177
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
OPSI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI AKUAKULTUR: STUDI KASUS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SUPER INTENSIF BUDIDAYA TAMBAK DI KABUPATEN BARRU, SULAWESI SELATAN Andi Indra Jaya Asaad, Ruzkiah Asaf, dan Hasnawi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian tentang pengembangan teknologi super intensif budidaya tambak telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015 di Kabupaten Barru. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan opsi kebijakan bagi pemerintah daerah dalam pengembangan teknologi akuakultur terkini yaitu budidaya udang dengan teknologi super intensif. Metodologi penelitian berupa survai lapangan dan wawancara terstruktur dengan aktor utama yang terkait dengan akuakultur. Selain itu dilakukan studi literatur khususnya dokumen kebijakan daerah terkait akuakultur. Kuisioner dan analisis data dilakukan dengan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi ini telah berkembang baik di Kabupaten Barru, bahkan tergolong daerah yang pertama membuka ruang untuk aplikasi teknologi tersebut. Terdapat sembilan rumusan kebijakan yang telah disusun berdasarkanhirarki yaitu aspek regulasi, ketersediaan teknologi, kesesuaian lahan, permintaan pasar, sumber daya manusia, infrastruktur, aspek anggaran/modal, sarana produksi dan rekayasa tambak. Prioritas utama yaitu perumusan regulasi yang mengatur standar teknologi dan zona wilayah pengembangan teknologi. KATA KUNCI:
teknologi akuakultur, super intensif, kebijakan, Analytic Hierarchy Process
PENDAHULUAN Perkembangan inovasi dalam budidaya udang di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi akuakultur udang vaname di tambak sudah mengarah pada pemanfaatan media budidaya minimum dengan kepadatan sangat tinggi. Teknologi ini disebut teknologi super intensif. Inovasi ini diinisiasi oleh Dr. Hasanuddin Atjo, seorang birokrat dan sekaligus sebagai praktisi budidaya. Dukungan teknologi secara komprehensif dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros sebagai upaya memperkaya kajian ilmiah dan tingkat kesiapan teknologi untuk aplikasi secara luas. Menurut Atjo (2014), bahwa teknologi supra intensif (pada referensi lain disebut super intensif) merupakan suatu strategi mengoptimalkan kinerja sistem budidaya (sub sistem benih, sarana prasarana, kesehatan lingkungan, teknologi dan usaha) untuk menghasilkan produktivitas yang optimal. Dalam siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (Anonim, 2014) disampaikan bahwa teknologi ini diyakini sebagai salah satu terobosan teknologi berdasarkan prinsip blue economy dimana produksi dapat ditingkatkan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan yang lestari.Salah satu penerapan teknologi ini adalah di Kabupaten Barru dengan capaian produksi 153 ton per hektar. Perkembangan teknologi super intensif tidak terlepas dari kebutuhan untuk memenuhi permintaan pangan dunia secara umum. Kebutuhan meningkat dikarenakan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Hal ini senada dengan alarm yang dikemukakan oleh Paul Ehrich sekitar 30 tahun yang lalu bahwa akan terjadi bom populasi yang menjadi permasalahan bagi dunia mendatang. Pertambahan penduduk yang pesat yang diperkirakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 2050 mencapai 8,9 miliar orang dan pada tahun 2200 akan menjadi 11 miliar orang (PP, 2003 dalam Tuwo, 2013). Beberapa referensi melaporkan fakta bahwa sekitar 2,6 miliar orang bergantung pada konsumsi ikan untuk pemenuhan protein. Dengan demikian diperkirakan sekitar 160 juta ton ikan dikonsumsi penduduk dunia (Tucker et al., 2008; UNEP, 2008 dalam Fujaya, 2013; FAO, 2009 dalam Fujaya, 2013). Pemenuhan kebutuhan tersebut membawa konsekuensi peningkatan produksi pangan.
