1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Bahan baku untuk pembuatan produk alergen dapat berasal dari sumber nabati maupun hewani. Menurut European Pharmacopoeia 7.0 Monograph on Allergen Product 01/2010:1063, bahan baku yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen pangan adalah harus bagian yang dapat dimakan. Mutu bahan pangan yang digunakan adalah harus sesuai dengan mutu untuk konsumsi manusia. Aturan lainnya adalah harus menjelaskan bagian yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen dan nama ilmiah bahan baku (EDQM 2010). Bahan baku yang dipilih adalah bahan dengan kualitas baik. The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007) menyebutkan bahwa parameter yang dapat digunakan menilai bahan baku untuk isolat alergen pangan adalah komposisi kimia berupa kadar protein, karbohidrat, lemak, enzim dan kadar air. Bahan baku yang digunakan untuk produksi isolat alergen merupakan campuran heterogen dari protein, glikoprotein, karbohidrat, dan senyawa lain yang tidak alergen (Esch 1997). Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan lokal asal Indonesia yang varietasnya umum dikonsumsi masyarakat. Menurut Burastero (2011), pemilihan bahan baku lokal untuk pembuatan isolat alergen lebih baik dibandingkan dengan menggunakan bahan baku non lokal karena masyarakat setempat terpapar dari alergen yang biasa dikonsumsi. Pasar ikan Muara Angke merupakan pelabuhan pendaratan ikan terbesar di Indonesia dan penyebaran ikan dari pasar muara angke hampir ke seluruh Indonesia sehingga pajanan alergen dari jenis ikan dari pasar muara angke juga besar. Menurut Burastero (2011), bahan baku untuk pembuatan isolat alergen yang akan digunakan untuk diagnosis atau imunoterapi sebaiknya berasal dari tempat dimana isolat itu akan digunakan untuk diagnosis. Spesies yang sama tapi berasal dari daerah yang berbeda mempunyai komposisi alergen dan reaktivitas terhadap IgE berbeda. Hal ini dibuktikan oleh Burazer et al. (2011) dengan membuat ekstrak alergen tungau debu rumah dari spesies yang sama, Dermatophagoides pteronyssinus, dengan asal sumber yang berbeda, Swedia, Chili dan Australia menghasilkan reaktivitas yang berbeda terhadap IgE. Kepiting dan Cumi-cumi Jenis kepiting yang digunakan pada penelitian ini adalah Scylla serrata dan jenis cumi-cumi adalah Photololigo duvaucelii sesuai hasil identifikasi yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Gambar 15 menunjukkan kepiting dan cumi-cumi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan isolat alergen. Hasil identifikasi spesies masing-masing terdapat pada Lampiran 1 dan 2. Kepiting yang digunakan masih hidup sehingga terjamin kesegarannya sedangkan cumi-cumi berasal dari nelayan yang pulang melaut pada malamnya. Kesegaran cumi-cumi ditandai dengan dagingnya padat, berwarna putih dan agak kemerahmerahan, kantung tinta masih utuh, serta tentakel dan kepalannya masih lengkap. Menurut SNI 2731.2:2010, Cumi-cumi beku - Bagian 2: Persyaratan bahan baku (BSN, 2010), cumi-cumi dengan mutu baik adalah bersih, bebas dari setiap bau
yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Mutu baik secara organoleptik adalah mempunyai karakteristik kesegaran (i) kenampakan: utuh, tidak cacat, cemerlang (ii) bau: segar spesifik jenis, dan (iii) tekstur: elastis, padat dan kompak. Cumi-cumi dan kepiting yang tidak segar dapat mengandung histamin walaupun jumlahnya relatif kecil dibandingkan jenis ikan laut lain dari famili scombridae dan scomberesocidae (scombroid fish) seperti ikan tuna dan mackerel. Jika terdapat histamin dalam bahan baku maka kemungkinan besar akan hilang selama proses isolasi alergen karena bersifa larut dalam air. Keberadaan histamin dalam isolat alergen dapat menimbulkan kesalahan positif dalam diagnosis alergi secara in vivo menggunakan metode skin test.
(A)
(A)
(B)
(B)
Gambar 1 Bahan baku untuk pembuatan isolat alergen (A) kepiting (Scylla serrata) dan (B) cumi-cumi (Photololigo duvaucelii) Menurut European Medicines Agency Evaluation of Medicines for Human Use (EMEA) dalam The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007, komposisi kimia bahan baku berupa kadar protein, karbohidrat, lipid dan kadar air dapat dijadikan parameter mutu dalam pemilihan bahan baku alergen pangan. Kualitas bahan baku yang digunakan akan secara langsung mempengaruhi kinerja produk alergen. Tabel 9 menunjukkan karakteristik kimia daging kepiting dan cumi-cumi. Kadar protein yang tinggi dengan kadar lemak dan karbohidrat yang rendah merupakan parameter pilihan bahan baku untuk pembuatan ekstrak alergen (Pastorello dan Trambaioli 2001). Hal ini untuk memudahkan proses ekstraksi protein karena alergen pada bahan makanan umumnya adalah suatu protein atau glikoprotein. Daging kepiting yang digunakan adalah campuran daging dari bagian capit, kaki, dan karapaks.
Tabel 1 Hasil analisis komposisi bahan baku kepiting dan cumi-cumi No Parameter
Kepiting
Cumi-cumi
1 2 3 4 5
87,17 ± 0,07 2,25 ± 0,04 9,34 ± 0,05 0,26 ± 0,01 0,99 ± 0,10
84,17 ± 0,48 1,55 ± 0,04 12,45 ± 0,01 1,04 ± 0,08 0,79 ± 0,37
Air (%) Abu (%) Protein (Nx6,25) (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)
Tabel 9. menunjukkan kadar protein campuran daging kepiting dari bagian capit, kaki, dan karapas, yaitu sebesar 9,34%. Bagian yang mengandung protein tinggi adalah capit (chela/cheliped). Hasil analisis menunjukkan kandungan protein dari daging capit kepiting adalah 13,89%. Penelitian yang dilakukan oleh Vasconcelos and Braz (2001), kandungan protein pada daging capit adalah 16,28%. Kandungan protein daging kepiting dari bagian karapas dan kaki relatif kecil yang dicirikan oleh daging berwarna hitam. Pencampuan antara daging kepiting dari karapak, capit dan kaki menghasilkan penurunan kadar protein. Berdasarkan European Pharmacopoeia 7.0 Monograph on Allergen Product 01/2010:1063,daging yang digunakan untuk bahan baku pembuatan alergen adalah semua bahan yang dapat dimakan maka daging kepiting yang digunakan adalah campuran dari daging dari capit, karapaks dan kaki. Menurut United States Department of Agriculture (2012), kadar protein cumi-cumi adalah 15,5 % dan kadar protein kepiting adalah 18,06%. Hasil analisis protein bahan baku cumicumi dan kepiting lebih kecil dibandingkan dengan data yang terdapat pada United States Department of Agriculture. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: jenis cumi dan kepiting yang digunakan, lingkungan hidup, dan tingkat kesegaran. Kacang Hijau dan Kacang Koro Pedang Jenis kacang hijau yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Vigna radiata (L.) R. Wilczek) dan kacang koro pedang adalah Canavalia ensiformis (L.) DC) sesuai dengan hasil identifikasi oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong (Lampiran 3). Gambar 16 menunjukkan kacang hijau dan kacang koro pedang yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen.
(A)
(B)
Gambar 2 Bahan baku untuk pembuatan isolat alergen (A) kacang hijau (Vigna radiata (L.) R. Wilczek) dan kacang koro pedang (Canavalia ensiformis (L.) DC). Kacang koro yang dipilih adalah kacang berwarna putih, ukuran bijinya besar, berisi, tidak kisut dan tidak ada bekas gigitan serangga berupa bercak coklat. Perlakuan pra-isolasi pada kacang hijau berbeda dengan kacang koro pedang. Kacang koro pedang direndam dalam air selama 2 hari untuk menghilangkan HCN dan antinutrisi yang ada serta memudahkan dalam pengupasan kulit luar. Bagian yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen adalah isi kacang koro pedang atau bagian kotiledon. Kacang koro pedang yang telah dikupas kulitnya dikeringkan kemudian dilanjutkan dengan penepungan dan penyaringan hingga 60 mesh. Tepung kacang koro pedang kemudian dianalisis dan sebagian disimpan dalam freezer hingga digunakan untuk isolasi protein. Kontrol terhadap pemilihan bahan baku merupakan bagian dari proses untuk menghasilkan isolat alergen yang berkualitas dengan reaktivitas yang konsisten. Tabel 10 menunjukkan karakteristik kimia bahan baku kacang hijau dan kacang koro pedang yang akan digunakan untuk pembuatan isolat alergen. Pemilihan parameter analisis proksimat sesuai dengan rekomendasi dari European Medicines Agency dalam The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007). Kadar protein merupakan parameter penting dalam mempertimbangkan pemilihan bahan baku karena pada umumnya alergen pangan adalah suatu protein atau glikoprotein. Tabel 2 Hasil analisis komposisi bahan baku kacang hijau dan kacang koro pedang No 1 2 3 4 5
Parameter Air (%) Abu (%) Protein (Nx6,25) (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)
Kacang hijau 11,4 ± 0,57 3,27 ± 0,01 21,80 ± 0,13 1,60 ± 0,13 61,9 ± 0,57
Kacang Koro pedang 6,95 ± 0,02 1,38 ± 0,00 28,00 ± 0,01 3,47 ± 0,17 61,60 ± 0,18
Hasil analisis protein kacang hijau adalah 21,80% sedangkan menurut United States Department of Agriculture (2014) adalah adalah 23,86 %. Nilai ini mirip dengan kadar protein kacang hijau yang akan diisolasi proteinnya. Semakin tinggi kandungan protein bahan baku maka akan semakin baik karena akan memudahkan dalam isolasi dan perolehan isolat protein. Hasil analisis protein kacang koro pedang adalah 28,00% sedangkan menurut Ekanayake et al. (2000), kadar protein kacang koro pedang berkisar antara 23-34%. Kadar protein kacang koro pedang lebih tinggi dibandingkan kacang hijau. Penelitian yang dilakukan oleh Vadivel dan Janardhanan (2001) dengan mengumpulkan kacang koro pedang (Canavalia ensiformis L. DC) dari 9 tempat tumbuh di India selatan kemudian dilakukan analisis proksimat diperoleh kadar protein berkisar 28,9-35%, lemak 3,4-4,7%, abu 3,0-5,8% dan karbohidrat 46,1-54,5%.
Isolasi Protein Proses ekstraksi atau isolasi merupakan tahapan penting dalam proses produksi isolat alergen. Dalam European Pharmacopoeia 6.0, tahapan produksi dibagi menjadi tiga tahap yaitu i) native allergen extract, ii) intermediate allergen extract dan iii) dan bulk allergen preparatian. Ekstrak alergen natif adalah ekstrak alergen yang diperoleh dari bahan baku alami dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga alergen dapat terpisah dari bahan baku aslinya. Ekstrak alergen antara adalah ekstrak alergen yang diperoleh dari ekstrak alergen natif yang telah diproses baik secara kimia seperti konjugasi maupun fisika seperti adsorpsi dan freeze-dried. Sedian “alergen bulk” adalah produk dalam larutan atau suspensi yang tidak mengalami modifikasi lagi tapi sudah dikemas dalam kemasan dan dilarutkan dalam penggunaannya. Produk alergen yang akan digunakan untuk tusuk kulit harus steril sehingga proses produksi untuk menghasilkan sedian “alergen bulk” dan produk akhir dilakukan secara aseptis. Dalam European Pharmacopoeia 7.0 monograph on allergen product 01/2010:1063 tahap proses dibagi menjadi tiga yaitu: 1) sumber bahan baku, 2) bahan aktif, secara umum adalah ekstrak alergen yang dimodifikasi atau yang tidak dimodifikasi contohnya adalah ekstrak hasil freeze-dried dan 3) produk akhir. Proses lainnya dalam tahapan produksi disebut tahap intermediet. Pada penelitian ini, juga dilakukan tahap persiapan dan pemilihan bahan baku dengan kualitas yang baik kemudian dilakukan tahap antara berupa isolasi protein kacang dan seafood sehingga menghasilkan ekstrak alergen natif. Tahap berikutnya adalah tahap dua dengan melakukan freeze-dried ekstrak alergen natif menghasilkan ekstrak alergen. Ekstrak alergen yang mengandung bahan aktif alergen dilarutkan dalam PBS untuk menghasilkan sediaan alergen bulk. Tahap akhir proses produksi adalah formulasi produk sehingga menghasilkan produk akhir. Pelarutan dengan PBS dan formulasi dilakukan secara aseptis. Proses isolasi untuk menghasilkan ekstrak alergen yang dilakukan oleh perusahaan sangat bervariasi walaupun dari sumber alergen yang sama sehingga akan menghasilkan reaktivitas yang berbeda-beda. Peraturan di US dan EU tidak mensyaratkan agar perusahaan mengikuti prosedur isolasi tertentu sehingga perusahaan diberi keleluasaan untuk mengembangkan metode isolasi sendiri. Pada saat registrasi produk, perusahaan wajib melampirkan flow chart proses produksi
disertai dengan penjelasan secara detil. Untuk menjaga konsistensi hasil ekstrak alergen selama proses produksi maka dapat dilakukan standardisasi produk. Perusahaan produk alergen tidak mempublikasikan secara detil proses ekstraksi yang dilakukan. Secara umum, isolasi protein atau glikoprotein yang dilakukan adalah menggunakan larutan bufer fisiologis. Ekstraksi Protein Cumi-Cumi dan Kepiting Isolasi protein alergen dari pangan hewani seperti telur dan produk laut umumnya langsung dilakukan dengan menggunakan larutan PBS pada produk pangan tersebut. Langeland (1982) melakukan isolasi alergen dari putih telur ayam menggunakan larutan salin fisiologis kemudian di-stirrer selama 4 jam, disentrifugasi dan supernatannya disimpan untuk uji immunokimia dan uji klinis. Tahap yang sama juga dilakukan oleh Bernhisel-Broadbent et al. (1994), ekstraksi protein putih telur menggunakan larutan PBS kemudian diekstraksi selama 12 jam . Metode yang sama untuk persiapan ekstrak dari berbagai macam produk laut mentah maupun yang sudah diolah (seperti catfish, tuna, salmon, trout, dan codfish) juga menggunakan larutan PBS (Bernhisel-Broadbent et al. 1994). Witteman et al. (1994) menggunakan akuades pH 8 untuk ekstraksi protein dari oyster, kepiting, dan mussels selama 4 jam. Gautrin et al. (2009) melakukan isolasi protein daging kepiting (snow crab) dengan menggunakan larutan PBS (pH 7.2, 0.01 mol/L). Belum dilaporkan isolasi protein alergen atau persiapan ekstrak protein produk laut untuk diagnosis alergi dengan cara ekstraksi protein miofibril dan sarkoplasma. Pemisahan protein miofibril dan sarkoplasma bertujuan untuk meningkatkan jumlah protein yang terekspresi pada saat penentuan profil protein dengan metode elektroforesis dan diharapkan protein alergen yang terdeteksi juga lebih banyak yang dilihat dengan metode immunoblotting. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam diagnosis karena protein penyebab alergi pada setiap individu berbeda-beda walaupun ada protein tertentu yang mempunyai reaktivitas alergenisitas yang tinggi yang dikenal dengan major allergen. Ekstrak alergen untuk diagnosis lebih efektif menggunakan crude protein dibandingkan single protein. Secara struktural, protein penyusun ikan dan produk laut lainnya terdiri dari protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma umumnya terdiri dari 30% dari total protein dan dapat dieksrak dengan air atau larutan garam dengan kekuatan ion dibawah 0.15M. Protein miofibril adalah protein struktur yang terdiri dari myosin, actin, tropomyosin, troponin, and actinin. Protein miofibril umumnya terdiri dari 66-77% dari total protein dan dapat diekstrak dengan larutan garam netral dengan kekuatan ion diatas 0,15M (Scopes 1994). Protein stroma berperan dalam pembentukan jaringan ikat terutama terdiri dari kolagen dan elastin. Protein stroma bersifat tidak larut dan tidak dapat diekstraksi dengan air, larutan asam atau basa dan garam netral 0,010,1M. Recovery protein miofibril dan sarkoplasma kepiting masing-masing adalah 46,5% dan 31,5% sehingga total recovery protein kepiting dalam bentuk serbuk adalah 78%. Dalam 100 g sampel daging kepiting diperoleh jumlah serbuk ekstrak protein sebanyak 78 gram dengan 46,5 g serbuk ekstrak sarkoplasma dan 31,5 g ekstrak miofibril. Kadar protein masing-masing serbuk ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma adalah 6,81% dan 7,75% sehingga jumlah protein yang terdapat
