VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
1)
Perikanan Tangkap dan Budidaya Kawasan pantai Kecamatan Merawang yang membentang dari arah
selatan menyisir ke bagian barat, menyusuri pesisir pantai hingga ke utara Kabupaten Bangka, diperuntukkan untuk berbagai jenis pemanfaatan. Diantaranya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Ada beberapa komoditas unggulan hasil perikanan di Kabupaten Bangka yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka No Jenis Volume (Ton) Nilai (Rp l.000,00) 1 Tembang 3.468,53 13.240.411,00 2 Lemuru 2.630,56 11.239.254,00 3 Selar 2.063,90 17.118.114,00 4 Tetengkek 1.374,72 11.239.254,00 5 Tongkol 1.899,16 17.272.658,00 Jumlah 5.047,50 75.951.300,00 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tahun 2007.
Gambar 4 Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka Tahun 2007. Tabel 15 dan Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang paling tinggi produksinya adalah ikan Tembang sebanyak 3.468,53 ton
47
Jumlah produksi untuk komoditas unggulan lainnya, lebih rendah seperti ikan Lemuru sebanyak 2.630,56 ton, ikan Selar 2.063,90 ton, dan ikan Tongkol 1.899,16 ton serta ikan Tetengkek sebanyak 1.374,72 ton. Secara umum perkembangan dan perbandingan antara produksi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya untuk Kabupaten Bangka selama tahun 1997-2007 terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya di Kabupaten Bangka Tahun 1997-2007 Produksi Perikanan (Ton) Nilai Produksi (Rpl.000,00) Tahun Tangkap Budidaya Tangkap Budidaya 1997 16.119,60 3.578,10 9.502.640,00 12.727.290,00 1998 16.526,20 3.724,20 9.530.225,00 14.259.230,00 1999 15.333,60 2.629,70 9.924.360,00 14.648.050,00 2000 15.351,00 2.687,50 10.260 815,00 21.564.390,00 2001 15.011,40 2.828,90 16.031.275,00 56.383.555,00 2002 16.402,40 2.890,90 20.940.425,00 44.794.345,00 2003 17.669,70 2.870,50 19.177.880,00 70.301.680,00 2004 16.336,60 2.835,00 22.973.755,00 63.084.750,00 2005 16.368,30 3.731,80 23.276.355,00 67.952.940,00 2006 16.599,70 3.851,60 23.785.225,00 68.176.500,00 2007 17.543,55 3.887,95 24.908.720,00 69.780.537,00 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Gambar 5 Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan Budidaya Tahun 1997-2007.
48
Total produksi untuk perikanan tangkap setiap tahunnya dibandingkan perikanan budidaya sangat berbeda jauh. Tingginya volume produksi perikanan tangkap disebabkan karena populasi nelayan juga besar, dimana perikanan tangkap menjadi sumber penghasilan utama, khususnya di Kecamatan Merawang. Hal tersebut berdasarkan data jumlah armada, jumlah nelayan dan jumlah produksi di Kecamatan Merawang, seperti terlihat pada Tabel 17,18,19 dan 20. Tabel 17 Jumlah Armada Perikanan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 Motor Kapal Motor (unit) Perahu tanpa No Kehirahan/Desa Tempel motor (unit) 0-5 5-10 (unit) 1 Kel. Jade 18 19 4 1 2 Kel.Riding Panjang 55 54 6 0 3 Desa Pagarawan 47 13 0 0 Jumlah 120 86 10 1 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007. Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah armada terbanyak adanya di Kelurahan Riding Panjang untuk perahu tanpa motor, motor tempel maupun untuk kapal motor, karena di kelurahan tersebut pekerjaan utama dari penduduk adalah nelayan atau petambak dan domisilinya sebagian besar di wilayah pesisir. Kemudian di Desa Pagarawan armada yang dominan adalah perahu tanpa motor, sedangkan di Kelurahan Jade armada motor tempel lebih banyak dari perahu tanpa motor. Secara umum jenis armada di atas menggambarkan bahwa umumnya daerah penangkapan oleh nelayan di kelurahan/desa tersebut, dilakukan di bagian dalam wilayah perairan (inner zone) atau perikanan pantai, sedangkan hanya sebagian kecil dari nelayan yang melakukan penangkapan di daerah luar wilayah perairan Kabupaten Bangka (putter zone). Tabel 18 Jumlah Nelayan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Bangka Tahun 2007 Kapal Motor Motor Perahu tanpa (orang) No Kelurahan/Desa Tempel motor (orang) (orang) 0-5 5-10 1 Kel. Jade 11 38 17 0 2 Kel. Riding Panjang 54 86 19 0 3 Desa Pagarawan 47 10 0 0 Jumlah 112 134 36 0 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.
49
Berdasarkan Tabel 18, maka dapat dilihat bahwa jumlah nelayan yang terbanyak juga adanya di Kelurahan Riding Panjang, karena memang jumlah armadanya juga yang terbanyak. Untuk jenis armada motor tempel, jumlah nelayannya lebih banyak tiap unit armada, biasanya dalam satu unit armada memiliki 2 (dua) sampai 3 (tiga) orang nelayan. Selanjutnya Desa Pagarawan, nelayannya dominan menggunakan perahu tanpa motor, sedangkan nelayan di Kelurahan Jade lebih banyak menggunakan motor tempel. Jumlah nelayan yang menggunakan kapal motor untuk tiap unit armada biasanya 4 (empat) sampai 5 (lima) orang. Tabel 19 Jenis Alat Tangkap per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Jenis Alat Tangkap Kel. Kel. Riding Desa Jumlah Jade Panjang Pagarawan 1 Jaring Insang Hanyut 0 50 4 54 2 Bagan Perahu 4 0 0 4 3 Bagan Tancap 0 0 3 3 4 Rawai Tetap 19 0 2 21 5 Pancing Tonda 0 0 1 1 6 Perangkap 0 0 35 35 7 Pancing 11 5 15 31 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007. Jenis alat tangkap yang terbanyak pada Tabel 19, adalah jaring insang hanyut di Kelurahan Riding Panjang, kemudian jenis perangkap di Desa Pagarawan. Di Kelurahan Jade jenis rawai tetap lebih dominan. Untuk jenis pancing, digunakan oleh nelayan pada tiap kelurahan/desa. Menurut responden karena pancing tersebut tidak membutuhkan biaya operasional yang tinggi, pengoperasian alatnya tidak sulit. Dengan pancing tersebut nelayan juga menangkap jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu dan sunu. Tabel 20 Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kelurahan/Desa Produksi (ton) Nilai (Rpl.000,00) 1. Kel. Jade 375,00 523.715,10 2. Kel.Riding Panjang 776,40 954.454,10 3. Desa Pagarawan 229,60 403.209,40 Jumlah 1381,00 1.881.378,60 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.
