 91.23 bpm. Tabel 34 Denyut jantung operator P1 pada saat step test Kondisi R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3
84 121 91 130 101 146
84 82 82 121 121 122 91 89 91 130 132 133 101 99 96 146 146 148
Denyut Jantung 83 85 86 92 102 123 124 123 121 122 94 92 90 87 94 134 135 134 135 135 97 98 97 98 98 149 149 150 150 151
103 122 104 135 98 151
96 124 103 136 100 151
96 124 103 137 103 151
95 125 102 137 101 152
Rata-rata 91.23 122.54 95.31 134.54 98.69 149.69
Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 35).
86
Tabel 35 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator P1 TECST (kkal/min) 1.2712 1.5890 1.9068
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 5.4 12.4 19.4
IRHR
Persamaan
1.34 1.41 1.52
TEC = 3.607 (IRHR) – 3.548
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 27. 3.5
TECST(kkal/min)
3 y = 3.607x - 3.548 R² = 0.985
2.5 2 1.5 1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 27 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator P1 Dari Gambar 27 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.985. B Operator P2 Pada operator P2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator.
Penetapan operator yang
diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Karakteristik operator pengukuran P2 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Keterangan Laki-laki 41 tahun 168 cm 56.9 kg 20 tahun
pekerjaan
bagian
0:28:20
0:26:55
0:25:30
0:24:05
0:22:40
0:21:15
ST#3
0:19:50
0:18:25
R#3
0:17:00
0:15:35
0:14:10
ST#2
0:12:45
0:11:20
0:09:55
R#2
0:08:30
0:07:05
ST#1
0:04:15
0:02:50
0:01:25
R#1
0:05:40
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0:00:00
HR (Heart Rate)
87
Time
Keterangan :
Gambar 28
R#N
: Istirahat ke N
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
ST#2
: Step test 25 siklus/menit
ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 saat step test pada shift pagi
Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 28. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 37, dengan HR rest adalah 86.69 bpm. Tabel 37 Denyut jantung operator P2 pada saat step test Kondisi R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3
84 104 86 137 101 160
Denyut Jantung Rata-rata 84 83 85 81 85 85 90 92 92 89 90 85 86.69 104 107 108 108 109 108 108 107 106 107 110 108 107.54 86 86 87 89 88 90 86 90 90 95 97 97 90.38 137 138 139 141 143 142 143 144 146 146 146 146 142.77 101 99 96 97 98 97 98 98 98 100 103 101 98.69 160 161 163 163 164 165 166 166 166 167 168 168 164.92
Operator kedua memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator kedua dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST.
Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan
membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator P2 (Tabel 38).
88
Tabel 38 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator P2 TECST (kkal/min) 1.5932 1.9915 2.3898
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 10.0 17.0 24.0
IRHR
Persamaan
1.24 1.58 1.67
TEC = 1.6663 (IRHR) – 0.5029
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 29. 3.5 TECST(kkal/min)
3 2.5 2 1.5
y = 1.666x - 0.502 R² = 0.900
1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 29 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator P2 Dari Gambar 29 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.900. 4.4.1.2.1.2 Analisis Beban Kerja Fisik
HR (Heart Rate)
120
ST#1
R#1
110 100 90 80 70
0:06:20
0:06:00
0:05:40
0:05:20
0:05:00
0:04:40
0:04:20
0:04:00
0:03:40
0:03:20
0:03:00
0:02:40
0:02:20
0:02:00
0:01:40
0:01:20
0:01:00
0:00:40
0:00:20
0:00:00
60
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 30
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi
89
Sebelum bekerja operator P1 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 30, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test
HR (Heart Rate)
ini yaitu 90.92 bpm. 136 134 132 130 128 126 124 122 120 118 116 0:14:15
0:14:10
0:14:05
0:14:00
0:13:55
0:13:50
0:13:45
0:13:40
0:13:35
0:13:30
0:13:25
0:13:20
0:13:15
Time
Gambar 31
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator P1 melakukan kerja pada shift pagi
Kegiatan kerja operator P1 dapat dilihat pada Gambar 31, pada saat kerja operator P1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler 2023 bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator P1 saat bekerja sebesar 1.42 dengan katagori tingkat beban kerja sedang.
HR (Heart Rate)
120
R#1
110
ST#1
100 90 80 70
0:11:50
0:11:20
0:10:50
0:10:20
0:09:50
0:09:20
0:08:50
0:08:20
0:07:50
0:07:20
0:06:50
0:06:20
0:05:50
0:05:20
0:04:50
0:04:20
0:03:50
60
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 32
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 pada saat step test sebelum bekerja
Sebelum bekerja operator P2 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 32, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu 85.23 bpm.
HR (Heart Rate)
90
118 116 114 112 110 108 106 104 0:02:35
0:02:30
0:02:25
0:02:20
0:02:15
0:02:10
0:02:05
0:02:00
0:01:55
0:01:50
0:01:45
0:01:40
0:01:35
Time
Gambar 33
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator P2 melakukan kerja pada shift pagi
Kegiatan kerja operator P2 dapat dilihat pada Gambar 33, pada saat kerja operator P2, juga sama dengan kondisi saat operator P1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator P2 saat bekerja sebesar 1.33 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 39). Tabel 39 Energy cost pada operator P1 dan P2 pada shift pagi Operator
IRHR
1 2
1.42 1.33
Tingkat Beban Kerja Sedang Sedang
TEC
BME
WEC
(kkal/min) 1.58 1.72
0.865 1.025
WEC' (kal/kg.min)
0.71 0.69
15.7 12.2
4.4.1.2.2 Shift Siang 4.4.1.2.2.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator S1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja operator S1 dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 40.
91
Tabel 40 Karakteristik operator pengukuran S1 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler
bagian
0:26:15
0:25:00
0:23:45
0:21:15
0:20:00
0:18:45
0:17:30
0:22:30
ST#3
R#3
0:16:15
0:15:00
0:13:45
ST#2
0:12:30
0:11:15
0:10:00
0:08:45
0:07:30
0:05:00
pekerjaan
Keterangan Laki-laki 45 tahun 159 cm 70.9 kg 21 tahun
R#2
ST#1
0:03:45
0:02:30
0:01:15
R#1
0:06:15
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0:00:00
HR (Heart Rate)
Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Time
Keterangan :
Gambar 34
R#N
: Istirahat ke N
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
ST#2
: Step test 25 siklus/menit
ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 saat step test pada shift siang
Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 34. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 41, dengan HR rest operator S1 84.85 bpm. Tabel 41 Denyut jantung operator S1 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R#1 89 89 85 86 89 88 86 85 80 82 82 83 86 84.85 ST#1 116 116 116 117 118 118 119 119 120 120 122 123 123 119.46 R#2 84 84 85 85 86 87 84 83 83 88 91 91 90 86.62 ST#2 132 132 133 134 135 134 135 135 135 136 137 137 136 135.08 R#3 92 92 88 87 95 93 93 90 90 90 90 91 90 90.69 ST#3 146 146 146 148 149 149 150 150 151 151 151 151 152 149.69
Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh
92
operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 42). Tabel 42 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator S1 pada shift siang TECST (kkal/min) 1.9852 2.4815 2.9778
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 12.7 19.7 26.7
IRHR
Persamaan
1.41 1.56 1.65
TEC = 4.0089 (IRHR) 3.6896
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 35.
3.2 TEC ST(kkal/min)
3 2.8 y = 4.008x - 3.689 R² = 0.979
2.6 2.4 2.2 2 1.8 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 35 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator S1 pada shift siang Dari Gambar 35 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.979. B Operator S2 Pada operator S2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator.
Penetapan operator yang
diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 43.
93
Tabel 43 Karakteristik operator pengukuran S2 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler
pekerjaan
bagian
Keterangan Laki-laki 34 tahun 158 cm 59.1 kg 12 tahun
0:28:30
0:26:55
0:25:20
0:23:45
0:22:10
ST#3
0:20:35
0:19:00
R#3
0:17:25
0:15:50
0:14:15
ST#2
0:12:40
0:11:05
R#2
0:09:30
0:07:55
ST#1
0:04:45
0:03:10
0:01:35
R#1
0:06:20
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0:00:00
HR (Heart Rate)
Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Gambar 36 Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 saat step test pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 pasa saat step test dapat dilihat pada Gambar 36. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 44, dengan HR rest adalah 75.62. Tabel 44 Denyut jantung operator kedua pada saat step test Kondisi Denyut Jantung R#1 74 74 75 75 75 76 75 75 75 ST#1 100 100 102 102 103 103 103 103 103 R#2 83 83 81 81 81 81 82 84 84 ST#2 137 137 137 137 139 140 141 142 143 R#3 87 87 86 86 87 86 87 87 88 ST#3 146 146 147 148 150 152 154 154 155
76 103 85 144 87 157
77 103 84 143 88 157
76 104 86 145 87 157
78 104 86 145 85 157
Rata-rata 75.62 102.92 83.38 141.31 86.54 153.15
Operator S2 memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator S2 dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka
94
akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator S2 (Tabel 45). Tabel 45 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator S2 Step Test 1 2 3
TECST (kkal/min) 1.6548 2.0685 2.4822
WEC’ (kal/kg.min) 11.2 18.2 25.2
IRHR
Persamaan
1.36 1.69 1.77
TEC = 1.7867 (IRHR) – 0.8054
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 37.
3.5 TEC ST(kkal/min)
3 2.5 2 1.5
y = 1.786x - 0.805 R² = 0.882
1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 37 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator S2 Dari Gambar 37 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.882.
95
0:09:00
0:08:30
0:08:00
0:07:30
0:07:00
0:06:30
0:06:00
0:05:30
0:05:00
0:04:30
0:03:30
0:03:00
0:02:30
0:02:00
ST#1
0:01:30
0:01:00
0:00:30
R#1
0:04:00
105 100 95 90 85 80 75 70 65 60 0:00:00
HR (Hear Rate)
4.4.1.2.1.2 Analisis Beban Kerja Fisik
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 38
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift siang
Sebelum bekerja operator S1 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 38, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test
HR (Heart Rate)
ini yaitu 68.62 bpm. 120 118 116 114 112 110 108 106 0:02:45
0:02:40
0:02:35
0:02:30
0:02:25
0:02:20
0:02:15
0:02:10
0:02:05
0:02:00
0:01:55
0:01:50
0:01:45
Time
Gambar 39
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator S1 melakukan kerja pada shift siang
Kegiatan kerja operator S1 dapat dilihat pada Gambar 39, pada saat kerja operator S1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler 2023 bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator S1 saat bekerja sebesar 1.67 dengan katagori tingkat beban kerja berat.
