Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PERBAIKAN SISTEM KERJA ATAS HASIL EVALUASI ASPEK ERGONOMI DI PABRIK PEMELIHARAAN LOKOMOTIF DIESEL Widodo Hariyono Program Studi S-2 Ilmu Kesehatan Kerja Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281 HP: 0818268945; E-mail:
[email protected] ABSTRAK Pemeliharaan lokomotif diesel di Indonesia merupakan kegiatan rutin yang memerlukan kecakapan teknis para pekerjanya. Proses masih bersifat manual, tumpuan keberhasilan dalam kualitas maupun kuantitas hasil produknya terletak pada pekerja/teknisi yang seharusnya bekerja dengan prinsip-prinsip kerja yang ergonomis. Kenyataannya, posisi tubuh pekerja dalam proses kerja pemeliharaan ini sebagian besar berisiko bagi terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dilakukanlah evaluasi aspek ergonomi dalam sistem kerja tersebut, tetapi hasilnya tidak sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dengan keputusan manajemen, sebab kendala biaya yang cukup besar bagi implementasinya, terutama dari segi pengadaan peralatan dan fasilitas. Tujuan penulisan ini untuk merumuskan konsep keputusan manajerial dalam responnya terhadap kesulitan implementasi teknis dari suatu hasil evaluasi aspek ergonomi yang telah dilakukan di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel. Metode penulisan deskriptif, dengan bertumpu pada kajian kepustakaan, pemaparan bersifat argumentatif. Hasil evaluasi aspek ergonomi dideskripsikan dalam beberapa tabel, sedangkan konsep keputusan manajerial dideskripsikan dalam tabel matriks dengan entitas antara hasil evaluasi versus tindakan perbaikan. Dalam konteks ini, kesulitan dalam implementasi hasil evaluasi pada sistem kerja, dapat diatasi dengan pengambilan keputusan praktis yang berpedoman pada matriks skala tingkat risiko dan kemudahan penerapannya dengan standar teknis minimal. Kata kunci: ergonomi, keputusan manajerial, sistem kerja, pemeliharaan, lokomotif diesel.
PENDAHULUAN Aktivitas pemeliharaan lokomotif diesel di Indonesia merupakan kegiatan rutin yang memerlukan kecakapan teknis para pekerjanya. Prosesnya masih banyak yang bersifat manual. Tumpuan keberhasilan dalam kualitas maupun kuantitas hasil produknya terletak pada pekerja atau teknisi yang seharusnya bekerja dengan prinsip-prinsip kerja yang ergonomis. Kenyataannya, posisi tubuh pekerja dalam proses kerja pemeliharaan ini sebagian besar berisiko bagi terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dilakukanlah evaluasi aspek ergonomi dalam sistem kerja tersebut, tetapi hasilnya tidak sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dengan keputusan manajemen, sebab kendala biaya yang cukup besar bagi implementasinya, terutama dari segi pengadaan peralatan dan fasilitas. Tujuan penelitian ini untuk merumuskan konsep keputusan manajerial dalam responnya terhadap kesulitan implementasi teknis dari suatu hasil evaluasi aspek ergonomi yang telah dilakukan di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
STUDI LITERATUR Ergonomi Industri Unsur-unsur perancangan dalam ergonomi meliputi manusia sebagai faktor utama, mesin atau alat sebagai perkakas pendukungnya, dan lingkungan kerja (panjang, lebar, dan tinggi, atau disebut sebagai ruang) yang merupakan area aktivitasnya. Pada konteks yang saat ini berlangsung di dunia industri yang beragam jenisnya, ergonomi mutlak diaplikasikan dalam berbagai aktivitas rancang bangun dan desain produk, sistem kerja manusia, dan lingkungan kerja, baik dalam dimensi makro maupun mikro (Kroemer dkk., 1993). Tidak