50
Jumlah produksi Tahun 2007 pada Tabel 20, menunjukkan yang terbanyak di Kelurahan Riding Panjang, sebesar 776,40 ton. Hal ini disebabkan karena di kelurahan tersebut, jumlah armada, nelayan dan alat tangkapnya memang paling banyak, penduduknya juga padat, selain itu karena wilayahnya juga paling luas dibandingkan Kelurahan Jade dan Desa Pagarawan. 2)
Ekosistem Mangrove Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka 40,28 ha. Berdasarkan
hasil pemetaan hutan mangrove pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Bangka dengan perincian seperti yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bangka No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Bakam Bukit Layang 2,35 5,83 Mabat 1,11 2,76 Total 3,46 8,59 2 Belinyu Air Jakung 1,21 3,00 Kuto Panji 2,57 6,38 Gunung Muda 2,20 5,46 Air abik 0,14 0,35 Bukit Ketok 1,10 2,73 Total 7,22 17,92 3 Sungailiat Sinar Baru 1,85 4,59 Kudai 15,25 37,86 Total 17,10 42,45 4 Merawang Pagarawan 2,08 5,16 Riding Panjang 8,34 20,71 Jade 2,08 5,16 Total 12,50 31,04 Kabupaten Bangka 40,28 100,00 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, 2007. Jenis vegetasi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Bangka terdiri atas jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), nipa (Nypa fruticans). Penyebaran masing-masing jenis vegetasi tersebut cukup merata pada setiap pantai di kecamatan. Jenis vegetasi yang dominan adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp) dan gogen (Sonetharia sp). Ketiga jenis vegetasi mangrove tersebut pertumbuhannya cukup baik dengan penutupan tajuk rata-rata rapat. Secara khusus, untuk
51
Kecamatan Merawang mempunyai data fisik hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Data Fisik Hutan Mangrove Kecamatan Merawang No Data Fisik Mangrove Desa Kel. Riding Kel. Jade Pagarawan Panjang 1 Lebar (m) 7-10 7-10 5-7 2 Tinggi Tegakan (m) 15-17 15-17 10-15 3 Jenis Vegetasi Api-Api, Bakau Api-Api, Bakau Api-Api dan lainnya dan lainnya dan Bakau 4 Kerapatan Sedang-rapat Sedang-rapat Sedang 5 Kedalaman Lumpur (cm) 30-60 30-60 0-30 6 Derajat keasaman/pH (ppm) 6,5-7 6,5-7 6,5-7 7 Besar Pasang Surut (cm) 159 159 159 8 Besar Gelombang Laut (m) 0,51-1 0,51-1 0,51-1 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, 2007. Tabel 22 menggambarkan kondisi aktual fisik hutan mangrove di Kecamatan Merawang, dimana lebar mangrove, tinggi tegakan mangrove, jenis vegetasi, kerapatan, kedalaman lumpur, untuk Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan relatif sama. Lebar mangrove untuk dua desa/kelurahan tersebut sebesar 7 sampai 10 meter, tinggi 15 meter sampai 17 meter, jenis vegetasi juga relatif sama yaitu bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), dan nipa (Nypa fruticans). Selanjutnya kerapatan sedang sampai rapat dan kedalaman lumpur antara 30-60 cm. Kelurahan Jade, lebar 7-10 meter, tinggi 5-7 meter, jenis vegetasi hanya bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avicennia sp). Kerapatan di Kelurahan Jade tergolong sedang dengan kedalaman lumpur 0-30 cm. pH, pasut dan gelombang laut untuk ketiga desa/kelurahan, juga relatif sama, hal tersebut karena kondisi geografis wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Derajat kemasaman tergolong normal yaitu antara 6,5-7 ppm, pasang surut berkisar 0-159 cm. Menurut Saenger et al. (1983) bahwa umumnya mangrove tumbuh pada level pasang surut yang rendah. 6.2
Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Hutan mangrove yang hampir menutupi sepanjang pantai, secara
administratif yang masuk ke dalam Kecamatan Merawang adalah seluas 40,28 ha. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, sejak puluhan tahun terakhir
52
dilakukan secara terus menerus, yang menimbulkan tekanan hingga akhirnya luasan mangrove hanya tersisa seperti sekarang ini. Upaya pelestarian hutan mangrove
saat
ini telah
diterapkan
dengan
membatasi
kecenderungan
pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan, sehingga hutan tetap lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Merawang oleh masyarakat saat ini cukup beragam, baik sebagai usaha subsisten mau pun yang komersial. Berdasarkan hasil olahan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner dengan responden, dapat diidentifikasi beberapa manfaat hutan yang bisa secara langsung dirasakan oleh masyarakat adalah seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pemanfaatan Hutan Mangrove No
Manfaat
1 Kayu Bakar (ikat) 2 Bibit Bakau (batang) 3 Kepiting (ekor) Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), 2007.
Pemanfaatan Rata-rata per Responden per Tahun 85 4.464 1.932
Pada Tabel 23, dapat dilihat beberapa jenis manfaat hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian dan secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi hutan mangrove tersebut. Jenis vegetasi mangrove yang dominan ada di lokasi penelitian dan paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp). 6.3
Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada
Ekosistem Hutan Mangrove Pendugaan nilai ekonomi mangrove yang didekati melalui konsumen surplus Marshallian dengan kurva permintaan yang berslope negatif. Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang mengikuti persamaan berikut : Qi = β0X1β1X2β2…Xnβn dan
53
⎛Q⎞ X = ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ β'⎠
U=
∫
a
0
1
β1
f (Q)dQ
Surplus konsumen diduga dari persamaan berikut : CS = U- Pt, dimana Pt = X1xQ Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh nilai kepuasan (utility) dan surplus konsumen untuk total pemanfaatan Ikan Bandeng dari pola usaha monokultur Ikan Bandeng dan Polikultur Udang dan Ikan Bandeng yang telah distandarisasi menjadi monokultur Ikan Bandeng, kemudian jenis pemanfaatan kayu bakar dan kepiting, bibit bakau dan hasil dari pola usaha monokultur udang. Selengkapnya hasil pendugaan yang diperoleh, terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Pendugaan Surplus Konsumen dari Sumberdaya Ekosistem Mangrove/tahun No Jenis Luas RataUtility Surplus Pemanfaatan Lahan rata (Rp) Konsumen (ha) Q (Rp) 1 Bibit Bakau 12,50 4.464 1.379.687,62 269.746,95 2 Kayu Bakar 12,50 85 2.528.835,93 1.866.739,09 3 Kepiting 12,50 1.932 18.384.270,97 13.695.273,91 4 Tambak Ikan 112,00 2.416 12.553.318,64 4.722.766,58 Bandeng 5 Tambak Ikan 21,00 5.040 98.588.527,95 95.235.125,20 Bandeng dan Udang 6 Tambak Udang 13,50 649 5.031.723,77 2.122.065,26 Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), 2007. Tabel 24 menunjukkan bahwa utility terbesar adalah dari pemanfaatan hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang sebesar Rp98.588.527,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp95.235.125,20. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 21,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen 5.040 ekor per tahun. Kemudian utility dari hasil Kepiting juga tinggi, sebesar Rp18.384.270,97 dengan konsumen surplus sebesar Rp13.695.273,91. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 1.932 ekor per tahun.
54
Utility untuk hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang adalah sebesar Rp98.588.527,95 dengan surplus konsumen sebesar Rp95.235.125,50, dimana nilai tersebut diperoleh dari luas lahan hutan mangrove seluas 21,00 ha. Rata-rata permintaan konsumen terhadap hasil tambak ini sebanyak 5.040 ekor per tahun, sedangkan utility untuk hasil pemanfaatan kepiting sebesar Rp18.384.270,97 dan besarnya surplus konsumen yang diperoleh sebesar Rp13.695.273,91 dengan jumlah rata-rata permintaan dari konsumen sebesar 1.932 ekor per tahunnya, nilai ini diperoleh dari luas lahan mangrove seluas 12,50 ha. Plot permintaan berdasarkan utility konsumen terhadap hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang serta pemanfaatan Kepiting, ditunjukkan oleh Gambar 6 dan 7.
(Rp/Kg)
P
(Kg)
Gambar 6 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Ikan Bandeng dan Udang.