0:09:20
0:08:45
0:08:10
0:07:35
0:07:00
0:05:50
0:05:15
0:04:40
0:04:05
ST#1
0:03:30
0:02:55
0:02:20
0:01:45
0:01:10
0:00:35
R#1
0:06:25
110 105 100 95 90 85 80 75 70 65 60 0:00:00
HR (Heart Rate)
96
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 40
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 pada saat step test sebelum bekerja
Sebelum bekerja operator S2 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 40, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu
HR (Heart Rate)
75.62 bpm. 114 112 110 108 106 104 102 100
0:02:15
0:02:10
0:02:05
0:02:00
0:01:55
0:01:50
0:01:45
0:01:40
0:01:35
0:01:30
0:01:25
0:01:20
Time
Gambar 41
Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator S2 melakukan kerja pada shift siang
Kegiatan kerja operator kedua dapat dilihat pada Gambar 41, pada saat kerja operator S2, juga sama dengan kondisi saat operator S1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator S2 saat bekerja sebesar 1.42 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka
97
dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 46). Tabel 46 Energy cost pada operator S1 dan S2 pada shift siang Operator
IRHR
1 2
1.67 1.42
Tingkat Beban Kerja berat Sedang
TEC
BME
WEC
WEC'
(kkal/min) 3.02 1.73
1.085 0.995
(kal/kg.min) 1.93 0.74
27.2 12.4
4.4.1.2.3 Shift Malam 4.4.1.2.3.1 Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator M1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja operator M1 dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47 Karakteristik operator pengukuran M1 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Keterangan Laki-laki 45 tahun 160 cm 67.4 kg 20.3 tahun
pekerjaan
bagian
98
HR (Heart Rate)
ST#1
R#2
0:10:00
R#1
160
0:06:40
180
R#3
ST#2
ST#3
140 120 100 80 60 0:26:40
0:25:00
0:23:20
0:21:40
0:20:00
0:18:20
0:16:40
0:15:00
0:13:20
0:11:40
0:08:20
0:05:00
0:03:20
0:01:40
0:00:00
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
Gambar 42
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 saat step test pada shift malam
Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 42. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut pekerja semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 48, dengan nilai HR rest adalah 80.46. Tabel 48 Denyut jantung operator M1 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R#1 82 82 82 81 81 83 80 79 81 79 77 79 80 80.46 ST#1 107 107 109 110 110 109 109 109 109 109 110 110 109 109.15 R#2 87 87 85 81 84 84 93 93 92 91 89 86 82 86.85 ST#2 131 131 130 130 131 132 133 133 135 137 137 137 138 133.92 R#3 95 95 93 94 93 92 93 93 91 90 90 93 94 93.08 ST#3 157 157 158 158 159 159 160 161 162 162 164 165 165 161.08
Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 49).
99
Tabel 49 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator M1 pada shift malam TECST (kkal/min) 1.8872 2.3590 2.8308
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 12.2 19.2 26.2
IRHR
Persamaan
1.36 1.54 1.73
TEC = 2.5231 (IRHR) – 1.5343
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 43. 3.5
TECST(kkal/min)
3 2.5 y = 2.523x - 1.534 R² = 1
2 1.5 1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 43 Grafik Hubungan IRHR dengan TECST operator M1 Dari Gambar 43 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 1. b Operator M2 Pada operator M2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator.
Penetapan operator yang
diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 50. Tabel 50 Karakteristik operator pengukuran M2 pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja
pada
Keterangan Laki-laki 41 tahun 170 cm 84.7 kg 18 tahun
pekerjaan
bagian
0:28:00
0:26:40
0:25:20
0:24:00
0:22:40
0:21:20
ST#3
0:20:00
0:18:40
0:17:20
R#3
0:16:00
0:14:40
0:13:20
ST#2
0:12:00
0:10:40
0:09:20
R#2
0:08:00
0:06:40
ST#1
0:04:00
0:02:40
0:01:20
R#1
0:05:20
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
0:00:00
HR (Heart Rate)
100
Time
Keterangan : R#N
: Istirahat ke N
ST#2 : Step test 25 siklus/menit
ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit
Gambar 44 Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 saat step test pada shift malam Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 pasa saat step test dapat dilihat pada Gambar 44. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 44, dengan HR rest adalah 85 bpm. Tabel 51 Denyut jantung operator M2 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R#1 83 83 85 83 84 85 84 84 81 80 79 80 80 85.00 ST#1 121 121 121 122 123 124 123 121 122 122 124 124 125 122.54 R#2 85 85 86 87 84 83 83 88 91 91 90 89 85 86.77 ST#2 132 132 133 134 135 134 135 135 135 136 137 137 136 135.08 R#3 91 91 90 90 92 92 89 90 91 90 91 91 91 90.85 ST#3 151 151 151 152 154 156 157 158 154 155 157 157 158 155.31
Operator M2 memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator M2 dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TECST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator M2 (Tabel 52).
101
Tabel 52 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator M2 TECST (kkal/min) 2.3716 2.9645 3.5574
Step Test 1 2 3
WEC’ (kal/kg.min) 13.5 20.5 27.5
IRHR
Persamaan
1.44 1.56 1.71
TEC = 4.3966 (IRHR) – 3.9934
Hubungan TECST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 45. 4
TEC ST(kkal/min)
3.5 3 2.5
y = 4.396x - 3.935 R² = 0.993
2 1.5 1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Gambar 45 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator M2 Dari Gambar 45 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R2 yang besar yaitu 0.993. 4.4.1.2.3.2 Analisis Beban Kerja Fisik 120
R#1
ST#1
HR (Heart Rate)
110 100 90 80 70
0:13:20
0:12:40
0:12:00
0:11:20
0:10:40
0:10:00
0:09:20
0:08:40
0:08:00
0:07:20
0:06:40
0:06:00
0:05:20
0:04:40
0:04:00
0:03:20
0:02:40
0:02:00
0:01:20
0:00:40
0:00:00
60
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 46
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam
102
Sebelum bekerja operator M1 melakukan step test 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 46, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test ini yaitu 80.54 bpm. 140 HR (Heart Rate)
120 100 80 60 40 20 0 0:03:20
0:03:15
0:03:10
0:03:05
0:03:00
0:02:55
0:02:50
0:02:45
0:02:40
0:02:35
0:02:30
0:02:25
0:02:20
Time
Gambar 47
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift malam
pada saat operator M1
Kegiatan kerja operator M1 dapat dilihat pada Gambar 47, pada saat kerja operator M1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler 20-23 bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator M1 saat bekerja sebesar 1.39 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. 120
R#1
ST#1
HR (Heart Rate)
110 100 90 80 70 0:12:40
0:12:00
0:11:20
0:10:40
0:10:00
0:09:20
0:08:40
0:08:00
0:07:20
0:06:40
0:06:00
0:05:20
0:04:40
0:04:00
0:03:20
0:02:40
0:02:00
0:01:20
0:00:40
0:00:00
60
Time
Keterangan : R#N : Istirahat ke N
Gambar 48
ST#1 : Step test 20 siklus/menit
Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 pada saat step test sebelum bekerja
Sebelum bekerja operator M2 melakukan step test 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 48, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil
103
perhitungan rata-rata
denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu
HR (Heart Rate)
88.15 bpm. 136 134 132 130 128 126 124 122 120 118 0:02:50
0:02:45
0:02:40
0:02:35
0:02:30
0:02:25
0:02:20
0:02:15
0:02:10
0:02:05
0:02:00
0:01:55
0:01:50
Time
Gambar 49
Salah satu grafik denyut jantung melakukan kerja pada shift malam
pada saat operator M2
Kegiatan kerja operator M2 dapat dilihat pada Gambar 49, pada saat kerja operator M2, juga sama dengan kondisi saat operator M1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator M2 saat bekerja sebesar 1.48 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 53). Tabel 53 Energy cost pada operator M1 dan M2 pada shift malam Operator
IRHR
1 2
1.39 1.48
Tingkat Beban Kerja sedang sedang
TEC
BME
WEC
(kkal/min) 1.98 2.57
1.065 1.225
WEC' (kal/kg.min)
0.92 1.35
13.6 15.9
104
4.4.2 Kuisioner Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan Indikator untuk tingkat beban kerja secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 54. Tabel 54 Indikator tingkat beban kerja secara subyektif Tingkat Beban Kerja Normal Ringan Sedang Berat
Skor 0-<6 6<12 12-<18 18-24
Indikator untuk tingkat kecelakaan kerja secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Indikator tingkat kecelakaan kerja secara subyektif Tingkat Kecelakaan Kerja Normal Ringan Sedang Berat
Skor 0-<17 17-<34 34-<51 51-66
Indikator untuk tingkat kelelahan secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 56: Tabel 56 Indikator tingkat kelelahan secara subyektif Tingkat Kelelahan Normal Ringan Sedang Berat
Skor 0-<11 11-<22 22-<33 33-45
Indikator untuk tingkat perspektif karyawakan terhadap lingkungan organisasi dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57 Indikator tingkat perspektif karyawan terhadap lingkungan organisasi Lingkungan Organisasi Tidak Peduli Agak Peduli Peduli Sangat Peduli Dari
hasil
kuisioner
perspektif
Skor 0-<5 5-<10 10-<15 15-21
karyawan
terhadap
beban
kerja,
kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada pabrik gula Bungamayang dan Jatitujuh dapat dilihat pada Tabel 58.