dapat dipungkiri bahwa rekayasa manusia—mesin menjadikan persoalan K3 sebagai faktor utama tercapainya produktivitas industri. Kecelakaan akibat kerja di industri yang diakibatkan oleh kondisi kerja dan lingkungan yang tidak ergonomis, kerugian produksinya akan selalu lebih banyak dibandingkan tampilan angka-angka yang dapat dihitung. Artinya, kerugian yang terjadi akan selalu lebih besar dan dapat bersifat tak terprediksi jumlah nominalnya, sehingga industri yang mengalaminya dapat defisit, bahkan kolaps. Berdasarkan hal tersebut, untuk menghindar dari kondisi yang merugikan, perekayasaan secara sistematis dalam menelaah hubungan antara pekerja dan lingkungan kerjanya menjadi prioritas yang harus diusahakan secara maksimal oleh pimpinan industri. Pendekatan ergonomi yang lebih spesifik dapat dilakukan dengan perancangan sistem (1) manusia—benda, (2) manusia—fasilitas, (3) manusia—lingkungan (Madyana, 1996). Dapat pula perancangan sistem tersebut dilakukan dengan cara kombinasi. Maksud dari sistem manusia—benda adalah sistem kerja antara manusia dengan jenis-jenis peralatan (jigs dan fixtures) maupun bahan baku. Sistem manusia—fasilitas dapat berwujud equipment dan machine (baik yang berproses dengan cara elektrik maupun hidrolik). Sistem manusia— lingkungan berwujud pekerja yang bekerja di dalam stasiun kerja, sehingga ia dipengaruhi oleh lingkungan kerja setempat maupun umum. Ergonomi di Industri Perkeretaapian Pada industri bidang perkeretaapian, khususnya di pabrik yang melakukan pemeliharaan lokomotif diesel, tinjauan ergonomi sangat banyak, bahkan pada setiap jenis pekerjaan di setiap unit kerja, pendekatan ergonomi jelas selalu diperlukan. Dalam tinjauan ergonomi, pada suatu sistem kerja terdapat tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu manusia, mesin atau peralatan, dan lingkungan kerjanya. Keterkaitan ini disebut sebagai ergosistem (ergosystems), yang oleh Bridger (1995) dijelaskan, bahwa terdapat empat macam ergosistem yang dapat digambarkan seperti di bawah ini.
e
e H
e M–H–M
H–M
e H–M–H
Keterangan: e = environment, H = Human, M = Machine Gambar 1. Empat macam ergosistem
Hubungan antara manusia dengan mesin atau peralatan dan lingkungan kerja tersebut saling berinteraksi. Artinya manusia yang bekerja akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi fisik dan pengoperasian mesin dan peralatan tersebut, selain juga dipengaruhi oleh faktorfaktor fisika lingkungan kerjanya. Di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel, persoalan ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
ergonomi begitu luas. Di dalamnya terdiri dari banyak ergosistem yang membentuk interaksi antara manusia, mesin atau peralatan, dan lingkungan kerja. Ergosistem yang terdapat pada unit-unit kerja di pabrik tersebut banyak yang berbentuk stasiun kerja (work station), yaitu suatu subunit kerja yang di dalamnya dilakukan suatu tahapan proses produksi tertentu yang menghasilkan suatu produk atau jasa tertentu. Unit produksi primer di pabrik pemeliharaan lokomotif merupakan suatu bengkel kerja utama (main workshop). Di dalamnya terdiri dari puluhan ergosistem, jumlahnya sebanyak stasiun kerjanya, yang secara umum jika sistem kerja tersebut ditinjau dari perspektif ergonomi, tidak berbeda jauh dengan sistem kerja yang terdapat pada industri manufaktur (industri yang produksi utamanya berupa barang). Pada unit-unit kerja yang bertugas menyediakan komponen suku cadang di pabrik tersebut, mirip industri manufaktur, sebab produk keluarannya adalah barang