Opsi kebijakan pengembangan teknologi akuakultur..... (Andi Indra Jaya Asaad)
178
Dalam dunia akuakultur, teknologi super intensif dipandang sebagai suatu orientasi sistem budidaya masa depan dengan ciri volume wadah budidaya kecil, padat penebaran tinggi, produktivitas tinggi, beban limbah minimal dan daya saing produk yang tinggi (Rachman Syah, 2014). Pada prinsipnya ruang lingkup teknologi ini dapat diterapkan pada semua sumber air yaitu tawar, payau dan laut. Namun saat ini, perkembangan signifikan dilakukan di tambak-tambak pesisir dengan sumber air utama yaitu air laut. Di Sulawesi Selatan, perkembangan teknologi ini cukup pesat. Inisiasi awal dilakukan oleh inisiator teknologi ini dengan melakukan budidaya di Kabupaten Barru sekitar tahun 2010-sampai sekarang. Perkembangan selanjutnya dilakukan di Kabupaten Takalar dalam kerangka penelitian teknologi super intensif pada tahun 2013 sampai sekarang. Pada tahun 2015, pengusaha di Kabupaten Pinrang juga telah memulai budidaya teknologi super intensif dengan memanfaatkan unit hatchery yang dikonstruksi menjadi media budidaya untuk teknologi ini. Sebagaimana terdapat dalam paradoks pembangunan, maka dalam pengembangan teknologi ini, permasalahan juga muncul sebagai konsekuensi dari peluang potensinya. Secara umum, permasalahan dapat dikelompokkan menjadi aspek sumber daya manusia (man), aspek sumber daya dan material (material), dan aspek modal/anggaran (money).Pada aspek sumberdaya manusia, permasalahan yang muncul yaitu kapasitas pengelola tambak dalam menjalankan teknologi ini, bukan hanya pada aspek pembesaran tetapi juga meliputi aspek pengolahan limbah. Pada aspek input-output produksi, beberapa hal penting seperti faktor konstruksi, manajemen benur, pakan, kualitas air dan output berupa limbah budidaya dapat menjadi permasalahan jika tidak diketahui penerapan teknologinya. Aspek modal juga menjadi hal penting dalam penerapan teknologi ini karena memerlukan modal berupa biaya konstruksi dan operasional yang besar. Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan fakta perkembangan cukup pesat di Kabupaten Barru, maka perlu adanya suatu analisis kebijakan pengembangan teknologi super intensif untuk merumuskan pilihan kebijakan dan program kegiatan yang bermanfaat bagi pemerintah daerah, sehingga dapat menjadi rujukan untuk mengatur dan mengelola perkembangan teknologi tersebut sejalan dengan pengembangan kegiatan akuakultur lainnya. Hasil penelitian ini dapat menjadi terobosan dalam mengkaji perkembangan teknologi akuakultur pada suatu daerah. Hasil ini sebagai suatu studi kasus di Kabupaten Barru tidak dapat serta merta diterapkan di daerah lain karena adanya karakteristik dan penciri khusus pada setiap daerah. BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan pada bulan Mei – Juli 2015. Metode penelitian berupa survei lapangan dan wawancara terstruktur dengan aktor utama yang terkait dengan akuakultur. Struktur pertanyaan atau kuisioner disusun berdasarkan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP)yang terkait dengan penilaian “pairwise” merujuk pada kuisioner yang disusun oleh Mustafa (2012). Selain itu dilakukan triangulasi data melalui observasi lapangan. Studi literatur dikhususkan pada dokumen kebijakan pembangunan dan perikanan Pemkab Barru yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Penentuan responden dilakukan secara purposive yaitu berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) Keterkaitan personal/institusi