TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Kerja Produktivitas tenaga kerja sebagai suatu konsep yang menunjukkan adanya kaitan antara output (hasil kerja) dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seorang tenaga kerja. Ukuran produktivitas yang dikaitkan dengan waktu jika produktivitas sangat tergantung pada segi keterampilan dan keahlian tenaga kerja secara fisik. Tenaga kerja dinilai produktif jika mampu menghasilkan output atau produk yang lebih besar dari tenaga kerja lain untuk satuan waktu yang sama. Seorang tenaga kerja menunjukkan produktivitas yang tinggi jika mampu menghasilkan produk yang sesuai standar yang ditentukan, dalam satuan waktu yang lebih singkat (Ravianto 1985b). Hal yang perlu diketahui bahwa peningkatan jumlah jam kerja tidak selalu meningkatkan produktivitas seorang pekerja. Waktu bekerja yang melebihi waktu standar (8 jam) cenderung menurunkan produktivitas. Pada kondisi ini, pekerja cenderung merasa penat dan tegang, sehingga cenderung untuk melakukan kegiatan istirahat lebih banyak. Hal ini menyebabkan waktu tersebut tidak digunakan secara efektif dalam melakukan pekerjaan (Sastrowinoto 1985). Produksi berkaitan dengan kuantitas, sedangkan produktivitas adalah hasil kerja per satuan dari suatu input (masukan). Pengukuran produktivitas secara efektif menggunakan standar waktu. Penggunaan standar waktu memberikan petunjuk yang jelas bagi pengawasan tentang jumlah jam kerja atau pengeluaran yang diharapkan (Sinungan 2003). Menurut Kussriyanto (1986) peningkatan produktivitas pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat bentuk, di antaranya: 1. Pengurangan sumber daya untuk memperoleh jumlah produksi yang sama. 2. Pengurangan jumlah sumber daya yang sedikit untuk memperoleh jumlah produksi yang lebih besar. 3. Penggunaan jumlah sumber daya yang sama untuk memperoleh jumlah produksi yang lebih besar. 4. Penggunaan sumber daya yang lebih besar untuk memperoleh jumlah produksi yang lebih besar lagi. Tenaga kerja sering dijadikan sebagai faktor pengukur produktivitas kerja. Peningkatan produktivitas secara keseluruhan akan menunjukkan potensi pengadaan barang dan jasa dalam jumlah yang lebih besar untuk setiap pekerja,
sehingga
kebutuhan
dasar
hidup
dapat
terpenuhi.
Ini
berarti
tingkat
kesejahteraan bertambah tinggi karena peningkatan produktivitas berarti peningkatan pendapatan pekerja dan peningkatan pendapatan selanjutnya menambah daya beli masyarakat akan barang dan jasa. Pengukuran Produktivitas Kerja Salah satu dimensi yang banyak digunakan dalam pengukuran produktivitas adalah dimensi waktu. Hasil tertentu dicapai dalam satuan waktu tertentu, sehingga waktu merupakan suatu dimensi yang secara langsung atau tidak langsung ada dalam perhitungan produktivitas (Todaro 1985). Pengukuran produktivitas kerja dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran waktu tenaga kerja (jam/bulan) atau jumlah jam kerja yang dapat dilakukan dalam satu satuan waktu berdasarkan standar perusahaan. Karena hasil maupun masukan dapat dinyatakan dalam waktu, produktivitas tanaga kerja dapat dinyatakan sebagai suatu indeks yang sangat sederhana yaitu hasil dalam jam yang standar dibagi dengan masukan dalam jam waktu (Sinungan 2003). Pengukuran produktivitas secara umum seperti yang sering digunakan menurut Moelyono (1993) di antaranya adalah: 1. Pengukuran produktivitas dengan model engineering, cara ini lebih megacu kepada lingkungan fisik. 2.
Pengukuran produktivitas dengan model accounting, cara ini lebih megacu kepada lingkungan pasar.