55
(Rp/Kg)
P
(Kg)
Gambar 7 Plot Utility konsumen terhadap Hasil Kepiting.
Utility untuk hasil tambak Ikan Bandeng adalah sebesar Rp12.553.318,64 dengan surplus konsumen sebesar Rp4.722.766,58. Nilai tersebut diperoleh dari lahan yang seluas 112,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 2.416 ekor per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 8.
(Rp/Kg)
P
(Kg) Gambar 8 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Ikan Bandeng.
56
Utility konsumen dari jenis hasil tambak Udang adalah sebesar Rp5.031.723,77 dengan surplus konsumen sebesar Rp2.122.065,26. Nilai tersebut diperoleh dari lahan seluas 13,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 649 ekor per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 9.
(Rp/Kg)
P
(Kg)
Gambar 9 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Udang.
Surplus konsumen yang dihasilkan dari jenis pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar seperti pada Tabel 24 adalah sebesar Rp2.528.835,93 dengan utility sebesar Rp1.866.739,09. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 85 batang per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 10.
57
(Rp/Kg)
P
(Kg)
Gambar 10 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil kayu Bakar. Utility konsumen dari jenis hasil Bibit Bakau adalah sebesar Rp1.379.687,62 dengan surplus konsumen sebesar Rp269.746,95. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 4.464 bibit per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen terhadap hasil Bibit Bakau dapat disajikan pada Gambar 11.
(Rp/Kg)
P
(Kg) Gambar 11 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Bibit Bakau.
58
6.4
Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya sumberdaya
perikanan oleh rumah tangga perikanan (RTP) sekarang ini memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk jenis-jenis pemanfaatan hutan mangrove, maka nilai optimal dapat diperoleh melalui fungsi tujuan dan kendala berikut : a)
Usaha Tambak Polikultur (Udang + Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π = 366.68 qu + 2706.74 qb - 1028.82 x1 – 2100 x2 – 1200 x3 - 28.51 x4 – 68.51 x5 - 976.92 x6 - 14156.52 x7 - 2500 l Subject..to: qu <1881.048 ; qb < 236.667; x1 <80.952; x2 ≤ 57.143 ; x3 ≤ 54.762 ; x4 ≤ 6159.524 ; x5 ≤ 1890.476 ; x6 ≤ 61.905 ; x7 ≤ 1.095 ; l ≤ 193.371; 0.04 qub – x1 = 0 ; 0.03 qub – x3 = 0 ; 2.91 qb – x4 = 0 ; 0.89 qb – x5 = 0 ; 0.03 qub – x6 = 0 ; 0.0005171 qub – x7 = 0 ; 0.091311387 qub – l = 0 ; 1028.82 x1 + 2100 x2 + 1200 x3 + 28.51 x4 + 68.51 x5 + 976.92 x6 + 14156.52 x7 + 2500 l < 13652100
b)
Usaha Tambak Monokultur (Udang) per tahun per ha Max π = 4461 qu -1490x1,- 2300x2 -1300x3 -22.25997249x4 -1200x5-7500x6 – 2492l Subject.. to : 481 ≤ qu;718.5185185 ≤ x1;46≤ x2;46 ≤ x3;13463 ≤ x4;100 ≤ x5;2 ≤ x6;185.8 ≤ l; qu.- x1,= 0;0.095531587qu - x2 = 0;0.096302003qu - x3 = 0;28.00462qu - x4 =0; 0.208012327qu - x5 = 0;0.004622496qu - x6 = 0;0.386440678 qu – l =0; 28829250 ≤ 1490x1,+ 2300x2 + 1300x3 + 22.25997249x4 +1200x5, +7500x6 + 2492l
c)
Usaha Tambak Monokultur (Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π =3265.42 qbg - 1070 .00 x1 – 2026.79x2 - 1200 .00 x3 -118.76 x4 –820.39 x5 – 20.69 x6 – 2474.96 l Subject ..to : qbg ≤ 647.05 ; x1 ≤ 59.82 ; x2 ≤ 84.15 ; x3 ≤ 68.30 ; x4 ≤ 3783.48 ; x5, ≤ 36.79 ; x6 ≤ 12.95; l ≤ 100.91 ; 0.9245 qbg – x1,= 0 ; 0.13005x2 – 0.10556 qbg – x3= 0 ; 5.847252 – x4 = 0 ; 0.05685 qbg – x5 = 0 ; 0.02001 qbg – x6 = 0;0.15595 qbg – l =0 ; 1070 x1 + 2026.79 x2 + 1200 x3 + 118.76 x4 + 820.39 x5 + 20.69 x6 + 2474.96 l ≤ 117158500
59
d)
Penangkapan Kepiting per trip Max π = 2430 qk - 15682 xk - 1000 l Subject ..to : total / tahun qk ≤ 9;.xk. ≤ 0.0I460177; l ≤ 0.89380531; 0.001552941 qk -xk, = 0;0.095058824qk l = 0;15682 xk +1000l ≤ 16682
e)
Kepiting per tahun Max π = 2430 qk – 15682 xk – 1000 l Subject.. to : Total / tahun qk ≤ 21250; xk ≤ 33; l ≤ 2020; 0.001552941qk -xk = 0; 0.095058824qk – l = 0; 15682 xk + 1000 l ≤ 2782738
f)
Pengambilan Kayu Bakar per trip Max π = 13735qy - 26666.67xy.- 1200 l Subject ..to : qy ≤ l.00; xy ≤ 0.016601563; l ≤ 1.13; 0.016601563qy -xy =0; 1.13 qy – l = 0 26666.67xy + 2000 l ≤ 28666.67
g)
Pengambilan Kayu Bakar per tahun Max π = 13735qy – 26666.67 xy - 2000 l Subject ..to : qy ≤ 1024; xy ≤ 17; l ≤ 1158; 0.016601563 qy -xy = 0; 1.13qy -1 = 0;266667.67xy + 1200 l ≤ 3532766
h)
Pengambilan Bibit Bakau per trip Max π = 220.16 qbk -53.94871795 xbk. –976.52582161 l Subject ..to : qbk ≤ 651.0417; xbk ≤ 507.812500; l ≤ 1.109375; 0.78 qbk - xbk = 0; 0.001704 qbk – l = 0; 53.94871795 xbk + 976.5258216 l ≤ 1030.47454
i)
Pengambilan Bibit Bakau per tahun Max π = 220.16 qbk - 53.94871795 xbk – 976.5258216 l Subject ..to: qbk ≤ 62500; xbk ≤ 48750; l ≤ 107; qbk - xbk =0; 0.001704 qbk - l = 0; 53.94871795 xbk + 976.5258216 l ≤ 2734000
60
Penyusunan model di atas, memperlihatkan bahwa fungsi tujuan dari optimalisasi tersebut memaksimalkan keuntungan, yang merupakan selisih dari total penerimaan dari produksi output dengan total biaya yang dikeluarkan dari pemakaian input dan upah tenaga kerja. Koefisien untuk masing-masing variabel merupakan harga atau biaya untuk tiap unit output atau input. Unsur kendala adalah keterbatasan sumberdaya yang merupakan variabel produksi (output), keterbatasan biaya operasional dan biaya tetap, keterbatasan upah tenaga kerja dan keterbatasan modal usaha. Keterbatasan tersebut ditandai dengan pertidaksamaan lebih kecil (<=) dan sama dengan (=). Nilai pemanfaatan sumberdaya dibatasi sesuai dengan total pemanfaatan per hektar per tahun dan per hektar per trip, total pemakaian input per hektar per tahun, total hari orang kerja (HOK) per hektar per tahun. Koefisien untuk masing-masing variabel kendala adalah nilai atau besarnya pemakaian input untuk menghasilkan 1 (satu) satuan output (kilogram atau ekor). Keuntungan (π) optimal atau maksimal per tahun yang merupakan fungsi tujuan berdasarkan selisih dari total revenue dengan total cost, upah labor, yang juga diperoleh dengan bantuan Maple 9.5. Hasil perhitungan diperoleh keuntungan optimal tertinggi dihasilkan oleh jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp49.275.070,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Keuntungan optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan monokultur ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Selengkapnya hasil yang diperoleh dapat disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Nilai Manfaat Optimal Ekosistem Hutan Mangrove Tahun 2007 per ha Manfaat Biaya Optimal Keuntungan No Jenis Pemanfaatan Optimal (Rp) (Rp) Optimal (Rp) 1 Bibit Bakau 10.732.800,00 2.711.051,64 8.021.748,36 2 Kayu Bakar 8.241.000,00 3.042.573,26 5.198.426,74 3 Kepiting 51.632.570,12 2.357.500,00 49.275.070,00 4 Tambak Udang 34.702.803,32 23.973.581,80 10.729.221,52 5 Tambak Ikan Bandeng 1.330.343,52 34.064,76 1.296.278,76 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng 339.604,00 297.482,67 42.121,02 Total 106.979.120,96 32.416.254,13 74.562.866,04 Sumber: Data Primer (Lampiran 2), 2007.