dalam ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma masing-masing adalah 0,54 g dan 0,35 g. Jika jumlah protein awal adalah 1,88 g maka rendemen protein miofibril adalah 28,4% dan sarkoplasma adalah 18,4%. Jika kadar protein miofibril kepiting adalah 66-77 % dari total protein (1,88g) maka jumlah protein miofibril adalah 1,2 g maka rendemen protein miofibril terhadap protein miofibril awal adalah 41,7%. Jika kadar protein sarkoplasma kepiting adalah 30 % dari total protein (1,88 g) maka jumlah protein sarkoplasma adalah 0,56 g maka rendemen protein sarkoplasma terhadap protein sarkoplasma awal adalah 62,5%. Protein cumi-cumi terdiri dari 15% protein sarkoplasma yang umumnya protein bersifat enzimatis (Sikorski dan Kolodziejska 1986). Kandungan protein miofibril cumi-cumi adalah 75-85% dari total protein terdiri dari miosin (220 kDa), aktin (45 kDa) dan paramiosin (111 kDa). Paramiosin umumnya menyusun 25% dari protein miofibril terutama pada hewan laut invertebrata (Sikorski and Kolodziejska 1986). Cumi-cumi mengandung protein kolagen 3 % dan N-non protein 36,2%. Hasil isolasi protein cumi-cumi diperoleh recovery protein miofibril dan sarkoplasma masing-masing 31,5% dan 46,5,0% sehingga “total recovery” protein cumi-cumi adalah 78,0% terhadap cumi-cumi yang digunakan. Masing-masing ekstrak dalam bentuk serbuk, hasil dari freeze-dried. Berdasarkan pengukuran dengan metode Bradford, kadar protein ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi masing-masing adalah 7,43% dan 7,64% sehingga jumlah protein yang terdapat dalam ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril masingmasing adalah 0,48 g dan 0,69 g. Apabila dibandingkan dengan jumlah protein awal maka dapat dihitung rendemen (jumlah protein yang terekstrak) protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi. Tabel 11 menunjukkan recovery ekstrak protein dan rendemen protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi dan kepiting. Hasil perhitungan diperoleh bahwa rendemen protein miofibril cumi-cumi dan sarkoplasma cumi-cumi masing-masing adalah 27,8% dan 19,4%. Tabel 3 Recovery dan rendemen ekstrak protein cumi-cumi dan kepiting
No 1 2 3
4 5 6
Ekstrak protein seafood Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumicumi Miofibril dan sarkoplasma cumicumi Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Miofibril dan sarkoplasma kepiting
Berat ekstrak (g)
Kadar protein ekstrak (%)
9,2985
7,43
Berat absolut protein (g) 0,69
6,3065
7,64
15,6050
Recovery (g/100g seafood)
Rendemen (% protein seafood)
39,0
27,8
0,48
25,5
19,4
15,07
1,17
64,5
47,3
7,8743 5,1417
6,81 6,75
0,54 0,35
46,5 31,5
28,4 18,4
13,0220
13,56
0,89
78,0
46,8
Menurut Sikorski dan Kolodziejska (1986), protein cumi-cumi terdiri dari 15% protein sarkoplasma dan 75-85% protein miofibril dari total protein. Jika dalam 20 g daging cumi-cumi terdapat 2,48 g total protein maka jumlah protein sarkoplasmanya adalah 0,37 g dan protein miofibrilnya 1,86- 2,1 g. Jumlah
protein miofibril yang terekstrak adalah 0,69 g sehingga persentase jumlah protein miofibril yang terekstrak terhadap protein miofibril awal adalah kira-kira 37%33%. Jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak adalah 0,48 g sedangkan jumlah protein sarkoplasma awal adalah 0,37 g sehingga protein sarkoplasma yang terekstrak adalah 130%. Protein sarkoplasma mempunyai sifat mudah larut dalam air dan Berdasarkan nilai ini, maka kemungkinan semua protein sarkoplasma terekstrak. Nilai persentase yang lebih dari 100% disebabkan karena jumlah protein sarkoplasma pada cumi-cumi sampel lebih dari 15%. Jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak lebih besar dibandingkan dengan protein miofibril. Hal ini disebabkan protein sarkoplasma lebih mudah larut dalam air atau larutan garam encer sehingga proses ekstraksinya lebih mudah dibandingkan protein miofibril yang dapat larut pada konsentrasi garam > 0,3 M (Hultin et al. 1995). Isolasi Protein Kacang Hijau dan Kacang Koro Pedang Keberadaan lipid dalam produk pangan biji-bijian dan kacang-kacangan tidak diinginkan karena dapat mengganggu proses pemisahan protein dengan metode elektroforesis dan kromatografi cair (Pastorello dan Trambaioli 2001). Lipid dapat menutup epitop pada alergen sehingga menurunkan alergenisitas. Untuk itu, lipid harus dikurangi atau dihilangkan dari bahan baku sebelum dilakukan isolasi melalui proses defatisasi atau delipidisasi tanpa merubah sifat alergenisitas. Protokol defatisasi menggunakan larutan heksan pertama kali dilaporkan oleh Samuel et al. (1987) menggunakan Brazil nut kernels dan Yunginger dan Jones (1987) menggunakan kacang tanah yang telah dihaluskan. Ekstraksi tiga kali dengan larutan heksan menghasilkan pasta bebas lemak kemudian dikeringkan selama 1 malam sehingga diperoleh tepung kacang bebas lemak. Pastorello Trambaioli (2001) melakukan defatisasi dengan menggunakan aseton. Defatisasi menggunakan larutan heksan pada produk pangan biji-bijian dan kacang-kacangan yang telah diolah juga disampaikan oleh Burks et al. (1992). Pada penelitian ini dilakukan defatisasi sesuai dengan Samuel et al. (1987) mengunakan larutan heksan tiga kali ekstraksi. Penurunan jumlah lemak pada defatisasi kacang koro pedang adalah 95% sehingga kandungan lemak setelah defatisasi adalah 0,19 ± 0,01% yang sebelumnya 3,47 ± 0,17%. Pada sampel kacang hijau, penurunan kandungan lemak adalah 62% sehingga menjadi 0,61± 0,09 % yang sebelumnya 1,60 ± 0,13%.Tepung kacang bebas lemak diisolasi proteinnya dengan metode isoelectric precipitation (Makri et al. 2005; Wu et al. 2009, Butt dan Batool 2010). Pemilihan metode isoelectric precipitation diharapkan menghasilkan isolat dengan kadar protein yang tinggi. Tabel 12 menunjukkan recovery dan rendemen isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang. Recovery isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang relatif sama, masing-masing adalah 20,5 dan 21,0 g/100g kacang. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. (2012) dengan teknik isoelectric precipitation. Jenis kacang-kacangan yang digunakan adalah chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean dengan recovery yang dihasilkan masing-masing adalah 20,70±0,97; 29,58±1,49; 19,68±1,08; dan 14,60±0,38 g/100 kacang. Rendemen protein isolat kacang hijau dan kacang koro pedang adalah masing-masing 68,3 dan 64,3 %. Rendemen protein isolat kacang hijau lebih tinggi dibandingkan isolat kacang koro pedang. Penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. 2012, dengan teknik yang sama dan menggunakan jenis kacang
chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean menghasilkan kisaran rendemen 52,83±3,36 % protein kacang sampai 80,47±5,71 % protein kacang. Kadar protein isolat kacang koro pedang lebih tinggi dibandingkan kadar protein isolat kacang hijau, masing-masing adalah 85,9% dan 72,7%. Penelitian yang dilakukan oleh Parades-Lopez et al. (2006) menghasilkan kadar protein 84,8-87,8 % isolat protein kacang arab (chickpea) yang diisolasi dengan menggunakan metode isoelectric precipitation. Penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. 2012, dengan teknik yang sama dan menggunakan jenis kacang chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean menghasilkan masing-masing kadar protein 80,67±3,80; 84,66±6,48; 77,64±4,25 dan 72,69±3,87%. Penelitian yang dilakukan oleh Butt dan Batool (2010) menghasilkan kadar protein isolat kacang hijau 85%. Tabel 4 Recovery dan rendemen isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang No 1 2
Isolat protein Kacang hijau Kacang koro pedang
18,4681
Kadar protein isolat (%) 87,98
Berat absolut protein (g) 16,25
Recovery (g/100g kacang) 20,5
Rendemen (% protein kacang) 82,7
5,6000
85,90
4,81
21,0
64,3
Berat isolat (g)
Elektroforesis Profil protein merupakan salah satu parameter uji yang disyaratkan oleh European Pharmacopoeia 7.0: Allergen Products 01/2010:1063 untuk memverifikasi konsistensi selama proses produksi dari batch ke batch hingga ke produk akhir. European Pharmacopoeia 7.0 tidak mensyaratkan suatu produk alergen tertentu mengandung protein dengan bobot molekul tertentu. Hal ini diduga disebabkan bervariasinya profil protein untuk setiap produk alergen karena berbagai faktor seperti asal bahan dan proses pengolahan. Proses untuk memverifikasi produk alergen selama proses produksi dari batch ke batch hingga ke produk akhir disebut In-House Reference Preparation (IHRP). Parameter yang digunakan dalam IHRP tergantung sumber bahan alergen, pengetahuan tentang komponen alergen, ketersediaan pereaksi, dan tujuan penggunaan. Parameter yang digunakan dalam IHRP adalah kadar protein, profil protein, profil protein alergen, dan potensi biologis (secara in vitro maupun in vivo). Profil protein miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, kacang hijau dan kacang koro pedang dapat diketahui dengan metode sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Metode SDSPAGE merupakan salah satu metode penentuan profil protein yang disarankan oleh European Pharmacopoeia 7.0. Metode lain yang disarankan adalah isoelectric focusing, immunoelectrophoresis, capillary electrophoresis, chromatographic techniques, dan mass spectrometry. Metode SDS-PAGE dikondisikan agar memberikan resolusi pemisahan yang sempurna untuk protein dengan kisaran bobot molekul (BM) dari 10 kDa hingga 200 kDa karena umumnya protein alergen berada pada kisaran BM
tersebut. Faktor penting yang berkaitan dengan kemampuan elektroforesis dalam memisahkan protein dengan bobot molekul tertentu adalah kadar akrilamida. Kadar akrilamida berhubungan dengan ukuran pori-pori yang terbentuk didalam gel. Konsentrasi akrilamid untuk memisahkan protein dengan berat molekul antara 15-200 kDa adalah 5-20% (Bollag dan Edelstein 1991). Konsentrasi akrilamid dalam stacking gel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% pH 6,8, sedangkan separating gel 12% pH 8,8. Kondisi ini merupakan kondisi optimum yang diketahui berdasarkan kajian literatur (Astier et al. 2006). Hasil elektroforesis SDS-PAGE adalah terbentuknya pita-pita protein pada gel akrilamid. Setiap pita protein bukan merupakan protein tunggal, tetapi pada pita tersebut terdiri dari banyak protein yang memiliki kisaran berat molekul yang hampir sama. Ketebalan pita protein yang terbentuk pada gel akrilamid menunjukkan tingginya konsentrasi protein dalam sampel. Luas area dari masingmasing pita dapat dikuantifikasi dengan menggunakan software GelAnalyzer 2010a freeware. Protein Cumi-Cumi Gambar 17 menunjukkan gel hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein miofibril cumi-cumi (A, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) dan protein sarkoplasma cumi-cumi (B, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a.
1
2
1
2
M (A) (B) Gambar 3 Hasil SDS-PAGE protein marker (M), protein miofibril cumi-cumi (A, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) dan protein sarkoplasma cumi-cumi (B, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) (sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a) Uji coba variasi injeksi jumlah protein ke dalam sumur gel elektroforesis bertujuan untuk mengetahui jumlah protein yang dapat memberikan pemisahan sempurna. Setelah dilakukan identifikasi pita menggunakan GelAnalyzer 2010a, jumlah pita protein yang diperoleh untuk protein miofibril cumi-cumi 5 µg/sumur adalah 11 pita, untuk 10 µg/sumur adalah 12 pita sehingga kadar protein 10 µg/sumur memberikan pemisahan terbaik. Sama halnya dengan protein miofibril cumi-cumi, pemisahan terbaik juga dihasilkan oleh protein sarkoplasma dengan
jumlah protein 10 µg/sumur. Protein sarkoplasma dengan 5 µg/sumur menghasilkan 11 pita sedangkan protein 10 µg/sumur menghasilkan 12 pita. Analisis selanjutnya dengan GelAnalyzer 2010a untuk menghitung Rf, luas area pita dan bobot molekul protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi adalah masing-masing 10 µg/sumur.
M A Gambar 4 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein miofibril cumi-cumi (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a Gambar 18 menunjukkan hasil analisis protein marker dan protein miofibril cumi-cumi 10 µg/sumur setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer. Setiap puncak pada gambar hubungan antara pixel dengan intensitas menunjukkan pita pada gel elektroforesis. Jumlah pita yang terdapat pada marker adalah 7 dengan intensitas masing-masing diilustrasikan oleh tinggi dan lebar puncak. Tujuh pita menunjukkan tujuh jenis molekul standar protein yang telah diketahui bobot molekulnya dengan jelas. Masing-masing protein marker tersebut dari pita 1 hingga tujuh adalah β-galactosidase, bovine serum albumine, ovalbumin, lactate 6-dehydrogenase, rease Bsp98, β-lactoglobulin, dan lysozyme dengan Rf, luas area dan bobot molekul terdapat pada Lampiran 5. Protein miofibril cumi-cumi 10 µg/sumur menunjukkan 11 pita dengan pola seperti pada Gambar 18. Bobot molekul protein miofibril cumi-cumi yang terdeteksi adalah 108,4 kDa, 92,2 kDa, 82,9 kDa, 74,1 kDa, 64,8 kDa, 58,4 kDa, 54,8 kDa, 35,8 kDa, 32,5 kDa, 22,5 kDa dan 18,2 kDa. Luas area terbesar adalah pita ke-8 dengan bobot molekul 35,8 kDa (22,9%) kemudian pita ke-5 dengan bobot molekul 18,3 kDa (18,3%) dan pita ke-1 dengan BM 108,4 kDa (13,6%). Berdasarkan Ashie dan Simpson (1997), kelompok protein miofibril adalah miosin: 470 kDa, aktin: 43-48 kDa, tropomiosin: 65-70 kDa, troponin-C: 17-18 kDa, troponin-I: 20-24 kDa, troponin-T: 37-40 kDa, C-protein: 140 kDa, alfaactin: 180-206 kDa, Z-nin: 300-400 kDa, connective/titin: 700-1000 kDa, dan nebulin: 600 kDa. Konsentrasi gel akrilamida yang digunakan adalah 12% sehingga bobot molekul yang mungkin terpisah adalah 10-250 kDa. Protein miofibril dengan BM 74,1 kDa dan 64,8 kDa diduga adalah tropomiosin, dan protein dengan BM 35,8 kDa dan 32,5 kDa diduga adalah protein troponin-T. Protein miofibril dengan BM 22,5 kDa diduga adalah troponin-I dan protein dengan BM 18,2 diduga adalah troponin-C. Menurut database WHO/IUIS (http://www.allergen.org/viewallergen.php?aid= 616), Miyazawa et al. (1996), dan Adkinson et al. (2008), alergen utama yang terdapat pada cumi-cumi spesies Todarodes pacificus (pacific squid) adalah tropomiosin dengan bobot molekul 38
kDa dengan nama Tod p 1. Tropomiosin adalah kelompok protein miofibril, pada penelitian ini tidak terdeteksi protein dengan bobot molekul 38 kDa. Penelitian yang dilakukan oleh Yadzir et al. (2012) bertujuan mengidentifikasi alergen utama pada cumi-cumi spesis loligo edulis (cumi-cumi putih) menemukan bahwa alergen utama pada cumi-cumi tersebut adalah protein dengan bobot molekul 36 kDa. Teknik analisis yang digunakan adalah immunoblotting 2 dimensi dan spekrometri massa. Pada penelitian ini juga teridentifikasi pita protein dengan bobot molekul 35,8 kDa (36 kDa) dengan luas area terbesar. Ini menunjukkan bahwa spesies yang berbeda akan menghasilkan protein alergen utama yang berbeda. Cumi-cumi termasuk phylum mollusca dengan kelas Cephalopoda. Secara keseluruhan kelas Cephalopoda terdiri dari Cuttlefish (Sepia madokai, S. latimanus, S. officinalis), squid (Toradodes pacificus, Loligo edulis, L. vulgaris, L. japonica, L. forbesi, L. opalescens, L. pealei), dan octopus (Octopus luteus, O. vulgaris) (Hickman et al. 2004). Untuk membuktikan lebih lanjut protein yang bersifat alergen pada protein miofibril cumi-cumi akan dilanjutkan dengan uji immunoblotting.
