617
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
DAMPAK PERUBAHAN USAHA PEMBUATAN GARAMAN KE BUDIDAYA RUMPUT LAUT MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN MAROS DAN JENEPONTO, SULAWESI SELATAN (Studi Kasus Perubahan Usaha Penggaraman ke Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Maros dan Jeneponto, Sulawesi Selatan) Nur Ansari Rangka dan Markus Mangampa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Visi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015 dalam mencapai target Indonesia sebagai produsen terbesar dunia, dengan menargetkan produksi rumput laut hingga 10 juta ton tahun 2014. Produksi garam Indonesia tahun 2014 sebanyak 1,4 juta ton dan impor sekitar 1,4 juta ton; meskipun produksi garam Indonesia melebihi kebutuhan dalam negeri akan tetapi impor garam tetap dilakukan, dan ini membuat harga garam rakyat turun bahkan sebagaian produksi garam rakyat tidak terjual. Keterpurukan kehidupan petani garam mendodrong mencari alternatif lain untuk berusaha. Usaha budidaya rumput laut yang berkembang dengan pesat, menarik minat petani garam untuk mencoba membudidayakan rumput laut di lokasinya, perubahan usaha ini, menjadi tujuan dari penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang dinamika perkembangan aspek usaha, konsumsi, dan pendapatan rumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode survai monitoring dan observasi lapang dengan responden petani garam, lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Maros dan Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, jumlah responden masing-masing lokasi adalah 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pendapatan dan pola konsumsi yang disetarakan dengan kebutuhan minimum rumah tangga petani garam dengan total biaya pengeluaran penggarap, pemilik di Jeneponto antara Rp 1.265.000,-—Rp 2.250.000,-; sedangkan untuk Maros antara Rp 1.750.000,00Rp 3.425.000,00. Pendapatan dari usaha budidaya rumput laut per siklus antara Rp 4.361.500,- dan Rp 8.469.000,- rata-rata keuntungan per siklus Rp 3.200.635,-. Peningkatan pendapatan rata-rata setelah beralih ke rumput laut untuk Kabupaten Maros adalah Rp 613.135,- dan Jeneponto Rp 1.443.135,-. Sedangkan tingkat konsumsi dan pengeluaran yang mengalami peningkatan yaitu di Jeneponto meningkat 102,62% sedangkan di Maros meningkat sebesar 36,09%. Ini menunjukkan bahwa tingkat konsumerisme pada masyarakat petambak garam cukup tinggi. KATA KUNCI:
dampak, usaha penggaraman, budidaya rumput laut, Kabupaten Maros, Kabupaten Jeneponto
PENDAHULUAN Seiring dengan visi pembangunan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia 2015, tentunya garam tercakup di dalamnya. Salah satu sumber daya dan atau komoditas strategis yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah usaha pembuatan garam (fEendi, 2012). Meskipun sebagai negara bahari beriklim tropis dengan dua per tiga wilayahnya laut dan garis pantai mencapai 81.000 km, namun produksi garam Indonesia 2012-2010 sangat rendah hanya 1,4 juta ton per tahun, bahkan di tahun 2010 produksi garam hanya 24.000 ton, kecilnya produksi garam disebabkan karena anomali cuaca di mana pada tahun tersebut hujan sepanjang tahun. Produksi ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri yang pada tahun 2010 mencapai 2,9 juta ton per tahun. Garam merupakan salah satu potret ironis industri di Indonesia, di satu sisi sebagai negara bahari dengan potensi garam, namun di sisi lain garam yang dihasilkan sangat rendah. Kondisi demikian, merupakan salah satu alasan penting betapa perlunya swasembada garam di negara ini (Efendi, 2012). Sampai saat ini kondisi potensial lahan tambak garam yang tersedia sebesar 37.643 ha yang terdiri atas lahan tambak garam yang berproduksi seluas 19.889 ha dan lahan tambak garam yang belum berproduksi seluas 17.774 ha (Statistik perikanan, 2012). Sementara itu, dengan produktivitas garam yang rendah dan kualitas garam yang dihasilkan juga rendah, diperparah lagi dengan harga
Dampak perubahan usaha pembuatan garaman ..... (Nur Ansari Rangka)
618