61
Pemecahan nilai optimal dari output dan pemakaian input untuk masingmasing jenis pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan program Maple 9.5. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai Optimal Output dan Input dari Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove oleh Petambak per hektar per Tahun Jmlh Petambak qu qbg X1 X2 X 3 X 4 X 5 X6 L Resp. 10 10 30
Polikultur Monokultur Udang Monokultur Ikan Bandeng
1.881 237 0 7.779 0 7.779 0 104
0 0 689 211 0 0 743 749 21.787 1.618 36 3.006
10
84
0
606
6
2
16
Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007. Tabel 26 menunjukkan output optimal rata-rata per hektar per tahun untuk usaha monokultur udang sebanyak 7.779 ekor, pemakaian input lebih besar dari pola usaha lain, dimana input berupa bibit benur sebanyak 21.787 ekor, juga pemakaian input lain seperti kapur sebanyak 7.779 kg, 743 kg untuk pupuk urea, 749 kg untuk TSP, pestisida 1.618 kg untuk saponin dan 36 bungkus untuk cap bintang. Hari orang kerja (HOK) untuk pola usaha tersebut sebanyak 3.006 HOK. Nilai optimal diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan dan musim panen sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Pola usaha monokultur udang layak untuk
diusahakan,
karena
menghasilkan
manfaat
optimal
sebesar
Rp34.702.803,32. Selain itu keuntungan optimal yang diperoleh juga lumayan besar yaitu sebesar Rp10.729.221,52. Pemakaian input juga lebih besar dari pola usaha lain, sehingga petambak kadang-kadang mengalami kerugian. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng pada Tabel 26 diatas, juga memperlihatkan bahwa produksi atau output optimal dalam setahun per hektar untuk ikan sebanyak 104 ekor. Sedangkan pemakaian input optimal untuk pupuk sebanyak 10 kg, urea 84 kg, TSP 0 kg, pestisida saponin dan cap bintang masingmasing sebanyak 6 kg dan 2 bungkus. Penggunaan bibit nener yang optimal untuk menghasilkan output diatas sebanyak 606 ekor. Hari orang kerja (HOK) optimal untuk pola usaha tersebut sebanyak 16 HOK. Total manfaat optimal dari output optimal diperoleh sebesar Rp33.960.369,81 per ha, total biaya optimal dari penggunaan input optimal sebesar Rp297.482,67. Pola usaha tersebut cukup layak
62
untuk diusahakan karena keuntungan optimal yang diperoleh sebesar Rp42.121,02 per ha. Pola usaha tambak polikultur udang dan ikan menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp1.330.343,52 per ha dan biaya optimal sebesar Rp34.064,76 sehingga keuntungan optimal diperoleh sebesar Rp1.296.278,76. Output optimal rata-rata per tahun per hektar sebanyak 1.881 ekor untuk udang dan 237 ekor untuk ikan, dengan pemakaian input optimal berupa benur sebanyak 689 ekor dan nener 211 ekor. Input lain tidak memberikan nilai yang optimal atau nol. Polikultur untuk udang 2 (dua) kali musim panen dalam setahun, sedangkan untuk ikan hanya sekali panen dalam setahun. Nilai optimal tersebut diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa diantara ketiga pola usaha tersebut, yang paling layak dan memberikan nilai optimal terbanyak per hektar per tahun adalah usaha polikultur dan udang. Populasi
petambak
di
Kecamatan
Merawang,
lebih
dominan
mengoperasikan tambak dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, karena menurut hasil wawancara dengan RTP, pola usaha tersebut tidak memerlukan modal besar dan resiko kegagalan panen relatif kurang. Dilokasi penelitian dominan responden dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, sehingga produksi Ikan Bandeng juga tinggi dibandingkan hasil produksi dari komoditaskomodilas lain yang dibudidayakan. Jumlah responden untuk monokultur Ikan Bandeng sebanyak 30 rumah tangga perikanan (RTP) dan musim panen sekali dalam setahun. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng menurut responden, ternyata tetap tidak memberikan keuntungan maksimal dan tidak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga perikanan, karena selain pola usaha tersebut hanya sekali dalam setahun musim panen, juga karena ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan darat yang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dengan kata lain harga pasar dari ikan tersebut cukup rendah. Hal ini berdasar pada data yang diperoleh, dimana harga konsumen rata-rata per ekor hanya sebesar Rp2.500,00 sampai Rp3.500,00. Berdasar pada kondisi tersebut, sebagian besar rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang mengusahakan mata pencaharian alternatif. yang bisa
63
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, seperti sebagai pemanfaat ekosistem hutan mangrove (pencari kepiting, pengambil kayu bakar, serta bibit bakau), buruh nelayan, petani dan berkebun serta sebagai wiraswasta/pedagang. Jenis pemanfaatan ekosistem hutan mangrove selain untuk tambak, juga untuk usaha-usaha lain yang komersial ataupun subsisten. Seperti penangkapan kepiting bakau dan pengambilan kayu bakar serta bibit bakau dari vegetasi mangrove. Usaha tersebut juga menghasilkan output dan input yang optimal bagi rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang. Nilai optimal dari output dan input untuk jenis pemanfaatan dari hasil kepiting, kayu bakar dan bibit bakau, dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Kepiting, Kayu Bakar dan Bibit Bakau per ha Nilai Optimal/tahun Nilai Optimal/trip Jenis No qn Xn L qn Xn L Pemanfaatan 1 Kepiting 21.250 33 2.020 9 0,014 1 2 Kayu Bakar 1.024 17 1.157 1 0,017 1,13 3 Bibit Bakau 48.750 48.750 83 24 18,37 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007 Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil produksi atau output kepiting yang optimal per tahun sebanyak 21.250 ekor, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 9 (sembilan) ekor. Usaha penangkapan kepiting menggunakan input optimal sebanyak 33 unit per tahun dan 0,014 per trip. Penggunaan tenaga kerja optimal sebanyak 2.020 HOK per tahun dan 1 HOK per trip. Total trip 2.260 per tahun dari keseluruhan responden rumah tangga perikanan dan rata-rata trip per responden per tahun sebanyak 205 trip. Total biaya optimal dari pemakaian input optimal adalah sebesar Rp2.357.500 per ha, seperti pada Tabel 25. Usaha pemanfaatan
kepiting
dari
hutan
mangrove
di
Kecamatan
Merawang
menghasilkan manfaat optimal dari total output optimal diperoleh sebesar Rp51.632.570,12 per ha dan keuntungan optimal Rp49.275.070,00 per ha dan Rp20.795 per trip untuk 11 (sebelas) rumah tangga. Usaha pemanfaatan kepiting dari ekosistem hutan mangrove menghasilkan keuntungan optimal per tahun yang tertinggi kedua setelah bibit bakau, jika dibandingkan dengan usaha pemanfaatan
64