Kedua model pengukuran produktivitas ini dapat dugunakan dalam berbagai dimensi, yaitu: 1. Dimensi nasional, yang juga disebut pengukuran produktivitas tingkat makro. 2. Dimensi industri, sering disebut pengukuran produktivitas tingkat industri. 3. Dimensi organisasi, yang juga disebut sebagai pengukuran produktivitas tingkat perusahaan. Menurut Ravianto (1990) produktivitas mempunyai dua aspek, yaitu produktivitas ekonomi dan produktivitas teknis. Produktivitas teknis merupakan proses produksi guna membuat sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Produktivitas kuantitatif merupakan bagian dari produktivitas teknis yang digunakan untuk menentukan tingkat sebserapa besar elemen produksi (input) yang telah digunakan. Persamaan sederhana ini disebut formula dasar bagi pengukuran produktivitas.
Rumus Dasar Produktivitas
=
Keluaran (output) Masukan (input)
Masukan produktivitas yang dapat diukur mencakup modal, tanah, tenaga kerja dan bahan baku. Oleh karena itu, produktivitas dapat dinyatakan dalam pengertian produktivitas fisik, produktivitas tenaga kerja, produktivitas modal dan produktivitas bahan baku. Produktivitas juga dapat diukur per hari, per bulan atau per tahun. Produktivitas dibagi menjadi dua, produktivitas fisik dan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas fisik merupakan suatu indeks keluaran kuantitatif, per ton bahan baku, per luas tempat kerja, per jumlah tenaga kerja atau per jam waktu kerja. Produktivitas fisik digunakan untuk menentukan efisiensi operasi tempat kerja. Produktivitas tenaga kerja sebagai suatu konsep menunjukkan adanya kaitan antra hasil kerja seorang tenaga kerja dengan satuan waktu yang dibutuhkannya untuk menghasilkan suatu produk. Seorang tenaga kerja dinilai produktif jika mampu menghasilkan keluaran (output) yang lebih banyak dibandingkan tenaga kerja lain dalam waktu yang sama atau menghasilkan keluaran yang sama dengan memakai sumberdaya yang sedikit. Seorang tenaga kerja menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi bila mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan dalam satuan waktu yang lebih singkat atau memakai sumber daya yang lebih sedikit. Produktivitas tenaga kerja
=
Jumlah hasil produksi Satuan waktu
Ukuran produktivitas dikaitkan dengan satuan waktu, maka produktivitas tenaga kerja sangat tergantung pada keterampilan dan keahlian tenaga kerja secara fisik. Akan tetapi, dengan peralatan yang berbeda tingkat teknologinya, akan berbeda pula tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut. Pengukuran produktivitas tenaga kerja menurut Sinungan (2003) meliputi sistem pemasukan fisik perorangan atau per jam kerja atau metode pengukuran waktu tenaga kerja (jam, hari atau tahun). Pengeluaran diubah ke dalam unit-unit pekerja yang biasanya diartikan sebagai jumlah kerja yang dapat dilakukan dalam satu jam oleh pekerja menurut pelaksanaan standar. Pengukuran produktivitas
=
Hasil pada jam pokok waktu yang digunakan Waktu yang digunakan
Pengukuran produktivitas secara efektif menggunakan standar waktu Penggunaan standar waktu memberikan petunjuk yang jelas bagi pengawasan tentang jumlah jam kerja atau pengeluaran yang diharapkan. Pengukuran produktivitas menyatakan rasio antara output dan input maka dalam pengukuran prodktivitas terlebih dahulu harus disusun definisi kerja dan kemudian cara mengukur baik input maupun output. Secara garis besar, setiap variabel dapat dinyatakan dalam satuan fisik (berat, volum, hari, jam, panjang) atau nilai produksi. Kemudian konsep produktivitas dalam satuan fisik dapat dinyatakan dalam konsep kali ton per jam. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya latar belakang pendidikan dan latihan, alat-alat produksi dan teknologi, value system yaitu nilai-nilai atau pranata sosial masyarakat (ikatan kekeluargaan, mobilitas, motivasi), iklim pekerja, derajat kesehatan dan gizi dan tingkat upah minimal yang berlaku (Ravianto 1985b). Menurut Kussriyanto (1986) faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industri, teknologi, sarana produksi, manajemen, kesempatan berprestasi, kebijakan pemerintah di bidang produksi, investasi, perizinan, moneter, fiskal, harga, distribusi dan lain-lain. Sinungan (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah keahlian, latar belakang budaya dan pendidikan, kemampuan dan sikap, minat, struktur pekerjaan, umur dan angkatan kerja (pengalaman kerja). Sementara itu, Oxenburgh et al. (2004) yang diacu dalam Mahardikawati (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja di antaranya rendahya kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, mesin yang tidak efisien, faktor fisik dengan tingkat stres dan sedikitnya waktu istirahat, kondisi lingkungan yang kurang baik (suhu, pencahayaan dan kebisingan) dan buruknya lingkungan kerja, sedangkan menurut WHO (1995) rendahnya produktivitas kerja pada individu dipengaruhi oleh rendahnya motivasi, status gizi dan status kesehatan yang kurang baik. Gizi dan Produktivitas Kerja Gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Keadaan gizi yang baik merupakan pemicu peningkatan produktivitas kerja. Keadaan gizi yang baik tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan fisik,
namun juga meningkatkan derajat kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kesakitan
dan
ketidakhadiran
bekerja
(Riyadi
2006).
Suhardjo
(2005)
menyebutkan bahwa perbaikan gizi pekerja akan menurunkan tingkat absen pekerja sehingga meningkatkan kemampuan produktivitas kerja. Menurut Oxenburgh et al. (2004) yang diacu dalam Mahardikawati (2008) penyebab turunnya produktivitas tenaga kerja salah satunya adalah faktor kesakitan sehingga menyebabkan tingginya absensi kerja. Masalah kecukupan pangan dan gizi mutlak apabila diharapkan prestasi dari seorang tenaga kerja. Tanpa gizi yang baik, maka kebutuhan akan energi untuk bekerja akan diambil dari cadangan energi yang terdapat dalam tubuh. Kekurangan makanan yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis tubuh terganggu. Bila hal ini terjadi, maka tenaga kerja tidak dapat melakukan pekerjaannya secara baik dan produktivitas kerjanya akan menurun bahkan dapat mencapai target rendah. Kebutuhan akan tenaga bagi seorang tenaga kerja akan meningkat sesuai dengan lebih beratnya pekerjaan. Bagi pekerjaan fisik yang berat, gizi dengan energi yang memadai menjadi syarat utama yang menentukan tingkat produktivitas kerja. Kesehatan dan produktivitas terdapat hubungan yang sangat nyata, seorang pekerja yang sakit biasaya produktivitasnya menjadi rendah. Keadaan sakit yang menahun menjadi sebab rendahnya produktivitas untuk waktu yang relatif sangat panjang. Kesehatan tenaga kerja dan produktivitas erat kaitannya dengan gizi. Seorang tenaga kerja dengan gizi yang baik akan memiliki kapasitas dan ketahanan tubuh yang lebih baik yang menunjang produktivitas kerjanya. Analisa secara makro tentang tingkat konsumsi energi dan derajat produktivitas suatu bangsa memberikan hasil bahwa produktivitas yang tinggi sesuai dengan makin tingginya konsumsi kalori per kapita. Dampak khusus terhadap kesehatan dan kualitas kerja adalah sebagai berikut: 1. Gizi yang baik menghasilkan daya tahan tubuh yang baik, akibatnya penyakit infeksi berkurang atau menurun yang mengakibatkan absensi menjadi berkurang. Absensi yang berulang kali pada gilirannya akan mempengaruhi ekonomi perusahaan di mana pekerja bekerja dan dengan sendirinya mengurangi produktivitas kerja. 2. Zat besi dan zat gizi lainnya dalam metabolisme tubuh berperan pada proses penalaran serta daya konsentrasinya sangat vital terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
3. Anemia gizi (30-50%) pada tenaga kerja wanita mengakibatkan keletihan pada otot dan produktivitas kerja yang menurun (Ravianto 1985a). Gizi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan tingkat produktivitas kerja. Konsep produktivitas kerja merupakan rasio antara input dan output, sehingga aktivitas yang efisien persatuan waktu menjadi penyebab tinggi rendahnya produktivitas kerja tersebut. Secara teoritis, aktivitas fisik sangat tergantung dari asupan gizi tenaga kerja. Derajat kesehatan kerja di lingkungan kerja dapat dijamin melalui penyediaan makanan yang disediakan perusahaan yang memenuhi gizi. Jaminan makanan bergizi bagi tenaga kerja dapat menjamin daya tahan