2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Produktivitas Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil yang
diperoleh secara nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya. Artinya produktivitas sama dengan perbandingan hasil keluaran dengan masukan yang biasa juga disebut dengan perbandingan output dengan input.
Ukuran
produktivitas yang paling sering digunakan adalah berkaitan dengan tenaga kerja dengan cara membagi pengeluaran dengan jumlah yang digunakan (Sinungan 2008). Produktivitas yang akan ditekankan dalam tulisan ini adalah produktivitas alat tangkap pancing yang beroperasi di Palabuhanratu. Pancing diartikan sebagai unit penangkapan yang digunakan selama proses penangkapan ikan di laut. Selanjutnya perbandingan produktivitas yang dimaksud adalah produktivitas alat tangkap pancing yang beroperasi di suatu lokasi penangkapan ikan dengan lokasi penangkapan yang lainnya. Produktivitas alat tangkap dalam menangkap target spesies dapat diterangkan dengan menggunakan CPUE. Perhitungan CPUE (Catch per Unit Effort) dilakukan dengan rumus : h/e dimana h adalah jumlah hasil tangkapan (kg) dan e adalah effort atau upaya penangkapan ikan. Upaya penangkapan ikan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti jumlah hari melaut, unit penangkapan ikan, dan lain-lain.
Perhitungan CPUE akan memudahkan kita
dalam membandingkan produktivitas suatu alat tangkap, karena produktivitas suatu alat tangkap dapat dicerminkan dari nilai CPUE.
Secara garis besar
produktivitas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi daerah penangkapan (fishing ground), ukuran kapal dan alat tangkap yang digunakan, musim, dan sumberdaya manusia (Manurung 2006). 2.2
Musim Secara umum, kondisi oseanografi perairan di Indonesia dipengaruhi oleh
dua musim, yaitu musim barat dan musim timur sebagai akibat adanya pergantian sistem tekanan udara di daratan Asia dan Australia. Kondisi oseanografi perairan yang berubah-ubah sesuai musim tersebut baik langsung maupun tidak langsung
4
akan mempengaruhi produktivitas perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perilaku pengelompokan ikan (Syamsuri 2001). Musim barat di Palabuhanratu terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan April, kondisi ini ditandai dengan curah hujan yang sangat tinggi dan ombak yang besar. Sedangkan musim timur terjadi pada bulan bulan Mei sampai bulan September. Pada musim timur keadaan perairan di Palabuhanratu biasanya tenang, jarang terjadi hujan, dan ombak yang terjadi kecil, sehingga nelayan menjadikan musim ini sebagai musim puncak untuk menangkap ikan. Menurut Balai Riset Perikanan Laut (2004), pola musim penangkapan ikan dibagi menjadi 3 berdasarkan jumlah hasil tangkapan dan berbagai pengaruh kondisi alam, musim penangkapan ikan: 1)
Musim paceklik, berlangsung pada saat musim barat, antara bulan November hingga Februari. Pada bulan-bulan ini terdapat kondisi cuaca di perairan bebas kurang menguntungkan bagi operasi penangkapan ikan sehingga jarang nelayan pergi melaut;
2)
Musim sedang, berlangsung pada bulan Maret hingga Juni;
3)
Musim puncak, berlangsung selama bulan Juni hingga Oktober. Sedangkan menurut Tampubolon (1990), musim penangkapan ikan di
Palabuhanratu dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1)
Musim banyak ikan (puncak) (Juni-September);
2)
Musim sedang ikan (sedang) (Maret-Mei dan Oktober-November);
3)
Musim kurang ikan (paceklik) (Desember-Februari).