105
Tabel 58 Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi secara umum pada proses produksi gula Jati Tujuh Stasiun Boiler Evaporator Gilingan Masakan Pemurnian Power House Puteran
Beban Kecelakaan Kerja Kerja Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang
Kelelahan Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang
Lingkunan Organisasi Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Peduli Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli
Beban Kerja Berat Sedang Berat Sedang Sedang Berat Berat
Bunga Mayang Kecelakaan Kelelahan Kerja Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Berat Ringan Ringan Sedang Berat Sedang Sedang
Lingkungan Organisasi Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli
Tabel 59 Perspektif operator shift pagi terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Stasiun Boiler Evaporator Gilingan Masakan Pemurnian Power House Puteran
Jati Tujuh Beban Kecelakaan Lingkunan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Ringan Sangat Peduli Ringan Ringan Ringan Peduli Ringan Sedang Ringan Sangat Peduli Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangant Peduli
Beban Kerja Berat Sedang Berat Sedang Sedang Berat Sedang
Bunga Mayang Kecelakaan Kelelahan Kerja Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang Berat Ringan Berat Ringan Ringan Sedang Ringan Ringan Sedang
Lingkungan Organisasi Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli
Tabel 60 Perspektif operator shift siang terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Stasiun Boiler Evaporator Gilingan Masakan Pemurnian Power House Puteran
Jati Tujuh Lingkunan Beban Kecelakaan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Ringan Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Ringan Sedang Peduli Sedang Ringan Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli
Beban Kerja Berat Sedang Ringan Berat Sedang Berat Sedang
Bunga Mayang Kecelakaan Kelelahan Kerja Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Sedang Ringan Ringan Ringan Berat Sedang Berat
Lingkungan Organisasi Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli
Tabel 61 Perspektif operator shift malam terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Stasiun Boiler Evaporator Gilingan Masakan Pemurnian Power House Puteran
Jati Tujuh Beban Kecelakaan Lingkunan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Berat Sangat Peduli Sedang Sedang Ringan Sangat Peduli Sedang Ringan Ringan Peduli Ringan Ringan Ringan Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli
Beban Kerja Berat Berat Berat Berat Sedang Berat Berat
Bunga Mayang Kecelakaan Kelelahan Kerja Ringan Berat Ringan Ringan Sedang Ringan Sedang Sedang Ringan Ringan Sedang Berat Sedang Sedang
Lingkungan Organisasi Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli Sangat Peduli
106
4.5 Simulasi 4.5.1 Sebaran Data Aplikasi model dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dipengaruhi oleh pola sebaran data yang digunakan dalam proses training (pembelajaran), aplikasi model JST tidak akan memberikan hasil yang baik jika fenomena yang diamati berada di luar sebaran data yang digunakan pada proses training. Ada enam parameter yang dijadikan sebagai data input pada model JST tahap pertama, dengan sebaran data untuk pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh seperti pada Tabel 62. Tabel 62 Sebaran data input pada enam parameter ergonomi untuk model JST tahap pertama Parameter Data Input Illuminasi Suhu Lingkungan Kelembaban Kebisingan Getaran Persepsi Operator terhadap Lingkungan Organisasi
PG Bungamayang 3.6 – 20000 lux 28.6 – 37 0C 19.9 – 91.7% 61-115 dB 0 – 4.98 m/s2
Sebaran Data PG Jatitujuh 1.77 – 20000 lux 27.6 – 39.7 0C 4.9 – 83.5% 64.8-99.5 dB 0.19 – 8.56 m/s2
1-4
1-4
Sumber : Hasil pengukuran pada PG Bungamayang dan PG Jatitujuh dalam tiga shift kerja.
Selain data input yang digunakan pada proses training (pembelajaran) model JST pada tahap pertama, digunakan juga data output yang memiliki tiga parameter yaitu : 1. Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap beban kerja digunakan sebagai indikator beban kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang 1-4. 2. Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap kecelakaan kerja digunakan sebagai indikator kecelakaan kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang 1-4. 3. Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap kelelahan kerja digunakan sebagai indikator kelelahan kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang 1-4. Selanjutnya dilakukan proses training (pembelajaran) model JST pada tahap kedua, yang menggunakan data input dari data output model JST tahap pertama dengan hasil akhir (output) model JST tahap kedua adalah tingkat produktivitas jumlah ton tebu yang digiling (ton cane/shift).
Sebaran data
107
produktivitas pada
pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh adalah
sebagai berikut: 1
Data produktivitas kerja pada pabrik gula PG Bungamayang menyebar pada selang 1831.5-2208.9 ton cane/shift.
2
Data produktivitas kerja pada pabrik gula PG Jatitujuh menyebar pada selang 1385.8-1504,7 ton cane/shift.
4.5.2 Analisis Model Analisis model dilakukan dengan mengverifikasi dan memvalidasi pada model JST tahap pertama dan model JST tahap kedua, pada masing-masing pabrik gula. 4.5.3 Verifikasi Model JST 4.5.3.1 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Verifikasi model dilakukan guna melihat kesesuaian antara data output yang digunakan pada proses training dengan data output yang dihasilkan dari model JST yang dibangun (Tabel 64). Model JST tahap pertama yang dibangun diuji coba dengan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer. Tabel 63 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Model JST
Jumlah Hidden Layer
6-1-1 6-2-1 6-3-1 6-2-1 6-2-1
1 2 3 2 2
Jumlah Node pada Hidden Layer 30 30 30 10 20
Nilai R2 Training 0.743 0.752 0.711 0.768 0.749
Dari Tabel 63 terlihat bahwa nilai untuk model JST 6-2-1 dengan jumlah node 10 pada hidden layer, memiliki nilai R2 yang terbaik. Nilai R2 berkorelasi dengan nilai error model, dimana semakin besar nilai R2 maka nilai error model akan semakin kecil. Hal ini karena nilai error model merupakan selisih dari nilai output dugaan (model) dengan output yang diberikan sebagai data training. Data error dihitung dengan menggunakan mean square error (MSE).
108
Tabel 64 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 6-21 (Training) dengan 10 node pada hidden layer
Tar get
Trai ning
Data Beban Kerja Kecelakaan Kerja Kelelahan Beban Kerja Kecelakaan Kerja Kelelahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4
4
4
3
3
3
4
4
4
4
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
4
4
4
3
3
3
4
4
4
4
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
4.5.3.2 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Proses verifikasi untuk model JST tahap kedua dilakukan juga dengan memberikan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer. Beberapa model JST tahap kedua yang diuji antara lain dapat dilihat pada Tabel 65. Tabel 65 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-1-1 3-1-1 3-1-1
1 1 1
Jumlah Node pada Hidden Layer 1 3 5
Nilai R2 Training 0.361 0.789 0.775
Dari Tabel 65 terlihat bahwa model JST 3-1-1 dengan 3 node pada hidden layer menunjukkan nilai R2 terbesar dengan nilai R2=0.789. Nilai R2 yang semakin besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa output yang dihasilkan oleh model semakin mendekati nilai output data. 4.5.3.3 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Verifikasi model JST tahap pertama juga dilakukan pada model JST untuk PG Jatitujuh. Verifikasi ini juga dilakukan guna melihat kesesuaian antara data output yang digunakan pada proses training dengan data output yang dihasilkan dari model JST yang dibangun (Tabel 67). Model JST tahap pertama yang dibangun diuji coba dengan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer.
109
Tabel 66 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-2-1 3-3-1 3-3-1 3-3-1 3-4-1
2 3 3 3 4
Jumlah Node pada Hidden Layer 300 250 300 350 250
Nilai R2 Training 0.530 0.496 0.881 0.618 0.602
Dari Tabel 66 terlihat bahwa nilai untuk model JST 3-3-1 dengan jumlah node 300 pada hidden layer, memiliki nilai R2 yang terbaik. Nilai R2 berkorelasi dengan nilai error model, dimana semakin besar nilai R2 maka nilai error model akan semakin kecil. Hal ini karena nilai error model merupakan selisih dari nilai output dugaan (model) dengan output yang diberikan sebagai data training. Data error dihitung dengan menggunakan mean square error (MSE). Tabel 67 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 3-3-1 (Training) dengan 300 node pada hidden layer Data Beban Kerja Target Kecelakaan Kerja Kelelahan Beban Kerja Training Kecelakaan Kerja Kelelahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3.1
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
2,2
2,1
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
4.5.3.4 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Proses verifikasi untuk model JST tahap kedua pada PG Jatitujuh dilakukan juga dengan memberikan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer.
Beberapa
model JST tahap kedua yang diuji antara lain dapat dilihat pada Tabel 68.
110
Tabel 68 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-1-1 3-2-1 3-3-1 3-4-1 3-2-1 3-2-1
1 2 3 4 2 2
Jumlah Node pada Hidden Layer 300 300 300 300 250 350
Nilai R2 Training 0.6380 0.6587 0.6377 0.6646 0.6586 0.6474
Dari Tabel 68 terlihat bahwa model JST 3-4-1 dengan 300 node pada hidden layer menunjukkan nilai R2 terbesar dengan nilai R2=0.6646. Nilai R2 yang semakin besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa output yang dihasilkan oleh model semakin mendekati nilai output data. 4.5.4 Validasi Model JST 4.5.4.1 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Validasi model JST tahap pertama dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST 6-2-1 dengan jumlah node 10 pada hidden layer yang memiliki nilai R2=0.765 (Tabel 69). Tabel 69
Pengaruh variasi jumlah node dalam validasi model JST yang dibangun
Model JST
Jumlah Hidden Layer
6-2-1 6-2-1 6-2-1
2 2 2
Jumlah Node pada Hidden Layer 10 20 30
Nilai R2 Validasi 0.765 0.757 0.716
4.5.4.2 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Validasi model JST tahap kedua sama seperti yang dilakukan pada validasi model JST tahap pertama yaitu dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan
111
pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST 3-1-1 dengan jumlah node 3 pada hidden layer yang memiliki nilai R2=0.818 (Tabel 70). Tabel 70 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-1-1 3-1-1 3-1-1
1 1 1
Jumlah Node pada Hidden Layer 1 3 5
Nilai R2 Validasi 0.220 0.818 0.815
4.5.4.3 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Validasi model JST tahap pertama dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST 3-3-1 dengan jumlah node 300 pada hidden layer yang memiliki nilai R2=0.858 (Tabel 71). Tabel 71 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-3-1 3-3-1 3-3-1
3 3 3
Jumlah Node pada Hidden Layer 250 300 350
Nilai R2 Validasi 0.510 0.858 0.543
4.5.4.4 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Validasi model JST tahap kedua sama seperti yang dilakukan pada validasi model JST tahap pertama yaitu dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST 3-4-1 dengan jumlah node 300 pada hidden layer yang memiliki nilai R2=0.7018 (Tabel 72).
112
Tabel 72 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Model JST
Jumlah Hidden Layer
3-4-1 3-4-1 3-4-1
4 4 4
Jumlah Node pada Hidden Layer 250 300 350
Nilai R2 Validasi 0.6209 0.7018 0.6538
4.5.5 Prediksi Model Model ergonomi dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dibuat untuk menduga pengaruh masing-masing parameter input (faktor ergonomi mikro dan makro) terhadap output (beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan produktivitas kerja) pada proses pabrikasi gula di dua pabrik gula yang memiliki proses produksi dan kapasitas produksi yang berbeda.