garam yang tidak stabil menyebabkan petambak garam makin terjepit. Belum lagi dihadapkan dengan masuknya garam impor yang berarti garam lokal harus bersaing dengan garam impor menambah beban petambak garam semakin tidak berdaya karena pendapatan yang diperolehnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada umumnya lokasi tambak garam di Sulawesi Selatan berada di pesisir pantai di mana di lokasi itu juga berkembang uasaha budidaya rumput laut, usaha budidaya rumput yang tidak banyak menuntut padat modal dan teknologi tinggi, mejanjikan harga yang cukup baik, menarik banyak minat petambak garam untuk beralih mata pencaharian secara total ke rumput laut atau mengerjakan kedua-duanya (petambak garam juga sebagai petani rumput laut). Lahan produksi sebagian besar terdapat di Pulau Jawa yang mencapai luas 16.580 ha. Dari luasan tersebut PT Garam memiliki luas lahan 5.190 ha dan 11.390 ha merupakan lahan tambak garam milik rakyat. Sedangkan luas lahan yang terdapat di luar pulau Jawa adalah 3.309 ha, kesemuanya merupakan lahan tambak garam rakyat. Secara kewilayahan, potensi area budidaya rumput laut Sulawesi Selatan meliputi potensi di laut mencakup 250.000 ha dan di tambak sekitar 32.000 ha. Estimasi potensi produksi sebesar 785.306 ton yang terdiri atas Euchema sp. 465.306 ton dan Gracilaria sp. sebesar 320.000 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Data produksi dalam kurun waktu 2005-2008 menunjukkan trend peningkatan produksi rumput laut di Sulawesi Selatan. Bahkan pada tahun 2008, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan mengklaim sebagai produsen rumput laut terbesar secara nasional dengan volume produksi sebesar 640.296 ton. Pada tahun 2005 volume produksi rumput laut mencapai 535.579 ton kemudian meningkat menjadi 561.339 ton pada tahun 2006 dan mencapai 592.565 ton pada tahun 2012 (Harian Fajar, 2012). Secara administratif sentra produksi rumput laut di Sulawesi Selatan khususnya jenis Euchema sp. meliputi daerah inkubator yaitu Kabupaten Takalar dan daerah kluster meliputi Kabupaten Selayar, Bulukumba, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng, Makassar, Pangkep, Barru, Pinrang, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Timur, dan Luwu Utara. Sedangkan untuk jenis Gracilaria sp., sebagai daerah inkubator yaitu Palopo (Inkubator) dan sebagai daerah kluster meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, Takalar, Bulukumba, Sinjai (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Kajian yang dilakukan kaitannya dengan bidang produk kelautan khususnya garam dan rumput laut mencakup aspek usaha, pendapatan rumah tangga, dan tingkat konsumsi. Diharapkan ke depan, hasil kajian ini dapat merupakan data dasar bagi informasi berbagai aspek tentang masyarakat produk kelautan khususnya petambak garam dan rumput laut, yang dapat dijadikan untuk menganalisis dampak pembangunan kelautan dan perikanan, termasuk analisis kebijakan yang bersifat antisipatif dan responsif dalam bidang produk kelautan. Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang dinamika perkembangan aspek usaha, pendapatan rumah tangga, konsumsi dan kelembagaan dalam bidang produk kelautan. METODE PENELITIAN Lokasi dipilih secara purposif dengan pertimbangan di lokasi tersebut terdapat masyarakat atau petani industri garam rakyat yang juga membudidayakan rumput laut yang dilaksanakan sejak bulan April-Oktober 2012. Lokasi riset dilakukan di Jeneponto dan Maros dan merupakan lokasi yang telah ditetapkan sebagai lokasi penelitian bidang produk kelautan. Jumlah responden dipilih sebanyak 40 responden di masing-masing lokasi, yang terdiri atas latar belakang sebagai petani garam dan rumput laut (60%), petani rumput laut saja yang sebelumnya sebagai petani garam (40%). Dengan mengelompokkan berdasarkan status terhadap lahan yaitu pemilik, penggarap (bagi hasil) dan penyewa, dan berdasarkan luas lahan yang diusahakan berkisar antara < 0,5 ha; 0,5-1 ha; dan > 1 ha. penelitian ini menggunakan metode survai dan monitoring, khususnya untuk mengetahui dinamika usaha, pendapatan rumah tangga, konsumsi, dan kelembagaan. Makalah ini disusun dengan menggunakan metode sintesa laporan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Analisis dan interpretasi dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi silang dan deskriptif eksploratif (Mulyana, 2004).
