1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan terbang dengan produksi yang cukup besar diantara beberapa wilayah perairan laut dari beberapa propinsi lainnya di Indonesia (Tabel 1).
Dilaporkan bahwa potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan terbang di Selat
Makassar berkisar antara 13.000 sampai dengan 20.000 ton yang dapat dikelola setiap tahunnya (Tambunan, 2005).
Hasil penelitian sebelumnya melaporkan
bahwa potensi lestari sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar adalah sebesar 12.293 ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar 7.840 unit per tahun (Dwiponggo, et al.,1983), 6.606 ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar 5.644 unit (Nessa, et al., 1992), dan 5.770 ton per tahun dengan 4.385 unit upaya penangkapan (Ali, et al., 2005). Dari potensi lestari sumberdaya ikan terbang di daerah ini, mampu menghasilkan produksi tertinggi yang dicapai selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 9.580 ton pada tahun 2000 (Gambar 1). Sumberdaya ikan terbang di perairan Indonesia menyebar dengan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan potensi tersebut, terlihat dengan produksi ikan terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah yang berbeda.
Produksi hasil
tangkapan ikan terbang secara nasional sampai dengan tahun 2003 terbesar dihasilkan dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Dalam
perkembangannya, produksi ikan terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah propinsi
terjadi
fluktuasi,
bahkan
di
beberapa
wilayah
yang
sebelumnya
menghasilkan ikan terbang yang cukup besar misalnya dari Riau pada tahun 1998 dan 1999, kemudian pada tahun berikutnya tidak lagi menghasilkan ikan terbang. Sebaliknya di beberapa wilayah lainnya yang sebelumnya tidak menghasilkan ikan terbang, kemudian beberapa tahun berikutnya juga menghasilkan produksi ikan terbang, misalnya dari Propinsi Bengkulu, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Hal
tersebut menggambarkan bahwa di beberapa wilayah terjadi penurunan produksi ikan terbang, tetapi beberapa wilayah lainnya terjadi peningkatan produksi. Besarnya peningkatan dan penurunan produksi ikan terbang yang dihasilkan dari masing-masing wilayah, dapat disebabkan diantaranya adalah besar kecilnya upaya
penangkapan yang dilakukan dalam mengeksploitasi potensi sumberdaya ikan terbang di masing-masing wilayah tersebut, dan dapat pula disebabkan karena lintas perdagangan. Tabel 1 Produksi (ton) ikan terbang menurut propinsi di Indonesia tahun 1998 - 2004 PROPINSI NAD Sumatera Utara Riau Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur B a l i NTB NTT Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Total Produksi (Ton)
1998 1.383 259 470 15 5 11 983 220 4.699 506
1999 1.060 266 510 21 5 8 1.790 639 1.807 875
2000 961 339 444 242 27 34 969 287 1.772 901
349 5.782 239 3.177
349 6.135 308 3.177
604 9.580 318 3.177
863 18.961
872 17.822
778 20.433
Tahun 2001 1.195 330 99 3 8 7 426 384 2.027 748 338 8.669 495 1.059 679 16,467
MSY
Eopt
2002 261 411 17 52 43 11 468 369 2.466 513 2 243 4.472 274 1.273 250 732 11.857
2003 1.337 450 32 216 11 5.111 350 1.757 405 26 252 3.927 1.024 1.483 244 741 17.366
2004 2.210 510 680 20 4.990 460 1.560 410 250 3.840 1.670 1.390 720 18.710
Sumber : Tambunan, 2005.
MSY (Ton/Tahun); Eopt (Unit Gillnet/Tahun)
14000
12293
12000 10000 7840 8000 6066
5644
6000
5770
5786
4385
4123
4000 2000 0 1975-1979
1987-1991
(Dwiponggo, et al., (Nessa, et al., 1983) 1992)
1991-2002
1994-2003
(Ali, 2005)
Hasil Penelitian
Gambar 1 Kondisi MSY sumberdaya ikan terbang di Sulawesi Selatan antara tahun 1975 - 2003.
2
Propinsi Sulawesi Selatan sebagai penghasil ikan terbang terbesar secara nasional, dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi produkasi ikan terbang yang dihasilkan.
Produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1998 sampai
dengan tahun 2004 diperoleh terbesar pada tahun 2000 dengan jumlah produksi sebesar 9.580
ton, kemudian pada tahun berikutnya mengalami penurunan
produksi yang cukup besar yakni rata-rata sebesar 155 ton per tahun. Di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai sekitar 1.800 km, terdapat beberapa kabupaten dengan kontribusi produksi ikan terbang yang dominan di daerah tersebut, diantaranya adalah Kabupaten Takalar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju. Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru berada di bagian selatan wilayah pesisir pantai barat perairan Selat Makassar, sedangkan Kabupaten Pinrang, Mamuju dan Majene berada di bagian sebelah utara. Dua kabupaten terakhir, yakni Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju, saat ini tidak lagi berada di dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan tetapi berada dalam wilayah Propinsi Sulawesi Barat, sebagai hasil pemekaran wilayah propinsi sejak tahun 2005. Umumya nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah tersebut dan berada di sepanjang pesisir pantai. Di Kabupaten Takalar, mayoritas penduduk yang mendiami wilayah itu, adalah suku Maka ssar. Di Kabupaten Barru yang berada di bagian sebelah utara Kota Makassar mayoritas penduduknya merupakan suku bugis. Di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang, penduduk yang mendiami wilayah pesisir di daerah itu sebagian merupakan suku mandar dan sebagian lainnya adalah suku bugis. Kabupaten Majene yang merupakan lokasi penelitian yang berada di bagian paling utara, mayoritas penduduknya adalah suku mandar. Hampir sepanjang tahun kegiatan penangkapan ikan terbang di daerah itu hanya dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat tanpa adanya komunitas nelayan dari daerah lain di sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan, sebagian besar hanya diperuntukkan kepada konsumen lokal sebagai kebutuhan pangan sehari-hari. Apabila jumlah hasil tangkapan ikan melimpah, misalnya pada puncak musim penangkapan ikan terbang, sebagian hasil tangkapan ikan itu juga dipasarkan ke daerah lain di sekitarnya, terutama ke daerah-daerah dataran tinggi yang tidak memiliki laut seperti, Kabupaten Tanah
3
Toraja, Kabupaten Enrekang, dan sebagian daerah di Kabupaten Luwu. Walaupun jenis ikan ini bukan tergolong sebagai jenis ikan ekonomis penting, namun karena telah berlangsung lama usaha penangkapannya dan tetap diminati oleh masyarakat sehingga juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan nelayan di daerah itu. Produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, rata-rata mulai meningkat setiap tahunnya memasuki awal musi m timur, kemudian menurun kembali memasuki awal musim pancaroba kedua, dan produksi ikan terbang terendah selama musim barat (Yahya, et al., 2001). Jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang setiap nelayan dalam setiap trip penangkapan tidak menentu,
bergantung pada beberapa hal, diantaranya
keberhasilan menemukan kawanan ikan terbang, ketepatan memasang alat penangkapan, serta kondisi cuaca dan laut pada saat itu. Hasil tangkapan ikan terbang oleh nelayan di Kabupaten Barru, dipasarkan dalam bentuk olahan sebagai ikan yang telah melalui proses penggaraman, akibat jumlah hari operasi penangkapan di laut dalam satu trip penangkapan cukup lama, yakni berkisar antara 20 sampai 30 hari (long trip).
Sementara di Kabupaten
Pinrang, Polmas, dan Majene, hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan dipasarkan dalam bentuk segar, kecuali bila pada saat itu tidak seluruh ikan hasil tangkapan nelayan terjual habis, maka dilakukan penyiangan dalam bentuk asin kering atau dalam bentuk ikan peda setelah melalui proses pemasakan. Hal itu terkait dengan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan yang hanya menggunakan satu hari penangkapan ( short trip). Berbeda halnya dengan di Kabupaten Takalar, hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan dengan tujuan utama hanya untuk menangkap telurnya saja, pemasarannya adalah untuk tujuan ekspor. Telur ikan terbang yang diperoleh selanjutnya mendapatkan proses pengolahan lebih lanjut setelah sampai di darat.
Ikan terbang yang diperoleh
selama kegiatan penangkapan di laut, biasanya hanya dikonsumsi sendiri oleh awak kapal selama berada di laut sebagai menu alternatif.
Hal ini juga terkait
dengan lamanya waktu yang digunakan nelayan dalam satu trip penangkapan. Hasil tangkapan telur ikan terbang selama masih berada di laut, disimpan dalam keadaan sudah kering dan bersih dari kotoran dengan cara menyianginya sepanjang hari di atas kapal sampai terasa kering. Proses pengolahan telur ikan
4
terbang dari kondisi mulai dari nelayan hingga siap ekspor, ditunjukkan pada Gambar 2.
