185
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
ANALISA KARAKTERISTIK SEDIMEN PADA MUSIM HUJAN DAN KEMARAU DI TELUK LABUANGE KABUPATEN BARRU SEBAGAI PERAIRAN PENERIMA LIMBAH ORGANIK TAMBAK SUPERINTENSIF Mudian Paena, Muhammad Chaidir Undu, dan Rezki Antoni Suhaemi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Teluk Labuange Kabupaten Barru menjadi perairan yang menampung buangan limbah organik dari kegiatan tambak udang superintensif sejak tahun 2012 sampai saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa karakateristik sedimen Teluk Labuange pada musim hujan dan musim kemarau. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dimana sampel pengambilan sedimen dilakukan pada 14 garis transek tegak lurus pantai dengan 3 pengambilan sampel pada setiap garis transek dengan jarak, 75, 300 dan 600 meter dari garis pantai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata pH pada musim hujan 7.54 dan musim kemarau 6,93, rerata potensial redoks musim hujan -84,49 mV dan musim kemarau – 64,09 mV, rerata karbon organik musim hujan 1,45% dan musim hujan 0,69%, rerata bahan organik musim hujan 2,51% dan musim kemarau 1,2%, rerata total nitrogen musim hujan 0.04% dan musim kemarau 0,07% dan rerata fosfat pada musim hujan 26,63 mg/L dan musim kemarau 45,5 mg/L. Hasil analisa uji-t menunjukkan bahwa pH, karbon organik, bahan organik dan fosfat sedimen berbeda antara musim hujan dan musim kemarau, sedangkan potensial redoks dan total nitrogen tidak berbeda nyata. Fluktuasi karakteristik sedimen di perairan Teluk Labunange seperti pH, karbon organik, bahan organik dan fosfat dipengaruhi oleh musim, sedangkan potensial redoks dan total nitrogen keberadaannya tidak berdasarkan musim. KATA KUNCI:
karakteristik sedimen; musim hujan dan musim kemarau; Teluk Labuange; Kabupaten Barru
PENDAHULUAN Peningkatan produksi udang nasional telah menjadi prioritas utama sektor perikanan budidaya yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di dalam dan di luar negeri. Konsekwensinya adalah pencarian alternatif teknologi budidaya yang dapat memacu produksi udang, terutama udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang saat ini menjadi primadona budidaya seiring dengan lesunya budidaya udang windu (Penaeus monodon). Teknologi budidaya udang vaname saat ini telah sampai pada tahap superintensif. Teknologi superintensif ditandai dengan padat penebaran yang tinggi antara 500–1000 ekor/m2. Teknologi superintensif adalah teknologi budidaya monokultur. Folke & Kautsky (1992) menyatakan, bahwa ekspansi budidaya monokultur telah menghasilkan kerusakan lingkungan yang parah dan muncul masalah sosial ekonomi. Perikanan budidaya komersil menimbulkan kekhawatiran karena menghasilkan limbah yang kaya akan bahan organik dan nutrient yang dilepaskan ke lingkungan pesisir dan dekat pantai (Islam, 2005). Pencemar organik yang terendapkan di lingkungan pesisir akan berdampak pada daerah tersebut dan menjadi kekhawatiran lingkungan karena bersifat toksiks dan dapat terakumulasi dalam sistem jaring makanan akuatik (Jurado et al, (2005). Padat penebaran yang tinggi pada teknologi superintensif menyebabkan banyaknya input pakan, sehingga limbah terbesar yang dihasilan oleh teknologi budidaya superintensif bersumber dari pakan. Seymour & Bergheim (1991) menyatakan bahwa pakan merupakan sumber terbesar pencemaran organik dalam perikanan budidaya. McDonald et al. (1996) menyatakan, dalam budidaya komersil, sebanyak 30% pakan tidak dikomsumsi oleh ikan dan sebanyak 30-25% dari total pakan yang dikomsumsi tersebut diekskresikan oleh ikan. Avnimelech (2000), bahwa jumlah nitrogen (N) dan fosfat (P) akan diretensikan dalam tubuh ikan sebanyak 30-25%. Oleh karena
Analisa karakteristik sedimen pada musim hujan dan kemarau ..... (Mudian Paena)
186