619
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Struktur petambak garam pada dasarnya dikelompokan berdasarkan kepemilikan dan status pengelolaan lahan. Berdasarkan status kepemilikan lahan maka terdapat tiga kelompok yaitu pemilik, penggarap (bagi hasil), dan penyewa. Berdasarkan luas lahan yang diusahakannya berkisar antara < 0,5 ha; 0,5-1 ha; dan > 1 ha. Tabel 1. Karakteristik responden petambak garam di Desa Pallengu, Jeneponto; dan Desa Pate’ne, Maros
Uraian
Desa Nasara’ Palengu, Jeneponto
Desa Pate’ne, Maros
Orang Persentase
Orang Persentase
Usia (tahun) 25-45
23
57,5
15
37
46-50
17
42,5
23
59
> 50
0
0
2
5
Tidak sekolah
5
125
4
10
Tidak tamat SD
6
15
0
0
Tamat SD
14
35
19
46
SLTP
6
15
5
12
SLTA
8
20
10
27
PT/ Akademi
1
2,5
2
5
< 0,5
39
97,5
7
15,3
0,5 – 1
0
0
22
56,4
>1
1
2,5
11
28,2
Pemilik
9
22,5
15
37,5
Penggarap
30
75
10
25
Penyewa
1
2,5
15
37,5
Pendidikan
Luas kepemilikan lahan (ha)
Status kepemilikan lahan
Sumber: Data primer (2012)
Tabel 1, menunjukan bahwa usia petambak garam di dua lokasi berada pada usia produktif, untuk tingkat pendidikan petambak garam di Jeneponto dan di Maros mayoritas hanya tamat SD masing-masing 35% dan 46%, namun di Jeneponto dan Maros ada petambak garam yang telah memiliki pendidikan setingkat Sarjana 2,5% dan 5%; ini memberi petunjuk bahwa usaha garam dapat menarik minat petambak yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Di Jeneponto, luas kepemilikan lahan tambak garam yang diusahakan seluruhnya < 0,5 ha (97,5%); sedangkan di Maros didominasi kepemilikan lahan tambak garam 0,5-1 ha (56,4%); > 1 ha (28,2%) dan kepemilikan lahan tambak garam < 0,5 ha (15,3%). Status kepemilikan lahan di Jeneponto didominasi oleh penggarap (75%), sedangkan di Maros didominasi penyewa (37,5%) dan pemilik (37,5%). Apabila dibandingkan dengan kondisi karakteristik responden tahun lalu (2010) nampaknya tidak banyak mengalami perubahan khususnya menyangkut usia dan tingkat pendidikan, sedangkan luas kepemilikan lahan di dua lokasi juga tidak banyak mengalami perubahan, masih didominasi oleh penggarap.
Dampak perubahan usaha pembuatan garaman ..... (Nur Ansari Rangka)
620
Penguasaan Aset dan Investasi Hasil penelitian menunjukkan penguasaan aset dan investasi pada lahan tambak garam didominasi oleh lahan tambak garam, gudang penyimpanan garam, kincir angin, dan peralatan lainnya untuk proses produksi garam. Penguasaan aset dan besarnya investasi cukup bervariasi tergantung pada luas lahan tambak garam yang digarapnya. Tabel 2. Rata-rata investasi usaha pegaraman di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan Jeneponto Uraian
Penggarap (0,16 ha)
Pemilik (0,19 ha)
Maros
Pemilik dikerjakan penggarap (2,1 ha)
Investasi (Rp) 2.126.455 13.283.095
20.000.000
Penggarap < 0,5 ha
Pemilik Pemilik dikerjakan 0,5-1 ha penggarap > 1 ha
1.799.000 2.679.205
15.699.016
Sumber: Data primer (2012)
Tabel 3. Luas kepemilikan lahan petani tambak garam di Pate’ne, Kecamatan Mandai Kabupaten Maros tahun 2012 2
Luas lahan (m )
Jumlah responden
Persentase
9
28,12
21
65,63
2
6,25
32
100
<.5000 10.000 – 30.000 > 30.000 Jumlah Sumber: Data primer (2012)
Tabel 3, menunjukan bahwa investasi usaha pegaraman antara di Jeneponto dan Maros cukup bervariasi dan lebih tinggi di Jeneponto dibandingkan di Maros, hal ini disebabkan karena adanya masukan unsur lahan tambak garam. Penguasaan aset dalam usaha pegaraman cukup bervariasi antar lokasi di Jeneponto dan Maros. Penguasaan aset daam usaha pegaraman disajikan Tabel 4. Tabel 4. Penguasaan aset petambak garam di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan
Jenis aset
Gudang penyimpanan garam/lontang
Jeneponto
Maros
Milik sendiri Bukan milik (%) sendiri (%)
Lahan < 0,5 Lahan 0,5-1 ha Lahan > 1 ha ha (%) (%) (%)
72,5
27,5
23
27
36