2.3
Unit Penangkapan Ikan
2.3.1 Kapal Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, membudidayakan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan eksplorasi perikanan (Fyson 1985). Kapal pancing rumpon merupakan salah satu kapal perikanan yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan. Konstruksi kapal pancing rumpon terbuat dari bahan kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dengan menggunakan mesin motor tempel
5
dengan dimensi 6 x 0,6 x 0,7 m. Kekuatan mesin yang digunakan adalah 5,5 HP berbahan bakar bensin (Nugroho 2002). 2.3.2 Nelayan Jumlah nelayan yang bekerja pada pengoperasian pancing di sekitar rumpon sebanyak 4-6 orang. Masing-masing memiliki tugas yang berbeda-beda yang terdiri dari 1 orang juru mudi atau nahkoda, 1 orang juru mesin, dan 2-4 orang anak buah kapal yang masing-masing mengoperasikan satu atau lebih pancing (Sainsbury 1984). 2.3.3 Alat penangkapan ikan 1)
Pancing ulur (handline) Pancing merupakan salah satu alat tangkap yang paling umum dikenal
dikalangan masyarakat. Komponen utama pancing adalah tali (line), dan mata pancing (hook). Tali pancing biasanya terbuat dari bahan nylon, polyethylene, senar (plastik), benang katun, dan lain-lain. Sedangkan mata pancing dari kawat baja, kuningan, dan bahan-bahan yang tahan dari karat. Ukuran mata pancing yang digunakan berbeda-beda untuk setiap pancing, tergantung kepada ukuran ikan yang tertangkap (Subani dan Barus 1989). Menurut Von Brandt (1968), pancing ulur termasuk ke dalam klasifikasi fishing with line yang dilengkapi dengan mata pancing. Konstruksi pancing ulur pada setiap daerah umumnya sama, hanya saja terdapat perbedaan pada ukuran tali, mata pancing, dan pemberat yang digunakan. Setiap pancing, dalam pengoperasiannya dapat menggunakan umpan atau tanpa umpan, baik umpan alami ataupun umpan buatan. dioperasikan menggunakan umpan.
Pancing ulur
Jenis umpan yang digunakan pada
pengoperasian pancing ulur adalah ikan kembung (Rastreliger sp), layang (Decapterus sp), dan cumi-cumi (Loligo sp) (Farid 1989 dalam Saputra 2002). Umpan yang digunakan harus disesuaikan dengan kesukaan ikan yang menjadi sasaran penangkapan dan kemampuan ikan mendeteksi umpan tersebut (Gunarso 1985).
6
Sumber: Rahmat E. 2007
Gambar 1 Pancing ulur Pancing ulur terdiri dari 2 jenis, yaitu pancing ulur yang digunakan pada perairan dalam hingga mencapai kedalaman tertentu, dan pancing ulur yang dioperasikan di bagian permukaan air dengan cara menggerak-gerakkan umpan buatan sehingga menarik perhatian ikan yang menjadi target penangkapan untuk memangsa umpan tersebut.
Pada umumnya nelayan menggunakan pancing
perairan dalam yang menggunakan ikan hidup (Rahmat 2007). Operasi
penangkapan
menggunakan pancing ulur dimulai dengan
menentukan terlebih dahulu lokasi penangkapan ikan (fishing ground).
Pada
umumnya di daerah sekitar rumpon karena jenis-jenis ikan baik yang berukuran kecil maupun besar berkumpul di sekitar rumpon (Departemen Pertanian 1993 dalam Rahmat E 2007). Rahmat (2007) manyatakan, dengan adanya rumpon ini maka dapat memudahkan nelayan untuk mencari gerombolan ikan, sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien dan menghemat biaya operasi penangkapan. Setelah menemukan lokasi, mata pancing yang telah
7
dipasang umpan dilepas dan diturunkan ke dalam perairan, tali diulur sampai pada kedalaman tertentu. Mata pancing dibiarkan bergerak mengikuti gerakan umpan hidup. Apabila ikan target memakan umpan, tali ditarik dengan teknik penarikan sedemikian rupa. Ikan hasil tangkapan dimasukkan ke dalam palka. Hasil tangkapan pancing ulur terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal. Umumnya ikan pelagis kecil seperti ikan layur (Trichiurus sp), dan ikan tongkol. Selain itu ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), madidihang (Thunnus albacores),
cakalang
(Katsuwonus
pelamis),
dan
layaran
(Istiophorus
platypterus). 2)
Pancing tonda (troll line) Menurut Subani dan Barus (1989), pancing tonda adalah pancing yang
terdiri dari tali panjang, mata pancing, dan pemberat. Cara penangkapan ikan dengan menarik (menonda) pancing tersebut baik dengan perahu layar maupun perahu motor secara horizontal menelusuri lapisan permukaan air. Sedangkan Von Brandt (1984) mengatakan, pancing tonda adalah sejenis alat tangkap yang dioperasikan dengan cara ditarik dengan kapal atau perahu. Alat tangkap ini biasanya menggunakan umpan buatan dari plastik atau bulu ayam.