itu, pemberian pakan yang banyak selama siklus budidaya udang pada teknologi superintensif memicu akumulasi limbah organik di perairan sekitarnya. Berbagai macam zat, termasuk yang berpotensial sebagai pencemar akan terikat dengan partikel-partikel yang ada di laut (Olsen et al., 1982). Industri tambak udang berkelanjutan harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya terhadap pengguna sumber daya lainnya di wilayah pesisir. Kegagalan dalam melakukan hal tersebut selain merusak lingkungan juga akan mengganggu kestabilan ekonomi disekitarnya. Budidaya udang di tambak akan berdampak terganggunya kestabilan kualitas air, sementara itu perairan di sekitar budidaya tersebut juga menjadi sumber air bersih dalam proses budidaya lainnya sehingga tanpa pengelolaan yang baik maka budidaya udang berkelanjutan tidak mungkin tercapai. Dengan demikian input nutrien yang berasal dari kegiatan budidaya tambak udang superintensif pada konsentrasi yang tinggi akan terendapkan di dasar perairan. Di perairan proses sedimentasi meliputi pelepasan (detachment) dalam bentuk tersuspensi (suspension), melompat (saltasion), berputar (rolling) dan menggelinding (sliding). Selanjutnya butiranbutiran tersebut akan mengendap bila aliran air tidak dapat mempertahankan gerakannya (Rifardi, 2008). Sedimen merupakan padatan yang langsung mengendap bila perairan tidak diganggu dalam waktu tertentu karena partikel-partikel penyusunnya berukuran relatif besar, biasanya berupa pasir dan lumpur. Sedimen adalah regolith yang telah mengalami perpindahan spatial (Wetzel, 2001). Ukuran partikel sedimen umumnya berkisar dari pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir dan tanah liat. Ukuran partikel akan mempengaruhi laju sedimentasi dan struktur komunitas bentik. Sedimen merupakan tempat yang paling banyak menerima kontaminan. Sebuah kontaminan pada konsentrasi tinggi yang masuk dalam sedimen berpasir umumnya akan lebih beracun dari pada konsentrasi yang sama dalam sedimen berlumpur, karena sedimen pasir memiliki bagian pori air yang lebih besar (Simpson et al., 2005). Teluk Labuange merupakan perairan yang mendapat tekanan buangan limbah oragnik dari tambak udang superintensif sejak tahun 2012 atau sejak teknologi superintensif tersebut diperkenalkan. Selama kurun waktu 2012-2015, buangan limbah organik tersebut telah mempengaruhi karakteristik sedimen yang ada di perairan Teluk Labuange. Sehubungan dengan fenomena tersebut maka penelitian dirancang untuk mengetahui karakteristik sedimen pada musim hujan dan kemarau di Teluk Labuange sebagai perairan penerima buangan limbah organik dari tambak udang superintensif. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada musim hujan dan musim kemarau. Pengambilan sampel sedimen pada musim kemarau dilakukan pada bulan Agustus 2014 dan musim hujan pada bulan Februari 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada titik-titik yang ditentukan di sepanjang 14 garis transek tegak lurus garis pantai. Pada setiap garis transek dilakukan tiga kali pengambilan sampel, masing-masing pada 75, 300 dan 600 meter dari garis pantai (Gambar 1). Penetapan posisi pengambilan sampel adalah sama untuk masing-masing musim. Sedimen dikoleksi menggunakan sediment grab. Pengukuran parameter sedimen meliputi pH, potensial redoks, total-N, total-P, karbon organik dan bahan organik. Parameter sedimen yang diukur langsung di lapangan adalah pH menggunakan mV and pH meter protable instruments HI 8424, sedangkan total-N, total P, karbon organik dan bahan organik dilakukan di laboratorium. Sampel sedimen selanjutnya dikeringkan dengan cara meletakkan sampel sedimen di atas kertas minyak. Setelah kering, sampel sedimen kemudian dihaluskan dengan menggunakan alu dan lumpang porselin kemudian diayak. Sampel yang telah dihaluskan selanjutnya dimasukkan dalam kantung sampel kemudian diberi label berdasarkan stasiun sampling. Metode analisa karakteristik sedimen disajikan pada Tabel 1. HASIL DAN BAHASAN Keasaman (pH) Rerata pH sedimen pada musim hujan adalah 7,54 dan pada musim kemarau 7,17 (Tabel 2 dan Gambar 2). Sebaran nilai tersebut bervariasi berdasarkan jarak dari outlet tambak udang superintensif.