jadi. METODE Metode penulisan deskriptif, dengan bertumpu pada kajian kepustakaan. Pendekatannya non-eksperimental dan observasional. Berdasarkan caranya, penelitian ini disebut modelling, berarti merancang atau meniru bentuk, atau membuat sebuah gambaran atau simulasi (simulation study). Penelitian modelling dilakukan sebagai suatu cara untuk mendeskripsikan suatu rancangan bentuk, atau gambaran, atau simulasi, bagi suatu objek yang ingin diwujudkan. Objek yang telah dimodelkan tersebut menjadi suatu standar bentuk yang dapat ditindaklanjuti untuk diwujudkan, baik secara teoritis maupun praktis (desain teoritis bentuk metode kerja dan pengambilan keputusan). Sifat penelitian ini evaluatif, yaitu mengoreksi suatu keadaan yang telah dan tengah berlangsung untuk diberikan usulan perbaikan dan rekomendasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Sistem Kerja Secara Integralistik Sistem kerja di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel yang terdiri dari banyak stasiun kerja di berbagai unit kerja, dapat dianalisis menjadi 3 kelompok utama, yaitu faktor pekerja, peralatan dan fasilitas, dan lingkungan kerja (fisika). Sistem kerja yang integralistik sebagai desain pada penelitian ini dijelaskan dalam 3 kelompok subsistem, yaitu (1) segi gerakan dan posisi kerja, (2) segi tata letak peralatan dan fasilitas kerja, (3) segi faktor fisika lingkungan kerja. Pada “segi gerakan dan posisi kerja” diberikan pengelompokan pada perbaikan substansial yang direkomendasikan. Artinya, sebagai konsepsi yang harus ditindaklanjuti secara riil dalam program manajemen, bagi upaya mewujudkan gerakan dan posisi kerja para pekerja secara ergonomis. Pada “segi tata letak peralatan dan fasilitas kerja” diberikan pengelompokan pada Therblig dan tingkat kerumitannya, bagi upaya mewujudkan perbaikan gerakan yang dominan dan upaya simplifikasinya. Pada “segi faktor fisika lingkungan kerja” diberikan pengelompokan pada pengendalian risiko bahaya faktor fisika dan tingkat kesulitannya, bagi upaya pengontrolan faktor tersebut dalam berbagai stasiun kerja. Segi Gerakan dan Posisi Kerja Pada segi gerakan dan posisi kerja yang telah dibahas sebelumnya, perbaikan yang direkomendasikan secara umum, ditampilkan pada tabel 1.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Tabel 1. Perbaikan substansial yang direkomendasikan Jenis stasiun kerja Pembongkaran bogie lokomotif
a. Jongkok b. Duduk
Rekondisi bogie lokomotif Bongkar- pasang traksi motor
a. Jongkok b. Berdiri a. Jongkok b. Berdiri
Posisi tubuh yang direkomendasikan a. Duduk, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak kaki bersila jika benda kerja terlalu rendah a. Duduk, punggung tegak b. Berdiri, punggung tegak a. Berdiri, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak
4
Pengelasan komponen
Jongkok
Duduk, punggung tegak
5
Penggerindaan komponen
Jongkok
Duduk, punggung tegak
6
Pengetesan komponen
7
Pemasangan komponen
a. Duduk b. Berdiri c. Jongkok a. Berdiri b. Duduk
a. Duduk, punggung tegak b. Berdiri, punggung tegak c. Duduk, punggung tegak a. Duduk, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak
8
Finishing (prapengecatan) Fasilitas kerja
a. Jongkok b. Berdiri Berdiri
a. Duduk, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak Berdiri, punggung tegak
No. 1
2 3
9
Posisi tubuh kenyataan
Penjelasan atau alternatif Duduk bersila atau berbangku rendah Alat bantu bagi kedua posisi tersebut Lepas-rakit komponen atau beralat bantu Lepas-rakit komponen atau beralat bantu -