Tujuan
penangkapan adalah menangkap ikan-ikan pelagis seperti tongkol, tenggiri, dan lain-lain. Pada saat pengoperasiannya pancing dioperasikan secara bersamaan. Pancing tonda dioperasikan menggunakan umpan, umpan menjadi perangsang untuk mendekati mata pancing, sehingga umpan yang digunakan adalah umpan yang mengkilat dan kuat atau tahan terhadap tarikan kapal. Banyak umpan hidup yang tidak memenuhi kriteria tersebut, sehingga banyak nelayan menggunakan umpan buatan untuk menunjang pengoperasian alat tangkap pancing tonda. Selain itu dasar pemikiran menggunakan umpan buatan adalah : 1)
Harga relatif murah dan mudah diperoleh;
2)
Dapat digunakan secara berulang-ulang;
3)
Tahan lama;
4)
Warna memikat;
5)
Ukuran dapat disesuaikan berdasarkan bukaan mulut ikan yang menjadi target penangkapan.
8
Sumber: Fisheries and Aquaculture Department
Gambar 2 Pancing tonda Pengoperasian pancing tonda diawali dengan tahapan persiapan. Tahapan persiapan terdiri dari mempersiapkan perahu, pengecekan mesin, bahan bakar, alat tangkap dan alat bantu penangkapan. Persiapan yang dilakukan di kapal meliputi pengaturan tali, pancing dan gulungan agar mudah ketika melakukan setting alat. Setelah itu dilakukan pencarian gerombolan ikan yang biasanya ditandai dengan adanya burung-burung, buih di perairan, dan warna perairan.
Setelah lokasi
ditemukan, pengoperasian dimulai dengan pemasangan alat tangkap (setting) kemudian mengulur alat secara perlahan ke perairan dan mengikat ujung tali pada ujung kanan atau kiri kapal (Handriana 2007). Setelah pemasangan pancing, pancing ditarik oleh kapal dengan kecepatan 2-4 knot.
Pancing ditarik menyusuri daerah penangkapan dengan kecepatan
konstan, tujuannya agar umpan buatan yang digunakan bergerak-gerak seperti ikan yang sebenarnya.
Ketika umpan telah dimakan ikan, laju tarikan kapal
9
dipercepat dengan tujuan ikan yang memakan umpan tersangkut pada mata pancing dan tidak dapat terlepas kembali. Kemudian dilakukan penarikan pancing oleh ABK dengan menggulung tali pancing, ikan diangkat ke perahu dan melepaskan ikan dari mata pancing. Pancing diulur kembali ke perairan sampai mendapatkan tangkapan kembali, begitu seterusnya (Handriama 2007). Target utama dari penggunaan alat tangkap pancing tonda ini adalah ikanikan pelagis yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan tuna dan cakalang. Sehingga kedalaman mata pancing disesuaikan dengan swimming layer ikan yang menjadi target tangkapan. 2.3.4 Rumpon sebagai alat bantu penangkapan Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Rumpon telah digunakan di Indonesia sejak lama sekali dan telah diketahui digunakan lebih dari 30 tahun dibanyak daerah sekitar wilayah Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara (Monintja, 1993). Berdasarkan pemasangan dan pemanfaatan rumpon dibagi atas 3 jenis : rumpon perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam. Metode pemasangan dari rumpon laut dangkal dan dalam hampir sama, perbedaannya hanya pada desain rumpon, lokasi daerah pemasangan serta bahan yang digunakan. Rumpon laut dangkal menggunakan bahan dari alam seperti bambu, rotan, daun kelapa dan batu kali. Sebaliknya pada rumpon laut dalam sebagian besar bahan yang digunakan bukan dari alam melainkan berasal dari bahan buatan seperti bahan sintetis, plat besi, ban bekas, tali baja, tali rafia serta semen. Rumpon di Indonesia merupakan FAD skala kecil dan sederhana yang umumnya dibuat dari bahan tradisional.
Rumpon tersebut ditempatkan pada
kedalaman perairan yang dangkal dengan jarak 5 – 10 mil (9 – 18 km) dari pantai dan umumnya tidak lebih dari 10 – 20 mil laut (35 km) dari pangkalan terdekat (Mathews et al. 1996). Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya sebagai pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul disuatu tempat yang selanjutnya diadakan penangkapan.