M A Gambar 5 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein sarkoplasma cumicumi (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a Gambar 19 menunjukkan hasil elektroforesis protein marker dan protein sarkoplasma cumi-cumi yang telah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Jumlah pita yang terdeteksi adalah 13 pita dengan bobot molekul dan luas area masing-masing pita ditunjukkan dalam Lampiran 6. Protein sarkoplasma yang terdeteksi adalah 119,3 kDa, 105,4 kDa, 97,2 kDa, 88,1 kDa, 82,2 kDa, 77,3 kDa, 69,1 kDa, 59,6 kDa, 54,4 kDa, 42,6 kDa, 32,2 kDa, 17,1 kDa, dan 9,5 kDa. Pita dengan luas area terbesar adalah pita ke-10 dengan bobot molekul 42,6 kDa (19,2%). Protein dengan bobot molekul 42,6 kDa diduga sebagai protein arginin kinase yang merupkan salah satu protein alergen utama pada cumi-cumi. Beberapa jenis protein sarkoplasma adalah kreatin kinase, aldolase, enolase, phosphorylase, elongation factor 1, fructose-bisphosphate aldolase dan glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase. Protein sarkoplasma makanan laut yang dapat menyebabkan alergi adalah sarcoplasmic calcium binding protein dengan BM 20 kDa (Shiomi et al. 2008). Hemocyanin dengan BM 72 kDa (Morikawa et al. 1990), arginine kinase dengan BM 42 kDa (Yu et al. 2003) dan amylase (Azofra dan Lombardero 2003).
Protein Kepiting Gambar 20 menunjukkan hasil SDS-PAGE protein marker (M), protein miofibril kepiting (A) dan protein sarkoplasma kepiting (B) sebelum dianalisis dengan GelAnalyzer 2010a. Bagian A1 dan A2 masing-masing menunjukkan jumlah protein miofibril kepiting yang diinjeksikan kedalam sumur gel elektroforesis yaitu 5 µg/sumur dan 10 µg/sumur. Hal yang sama juga terhadap protein sarkoplasma kepiting (B1 dan B2). Uji coba variasi jumlah protein yang diinjeksikan kedalam gel elektroforesis untuk mendapatkan pemisahan yang baik. Gambar 20 juga menunjukkan perbedaan profil protein antara protein miofibril dan sarkoplasma. Protein sarkoplasma umumnya 30% dari total protein dan dapat diekstrak menggunakan air atau larutan garam dengan kekuatan ion dibawah 0,15. Protein miofibril umumnya 66-77% dari total protein dan dapat diekstrak menggunakan larutan garam netral dengan kekuatan ion diatas 0,15 (Scopes 1994).
1
2
1
2
M (A) (B) Gambar 6 Hasil SDS-PAGE protein marker (M), protein miofibril kepiting (A, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) dan protein sarkoplasma kepiting (B, 1= 5 µg/sumur, 2= 10 µg/sumur) (sebelum dianalisis dengan Software GelAnalyzer 2010a) Setelah dilakukan analisis dengan software gelAnalyzer 2010a, diketahui bahwa protein miofibril 10 µg/sumur dan protein sarkoplasma 10 µg/sumur memberikan pemisahan dengan pita terbanyak. Untuk selanjutnya, perhitungan bobot molekul dan luas area pita menggunakan protein miofibril 10 µg/sumur dan protein sarkoplasma 10 µg/sumur. Gambar 21 menunjukkan hasil elektroforesis protein marker (M) dan protein miofibril kepiting 10 ug/sumur (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a.
M A Gambar 7 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein miofibril kepiting (B) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a Protein miofibril kepiting terdeteksi sebanyak 19 pita protein yaitu 111,6 kDa, 94,6 kDa, 87,7 kDa, 83,7 kDa, 76,7 kDa, 71,0 kDa, 65,0 kDa, 50,2 kDa,47,8 kDa, 42,3, kDa, 39,2 kDa, 36,5 kDa, 33,4 kDa, 30,6 kDa, 18,7 kDa, 17,6 kDa, 14,3 kDa, 11,4 kDa, dan 9,6 kDa. Luas area terbesar adalah pita ke-1 dengan bobot molekul 111,6 kDa (16,9%) kemudian pita ke-7 dengan bobot molekul 65,0 kDa (15,1%) dan pita ke-17 dengan BM 14,3 kDa (9,9%). Nilai luas area dan bobot molekul masing-masing pita protein terdapat pada Lampiran 7. Protein miofibril kepiting dengan BM 111,6 kDa diduga adalah paramiosin, dan protein dengan BM 94,6 kDa diduga adalah protein alfa-aktin. Protein miofibril dengan BM 76,7 kDa, 71,0 kDa, dan 65,0 kDa diduga adalah tropomiosin dan protein dengan BM 42,3 kDa, 39,2 kDa, dan 36,5 kDa diduga adalah troponin-T serta protein dengan BM 18,7 kDa dan 17,6 kDa diduga adalah protein troponin-C. Berdasarkan data WHO/IUIS, allergen utama yang terdapat pada kepiting jenis Portunus pelagicus (blue swimmer crab) adalah Por p 1 dengan bobot molekul 39 kDa sedangkan menurut Adkinson et al. (2008) allergen utama yang terdapat pada kepiting jenis Charybdis feriatus adalah tropomiosin dengan bobot molekul 34 kDa. Menurut Leung et al. (1996), alergen utama yang terdapat pada udang dan kepiting adalah tropomiosin (TM) terdiri dari dua subunit identik dengan bobot molekul 35-38 kDa. Tropomiosin merupakan protein miofibril. Penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2010) dengan cara mengisolasi protein miofibril dari kepiting jenis Scylla serrata kemudian dilakukan pemurnian terhadap tropomiosin. Bobot molekul tropomiosin hasil pemurnian yang diperoleh adalah adalah 38 kDa (Huang et al. 2010). Gambar 22 menunjukkan hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein sarkoplasma kepiting 10 ug/sumur (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Beberapa jenis protein sarkoplasma adalah kreatin kinase, aldolase, enolase, phosphorylase, elongation factor 1, fructose-bisphosphate aldolase dan glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase. Beberapa protein sarkoplasma makanan laut yang dapat menyebabkan alergi adalah sarcoplasmic calcium binding protein dengan BM 20 kDa (Shiomi et al. 2008). Hemocyanin dengan BM 72 kDa (Morikawa et al. 1990), arginine kinase dengan BM 42 kDa (Yu et al. 2003) dan amylase (Azofra dan Lombardero 2003). Hasil elektroforesis protein sarkoplasma kepiting yang dideteksi dengan software GelAnalyzer secara kuantitatif ditampilan pada Lampiran 8.
M A Gambar 8 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan protein sarkoplasma kepiting (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a Protein sarkoplasma yang terdeteksi 19 pita adalah 104,6 kDa, 94,8 kDa, 89,5 kDa, 82,1 kDa, 77,0 kDa, 70,2 kDa, 54,1 kDa, 51,1 kDa, 47,3 Da, 40,1 kDa, 35,8 kDa, 33,3 kDa, 31,5 kDa, 28,6 kDa, 21,8 kDa, 19,0 kDa, 12,1 kDa, 10,5 kDa, dan 9,5 kDa. Pita dengan luas area terbesar adalah pada pita ke-6 dengan bobot molekul 70,2 kDa (36,1%) kemudian pita ke-4 dengan BM 82,1 kDa (13,5%) dan pita ke-9 dengan BM 47,3 kDa (10,9%). Pita ke-10 dengan bobot molekul 40,1 kDa diduga merupakan protein alergen Scy s 2 dan protein ke-15 dengan BM 21,8 kDa diduga adalah sarcoplasmic calcium binding protein. Isolat Protein Kacang Hijau Gambar 23 menunjukkan hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan isolat protein kacang hijau (1) 3 ug/sumur, (2) 10 ug/sumur, dan (3) 30 ug/sumur sebelum dianalisis dengan Software GelAnalyzer 2010a. Uji coba injeksi isolat protein kacang hijau dengan berbagai konsentrasi bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum protein kacang hijau sehingga memberikan pemisahan pita terbaik.
M
1
2
3
Gambar 9 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan isolat protein kacang hijau (1) 3 ug/sumur, (2) 10 ug/sumur, dan (3) 30 ug/sumur sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a.
Hasil deteksi dengan software GelAnalyzer 2010a menunjukkan bahwa isolat protein kacang hijau dengan konsentrasi 10 ug/sumur memberikan pemisahan sempurna dengan jumlah pita paling banyak. Jumlah pita yang dapat terdeksi oleh GelAnalyzer adalah 14 pita seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24. Jumlah pita yang terdeksi oleh GelAnalyzer pada konsentrasi protein kacang hijau 30 ug/sumur lebih sedikit karena basumurnyak pita yang menumpuk. Peningkatan jumlah protein yang diinjeksikan kedalam sumur tidak berbanding lurus dengan resolusi pemisahan. Peningkatan konsentrasi akan menyebabkan pita yang berdekatan akan menumpuk sehingga akan dideteksi hanya satu pita oleh GelAnalyzer 2010a. Pemisahan protein tidak tergantung dari kadar protein yang diinjeksikan kedalam sumur gel elektroforesis tetapi tergantung dari profil atau karakteristik protein itu sendiri. Apabila profil BM suatu protein satu dengan yang lainnya berbeda jauh maka peningkatan konsentrasi tidak akan menyebabkan terjadinya penumpukan pita sehingga pita yang dihasilkan lebih banyak, tetapi apabila BM molekul protein saling berdekatan maka peningkatan konsentrasi akan menyebabkan penumpukan pita dan pita yang terdeteksi akan lebih sedikit. Pada kondisi ini, maka protein dengan kadar lebih rendah akan memberikan pemisahan terbaik.
Gambar 10
M A Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan isolat protein kacang hijau (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a
Hasil identifikasi pita menggunakan software GelAnalyzer 2010a menunjukkan bahwa isolat protein kacang hijau terdiri dari 16 pita dengan intensitas berbeda-beda. Nilai kuantitatif Rf, luas area, dan berat molekul setiap pita pada protein marker dan isolat protein kacang hijau terdapat pada Lampiran 9. Bobot molekul isolat protein kacang hijau yang terdeteksi adalah 127,4 kDa, 63,9 kDa, 55,8 kDa, 53,3 kDa, 47,6 kDa, 39,6 kDa, 37,1 kDa, 31,9 kDa, 28,2 kDa, 24,9 kDa, 22,8 kDa, 20,7 kDa, 17,8 kDa, 16,0 kDa, 12,6 kDa, dan 11,1 kDa dengan intensitas terbesar adalah protein dengan BM 28,2 kDa sebesar 17,1 % kemudian protein 12,6 kDa sebesar 12,0% dan protein 55.8 kDa sebesar 9,7%. Berdasarkan database WHO/IUIS, alergen utama yang terdapat pada kacang hijau adalah protein Vig r 1 dengan bobot molekul 16 kDa, protein Vig r 2 dengan bobot molekul 52 kDa, protein Vig r 4 dengan bobot molekul 30 kDa, dan protein Vig r 6 dengan bobot molekul 18 kDa. Berdasarkan Gambar 24, maka pita ke-14 dengan intensitas 2,8% diduga merupakan protein Vig r 1 kemudian pita ke-13 dengan intensitas 9,1% merupakan protein Vig r6. Pita ke-8 dengan bobot molekul 31,9 kDa diduga merupakan protein Vig r 4 dan pita ke-4 dengan bobot molekul 53,3 kDa diduga merupakan protein Vig r 2. Diantara protein Vig r 1, Vig r 2, Vig r 4, dan Vig r 6, protein diduga Vig r 4 mempunyai intensitas yang
lebih besar kemudian disusul protein Vig r 4, protein Vig r 2 dan protein Vig r 1. Data SDS-PAGE isolat protein kacang hijau menunjukkan bahwa teknik isolasi protein dengan cara isoelectric precipitation dapat mengisolasi semua alergen utama pada kacang hijau. Keberadaan alergen utama sebagai komponen aktif dalam produk alergen untuk diagnosis alergi merupkan salah satu nilai tambah untuk produk tersebut. Menurut European Pharmacopoeia 7.0, keberadaan komponen alergen utama yang telah teridentifikasi secara internasional dapat diinformasikan kepada konsumen. Isolat Protein Kacang Koro Pedang Gambar 25 menunjukkan hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan isolat protein kacang koro pedang dengan jumlah protein (1) 3 ug/sumur, (2) 10 ug/sumur, dan (3) 30 ug/sumur sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Uji coba injeksi isolat protein kacang koro pedang dengan berbagai konsentrasi bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum protein kacang koro pedang sehingga memberikan pemisahan pita terbaik.
M
1
2
3
Gambar 11 Hasil SDS-PAGE protein marker (M)dan isolat protein kacang koro pedang (1) 3 ug/sumur, (2) 10 ug/sumur, dan (3) 30 ug/sumur (sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a). Hasil deteksi menggunakan GelAnalyzer menunjukkan bahwa konsentrasi 10 ug/sumur memberikan pemisahan sempurna dengan jumlah pita paling banyak. Jumlah pita yang terdeksi oleh GelAnalyzer adalah 15 pita seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25. Jumlah pita yang terdeksi pada konsentrasi protein kacang koro pedang 30 ug/sumur lebih sedikit karena banyak pita yang menumpuk. Gambar 26 menunjukkan hasil elektroforesis protein marker (A) dan isolat protein kacang koro pedang 10 ug/sumur (B) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a.
M A Gambar 12 Hasil SDS-PAGE protein marker (M) dan isolat protein kacang koro pedang (A) setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a Nilai kuantitatif Rf, luas area, dan berat molekul setiap pita pada protein marker dan isolat protein kacang koro pedang terdapat di Lampiran 10. Hasil analisis menunjukkan terdapat 15 pita protein dengan bobot molekul antara 11,677,4 kDa. Bobot molekul isolat protein kacang koro pedang yang terdeteksi adalah 77,4 kDa, 65,9 kDa, 61,6 kDa, 48,8 kDa, 40,5 kDa, 36,9 kDa, 34,5 kDa, 29,8 kDa, 26,4 kDa, 24,4 kDa, 21,2 kDa, 20,1 kDa, 16,7 kDa, 14,9 kDa, dan 11,6 kDa dengan intensitas terbesar adalah protein dengan BM 48,8 kDa sebesar 23,3 % kemudian protein 11,6 kDa sebesar 14,1% dan protein 24.4 kDa sebesar 11,7%. Data alergen kacang koro pedang belum terdapat didatabase WHO/IUIS.