187
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 1. Peta sebaran titik pengambilan sampel sedmen Tabel 1. Metode analisa karakteristik sedimen
Variabel kualitas sedimen Total fosfor (TP) Total nitrogen (TN) Total organic matter (TOM) dan karbon organic pH Redox potential
Metode Bray 1 Kjeldhal Walkley and Black’s
Referensi Balittanah. 2005 Balittanah. 2005 Menon, 1972
In-situ, pH meter and pH probe instruments HI 8424. In-situ, mV meter and Eh probe instruments HI 8424
Pada musim hujan pH tertinggi dijumpai pada jarak 600 m dari pantai, sedangkan pada musim kemarau dijumpai pada jarak 75 meter dari pantai. Sedangkan pada posisi tegak lurus pantai, pada musim hujan pH tertinggi terdapat pada stasiun 8 dan terendah pada stasiun 1, sedangkan pada musim kemarau pH tertinggi pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun 1. Berdasarkan hasil analisa uji-t menunjukkan bahwa nilai pH sedimen berbeda antara musim hujan dan musim kemarau. Muslow et al. (2006), menjelaskan bahwa proses dekomposisi bahan organik alami terjadi pada pH sedimen 6,8 hingga 7,0. Dengan demikian maka rerata nilai pH sedimen yang diperoleh di perairan Teluk Labuange sudah tidak mendukung terjadinya proses dekomposisi yang normal, terutama pada semua stasiun di musim hujan. Dekomposisi secara alami hanya terjadi pada musim kemarau.
Analisa karakteristik sedimen pada musim hujan dan kemarau ..... (Mudian Paena)
188
Gambar 2. Konsentrasi pH di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan musim kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai Potensial Redoks Nilai rerata potensial redoks pada musim hujan -82,49 mV dan musim kemarau -64,09 (Tabel 2). Nilai potensial redox yang rendah di dalam sedimen dapat dijelaskan sebagai akibat dari proses reduksi sulfide. Tingginya penumpukan bahan organik mempengaruhi variabel kualitas sedimen lainnya. Sebagai contoh, potensial redox sedimen dapat menunjukkan dampak input nutrient yang berasal dari budidaya perikanan dimana nilai potensial redox sedimen cenderung kecil ketika menerima input nutrient yang tinggi (Hansen et al., 2001). Potensial redox dengan nilai positif menunjukkan kondisi oksidasi sedangkan nilai negatif menunjukkan kondisi reduksi (Wu et al., 1994; Karakassis et al., 2002). Sehubungan dengan akumulasi bahan organik, Pearson & Stanley (1979) menetapkan nilai potensial redox sebesar -150 mV sebagai indikator periode terjadinya akumulasi bahan organik dalam sedimen pada kurun waktu yang lama. Tabel 2. Karakteristik sedimen di Teluk Labuange pada musim hujan dan musim kemarau
Parameter pHF Potensial Redox Karbon Organik Bahan Organik N.Total PO4
Musim Hujan Satuan Minimum Maksimum 7,24 7,88 mV -147 92 % 0,24 6,04 % 0,41 10,41 % 0,001 0,1 ppm 0,001 62,51