(A)
(B)
(C)
(D)
Sumber : Hasil pemotretan lapang, 2004 Gambar 2 Tahap pengolahan telur ikan terbang. Keterangan : (A) Tumpukan telur ikan terbang yang telah kering dari nelayan; (B) Pengayakan telur ikan terbang dari serabut; (C) Pembersihan telur ikan terbang setelah pengayakan; dan (D) Telur ikan terbang dalam karung siap ekspor. Sebagai produk perikanan yang dihasilkan untuk tujuan utama ekspor ke beberapa negara, proses pengolahan yang dilakukan harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh negara konsumen.
Untuk itu kualitas telur ikan terbang yang
dihasilkan harus diperhatikan untuk menjamin produk tersebut mendapat respon pasar mancanegara yang baik.
Dalam prakteknya, proses pengolahan ikan
terbang, dilakukan mulai dari proses penjemuran hingga mencapai kadar air maksimum 5 %, mengeluarkan biji-biji telur ikan terbang dari benangnya, membersihkan dari kotoran yang masih melekat dengan sebelumnya direndam di dalam air tawar untuk menghilangkan kadar garam yang tersisa pada semua butiran telur.
Pengujian sampel telur ikan terbang dilakukan di laboratorium perikanan
5
untuk menentukan standar mutu yang diterima oleh negara pengimpor, kemudian dikemas dalam bungkusan plastik dengan berat masing-masing 2 kg dan dimasukkan ke dalam kotak untuk dipaking sebanyak 12 bungkus. 1.1.2 Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan Sarana penangkapan berupa kapal penangkapan ikan yang digunakan masyarakat nelayan di dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, masih tergolong sederhana dengan perlengkapan di atas kapal yang sangat minim.
Persentase ukuran kapal penangkapan ikan di daerah ini sampai
dengan tahun 2003, masih didominasi dengan kapal-kapal perikanan tradisional berukuran kecil atau motor tempel (Gambar 3). Kapal perikanan yang digunakan memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi, namun semuanya hanya merupakan kapal kayu. Jenis kapal penangkap yang digunakan terdapat beberapa macam menurut daerah/kabupaten. Di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru, nelayan menggunakan kapal penangkap dengan ukuran yang lebih besar yakni berkisar antara 8 – 10 GT (Lampiran 1). Hal ini dikarenakan daerah dimana kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, umumnya berada jauh dari daerah asalnya (fishing base) dan dengan jumlah hari operasi penangkapan setiap tripnya cukup panjang (long trip).
7.35
0.53
34.07 58.04
MOTOR TEMPEL
0-5 GT
5-10 GT
10-20 GT
Sumber : Statistik DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 2003. Gambar 3 Persentase ukuran kapal penangkapan ikan di Sulawesi Selatan.
6
Peralatan di atas kapal yang digunakan nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, juga masih sangat sederhana tanpa dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti Global Positioning System (GPS) dan peralatan elektronik penangkapan lainnya.
Dengan demikian dalam penentuan
lokasi penangkapan dan posisi dimana kapal berada selama di laut, semata-mata didasarkan pada pengalaman yang diperoleh secara turun temurun. Pengalaman dalam melakukan kegiatan penangkapan selama ini, yang ditunjang dengan pengetahuan dalam melihat beberapa tanda alam yang ada di sekitar perairan, sangat menentukan keberhasilan upaya penangkapan yang dilakukan. Di Kabupaten Pinrang dan Majene, nelayan hanya menggunakan kapal penangkapan ikan yang jauh lebih kecil yakni berupa perahu sande dengan ukuran berkisar antara 2 – 3 GT (Lampiran 1). Kapal penangkap yang digunakan dengan ukuran kecil ini, hanya memungkinkan melakukan kegiatan penangkapan ikan terbang di sekitar perairan pantai antara 2 – 3 mil laut dari daerah asalnya (fishing base), dan hanya melakukan penangkapan dengan trip harian. Perbedaan ukuran kapal nelayan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, di dasarkan pada kemampuan menjelajahi wilayah perairan untuk penangkapan yang lebih jauh yang disebabkan faktor lokasi penangkapan (fishing ground) dengan ketersediaan stok kawanan ikan yang bervariasi menurut tujuan utama penangkapan yang dilakukan. Di Kabupaten Takalar dimana nelayan menetapkan telur ikan terbang sebagai tujuan utama kegiatan penangkapan, harus mampu menjelajahi daerah penangkapan yang lebih jauh, karena pada daerah itu diperkirakan merupakan daerah peneluran bagi ikan terbang yang telah memasuki masa pemijahan. Hal itu juga dasarkan pada hasil pengalaman penangkapan telur ikan terbang yang selama ini dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat.