Pada pabrik gula
PG Bungamayang memiliki kapasitas produksi sebesar 6000 TCD sedangkan pabrik gula PG Jatitujuh memiliki kapasitas produksi sebesar 4500 TCD. Pengaruh
parameter-parameter
input
terhadap
parameter
output
dianalisa dengan cara memasukkan nilai parameter input yang bervariasi ke dalam JST dan kemudian mengamati kecendrungan nilai parameter output. Untuk mempelajari suatu parameter input, variasi tingkatan nilai paramter tersebut dimasukkan kedalam model JST sementara nilai paramtere-parameter input yang lain dianggap tetap (ceteris paribus). Nilai input yang digunakan pada prediksi model adalah seperti pada Lampiran 3 dan 4. Hasil keluaran model ditampilkan dalam bentuk grafik sedangkan interaksi atau keterkaian antar komponen input-output dalam sistem proses produksi gula digambarkan dalam bentuk diagram sebab-akibat (causal loop). Pengaruh masing-masing parameter input terhadap parameter output diprediksi dengan menggunakan model JST tahap pertama dan model JST tahap kedua masing-masing pabrik gula. Untuk memudahkan dalam membandingkan pengaruh masing-masing parameter input pada kedua pabrik gula maka dilakukan perubahan nama masing-masing model JST yang dibuat seperti berikut: 1
Model JST tahap pertama pada PG Bungamayang disebut model A1.
2
Model JST tahap kedua pada PG Bungamayang disebut model B1.
3
Model JST tahap pertama pada PG Jatitujuh disebut model A2.
4
Model JST tahap kedua pada PG Jatitujuh disebut model B2. Pengaruh parameter input yang diduga adalah sebagai berikut:
113
4.5.5.1 Illuminasi 4.5.5.1.1 PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa hubungan antara illuminasi (lux) dengan beban kerja (Gambar 50), kelelahan (Gambar 51), kecelakaan kerja (Gambar 52), dan produktivitas kerja (Gambar 53). Dari hasil prediksi terlihat bahwa pada tinggi illuminasi (lux) dibawah 11000 lux akan berpengaruh meningkatkat beban kerja, hal ini karena aktivitas meningkat menyebabkan tingkat kelelahan meningkat yang berpotensi meningkatkan tingkat kecelekaan kerja. Pada kisaran illuminasi diatas 11000 lux, Beban kerja akan akan mencapai puncaknya dan hal ini menyebabkan kelelahan yang tinggi pada operator, hal ini menyebabkan potensi kecelakaan kerja sangat tinggi. Dengan makin tingginya tingkat kelelahan (diatas 13000 lux), operator akan semakin berkurang aktivitasnya sehingga kecelakaan kerja juga akan menurun, dengan menurunnya
Beban Kerja
aktivitas kerja operator akan menurunkan tingkat produktivitas. 4.0001 4.0000 3.9999 3.9998 3.9997 3.9996 3.9995 3.9994 3.9993 3.9992 3.9991
y = - 1E-11x2 + 2E-07x + 3.999 R² = 0.996
0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) beban kerja
Poly. (beban kerja)
Gambar 50 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
Kelelahan
114
4.10 3.90 3.70 3.50 3.30 3.10 2.90 2.70 2.50
y = - 2E-12x3 + 2E-08x2 - 3E-05x + 3.148 R² = 0.998
0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Kecelakan Kerja
Gambar 51 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) 2.940 2.935 2.930 2.925 2.920 2.915 2.910 2.905 2.900 2.895 2.890
y = - 2E-13x3 + 3E-09x2 - 1E-05x + 2.936 R² = 0.962
0
5000
10000 Illuminasi (lux)
kecelakaan kerja
15000
20000
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 52 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
Produktivitas kerja (ton cane/shift)
1880 1870 1860 1850 y = - 3E-14x4 + 6E-10x3 - 4E-06x2+ 0.007x + 1829. R² = 0.989
1840 1830 1820 0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) produktivitas
Poly. (produktivitas)
Gambar 53 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
115
4.5.5.1.2 PG Jatitujuh Hasil dari prediksi model A2 untuk illuminasi (lux) di pabrik gula PG Jatitujuh terlihat bahwa tingkat kelelahan operator akan sangat tinggi pada illuminasi diatas 10000 lux, kelelahan operator ini dipengaruhi oleh tingkat beban kerja yang meningkat dan tingkat usia operator yang 37% antara 50-60 tahun. Dengan makin tinggi tingkat kelelahan operator, berpotensi meningkatkan tingkat kecelakaan kerja. Kelelahan yang tinggi ini menyebabkan operator mengurangi
Beban Kerja
aktivitasnya sehingga tingkat produktivitas juga akan menurun. 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
y = -3E-12x3 + 8E-08x2 - 0.000x + 1.341 R² = 0.996
0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) beban kerja
Poly. (beban kerja)
Gambar 54 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
Kelelahan
3.5 3.0 2.5 y = - 9E-12x3 + 1E-07x2 - 0,000x + 2,405 R² = 0,971
2.0 1.5 0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Gambar 55 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
Kecelakaan Kerja
116
3.3 3.1 2.9 2.7 2.5 2.3 2.1 1.9 1.7 1.5
y = 1E-12x3 - 5E-09x2 + 5E-05x + 1,959 R² = 0,966
0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) kecelakaan kerja
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 56 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)
Produktivitas kerja (ton cane/shift)
1550
y = 1E-12x4 - 1E-08x3 + 5E-05x2 - 0,084x + 1468, R² = 0,668
1500 1450 1400 1350 1300 0
5000
10000
15000
20000
Illuminasi (lux) produktivitas
Poly. (produktivitas)
Gambar 57 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) 4.5.5.2 Suhu 4.5.5.2.1 PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa meningkatnya suhu lingkungan diatas 31
0
C,
akan menurunkan beban kerja operator hal ini
disebabkan operator mengurangi aktivitasnya dan ini menunjukkan bahwa opertor tidak dapat beradaptasi pada suhu diatas 31 0C hal ini dimungkinkan karena usia operator yang 73% antara 40-50 tahun. Menurunnya aktivitas operator berdampak pada tingkat kelelahan yang menurun dan juga tingkat kecelakaan kerja juga akan menurun.
Penurunan aktivitas operator pada
akhirnya akan menurunkan tingkat produktivitas.
Beban Kerja
117
4.05 4.00 3.95 3.90 3.85 3.80 3.75 3.70 3.65 3.60 3.55 3.50
y = 0,001x4 - 0,141x3 + 6,854x2 - 146,9x + 1180, R² = 0,988
28
30
32
34 Suhu
beban kerja
36
38
(0C)
Poly. (beban kerja)
Gambar 58 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) 4.50 Kelelahan
4.00 3.50 3.00 y = -0,001x5 + 0,193x4 - 12,48x3 + 402x2 - 6454,x + 41333 R² = 0,957
2.50 2.00 28
30
32
34
36
38
Suhu (0C) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Gambar 59 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C)
Kecelakaan Kerja
3.0
y = -0,001x4 + 0,152x3 - 7,653x2 + 169,8x - 1403, R² = 0,967
2.9 2.8 2.7 2.6 2.5 2.4 28
30
32
34
36
38
Suhu (0C) kecelakaan kerja
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 60 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu (0C)
Produktivitas (Ton Cane/Shift)
118
1875 1870 1865 1860 1855 1850 1845 1840 1835 1830 1825
y = 0,065x3 - 5,601x2 + 151,3x + 600 R² = 0,897
28
30
32
34
Suhu produktivitas
36
38
(0C)
Poly. (produktivitas)
Gambar 61 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan suhu (0C) 4.5.5.2.2 PG Jatitujuh Dari prediksi model A2 terlihat bahwa semakin meningkatnya suhu lingkungan diatas 31 0C, akan meningkatkan beban kerja, dan meningkatkan kelelahan kerja. Dengan meningkatnya kelelahan ini operator akan mengurangi aktivitas kerjanya dan hal ini menurunkan potensi tingkat kecelakaan kerja. Penurunan aktivitas kerja operator karena suhu lingkungan yang tidak nyaman menyebabkan tingkat produktivitas menurun. 4.0 3.5
y = -0.001x4 + 0.162x3 - 7.496x2 + 151.0x - 1120. R² = 0.988
Beban Kerja
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Suhu (0C) beban kerja
Poly. (beban kerja)
Gambar 62 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C)
119
4.5
Kelelahan
4.0
y = -6E-05x6 + 0,011x5 - 0,994x4 + 44,87x3 - 1135,x2 + 15276x - 85350 R² = 0,989
3.5 3.0 2.5 2.0 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Suhu (0C) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Kecelakaan Kerja
Gambar 63 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C)
4.3 4.1 3.9 3.7 3.5 3.3 3.1 2.9 2.7 2.5
y = -0.000x5 + 0.032x4 - 2.174x3 + 71.44x2 - 1164.x + 7538. R² = 0.993
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Suhu (0C) kecelakaan kerja
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 64 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu (0C)
Produktivitas (Ton Cane/Shift)
120
1580 1560 1540 1520 1500 1480 1460 1440 1420 1400 1380
y = -0.015x6 + 3.228x5 - 274.7x4 + 12433x3 - 31544x2 + 4E+06x - 2E+07 R² = 0.586
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Suhu (0C) produktivitas
Poly. (produktivitas)
Gambar 65 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan suhu (0C) 4.5.5.3 Kelembaban 4.5.5.3.1 PG Bungamayang Dari hasil simulasi model A1, memperlihatkan pada kelembaban sebesar 60% akan mengakibatkan beban kerja mencapai tingkat tertinggi, sehingga meningkatkan juga tingkat kelelahan dan kecelakaan kerja.