Alat bantu bagi kedua posisi tersebut Alat bantu bangku tinggi -
Dari tabel 1, ditunjukkan bahwa solusi bagi setiap operator yang bekerja dengan posisi tubuh jongkok, direkomendasikan untuk diubah menjadi posisi tubuh duduk atau berdiri. Keduanya harus dengan punggung tegak (tidak membungkuk). Solusi bagi setiap operator yang bekerja dengan posisi tubuh duduk, direkomendasikan untuk diubah menjadi posisi tubuh tetap duduk, tetapi dengan punggung tegak (tidak membungkuk) atau bersandar pada sandaraan yang dibuat khusus. Solusi bagi setiap operator yang bekerja dengan posisi tubuh berdiri, direkomendasikan untuk diubah menjadi posisi tubuh duduk atau tetap berdiri. Keduanya harus dengan punggung tegak (tidak membungkuk). Pada aspek gerakan kerja operator, disesuaikan dengan detil wujud dan bentuk benda kerja yang diproses, sehingga gerakan kedua tangan, kedua kaki, dan badan, harus memenuhi kemampuan normal perputaran sendi-sendinya. Namun, semua aspek gerakan anggota badan maupun badan itu sendiri sangat ditentukan oleh posisi tubuh pekerjanya. Meskipun perputaran sendi pada tangan memenuhi kemampuan normal, tetapi posisi tubuhnya salah, maka risiko cideranya tetap akan terjadi. Begitu pula sebaliknya jika pergerakan anggota badannya melebihi kapasitas normal (dalam memutar, memuntir, menekan, mengungkit, mendorong, dan menarik benda kerja), meskipun posisi tubuhnya tepat, maka tetap akan menimbulkan risiko cidera pada alat gerak yang beraktivitas tersebut. Prinsipnya, aspek gerakan ditentukan fleksibilitasnya oleh posisi tubuh saat seorang pekerja melakukan aktivitas kerjanya. Terkait dengan perbaikan riil, para pekerja harus mengondisikannya secara bertahap dan cermat.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Segi Tata Letak Peralatan dan Fasilitas Kerja Tata letak peralatan dan fasilitas kerja di setiap stasiun kerja yang terdapat di bengkel utama pabrik pemeliharaan lokomotif diesel, harus didesain sedemikian rupa untuk memenuhi standar penggunaan oleh operator, sesuai dengan jenis dan fungsi peralatannya. Peralatan yang berjenis jigs maupun fixtures hendaknya dikelompokkan penempatannya pada pertimbangan penggunaan secara frekuentif. Semakin sering sebuah tool digunakan untuk memroses benda kerja, semakin banyak diraih dan dibawa oleh operator. Perlu tool box yang penempatannya berdekatan dengan posisi operator yang bekerja dalam stasiun kerjanya. Bila mungkin, operator tidak perlu harus bergerak secara berulang-ulang (bolak-balik) karena hal tersebut sangat tidak efisien (terjadi pemborosan waktu, gerakan, dan tenaga/energi tubuh). Selain itu, bergerak secara berulang-ulang (bolak-balik) juga tidak efektif, sebab suatu jenis pekerjaan yang dituju tidak tercapai optimal. Aktivitas utama pekerja pada 9 stasiun kerja (jenis gerakan dasar pekerja yang dominan, yang dipengaruhi oleh tata letak peralatan dan fasilitas kerja) dapat dikelompokkan dalam simbol-simbol Therblig, pada tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan pada Therblig dan tingkat kerumitannya No. 1
2 3 4 5 6
7 8 9
Jenis stasiun kerja Pembongkaran bogie lokomotif Rekondisi bogie lokomotif Bongkar- pasang traksi motor Pengelasan komponen Penggerindaan komponen Pengetesan komponen Pemasangan komponen Finishing (prapengecatan) Fasilitas kerja
Posisi tubuh yang direkomendasikan a. Duduk, punggung tegak b. Duduk bersandar, kaki bersila a. Duduk, punggung tegak b. Berdiri, punggung tegak a. Berdiri, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak Duduk, punggung tegak Duduk, punggung tegak a. Duduk, punggung tegak b. Berdiri, punggung tegak c. Duduk, punggung tegak a. Duduk, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak a. Duduk, punggung tegak b. Duduk, punggung tegak Berdiri, punggung tegak