lainnya. Hal tersebut selain disebabkan karena jumlah trip per tahun termasuk tinggi, juga karena harga jual kepiting cukup tinggi. Harga jual kepiting berdasarkan hasil wawancara dengan rumah tangga perikanan, adalah berkisar dari Rp2.300,00 per ekor sampai Rp2.500,00 per ekor. Keuntungan optimal untuk kayu bakar per ha sebesar Rp5.198.426,74 dan Rp11.032 per trip. Jenis pemanfaatan dari hasil kayu bakar cukup menguntungkan karena manfaat optimal sebesar Rp8.241.000,00, namun mengeluarkan biaya hanya sebesar Rp3.042.573,26 dan untuk 12 (duabelas) rumah tangga perikanan. Pengambilan kayu bakar dari vegetasi hutan mangrove mempunyai nilai output optimal sebanyak 1.024 ikat per tahun, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 1 ikat. Input optimal yang digunakan sebanyak 17 unit per tahun dan 0,017 per trip. Tenaga kerja optimal per tahun sebanyak 1.157 HOK dan 1 per trip. Rata-rata trip dalam setahun untuk tiap responden rumah tangga perikanan yang mengambil kayu bakar adalah 85 trip dan total trip dari keseluruhan responden sebanyak 1.024 trip. Rumah tangga perikanan juga memanfaatkan hutan mangrove untuk pembibitan bakau. Menurut hasil wawancara, pembibitan dilakukan sejak adanya program rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kelautan Perikanan dan Dinas Kehutanan setempat. Keuntungan optimal yang diperoleh dari usaha pembibitan bakau tersebut sebesar Rp80.217.483,57 per ha dan Rp4.155,82 per ha per trip untuk 14 (empatbelas) responden rumah tangga perikanan. Manfaat optimal dari output optimal yang diperoleh sebesar Rp107.328,00 dan biaya optimal dari total pemakaian input optimal diperoleh sebesar Rp2.711.051,64. Rata-rata trip setiap responden sebanyak 7 (tujuh) kali dalam setahun. Hal tersebut karena pembibitan hanya akan dilakukan apabila ada pesanan dari LSM atau instansi terkait untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Tabel 27 diatas menyajikan bahwa hasil output optimal berupa bibit bakau per tahun sebanyak 48.750 bibit dan bibit 24 per trip. Penggunaan input optimal berupa plastik atau wadah pembibitan sebanyak 48.750 unit juga pertahun dan unit 18,37 per trip. Jumlah tenaga kerja optimal yang digunakan sebanyak 83 HOK per tahun dan 0,04 HOK per trip.
65
6.5
Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia,
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000). Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya adalah suatu upaya menilai manfaat dan biaya dari sumberdaya dalam bentuk moneter yang mempertimbangkan lingkungan, atau disebut sebagai valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang efisien dan berkelanjutan melalui pendugaan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total merupakan instrumen yang dianggap tepat untuk menghitung keuntungan dan kerugian bagi kesejahteraan rumah tangga sebagai akibat dari pengalokasian sumberdaya alam. Kramer et al 1994 diacu dalam Ramdan el al. 2003 mengatakan bahwa penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian barang dan jasa diperoleh melalui pendekatan nilai pasar, yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Penilaian sumberdaya hutan secara total khususnya, melalui penilaian semua fungsi dan manfaat hutan baik yang marketable maupun nonmarketable, yang merupakan upaya peningkatan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap manajemen sumberdaya hutan yang lestari (Ramdan et al. 2003). Hutan mangrove di Kecamatan Merawang baik secara langsung mau pun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitarnya. Berdasar hal tersebut maka diperlukan suatu konsep pengelolaan, yang diawali dengan mengetahui seberapa besar total nilai ekonomi dari hutan mangrove, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Total nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Merawang dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.
66
a)
Manfaat Langsung
Manfaat
langsung
adalah
manfaat
yang
langsung
diambil
dari
sumberdaya. Nilai yang diperoleh dari kegiatan konsumsi atau produksi. Setelah dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan mangrove, maka dapat diidentifikasi jenis pemanfaatan langsung dari hutan mangrove oleh rumah tangga perikanan. Manfaat langsung tersebut berupa (1) manfaat usaha tambak, (2) manfaat dari hasil kayu bakar, (3) manfaat penangkapan hasil kepiting dan (4) manfaat dari bibit bakau. Ada pun hasil identifikasi jenis dan nilai manfaat langsung hutan mangrove berdasarkan surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Surplus Konsumen Tahun 2007 Jenis Manfaat Ekonomi Keuntungan No Biaya (Rp) Pemanfaatan (Rp) (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau 17.246.095,26 2.734.000,00 14.512.095,26 2 Kayu Bakar 31.610.449,17 2.911.000,00 28.699.449,17 3 Kepiting 229.803.387,13 3.272.500,00 226.530.887,13 4 Tambak Udang 23.649.101,72 28.829.250,00 (5.180.148,28) 5 Tambak Ikan 3.189.338.879,85 13.652.100,00 3.175.686.779,85 Bandeng + Udang 6 Tambak Ikan 587.620.845,50 117.158.500,00 470.462.345,50 Bandeng Total 4.079.268.758,63 168.557.350,00 3.910.711.408,63 Sumber : Data Primer (Lampiran 6), 2007. Tabel 28 menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh dari hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang berdasarkan nilai ekonomi dari utility dan surplus konsumen, adalah sebesar Rp3.175.686.779,85. Hasil dari tambak Udang memperlihatkan jumlah yang mengakibatkan petani tambak merugi yaitu sebesar Rp(5.180.148,28). Hasil tambak Ikan Bandeng juga menunjukkan keuntungan yang tinggi, yaitu sebesar Rp470.462.345,50. Manfaat langsung ekosistem hutan mangrove yang aktual dapat diidentifikasi berdasarkan hasil olahan data primer yang didapat dari wawancara dan pengisian kuosioner oleh rumah tangga perikanan dengan perhitungan manual. Nilai langsung dari manfaat hasil ekosistem hutan mangrove diperoleh
67
setelah mengalikan setiap jenis manfaat dengan harganya. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Pemanfaatan Aktual Tahun 2007 Keuntungan No Jenis Pemanfaatan Manfaat (Rp) Biaya (Rp) (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau 13.760.000,00 2.734.000,00 11.026.000,00 2 Kayu Bakar 10.001.213,59 3.532.766,99 6.468.446,60 3 Kepiting 43.907.312,93 2.782.738,10 41.124.574,83 4 Tambak Udang 83.151.382,98 82.807.420,21 343.962,77 5 Tambak Ikan Bandeng 18.135.426,03 8.862.259,66 9.273.166,37 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng 566.208.929,72 280.319.418,93 285.889.510,79 Total 735.164.265,24 381.038.603,89 354.125.661,35 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), 2007. Total keuntungan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove yang aktual diperoleh nilai tertinggi juga dari hasil tambak Ikan Bandeng, yaitu sebesar Rp285.889.510,79 per tahun, dengan total manfaat sebesar Rp566.208.929,72 per tahun dan biaya sebesar Rp280.319.418,93 untuk 30 rumah tangga perikanan. Selanjutnya total keuntungan dari hasil Bibit bakau juga tinggi, yaitu sebesar Rp11.026.000,00 per tahun, total manfaat sebesar Rp13.760.000,00 dan biaya Rp2.734.000,00 per tahun untuk 14 (empatbelas) RTP. Keuntungan Bibit Bakau besar karena biaya yang dikeluarkan rendah sedangkan harga pasar Bibit Bakau cukup tinggi dan jumlah trip tiap rumah tangga juga tinggi yaitu rata-rata 7 trip. Total keuntungan aktual yang terendah sebesar Rp343.962,77 per tahun dari hasil tambak udang, dimana total manfaat hanya sebesar Rp83.151.382,98 namun biaya yang dikeluarkan cukup besar yaitu sebesar Rp82.807.420,21 per tahun, untuk 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Jenis pemanfaatan tambak polikultur juga menunjukkan total keuntungan sebesar Rp9.273.166,37, manfaat sebesar Rp18.135.426,03 dengan biaya sebesar Rp8.862.259,66 per tahun nilai tersebut untuk 10 (sepuluh) RTP. Penggambaran proporsi nilai total manfaat langsung dari beberapa jenis pemanfaatan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 12.