Tetapi tingkat
kelembaban ini tidak berpengaruh langsung terhadap aktivitas operator sehingga operator masih dapat bekerja dengan baik sehingga produktivitas tetap tinggi. Tetapi tingkat produktivitas tidak mengalami peningkatan pada kelembaban
Beban Kerja
diatas 75%. 3.9999984 3.9999982 3.9999980 3.9999978 3.9999976 3.9999974 3.9999972 3.9999970 3.9999968
y = -6E-10x2 + 5E-08x + 4 R² = 1.016
15
35
beban kerja
55 75 Kelembaban (%)
95
Poly. (beban kerja)
Gambar 66 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)
121
3.998 Kelelahan
3.996 3.994 3.992 y = 4E-09x4 - 9E-07x3 + 8E-05x2 - 0.002x + 4.014 R² = 0.988
3.990 3.988 3.986 15
35
55 Kelembaban (%)
kelelahan
75
95
Poly. (kelelahan)
Kecelakaan Kerja
Gambar 67 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) 2.920 2.900 2.880 2.860 2.840 2.820 2.800 2.780
y = -2E-06x3 + 0.000x2 - 0.012x + 2.983 R² = 0.989
15
35
kecelakaan kerja
55 75 Kelembaban (%)
95
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 68 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)
Produktivitas (ton cane/shift)
1875 y = -0.000x3 + 0.051x2 - 2.463x + 1882. R² = 0.987
1870 1865 1860 1855 1850 1845 15
35
produktivitas
55 75 Kelembaban (%)
95
Poly. (produktivitas)
Gambar 69 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)
122
4.5.5.3.2 PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2, pada kelembaban antara 60-75%, beban kerja mencapai titik tertinggi,
ini menunjukkan operator dapat beraktivitas
dengan baik pada kisaran kelembaban ini.
Dengan aktivitas yang tinggi
cenderung meningkatkan tingkat kecelakaan kerja. Tetepi kelembaban ini tidak berpengaruh
langsung
terhadap
tingkat
kelelahan
walaupun
meningkat dengan semakin menigkatnya kelembaban.
cenderung
Dengan aktivitas
operator yang baik dapat meningkatkan tingkat produktivitas, dan tingkat produktivitas ini relatif tidak mengalami peningkatan apabila kelembaban diatas
Beban Kerja
75%. 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
y = 1E-05x3 - 0.002x2 + 0.175x - 0.737 R² = 0.995
0
20
40
60
80
Kelembaban (%) beban kerja
Poly. (beban kerja)
Kelelahan
Gambar 70 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
y = -1E-06x4 + 0.000x3 - 0.019x2 + 0.503x + 0.598 R² = 0.893
0
20
40
60
80
Kelembaban (%) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Gambar 71 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)
123
Kecelakaan Kerja
3.5 3.2 2.9 2.6
y = 8E-11x6 - 4E-08x5 + 5E-06x4 - 0.000x3 + 0.010x2 - 0.089x + 2.516 R² = 0.998
2.3 2.0 0
20
kecelakaan kerja
40 60 Kelembaban (%)
80
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 72 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) 1575
Produktivitas (ton cane/shift)
1500 1425 1350 y = -2E-07x6 + 6E-05x5 - 0.006x4 + 0.271x3- 5.194x2 + 22.43x + 1523. R² = 0.880
1275 1200 0
20 produktivitas
40 60 Kelembaban (%)
80
Poly. (produktivitas)
Gambar 73 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) 4.5.5.4 Kebisingan 4.5.5.4.1 PG Bungamayang Dari prediksi model A1 bahwa pada tingkat kebisingan 84.4 dB akan meningkatkan beban kerja pada tingkat yang tertinggi, hal ini menunjukkan operator
masih
dapat
bekerja
dengan
baik,
namun
dengan
semakin
meningkatnya tingkat kebisingan diatas 84.4 dB akan menyebabkan kelelahan yang tinggi pada operator, dan ini meningkatkan potensi kecelakaan kerja. Dengan tingginya tingkat kelelahan pada operator menyebabkan menurunya aktivitas operator, yang berdampak pada menurunya tingkat produktivitas.
124
Beban Kerja
4.00002 4.00000 3.99998 3.99996 3.99994 3.99992 3.99990 3.99988 3.99986 3.99984
y = 3E-09x3 - 9E-07x2 + 9E-05x + 3.997 R² = 0.989
60.0
70.0
80.0 90.0 100.0 Kebisingan (dB)
beban kerja
110.0
120.0
Poly. (beban kerja)
Kelelahan
Gambar 74 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) 4.05 4.00 3.95 3.90 3.85 3.80 3.75 3.70 3.65 3.60
y = 8E-06x3 - 0.002x2 + 0.234x - 3.554 R² = 0.988
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
110.0
120.0
Kebisingan (dB) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Kecelakaan Kerja
Gambar 75 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) 2.92 2.90 2.88 2.86 2.84 2.82 2.80 2.78 2.76 2.74 2.72
y = 1E-07x4 - 6E-05x3 + 0.008x2 - 0.505x + 14.26 R² = 0.977
60.0
80.0
100.0
Kebisingan (dB) kecelakaan kerja
Poly. (kecelakaan kerja)
120.0
125
Produktivias (ton cane/shift)
Gambar 76 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) 1875 1870 1865 1860 1855 1850 1845 1840 1835 1830
y = 8E-07x5 - 0.000x4 + 0.039x3 - 2.492x2 + 67.07x + 1316. R² = 0.998
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
110.0
120.0
Kebisingan (dB) produktivitas
Poly. (produktivitas)
Gambar 77 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) 4.5.5.4.2 PG Jatitujuh Dari prediksi model A2 terlihat bahwa tingkat kebisingan antara 64-80 dB akan cenderung meningkatkan beban kerja karena operator masih dapat beraktivitas dengan baik.
Dengan aktivitas yang baik ini akan cenderung
meningkatkan kelelahan dan berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja. Namun pada tingkat kebisingan diatas 80 dB, operator tidak dapat beradaptasi dengan baik hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kelelahan, sehingga menurunkan aktivitas opertor dan dengan semakin rendahnya tingkat aktivitas operator potensi kecelakaan kerja juga menurun. Tingkat produktivitas akan tetap baik pada kisaran 64-80 dB dan dan cenderung menurun pada kebisingan diatas 80 dB.
Beban Kerja
3.5 3.0 y = 2E-05x4 - 0.006x3 + 0.792x2 - 41.46x + 808.6 R² = 0.976
2.5 2.0 1.5 64
74
84
94
104
Kebisingan (dB) beban kerja
Poly. (beban kerja)
Gambar 78 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB)
Kelelahan
126
5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5
y = -8E-05x3 + 0.021x2 - 1.851x + 53.71 R² = 0.991
64
74
84
94
104
Kebisingan (dB) kelelahan
Poly. (kelelahan)
Gambar 79 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB)
Kecelakaan Kerja
3.3 y = 4E-06x4 - 0.001x3 + 0.132x2 - 6.960x + 139.5 R² = 0.973
3.2 3.1 3.0 2.9 2.8 64
74
kecelakaan kerja
84 Kebisingan (dB)
94
104
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 80 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB) 1552.0
Produktivitas (ton cane/shift)
1502.0 1452.0 1402.0
y = -1E-06x6 + 0.000x5 - 0.049x4 + 1.942x3 + 81.61x2 - 8807.x + 19859 R² = 0.493
1352.0 1302.0 64
74 produktivitas
84 Kebisingan (dB)
94
104
Poly. (produktivitas)
Gambar 81 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kebisingan (dB)
127
4.5.5.5 Getaran 4.5.5.5.1 PG Bungamayang Dari prediksi model A1 terlihat bahwa getaran pada kisaran 0-1.7 m/s2 masih dapat di adaptasi oleh operator dengan akitvitas yang baik, hal ini terlihat dengan meningkatnya beban kerja. Dengan aktivitas operator yang baik ini cenderung meningkatkan kelelahan dan berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja, dan dengan aktivitas operator yang baik ini akan meningkatkan tingkat produktivitas. Namun pada getaran diatas 1.7-3 m/s2, operator cenderung menurunkan aktivitasnya, hal ini terlihat dengan menurunya tingkat beban kerja, menurunya kelelahan dan menurunnya tingkat kecelakaan kerja.
Hal ini
Beban Kerja
berdampak pada menurunya tingkat produktivitas. 4.000002 4.000000 3.999998 3.999996 3.999994 3.999992 3.999990 3.999988
y = -2E-07x3 + 6E-07x2 + 8E-07x + 4 R² = 0.959
0.0
1.0
2.0
3.0 Getaran
beban kerja
4.0
5.0
6.0
(m/s2)
Poly. (beban kerja)
Kelelahan
Gambar 82 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) 3.999 3.998 3.997 3.996 3.995 3.994 3.993 3.992 3.991 3.990 3.989
y = -3E-05x4 + 0.000x3 - 0.002x2 + 0.006x + 3.993 R² = 0.994
0.0
2.0 kelelahan
4.0 Getaran (m/s2)
6.0
Poly. (kelelahan)
Gambar 83 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)
Kecelakaan Kerja
128
2.98 2.96 2.94 2.92 2.90 2.88 2.86 2.84
y = -0.003x3 + 0.010x2 + 0.026x + 2.888 R² = 0.995
0.0
2.0
4.0 Getaran (m/s2)
kecelakaan kerja
6.0
Poly. (kecelakaan kerja)
Produktivitas (ton cane/shift)
Gambar 84 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) 1900 1895 1890 1885 1880 1875 1870 1865 1860 1855 1850
y = -1.155x3 + 3.245x2 + 10.86x + 1863. R² = 0.995
0.0
2.0
4.0
Getaran produktivitas
6.0
(m/s2)
Poly. (produktivitas)
Gambar 85 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) 4.5.5.5.2 PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2 dapat dilihat bahwa getaran pada kisaran 0-1.8 m/s2, akan meningkatkan beban kerja, hal ini menunjukkan aktivitas operator tetap baik dan tidak meningkatnya kelelahan pada operator. Dengan meningkatnya aktivitas operator akan berpotensi meningkatnya kecelakaan kerja. Aktivitas yang baik ini meningkatkan tingkat produktivitas. Tetapi apabila getaran diatas 1.8 m/s2, operator tidak dapat lagi beraktivitas dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan menurunya beban kerja dan kelelahan, tetapi getaran yang tinggi ini sendiri berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja. Dengan aktivitas operator yang tidak baik maka tingkat produktivitas juga cenderung menurun.