dengan tujuan penelitian; (2) Mempunyai expertise/keahlian dan experience/pengalaman yang berhubungan dengan tujuan penelitian; (3) Mempunyai peranan dalam kegiatan pertanian/lingkungan secara umum dan kegiatan perikanan secara khusus. Responden yang telah memenuhi kriteria tersebut dan menjadi aktor dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 responden dengan sebaran institusi : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barru (satu responden); Kantor Lingkungan Hidup (satu responden); Badan Ketahanan Pangan (satu responden); Badan Dinas Koperasi dan Perindustrian (satu responden); pengusaha hatcheri (satu responden); Penyuluh (satu responden); Dinas Kelautan dan Perikanan (dua responden); Bappeda (satu responden); pengusaha tambak super intensif (satu responden). Tahapan analisis data berdasarkan prinsip dalam AHP yaitu decomposition, comparative judgment, synthesis of priority, dan logical consistency (Saaty, 1993). Pada tahap decomposition, diuraikan suatu
179
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
masalah menjadi unsur-unsur yang lebih operasional seperti penyusunan kriteria, sub kriteria, dan alternatif. Pada tahap comparative judgment responden diminta untuk memberi penilaian obyektif dari masing-masing pilihan berpasangan yang dibandingkan (pairwise comparison). Teknik perbandingan berpasangan ini berdasarkan Saaty (1993) yang bertujuan untuk membandingkan antara elemen satu dengan elemen yang lainnya dalam satu tingkat hirarki secara berpasangan sehingga diperoleh nilai kepentingan dari masing-masing elemen. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot pada setiap elemen yang dibandingkan dengan hasil wawancara langsung dengan responden. Skala penilaian (Tabel 1) merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Saaty (1993) dan Mendoza et al., (2006). Tabel 1. Skala pengukuran relatif Intensitas dari kepentingan Definisi pada skala absolut 1 sama pentingnya
Penjelasan Kedua aktivitas menyumbangkan sama pada tujuan Pengalaman dan keputusan menunjukkan sedikit kesukaan/preferensi atas satu aktivitas lebih dari yang lain Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan/preferensi atas satu aktivitas lebih dari yang lain
3
agak lebih penting yang satu atas lainnya
5
cukup penting
7
sangat penting
Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan yang kuat atas satu aktivitas lebih dari yang lain
9
kepentingan yang ekstrim
Bukti menyukai satu aktivitas atas yang lain sangat kuat Bila kompromi dibutuhkan
2,4,6,8 berbalikan
rasio
nilai tengah di antara dua nilai keputusan yang berdekatan jika aktivitas i mempunyai nilai yang lebih tinggi dari aktivitas j maka j mempunyai nilai berbalikan ketika dibandingkan dengan i rasio yang didapat langsung dari pengukuran
Pada tahap synthesis of priority dilakukan pembobotan dari matriks berpasangan (pairwise) menggunakan metode eigenvalue, sedangkan pada tahap logical consistencyuntuk mendapatkan konsistensi dari obyek berdasarkan keseragaman dan relevansi. Selain itu dapat berdasarkan tingkat hubungan antar obyek berdasarkan kriteria tertentu. Perangkat lunak Expert Choice 11 digunakan dalam analisis data untuk mendapatkan informasi tentang bobot dan prioritas masing-masing faktor, sasaran dan alternatif. Selain itu didapatkan pula informasi mengenai nilai inkonsistensi yang menjadi asumsi yang harus dipenuhi dalam AHP. Menurut Mendoza et al. (2006) bahwa nilai rasio konsistensi yang diterima apabila < 0,1.