Kincir angin
40
60
45
36
38
Pompa air
2,5
97,5
0
3
4
Guluk/Padengka
70
30
11
10
13
Cangkul
47,5
52,5
0
0
0
Pengkais/kaot-kaot
87,5
12,5
6
4
5
45
55
2
1
1
Sekop garam/Kaloko
77,5
22,5
0
1
0
Keranjang/Kambuti
72,5
27,5
0
1
0
0
0
13
18
2
Garuk/Salaga
Sepeda Sumber: Data primer (2012)
621
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Usaha Tambak Garam Usaha tambak garam tidak memerlukan barang input dalam jumlah banyak seperti pakan dalam bidang perikanan budidaya atau bahan bakar minyak dalam bidang perkanan tangkap. Hasil pengamatan di lapangan sebagian besar input dalam usaha tambak garam merupakan tenaga manusia. Operasional usaha mulai persiapan lahan yaitu perbaikan konstruksi tanah, pemadatan tanah sampai dengan panen mengandalkan tenaga manusia. Biaya variabel dalam operasional usaha hanyalah sewa pompa air itupun tidak semua petambak garam menyewa pompa karena masih memiliki kincir angin. Pompa disewa apabila air laut tidak dapat masuk ke saluran air atau bozem, serta pembelan karung sebagai tempat garam. Namun di Madura khususnya di Desa Pate’ne karung sudah disediakan oleh pedagang yang membeli hasil garam. Komponen variabel lainnya adalah biaya panen, yang merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengangkut hasil panen garam ke tempat penanmpungan sementara atau gudang. Tabel 5. Analisa usaha tambak garam di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan Jeneponto
Maros
Uraian Penggarap Biaya tetap (Rp)
1.121.712 1.201.788 (84,08) (85,67) 212.538 (15,92)
Biaya tidak tetap (Rp) Biaya total (Rp)
Pemilik
219 (15,41)
1.334.250 1.420.788
Lahan < 0,5 ha Lahan 0,5-1 ha Lahan > 1 ha 1.220.433 (72,69)
3.793.148 (86,55)
6.808.020 (98,55)
458.333 (27,30)
589.091 (13,44)
100 (1,45)
1.678.766
4.382.239
6.908.020
-100
-100
-100
-100
-100
Penerimaan (Rp/tahun)
470,909
729,643
0
78,182
84,596
Keuntungan (Rp)
-863,341
-691,145
(1.678.766)
(4.304.057)
(6.823.424)
Sumber: Data primer (2012)
Tabel 5 menunjukkan bahwa petambak garam mengalami kerugian baik di Jeneponto maupun di Maros, kerugian terbesar diderita oleh petambak garam di Maros. Ini disebabkan karena pada tahun lalu tidak ada musim garam disebabkan anomali cuaca hujan sepanjang tahun. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2010, pendapatan petambak garam jauh dari harapan. Ini sebagai bukti bahwa usaha garam sangat bergantung pada musim kemarau. Pendapatan dan Komsumsi Rumah Tangga Petambak Garam Sifat usaha tambak garam yang tidak bisa berlangsung sepanjang tahun sangat berpengaruh terhadap mata pencaharian petambak garam. Petambak garam tidak hanya berusaha sebagai petambak garam tetapi juga bermata pencaharian pada bidang lain baik masih terkait dengan usaha pergaraman atau sama sekali tidak berhubungan dengan usaha pengaraman. Kegiatan usaha yang terkait dengan usaha pengaraman seperti sebagai pengumpul atau buruh angkut garam, sedangkan usaha yang lain seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, warung, tukang ojek (Huda et al., 2010). Sebagaian besar petambak garam baik di Jeneponto maupun di Maros merupakan petambak garam sebagai penggarap yang tidak memiliki lahan tambak sendiri. Status kepemilikan lahan yang bukan milik sendiri menyebabkan rendahnya pendapatan usaha petambak garam karena harus berbagi pendapatan dengan pemilik lahan melalui sistem bagi hasil, di samping itu, karena terbatasnya luas lahan tambak garam yang digarapnya. Rendahnya pendapatan dari usaha tambak garam terasa sekain berat karena tahun 2010 tidak ada aktivitas usaha disebabkan anomali cuaca di mana hujan sepanjang tahun, sehingga petambak garam tidak mempunyai sumber pendapatan dari aktivitas usaha tambak garam. Dalam kondisi tersebut anggota rumah tangga mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan keluarga.