Aktivitas dominan (Therblig) Disassemble Move
Tingkat Kerumitan
Position Hold Disassemble Assemble Position Inspect Pre position Position Search Inspect
Rumit
Position Assemble Position Use Position Inspect
Rumit
Rumit Simpel Simpel Simpel
Rumit Rumit Simpel
Pada tabel 2 dapat dijelaskan, bahwa aktivitas memroses komponen-komponen mayor seperti bogie lokomotif dan traksi motor, memiliki aktivitas Therblig yang rumit, sebab harus melakukan gerakan tangan (memroses komponen) dan badan (menyesuaikan dengan posisi benda kerja). Maksud dikriteriakan “rumit” adalah metode kerjanya yang detil dan rinci, juga berisiko sangat tinggi bagi pekerjanya, sedangkan kriteria “simpel” adalah dengan metode kerja yang praktis dan tidak sangat berisiko tinggi. Cara mengatasi proses kerja yang rumit tersebut, dilakukan dengan 3 aspek, yaitu (1) simplifikasi gerakan dalam bekerja, (2) penataan posisi peralatan kerja portabel yang dekat jangkauan tangan, (3) penataan fasilitas kerja yang cukup untuk mendukung proses kerja terkait. Untuk meniadakan gerakan tubuh yang lebih berat lagi (misalnya berpindah lokasi untuk mengambil peralatan yang berbeda), diperlukan ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
peralatan dalam tool box portabel, yang dapat diletakkan di sebelah kanan atau kiri operator. Jenis tool box dipilih berdasarkan kebutuhan minimal jenis peralatan yang digunakan dan harus memenuhi prinsip-prinsip material handling. Segi Faktor Fisika Lingkungan Kerja Faktor-faktor fisika yang terdapat pada bengkel utama pabrik pemeliharaan lokomotif diesel telah diuji/diukur secara periodik. Parameter yang diukur adalah (1) kebisingan, (2) iklim kerja, (3) sinar ultra violet, (4) pencahayaan, (5) getaran mekanis. Pemilihan unit-unit kerja yang diukur didasarkan pada (1) faktor risiko paparan yang diprediksi terjadi, (2) aspek dirasakannya kondisi tempat kerja secara inderawi, yang terdapat di unit-unit kerja. Pada 5 parameter yang diukur di bengkel utama, hanya parameter sinar ultra violet dan pencahayaan saja yang masih di bawah Nilai Ambang Batas (NAB), sedangkan 3 parameter lainnya masih ada yang tidak memenuhi kriteria NAB. Pedoman penilaian ambang batas faktor fisika di tempat kerja mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Nomor: Kep.51/Men/1999, Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008). Berdasarkan peraturan tersebut, hasil pengukuran faktor-faktor fisika di bengkel kerja pabrik pemeliharaan lokomotif diesel, mestinya segera ditindaklanjuti oleh manajer yang membidangi masalah tersebut. Prinsip-prinsip yang harus dilakukan oleh penanggung jawab lingkungan fisik di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel, dalam upaya memenuhi standar-standar NAB adalah dengan 3 tahapan pengendalian risiko bahaya, yaitu: (1) substitusi, dengan penggantian peralatan yang berisiko, (2) eliminasi, dengan mengisolasi penggunaan peralatan berisiko, (3) penggunaan Alat Perlindungan Diri/APD sebagai alternatif terakhir. Penjelasan ringkasnya terdapat pada tabel 3. Tabel 3. Pengendalian risiko bahaya faktor fisika dan tingkat kesulitannya
No. Parameter 1 Kebisingan 2
Iklim kerja
3
Sinar ultra violet Pencahayaan
4 5
Getaran mekanis