Opsi kebijakan pengembangan teknologi akuakultur..... (Andi Indra Jaya Asaad)
180
HASIL DAN BAHASAN Perkembangan budidaya udang vaname dengan teknologi super intensif di Kabupaten Barru berkembang cukup pesat dan masih beroperasi sampai saat ini. Terdapat dua industri tambak dengan teknologi tersebut yang beroperasi di perairan pesisir Barru. Peningkatan produksi udang vaname di Kabupaten ini salah satunya merupakan kontribusi dari industri tambak teknologi super intensif. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru (2014) menyampaikan bahwa peningkatan produksi udang vaname dari tahun 2011 – 2013 sebesar 320% dimana pada tahun 2011 diperoleh produksi 539,4 ton dan pada tahun 2013 diperoleh produksi sebesar 2420 ton. Tingginya produksi tersebut juga berasal dari unit usaha budidaya skala masyarakat dengan teknologi tradisional, tradisional plus dan beberapa mengaplikasikan teknologi semi intensif. Karakteristik kegiatan akuakultur di Kabupaten Barru termasuk kegiatan multi user. Hal ini terlihat dari beragamnya kegiatan akuakultur yang menggunakan perairan pesisir Barru sebagai sumber utama air untuk kegiatan operasional. Beragam kegiatan mulai dari pembenihan hingga pembesaran dengan berbagai skala produksi dapat ditemukan di Kabupaten Barru. Secara administratif, pada Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru (2014) tercatat5 (lima) kecamatan yang merupakan daerah pesisir sedangkan dua Kecamatan merupakan daerah pegunungan. Di wilayah Kecamatan yang berada di pesisir telah dikembangkan budidaya laut dan budidaya air payau dengan komoditas budidaya berupa udang windu, udang vannamei, bandeng, rumput laut, kerapu tikus, kakap merah, baronang, lobster, kerang mutiara, nila, dan sebagainya. Hal ini memberikan gambaran tentang kompleksitas pemanfaatan pesisir Barru untuk kegiatan akuakultur, belum termasuk kegiatan perikanan tangkap. Oleh karena itu, strategi pengelolaan kegiatan akuakultur dalam kerangka akuakultur berkelanjutan perlu dirumuskan secara bersama untuk meminimalkan potensi dampak negatif yang dapat terjadi, baik dari segi lingkungan maupun sosial masyarakat. Beberapa penelitian untuk pengambilan keputusan dengan pendekatan AHP telah dilakukan seperti pada wilayah dengan pemanfaatan tinggi (multi use) di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu oleh Noor (2003) yang menunjukkan bahwa pendekatan AHP memberikan opsi pengembangan yang optimal terhadap kawasan tersebut, yaitu adanya integrasi kegiatan konservasi, pariwisata, dan budidaya laut/marikultur. Selain itu, Hadipour et al. (2015) juga menggunakan pendekatan AHP untuk mengevaluasi kesesuaian lahan tambak di Hormozgan, Iran. Dalam laporan tersebut, pendekatan AHP menunjukkan pendekatan yang efektif bagi perencana pengembangan kawasan budidaya. Dalam kerangka pengembangan teknologi super intensif dengan pendekatan AHP, maka perumusan struktur hirarki terdiri dari empat bagian besar, yaitu Fokus – Faktor – Sasaran – Alternatif. Fokus atau tujuan (goal) yang ditetapkan adalah pengembangan teknologi budidaya udang super intensif. Selanjutnya ditetapkan faktor-faktor yang dianggap penting untuk mencapai fokus/goal yaitu : (1) ketersediaan teknologi; (2) kesesuaian lahan; (3) aspek permintaan pasar; (4) dukungan modal; (5) dukungan regulasi; (6) ketersediaan infrastruktur; (7) Sarana produksi; (8) Aspek rekayasa tambak; (9) aspek sumberdaya manusia. Selanjutnya masing-masing faktor kunci tersebut mempunyai sasaran yang bersifat spesifik. Tampilan hirarki Fokus-Faktor-Sasaran-Alternatif dapat dilihat pada Gambar 1. Pada hirarki yang tertera pada Gambar 1 memberikan gambaran yang jelas untuk tahap decomposition yaitu menguraikan tujuan menjadi unsur-unsur operasional. Uraian tersebut selanjutnya dinilai oleh aktor berdasarkan penilaian berpasangan (pairwise). Kombinasi faktor-faktor yang terkait dengan fokus atau tujuan menjadi opsi kebijakan yang nantinya disusun berdasarkan nilai bobot. Selain itu, faktor-faktor tersebut dihubungkan dengan sasaran yang diharapkan terkait dengan fokus yaitu pengembangan teknologi super intensif. Setiap sasaran tersebut terdapat alternatif kegiatan yang disesuaikan dengan masing-masing sasaran. Alternatif kegiatan ini sudah bersifat teknis yang dapat disusun program pelaksanaannya. Secara umum terdapat sembilan alternatif kegiatan yang dapat diinisiasi sebagai bentuk implementasi kebijakan pengembangan kawasan budidaya yaitu: (1) pelatihan dan percontohan teknologi super intensif; (2) pengembangan kawasan budidaya ramah lingkungan; (3) pengembangan hatchery; (4) rekonstruksi tambak untuk teknologi super intensif; (5) pengembangan distribusi hasil budidaya; (6) koordinasi antar instansi terkait; (7) pembangunan infrastruktur; (8) skema pinjaman modal; (9) penyediaan sarana produksi untuk teknologi super intensif.