68
Gambar 12 Proporsi Total Manfaat Langsung Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove. b)
Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung dirasakan
manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosiai ekonomi. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat tidak langsung berupa fisik adalah sebagai penahan abrasi pantai yang diestimasi melalui replacement cost dengan pembuatan beton pantai untuk pemecah gelombang (break water). Hasil yang diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai pemecah gelombang, yang diacu dari estimasi yang dilakukan Apriliawati (2001), yaitu bahwa biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break water) ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp4.153.880,00. Panjang pantai hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah 2.3501,98 m, maka biaya pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahan 10 (sepuluh) tahun seluruhnya adalah Rp976.244.046.824,00 sedangkan per tahunnya sebesar Rp97.624.404.682,00 dan per ha luas hutan mangrove sebesar Rp804.419.946,30.
69
Selain manfaat tidak langsung berupa fisik, hutan mangrove juga memberikan manfaat biologi. Manfaat biologi dapat berupa hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground. Teknik untuk menilai manfaat biologi tersebut adalah melalui pendekatan produktivitas (productivity approach), karena hutan mangrove memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground). Luas hutan mangrove akan menjadi indikator bagi tingkat produktivitas hasil tangkapan ikan oleh rumah tangga perikanan. Produksi perikanan laut oleh nelayan pada tahun 2007 senilai Rp3.031.000.000,00, sedangkan produksi per ha luas mangrove sebesar Rp242.480.000,00. Total manfaat tidak langsung hutan mangrove dari manfaat fisik
dan
biologi
adalah
sebesar
Rp8.052.432.368,00
per
ha
dan
Rp100.655.404.682,00 per tahun. c)
Manfaat Pilihan Manfaat pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk
masa
akan
datang,
memperhitungkan
manfaat
keanekaragaman
hayati
(biodiversity) dari ekosistem mangrove, dengan menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) diacu dalam Fauzi (2004) bahwa benefit transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar (market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar US$ 15 per ha per tahun oleh Ruitenbeek (1991) diacu dalam Budiyana (2005). Nilai manfaat pilihan diasumsikan sama dengan nilai biodiversity di Teluk Bintuni Irian Jaya. Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity dengan nilai kurs Rupiah terhadap Dollar pada saat penelitian yaitu sebesar Rp9.366,00 (01 Agustus 2007 harga beli Rp9.319,00 dan harga jual Rp9.413,00). Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah sebesar Rp140.490,00 per hektar per tahun (US$ 15 per hektar per tahun dikalikan dengan Rp9.366,00 per US$). Luas hutan mangrove di Kecamatan Merawang sebesar 12,50 ha, sehingga nilai manfaat pilihan (option value) secara keseluruhan adalah nilai manfaat pilihan per ha per tahun Rp140.490,00 dikalikan dengan luasan mangrove tersebut. Total
70
manfaat
pilihan
hutan
mangrove
di
Kecamatan
Merawang
sebesar
Rp1.756.125,00 per tahun. Nilai manfaat pilihan dapat juga dikatakan sebagai nilai dari barang publik sebagai manfaat potensial yang dapat diambil (Yakin 1997). Tabel 30 Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove dan Karakteristik Responden No
Tingkat Pendidikan
1
Rendah (SD)
2
Sub Total Sedang (SMP)
3
Sub Total Tinggi (SMA dan S1)
Nilai Keberadaan (Rp)
3.500.000,00 4.500.000,00 5.000.000,00 7.000.000,00 1.000.000,00 11.000.000,00 12.000.000,00 50.000.000,00 94.000.000,00 1.200.000,00 5.000.000,00 8.000.000,00 10.000.000,00 12.000.000,00 36.200.000,00 1.200.000,00 2.200.000,00 2.400.000,00 3.500.000,00 4.000.000,00 4.500.000,00 5.000.000,00 6.000.000,00 7.000.000,00 10.000.000,00 11.000.000,00 12.000.000,00 20.000.000,00 25.000.000,00 50.000.000,00
Sub Total Total Rata-rata
Jumlah Responden
1 1 5 1 1 1 1 1 12 1 3 1 1 1 7 5 3 3 2 3 3 19 8 2 6 16 4 2 3 2 81 100
Total Nilai Keberadaan (Rp) per tahun
3.500.000,00 4.500.000,00 25.000.000,00 7.000.000,00 1.000.000,00 11.000.000,00 12.000.000,00 50.000.000,00 114.000.000,00 1.200.000,00 15.000.000,00 8.000.000,00 10.000.000,00 12.000.000,00 46.200.000,00 6.000.000,00 6.600.000,00 7.200.000,00 7.000.000,00 12.000.000,00 13.500.000,00 95.000.000,00 48.000.000,00 14.000.000,00 60.000.000,00 176.000.000,00 48.000.00,00 40.000.000,00 75.000.000,00 100.000.000,00 708.300.000,00 868.500.000,00 8.685.000,00
Sumber : Data Primer (Lampiran 7), 2007.