Dampak perubahan usaha pembuatan garaman ..... (Nur Ansari Rangka)
622
Tabel 6. Pendapatan rumah tangga petambak garam berdasarkan status usaha di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan Jeneponto
Sumber pendapatan Pemilik Kepala rumah tangga Utama
Maros
Pemilik/pen Penggara ggarap p
0
Pemilik/peng Penyewa Penggarap garap
Pemilik
0
0
116,667
0
64,988
273,333
0
0
0
1.763.636
791
4.900.000
36.000.000 4.734.892
6.000.000
1.500.000
5.242.000
700
10.523.077 26.400.000 2.319.231
5.800.000
2.895.000
5.242.000
700
0
0
0
0
11.916.667
6.158.636
Sampingan (perikanan) 0 Sampingan (nonpegaraman) 7.304.385 Anggota rumah tangga Utama (nonpegaraman) Sampingan (nonpegaraman) Pendapatan rumah tangga
646,154
0
46,154
18.473.615 62.400.000 7.100.277
8.611.988 5.873.333
Sumber: Data primer (2001)
Tabel 6, menunjukkan bahwa jumlah pendapatan rumah tangga petambak garam yang dibagi berdasarkan status kepemilkan lahan, secara umum pendapatan rumah tangga di antara lokasi Jeneponto dan Maros lebih besar di Jeneponto, hal ini disebabkan di samping sebagai petambak garam juga memiliki sawah dan kebun. Sumbangan pendapatan dari anggota keluarga dari unsur pendapatan utama yang menyebabkan pendapatan total keluarga cukup besar, sedangkan di Maros sumbangan kontribusi dari unsur sampingan tidak ada, sehingga memengaruhi terhadap jumlah pendapatan petambak garam di Maros. Konsumsi rumah tangga tahunan petambak garam tediri atas konsumsi pangan dan pengeluaran non-pangan. Dari hasil tabulasi, kebutuhan minimum responden dapat diketahui bahwa pola Tabel 7. Konsumsi dan pengeluaran rumah tangga petambak garam di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan Maros Jenis konsumsi dan pengeluaran
Jeneponto
Pemilik Pemilik (bagi hasil) (penggarap)
Penyewa
Beras
3.556.475
1.696.000
2.172.000
2.874.840
Lauk – Pauk
5.614.473
8.823.000
9.657.545
8.845.165
Ikan
4.918.550
2.944.000
2.991.827
2.934.315
(87,60)
(33,36)
(31,27)
(33,17)
Sayuran dan buah-buahan
1.255.150
532
654
537
Minuman
1.624.090
890
784
1.108.680
0
1.456.000
2.469.000
1.396.000
Lainnya
4.706.000
1.681.000
1.687.000
1.789.632
Jumlah konsumsi pangan
16.756.188 10.519.000 11.829.545 11.720.000
Jumlah konsumsi non-pangan
14.221.761 10.397.333 8.533.292
Tembakau dan sirih
7.76.287
Jumlah konsumsi rumah tangga 30.977.949 20.916.333 20.362.837 19.456.291 Sumber: Data primer (2012)
623
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
konsumsi didominasi kebutuhan pangan, demikian pula konsumsi non-pangan didominasi oleh pakaian, pendidikan, dan perayaan hajatan. Tabel 7, menunjukkan bahwa jumlah konsumsi dan pengeluaran rumah tangga petambak garam di Jeneponto dan relaitif cukup besar, ini dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga masing-masing rumah tangga petambak garam di mana rata-rata lebih dari lima orang. Tingkat konsumsi ikan baik di Jeneponto cukup tinggi mencapai 87,60%; sedang di Maros pemilik 33,36%; pemilik merangkap penggarap 31,27%; penyewa 33,17% dari jumlah pengeluaran lauk-pauk. Konsumsi ikan per kapita di Jeneponto sudah mencapai 44 kg per kapita dibandingkan di Maros baru mencapai 25 kg per kapita. Tabel 8. Dinamika usaha, pendapatan, konsumsi dan pengeluaran rumah tangga petambak garam di Jeneponto dan Maros, Sulawesi Selatan Jeneponto