181
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016 Fokus
Faktor
Gambar 1.
Sasaran
Alternatif
Tampilan hirarki (left-right) penentuan strategi pengembangan budidaya udang vaname teknologi super intensif di Kabupaten Barru (Fokus – Faktor – Sasaran – Alternatif)
Pada Gambar 2, dapat dilihat nilai bobot faktor terhadap fokus (goal) untuk penetapan strategi pengembangan teknologi super intensif di Kabupaten Barru. Pembobotan tersebut didapatkan dari perhitungan keseluruhan input setiap responden (disebut combined). Matriks hasil gabungan (combined) dari input masing-masing responden disajikan pada Gambar 3. Hasil pada Gambar 2 dan 3 menunjukkan nilai inconsistency sebesar 0,01. Hal ini berarti < dari 0,1 sehingga analisa dapat
Gambar 2. Pembobotan faktor terhadap fokus (goal) pengembangan teknologi super intensif di Kabupaten Barru
Opsi kebijakan pengembangan teknologi akuakultur..... (Andi Indra Jaya Asaad)
182
Gambar 3. Matriks pembobotan gabungan (combined) faktor-faktor terkait dengan fokus (goal) Kabupaten Barru diterima. Nilai inkonsistensi menunjukkan tingkat akurasi suatu pendapat terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki. Sembilan faktor tersebut merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam strategi pengembangan teknologi super intensif. Berdasarkan analisis hirarki, didapatkan susunan/hirarki prioritas dari faktor yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Faktor dukungan regulasi dinilai sangat prioritas untuk menjadi strategi utama di Kabupaten Barru. Hal ini ternyata sangat terkait dengan fakta lapangan bahwa permasalahan belum adanya regulasi utuh dan khusus mengenai operasional tambak dengan teknologi super intensif. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa tambak di Kabupaten ini yang sudah menggunakan teknologi super intensif secara parsial, namun belum seutuhnya mengadopsi teknologi pengolahan limbah budidaya. Oleh karena itu, faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam strategi pengembangan tambak super intensif di Kabupaten Barru adalah penyusunan regulasi terkait operasional teknologi tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Asaad et al. (2014) yang menggunakan pendekatan Global Aquaculture Alliance (GAA) untuk menilai kinerja industri akuakultur yang mengaplikasikan teknologi super intensif di Kabupaten Barru bahwa penerapan pada industri tersebut masih pada tingkat rendah dan menengah. Perbaikan yang diperlukan untuk memenuhi standar adalah perbaikan pada variabel pengelolaan buangan limbah air, pengelolaan sedimen, gudang dan pembuangan sampah, pengeloaan bahan kimia dan obat-obatan. Tentunya, penyusunan regulasi bukan berarti menghambat tambak yang sudah beroperasi sebelumnya, namun lebih pada penataan dan pengaplikasian teknologi super intensif secara utuh. Hal ini terkait dengan faktor penting kedua yaitu ketersediaan teknologi. Makna faktor ini yaitu teknologi super intensif yang telah ada dan dikaji perlu diimplementasikan dengan lengkap dan hasil-hasil kajian tersebut dapat menjadi landasan naskah akademik penyusunan regulasi. Rachman Syah et al. (2014 mengemukakan salah satu hal penting dalam budidaya udang vaname teknologi super intensif yaitu adanya penerapan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). IPAL ini merupakan satu kesatuan dalam sistem budidaya yang bertujuan untuk menurunkan konsentrasi beban limbah tambak yang terbuang ke lingkungan perairan. Sistem yang utuh ini akanmeningkatkan daya dukung perairan bagi pengembangan tambak superintensif yang berkelanjutan. Alternatif kegiatan yang secara nyata dapat dilakukan berdasarkan analisis hirarki yaitu perlunya menetapkan dan mengembangkan kawasan budidaya yang ramah lingkungan dan melakukan