Pengendalian risiko - Pengurangan sumber bising - Pengecekan kualitas APD - Penataan ulang stasiun kerja - Penambahan peralatan penyejuk - Penataan ulang stasiun kerja - Pengecekan kualitas APD - Penataan ulang stasiun kerja - Penyesuaian sesuai standar - Pengurangan sumber getaran - Penambahan peralatan peredam
Tingkat kesulitan Sulit (sukar disubstitusi) Mudah (dapat dieliminasi) Mudah (dapat dieliminasi) Mudah (dapat dieliminasi) Sulit (sukar disubstitusi)
Pada prinsipnya, tindakan riil dan praktis diperlukan secara cepat untuk menanggulangi risiko bahaya yang saat ini telah memapari para pekerja di unit-unit kerja tertentu tersebut. Standarisasi sistem harus diupayakan optimal. Berbagai jenis rekomendasi yang terkait dengan perbaikan sistem kerja di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel menjadi program yang sudah semestinya direncanakan untuk dijalankan oleh pihak manajer. Perbaikan-perbaikan tersebut perlu dirumuskan dalam sebuah konsep yang menjadi kebijakan industri yang manajer harus mengambil keputusan bagi pelaksanaannya.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Segi Gerakan dan Posisi Kerja Pada kategori postur kerja operator dengan 4 jenis action level dalam standar OWAS dan RULA, jika dihubungkan dengan tingkat tindakan perbaikan yang dilakukan oleh pihak manajer (disebut sebagai keputusan aksi manajemen), dapat ditampilkan pada tabel 4. Tabel 4. Matriks action level OWAS-RULA versus tindakan perbaikan Action level
1
2
3
4
Sangat sia-sia Cukup sia-sia Cenderung sia-sia Tepat
Cukup sia-sia Cenderung sia-sia Tepat
Cenderung sia-sia Tepat
Tepat
Tingkat tindakan IV III II I
Keterangan: 1 = 2 = 3 = 4 = I = II = III = IV = Sia-sia = Fatal =
Cenderung fatal
Cenderung fatal Cukup fatal
Cenderung fatal Cukup fatal Sangat fatal
tidak perlu dilakukan perbaikan. perlu dilakukan perbaikan. perlu dilakukan perbaikan sesegera mungkin. perlu dilakukan perbaikan sekarang juga. tidak ada tindakan perbaikan pada aktivitas kerja apapun. perlu peringatan dan penyesuaian pada aktivitas kerja ringan. dilakukan penghentian pada sebagian aktivitas kerja berisiko. dilakukan penghentian pada seluruh aktivitas kerja. nilai tindakan perbaikan. tingkat risiko bahaya bagi pekerja.
Pada tabel 4, dijelaskan bahwa pihak manajer dapat memilih tindakan perbaikan sebagai bentuk keputusan aksi manajemen secara tepat. Pengambilan keputusan yang salah akan mengakibatkan 2 kondisi negatif, yaitu kategori “sia-sia” dan “fatal”. Berdasar matriks tersebut, pilihan pada sel dengan kata “tepat” adalah upaya bagi perbaikan optimal segi gerakan dan posisi kerja secara riil. Segi Durasi Waktu Proses Produksi Durasi waktu proses produksi (pemeliharaan) lokomotif diesel di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel memerlukan waktu sekitar 143 jam, tetapi waktu riil pada perbaikan setiap lokomotif pada setiap waktu, dapat tidak sama. Berdasar hal tersebut, durasi waktu yang dibandingkan dengan tingkat risiko dalam berbagai stasiun kerja, dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu ditampilkan pada tabel 5. Tabel 5. Matriks durasi waktu proses produksi versus stasiun kerja Durasi waktu Stasiun kerja Risiko tinggi (rumit) pada sistem manusia— mesin Risiko rendah (simpel) pada sistem manusia— mesin
< 143 jam
= 143 jam
> 143 jam
Otomasi sistem kerja
Kombinasi kerja otomasi—manual
Pilihan kerja manual
Pilihan kerja manual
Kombinasi kerja otomasi—manual
Otomasi sistem kerja
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Keterangan: Stasiun kerja berisiko tinggi Stasiun kerja berisiko rendah
= stasiun kerja nomor 1, 2, 3, 7, 8 (tabel 1). = stasiun kerja nomor 4, 5, 6, 9 (tabel 1).