Rerata 7,54 -82,49 1,45 2,51 0,04 26,63
Musim Kemarau Rerata Maksimum Minimum 7,17 7,44 6,93 -64,09 130 -173 0,69 2,9 0 1,20 5 0 0,07 0,13 0,02 45,5 106,5 3,81
Potensial redoks terendah pada musim hujan dan kemarau berdasarkan posisi tegak lurus pantai terdapat pada stasiun 10. Sedangkan berdasarkan jarak dari pantai nilai potensial redoks terendah berada pada jarak 600 meter dan pada musim kemarau berada pada jarak 300 meter dari pantai (Gambar 3). Berdasarkan analisa uji-t menunujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai potensial redoks pada saat musim hujan dan kemarau. Potensi redoks turun karena konsentrasi oksigen turun, dan menjadi lebih negatif dengan dampak yang lebih tinggi. Kondisi sedimen diklasifikasikan berdasarkan penurunan oksigen sedimen yaitu kondisi normal (>+ 100 mV), kondisi oksigen rendah (0 – 100 mV) dan kondisi tanpa oksigen (<100 mV) (Sather et al, 2006.). Berdasarkan hal tersebut maka sebagian besar stasiun menunjukkan bahwa sedimen pada musim hujan dan musim kemarau berada pada kondisi tanpa oksigen. Karbon Organik Nilai rerata persentase bahan organik sedimen di perairan Teluk Labuange pada musim hujan adalah 1,45% dan pada musim kemarau 0,69% (Tabel 2). Bahan organik yang berasal dari kegiatan budidaya udang terutama berasal dari sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh udang (Briggs & Funge-Smith, 1994; Funge-Smith & Briggs, 1998). Sisa pakan tersebut akan berperan dalam
189
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 3. Konsentrasi potensial redoks di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai peningkatan konsentrasi nitrogen dalam sedimen. Nitrogen dalam sedimen juga dapat berasal dari penyerapan nitrogen oleh alga bentik dan bakteri nitrifikasi (Christensen et al., 2000). Jones-Lee & Lee (2005), mengatakan bahwa bahan organik karbon berukuran 0,3–3 mgC/L pada perairan pantai, ditemukan sebagai hasil peningkatan aktivitas fitoplankton dan polusi dari daratan. Berdasarkan hasil analisa uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi karbon organik antara musim hujan dan musim kemarau. Karbon organik yang terkandung dalam sedimen laut berasal dari darat dengan konsentrasi yang berbeda berdasarkan posisi sedimen yaitu 60% pada daerah paparan, 30% pada daerah kemiringan dan 15% pada daerah sedimen basin (Prahl et al., 1994). Total organik karbon dalam sedimen semakin menigkat dengan peningkatan konsentrasi partikel halus yang terendapkan dalam sedimen dan menurun dengan meningkatnya fraksi kasar (pasir) (Chakraborty et al., 2014). Potensi racun yang lebih tinggi dapat dikaitkan dengan kandungan karbon organik sedimen (Vethaak et al., 2016).