Tabel 30, menunjukkan bahwa kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah atau SD, kemampuan untuk membayar paling rendah sebesar Rp3.500.000,00 sebanyak 1 (satu) responden, nilai keberadaan sebesar Rp4.500.000,00 oleh 1 (satu) responden dan Rp5.000.000,00 juga sebanyak 5 (lima) responden, nilai yang paling tinggi sebesar Rp50.000.000,00 sebanyak 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan sedang atau SMP, nilai keberadaan paling
71
rendah sebesar Rp1.200.000,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp5.000.000,00 ditaksir paling banyak oleh responden sebanyak 3 (tiga) responden, nilai tertinggi sebesar Rp12.000.000,00 oleh 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan tinggi atau SMA dan S1, kemampuan responden membayar paling rendah adalah sebesar Rp1.200.000,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp5.000.000,00 ditaksir responden paling banyak yaitu 19 (sembilanbelas) responden, kemudian nilai sebesar Rp11.000.000,00 oleh 16 (enambelas) responden, nilai tertinggi sebesar Rp50.000.000,00 oleh 2 (dua) responden. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove didasarkan pada nilai median dari willingness to pay (WTP), untuk mengurangi bias pada data yang ada. Nilai median yang merupakan kemampuan responden untuk menilai hutan mangrove sebesar Rp8.775.000,00 per ha per tahun. Dengan demikian median nilai manfaat keberadaan ekosistem hutan mangrove di lokasi penelitian adalah sebesar Rp Rp8.775.000,00 per ha per tahun, Apabila hasil tersebut dikalikan dengan luasan hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha, maka akan diperoleh total manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp109.687.500,00 per tahunnya. Alasan dari responden menilai sumberdaya seperti nilai diatas, karena responden baik yang berhubungan langsung dengan hutan mangrove maupun yang tidak berhubungan langsung, akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi suatu ekosistem, dimana mungkin tanpa memperdulikan apa yang tinggal di ekosistem tersebut. Umumnya responden mempunyai kesadaran bahwa melindungi lingkungan dan sumberdaya alam merupakan tanggungjawab setiap manusia agar tetap dapat mendukung kehidupannya secara berkelanjutan. Memperkirakan kurva lelang (bid curve) yang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas yang merupakan karakteristik responden diantaranya pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan dan lama menetap. Persamaan regresi untuk mengetahui hubungan antara nilai WTP dengan karakteristik responden ditunjukkan dalam Tabel 31.
72
Tabel 31 Hubungan WTP Hutan Mangrove dengan Karakteristik Responden No Variabel Koefisien Regresi P-value 1
Intercept
2
Pendidikan (X1)
3
Pendapatan (X2)
4
Usia (X3)
5
Jumlah Tanggungan (X4)
6
Lama Menetap (X5)
9751743.37
0.088092
123499.4068
0.9141567
-1.05881383
0.3728154
-28031.0876
0.7303716
-24926.1804
0.969239
64892.84901
0.6439546
Sumber : Data Primer (Lampiran 18), 2007. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada satu variabel pun yang sangat nyata mempengaruhi WTP. Berdasarkan Probabilitas (P-value), maka variabel pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan keluarga, dan lama menetap tidak nyata mempengaruhi WTP, dimana
koefisien
korelasi
sebesar
0.120060944
atau
sebesar
12,01%,
menunjukkan korelasi antara semua variabel dengan WTP tidak erat. Koefisien determinasi (R Square) sebesar 1.44% artinya variabel WTP dapat dijelaskan oleh semua variabel hanya sebesar 1.44%, sedangkan sisanya 98.56% disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel lain. Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai WTP dengan persamaan linear sebagai berikut: WTP = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 WTP = 9751743.36995721+123499.406751717X1 1.05881383474377X2 28031.0876133836X3 24926.1803790867X4+64892.849011399X5 WTP = Rp8.775.000,00 per individu, dimana jumlah populasinya sebesar 34.986 jiwa, sehingga nilai WTP total adalah; WTP Total = Rp8.775.000,00 x 34.986 = Rp307.002.150,00
6.6
Pendugaan Total Nilai Ekonomi Hutan Mangrove
Nilai Ekonomi Total (NET) bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan pilihan kebijakan dan program pengelolaan SDA,
73
sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distibusi manfaat SDA tersebut (Ramdan et al. 2003). Berdasarkan hasil identifikasi dan kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove yang diperoleh di Kecamatan Merawang. maka nilai keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kategori Manfaat Rp per ha per tahun Rp per tahun 1 Manfaat Langsung Aktual 17.491.872,41 735.164.265,24 2 Manfaat Tidak Langsung 8.052.432.368,00 100.655.404.682,00 3 Manfaat Pilihan 140.490,00 1.756.125,00 4 Manfaat Keberadaan 8.775.000,00 109.687.500,00 Total 8.061.347.858,00 101.502.012.572,24 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), 2007. Nilai
ekonomi
total
hutan
mangrove
dapat
diketahui
setelah
menjumlahkan hasil dari penilaian manfaat hutan mangrove secara keseluruhan. Pada Tabel 32 disajikan, bahwa nilai manfaat hutan mangrove tertinggi yaitu manfaat tidak langsung dan memiliki persentase paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya. Gambar 13 menyajikan proporsi nilai manfaat ekonomi total dari hutan mangrove. Manfaat tidak langsung dengan persentase 99,17% dengan nilai sebesar Rp100.655.404.682,00 per tahun. Nilai tersebut lebih besar dari pada nilai manfaat lain, karena manfaat fisik berupa penahan abrasi dan manfaat biologi untuk produksi rumah tangga perikanan (nelayan), ternyata memiliki nilai paling yang tinggi. Kuantifikasi manfaat lainnya, diperoleh nilai manfaat langsung yang aktual sebesar Rp735.164.265,24 per tahun atau 0,72%, manfaat pilihan sebesar Rp1.756.125,00 per tahun atau 0,0017% dan manfaat keberadaan sebesar Rp109.687.500,00 atau 0,11%. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak per tahun
sebesar
Rp101.502.012.572,24.
Nilai
ekonomi
total
tersebut
mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan penghargaan yang lebih tinggi dan memang menjadi dasar informasi secara kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan kebijakan, baik kebijakan fiskal
74
maupun moneter, penyesuaian struktural dan upaya stabilisasi, karena mempunyai dampak terhadap sektor yang bergantung pada sumberdaya alam.
Gambar 13 Proporsi Nilai Manfaat Ekonomi Total Hutan Mangrove Tahun 2007. Penilaian dampak pembangunan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu langkah menuju pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Menurut Ramdan et al. (2003) bahwa nilai ekonomi total tersebut belum dapat mencakup keseluruhan nilai sumberdaya tersebut, hal ini disebabkan karena banyak fungsi ekosistem dan prosesnya yang sulit dianalisis secara ilmiah (scientific), tetapi hasil penilaian ekonomi tersebut tetap sangat berguna dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan dan penciptaan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 6.7
Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan rate untuk mengukur manfaat masa kini
dibandingkan dengan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam. Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dngan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial. Pada analisis ini dipakai dua nilai discount rate yaitu nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan nilai discount rate berbasis pendekatan Ramsey. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga disebut juga dengan discount ratenya
75
sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi, karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan itu lebih rendah dari saat ini. Hasil perhitungan real discount rate dengan teknik Kula ini akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bangka, yaitu dengan nilai g=0,141898798 atau 14,19% (Lampiran 19). Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasar pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 8%. Karena nilai g yang diperoleh lebih tinggi dari nilai ρ , maka nilai r langsung diambil dari nilai g tersebut yaitu 0,141898798. Nilai r tersebut kemudian dijustifiksi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ = ln(1 + r ) , yaitu sebesar 0,132692489 atau 13,27%. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove dari sumberdaya hutan mangrove di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Tingkat suku bunga (discount rate) lain yang digunakan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove, adalah suku bunga riil sebesar 1,74% (Agustus 2007) dari suku bunga nominal sebesar 8,25% (Agustus 2007) dikurangi dengan laju inflasi 6,51% (Agustus 2007),) serta 10%. Menurut (Fauzi 2004) bahwa karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan discount rate, maka pengukuran nilai discount rate harus diukur dalam nilai riil, dimana nilai ini diukur dari nilai discount rate nominal dikurangi dengan laju inflasi. Nilai optimal dari manfaat langsung kondisi aktual tersebut, perlu diketahui karena sebagai dasar dalam penentuan alternatif dan alokasi pengelolaan yang berkelanjutan. Analisis ekonomi melalui NPV dan BCR untuk masingmasing alternatif pemanfaatan ditentukan dari hasil net incremental benefit, dimana kondisi tanpa proyek adalah kondisi pemanfaatan yang aktual dan kondisi dengan proyek adalah kondisi optimal.