Antibodi IgE total Untuk menguji tingkat alergenisitas isolat protein seafood dan kacang yang akan dijadikan sebagai bahan diagnosis alergi maka isolat tersebut harus diuji kemampuannya berikatan dengan antibodi IgE spesifik yang terdapat dalam serum. Untuk itu diperlukan serum penderita alergi terutama alergi terhadap seafood dan kacang. Pengumpulan responden penderita alergi dilakukan dengan cara wawancara seperti pada Tabel 13. Responden yang alergi terhadap seafood dan kacang kemudian diambil darah dan dipisahkan serumnya. Untuk mengetahui responden tersebut mengalami alergi atau tidak maka dilakukan perhitungan IgE total. IgE total menunjukkan jumlah antibodi IgE yang ada dalam serum darah dengan berbagai macam struktur paratop sehingga tidak spesifik untuk alergen tertentu. Konsentrasi IgE total serum penderita alergi tergantung kepada reaksi alergi yang dialami dan jumlah alergen penyebab alergi. IgE total individu alergi bisa meningkat 3 – 10 kali dari jumlah normal. Pengetahuan jumlah IgE total dapat digunakan untuk mengetahui status alergi responden, apakah positif alergi atau negatif alergi. Metode ELISA merupakan salah satu metode yag digunakan untuk menghitung jumlah IgE total dalam serum darah. Responden dikatakan positif alergi apabila absorbansi serum lebih besar dari absorbansi kontrol negatif ± 2SD (Kumar et al. 2010). Kontrol negatif yang digunakan adalah serum responden yang tidak alergi atau mempunyai kadar IgE normal.
Tabel 5 Riwayat alergi pasien berdasarkan hasil wawancara No. Pasien dan kode serumnya
Jenis kelamin/ Umur
Penyebab alergi
Gejala yang timbul
1
P / 27
Jerawat
2
P / 27
Jerawat
Hari
3 4
P / 29 P / 29
Kacang tanah, kacang kedelai Kacang tanah, kedelai, almond, kacang mede Kacang tanah Kacang tanah, kacang kedelai
Waktu yang dibutuhkan untuk timbulnya gejala alergi (dalam hitungan menit, jam atau hari) Hari
Hari Menit
5 6
P / 28 L / 29
Kacang tanah Kacang tanah, kacang kedelai
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
P / 21 P / 21 P / 21 P / 35 P / 30 L / 21 L / 22 P / 21 L / 22 P / 21 P / 21 L / 22 P / 21 L / 20 P / 20
Makanan laut Udang Makanan laut Makanan laut Udang kecil Kepiting, udang Kerang Makanan laut Udang Makanan laut, telur Kerang Udang Udang, kepiting Udang Ikan
22 23 24 25
L / 21 L / 21 P / 21 L / 22
Makanan laut Udang, ikan Makanan laut Makanan laut
Jerawat Gatal-gatal di badan disertai rasa terbakar Jerawat Gatal-gatal di badan disertai rasa terbakar Gatal-gatal Gatal-gatal Gatal-gatal Gatal-gatal Gatal-gatal Asma Bentol-bentol Bentol-bentol Gatal-gatal Asma Bentol-bentol Gatal-gatal Gatal-gatal, pilek Batuk Gatal-gatal dan terasa panas Bentol-bentol Bentol-bentol Sakit kepala Gatal-gatal
Hari Menit
Jam Jam Jam Hari Hari Hari Jam Hari Jam Jam Hari Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam Hari
Pada penelitian ini, dilakukan perhitungan jumlah IgE pada 25 responden yang mempunyai riwayat alergi yang diketahui melalui hasil wawancara. Tabel 13 menunjukkan riwayat alergi responden berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hasil wawancara, semua responden mempunyai riwayat alergi baik yang disebabkan oleh kacang-kacangan atau makanan laut. Gejala yang ditimbulkan oleh masing-masing responden berbeda-beda, secara umum adalah bentol-bentol dan gatal-gatal. Hanya satu responden yang mempunyai gejala asma. Waktu yang diperlukan oleh responden sehingga menimbulkan gejala alergi berbeda-beda, tergantung pada tingkat alergi yang dialami masing-masing. Responden 4 dan 6 memerlukan waktu yang relatif cepat sehingga muncul gejala gatal-gatal dan badan terasa panas. Sebelum dilakukan analisis IgE total dalam serum, maka terlebih dahulu dilakukan optimasi pengenceran serum dalam bufer karbonat-bikarbonat 0,05 M pH 9,6 untuk mencari perbandingan yang optimal. Zakaria et al. (1998) menggunakan pengenceran 1:10 dan 1:5 untuk penentuan IgE total, Kumar et al.
(2010) menggunakan pengenceran 1:10, sedangkan Bowman dan Selgrade (2008) menggunakan pengenceran 1:5. Pada penelitian ini optimasi dilakukan pada pengenceran 1:10; 1:5; dan 1:2. Penentuan optimasi pengenceran serum hanya dilakukan pada 4 serum yang dipilih secara acak. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengenceran serum 1:10 menghasilkan absorbansi yang lebih tinggi dibanding pengenceran serum 1:5 dan 1:2. Hal ini disebabkan pada perbandingan 1:5 dan 1:2, jumlah IgE yang terikat pada lempeng mikrotiter terlalu banyak sehingga tidak ekuivalen dengan jumlah antibodi yang ditambahkan. Jika jumlah antigen dan antibodi tidak sama, maka ikatan antigen-antibodi menjadi tidak kuat, sehingga antibodi dapat terlepas lagi pada waktu pencucian. Berdasarkan hasil optimasi pengenceran serum tersebut, IgE total semua serum penderita alergi maupun kontrol negatif diukur dengan menggunakan pengenceran serum 1:10. Gambar 27 menunjukkan hasil analisis IgE total dari 25 responden penderita alergi pangan dan 1 responden yang tidak menderita alergi sebagai kontrol negatif. Nilai kuantitatif hasil analisis IgE total dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua responden yang dipilih merupakan penderita positif alergi dengan tingkat alergi yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang telah dilakukan sehingga semua serum bisa digunakan untuk uji alergenisitas isolat protein seafood dan kacang. 1.20
Kontrol negatif IgE total
IgE (Abs 450 nm)
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kode serum
Gambar 13 Analisis IgE total pada 25 serum penderita alergi dengan metode ELISA Setiap responden mempunyai tingkat IgE total yang berbeda-beda. Semakin besar IgE total seseorang maka tingkat alerginya juga semakin kuat. Kemungkinan alergen penyebab alergi pada seseorang semakin banyak atau penyebab alergennya sedikit tetapi sangat alergi terhadap alergen sedikit tersebut. Gambar 27 terlihat bahwa serum 24 memiliki IgE total yang paling tinggi, sedangkan IgE total yang paling rendah terdapat pada serum 3. Namun demikian, IgE total yang tinggi tidak berkorelasi positif dengan IgE spesifik (Maleki et al. 2010) dan hasil skin prick test (Gharagozlou et al. 2005). Maleki et al. (2010) telah melihat hubungan antara IgE total seseorang dengan kandungan IgE spesifiknya terhadap kacang tanah, dan hasilnya menunjukkan walaupun IgE total penderita alergi tidak terlalu banyak, namun dapat memiliki jumlah IgE spesifik yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Gharagozlou et al. 2005 juga menunjukkan bahwa IgE total yang tinggi tidak berkorelasi positif
dengan hasil skin prick test. IgE Total yang tinggi belum tentu akan menghasilkan skin prick test positif. Peat et al. (1996) melihat hubungan antara total IgE dengan hasil skin prick test. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa subyek menghasilkan ukuran wheal yang kecil atau kurang dari 4 mm mempunyai total IgE yang tinggi yaitu diatas 320 IU/mL sementara beberapa subyek mempunyai ukuran wheal yang besar yaitu 6 mm atau lebih mempunyai total IgE rendah. Antibodi IgE total dalam serum tidak bisa digunakan sebagai parameter diagnosis yang absolut tetapi hanya untuk mengetahui resiko dari reaksi alergi (Song et al. 2008). IgE total hanya menunjukkan bahwa seseorang itu alergi tetapi belum bisa menunjukkan seseorang itu alergi terhadap jenis alergen tertentu. Alergi makanan umumnya diperantarai oleh antibodi IgE sehingga jumlah antibodi IgE pada penderita alergi lebih besar dari normal. Peningkatan jumlah IgE terutama disebabkan oleh adanya perubahan produksi IgG menjadi IgE yang dipicu oleh IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan oleh sel TH2. Pada individu normal, konsentrasi total IgE sangat bervariasi dan meningkat secara tetap selama masa kanak-kanak dan mencapai puncak dengan konsentrasi tertinggi pada usia 15 -20 tahun. Pada usia kurang dari 60 tahun, konsentrasi IgE relatif tetap dan mengalami penurunan secara lambat setelah usia 60 tahun. Hasil pengukuran IgE secara umum ditunjukkan oleh international unit (IU) per mililiter (mL). Satu IU setara dengan 2,4 ng protein. Baru-baru ini, unit SI telah diadopsi. Satu unit SI setara dengan 1 ug/L protein. IgE total serum pada individu normal dewasa yang tidak mengalami alergi adalah kurang dari 150 IU/mL. Jumlah normal total IgE pada bayi baru lahir adalah < 11 IU/mL, usia kurang dari 3 bulan adalah < 25, usia 3 bulan – 1 tahun adalah < 37 IU/mL, anakanak usia 1-5 tahun adalah <60 IU/mL, pada usia 6-9 tahun adalah < 90 IU/mL, pada usia 10-16 IU/mL adalah < 200 IU/mL dan usia 16+ adalah < 100 IU/mL. Literatur lain meninjukkan bahwa jumlah IgE total pada keadaan normal adalah < 1 μg/mL (Rupa et al. 2008).
Antibodi IgE spesifik Uji aktivitas alergen atau uji potensi masing-masing isolat alergen bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat alergen berikatan dengan IgE spesifik dalam serum individu yang sensitif alergi. Uji potensi isolat alergen dapat dilakukan dengan cara in vitro dan in vivo. Cara in vitro dilakuan dengan metode RAST dan ELISA sedangkan cara in vivo dengan metode skin test pada manusia. Pada penelitian ini akan dilakukan uji potensi isolat alergen dengan cara in vitro menggunakan metode ELISA dan cara in vivo menggunakan metode skin test. Uji in vitro sebaiknya dilakukan sebelum uji in vivo. Prinsip metode ELISA untuk uji potensi adalah isolat protein diikatkan pada lempeng mikrotiter ELISA kemudian diinkubasi dengan serum individu penderita alergi. Antibodi IgE dalam serum yang dapat berikatan dengan alergen yang di ikatkan pada lempeng mikrotiter merupakan antibodi IgE spesifik (IgEs) terhadap alergen tersebut. Antibodi IgE yang dapat berikatan dengan alergen kemudian direaksikan dengan antibodi anti human IgE yang berlabel enzim peroksidase. Pemberian substrat pada enzim tersebut akan memberikan warna yang intensitasnya diukur dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Absorbansi yang terukur menunjukkan jumlah
IgEs yang dapat berikatan dengan alergen dan semakin banyak IgEs yang berikatan dengan alergen maka individu tersebut bisa dinyatakan alergi terhadap alergen tersebut. Status alergi dinyatakan dengan cara membandingkan absorbansi serum responden dengan kontrol negatif. Responden dikatakan positif alergi terhadap alergen yang digunakan jika absorbansi serum lebih besar dari absorbansi kontrol negatif ± 2SD dan negatif alergi apabila absorbansi serum lebih kecil dari absorbansi kontrol negatif ± 2SD (Kumar et al. 2010). Protein Miofibril Cumi-cumi Gambar 28 menunjukkan hasil analisis antibodi IgE spesifik serum responden yang dapat berikatan dengan protein miofibril cumi-cumi. Jumlah responden yang positif alergi miofibril cumi-cumi adalah 11 responden (36%). Responden yang alergi miofibril cumi-cumi adalah 1-2, 7-8, 12-15, 20, 22 dan 23. 0.40
Kontrol negatif
0.35
IgEs miofibril cumi-cumi
IgE (Abs 450 nm)
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kode responden
Gambar 14 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap protein miofibril cumi-cumi pada 25 serum responden penderita alergi Data analisis IgE spesifik miofibril cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 12. Responden 1 berdasarkan wawancara adalah alergi terhadap kacang-kacangan, hasil analisis IgE spesifik terhadap miofibril cumi-cumi menunjukkan bahwa responden 1 mempunyai IgE spesifik yang lebih besar dibandingkan dengan responden lain yang bahkan dengan responden yang alergi terhadap makanan laut. Hal ini diduga disebabkan responden 1 alergi terhadap cumi-cumi tapi masih belum menyadarinya karena gejala yang ditimbulkannya tidak langsung setelah mengkonsumsi cumi-cumi. Dugaan lain adalah responden 1 telah mengalami tahap sensitasi terhadap protein cumi-cumi sehingga jumlah IgE spesifik terhadap cumi-cumi tinggi. Pada tahap sensitasi, responden belum mengalami gejala alergi ketika mengkonsumsi cumi-cumi. Responden berikutnya yang mempunyai IgEs miofibril cumi-cumi tinggi adalah responden 12. Responden 12 merupakan responden yang alergenisitasnya tinggi terhadap makanan laut terutama kepiting (miofibril dan sarkoplasma) dan cumi-cumi dengan gejala yang ditimbulkannya adalah asma. Protein Sarkoplasma Cumi-cumi Gambar 29 menunjukkan level antibodi IgE spesifik dalam serum responden yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma cumi-cumi. Jumlah responden
yang positif alergi sarkoplasma cumi-cumi adalah 9 (36%). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan alergi terhadap miofibril cumi-cumi. Responden yang memberikan reaksi positif terhadap protein sarkoplasma cumi-cumi adalah 4-6, 12-15 dan 22-23. Hanya responden 4-5 yang mempunyai alergi kacang hasil wawancara. Responden 1 tidak alergi terhadap protein sarkoplasma cumi-cumi, padahal alergenisitasnya terhadap protein miofibril cumi-cumi paling tinggi. Pemisahan protein sarkoplasma dan cumi-cumi diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas diagnosis alergi. Responden yang mempunyai alergenisitas yang tinggi terhadap sarkoplasma acumi-cumi adalah responden 23. Hasil wawancara pada responden 23 menunjukkan alergi terhadap makanan laut. Jika dibandingkan dengan protein sarkoplasma kepiting, miofibril kepiting, dan miofibril cumi-cumi, tingkat alergenisitas responden 23 lebih tinggi terhadap sarkoplasma cumi-cumi. 0.70 Kontrol negatif
IgEs sarkoplasma cumi-cumi
IgE (Abs 450 nm)
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Kode responden
Gambar 15 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap protein sarkoplasma cumicumi pada 25 serum responden penderita alergi Perbandingan IgE total dengan IgE spesifik yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma cumi-cumi terdapat pada Lampiran 14. Nilai absorbansi IgEs (0,533) protein sarkoplasma cumi-cumi responden 23 hampir sama dengan jumlah IgEt (0,581). Ini menunjukkan hampir semua IgE pada responden 23 dapat berikatan dengan epitop pada protein sarkoplasma cumi-cumi yang berarti tingkat alerginya terhadap sarkoplasma cumi-cumi sangat tinggi. Tabel 14 menunjukkan hasil diagnosis alergi responden 1-25 terhadap cumi-cumi. Seseorang yang mengkonsumsi cumi-cumi tidak hanya mengkonsumsi protein miofibril saja atau sarkoplasma saja tetapi mengkonsumsi keduanya. Apabila hasil diagnosis menunjukkan bahwa seseorang tersebut positif alergi terhadap miofibril cumicumi dan negatif alergi terhadap sarkoplasma cumi-cumi atau sebaliknya maka status alergi terhadap cumi-cumi adalah positif. Hal ini ditunjukkan oleh responden 1-2, 4-8, dan 20. Dari hasil analisis ditunjukkan bahwa total responden yang alergi terhadap cumi-cumi adalah 14 atau 56% dari total responden.