Gambar 4. Konsentrasi karbon organik di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai Bahan Organik Bahan organik dalam sedimen merupakan sumber makanan penting bagi bagi fauna bentik, namun konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kekayaan spesias, kelimpahan dan biomassa karena terjadi kehilangan oksigen dan penumpukkan racun (ammonia dan sulfide) (Hyland et al., 2005). Nilai rerata bahan organik di dalam sedimen di perairan Teluk Labuange pada musim hujan adalah 2.51% dan pada musim kemarau turun menjadi 1.2%. Berdasarkan stasiun, pada musim hujan konsentrasi bahan organik tertinggi terdapat pada stasiun 3, sedangkan berdasarkan jarak dari pantai nilai bahan organik tertinggi berada pada jarak 75 meter dari pantai (Gambar 5). Berdasarkan hasil analisa dengan uji-t menunjukkan terdapat perbedaan konsentrasi bahan organik pada musim hujan dan musim kemarau. Nitrogen Total Nilai rerata total nitrogen dalam sedimen di perairan Teluk Labuange pada musim hujan adalah 0,04% dan 0,07 pada musim kemarau (Tabel 2). Berdasarkan stasiun maka konsentrasi total nitrogen tertinggi berada pada stasiun 10 dan pada musim kemarau pada stasiun 1, sedangkan berdasarkan
Analisa karakteristik sedimen pada musim hujan dan kemarau ..... (Mudian Paena)
190
Gambar 5. Konsentrasi bahan organik di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai jarak dari pantai, konsentrasi total nitrogen tertinggi pada musim hujan terdapat pada jarak 600 meter dan 300 meter dari pantai pada musim kemarau (Gambar 6). Pengkayaan zat hara di lingkungan perairan pada level tertentu memiliki dampak positif, namun pada tingkatan tertentu juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya adalah adanya peningkatan produksi fitoplankton dan total produksi ikan (Jones- Lee & Lee, 2005; Gypens et al., 2009) sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya penurunan kandungan oksigen di perairan, penurunan biodiversitas dan terkadang memperbesar potensi muncul dan berkembangnya jenis fitoplankton berbahaya yang lebih umum dikenal dengan istilah Harmful Algal Blooms atau HABs (Howart et al., 2000; Gypens et al., 2009). Zat hara yang umum menjadi fokus perhatian di lingkungan perairan adalah fosfor dan nitrogen. Kedua unsur ini memiliki peran vital bagi pertumbuhan fitoplankton atau alga yang biasa digunakan sebagai indikator kualitas air dan tingkat kesuburan suatu perairan (Howart et al., 2000). Nitrogen dan fosfor di dalam sistem perairan ada dalam berbagai bentuk, namun hanya beberapa saja yang dapat dimanfaatkan oleh alga dan tumbuhan air. Untuk nitrogen, beberapa yang dapat dimanfaatkan adalah nitrit dan nitrat, sementara untuk fosfor berupa senyawa orto fosfat (Jones-Lee & Lee, 2005). Hasil analisa uji-t terhadap total-N menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan anatar total-N pada musim hujan dan musim kemarau.
Gambar 6. Konsentrasi total nitrogen di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai Fosfat Nilai rerata fosfor di dalam sedimen di perairan Teluk Labuange pada musim hujan sebesar 2,.63 dan musim kemarau 45,5 mg/L (Tabel 2). Konsentrasi fosfat tertinggi pada musim hjan terdapat pada stasiun 10 dan pada jarak 300 meter dari pantai, sedangkan pada musim kemarau konsentrasi fosfat terdapat pada stasiun 14 dan pada jarak 300 meter dari pantai (Gambar 7). Limbah kegiatan budidaya perikanan terdekompisit di dalam sedimen (Karakassis et al., 1998). Hal ini disebabkan karena fosfat terikat melalui mekanisme penyerapan fosfor yang rumit baik terhadap fosfor organik maupun inorganik (Jørgensen, 1996; Braskerund, 2002). Konsentrasi total fosfor di dalam sedimen juga dipengaruhi oleh pH di mana Wang et al. (2006) melaporkan bahwa ketika pH meningkat dari 2 menjadi 8, sejumlah kecil fosfor sedimen dilepaskan ke perairan dan semakin kecil jumlah pelepasan fosfor ketika pH meningkat dari 8 hingga 12. Dalam penelitian ini, nilai pH masih dalam kisaran yang belum menstimulasi flux fosfor dari sedimen ke badan air. Hasil analisa dengan uji-t menunjukan
191