129
Beban Kerja
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
y = -0.004x4 + 0.078x3 - 0.488x2 + 0.679x + 2.808 R² = 0.996
0
2
4 6 Getaran (m/s2)
beban kerja
8
10
Poly. (beban kerja)
Gambar 86. Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2). 3.00 y = 0.005x4 - 0.094x3 + 0.483x2 - 0.996x + 2.806 R² = 0.987
Kelelahan
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
2
4 6 2 Getaran (m/s ) kelelahan
8
10
Poly. (kelelahan)
Kecelakaan Kerja
Gambar 87 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) 3.70 3.50 3.30 3.10 2.90 2.70 2.50
y = 0.004x3 - 0.081x2 + 0.494x + 2.606 R² = 0.975
0
2
kecelakaan kerja
4 6 Getaran (m/s2)
8
10
Poly. (kecelakaan kerja)
Gambar 88 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2)
130
Produktivitas (ton cane/shift)
1550 1500 1450 1400 y = 0.112x6 - 2.784x5 + 25.47x4 - 103.2x3 + 165.9x2 - 50.74x + 1459. R² = 0.933
1350 1300 0
2
4
6
Getaran produktivitas
8
10
(m/s2)
Poly. (produktivitas)
Gambar 89 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s2) 4.5.5.6 Lingkungan Organisasi 4.5.5.6.1 PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa persepsi operator terhadap lingkungan organisasi kurang berpengaruh terhadap beban kerja, kecelakaan kerja dan tingkat kelelahan operator.
Prediksi model B1 untuk tingkat
produktivitas juga tidak dipengaruhi oleh persepsi operator terhadap lingkungan organisasinya.
Hal ini terjadi karena persepsi operotor terhadap lingkungan
organisasi tidak memiliki keragaman yang cukup, dimana persepsi operator terhadap lingkungan organisasi pada PG Bungamayang pada umumya sangat peduli.
Beban kerja
4.00 y=4 R² = 2E-16
3.00 2.00 1.00 0.00 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
Persepsi Operator beban kerja
Expon. (beban kerja)
Gambar 90 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
131
Kelelahan
4.00 y = 3.995 R² = 6E-16
3.00 2.00 1.00 0.00 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
Persepsi Operator kelelahan
Linear (kelelahan)
Gambar 91 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
Kecelakaan kerja
4.00 3.00 y = 2.9 R² = 1E-16
2.00 1.00 0.00 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
Persepsi Operator kecelakaan kerja
Linear (kecelakaan kerja)
Gambar 92 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
Produktivitas (ton cane/shift)
2000 1500
y = 2E-12x + 1867. R² = 1E-15
1000 500 0 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
Persepsi Operator produktivitas
Gambar 93
Linear (produktivitas)
Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
132
4.5.5.6.2 PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2 terlihat bahwa persepsi operator terhadap lingkungan organisasi tidak mempengaruhi tingkat kelelahan, kecelakaan kerja dan beban kerja. Prediksi model B2 untuk tingkat produktivitas juga tidak dipengaruhi oleh persepsi operator terhadap lingkungan organisasinya. Hal ini terjadi karena persepsi operator terhadap lingkungan organisasi tidak memiliki keragaman yang cukup, dimana persepsi operator terhadap lingkungan
Beban Kerja
organisasi pada PG Jatitujuh pada umumya sangat peduli. 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
y = 3.126 R² = 2E-15
0
1
2
3
4
Persepsi Operator beban kerja
Linear (beban kerja)
Kelelahan
Gambar 94 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
y = 2.242 R² = 0
0
1
2
3
4
Persepsi Operator kelelahan
Linear (kelelahan)
Gambar 95 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
Kecelakaan Kerja
133
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
y = 2.973 R² = 2E-15
0
1
2
3
4
Persepsi Operator kecelakaan kerja
Linear (kecelakaan kerja)
Gambar 96 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi
Produktivitas (ton cane/shift)
2000 1500 y = 1495. R² = 7E-16
1000 500 0 0
1
2
3
4
Persepsi Operator produktivitas
Expon. (produktivitas)
Gambar 97 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi 4.5.6 Optimasi Rancangan Sistem Kerja Optimasi rancangan sistem kerja dilakukan untuk mendapatkan bentuk rancangan sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomi mikro dan makro yang optimum sehingga dalam proses produksi sesuai dengan kondisi ergonomi mikro dan makro yang sesuai dengan nilai ambang batas bagi operator. Metode optimasi yang dipakai adalah random search, yaitu dengan memasukkan parameter input ergonomi mikro dan makro yang bervariasi kedalam model JST kesatu dan model JST kedua dan kemudian memilih nilai output terbaik dari variasi input tersebut.
134
Untuk mendapatkan nilai produktivitas yang optimum, nilai parameter input yang digunakan adalah nilai parameter optimum yang memenuhi syarat ergonomi atau sesuai dengan ambang batas yang dijinkan (Tabel 73). Tabel 73 Nilai input JST yang digunakan dalam optimasi tingkat produktivitas Parameter Input Ergonomi Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Persepsi L. Organisasi
Nilai Input JST 100-300 lux 25-30 0C 50-70% 60-85 dB 0-2 m/s2 3-4
Dari Tabel 73 kemudian dibuat pasangan kombinasi input JST yang digunakan dalam pendugaan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang dan PG Jatitujuh yang optimum, pasangan kombinasi ini terdiri dari enam parameter input data yang membentuk 2,196,150 kombinasi input JST.
Pasangan
kombinasi parameter ergonomi ini kemudian simulasikan kedalam model JST yang telah dibangun, untuk PG Bungamayang menggunakan model A1 dan B1, sedangkan untuk PG Jatitujuh menggunakan model A2 dan B2. Dari hasil prediksi model A1 dan B1, untuk tingkat produktivitas dengan menggunakan lima parameter ergonomi mikro dan makro yang mendekati kondisi lingkungan fisik normal namun masih dibawah ambang batas dengan suhu 29 0C, kelembaban 70%, kebisingan 85 dB, getaran 2 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya, sedang untuk tingkat illuminasi ditingkatkan atau diperbaiki dari kondisi normalnya menjadi 120 lux, maka akan diperoleh tingkat produktivitas sebesar 1831.5 ton cane/shift yang berarti apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang sebesar 90% dari kapasitas maksimal (6000 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 1.58% (94.5 ton cane/day), sedangkan apabila enam parameter ergonomi mikro dan makro dioptimasi maka prediksi tingkat produktivitas optimum yang dapat dicapai PG Bungamayang untuk tingkat produktivitas sebesar 1858-1865 ton cane/shift dengan kombinasi input untuk 0
illuminasi antara 100-120 lux, suhu 25
C, kelembaban antara 60-70%,
2
kebisingan 85 dB, getaran antara 1.6-2 m/s dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya. Apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang sebesar 90% dari kapasitas maksimal (6000
ton
135
cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 2.9-3.25% (174-195 ton cane/day). Hasil prediksi model A2 dan B2, untuk tingkat produktivitas dengan menggunakan lima parameter ergonomi mikro dan makro yang mendekati kondisi lingkungan fisik normal namun masih dibawah ambang batas dengan suhu 29 0C, kelembaban 70%, kebisingan 85 dB, getaran 2 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya, sedang untuk tingkat illuminasi ditingkatkan atau diperbaiki dari kondisi normalnya menjadi 260 lux, maka akan diperoleh tingkat produktivitas sebesar 1415,3 ton cane/shift yang berarti apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Jatitujuh sebesar 90% dari kapasitas maksimal (4500 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 4.36% (196 ton cane/day), sedangkan apabila enam
parameter
ergonomi mikro dan makro dioptimasi maka tingkat
produktivitas optimum PG Jatitujuh dicapai sebesar 1464-1592 ton cane/shift dengan kombinasi input untuk illuminasi antara 220-260 lux, suhu 28-29 0C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 dB, getaran antara 1.2-1.6 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya. Apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Jatitujuh sebesar 90% dari kapasitas maksimal (4500 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 5.7-12.1% (342-726 ton cane/day).
136
5 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1
Faktor ergonomi mikro (illuminasi, suhu, kelembaban, kebisingan, dan getaran) dan makro (shift kerja, lingkungan organisasi) memiliki pengaruh terhadap
tingkat
produktivitas
di
proses
pabrikasi
gula
pada
PG Bungamayang dan PG Jatitujuh. 2
Tingkat produktivitas yang optimum di PG Bungamayang dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 100-120 lux, suhu 25 0C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 dB, getaran antara 1.6-2 m/s2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya, maka tingkat produktivitas yang dicapai antara 1858-1865 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 2.9-3.25% (174-195 ton cane/day), dan 1.5% (94.5 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 120 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal.
3
Tingkat produktivitas yang optimum di PG Jatitujuh dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 220-260 lux, suhu 28-29 0C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 dB, getaran antara 1.2-1.6 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya dengan tingkat produktivitas yang dicapai antara 1464-1592 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 5.7-12.1% (342-726 ton cane/day), dan 4.36% (196 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 260 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal.
137
5.2 Saran 1
Perlu penelitian lebih lanjut pengaruh jadwal waktu istirahat dan lamanya dalam tiga shift kerja terhadap tingkat produktivitas.
2
Perlu penelitian lebih lanjut pengaruh tingkat polusi udara seperti debu, bau-bauan, dan gas berbahaya.
3
Operator disarankan menggunakan APD (alat pelindung diri) sesuai dengan kondisi lingkungan fisik dimana operator bekerja.
4
Perlu adanya uji validasi kuisioner persepsi operator.
138
DAFTAR PUSTAKA Anthon. 2006. Industri Gula Indonesia Semakin Seksi. Jakarta: Agro Observer, Oktober 2006. Bridger RS. 2003. Introduction to Ergonomics. Ed ke-2. New York: Taylor and Francis Inc. Budiono, Sugeng AM. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Ed ke-1. Solo: PT. Tri Tunggal Tata Fajar. Fitriani D. 2003. Uji Getaran Mekanis dan Kebisingan Terhadap Operator Traktor Roda Dua Yanmar YST- DX dan Perkasa 850- DI Pada Pengoperasian di Lahan Kering [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Grandjean E. 1988. Fitting The Task to The Man. Ed ke-4. London: Taylor and Francis Inc. Hayashi, Moriizumi dan Jin. 1997. The Step Test as a New Type of Ergonometer Using Both Oxygen Consumtion and Heart Rate. Prosiding Kongres CIOSTA-CIGR ke XXVII. hlm 34 – 40. Hendrick HW. 1987, Macro Ergonomics: A Concept Whose Time Has Come. Human Factor Society Bulletin; February 1987. Hendrick HW. 2002. Good Ergonomics is Good Economics, Prosiding International Seminar On Egonomics and Sport Physiology; Denpasar, 14-17 Oktober 2002. Denpasar. Herodian S, Morgan K, dan Saulia L. 1999. Pedoman Praktikum Ergonomika Ergonomika Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kurniawan D. 2000. Pengaruh Gizi dan Kesehatan Tenaga Kerja Wanita terhadap Peningkatan Produktivitas. Majalah Hiperkes dan Kesehatan Kerja; Volume XXXIII No.2 April – Juni 2000. Jakarta. Kussriyanto B. 1986. Meningkatkan Produktivitas Karyawan. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo McCormick EJ and Sanders MS. 1987. Human Factor Engineering. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Nagamachi M. 1996. Relationship Between Job Design, Macroergonomics, And Productivity [Abstract], Di dalam: International Journal Of Human Factor In Manufacturing, 1996 John Wiley and Sons, Volume 6 Issue 4, Pages 309 – 322. http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/jissue [18 October 2005].