Tabel 6 Hasil diagnosis alergi cumi-cumi responden 1-25 Kode responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
IgEs miofibril cumicumi + + + + + + + + + + + -
IgEs sarkoplasma cumicumi + + + + + + + + + -
Hasil diagnosis + + + + + + + + + + + + + + -
Protein Miofibril Kepiting Gambar 30 menunjukkan absorbansi antibodi IgE spesifik dalam serum responden yang dapat berikatan dengan protein miofibril kepiting. Dari 25 responden yang dianalisis, jumlah responden positif alergi miofibril kepiting adalah (11) 44%. Serum responden positif alergi miofibril kepiting adalah 1-5, 7, 12-14,16 dan 24. Berdasarkan hasil wawancara, responden 1-5 merupakan alergi terhadap kacang-kacangan sedangkan hasil pengujian IgE spesifik menunjukkan bahwa ternyata responden 1-5 juga alergi terhadap miofibril kepiting walaupun dengan reaktivitas yang relatif kecil. Ini menunjukkan bahwa responden tersebut alergi terhadap kacang dan juga alergi terhadap makanan laut tetapi tidak menyadari alergi terhadap makanan laut. Serum responden 12 mempunyai level IgE spesifik terhadap miofibril kepiting paling tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bahwa responden 12 alergi terhadap kepiting dan udang dengan gejala yang ditimbulkan berupa asma dan dapat timbul dalam hitungan hari.
1.80
Kontrol Negatif
1.60
IgEs Miofibril Kepiting
IgE (Abs 450 nm)
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Kode responden
Gambar 16 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap protein miofibril kepiting pada 25 serum responden penderita alergi Serum responden 12 dan 14 mempunyai level IgE lebih tinggi dibandingkan dengan serum resonden lainnya. Berdasarkan hasil wawancara, penyebab alergi responden 12 dan 14 masing-masing adalah karena makanan laut dan gejala yang ditimbulkannnya berupa bentol-bentol dan asma. Serum responden lainnya yang positif alergi terhadap miofibril kepiting, mempunyai IgE yang relatif rendah. Variasi nilai IgE menunjukkan kemampuan selektivitas protein miofibril kepiting berikatan secara spesifik dengan antibodi IgE. Serum responden 12, 14, 16 dan 24 selanjutnya akan digunakan untuk menentukan profil protein alergen didalam miofibril kepiting menggunakan metode immunoblotting. Lampiran 15 menunjukkan perbandingan IgE total dengan IgE spesifik yang dapat berikatan dengan protein miofibril kepiting. IgE total yang tinggi tidak menunjukkan bahwa seseorang alergi terhadap miofibril kepiting. Responden 20 mempunyai IgE total yang tinggi (0,715) sedangkan jumlah IgE spesifik yang dapat berikatan dengan miofibril kepiting sangat rendah dan dibawah kontrol negatif (0,054) sehingga responden tersebut tidak alergi terhadap miofibril kepiting. Berdasarkan hasil IgE total dan IgE spesifik, responden 20 adalah penderita alergi tetapi tidak alergi terhadap miofibril kepiting. Beberapa data juga menunjukkan bahwa IgEs lebih besar dibandingkan dengan IgEt, hal ini diduga disebabkan oleh IgE dapat berikatan lebih banyak pada suatu protein yang mempunyai epitop lebih dari satu. Dari 44% responden yang positif alergi miofibril kepiting, hampir semuanya sesuai dengan hasil wawancara yang mempunyai alergi seafood, hanya responden 1-5 yang tidak menyebutkan mempunyai riwayat alergi seafood. Hasil positif alergi terhadap miofibril kepiting menunjukkan bahwa responden tersebut mempunyai alergi terhadap kepiting walaupun dengan reaktivitas yang relatif rendah tetapi responden tidak menyadarinya selama ini.
Protein Sarkoplasma Kepiting Gambar 31 menunjukkan level antibodi IgE spesifik dalam serum responden yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma kepiting. Jumlah responden yang positif alergi sarkoplasma kepiting adalah 12 (48%). Responden yang memberikan reaksi positif dengan protein sarkoplasma kepiting adalah 1-3, 7, 1217, 20 dan 25. Responden 1-3 adalah penderita alergi jenis kacang tetapi memberikan reaksi positif terhadap protein sarkoplasma kepiting. Ini menunjukkan bahwa responden tidak menyadari bahwa ia alergi terhadap makanan laut walaupun dengan reaktivitas yang relatif kecil. Responden 12 mempunyai level IgE spesifik terhadap protein sarkoplasma kepiting yang paling tinggi dan ini juga ditunjukkan terhadap miofibril kepiting. Serum responden 14, dan 16 juga mempunyai level IgE spesifik terhadap sarkoplasma kepiting yang tinggi setelah responden 12 dan hal ini juga sama dengan protein miofibril kepiting. 1.20
IgE (Abs 450 nm)
1.00
Kontrol Negatif IgEs Sarkoplasma kepiting
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Kode serum
Gambar 17 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap protein sarkoplasma kepiting pada 25 responden penderita alergi Perbandingan IgE total dengan IgE spesifik yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma kepiting terdapat dalam Lampiran 16. Semua responden dengan status alergi negatif mempunyai IgE spesifik yang lebih rendah dibandingkan IgE total. Ini menunjukkan bahwa variasi epitop pada suatu protein alergen tidak terlau dikenali oleh antibodi IgE spesifik sarkoplasma kepiting dibandingkan dengan IgE spesifik miofibril kepiting. Tabel 15 menunjukkan status alergi responden 1-25 terhadap kepiting. Seseorang mengkonsumsi kepiting tidak hanya akan mengkonsumsi protein miofibril saja atau sarkoplasma saja tetapi mengkonsumsi keduanya. Apabila hasil menunjukkan bahwa seseorang tersebut positif alergi terhadap miofibril kepiting dan negatif alergi terhadap sarkoplasma kepiting atau sebaliknya maka status alergi terhadap kepiting adalah positif. Hal ini ditunjukkan oleh responden 4-5, 15, 20, dan 25. Dari hasil analisis ditunjukkan bahwa total responden yang alergi terhadap kepiting adalah 14 atau 56% dari total responden.
Tabel 7 Status alergi responden 1-25 terhadap kepiting Kode Responden
IgE spesifik miofibril kepiting
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
+ + + + + + + + + + -
IgE spesifik sarkoplasma kepiting + + + + + + + + + + + +
Hasil diagnosis + + + + + + + + + + + + + +
Isolat Protein Kacang Hijau Gambar 32 menunjukkan hasil analisis IgE spesifik terhadap isolat protein kacang hijau. Jumlah responden yang positif alergi terhadap protein kacang hijau adalah 10 (40%). Responden positif alergi terhadap kacang hijau adalah 2-5, 7-8, 12-13, 16 dan 23. Nilai absorbansi tertinggi ditunjukkan oleh responden 23 dengan nilai 0,605 (sesuai Lampiran 17). Apabila dibandingkan dengan hasil wawancara maka responden 23 adalah alergi terhadap udang dan ikan laut. Hasil analisis terhadap IgEs terhadap sarkoplasma cumi-cumi juga tinggi. Pengakuan seseorang terhadap penyebab alergi harus diverifikasi melaui uji laboratorium seperti uji IgEs. Responden 23 hanya menyadari bahwa ia alergi terhadap makanan laut, tanpa disadarinya juga ia alergi terhadap kacang hijau.
0.80 0.70
Kontrol negatif
IgEs kacang hijau
IgE (Abs 450 nm)
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Kode responden
Gambar 18 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap isolat protein kacang hijau pada 25 serum responden penderita alergi Responden 2-5 alergi terhadap kacang hijau sesuai dengan hasil wawancara bahkan responden 2 mempunyai tingkat alergenisitas yang tinggi terhadap kacang hijau. Responden 2 diduga mempunyai alergenisitas yang tinggi terhadap kacangkacangan dibandingkan dengan makanan laut karena nilai IgE terhadap kepiting dan cumi relatif rendah. Responden 23 mempunyai alergenisitas yang tinggi terhadap kacang hijau. Responden 12 juga mempunyai IgEs tinggi berikutnya terhadap kacang hijau. Hasil analisis IgE responden 12 terhadap IgEs sarkoplasma kepiting dan cumi-cumi serta miofibril kepting dan cumi-cumi juga tinggi. Ini menunjukkan bahwa responden 12 mempunyai alergenisitas yang tinggi terhadap kepiting cumi-cumi, dan kacang hijau sehingga serumnya dapat digunakan untuk uji immunobloting untuk isolat protein kacang dan makanan laut. Lampiran 17 menunjukkan perbandingan IgEt dan IgEs terhadap protein kacang hijau. Nilai IgEs kacang hijau responden berada dibawah nilai IgEt. Isolat Protein Kacang Koro Pedang Gambar 33 menunjukkan hasil analisis IgEs terhadap isolat protein kacang koro pedang. Kasus alergi yang disebabkan oleh kacang koro pedang di masyarakat Indonesia belum diketahu. Hal ini disebabkan ketidaktersediaan reagen kacang koro pedang untuk diagnosis alergi dengan cara SPT. Kacang koro pedang diduga mengandung protein alergen penyebab alergi yang dapat dikenali oleh IgE serum manusia. Pemerintah berupaya menggalakkan penggunaan kacang koro pedang sebagai pengganti atau untuk substitusi kedelai karena mempunyai kandungan protein tinggi sehingga penggunaannya terus meningkat. Bagi seseorang penderita alergi maka harus berhati-hati dalam mengkonsumsi dan sebaiknya dilakukan diagnosis. Hasil analisis IgEs terhadap kacang koro pedang pada serum 25 responden menunjukkan bahwa 7 (28%) responden mempunyai IgE yang dapat berikatan dengan isolat protein kacang koro pedang. Bahkan IgE tertinggi terdapat pada responden yang mempunyai alergi terhadap udang dan
ikan. Gambar 33 menunjukkan bahwa responden 23 mempunyai alergenisitas yang tinggi terhadap kacang koro pedang (0,601). Responden 2-5 mempunyai alergi terhadap kacang-kacangan sesuai dengan wawancara. Lampiran 18 menunjukkan perbandingan IgEt dan IgEs terhadap protein kacang koro pedang.
IgE (abs 450nm)
0.70 0.60
Kontrol Negatif
0.50
IgEs kacang koro pedang
0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Kode responden
Gambar 19 Analisis antibodi IgE spesifik terhadap isolat protein kacang koro pedang pada 25 serum responden penderita alergi Tabel 16 menunjukkan rangkuman status alergi 25 responden terhadap protein miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang. Responden 9-11, 18-19, dan 21 mempunyai status alergi negatif terhadap semua isolat. Ini menunjukkan bahwa IgE responden tersebut tidak dapat berikatan dengan isolat protein miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang walaupun berdasarkan hasil IgEt mempunyai status alergi positif. Kemungkinan 8 responden tersebut berstatus positif alergi tetapi tidak alergi terhadap miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang. Responden tersebut kemungkinan alergi terhadap jenis kacang dan makanan laut lainnya.
Tabel 8 Rangkuman status alergi 25 responden Kode Responden
IgEs SK
IgEs MK
Diagnosis kepiting
IgEs SC
IgEs MC
Diagnosis Cumicumi
IgEs KP
IgEs KH
1
+
+
+
-
+
+
-
-
2
+
+
+
-
+
+
+
+
3
+
+
+
-
-
-
+
+
4
-
+
+
+
-
+
+
+
5
-
+
+
+
-
+
+
+
6
-
-
-
+
-
+
-
-
7
+
+
+
-
+
+
-
+
8
-
-
-
-
+
+
-
+
9
-
-
-
-
-
-
-
-
10
-
-
-
-
-
-
-
-
11
-
-
-
-
-
-
-
-
12
+
+
+
+
+
+
-
+
13
+
+
+
+
+
+
+
+
14
+
+
+
+
+
+
-
-
15
+
-
+
+
+
+
-
-
16
+
+
+
-
-
-
-
+
17
+
-
+
-
-
-
+
-
18
-
-
-
-
-
-
-
-
19
-
-
-
-
-
-
-
-
20
+
-
+
-
+
+
-
-
21
-
-
-
-
-
-
-
-
22
-
-
-
+
+
+
-
-
23
-
-
-
+
+
+
+
+
24
-
+
+
-
-
-
-
-
25
+ + MK: Miofibril kepiting, SK: Sarkoplasma kepiting, MC: Miofibril cumi-cumi, SC: Sarkoplasma cumi-cumi, KH: Kacang hijau, KP: Kacang koro pedang
Tabel 17 menunjukkan persentase jumlah status positif alergi terhadap protein miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang. Jumlah persentase responden yang alergi terhadap kepiting dan cumi-cumi sama walaupun persentase yang positif pada protein miofibril dan sarkoplasma kepiting relatif besar. Hal ini disebabkan karena responden yang positif alergi pada miofibril kepiting umumnya juga memberikan positif pada sarkoplasma kepiting. Sementara pada cumi-cumi, reaksi positif pada sarkoplasma cumi-cumi hanya sedikit yang memberikan reaksi positif ketika di uji dengan miofibril cumi-cumi. Selanjutnya, serum yang mempunyai alergenisitas tinggi akan digunakan untuk mengetahui profil protein alergen dengan metode immunoblotting.
-
Tabel 9 Persentase status alergi responden terhadap isolat protein No 1 2 3 4 5 7
Isolat Protein Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Hasil diagnosis kepiting Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumi-cumi Hasil diagnosis cumi-cumi Kacang hijau Kacang koro pedang
Jumlah positif alergi 11 12 14 11 9 14 10 7
Positif alergi (%) 44 48 56 44 36 56 40 28
Immunoblotting Penentuan profil alergen suatu produk alergen merupakan uji yang disyaratkan oleh European Pharmacopoeia 7.0 Monograph on Allergen Product 01/2010:1063 (EDQM 2010) pada produk akhir dan pada tahap intermediat dalam proses produksi. Penentuan profil alergen merupakan bagian dari in-house reference preparation dalam European Pharmacopoeia 7.0. dan metode yang dianjurkan adalah immunoblotting dan crossed radio-immunoelectrophoresis. Pada penelitian ini, metode yang dipilih adalah immunoblotting menggunakan antibodi IgE spesifik serum penderita alergi. Protein Miofibril Cumi-Cumi Gambar 34 menunjukkan profil alergen protein miofibril cumi-cumi yang dapat berikatan dengan antibodi IgE dari 4 serum responden penderita alergi cumi-cumi. Serum penderita alergi cumi-cumi diketahui berdasarkan hasil uji ELISA dan dipilih dengan tingkat alergenisitas tinggi. Apabila dibandingkan hasil SDS-Page protein miofibril cumi-cumi dengan hasil immunoblotting menunjukkan bahwa jumlah pita yang terdeksi oleh GelAnalyzer 2010a pada SDS-Page lebih banyak dibandingkan hasil immunoblotting. Hal ini disebabkan tidak semua protein dapat berikatan dengan IgE spesifik yang dapat terlihat sebagai pita pada membran nitroselulosa hasil immunoblotting. Setiap protein miofibril yang diinkubasi dengan serum berbeda juga menghasilkan protein alergen yang berbeda walaupun ada beberapa yang sama.
M
R1
R12
R15 R20
Gambar 20 Hasil immunoblotting protein marker dan protein miofibril cumi-cumi terhadap serum responden 1, 12, 15 dan 20 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010.