kerja terhadap penyakit dan kemalasan sebagai salah satu gejala akibat kurang gizi. Laporan Bank Dunia tahun 1980 menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendapatan, gizi, derajat kesehatan dan tingginya angka kelahiran dan kematian. Pendapatan yang rendah berakibat rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, gizi, tingginya angka kelahiran dan kematian serta rendahnya produktivitas. Penelitian mengenai kaitan gizi dengan produktivitas kerja di antaranya dilakukan oleh Karyadi pada pekerja perkebunan sawit, coklat, karet, tembakau dan teh di Jawa, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa pekerja yang mengalami anemia (Hb < 11 g/dL) memiliki produktivitas kerja dan ketahanan fisik yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak anemia (Ravianto 1985b). Kemampuan seseorang dan lamanya waktu yang digunakan menentukan tinggi rendahnya produktivitas tenaga kerja. Jika hasil aktivitas per satuan waktu menjadi penyebab tinggi rendahnya produktivitas kerja, secara teoritis sangat tergantung dari kesehatan dan gizi yang diperoleh dari makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh tenaga kerja yang bersangkutan, sehingga tenaga kerja hanya dapat bekerja baik selama memiliki tenaga yang diperoleh dari makanan. Gizi yang cukup dan badan yang sehat merupakan syarat bagi produktivitas kerja yang tinggi. Makin berat suatu pekerjaan fisik, makin banyak kalori yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan (Ravianto 1990). Kerja berat disebut juga kerja kasar, dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang memerlukan uupaya fisik yang kuat selama periode kerja. Konsumsi energi dari keryawan dalam kerja berat merupakan faktor utama yang membatasi prestasi hariannya. Pada waktu bekerja, pengeluaran energi meningkat. Makin besar gerakan otot, makin tinggi pula pengeluaran energi kerjanya. Kenaikan
konsumsi energi yang nampak dalam kerja fisik dinyatakan dalam kalori kerja. Pekerja kasar membutuhkan makanan sumber karbohidrat, protein, lemak serta vitamin B1 untuk menyuplai kebutuhan ototnya (Sastrowinoto 1985). Defisiensi Zat Besi dan Produktivitas Kerja Defisiensi besi merupakan defisiensi yang paling umum terjadi karena daya serap tubuh manusia terhadap Fe relatif sulit. Defisiesi Fe terutama menyerang golongan rentan, seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Menurut Widayani (2004) defisiensi besi dapat berakibat menurunkan produktivitas dan kapasitas fisik saat bekerja dan menurunkan imunitas seluler dan meningkatkan kesakitan, sedangkan Baliwati et al. (2004) yang diacu dalam Wardani (2008) mengemukakan bahwa produktivitas pekerja yang kekurangan zat besi menurun 10-30% daripada pekerja yang sehat. Kekurangan zat besi akan menurunkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Kelebihan zat besi dapat mengakibatkan mikroorganisme memanfaatkannya untuk pertumbuhan, sehingga penyakit yang diderita semakin parah (Wirakusumah 1999 dalam Wardani 2008). Anemia gizi besi dapat ditimbulkan akibat terjadinya defisiensi zat besi. Salah satu gejala fisik yang terjadi pada anemia gizi besi adalah penurunan kemampuan kerja. Efek fisik lainnya adalah peningkatan sensitivitas terhadap penyakit flu, gangguan gastrointestinal, konstipasi dan diare (Guthrie & Picciano dalam Wardani 1995). Wirakusumah (1999) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat menyebabkan tenaga berkurang, sehingga pekerja yang membutuhkan tenaga besar akan merasa cepat lelah. Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil kerja yang rendah karena produktivitas kerjanya menurun. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah dan Martianto 1989). Menurut Hartono (2000), makanan yang dikonsumsi setiap hari tersusun dari unsur-unsur gizi yang diklasifikasikan sebagai makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein. Makronutrien dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang besar dan umumnya terpakai habis dan tidak didaur ulang. Mikronutrien terdiri atas vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sedikit karena didaur ulang. Di samping zat gizi, tubuh memerlukan air, O2 dan serat makanan.