Prinsip lain penangkapan
dengan alat bantu rumpon disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada hakekatnya adalah agar kawanan ikan mudah ditangkap sesuai dengan alat
10
tangkap yang dikehendaki. Selain itu dengan adanya rumpon, kapal penangkap dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan ikan dari dan menuju ke lokasi penangkapan. Direktorat Jenderal Perikanan (1995) melaporkan beberapa keuntungan dalam penggunaan rumpon yakni: memudahkan pencarian gerombolan ikan, biaya eksploitasi dapat dikurangi dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan kecil. Desain rumpon, baik rumpon laut dalam maupun rumpon laut dangkal secara garis besar terdiri atas empat komponen utama yaitu: pelampung (float), tali (rope), pemikat (atractor) dan pemberat (sinker). Tali yang menghubungkan pemberat dan pelampung pada jarak tertentu disisipkan daun nyiur yang masih melekat pada pelepahnya setelah dibelah menjadi dua.
Panjang tali bervariasi, tetapi pada umumnya adalah 1,5 kali
kedalaman laut tempat rumpon tersebut ditanam (Subani 1986). Persyaratan umum komponen-komponen dari konstruksi rumpon adalah sebagai berikut : 1)
Pelampung: Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang mengapung diatas air 1/3 bagian), konstruksi cukup kuat, tahan terhadap gelombang dan air, mudah dikenali dari jarak jauh, dan bahan pembuatnya mudah diperoleh;
2)
Pemikat: Mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan, tahan lama, mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah, melindungi ikan-ikan kecil, tahan lama, dan murah;
3)
Tali temali: Terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk, harganya relatif murah, mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus, tidak bersimpul (less knot);
4)
Pemberat: Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh, massa jenisnya besar, permukaannya tidak licin, dan dapat mencengkeram.
11
Sumber: Anonim. 2011
Gambar 3 Rumpon 2.4 Sumber Daya Ikan 2.4.1 Tuna 1) Morfologi ikan tuna Ikan tuna termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis. Ikan tuna memiliki warna tubuh biru kehitaman pada bagian punggung. Berwarna putih pada bagian perut dan memiliki kulit yang licin. Tuna termasuk ke dalam ikan perenang cepat dengan bentuk tubuh seperti cerutu (fusiform), memanjang, dan agak pipih. Selain itu memiliki dua sirip punggung yang terpisahkan oleh interspace. Sirip pertama mempunyai 11-14 duri soft rays yang lunak dan memiliki tinggi yang sama, lebih pendek atau lebih tinggi dari duri lainnya. Terdapat 6-10 finlet atau jari-jari tambahan di belakang duri ini, pada sirip dada terdapat 30-36 duri lunak,
12
ujungnya tirus, terletak agak ke pangkal atas dan melengkung (FAO dalam Anugrahawati 2005). 2)
Klasifikasi ikan tuna Menurut Saanin (1986), klasifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sobordo : Scombroidea Famili : Scombridae Genus : Thunnus
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut
Gambar 4 Madidihang (Thunnus albacores) 3)
Jenis-jenis ikan tuna Menurut FAO (1983) terdapat tujuh spesies ikan tuna, antara lain:
Madidihang (Thunnus albacores), Tuna Mata Besar (Thunnus obesus), Albakora (Thunnus alalunga), Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii), Tuna Sirip Hitam (Thunnus atlanticus), Tuna Ekor Panjang (Thunnus tonggol), dan Tuna Sirip Biru Utara (Thunnus thynnus). 2.4.2 Cakalang 1)
Morfologi ikan cakalang Ikan cakalang atau yang biasa kita kenal skipjack memiliki bentuk tubuh
memanjang seperti cerutu (fusiform) dan bentuk tubuh agak padat membulat.
13
Punggung berwarna biru keungu-unguan, bagian bawah perut berwarna keperakperakan, di bagian bawah gurat sisi terdapat 4-6 buah garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita. Tapis insang berjumlah 53-62 buah. Terdapat dua buah sirip punggung yang terpisah, jarak antara kedua sirip punggung tidak melebihi diameter matanya. Sirip punggung pertama terdapat 14-16 jari-jari jeras, dan pada sirip punggung kedua terdapat 12-16 sirip lemah, diikuti dengan 7-9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dada pendek dan diikuti oleh 7-8 buah finlet (Collete 1983 dalam Jungjunan 2009). 2)
Klasifikasi ikan cakalang Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan cakalang adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sobordo : Scombroidea Famili : Scombridae Subfamili : Scombrinae Genus : Katsuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis
Sumber: Freitas RP. 2002
Gambar 5 Cakalang (Katsuwonus pelamis)