Pada tabel 5, dijelaskan bahwa terdapat 3 pilihan bentuk sistem kerja manusia—mesin, yaitu pilihan kerja manual, kombinasi kerja otomasi—manual, dan otomasi sistem kerja. Pilihan pada setiap sel menunjukkan adanya risiko yang berbeda pula dalam kaitannya dengan keputusan aksi manajemen yang diambil. Segi Faktor Fisika Lingkungan Kerja Jenis-jenis faktor fisika lingkungan kerja dapat dilihat dari segi tahap tindakannya, dan terkait dengan pilihan yang berkonsekuensi pada anggaran program. Hal tersebut ditampilkan dalam tabel 6. Tabel 6. Matriks tahap tindakan pengendalian versus faktor fisika Tahap tindakan Parameter Kebisingan
Iklim kerja Sinar ultra violet Pencahayaan Getaran mekanis
Substitusi Sangat sulit
Perancangan sistem terstandar Riset khusus Perancangan sistem terstandar Sangat sulit
Eliminasi
Penggunaan APD
Riset khusus pemindahan departemen Kurang perlu
Urgen, wajib pakai APD
Pemisahan jenis pekerjaan Kurang perlu
Perlu APD kondisi khusus Tidak pelu APD
Riset khusus penggunaan peredaman
Urgen, wajib pakai APD
Tidak perlu APD
Terkait dengan hasil pada tabel 6, keputusan aksi manajemen yang diambil harus sesuai kebutuhannya. Artinya, tidak serta-merta Manajer K3 di pabrik pemeliharaan lokomotif diesel memutuskan untuk mengatasi masalah secara total, dengan mencari solusi pada waktu yang bersamaan. Pertimbangan ketersediaan berbagai macam sumberdaya menjadi alasan bagi implementasi berbagai perbaikan tersebut. Formulasi Hasil Desain Ergonomis Pendekatan deskriptif dari konsep sistem mempunyai fokus pada definisi dari wujud, dengan maksud untuk karakterisasi dan analisis. Pendekatan preskriptif dari konsep sistem terkait pada analisis, pemecahan masalah, dan perubahan. Deskripsi adalah definisi, sementara preskripsi adalah tindakan. Penggunaan konsep sistem untuk menganalisis dan memecahkan problema yang meliputi banyak aspek dan kompleks, melibatkan pemakaian metode ilmiah, dengan sifat data kuantitatif dan juga kualitatif. Pemecahan masalah dengan pendekatan sistem, baik dengan pendekatan deskriptif maupun pendekatan preskriptif, digunakan dalam penelitian ini, sehingga dapat ditemukan formulasi yang tepat pada hasil yang diinginkan. Dalam teorinya, Simatupang (1995) juga menjelaskan bahwa metode pemecahan dengan operation research, human engineering, maupun flowcharting, dapat bersama-sama digunakan sebagai suatu pendekatan sistem.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Dalam penelitian ini, dihasilkan 3 kelompok subsistem dalam kajian sistem ergonomi, yang terbagi menjadi (1) temuan yang terkait dengan gerakan dan posisi kerja pekerja, (2) temuan yang terkait durasi waktu proses produksi pemeliharaan komponen sistem lokomotif diesel, (3) temuan yang terkait dengan faktor fisika lingkungan kerja. Metode pendekatan masing-masing entitas tersebut diformulasikan dalam suatu bentuk keputusan manajerial yang terkait dengan perbaikan sistem industri secara holistik. Pemecahan atas masing-masing solusi secara parsial, tidak sepenuhnya menghasilkan perubahan yang signifikan dan mudah dalam mengatasi masalah yang ada. KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan, hasil evaluasi aspek ergonomi dan konsep keputusan manajerial dideskripsikan dalam tabel matriks dengan entitas antara “hasil evaluasi versus tindakan perbaikan”. Dalam konteks ini, kesulitan dalam implementasi hasil evaluasi pada sistem kerja, dapat diatasi dengan pengambilan keputusan praktis yang berpedoman pada matriks skala tingkat risiko dan kemudahan penerapannya dengan standar teknis minimal. Saran ditujukan kepada manajer pabrik pemeliharaan lokomotif diesel, agar memilih entitas yang tepat pada tabel-tabel yang berisi matriks hasil penelitian sebagai keputusan manajerial. DAFTAR PUSTAKA Bridger, R.S. (1995). Introduction to Ergonomics. McGraw-Hill, Inc., Singapore. Kroemer, K.H.E., Kroemer, H.B., dan Kroemer-Elbert, K.E. (1993). Ergonomics. How to Design for Ease and Efficiency. Prentice Hall International, Inc., New Jersey. Madyana A.M. (1996). Analisis Perancangan Kerja dan Ergonomi. Fakultas Teknologi Industri, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Simatupang, T.M. (1995). Teori Sistem. Suatu Perspektif Teknik Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Tim Redaksi Nuansa Aulia. (2008). Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Disertai Dengan Peraturan Perundangan yang Terkait. Penerbit Nuansa Aulia, Bandung.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-33-9