183
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 4. Pembobotan alternatif program/kegiatan untuk pengembangan teknologi super intensif di Kabupaten Barru pelatihan dan percontohan penerapan teknologi secara utuh (mulai dari input air bersih hingga output pengolahan limbah budidaya). Hal ini tergambar dalam output analisis pada Gambar 4. Berdasarkan output analisis pada Gambar 4, dapat dijelaskan bahwa perkembangan budidaya dengan teknologi super intensif secara cukup masif di Kabupaten Barru dikhawatirkan dapat menjadi permasalahan bagi kegiatan akuakultur lainnya yang juga berkembang di Barru, seperti budidaya mutiara, rumput laut, unit hatcheri dan kegiatan penangkapan ikan. Dalam strategi pengembangan, perlu adanya pengembangan dan penataan kawasan budidaya yang ramah lingkungan. Hal ini mengimplikasikan adanya kegiatan budidaya yang saling terkait secara ekologis (ecological supply chain). Rantai suplai secara ekologis bermakna tentang fungsi ekologis perlu dipertimbangkan jika akan dilakukan suatu usaha budidaya, termasuk budidaya super intensif. Pendekatan prinsip-prinsip ekologi dalam setiap aktivitas pada ekosistem pesisir sangat perlu dikaji karena makna penting dari sistem ekologi yaitu aliran energi dan pendauran nutrien (materi) oleh organisme hidup (Tuwo, 2011). Keseimbangan ketiga makna tersebut akan memberi arah pada prinsip keberlanjutan (sustainable) yang memang telah menjadi prasyarat setiap aktivitas pembangunan. Studi tentang ekologi memerlukan pemahaman tentang biologi karena organisme tidak dapat hidup sebagai unit yang terisolasi, dimana aktivitas organisme sangat bergantung dan dapat dikatakan dikontrol oleh lingkungan eksternalnya, seperti kondisi fisik dan kimia dimana organisme tersebut berada, dan populasi organisme lainnya yang saling berinteraksi. Di sisi lain, aktivitas organisme mempunyai dampak terhadap lingkungannya juga dalam berbagai interaksi, sehingga suatu organisme dapat eksis sebagai bagian dari entitas yang kompleks dari hubungan komponen abiotik dan biotik (disebut dengan istilah ekosistem) (Tait & Dipper, 1998). Salah satu implementasi kegiatan terkait dengan alternatif utama ini adalah penerapan “Integrated Multi Trophic Aquaculture” (IMTA). KESIMPULAN Penyusunan regulasi yang operasional di tingkat pemerintah daerah Kabupaten Barru diperlukan dalam pengembangan teknologi akuakultur berupa budidaya udang vaname dengan teknologi super intensif. Aktor di Kabupaten Barru menilai kebijakan yang perlu diambil dalam rangka penataan pengembangan teknologi super intensif berupa dukungan regulasi untuk penerapan teknologi tersebut secara utuh yang meliputi aspek pengolahan limbah. Opsi kebijakan ini dapat sejalan dengan pilihan alternatif program/kegiatan berupa pengembangan kawasan budidaya yang ramah lingkungan. Hirarki opsi kebijakan dan alternatif program/kegiatan dari studi ini menunjukkan bahwa para aktor menilai perlu adanya integrasi antara kegiatan akuakultur yang telah ada dengan pengembangan teknologi super intensif dengan mengadopsi hasil study atau contoh penerapan teknologi ini secara utuh dan terintegrasi.