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dihitung jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif dengan melihat frekuensi makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan kebiasaan makan (food habit). Pada cara kuantitatif terdapat lima metode yang sering digunakan untuk pengukuran konsumsi makanan individu, yaitu metode recall 24 jam, metode estimated food records, metode penimbangan makanan, metode dietary history dan metode frekuensi makanan (Supariasa et al. 2001). Metode recall dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa yang lalu. Wawancara dilakukan sedalam mungkin agar responden dapat mengungkapkan jenis bahan makanan dan perkiraan jumlah bahan makanan yang dikonsumsinya beberapa hari yang lalu. Recall pada umumnya dilakukan untuk 2-3 hari yang lalu (Riyadi 2006). Menurut Kusharto (2007), pada metode recall ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat. Metode recall ini murah, tidak memakan waktu banyak. Kekurangannya adalah datayang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatat dalam mengkonversikan URT ke dalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran antar responden (besar, sedang, kecil dan lain-lain). Metode recall umumnya digunakan untuk survei konsumsi tingkat individu.
Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan, yaitu 1) karakter individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakter makanan atau pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makanan; dan 3) karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas dan tingkat sosial masyarakat. Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan. Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek. Faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam menerima informasi baru. Seorang yang berumur relatif muda akan relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006). Tingkat pendidikan yang tinggi terutama yang berkaitan dengan pengetahuan gizi yang tinggi tentang informasi gizi dan kesehatan akan mendorong perilaku makan yang baik (Sediaoetama 1991). Walaupun tingkat pendidikannya cukup tinggi tetapi tidak disertai dengan pengetahuan gizi, maka tidak akan berpengaruh terhadap pemilihan pangan. Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989).
Menurut Harper et al. (1996) diacu dalam Permana (2006) pada umumnya jika pendapatan naik, maka jumlah dan jenis pangan akan membaik. Pendapatan merupakan sumberdaya material bagi seseorang untuk membiayai kegiatan
konsumsinya.