Responden 1
Responden 12
Responden 15 Responden 20 Gambar 21 Hasil immunoblotting protein miofibril cumi-cumi terhadap serum responden 1, 12, 15 dan 20 setelah dianalisis dengan software GelAnalayzer 2010a Gambar 35 menunjukkan hasil immmunoblotting protein miofibril cumicumi terhadap serum 1, 12, 15, dan 20 setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Protein alergen yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 1, 12, 15, dan 20 masing-masing adalah 9 pita, 2 pita, 2 pita dan 7 pita dan intensitas masing-masing pita sesuai Tabel 18. Protein alergen miofibril cumi-cumi yang dapat berikatan dengan IgE spesifik responden 1 adalah 122,7 kDa, 100,6 kDa, 72,7 kDa, 56,4 kDa, 49,4 kDa, 39,0 kDa, 31,5 kDa, 10,9
kDa, dan 8,9 kDa. Antibodi IgE spesifik pada serum responden 12 dapat berikatan dengan protein miofibril cumi-cumi adalah 40,0 kDa dan 35,9 kDa sedangkan dengan serum 15 adalah 83,9 kDa dan 78,7 kDa. Protein miofibril cumi-cumi yang dapat berikatan dengan serum responden 20 adalah 87,6 kDa, 77,8 kDa, 61,0 kDa, 35,1 kDa, 22,1 kDa, 11,0 kDa, dan 9,9 kDa. Jumlah alergen yang dapat berikatan dengan IgE pada serum responden 1 cukup banyak walaupun dengan intensitas yang relatif kecil dibandingkan serum lain. Intensitas yang kuat pada serum 1 adalah pita ke-7 dengan bobot molekul 31,5 kDa, pita ini diduga sama dengan pita 32,5 kDa yang terdeteksi pada SDS-page. Pita ke-6 dengan BM 39 kDa diduga protein alergen Tod p 1 sesuai data Allergen Nomenclature dalam WHO/IUIS. Protein dengan BM 35,9 kDa dan 35,1 kDa diduga tropomiosin yang merupakan major allergen yang sama ditemukan oleh Yatsir et al. (2012). Tabel 10 Data immunoblotting protein miofibril cumi-cumi terhadap serum responden 1, 12, 15, dan 20 Miofibril cumiResp. 1 cumi No BM BM Luas (kDa) (kDa) area 1 108,4 122,7 87 2 92,2 100,6 46 3 82,9 72,7 58 4 74,1 56,4 42 5 64,8 49,4 76 6 58,4 39,0 41 7 54,8 31,5 192 8 35,8 10,9 57 9 32,5 8,9 77 10 22,5 11 18,2 12 8,7
Resp. 12 BM (kDa) 40,0 35,9
Luas area 965 170
Resp. 15 BM (kDa) 83,9 78,7
Luas area 2714 2319
Resp. 20 BM (kDa) 87,6 77,8 61,0 35,1 22,1 11,0 9,9
Luas area 162 214 402 128 207 238 232
Resp.: Responden Protein Sarkoplasma Cumi-Cumi Gambar 36 menunjukkan hasil immmunoblotting protein sarkoplasma cumicumi terhadap serum responden 4, 5, 12, dan 23 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a dan Gambar 37 hasil immunoblotting setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Jumlah pita protein sarkoplasma cumi-cumi yang dapat berikatan dengan antibodi IgE serum responden 4, 5, 12, dan 23 masing-maing adalah 11 pita, 11 pita, 13 pita dan 5 pita. Protein sarkoplasma cumi-cumi yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 4 adalah protein dengan BM 100,6 kDa, 89,8 kDa, 61,4 kDa, 53,8 kDa, 48,2 kDa, 42,0 kDa, 39,5 kDa, 26,9 kDa, 20,8 kDa, 14,2 kDa, dan 11,8 kDa sedangkan dengan serum responden 5 adalah protein 122,7 kDa, 99,7 kDa, 95,5 kDa, 85,0 kDa, 58,5 kDa, 45,2 kDa, 42,3 kDa, 29,4 kDa, 24,1 kDa, 20,6 kDa, dan 15,0 kDa.
M
R4
R5
R12 R23
Gambar 22 Hasil immunoblotting protein sarkoplasma cumi-cumi terhadap serum responden 4, 5, 12 and 23 sebelum dianalisis dengen software GelAnalyzer 2010a
Responden 4
Responden 5
Responden 12
Responden 23
Gambar 23 Hasil immunoblotting protein sarkoplasma cumi-cumi terhadap serum responden 4, 5, 12 and 23 setelah dianalisis dengen software GelAnalyzer 2010a Protein sarkoplasma cumi-cumi yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 12 adalah protein dengan BM 143,9 kDa, 111,6 kDa, 94,3 kDa, 85,0 kDa, 77,8 kDa, 57,8 kDa, 49,7 kDa, 42,8 kDa, 40,2 kDa, 28,2 kDa,
16,7 kDa, 15,8 kDa, and 15,0 kDa sedangkan dengan serum 23 adalah 140,4 kDa, 115,8 kDa, 106,3 kDa, 76,3 kDa, dan 51,0 kDa. Protein dengan bobot molekul 42 kDa diduga adalah arginin kinase sesuai data Allergen Nomenclature WHO/IUIS. Protein tersebut dapat berikatan dengan antibodi IgE serum responden 4, 5 dan 12. Protein dengan BM 20 kDa dapat berikatan dengan serum 4 dan 5, diduga protein tersebut adalah alergen dengan nama sarcoplasmic calcium binding protein sesuai data Allergen Nomenclature WHO/IUIS. Tabel 11 Data immunoblotting protein sarkoplasma cumi-cumi terhadap serum responden 4, 5, 12 dan 23
No
Sarkoplasma cumi-cumi BM (kDa)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
119,3 105,4 97,2 88,1 82,2 77,3 69,1 59,6 54,4 42,6 32,2 17,1 9,5 8,3
Resp. 4 BM (kDa) 100,6 89,8 61,4 53,8 48,2 42,0 39,5 26,9 20,8 14,2 11,8
Luas area 7 3 21 47 5 1 2 7 3 13 4
Resp. 5 BM (kDa) 122,7 99,7 95,5 85,0 58,5 45,2 42,3 29,4 24,1 20,6 15,0
Luas area 2 19 61 2 3 7 3 3 3 8 3
Resp. 12 BM (kDa) 143,9 111,6 94,3 85,0 77,8 57,8 49,7 42,8 40,2 28,2 16,7 15,8 15,0
Luas area 5 2 64 3 77 2 4 3 14 7 4 4 4
Resp. 23 BM (kDa) 140,4 115,8 106,3 76,3 51,0
Luas area 72 91 18 32 7
Resp.: Responden Protein Miofibril Kepiting Gambar 38 menunjukkan hasil immmunoblotting protein miofibril kepiting terhadap serum 12, 14, 16, dan 24 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a dan Gambar 39 hasil immunoblotting setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Jumlah pita protein miofibril kepiting yang dapat berikatan dengan antibodi IgE serum responden 12, 14, 16, dan 24 masingmasing adalah 8 pita, 2 pita, 11 pita dan 8 pita. Protein miofibril kepiting yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 12 adalah protein dengan BM 155,4 kDa, 126,3 kDa, 53,4 kDa, 46,0 kDa, 38,5 kDa, 33,8 kDa, 28,0 kDa, dan 23,2 kDa sedangkan dengan serum responden 14 adalah protein 84,3 kDa dan 73,0 kDa. Antibodi IgE spesifik serum responden 16 dapat berikatan dengan protein miofibril kepiting dengan bobot molekul 113.9 kDa, 92.9 kDa, 85.6 kDa, 79.5 kDa, 77,1 kDa, 63,7 kDa, 27,2 kDa, 25,5 kDa, 24,3 kDa, 19,0 kDa dan 14,7 kDa sedangkan dengan IgE serum responden 24 adalah 111,9 kDa, 98,7 kDa, 24,6 kDa, 23,3 kDa, 22,5 kDa, 17,8 kDa, 16,0 kDa, dan 13,9 kDa.
M
R12
R14 R16 R24
Gambar 24 Hasil immunoblotting protein marker dan miofibril kepiting terhadap serum responden 12, 14, 16 and 24 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a
Responden 12
Responden 14
Responden 16 Responden 24 Gambar 25 Hasil immunoblotting protein miofibril kepiting terhadap serum responden 12, 14, 16 and 24 setelah dianalisis dengen software GelAnalyzer 2010a Menurut data WHO/IUIS, alergen utama yang terdapat pada kepiting dari kelompok protein miofibril adalah tropomiosin mempunyai bobot molekul 39 kDa dengan nama Por p 1. Dari analisis immunoblotting diketahui bahwa hanya serum 1 yang dapat berikatan dengan major allergen yaitu pita ke-5 dengan bobot moleku 38,5 kDa yang diduga protein Por p 1. Beberapa kelompok protein
miofibril yang bereaksi positif dengan IgE adalah troponin-1 dengan BM 23 kDa dapat bereaksi dengan serum 12 (pita ke-8) dan serum 24 (pita ke-4). Protein troponin-C dengan bobot molekul 18 kDa dapat berikatan dengan serum 24 pada pita ke-6. Protein paramiosin dengan bobot molekul 111,9 dapat berikatan dengan serum 24 pada pita ke-1. Penelitian yang dilakukan oleh Gill et al. (2009) dengan mengisolasi protein daging kepiting menggunakan PBS tanpa pemisahan protein miofibril dan sarkoplasma diperoleh protein alergen dengan bobot molekul 34,0 kDa, 25 kDa, 18,5 kDa, dan 14,4 kDa. Semua pita protein yang beraksi dengan IgE spesifik menurut Gill et al. (2009) juga bereaksi positif dengan IgE serum responden 12, 16 dan 24 seperti pada Tabel 20. Tabel 12 Data immunoblotting protein miofibril kepiting terhadap serum responden 12, 14, 16, dan 24 Miofibril Resp. 12 kepiting No BM BM Luas (kDa) (kDa) area 1 111,9 155,4 122 2 98,3 126,3 247 3 94,6 53,4 192 4 87,7 46,0 20 5 83,7 38,5 43 6 76,7 33,8 13 7 71,0 28,0 75 8 65,0 23,2 56 9 50,2 10 47,8 11 42,3 12 39,2 13 36,5 14 33,4 15 30,6 16 18,7 17 17,6 18 14,3 19 11,4 20 9,6
Resp. 14 BM (kDa) 84,3 73,0
Luas area 101 12
Resp. 16 BM (kDa) 113,9 92,9 85,6 79,5 77,1 63,7 27,2 25,5 24,3 19,0 14,7
Luas area 9 514 37 16 13 78 56 31 71 44 15
Resp. 24 BM Luas (kDa) area 111,9 12 98,7 7 24,6 78 23,3 30 22,5 36 17,8 14 16,0 8 13,9 13
Resp.: Responden Protein Sarkoplasma Kepiting Gambar 40 menunjukkan hasil immmunoblotting protein sarkoplasma kepiting terhadap serum responden 12, 13, 14, dan 16 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a dan Gambar 41 hasil immunoblotting setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010a. Jumlah pita protein sarkoplasma kepiting yang dapat berikatan dengan antibodi IgE serum responden 12, 13, 14, dan 16 masing-masing adalah 7 pita, 1 pita, 2 pita dan 5 pita. Jumlah pita protein miofibril kepiting yang bereaksi positif dengan IgE serum lebih banyak dibandingkan dengan sarkoplasma kepiting.
M R12 R13 R14 R16
Gambar 26 Hasil immunoblotting marker dan protein sarkoplasma kepiting terhadap serum responden 12, 13, 14 dan 16.
Responden 12
Responden 13
Responden 14
Responden 16
Gambar 27 Hasil immunoblotting protein sarkoplasma kepiting terhadap responden 12, 13, 14 dan 16 setelah dianalisis dengan Gel Analyzer2010 Protein sarkoplasma kepiting yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 12 adalah 105.4 kDa, 95.3 kDa, 90.2 kDa, 75.8 kDa, 70.4 kDa, 48.4 kDa, dan 40.2 kDa sedangkan dengan IgE serum responden 13 adalah protein dengan BM 98,3 kDa. Antibodi IgE spesifik serum responden 14 dapat berikatan dengan protein sarkoplasma kepiting dengan BM 24.2 kDa dan 8.4 kDa sedangkan IgE serum responden 16 dapat berikatan dengan protein
sarkoplasma kepiting pada BM 105.4 kDa, 95.3 kDa, 90.2 kDa, 75.8 kDa, 70.4 kDa , 48.4 kDa, dan 40.2 kDa. Beberapa protein sarkoplasma makanan laut yang bersifat alergen adalah sarcoplasmic calcium binding protein dengan BM 20 kDa (Shiomi et al. 2008). hemocyanin dengan BM 72 kDa (Morikawa et al. 1990; Maeda et al. 1991), arginine kinase dengan BM 42 kDa (Yu et al. 2003) dan amylase dengan BM 60 kDa (Azofra & Lombardero 2003). Berdasarkan database Allergom, (http://www.allergome.org/) Alergen utama yang termasuk protein sarkoplasma adalah arginine kinase mempunyai bobot molekul 40 kDa dengan nama Scy s 2. Pita dengan bobot molekul 40 kDa bereaksi positif dengan IgE serum 1 dan diduga adalah alergen Scy s 2. Tabel 13 Data immunoblotting protein sarkoplasma kepiting terhadap serum responden 12, 13, 14, dan 16
No
Sarkoplasma kepiting BM (kDa)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
102,0 78,9 74,4 67,1 51,1 44,4 37,3 33,1 30,6 26,1 19,5 16,7 10,7 9,1
Resp 12 BM (kDa) 105,4 95,3 90,2 75,8 70,4 48,4 40,2
Luas area 153 61 53 186 104 60 71
Resp 13 BM (kDa) 98,3
Luas area 195
Resp 14 BM (kDa) 24,2 8,4
Resp 16 Luas area 186 97
BM (kDa) 129,4 89,1 85,4 50,9 22,4
Luas area 63 73 133 64 54
Resp.: Responden Isolat Protein Kacang Hijau Berdasarkan Allergen Nomenclature WHO/IUIS, alergen utama yang terdapat pada kacang hijau adalah protein Vig r 1 dengan bobot molekul 16 kDa, protein Vig r 2 dengan bobot molekul 52 kDa, protein Vig r 4 dengan bobot molekul 30 kDa, dan protein Vig r 6 dengan bobot molekul 18 kDa. Hasil elektroforesis SDS-PAGE menunjukkan bahwa diduga semua pita alergen utama pada kacang hijau muncul jelas dengan luas area pita berbeda-beda.