Opsi kebijakan pengembangan teknologi akuakultur..... (Andi Indra Jaya Asaad)
184
DAFTAR ACUAN Anonim. (2014). Siaran Pers Kementerian Kelautan dan Perikanan nomor : 21/PDSI/HM.310/II/2014. KKP Kembangkan Budidaya Udang Supra Intensif. Diakses dari http://www.kkp.go.id/index.php/ arsip/c/10445/KKP-Kembangkan-Budidaya-Udang-Supra-Intensif/. Asaad, A. I.Jaya., Mudian, P.M., & Chaidir, U. (2014). Penilaian Standar Cara Budidaya Yang Baik Pada Usaha Tambak Super Intensif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014. 15 hal. Atjo, H. (2014). Kajian Teknis Budidaya Udang Vaname Supra Intensif. Paparan Keynote Speaker dalam Forum Inovasi Akuakultur VI, Bandung 6 – 8 Mei 2014. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru. (2014). Profil Perikanan Budidaya Kabupaten Barru. 7 hal. Fujaya, Y. (2013). Teknologi Reproduksi Dalam Perspektif Pembangunan Perikanan Bertanggung Jawab dan Berkelanjutan. Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia (Gagasan dan Pemikiran Guru Besar Universitas Hasanuddin). Editor : Andi Iqbal Burhanuddin, HM. Natsir Nessa, Andi Niartiningsih. IPB Press. Bogor. Hadipour, A., Freydoon, V., & Vahid, H.. (2015). Land suitability evaluation for brackish water aquaculture development in coastal area of Hormozgan, Iran. Journal of Aquaculture International. February 2015, Volume 23, Issue 1, pp 329-343. Mendoza, G.A., Macoun, P., Prabhu, R., Sukadri, D., Purnomo., & Hartanto, H. (2006). Panduan Untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan Indikator. Centre for International Forestry Research (CIFOR), Jakarta. 77 hal. Mustafa, A. (2012). Daftar pertanyaan atau kuisioner untuk penentuan prioritas kebijakan pengembangan budidaya tambak dengan analytic hierarchy process (AHP). Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. 9 hlm. Noor, Ariadi. 2003. Analisis Kebijakan Pengembangan Marikultur di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Dki Jakarta. Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. 209 hal. Rachman Syah. (2014). Estimasi Beban Limbah dan Sistem Pengelolaannya Pada Budidaya Udang Vaname Super Intensif. Paparan Keynote Speaker dalam Forum Inovasi Akuakultur VI, Bandung 6 – 8 Mei 2014. Rachman Syah., Makmur, Muhammad Chaidir Undu. (2014). Estimasi Beban Limbah Nutrien Pakan Dan Daya Dukung Kawasan Pesisir Untuk Tambak Udang Vaname Superintensif. Jurnal Riset Akuakultur Vol. 9 No. 3 Tahun 2014, 439-448. Saaty, T. (1993). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin : Proses Hirarki Analisis Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks (terjemahan dari judul Decision Making for leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World). PT. Gramedia. Jakarta. 270 hal. Tait, R.V., & Dipper, F.A.. (1998). Element of Marine Ecology. Fourth Edition. Butterworth-Heinemann. Great Britain. Tucker, Craig S., John A. Hargreaves, Claude E. Boyd. 2008. Aquaculture and The Environment in The United States. In Environmental Best Management Practices for Aquaculture Edited by Craig S. Tucker, John A. Hagreaves. Wiley-Blackwell publishing. USA. Tuwo, A. (2013). Pendekatan Ekologis dalam Pengelolaan Simber Daya Pesisir dan Laut (Gagasan dan Pemikiran Guru Besar Universitas Hasanuddin). Editor : Andi Iqbal Burhanuddin, HM. Natsir Nessa, Andi Niartiningsih. IPB Press. Bogor. Tuwo, A. (2011). Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brillian Internasional. Surabaya.