139
Nurmianto E. 1996. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya. Pulat, Babur M dan Alexander D. 1991, Industrial Ergonomics – Case Study. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sander MS, McCormick EJ. 1993. Human Factor In Engineering And Design. New York : McGraw-Hill. Sedarmayanti. 1996. CV. Mandar Maju.
Tata Kerja dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Sulistyadi K. dan Susanty SL. 2003. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi. Jakarta: Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sahid Suma’mur PK. 1988. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Yayasan Swasembada Karya
Jakarta:
Sutalaksana IA, Ruhan A dan Tjakraatmadja JH. 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Bandung: Departemen Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung. Syuaib MF. 2003. Ergonomic Study on the Proces of Matering Tractor Operation. Desertasi. Japan: Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo Tarwaka dkk. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: PT. UNISBA Press. Wijaya TA. 2005. Analisis Kebisingan dan Getaran Mekanis di Ruang Engineering Divisi Cold Storage PT Citra Pertiwi Bahari, Lampung. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Wilson EC. 1989. Noise Control, Measurement, Analysis and Control Of Sound and Vibration. New York: Harper and Row Publisher. Woodson W. 1981. Human Factors Design Handbook. New York: McGraw-Hill Book Co. Zander J. 1972. Ergonomics in Machine Design. Wageningen: N. V. Veenman and Zonen.
140
LAMPIRAN
141
Lampiran 1 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja cahaya
suhu
kelem baban
kebising an
getaran
L.organi sasi
beban kerja
kecelak aan kerja
kelela han
produksi
19240 19150 19230 19250 19230 19210 19190 19190 19190 19180 168 167 166 168 165 166 149 150 183 203 6020 5880 5880 5880 5870 5830 5840 5850 5850 5860 700 714 719 698 690 779 754 741 734 716 18920 19300 2180 2230 2190 2240 2220 2210 2220 2200 22.8 50.2 55.4 52.9 51.7 52.8 52.1 57.1 58.8 57.9
28.7 28.7 28.7 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.8 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 30 30 30 30 31 30 30 30 30 30 31 30.2 30.2 30.2 30.3 30.3 30.3 30.3 30.3 30.3 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.4 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2 30.2
76 75.9 75.7 75.8 75.9 75.9 75.9 75.9 76 76.3 74.2 74.2 74.2 74.2 74.1 74 74 74 74 73.9 65.2 65.1 65.1 65 64.9 64.7 64.1 63.9 63.7 63.7 71.8 71.8 71.8 71.8 71.9 72.7 72.3 72.4 72.4 72.6 68.7 68.8 68.6 68.7 68.9 69.1 69.2 69.3 69.4 69.6 46.8 46.7 46.6 46.6 46.6 46.6 46.9 47.3 47.3 46.8
88 91.5 91.5 91.4 91.4 91.4 91.4 91.4 91.4 91.4 81.1 81.1 81.1 81.1 81.1 85 85 85 86.2 86.2 98.5 99 100 98 98.2 97 98.8 99.9 98.5 97.5 80.9 81.6 80.8 80.6 87.7 80.8 81.6 87 82.4 73.3 84.8 85.1 84.9 84.9 85.2 85.2 85.2 84.6 85 84.2 69.3 72.2 68.9 70.9 70.5 70.3 69.9 70.1 69.1 69.5
0.4 0.44 0.45 0.43 0.45 0.46 0.47 0.48 0.47 0.48 0.18 0.19 0.19 0.19 0.28 0.13 0.17 0.16 0.15 0.15 1.66 1.93 1.96 1.97 1.97 1.87 1.81 1.81 1.83 1.84 3.01 2.91 2.07 0.66 2.14 2 1.32 1.32 0.64 0.28 1.77 2.25 2.2 2.04 2.1 2.09 2.13 2.01 2.07 1.94 0 0.3 0.33 0.39 0.43 0.43 0.3 0.32 0.32 0.32
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4 1926.4
142
Lampiran 1
Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja (lanjutan)
cahaya
suhu
kelem baban
kebising an
getaran
L.organi sasi
beban kerja
kecelak aan kerja
kelela han
produksi
660 58.4 58.4 58.4 58.4 58.4 58.4 58.4 62.5 66.2 66.6 66.1 66.1 66.1 66.1 66.1 66.1 66.1
30.3 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.6 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7 31.7
70 67.8 67.8 67.8 67.8 67.8 67.8 67.8 30.1 29.6 29.4 29.3 29.3 29.3 29.3 29.3 29.3 29.3
80.9 88.3 88.3 88.3 88.3 88.3 88.3 88.3 74.4 73.6 74.5 73.9 73.9 73.9 73.9 73.9 73.9 73.9
0.14 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0.23 0.13 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1926.4 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5 1831.5
143
Lampiran 2 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja cahaya
suhu
kelem baban
kebisi ngan
getaran
L.organi sasi
beban kerja
kecela kaan kerja
kelela han
produksi
20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 13200 13190 13120 13120 13120 13120 13120 13120 13120 13120 1453 1489 1546 1546 1546 1546 1546 1546 1546 1546 1221 991 1209 1209 1209 1209 1209 1209 1209 1209 83.6 86.1 86.4 86.4 86.4 86.4 86.4 86.4 86.4 86.4 54.7 47.9 49.5 49.5 49.5 49.5 49.5 49.5 49.5 49.5
36.3 36.1 36.1 36.1 36.1 36.1 36.1 36.1 36.1 36.1 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.4 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.8 36.8 36.8 36.8 36.8 36.8 36.8 36.8 36.8 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1 37.1
47.2 48.1 46 46 46 46 46 46 46 46 47.7 47.8 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 68.3 71.7 71.8 71.8 71.8 71.8 71.8 71.8 71.8 71.8 57.1 57.4 58.8 58.8 58.8 58.8 58.8 58.8 58.8 58.8 47.3 47.8 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 47.9 46 47.1 47.5 47.5 47.5 47.5 47.5 47.5 47.5 47.5
68.5 68.4 69.4 69.4 69.4 69.4 69.4 69.4 69.4 69.4 81 82.2 81.4 81.4 81.4 81.4 81.4 81.4 81.4 81.4 93.4 92.9 93.6 93.6 93.6 93.6 93.6 93.6 93.6 93.6 90.1 89.7 89.9 89.9 89.9 89.9 89.9 89.9 89.9 89.9 90.3 90.8 91 91 91 91 91 91 91 91 90.9 90.8 91 91 91 91 91 91 91 91
0.89 0.89 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.85 0.87 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 8.27 7.98 7.51 7.51 7.51 7.51 7.51 7.51 7.51 7.51 3.17 3.08 3.9 3.9 3.9 3.9 3.9 3.9 3.9 3.9 4.44 4.25 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17 5.47 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7 1504.7
144
Lampiran 2. Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja (lanjutan)
cahaya
suhu
kelem baban
kebisi ngan
getaran
L.organi sasi
beban kerja
kecela kaan kerja
kelela han
produksi
9.21 9.21 9.21 9.21 70.8 72.8 72.9 72.9 72.9 72.9 72.9 72.9 72.9 72.9 78.3 76.3 75.6 75.6 75.6 75.6 75.6 75.6 75.6 75.6 13.32 13.15 13.57 13.57 13.57 13.57 13.57 13.57 13.57 13.57 25.1 24.8 24.7 24.7 24.7 24.7 24.7 24.7 24.7 24.7 17.33 17.4 17.9 17.9 17.9 17.9 17.9 17.9 17.9 17.9 13.1 12.72 12.68 12.68 12.68
30.8 30.8 30.8 30.8 28.5 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.9 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.1 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.2 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6
57.7 57.7 57.7 57.7 61.5 61.4 61.3 61.3 61.3 61.3 61.3 61.3 61.3 61.3 68 68 68 68 68 68 68 68 68 68 62.7 62.8 62.8 62.8 62.8 62.8 62.8 62.8 62.8 62.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.8 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 66.9 62.8 62.5 62.4 62.4 62.4
96.5 96.5 96.5 96.5 96 97.1 96.5 96.5 96.5 96.5 96.5 96.5 96.5 96.5 93.1 94.7 96.7 96.7 96.7 96.7 96.7 96.7 96.7 96.7 95.8 96.1 95.8 95.8 95.8 95.8 95.8 95.8 95.8 95.8 93.8 93.5 93 93 93 93 93 93 93 93 93.3 93.4 93.3 93.3 93.3 93.3 93.3 93.3 93.3 93.3 89.5 89.3 89.2 89.2 89.2
2.5 2.5 2.5 2.5 0.6 0.61 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 1.62 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 0.27 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3 1448.3
145
Lampiran 3 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang Illuminasi 3.6 670.15 1336.69 2003.24 2669.79 3336.33 4002.88 4669.43 5335.97 6002.52 6669.07 7335.61 8002.16 8668.71 9335.25 10001.8 10668.35 11334.89 12001.44 12667.99 13334.53 14001.08 14667.63 15334.17 16000.72 16667.27 17333.81 18000.36 18666.91 19333.45 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240
Suhu 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.6 28.88 29.16 29.44 29.72 30 30.28 30.56 30.84 31.12 31.4 31.68 31.96 32.24 32.52 32.8 33.08 33.36 33.64 33.92 34.2 34.48 34.76 35.04 35.32 35.6 35.88 36.16 36.44 36.72 37
Kelembaban 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76
Kebisingan 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88
Getaran 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
146
Lampiran 3 Illuminasi 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang (lanjutan) Suhu 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7
Kelembaban 19.9 22.29 24.69 27.08 29.47 31.87 34.26 36.65 39.05 41.44 43.83 46.23 48.62 51.01 53.41 55.8 58.19 60.59 62.98 65.37 67.77 70.16 72.55 74.95 77.34 79.73 82.13 84.52 86.91 89.31 91.7 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76
Kebisingan 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 61 62.8 64.6 66.4 68.2 70 71.8 73.6 75.4 77.2 79 80.8 82.6 84.4 86.2 88 89.8 91.6 93.4 95.2 97 98.8 100.6 102.4 104.2 106 107.8 109.6 111.4 113.2
Getaran 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
147
Lampiran 3 Illuminasi 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240 19240
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang (lanjutan) Suhu 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7 28.7