M
R1
R2
R3 R4
Gambar 28 Hasil immunoblotting marker dan isolat protein kacang hijau terhadap serum responden 2, 12, 16, dan 23
Responden 2
Responden 12
Respondent 16
Respondent 23
Gambar 29 Hasil Immunoblotting isolat protein kacang hijau terhadap serum responden 2, 12, 16 dan 23 Gambar 43 menunjukkan hasil immunoblotting marker dan isolat protein kacang hijau terhadap serum responden 2, 12, 16, dan 23. Protein alergen isolat kacang hijau yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik serum responden 2, 12, 16, dan 23 masing-masing adalah 12 pita, 6 pita, 2 pita dan 2 pita. Isolat protein kacang hijau yang dapat berikatan dengan IgE spesifik serum 2 adalah 142,2 kDa, 125,7 kDa, 96,9 kDa, 81,8 kDa, 74,6 kDa, 51,0 kDa, 30,3 kDa, 28,0 kDa, 21,8 kDa, 21,3 kDa, 18,2 kDa, dan 12,4 kDa sedangkan dengan serum 12
adalah 139,6 kDa, 80,3 kDa, 39,5 kDa, 35,3 kDa, 21,1 kDa, dan 10,9 kDa. Antibodi IgE spesifik serum 16 dapat berikatan dengan protein kacang hijau 19,5 kDa dan 18,3 kDa dan antibodi IgE serum responden 23 dapat berikatan dengan protein 22,9 kDa dan 20,5 kDa. Protein dengan bobot molekul 18 kDa diduga adalah Vig r 6 yang dapat diikat oleh antibodi IgE serum 2 dan 16. Antibodi IgE serum responden 2 juga dapat mengikat protein dengan bobot molekul 30 kDa yang diduga adalah Vig r 4. Tabel 14 Data immunoblotting isolat protein kacang hijau terhadap serum responden 2, 12, 16, dan 23
No
Kacang hijau BM (kDa)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
127,4 63,9 55,8 53,3 47,6 39,6 37,1 31,9 28,2 24,9 22,8 20,7 17,8 16,0 12,6 11,1
Resp. 2 BM (kDa) 142,2 125,7 96,9 81,8 74,6 51,0 30,3 28,0 21,8 21,3 18,2 12,4
Luas area 85 23 12 6 8 4 3 7 3 4 2 4
Resp. 12 BM (kDa) 139,6 80,3 39,5 35,3 21,1 10,9
Luas area 26 51 50 29 59 31
Resp. 16 BM (kDa) 19,5 18,3
Luas area 235 7
Resp. 23 BM (kDa) 22,9 20,5
Resp.: Responden Isolat Protein Kacang Koro Pedang Gambar 44 menunjukkan hasil immunoblotting isolat protein kacang koro pedang terhadap serum responden 13 dan 23. Protein alergen yang dapat berikatan dengan antibodi IgE spesifik pada serum 13 dan 23 masing-masing adalah 10 pita dan 3 pita. Isolat protein kacang koro pedang yang dapat berikatan dengan IgE spesifik serum 13 adalah 91,2 kDa, 71,7 kDa, 65,6 kDa, 48,5 kDa, 39,0 kDa, 36,4 kDa, 23,3 kDa, 20,2 kDa, 17,6 kDa, dan 16,5 kDa sedangkan dengan serum 23 adalah 127,7 kDa, 44,9 kDa dan 18,2 kDa. Antibodi IgE serum responden 13 dapat berikatan dengan banyak protein kacang koro pedang.
Luas area 6 39
M R13
R23
Gambar 30 Hasil immunoblotting protein marker dan protein kacang koro pedang terhadap serum responden 13 dan 23 sebelum dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010.
Responden 13
Responden 23
Gambar 31 Hasil immunoblotting protein kacang koro pedang terhadap serum responden 13 dan 23 setelah dianalisis dengan software GelAnalyzer 2010 Data alergen utama kacang koro pedang belum terdapat dalam allergen nomenclature di WHO/IUIS dan allergom. Referensi penelitian alergenisitas kacang koro pedang belum ada sehingga belum bisa diketahui nama dan karakteristik alergen utama.
Tabel 15 Data immunoblotting isolat protein kacang koro pedang terhadap serum responden 13 dan 23 Kacang koro pedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
BM (kDa) 77,4 65,9 61,6 48,8 40,5 36,9 34,5 29,8 26,4 24,4 21,2 20,1 16,7 14,9 11,6
Resp. 13 BM Luas (kDa) area 91,2 102 71,7 431 65,6 165 48,5 124 39,0 226 36,4 248 23,3 326 20,2 398 17,6 46 16,5 48
Resp. 23 BM (kDa) 127,7 44,9 18,2
Luas area 193 465 224
Resp.: Responden
Formulasi dan Syarat Mutu Berdasarkan sediaan ekstrak alergen, produk alergen untuk SPT dapat dibagi menjadi: aqueous, glycerinated, lyophilized (freeze dried), aceton precipitated, dan alum precipitated (Nelson 2012). Produk alergen yang dibuat pada penelitian ini adalah produk glycerinated extract yang mengandung 50% gliserin. Gambar 46 menunjukkan produk alergen masing-masing isolat yang dikemas dalam vial 5 mL.
Gambar 32 Reagen Skin Prick Test steril untuk diagnosis alergi Kadar Air Parameter kadar air merupakan syarat mutu penting produk alergen terutama apabila disiapkan atau dikomersialkan dalam bentuk lyophilized (freeze dried). Kadar air yang tinggi pada produk bentuk serbuk akan memberikan daya
tahan simpan yang rendah karena mikroorganisme sangat mudah hidup pada produk dengan kadar air dan protein tinggi. Batasan yang diberikan oleh European Pharmacopoeia 7 Monograph on Allergen Products 01/2010:1063 untuk produk alergen hasil freeze-dried adalah maksimum 5%. Produk alergen yang dibuat pada penelitian ini adalah glycerinated extract yaitu produk alergen cair yang diperoleh dengan cara melarutkan ekstrak alergen dalam 50% gliserolsaline mengandung 0,4% fenol. Konsentrasi alergen yang dibuat pada penelitian ini adalah 1 µg/µL. Penambahan fenol bertujuan sebagai bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri atau jamur. Penambahan gliserol berfungsi sebagai stabilizer untuk menjaga struktur alergen dalam larutan tidak rusak dan mencegah menempelnya alergen pada permukaan vial selama dalam kemasan. Fungsi gliserol yang lain adalah dapat bersifat bakteriostatic pada konsentrasi ≥ 20% dan dapat sebagai inhibitor protease (Nelson 2012). Kadar air produk alergen berupa cairan tidak mungkin dibatasi maksimum 5% sehingga dalam European Pharmacopoeia 1063:2010, kadar air dapat lebih dari 5% apabila ada penjelasan atau keterangannya. Tabel 24 menunjukkan hasil analisis kadar air reagen dari masing-masing isolat. Produk alergen cair berupa glycerinated extract yang beredar dipasaran jarang yang melakukan analisis kadar air karena kadar air yang diperoleh akan melebihi 5% dan itu memenuhi syarat European Pharmacopoeia 7 Monograph on Allergen Products 01/2010:1063. Tabel 16 Hasil analisis kadar air reagen SPT dan persyaratan oleh European Pharmacopoeia 7 Monograph on Allergen Products 01/2010:1063 No
Reagen SPT
Kadar air (%)
European Pharmacopoeia 2010:1063
1 2 3 4 5 6
Kacang hijau Kacang koro pedang Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumi-cumi
63,00 ± 0,24 71,53 ± 0,04 62,41 ± 0,07 60,55 ± 0,56 60,20 ± 0,35 63,50 ± 0,06
Maksimum 5% untuk produk hasil freeze-dried dan bisa lebih dari 5% untuk produk cair
Tabel 24 menunjukkan kadar air masing-masing reagen SPT. Kadar air reagen SPT berkisar antara 60,20 ± 0,35 % hingga 71,53 ± 0,04 %. Kadar air reagen kacang koro pedang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air reagen lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi isolat alergen dalam larutan stok PBS relatif rendah sehingga untuk mengencerkannya menjadi 1 µg/µL diperlukan luas area yang relatif lebih banyak. Hal ini akan berkontribusi terhadap kadar air. Kadar air isolat alergen kacang hijau, miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, miofibril cumi-cumi, dan sarkoplasma cumi-cumi relatif sama. Sterilitas Menurut European Pharmacopoeia 7 1063:2010, produk alergen yang akan diaplikasikan melalui rute mata, parenteral, inhalasi dan kulit harus mengikuti uji sterilitas. Untuk alergen yang tidak steril, maka akan mengikuti persyaratan
mikrobiologi yang akan dibahas pada bab berikutnya. Uji sterilitas dilakukan sesuai Farmakope IV, 1995 dengan menggunakan media TSA. Waktu inkubasi sesuai dengan Farmakope IV, 1995 adalah 24 jam. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi dengan waktu inkubasi selama 48 jam pada suhu 35°C. Modifikasi waktu inkubasi dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada pertumbuhan mikroorganisme dan produk dinyatakan steril. Tabel 25 menunjukkan hasil uji sterilitas masing-masing isolat alergen. Hasil analisis sterilitas menunjukan bahwa semua isolat alergen berada dalam keadaan steril. Tabel 17 Hasil analisis sterilitas isolat alergen No
Reagen SPT
Hasil
1 2 3 4 5 6
Kacang hijau Kacang koro pedang Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumi-cumi
Tidak tumbuh Tidak tumbuh Tidak tumbuh Tidak tumbuh Tidak tumbuh Tidak tumbuh
European Keterangan Pharmacopoeia 7 (2010:1063) Steril Steril, apabila tidak Steril steril maka sesuai bab Steril 5.1.4. pada European Pharmacopoeia 7 Steril 01/2011:50104 Steril Steril
Pada dasarnya, apabila produk alergen telah steril maka tidak perlu dilakukan lagi uji kontaminan mikroba sesuai dengan bab 5.1.4 Microbiological quality of non-sterile products for pharmaceutical use pada European Pharmacopoeia 7. Untuk memberikan keyakinan bahwa produk bebas dari kontaminasi mikroba maka dilakukan analisis mikrobiologi yang disyaratkan oleh bab 5.1.4 European Pharmacopoeia 7 01/2011:50104 Kontaminan Mikroba Tabel 26 menunjukkan hasil analisis mikrobiologi masing-masing isolat alergen sesuai dengan parameter bab 5.1.4 Microbiological quality of non-sterile products for pharmaceutical use untuk produk dengan rute administrasi cutaneous use pada European Pharmacopoeia 7 (01/2011:50104). Parameter yang pertama adalah total plate count yang dianalisis sesuai dengan metode ISO 4833 : 2003 (E). Staphylococcus aureus dianalisis sesuai dengan metode BAM 2001 chapter 12. Pseudomonas aeruginosa dianalisis sesuai dengan teknik cawan tuang dengan perbenihan Pseudomonas agar base sedangkan analisis kapang dan khamir sesuai dengan BAM 2001 chapter 18.
Tabel 18 Hasil analisis mikrobiologi masing-masing isolat alergen sesuai persyaratan European Pharmacopoeia 7 (01/2011:50104 ) No
Reagen SPT
1 2 3 4 5
Kacang hijau Kacang koro pedang Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumi6 cumi European Pharmacopoeia 7 (01/2011:50104 ) untuk rute cutaneouus use
Angka lempeng total (koloni/ml) 0 0 0 0 0
Staphyloco ccus aureus (koloni/ml) 0 0 0 0 0
Pseudomonas aeruginosa (koloni/ml) 0 0 0 0 0
0
0
0
Maks 102 CFU/g atau CFU/mL
Absen dalam 1g atau 1 mL
Absen dalam 1g atau 1 mL
Kapang (koloni/ml)
Khamir (koloni/ml)
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0
0
Maks 10 CFU/g atau CFU/mL
Hasil analisis menunjukkan bahwa angka lempeng total untuk semua isolat alergen adalah 0 koloni/nol. Angka lempeng total menunjukkan jumlah total mikroorganisme baik aerob maupun anaerob dalam suatu produk. Hasil analisis Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, kapang dan khamir juga menunjukkan hasil 0. Hasil ini memberikan keyakinan bahwa produk alergen dari masing-masing isolat bebas dari kontaminan mikroba dan aman untuk dilakukan uji pada manusia. Kadar Protein Tabel 27 menunjukkan kadar protein masing-masing isolat alergen yang diukur dengan menggunakan metode Bradford. Menurut European Pharmacopoeia 7 1063:2010, kadar protein dalam isolat alergen adalah 80-120% dari konsentrasi yang dinyatakan. Tabel 19 Konsentrasi protein masing-masing isolat alergen No 1 2 3 4 5 6
Reagen SPT Kacang hijau Kacang koro pedang Miofibril kepiting Sarkoplasma kepiting Miofibril cumi-cumi Sarkoplasma cumi-cumi
Kadar protein (ug/ul) 1,10 1,03 0,85 0,99 0,86 0,90
European Pharmacopoeia 7 (2010:1063)
80-120% dari kadar yang dinyatakan
Produk isolat alergen dibuat dengan konsentrasi protein 1 µg/µL sehingga pada saat akan digunakan, konsentrasi protein isolat alergen haruslah berkisar antara 0,8-1,2 µg/µL. Tabel 27 menunjukkan konsentrasi protein masing-masing isolat alergen. Kisaran konsentrasi protein isolat alergen adalah 0,85 – 1,10 µg/µL. Konsentrasi ini sesuai dengan persyaratan yang European Pharmacopoeia 7 1063:2010.
Hasil Skin Prick Test Protein Miofibril dan Sarkoplasma Cumi-Cumi Tabel 28 menunjukkan bahwa 14 responden uji adalah penderita alergi berdasarkan hasil uji IgE total. Analisis IgE spesifik miofibril cumi-cumi menunjukkan bahwa 13 responden memberikan hasil positif alergi terhadap miofibril cumi-cumi dan 6 responden memberikan hasil positif alergi terhadap sarkoplasma cumi-cumi. Secara keseluruhan, semua responden merupakan positif alergi terhadap cumi-cumi Hasil uji tusuk kulit pada Tabel 28 menunjukkan bahwa terdapat variasi hasil antara protein miofibril dan protein sarkoplasma. Contohnya responden 4, memberikan hasil negatif alergi terhadap protein miofibril (0) tetapi memberikan hasil positif alergi yang sangat kuat (+4) terhadap protein sarkoplasma. Sebaliknya pada responden 11, memberikan hasil positif alergi terhadap protein miofibril (+2) tetapi memberikan hasil negatif alergi terhadap protein sarkoplasma (0). Terdapat 7 responden (50%) yang memberikan hasil positif alergi terhadap protein miofibril dan protein sarkoplasma. Berdasarkan hasi uji tusuk kulit maka semua responden pada Tabel 28 adalah positif alergi cumi-cumi walaupun terhadap masing-masing protein miofibril dan sarkoplasma ada yang negatif. Status alerginya menjadi positif karena seseorang mengkonsumsi cumi-cumi adalah tanpa memisahkan protein miofibril dan sarkoplasma. Tabel 20 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi pada responden alergi cumi-cumi Hasil IgEs Hasil SPT Sarkopl Hasil Sarkopl Hasil Miofibri Miofibril asma Dignosis asma Diagnosis 1 1 + + + + 0 +1 + 2 2 + + + +1 0 + 3 3 + + + + +3 +3 + 4 4 + + + 0 +4 + 5 5 + + + +1 0 + 6 11 + + + +2 0 + 7 12 + + + + +1 +1 + 8 14 + + + +1 +2 + 9 17 + + + +1 0 + 10 19 + + + + +1 +4 + 11 21 + + + +1 0 + 12 22 + + + + +3 +3 + 13 30 + + + +3 +3 + 14 31 + + + +4 +3 + +: Positif, - dan 0: Negatif, No. Res: Nomor responden, IgEt: IgE total, IgEs: IgE spesifik, SPT: Skin prickt test No
No. Res
Hasil IgEt
Tabel 21 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi pada responden tidak alergi cumi-cumi. Hasil IgEs Hasil SPT Hasil IgEt Miofibril Sarkoplasma Diagnosis Miofibril Sarkoplasma Diagnosis 1 8 + 0 0 2 15 + 0 0 3 16 + 0 0 4 18 + 0 0 5 20 0 0 6 24 + 0 0 7 25 0 0 8 26 0 0 9 27 0 0 10 29 0 0 11 34 + 0 0 12 35 + 0 0 +: Positif, - dan 0: Negatif, No. Res: Nomor responden, IgEt: IgE total, IgEs: IgE spesifik, SPT: Skin prickt test Tabel 29 menunjukkan bahwa hasil SPT semua responden yang tidak alergi terhadap protein miofibril dan protein sarkoplasma adalah negatif. Terlihat bahwa walaupun responden mempunyai alergi berdasarkan hasi IgE total tetapi belum tentu alergi terhadap cumi-cumi. Hasil IgE spesifik miofibril cumi-cumi dan sarkoplasm cumi-cumi dengan metode ELISA dan SPT menunjukkan bahwa responden tersebut tidak alergi terhadap cumi-cumi. Contohnya adalah responden 15 berstatus alergi tetapi tidak alergi terhadap cumi-cumi. No
No. Res.