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 7. Konsentrasi fosfat di perairan Teluk Labuange pada musim hujan dan musim kemarau berdasarkan stasiun dan jarak dari pantai bahwa terdapat perbedaan konsentrasi fosfat antara musim hujan dan musim kemarau. KESIMPULAN Fluktuasi karakteristik sedimen di perairan Teluk Labunange yang dipengaruhi oleh musim adalah pH, karbon organik, bahan organik dan fosfat, sedangkan karakteristik sedimen yang tidak terpengaruh oleh perubahan musim adalah potensial redoks dan total nitrogen. DAFTAR ACUAN Avnimelech, Y. (2000). Nitrogen control and protein recycling: activated suspension ponds. Advocate, 3(2), 23-24. Chakraborty, P., Sharma, B., Babu, P.R., Yao, K.M., & Jaychandran, S. (2014). Impact of total organic carbon (in sediments) and dissolved organic carbon (in overlying water column) on Hg sequestration by coastal sediments from the central east coast of India. Marine pollution bulletin, 79(1), 342-347. Folke, C., & Kautsky, N. (1992). Aquaculture with its environment: prospects for sustainability. Ocean & coastal management, 17(1), 5-24. Gypens, N., Borges, A.V., & Lancelot, C. (2009). Effect of eutrophication on air–sea CO2 fluxes in the coastal Southern North Sea: a model study of the past 50 years. Global Change Biology, 15: 1040– 1056. Hyland, J., Balthis, L., Karakassis, I., Magni, P., Petrov, A., Shine, J., & Warwick, R. (2005). Organic carbon content of sediments as an indicator of stress in the marine benthos. Marine Ecology Progress Series, 295, 91-103. Howarth, R., Anderson, D., Cloern, J., Elfring, C., Hopkinson, C., Lapointe, B., Malone, T., Marcus, N., McGlathery, K., Sharpley, A., & Walker D. (2000). Islam, M.S. (2005). Nitrogen and phosphorus budget in coastal and marine cage aquaculture and impacts of effluent loading on ecosystem: review and analysis towards model development. Marine Pollution Bulletin, 50(1), 48-61. Jones-Lee, A., & Lee, G.F. (2005). Eutrophication (Excessive Fertilization).Water Encyclopedia: Surface and Agricultural Water. Wiley, Hoboken, NJ. p 107-114. Jurado, E., Jaward, F., Lohmann, R., Jones, K. C., Simó, R., & Dachs, J. (2005). Wet deposition of persistent organic pollutants to the global oceans. Environmental Science & Technology, 39(8), 24262435. McDonald, M.., Tikkanen, C. A., Axler, R.P., Larsen, C.P., & Host, G. (1996). Fish simulation culture model (FIS-C): a bioenergetics based model for aquacultural wasteload application. Aquacultural Engineering, 15(4), 243-259. Olsen, C.F., Cutshall, N.H., & Larsen, I.L. (1982). Pollutant—particle associations and dynamics in coastal marine environments: a review. Marine Chemistry, 11(6), 501-533. Prahl, F.G., Ertel, J.R., Goni, M.A., Sparrow, M.A., & Eversmeyer, B. (1994). Terrestrial organic carbon contributions to sediments on the Washington margin. Geochimica et Cosmochimica Acta, 58(14), 3035-3048. Rifardi. (2008). Tekstur Sedimen, Sampling dan Analisis. Pekanbaru: Unri Press. 101 halaman
Analisa karakteristik sedimen pada musim hujan dan kemarau ..... (Mudian Paena)
192
Sather, P.J., Ikonomou, M.G, & Haya, K. (2006). Occurrence of persisten organic pollutan in sediments collected near fish farm sites. Aquacultural, Vol 254 NOS. Seymour, E. A., & Bergheim, A. (1991). Towards a reduction of pollution from intensive aquaculture with reference to the farming of salmonids in Norway. Aquacultural Engineering, 10(2), 73-88. Simpson S.L., Batley, G.E., Chariton, A.A., Stauber, J.L., King, C.K., Chapman, J.C., Hyne, R.V., Gale, S.S., Roach, A.C., & Maher, W.A. (2005). Handbook for Sediment Quality Assessment. Environmental TRUST. 126 hal. Vethaak, A.D., Hamers, T., Martínez-Gómez, C., Kamstra, J. H., de Weert, J., Leonards, P. E., & Smedes, F. (2016). Toxicity profiling of marine surface sediments: A case study using rapid screening bioassays of exhaustive total extracts, elutriates and passive sampler extracts. Marine environmental research. Wetzel, R.G. (2001). Limnology. 3 th Ed.W.B. Sounders College Company Publishing, Philadelphia, London, 743 p.