Maros
Uraian 2010
2012
7.042.000
2.946.000
18.623.000 4.268.749
15.194.500 11.519.540
36.174.462 8.140.156
Konsumsi dan pengeluaran (Rp) 15.288.554 30.977.949
15.414.287 20.977.402
Keuntungan usaha (Rp) Pendapatan (Rp)
2010
2012
Sumber: Data Primer (2010; 2012)
Tabel 8, menunjukkan dinamika usaha terdapat perubahan yang sangat ekstrem di mana tahun 2012 terjadi terjadi hujan sepanjang tahun sehingga tidak ada produksi dan penyebakan usaha garam pada tahun tersebut mengalami kerugian. Begitu pula pendapatan rumah tangga petambak garam juga mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi di Maros yang mencapai Rp 28.034.306,- sedangkan di Jeneponto sebesar Rp 3.674.960,-. Ini membuktikan bahwa usaha garam sangat bergantung pada musim, untuk itu sangat diperlukan teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi baik secara kualitas dan kuantitas. Keragaman Umum Usaha Budidaya Rumput Laut Salah satu indikator kelangsungan usaha adalah mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha atas modal investasi yang dikeluarkan, sehingga dapat dikatakan bahwa usaha tersebut layak (feasible) (Winardi, 2005). Perhitungan kelayakan usaha dapat dilihat pada lampiran 4. Dari keuntungan usaha tersebut selanjutnya dapat dialokasikan oleh pelaku usaha untuk kebutuhan hidup sehari-hari sesuai dengan standar kehidupan yang layak atau sesuai dengan kebutuhan fisik minimum dan apabila memungkinkan keuntungan usaha tersebut dapat digunakan untuk menabung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha budidaya rumput laut harus layak usaha dan keuntungan usaha yang diperoleh harus memenuhi kebutuhan hidup pembudidaya (layak hidup). Usaha budidaya rumput laut yang dilakukan masyarakat di Desa Laikang Kabupaten Ujung BaruBatang di Kabupaten Jeneponto, berdasarkan produk rumput laut (jenis euchema) yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rumput laut basah dan rumput laut kering. Rumput laut basah, setelah dipanen tidak langsung dijual, tetapi dipisahkan sebagian untuk bibit. Selanjutnya dikeringkan setelah dipanen kemudian dijemur di bawah terik matahari sampai kandungan airnya berkisar antara 28%-30%. Sistem budidaya yang diterapkan adalah sistem long line dengan komponennya meliputi tali utama (biang), tali ris tempat mengikat rumput laut, tali pengikat rumput laut (tali anak), pelampung besar (drum atau bola), pelampung kecil (botol plastik), dan tali jangkar untuk menahan sistem pada posisi yang tetap. Setiap unit sistem long line biasanya memiliki 50-500 tali ris, panjang tali ris berkisar antara 10-30 dengan jarak antar tali ris berkisar antara 0,5-1,0 m. Mengingat adanya perbedaan produk, maka dalam melakukan usahanya, terutama dalam pengadaan komponen investasi dan penanganan rumput laut juga beda. Dengan demikian keragaan usahanya juga berbeda (lihat Tabel 5 dan 6).