Tabel 22 Sensitivitas dan spesifisitas reagen cumi-cumi untuk skin prick test
Reagen SPT cumi-cumi
Alergi, Positif SPT, Jumlah (% Sensitivitas)
Miofibril Sarkoplasma Hasil diagnosis
12/14 (86) 9/14 (64) 14/14 (100)
No
1 2
Alergi, Negatif SPT, Jumlah (% Kesalahan negatif) 2/14 (14) 3/14 (36) 0/14 (0)
Non alergi, Positif SPT, Jumlah (% Kesalahan positif)
Non alergi, Negatif SPT, Jumlah (% Spesifisitas)
0/12 (0) 0/12 (0) 0/12 (0)
12/12 (100) 12/12 (100) 12/12 (100)
Tabel 30 menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas reagen cumicumi untuk uji SPT yang dihitung berdasarkan hasil SPT pada Tabel 28 dan 29. Hasil sensitivitas menunjukkan bahwa reagen miofibril cumi-cumi (86%) lebih tinggi dibandingkan reagen sarkoplasma cumi-cumi (64%) dan tingkat kesalahan negatifnya untuk masing-masing reagen miofibril dan sarkoplasma adalah 14% dan 36%. Hasil diagnosis menggunakan reagen miofibril dan sarkoplasma cumicumi menghasilkan nilai sensitivitas ekstrak protein cumi-cumi adalah 100%. Ini menunjukkan bahwa pemisahan protein cumi-cumi menjadi mofibril dan
sarkoplasma untuk uji SPT dapat meningkatkan nilai sensitivitasnya dan menurunkan terjadinya kesalahan diagnosis negatif. Nilai spesifisitas masingmasing protein miofibril dan sarkoplasma sama, masing-masing adalah 100% dengan tingkat kesalahan terjadinya diagnosis positif 0 %. Protein Miofibril dan Sarkoplasma Kepiting Hasil uji tusuk kulit pda responden alergi menggunakan reagen miofirl dan sarkoplasma kepiting ditunjukan pada Gambar 47.
Sarcoplasmic
( -)
+)
( Myofibrillar
Gambar 33 Hasil skin prick test miofibril dan sarkoplasma kepiting pada responden alergi kepiting Tabel 31 menunjukkan bahwa 13 responden uji adalah penderita alergi berdasarkan hasil uji IgE total dengan metode ELISA. Analisis IgE spesifik miofibril kepiting menunjukkan bahwa 12 responden memberikan hasil positif alergi terhadap miofibril kepiting dan 9 responden memberikan hasil positif alergi terhadap sarkoplasma kepiting. Secara keseluruhan, semua responden merupakan positif alergi terhadap kepiting Tabel 23 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen miofibril dan sarkoplasma kepiting pada responden alergi kepiting Hasil IgEs Hasil SPT No Miofib Sarkop Hasil Sarkop Hasil Miofibril ril lasma Diagnosis lasma Diagnosis 1 2 + + + +1 0 + 2 3 + + + +3 +3 + 3 4 + + + + >+4 +4 + 4 9 + + + 0 +1 + 5 10 + + + +2 0 + 6 11 + + + + 0 +1 + 7 13 + + + + +2 0 + 8 19 + + + + >+4 +2 + 9 22 + + + + +4 +3 + 10 23 + + + + >+4 +3 + 11 28 + + + + +2 +2 + 12 30 + + + + >+4 +4 + 13 36 + + + >+4 0 + +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Res.: Kode responden, IgEt: IgE total, IgEs: IgE spesifik, SPT: Skin prickt test. Kode Resp
Hasil IgEt
Hasil uji tusuk kulit pada tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat variasi hasil antara protein miofibril dan protein sarkoplasma. Contohnya responden dengan kode 9, memberikan hasil negatif alergi terhadap protein miofibril (0) tetapi memberikan hasil positif alergi (+1) terhadap protein sarkoplasma. Sebaliknya pada responden dengan kode 36, memberikan hasil positif alergi sangat kuat terhadap protein miofibril (>+4) tetapi memberikan hasil negatif alergi terhadap protein sarkoplasma (0). Terdapat 7 responden (54%) yang memberikan hasil positif alergi terhadap protein miofibril dan protein sarkoplasma. Berdasarkan hasil uji tusuk kulit maka semua responden pada tabel 31 adalah positif alergi kepiting walaupun terhadap masing-masing protein miofibril dan sarkoplasma ada yang negatif. Status alerginya menjadi positif karena seseorang mengkonsumsi kepiting tanpa memisahkan protein miofibril dan sarkoplasma. Tabel 32 menunjukkan bahwa hasil SPT semua responden yang tidak alergi terhadap protein miofibril dan protein sarkoplasma adalah negatif. Terlihat bahwa walaupun responden mempunyai alergi berdasarkan hasi IgE total tetapi belum tentu alergi terhadap kepiting. Hasil IgE spesifik miofibril kepiting dan sarkoplasm kepiting dengan metode ELISA dan SPT menunjukkan bahwa responden tersebut tidak alergi terhadap kepiting. Contohnya adalah responden 16 berstatus alergi tetapi tidak alergi terhadap kepiting Tabel 24 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen miofibril dan sarkoplasma kepiting pada responden tidak alergi kepiting Kode No Resp
Hasil IgEs Hasil IgEt Miofibril Sarkoplasma
Hasil SPT
Hasil Hasil Miofibril Sarkoplasma Diagnosis Diagnosis 1 1 + 0 0 2 7 0 0 3 8 + 0 0 4 12 + 0 0 5 14 + 0 0 6 16 + 0 0 7 18 + 0 0 8 26 0 0 9 27 0 0 10 29 0 0 11 34 + 0 0 +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Res.: Kode responden, IgEt: IgE total, IgEs: IgE spesifik, SPT: Skin prickt test. Tabel 33 menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas reagen kepiting untuk uji SPT yang dihitung berdasarkan hasil SPT pada tabel 31 dan 32. Hasil sensitivitas menunjukkan bahwa reagen miofibril kepiting (85%) lebih tinggi dibandingkan reagen sarkoplasma kepiting (69%) dan tingkat kesalahan negatifnya untuk masing-masing reagen miofibril dan sarkoplasma adalah 15% dan 31%. Apabila digabungkan hasil sensitivitas miofibril dan sarkoplasma
kepiting maka akan diperoleh nilai sensitivitas isolat protein kepiting adalah 100%. Ini menunjukkan bahwa pemisahan protein kepiting menjadi mofibril dan sarkoplasma untuk uji SPT akan menngkatkan nilai sensitivitasnya dan menurunkan terjadinya kesalahan diagnosis negatif. Nilai spesifisitas masingmasing protein miofibril dan sarkoplasma sama, masing-masing adalah 100% dengan tingkat kesalahan terjadinya diagnosis positif 0 %. Tabel 25 Sensitivitas dan spesifisitas reagen kepiting untuk skin prick test
Reagen SPT
Alergi, Positif SPT, Jumlah (% Sensitivitas)
1 Miofibril 2 Sarkoplasma Hasil diagnosis
11/13 (85) 9/13(69) 13/13 (100)
No
Alergi, Negatif SPT, Jumlah (% Kesalahan negatif) 2/13 (15) 4/13 (31) 0/13 (0)
Non alergi, Positif SPT, Jumlah (% Kesalahan positif)
Non alergi, Negatif SPT, Jumlah (% Spesifisitas)
0/11 (0) 0/11 (0) 0/11 (0)
11/11 (100) 11/11 (100) 11/11 (100)
Isolat Protein Kacang Hijau Tabel 34 menunjukkan bahwa semua responden adalah penderita alergi berdasarkan hasil total IgE dan semua responden adalah alergi terhadap kacang hijau berdasarkan hasil IgE spesifik. Hasil SPT menunjukkan bahwa terdapat 6 responden yang hasil diagnosisnya positif dan sesuai dengan hasil IgE specific. Ini menunjukkan bahwa nilai sensitivitas reagent kacang hijau adalah 75% (6/8) (positive allergy = 6 dan jumlah responden = 8). Tabel 34 juga menunjukkan bahwa 2 responden hasil diagnosis SPT adalah negatif yang seharusnya adalah positif. Ini menunjukkan bahwa negative error reagen kacang hijau dalam diagnosis alergi adalah 25% (2/8) (negative allergy =2 dan jumlah responden = 8). Tabel 26 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen kacang hijau pada responden alergi kacang hijau No Kode Resp. Hasil IgEt Hasil IgEs Hasil SPT 1 04 + + 0 2 06 + + +2 3 08 + + +2 4 09 + + +1 5 14 + + +1 6 21 + + +1 7 28 + + 0 8 31 + + +3 +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Resp: Kode responden
Tabel 27 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen kacang hijau pada responden tidak alergi kacang hijau No Kode Resp Hasil IgEt Hasil IgEs Hasil SPT 1 07 0 2 11 + 0 3 12 + 0 4 17 + 0 5 18 + 0 6 19 + 0 7 20 0 8 23 + 0 9 24 + 0 10 26 0 11 30 + 0 12 34 + 0 +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Resp: Kode responden Tabel 35 menunjukkan bahwa 9 responden adalah penderita alergi dan 3 responden bukan penderita alergi berdasarkan hasil IgE total. Berdasarkan analisis IgE spesifik menunjukkan semua responden pada tabel 35 adalah tidak alergi terhadap kacang hijau walaupun ada 9 responden yang positif allergi. Kemungkinan 9 responden tersebut alergi terhadap pangan lain tapi tidak alergi terhadap kacang hijau. Hasil SPT menunjukkan bahwa semua responden adalah negatif alergi. Ini menujukkan bahwa spesifisitas reagen kacang hijau dalam mendiagnosis alergi adalah 100% dengan kesalahan positif 0%. Isolat Protein Kacang Koro Pedang Tabel 36 menunjukkan bahwa semua responden adalah penderita alergi berdasarkan hasil total IgE dan semua responden adalah alergi terhadap kacang koro pedang berdasarkan hasil IgE spesifik. Hasil SPT menunjukkan bahwa terdapat 7 responden yang hasil diagnosisnya positif dan sesuai dengan hasil IgE specific. Ini menunjukkan bahwa nilai sensitivitas reagent kacang koro pedang adalah 87,5% (7/8) (positif alergy = 7 dan jumlah responden = 8). Tabel 28 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen kacang koro pedang pada responden alergi kacang koro pedang No Kode Resp. Hasil IgEt Hasil IgEs Hasil SPT 1 06 + + +1 2 10 + + +1 3 11 + + +1 4 13 + + 0 5 14 + + +1 6 21 + + +1 7 31 + + +2 8 36 + + +1 +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Resp: Kode responden
Tabel 29 Hasil IgE total, IgE spesifik, dan SPT reagen kacang koro pedang pada responden tidak alergi kacang koro pedang No Kode Resp. Hasil IgEt Hasil IgEs Hasil SPT 1 03 + 2 04 + 3 05 + 4 07 5 16 + 6 17 + 7 18 + 8 26 9 27 10 32 + 11 34 + 12 35 + +: Positif, - dan 0: Negatif, Kode Resp: Kode responden Tabel 36 juga menunjukkan bahwa 1 responden hasil diagnosis SPT adalah negatif yang seharusnya adalah positif. Ini menunjukkan bahwa negative error reagen kacang koro pedang dalam diagnosis alergi adalah 12,5% (1/8) (negatif alergi =1 dan jumlah responden = 8). Tabel 37 menunjukkan bahwa 9 responden adalah penderita alergi dan 3 responden bukan penderita alergi berdasarkan hasil IgE total. Berdasarkan analisis IgE spesifik menunjukkan semua responden pada tabel 37 adalah tidak alergi terhadap kacang koro pedang walaupun ada 9 responden yang positif alergi. Kemungkinan 9 responden tersebut alergi terhadap pangan lain tapi tidak alergi terhadap kacang koro pedang. Hasil SPT menunjukkan bahwa semua responden adalah negatif alergi. Ini menujukkan bahwa spesifisitas reagen kacang koro pedang dalam mendiagnosis alergi adalah 100% dengan kesalahan positif 0%.
Uji Stabilitas Produk Alergen Uji stabilitas pada penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan atau potensi isolat alergen apabila disimpan pada suhu anjuran penyimpanan yaitu 2-8 C° selama 6 bulan. Uji stabilitas dilakukan sesuai dengan metode Grier et al. (2008). Parameter yang diamati adalah profil kemampuan protein alergen berikatan dengan antibodi IgE spesifik menggunakan metode ELISA. Parameter berikutnya adalah profil konsentrasi protein isolat alergen selama penyimpanan menggunakan metode Bradford. Menurut Plunkett dan Schell (2008), faktorfaktor yang dapat mempengaruhi stabilitas produk alergen adalah suhu, oksidasi, reaksi kimia, pengaruh biologis, pengaruh gliserin, efek fenol, pelarutan dan enzim. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh konsentrasi gliserol dalam produk alergen yang disimpan pada suhu anjuran 2-8 C° selama 6 bulan di dalam
refrigerator. Konsentrasi glieserol yang digunakan adalah 10%, 25%, dan 50% sesuai dengan metode Grier et al. (2008). Uji stabilitas produk alergen dilakukan terhadap reagen miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang. Uji stabilitas tidak dilakukan terhadap kepiting karena keterbatasan sampel. Profil Recovery Konsentrasi Protein Gambar 48 menunjukkan profil recovery konsentrasi protein alergen miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang. Recovery konsentrasi protein dihitung terhadap konsentrasi protein pada kontrol di masing-masing konsentrasi gliserol.
(A) Miofibril cumi-cumi
(B) Sarkoplasma cumi-cumi
(C) Kacang hijau
(D) Kacang koro pedang Gambar 34 Nilai recovery konsentrasi protein alergen (A) miofibril cumi-cumi, (B) sarkoplasma cumi-cumi, (C) kacang hijau dan (D) kacang koro pedang disimpan pada suhu 2-8 °C selama 6 bulan (hijau: recovery > 70%, kuning: recovery 50-70% dan merah: recovery <50%)
Grier et al. (2012) membagi tiga kategori nilai recovery yang ditandai dengan warna pada histogram adalah (1) lebih dari 70% berwarna hijau, (2) antara 50-70% berwarna kuning (3) dan kurang dari 50% berwarna merah. Dari gambar tersebut diketahui bahwa produk alergen miofibril cumi-cumi, kacang hijau dan kacang koro pedang bersifat stabil disimpan pada suhu 4 °C selama pengamatan 6 bulan disemua konsentrasi gliserol. Hanya protein sarkoplasma yang memberikan nilai recovery antara 50-70% (warna kuning). Profil Recovery IgE Spesifik Gambar 49 menunjukkan profil recovery antibodi IgE spesifik yang dapat berikatan dengan protein alergen miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, kacang hijau, dan kacang koro pedang.
(A) Cumi-cumi miofibril
(B) Sarkoplasma cumi-cumi Gliserol 25%
Gliserol 50% 250%
200%
200%
200%
150% 100%
150% 100%
50%
50%
0%
0%
1
2
3 4 Waktu (Bulan)
5
6
Recovery (%)
250%
Recovery (%)
Recovery (%)
Gliserol 10% 250%
150% 100% 50% 0%
1
2
3
4
5
6
Waktu (Bulan)
1
2
3 4 Waktu (Bulan)
5
6
(C) Kacang hijau
(D) Kacang koro pedang Gambar 35 Nilai recovery IgE spesifik protein alergen (A) miofibril cumi-cumi, (B) sarkoplasma cumi-cumi, (C) kacang hijau dan (D) kacang koro pedang disimpan pada suhu 2-8 °C selama 6 bulan (hijau: recovery > 70%, kuning: recovery 50-70% dan merah: recovery <50%).
Semua isolat protein alergen relatif stabil dalam kemampuannya berikatan dengan antibodi igE spesifik selama penyimpanan dalam refrigerator pada suhu 4 °C pada semua konsentrasi gliserol.