Kelembaban 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76 76
Kebisingan 115 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88 88
Getaran 0.4 0 0.17 0.33 0.5 0.66 0.83 1 1.16 1.33 1.49 1.66 1.83 1.99 2.16 2.32 2.49 2.66 2.82 2.99 3.15 3.32 3.49 3.65 3.82 3.98 4.15 4.32 4.48 4.65 4.81 4.98 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0 0.13 0.27 0.4 0.53 0.67 0.8 0.93 1.07 1.2 1.33 1.47 1.6 1.73 1.87 2 2.13 2.27 2.4 2.53 2.67
148
Lampiran 4 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh Illuminasi 1.77 668.38 1334.99 2001.59 2668.2 3334.81 4001.42 4668.02 5334.63 6001.24 6667.85 7334.45 8001.06 8667.67 9334.28 10000.89 10667.49 11334.1 12000.71 12667.32 13333.92 14000.53 14667.14 15333.75 16000.35 16666.96 17333.57 18000.18 18666.78 19333.39 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000
Suhu 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 27.6 28 28.41 28.81 29.21 29.62 30.02 30.42 30.83 31.23 31.63 32.04 32.44 32.84 33.25 33.65 34.05 34.46 34.86 35.26 35.67 36.07 36.47 36.88 37.28 37.68 38.09 38.49 38.89 39.3 39.7
Kelembaban 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2
Kebisingan 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5
Getaran 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
149
Lampiran 4 Illuminasi 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh (lanjutan) Suhu 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3
Kelembaban 4.9 7.52 10.14 12.76 15.38 18 20.62 23.24 25.86 28.48 31.1 33.72 36.34 38.96 41.58 44.2 46.82 49.44 52.06 54.68 57.3 59.92 62.54 65.16 67.78 70.4 73.02 75.64 78.26 80.88 83.5 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2
Kebisingan 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 64.8 65.96 67.11 68.27 69.43 70.58 71.74 72.9 74.05 75.21 76.37 77.52 78.68 79.84 80.99 82.15 83.31 84.46 85.62 86.78 87.93 89.09 90.25 91.4 92.56 93.72 94.87 96.03 97.19 98.34
Getaran 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
150
Lampiran 4 Illuminasi 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000 20000
Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh (lanjutan) Suhu 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3
Kelembaban 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2 47.2
Kebisingan 99.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5 68.5
Getaran 0.89 0.19 0.47 0.75 1.03 1.31 1.59 1.86 2.14 2.42 2.7 2.98 3.26 3.54 3.82 4.1 4.38 4.65 4.93 5.21 5.49 5.77 6.05 6.33 6.61 6.89 7.17 7.44 7.72 8 8.28 8.56 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89 0.89
Lingkungan Organisasi 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0 0.13 0.27 0.4 0.53 0.67 0.8 0.93 1.07 1.2 1.33 1.47 1.6 1.73 1.87 2 2.13 2.27 2.4 2.53 2.67
151
Lampiran 5 Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi Nama Umur Pengalaman Kerja Status Kerja di stasiun/bagian Shift
: ____________ : ____________ : ____________ Menikah/Belum*
Pendidikan Jumlah Anak Rumah
: __________________ : __________________ : Milik sendiri/sewa/lainlain* :.............km : Sepeda Motor/ Mobil* pribadi/ lain-lain______
Jarak Rumah ke Pabrik Cara ke Pabrik
: ____________ : ____________
I. BEBAN KERJA No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pertanyaan
Ya
Tidak
RaguRagu
Tidak Tahu
Ya
Tidak
RaguRagu
Tidak Tahu
Ya
Tidak
RaguRagu
Tidak Tahu
Apakah pekerjaan anda pada stasiun ini termasuk kerja berat. Apakah kerja anda tergangu karena suhu yang tinggi. Apakah kerja anda tergangu karena kebisingan yang tinggi. Apakah kerja anda tergangu karena cahaya lampu yang kurang. Apakah kerja anda tergangu karena getaran yang tinggi. Pekerjaan anda membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Apakah anda bisa beristirahat disela-sela pekerjaan anda. Apakah anda bisa makan atau minum disela-sela pekerjaan anda. Apakah anda bisa berkomunikasi dengan baik dengan pekerja lain selama bekerja. Apakah khusus pekerjaan anda dapat dikerjakan sendiri.
II. LINGKUNGAN ORGANISASI
No 1. 2. 3. 4. 5.
Pertanyaan Apakah ada yang mengawasi pekerjaan anda. Jika terjadi kemacetan pada stasiun lain apakah anda merasa bertanggung jawab. Jika terjadi kemacetan di stasiun dimana anda berkerja apakah anda merasa stres (tertekan). Apakah pekerjaan sekarang sudah sesuai dengan keahlian anda. Apakah anda menerima pola shift kerja sekarang.
III. KECELAKAAN KERJA
No 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
Pertanyaan Apakah anda pernah mengalami kecelakaan ringan (tidak menimbulkan cacat tubuh) pada stasiun ini. Apakah anda pernah mengalami kecelakaan sedang (menimbulkan cacat tubuh ringan) pada stasiun ini. Apakah anda pernah mengalami kecelakaan berat (menimbulkan cacat tubuh berat/perlu tindakan medis) pada stasiun ini. Apakah kecelakaan tersebut karena cahaya lampu yang kurang. Apakah kecelakaan tersebut karena getaran yang tinggi. Apakah kecelakaan tersebut karena suhu yang tinggi. Apakah kecelakaan tersebut karena kebisingan yang tinggi.
152
No 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Pertanyaan
Ya
Tidak
RaguRagu
Tidak Tahu
Ya
Tidak
RaguRagu
Tidak Tahu
Apakah kecelakaan tersebut karena anda tidak menggunakan alat pelindung diri. Apakah kecelakaan tersebut karena anda tidak bisa berkonsentrasi/lelah. Apakah akibat kecelakaan tersebut anda merasa terganggu dalam pekerjaan sehari-hari. Apakah perusahaan membantu biaya pengobatan/medis jika anda mengalamai kecelakaan kerja. Apakah anda diasuransikan. Jika anda sakit apakah anda diizinkan untuk tidak masuk kerja. Apakah menurut anda tingkat kecelakaan distasiun anda bekerja tinggi. Apakah anda pernah melihat terjadinya kecelakaan kerja pada pekerja lain di stasiun ini. Apakah kecelakaan tersebut ringan. Apakah kecelakaan tersebut sedang. Apakah kecelakaan tersebut berat. Apakah kecelakaan tersebut terjadi pada pekerja tetap. Apakah kecelakan tersebut terjadi pada pekerja musiman/tidak tetap. Apakah kecelakaan kerja sering terjadi pada pekerja yang tidak berpengalaman/baru. Apakah kecelakaan kerja sering terjadi pada pekerja yang berpengalaman/lama
III. KELELAHAN
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Pertanyaan Apakah anda dalam bekerja mengeluh persaaan berat di kepala. Apakah anda dalam bekerja mengeluh lelah seluruh badan. Apakah anda dalam bekerja mengeluh kaki terasa berat. Apakah anda dalam bekerja merasa kacau pikiran. Apakah anda dalam bekerja mengeluh tidak seimbang dalam berdiri. Apakah anda merasa haus dalam bekerja. Apakah anda merasa nyeri dipunggung. Apakah anda merasa kaku di bahu. Apakah anda merasa gemetaran pada anggota badan. Apakah anda dalam bekerja mengeluh mengantuk. Apakah anda bekerja tidak memperhatikan waktu. Apakah anda merasa cemas terhadap sesuatu. Apakah anda dalam bekerja merasa pernafasan tertekan. Apakah menurut anda tingkat kecelakaan distasiun anda bekerja tinggi. Apakah anda bekerja merasakan beban pada mata.
153
Lampiran 6 Teladan perhitungan laju penggunaan energi (kkal/menit) s
= jarak (meter) = n (siklus/menit) x 2 (langkah/siklus) x tinggi bangku step test (meter) x waktu (menit) Siklus pada Step test: n1= 20 n2= 25 n3= 30 Jarak (s) yang ditempuh pada Step test: s1= 36 meter s2= 45 meter s3= 54 meter
TECST pada Step test: TECST= m x g x s / (4.2 x 1000 x t) M = 59.2 kg g = 9.8 m/s2
Jadi Daya yang dikeluarkan selama Step test: TECST1 = 1.6576 kkal/menit TECST2 = 2.072 kkal/menit TECST3 = 2.4864 kkal/menit Kemudian dicari IRHR dengan membagi HRsteptest(ke-n) dengan HRrest sehingga diperoleh seperti tabel dibawah ini: Hrrest Hrsteptest IRHR Hrrest Hrsteptest IRHR Hrrest Hrsteptest IRHR 1 1 1 2 2 2 2 3 3 85.23 119.46 1.40 86.23 133.92 1.55 89.54 153.15 1.71
Setelah itu dibuat Grafik hubungan TECST dengan IRHR seperti tampak dibawah ini: 3.5 TECST(kkal/min)
3 2.5 2 1.5 y = 2.057x - 1.610 R² = 0.999
1 0.5 0 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
IRHR
Grafik ini kemudian digunakan untuk mencari berapa besar laju pengeluaran energi dengan menggunakan persamaan 2.057 x IRHRkerja -1.610, dan dari persamaan ini diperoleh untuk IRHRkerja = 1.46 adalah : Laju pengeluaran energi
= 2.057 x 1.46 -1.610 = 1.40 kkal/menit
154
Lampiran 7 Model JST yang dibangun dengan menggunakan Neural Network Tools Box di MATLAB R2008a
Gambar 98 Form untuk membuat model JST
Gambar 99 Form untuk membuat parameter yang digunakan pada model JST
155
Gambar 100 Proses training pada model JST yang dibuat
Gambar 101 Grafik performance dari nilai MSE dan ulangan
156
Gambar 102 Grafik regresi hasil training, validasi dan test model JST
157
Lampiran 8 Step Test dan Heart rate beserta interface
Gambar 103 Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm
Gambar 104 Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung
Gambar 105 Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer
158
Lampiran 9
Titik pengukuran (tanda +) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Bungamayang
Lampiran 10 Titik pengukuran (tanda x) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Jatitujuh
159
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si.