Jumlah
pendapatan
yang
diperoleh
akan
menggambarkan besarnya daya beli. Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dikonsumsi lebih mahal. Menurut
Suhardjo (1989), keluarga yang berpenghasilan rendah
menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan. Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti. Besar
keluarga
akan
mempengaruhi
pendapatan
perkapita
dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam Widyaningsih 2008). Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan dan menyusui (Riyadi 2006). Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai
kelompoknya
sehingga
kebutuhan
pangan
hanya
diperlukan
secukupnya (Khumaidi 1994). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosial dan cita rasa beragam jenis pangan, sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan yakni kandungan gizi. Almatsier (2003) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai
cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kegunaannya untuk berbagai keperluan yang menyangkut populasi, seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk. AKG koreksi
=
Berat badan aktual sehat (kg) Berat badan dalam daftar AKG
x
AKG
Hardinsyah dan Briawan (1994) yang diacu dalam Wardani (2008) menyatakan bahwa jika angka kecukupan gizi ini digunakan untuk penaksiran angka kecukupan gizi individu, untuk energi dan protein perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan berat badan aktual sehat. Tingkat Konsumsi Zat Gizi Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen (%). Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) yang diacu dalam Wardani (2008) rumus perhitungan tingkat konsumsi secara umum adalah sebagai berikut: Tingkat konsumsi zat gizi
=
Konsumsi zat gizi aktual AKG
x
100%
Depkes (1996) mengkategorikan tingkat konsumsi energi ke dalam kategori defisit berat, defisit sedang, defisit ringan, normal dan lebih. Dikatakan defisit berat jika tingkat konsumsi energi kurang dari 70% (< 70%), defisit sedang antara 70-79%, defisit ringan antara 80-89%, normal antara 90-119% dan lebih jika lebih dari sama dengan 120% (
120%). Tingkat konsumsi zat besi (Fe)
dikategorikan berdasarkan kategori tingkat konsumsi vitamin dan mineral seperti yang disebutkan dalam Gibson (2005). Tingkat konsumsi digolongkan menjadi defisit jika kurang dari 77% (TK < 77%) dan normal jika lebih dari sama dengan 77% (TK
77%). Angka Kecukupan Energi dan Zat Besi (Fe)
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (IOM 2002 dalam WNPG 2004).
Angka kecukupan energi adalah rata-rata jumlah asupan energi dari makanan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi serta sosial yang diharapkan. Angka kecukupan energi pada orang dewasa di Indonesia dihitung pada tingkat kegiatan sedang (Riyadi 2006). Angka kecukupan energi yang terdapat dalam AKG 2004 (WNPG 2004) merupakan rata-rata angka kecukupan energi untuk keseluruhan penduduk secara umum berdasarkan kelompok jenis kelamin, usia dan keadaan fisiologis. Angka kecukupan energi untuk pria usia 19-29 tahun yaitu 2550 kkal/orang/hari, pria usia 30-49 tahun yaitu 2350 kkal/orang/hari dan pria usia 50-64 tahun yaitu 2250 kkal/orang/hari. Sementara itu, angka kecukupan energi untuk wanita usia 19-29 tahun yaitu 1900 kkal/orang/hari, wanita usia 30-49 tahun yaitu 1800 kkal/orang/hari dan wanita usia 50-64 tahun yaitu 1750 kkal/orang/hari. Zat besi merupakan mineral mikro tang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. walaupun terdapat luas di dalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi termasuk di Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan (Almatsier 2003). Berdasarkan AKG 2004 (WNPG 2004), angka kecukupan zat besi (Fe) untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun dan 50-64 tahun adalah 13 mg/orang/hari. Angka kecukupan zat besi (Fe) untuk wanita usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 26 mg/orang/hari, sedangkan wanita usia 50-64 tahun adalah 12 mg/orang/hari. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Makanan yang memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh umumnya membawa ke arah status gizi yang baik. Status gizi seseorang juga berkaitan langsung dengan tingkat kesehatan (Suharjo. et al 1985).
Menurut Supariasa et al (2001), berat badan yang sangat kurang (under weight) mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi, sementara yang berat badan yang melebihi batas normal (over weight) mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan normal merupakan idaman bagi setiap orang untuk menacapai tingkat kesehatan yang optimal. Keuntungan apabila berat badan normal adalah penampilan baik, lincah dan risiko sakit rendah). Berat badan yang kurang dan berlebihan akan menimbulkan risiko terhadap berbagai macam penyakit. Rumus perhitungan IMT adalah: IMT =
Berat badan (kg) (Tinggi badan)2 (m2)
Tabel 1 Kategori Status Gizi Berdasarkan IMT menurut WHO (2007) Kategori Status Gizi Underweight
Cut-off points IMT <18.50
Normal
18.50 - 22.99
Overweight At risk Obese class I Obese class II
23.00 23.00 - 24.99 25.00 – 29.99 30.00
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan, juga keadaan penyakit edema, asites dan hepatomegali.