Wilayah perairan yang umumnya digunakan
nelayan dari Kabupaten Takalar untuk menangkap telur ikan terbang, berada jauh dari daerah asalnya (fishing base) bahkan harus ditempuh selama 10 sampai 12 jam berlayar. Alat penangkapan ikan dan telur ikan terbang yang digunakan oleh nelayan di daerah ini, adalah berupa jaring insang hanyut permukaan/JIHP (surface drift gillnet) untuk penangkapan ikan terbang dan berupa bubu hanyut permukaan/BHP (surface drift traps) atau bale-bale sebagai tempat peneluran untuk penangkapan telur ikan terbang (Lampiran 2). Jumlah alat penangkapan ikan baik JIHP maupun
7
BHP dari tahun ke tahun mengalami flukt uasi.
Jumlah kedua jenis alat
penangkapan ini sampai pada tahun 2003, tercatat sebanyak 4.263 unit JIHP dan 755 unit BHP (Gambar 4).
755
4.263 JIHP
BHP
Sumber : Statistik DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 2003. Gambar 4 Jumlah alat tangkap JIHP dan BHP di Sulawesi Selatan. 1.1.3 Sumberdaya Ikan Terbang Sumberdaya perikanan pelagis kecil, merupakan salah satu potensi sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebarannya berada di sekitar perairan pantai dan dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan terbang (Exocoitidae) merupakan salah satu potensi perikanan pelagis kecil di Indonesia yang pemanfaatannya cukup besar terutama pada peraiaran kawasan Indonesia bagian timur, sehingga merupakan salah satu bagian kegiatan penangkapan ikan yang cukup penting di daerah ini. Jumlah spesies ikan terbang yang tersebar baik di perairan tropis maupun subtropis sebagai salah satu sumberdaya perikanan pelagis kecil, diketahui berkisar antara 50 – 60 spesies (Nelson, 1994), di perairan Pasifik terdapat sebanyak 31 spesies (Parin, 1999), dan di perairan Indonesia terdapat sebanyak 18 spesies (Hutomo, et al., 1985), serta di perairan Selat Makassar dan Laut Flores ditemukan sebanyak 11 spesies (Nessa, et al., 1977).
Penyebaran populasi ikan terbang
tersebar di beberapa wilayah perairan Indonesia, selain di Selat makassar dan Laut
8
Flores, juga banyak ditemukan di wilayah perairan lainnya. Hutomo et al. (1985) mengemukakan bahwa penyebaran populasi ikan terbang di perairan Indonesia dapat dijumpai di wilayah perairan bagian barat maupun di bagian timur. Beberapa wilayah perairan yang merupakan wilayah distribusi ikan terbang di Indonesia antara lain : Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Teluk Tomini, dan Laut Jawa. Lokasi penangkapan ikan terbang yang cukup potensil dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan tradisional adalah perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar). Produksi hasil tangkapan ikan terbang di daerah ini tertinggi dicapai pada tahun 2000 yakni sebesar 9.580,7
ton (DKP
Propinsi Sulawesi Selatan, 2000). Produksi jenis ikan ini yang lebih penting, adalah telur yang dihasilkan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan Sulawesi Selatan yang cukup nyata. Komoditi perikanan ini selain memiliki nilai jual yang cukup tinggi, juga mendapat respon pasar mancanegara yang cukup baik, terutama Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya dapat menghasilkan devisa yang cukup besar, bahkan menempati urutan ke dua setelah tuna dan udang. Pada tahun 2000 dimana produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan dicapai tertinggi sebesar 946,9 ton. Dari jumlah produksi ini jika diasumsikan harganya stabil pada kisaran Rp. 120.000 per kg, maka dapat menghasilkan devisa sebesar Rp. 113.628.000.000.- (Seratus tiga belas milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah) atau sekitar US$ 11 juta. Produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang pada tahun berikutnya sampai dengan tahun 2003, rata-rata terus mengalami penurunan setiap tahunnya masing-masing sebesar 40,7% untuk produksi ikan terbang dan sebesar 72.7% untuk produksi telur ikan terbang.