Dampak perubahan usaha pembuatan garaman ..... (Nur Ansari Rangka)
624
Secara komoditas daan lokasi budidaya (spesial) terdapat perbedaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Secara komoditas: keuntungan usaha yang diperoleh dengan produk rumput laut kering lebih kecil bila dibandingkan dengan produk rumput laut basah. Hal ini disebabkan harga rumput laut kering relatif murah. Untuk mendapatkan 1 kg rumput laut kering diperlukan sekitar 10 kg rumput laut basah. Sebagai contoh harga rumput laut basah (Juli 2005) rata-rata Rp 1.000,-/kg, sedangkan harga rumput laut kering berkisar antara Rp 3.700,00-Rp 4.300,00 per kg. Secara spesial, perbedaan keragaan usaha karena beberapa faktor antara lain: a. Perbedaan kualitas lingkungan perairan b. Perbedaan jarak antara lokasi budidaya dengan landing base di daratan, menimbulkan biaya tambahan untuk pengangkutan yang cukup tinggi baik untuk pemenuhan input maupun pemasaran hasil. c. Hama dan penyakit rumput laut Dilihat dari penyebab perbedaan tersebut, tentunya dapat menimbulkan perilaku pembudidayaan rumput laut dalam menghadapi risiko usaha, sehingga keputusan usahanya pun berdasarkan pertimbangan risiko, seperti risk averter, neutral risk, dan risk lover. Tabel 9. Analisis usaha produk rumput laut kering kasus di Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Komponen
Biaya investasi
Satuan
Sulawesi Tenggara
Pa`juku kang Laikang Balang-balang Kalukku Sani-sani Lemo Bajo (Kabupaten Bantaeng) (Takalar) (Mamuju) (Kolaka) (Kendari)
Rp 000
3.012,00
2.012,00
2.225,00
Biaya tetap
Rp 000/tahun
948,50
831,00
635,25
2.180,00 1.991,00
Biaya variabel
Rp 000/tahun
6.690,00
5.950,00
2.745,25
2.310,00 3.430,00
Total biaya
Rp 000/tahun
7.638,50
6.781,00
3.380,25
2.955,55 4.578,00
Total penerimaan Rp 000/tahun
745,50
1.048,00
12.000,00
15.750,00
6.768,00
4.200,00 10.500,00
Rp 000/tahun
4.361,50
8.469,00
3.387,75
1.244,00 5.922,00
R/C
-
1,8
2.163
2,02
1.421
2.290
PP
tahun
0,69
0,30
0,66
1.752
0,340
Keuntungan
Sumber: Data primer (2012)
Permasalahan Umum Pembudidaya Rumput Laut Besarnya pendapatan keluarga pembudidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng dan Takalar rata-rata Rp 4.961.640,00/tahun dengan alokasi pendapatan dari hasil usaha budidaya rumput laut sebesar Rp 3.200.635,00/tahun (64,51%) dan dari hasil usaha di luar budidaya rumput laut sebesar Rp 1.761.005,00 (35,49%) (Tabel 10). Pada saat tersebut, dengan menggunakan teknik perhitungan klasifikasi rata-rata tertinggi dan terendah dari BPS dapat diketahui bahwa pembudidayaa dengan tingkat pendapatan terendah 8%, sedang 26%, dan tinggi 66%. Pendapatan per kapita keluarga penbudidaya rumput laut sebesar Rp 91.287,42/bulan dan bila dikaitkan dengan klasifikasi kemiskinan Sayogyo (2004), maka dapat digolongkan sebagai berikut: rumah tangga yang tergolong tidak miskin sebesar 98% dan yang tergolong miskin 2%. Ditinjau dari waktu kerja pembudidaya rumput laut (Wahyudin, 1997); waktu kerja rata-rata untuk melakukan kegiatan usaha budidaya rumput laut dalam satu musim tanam (dua bulan) sebanyak 176,90 jam atau sekitar 2,95 jam per hari (52,51%); sedangkan untuk aktivitas usaha di luar kegiatan budidaya rumput laut sebanyak 159,98 jam atau 2,67 jam per hari (47,49%) (Tabel 11). Bila dibandingkan dengan waktu kerja dengan pendapatan yang diperoleh, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
625
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 Tabel 10.Rata-rata pendapatan keluarga pembudidaya rumput laut di Sulawesi Selatan berdasarkan sumber pendapatan Sumber pendapatan Usaha budidaya rumput laut *)
Non-usaha budidaya rumput laut Jumlah
Nilai pendapatan (Rp/tahun)
Persentase (%)
3.200.635,00
64,51
1.761.005,00
35,49
4.691.640,00
100
Sumber: Wahyudin (2009) dan dimodifikasi keterangan: *) menangkap ikan (88%); hasil dari kebun dan buruh musiman (2%); lainnya (10%)
Tabel 11.Rata-rata alokasi waktu kerja pembudidaya rumput laut di Sulawesi Selatan dalam satu musim tanam (45 hari -2 bulan) Alokasi waktu (jam/musim tanam)
Persentase (%)
Budidaya
176,90
52,51
- Persiapan bibit - Penanaman dan pemeliharaan
59,94
17,79
98,98
29,38
- Pemanenan - Penanaman hasil
14,08
4,18
Jenis kegiatan
Non-budidaya
*)
Jumlah
3,90
1,16
159,98
47,49
336,88
100
Keterangan: *) menangkap ikan (88%), tukang kapal (2%), kuli tukang kapal (6%), lainnya (4%) Sumber: Wahyudin (2012) dan dimodifikasi
a. Alokasi waktu kerja untuk budidaya rumput laut (52,51%) relatif lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas non-budidaya (47,49%). b. Bagian pendapatan untuk budidaya rumput laut (64,51%) relatif lebih besar dibandingkan dengan aktivitas non-budidaya (35,49%). KESIMPULAN DAN SARAN Usaha produksi garam di Jeneponto dan Maros tahun 2010 sampai pertengahan tahun 2012 berada pada posisi yang kurang menguntungkan di mana pada periode tersebut terjadi anomali cuaca hujan sepanjang tahun. Peningkatan pendapatan rata-rata setelah beralih ke rumput laut untuk Kabupaten Maros adalah Rp 613.135,- dan Jeneponto Rp 1.443.135,- Sedangkan tingkat konsumsi dan pengeluaran yang mengalami peningkatan yaitu di Jeneponto meningkat 102,62% sedangkan di Maros meningkat sebesar 36,09%. Ini menunjukkan bahwa tingkat konsumerisme pada masyarakat petambak garam cukup tinggi. Penurunan pendapatan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi dan pengeluaran yang mengalami peningkatan. Peningkatan jenis konsumsi dan pengeluaran rumah tangga petambak garam di Jeneponto meningkat 102,62% sedangkan di Maros meningkat sebesar 36,09%. Ini menunjukkan bahwa tingkat konsumerisme pada masyarakat petambak garam cukup tinggi. Dampak dari pendapatan tersebut adalah pembudidayaa dengan tingkat pendapatan terendah 8%, sedang 26%, dan tinggi 66%. Pendapataan per kapita keluarga penbudidaya rumput laut sebesar Rp 91.287,42/bulan dan bila dikaitkan dengan klasifikasi kemiskinan Sayogyo, maka dapat
Dampak perubahan usaha pembuatan garaman ..... (Nur Ansari Rangka)
626
digolongkan sebagai berikut: rumah tangga yang tergolong tidak miskin sebesar 98% dan yang tergolong miskin 2%. DAFTAR ACUAN Anonymous. (2012). Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. _________. (2012). Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan. Afrianto, E., & Liviawati, E. (1993). Budidaya rumput laut dan cara pengolahannya. Bharata. Jakarta. Apriliani, T., & Yulisti, M. (2012). Pengembangan pengaraman rakyat di Kelurahan Palenggu, Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Warta Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2(1). Jati, W., & Purwoko. (2012). Ironi industri garam nasional. Bisnis Indonesia, Senin, 7 September 2012. Aslan, L.M. (1998). Budidaya rumput laut. Kanasius. Yogyakarta. Dahuri, R. (2004). Kelautan dan perikanan sebagai prime mover pembangunan nasional. Makalah Disampaikan pada Diskusi Publik “Bedah Visi Pertanian dan Bahari Politik”. Diselenggarakan BEM IPB, Jakarta, 13 Maret 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Effendi, M. (2010). Garam maduris. Universitas Trunojoyo. Madura. Hety, I., & Suminarsih, E. (2003). Rumput laut-budidaya, pengolahan dan pemasaran. Cetakan ke-X. Penebar Swadaya. Jakarta. Huda, H.M., & Manadiyato. (2010). Keragaan usaha rumah tangga petani garam di Kelurahan Pallengu Kecamatan Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Huda, H.M., Rikrik, R., & Sati, A. (2012). Dinamika usaha, pendapatan dan konsumsi rumah tangga petambak garam di Kelurahan Pallengu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Laporan Hasil Penelitian. Yulianto, G. (2004). Pengembangan budidaya rumput laut, tinjauan aspek sosial ekonomi dan wilayah. Ketua Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mulyana, D. (2004). Metodologi penelitian kualitatif: Paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. (2002). Buku panduan pembuatan garam bermutu. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Saad, S. (2004). Indonesia sebagai negara pengimpor garan sampai 2025. Sugiarto. (2008). Analisis pendapatan, piola konsumsi dan kesejahteraan petani padi pada basis agroekosistem lahan sawah irigasi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian, Prosiding Seminar Nasional. Bogor, 19 November 2008. Winardi. (2005). Management perusahaan. Gramedia. Jakarta. Wijaya, A.R., Manadiyanto, & Azizi, A. (2010). Perkembangan usaha garam rakyat di Desa Pate’ne Kecamatan Mandai, Maros. Laporan Hasil Penelitian. Wijaya, R.A., Hakim, M.H., & Asep, J.S. (2012). Keragaan struktur usaha, pendapatan dan konsumsi rumah tangga pengaraman rakyat di Desa Pate’ne Kabupten Maros. Laporan Hasil penelitian.