Penurunan jumlah produksi yang dihasilkan
terutama telur ikan terbang yang sangat drastis, diduga dipengaruhi oleh rendahnya kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang selama ini fokus melakukan kegiatan penangkapan telur ikan terbang, sebagai akibat menurunnya harga penjualan secara drastis pada tingkat nelayan dari sekitar Rp. 250.000.- per kg berat kering pada tahun 2000 menjadi sekitar Rp. 50.000.- memasuki tahun 2001 sampai sekarang. Pada tingkat harga yang seperti itu, nelayan masih belum bisa mendapatkan keuntungan dari besarnya nilai pengeluaran setiap tripnya, yakni ratarata berkisar antara 3 – 5 juta rupiah. Selain hal itu, juga diduga telah terjadi tingkat
9
eksploitasi yang tinggi, menyebabkan tekanan eksploitasi ini cenderung melebihi kemampuan rekruitmen stok ikan tersebut. Penyebaran dan pergerakan kawanan ikan terbang di perairan Selat Makassar, diduga dipengaruhi oleh pergerakan dan dinamika massa air di perairan itu. Pergerakan dan dinamika massa air di perairan ini , diketahui dipengaruhi oleh pola siklus musim (monsoon) yang terjadi setiap tahunnya dan besarnya limpahan massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik. Hal itu menyebabkan massa air di perairan ini menjadi sangat dinamis dengan potensi perikanan yang beragam menjadi penting. Secara geografis dipengaruhi oleh pergerakan arus massa air dari Samudera Pasifik dari utara ke selatan dan sedikit luapan massa air dari Laut Jawa dan Laut Flores di bagian selatan Selat Makassar. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaku kan terhadap pola arus yang ada terlihat bahwa, perairan Selat Makassar lebih banyak menerima masukan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik dibandingkan dengan dari Samudera Indonesia
(Susanto, et al., 2000).
Kondisi geografis perairan seperti itu dengan sirkulasi massa air dan pola angin yang bertiup di bagian selatan Selat Makassar, sangat memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air (Upwelling) antara bulan Juni, Juli, dan Agustus setiap tahunnya (Illahude, 1978). Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Gordon dan Susanto (1999), diketahui bahwa proses upwelling di perairan tersebut sering dijumpai terjadi pada musim timur. Hal itu ditandai dengan terjadinya penurunan suhu dan konsentrasi oksigen terlarut, namun sebaliknya terjadi peningkatan nilai salinitas dan kadar zat hara di daerah itu, dibandingkan dengan wilayah perairan sekitarnya.
Kondisi
seperti itu adalah sangat mungkin diakibatkan oleh adanya proses penaikan massa air dari lapisan bawah ke lapisan permukaan yang membawa sejumlah massa air yang relatif dingin tapi dengan kadar zat hara yang tinggi. Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini , dilakukan oleh nelayan tradisional dengan skala usaha yang masih sangat sederhana. Apabila kegiatan penangkapan ikan seperti ini tidak dibarengi dengan upaya pembinaan yang memadai di dalam kerangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, dikhawatirkan sumberdaya ikan tersebut akan mengalami tekanan eksploitasi yang berlebihan, sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan ini di masa yang akan datang. Selain dengan tujuan agar kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan tersebut, dapat dilakukan dengan
10
optimal sesuai dengan potensi yang ada.
Dengan
demikian menjadi sangat
penting untuk dilakukan studi yang berkaitan dengan perikanan ikan terbang di Selat Makassar, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh tentang usaha perikanan ikan terbang yang ada, sifat-sifat dinamika biofisik, pola penyebaran dan tingkah laku ikan, serta musim dan daerah penangkapan ikan yang potensil, dalam hubungannya dengan dinamika massa air Selat Makassar dan karakteristik oseanografi yang ada di dalamnya. 1.2 Masalah Penelitian Perikanan ikan terbang di Selat Makassar merupakan salah satu kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan skala usaha penangkapan tradisional yang ditandai dengan kapal penangkapan yang berukuran kecil dan peralatan penangkapan yang sederhana.
Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan, berlangsung di sekitar
perairan pantai dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. Pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di daerah ini, masih dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh secara turun temurun yang belum dibarengi dengan upaya pengelolaan yang memadai. Apabila kondisi ini dibiarkan berlangsung dalam jangka panjang, dan jika setiap tahunnya juga terjadi penambahan upaya pemanfaatan (effort), maka dikhawatirkan akan menimbulkan ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Agar di satu pihak sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan dengan optimal, dan di lain pihak kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak memberikan tekanan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya dan lingkungannya, maka diperlukan suatu kajian yang mendalam untuk mendapatkan suatu model prediksi pengelolaan yang baik. Model pengelolaan ini, diharapkan diperoleh melalui studi yang mendalam antara beberapa aspek yang diduga saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Kajian studi ini meliputi aspek dinamika biofisik sumberdaya ikan yang diamati dan keterkaitannya dengan aspek lingkungan perairan sebagai habitatnya. Berdasarkan hasil studi pustaka dari beberapa literatur serta hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya ditemukan : (1) Terdapat kecenderungan penangkapan ikan oleh nelayan pemanfaat yang tidak memberikan kesempatan ikan tersebut
melakukan
regenerasi
sebelum
11
ditangkap, terutama bagi ikan yang telah siap memijah (Nessa, et al., 1977; Hutomo, et al., 1985, dan Ali, et al., 2004a). (2) Terdapat sejumlah ikan hasil tangkapan yang berada dalam kondisi siap memijah terutama selama periode musim timur pada daerah penangkapan bagian selatan Selat Makassar (Dwiponggo, et al., 198 3; Hutomo, et al., 1985; Ali, et al., 2004b; dan Ali, et al., 2005); (3) Terjadi pergerakan kawanan ikan terbang (flying fish schooling movement) menurut musim, yaitu pada peralihan musim barat timur, musim timur dan peralihan musim timur barat (Yahya, et al., 2001); Dengan demikian dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara mendalam, di dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan terbang yang optimal, lestari dan bertanggung jawab (responsible and sustainable fisheries), yakni : (1) Pengaruh beberapa faktor dinamika biofisik jenis ikan tersebut, musim dan daerah penangkapan yang berkaitan dengan kondisi fisika-kimia perairan dalam hubungannya dengan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan terbang di wilayah studi; (2) Hubungan antara kondisi fisika-kimia perairan terhadap pergerakan kawanan ikan tersebut, termasuk kaitannya dengan periode musim dan daerah penangkapan yang selanjutnya dapat direkomendasikan sebagai daerah pemanfaatan dan atau daerah konservasi bagi ikan tersebut; (3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan usaha pengelolaan perikanan ikan terbang dengan kemungkinan pengaturan kebijakan pengelolaan di masa yang akan datang untuk menjadikan usaha perikanan ikan terbang sustainable. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui distribusi spasial dan temporal ikan terbang berdasarkan hasil tangkapan di wilayah penelitian menurut musim dan daerah penangkapan; (2) Mengetahui distribusi biodinamika ikan yang tertangkap berupa : ukuran panjang, berat dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menurut musim dan daerah penangkapan; (3) Mengetahui hubungan antara kondisi fisik-kimia perairan dengan pergerakan kawanan ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan.
12
(4) Memprediksi lokasi penangkapan ikan terbang potensi l di Selat Makassar menurut periode musim dan daerah penangkapan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : (1) Salah satu sumber informasi dalam menentukan musim dan daerah penangkapan ikan terbang yang tepat untuk perikanan ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan; (2) Salah satu rujukan untuk perumusan kebijakan pengelolaan perikanan ikan terbang di perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan di masa yang akan datang; (3) Salah satu sumber bahan pertimbangan untuk melakukan tindakan konservasi jika diperlukan untuk pengelolaan ikan terbang menurut musim dan daerah penangkapan. 1.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diajukan beberapa hipotesis, yakni : (1) Sebaran, migrasi dan pola penyebaran ikan terbang di Selat Makassar dipengaruhi oleh kondisi dinamika biofisik ikan, massa air dan karakteristik oseanografi perairan; (2) Sebaran hasil tangkapan ikan terbang di Selat Makassar, dipengaruhi oleh musim dan daerah penangkapan; (3) Sebaran musim dan daerah penangkapan ikan terbang di Selat Makassar mengikuti sebaran dan dinamika massa air serta karakteristik oseanografi perairan tersebut. 1.5 Kerangka Pemikiran Untuk memecahkan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka di dalam penelitian ini dilakukan pendekatan melalui studi dan kajian terhadap sejumlah faktor internal (internal factors), yakni
faktor
dinamika
biofisik ikan
terbang dan sejumlah faktor eksternal (external factors) yakni kondisi fisika-kimia perairan, sebaran musim dan daerah penangkapan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan ikan terbang di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar), dengan skema pendekatan pemecahan masalah seperti pada Gambar 5.
13
Gambar 5 Diagram kerja dan pendekatan pemecahan masalah penelitian.
14