76
6.8
Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil nilai ekonomi total hutan mangrove tersebut, maka dapat ditentukan model alternatif pengelolaan yang optimal, karena besarnya manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove baik secara langsung maupun secara tidak langsung membutuhkan pengelolaan yang baik. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan dengan optimal dan berkelanjutan, tidak hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, tetapi penting pula untuk memperhatikan aspek ekologis dan sumberdaya tersebut. Alternatif pengelolaan juga memerlukan evaluasi yang akan menentukan pilihan kebijakan pengelolaan. Tabel 33 menunjukkan bahwa total nilai keuntungan tertinggi diperoleh pada saat kondisi ekosistem mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan VI dan V yaitu sebesar Rp147.704.599.701,17 dan Rp144.484.060.290,42, total nilai keuntungan terendah diperoleh pada alternatif pemanfaatan III sebesar Rp101.377.107.993,67. Evaluasi dari suatu keputusan untuk menentukan pilihan dan pemanfaatan. yaitu melakukan perbandingan antara biaya, manfaat dan nilai ekonomi total yang diperoleh. Pemanfaatan hutan mangrove karena bersifat intertemporal. Menurut Fauzi (2004) bahwa pilihan intertemporal menyangkut membandingkan nilai atau manfaat ekonomi dari sumber daya alam pada periode waktu yang berbeda, dimana pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal adalah melalui proses discounting. Evaluasi kelayakan jenis pemanfaatan hutan mangrove dari hasil penelitian diketahui melalui kriteria kelayakan usaha, berupa Net Present Value (NPV), penjumlahan nilai rupiah di masa mendatang dinilai pada waktu kini yang didiskon pada setiap periode. Cost Benefit Analysis (CBA) untuk membandingkan besarnya biaya pemanfaatan termasuk biaya lingkungan dengan besarnya manfaat optimal yang diperoleh.
77
Tabel 33 Nilai Manfaat Total dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan Alternatif Nilai Manfaat Total Biaya Manfaat Bersih No Pemanfaatan Total (Rp) (Rp) (Rp) Alternatif 1 102.183.888.606,41 676.060.885,49 101.507.827.720,92 Pemanfaatan I Alternatif 2 101.719.985.411,46 341.988.558,71 101.377.996.852,75 Pemanfaatan II Alternatif 3 101.733.360.399,03 356.252.405,36 101.377.107.993,67 Pemanfaatan III Alternatif 4 103.164.409.132,07 359.248.177,11 102.805.160.954,96 Pemanfaatan IV Alternatif 5 144.958.649.793,88 474.589.503,46 144.484.060.290,42 Pemanfaatan V Alternatif 6 148.211.698.875,88 507.099.174,71 147.704.599.701,17 Pemanfaatan VI Sumber : Data Primer (Lampiran 8 19), 2007. a)
Hutan Mangrove pada Alternatif Pemanfaatan I (Optimal) Pada saat penelitian berlangsung, total ekosistem hutan mangrove menjadi
tambak seluas 146,50 ha dengan pola polikultur (Udang + Ikan Bandeng seluas 21,00 ha), monokultur (Udang dan Ikan Bandeng masing-masing seluas 13,50 ha dan 112,00 ha) dengan sisa hutan mangrove hanya seluas 12,50 ha. Dengan melakukan analisis ekonomi terhadap nilai optimal untuk manfaat langsung, maka diketahui nilai NPV dan BCR untuk total nilai ekonomi dari kondisi awal optimal hutan mangrove di Kecamatan Merawang, seperti yang disajikan pada Tabel 34 dan Gambar 14. Tabel 34 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan I No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 (98.096.393.679,77) 0,03 2 10,00 (97.627.579.527,02) 0,04 3 1,74 (95.839.311.917,40) 0,05 Sumber : Data Primer (Lampiran 9), 2007.
78
Gambar 14 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan I. Berdasarkan perhitungan analisis ekonomi dengan discount rate (tingkat suku bunga) dalam jangka waktu analisis 10 (sepuluh) tahun, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) yang sangat rendah atau tidak layak karena nilai NPV yang diperoleh < 0 yaitu sebesar Rp(98.096.393.679,77) dan Benefit Cost Ratio (BCR) 0,03 pada suku bunga 13,27%. Nilai NPV tertinggi pada suku bunga 1,74% adalah sebesar Rp(95.839.311.917,40) dan BCR 0,05. Suku bunga 10,00% pada kondisi aktual saat penelitian juga menunjukkan nilai ekonomi yang rendah, nilai NPV diperoleh sebesar Rp(97.627.579.527,02) dan BCR 0,04. b)
Alternatif Pemanfaatan II Alternatif pemanfaatan kedua menggambarkan kondisi ekosistem hutan
mangrove dengan tambak ditentukan berdasarkan kondisi awal yang optimal, hutan mangrove (12,50 ha) dan tambak (polikultur Udang + Ikan Bandeng 21,00 ha, monokultur Udang 0 ha dan monokultur lkan Bandeng 125,50 ha). Hasil analisis ekonomi ekosistem hutan mangrove pada alternatif pemanfaatan II dapat dilihat pada Tabel 35, begitu juga dengan Gambar 15 yang menggambarkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga. Tabel 35 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan II No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 (98.856.448.958,08) 0,02 2 10,00 (98.499.647.221,65) 0,03 3 1,74 (97.138.645.245,55) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 11), 2007.
79
Gambar 15 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan II. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 35 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan II diperoleh nilai Net Present Value (NPV) ekosistem hutan mangrove yang juga rendah atau tidak layak, yaitu sebesar Rp(98.856.448.958,08) pada tingkat suku bunga 13,27%, nilai Benefit Cost Ratio juga tidak layak sebesar 0,02. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10,00% sebesar Rp(98.499.647.221,65) dan BCR 0,03. Pada suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp(97.138.645.245,55) dan nilai BCR 0,04. c)
Alternatif Pemanfaatan III Pada alternatif pemanfaatan ketiga ini, perbandingan antara luasan hutan
mangrove dengan tambak adalah hutan mangrove 12,50 ha dan tambak (monokultur Udang 0 ha, monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan polikultur Ikan Bandeng + Udang 34,50 ha ), hasil analisis ekonomi terlihat pada Tabel 36 dan Gambar 16 menunjukkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga pada ekosistem hutan mangrove alternatif pemanfaatan III. Tabel 36 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan III No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 (98.783.379.420,27) 0,03 2 10,00 (98.413.432.749,10) 0,03 3 1,74 (97.002.290.091,69) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 13), 2007.
80
Gambar 16 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan III. Pada alternatif pemanfaatan III, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV diperoleh juga sangat rendah dan tidak layak sebesar Rp(98.783.379.420,27), dan nilai BCR juga tidak layak sebesar 0,03 ketika tingkat suku bunga sebesar 13,27%. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, nilai NPV sebesar Rp(98.413.432.749,10) dan nilai BCR 0,03. Pada tingkat suku bunga mencapai 1,74%, nilai NPV masih rendah sebesar Rp(97.002.290.091,69) dan nilai BCR 0,04. d)
Alternatif Pemanfaatan IV Alternatif pemanfaatan keempat menggambarkan kondisi ekosistem hutan
mangrove, dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (26,00 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan tambak polikultur 21,00 ha). Tabel 37 dan Gambar 17 menyajikan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan IV. Tabel 37 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan IV No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 (91.261.663.543,29) 0,10 2 10,00 (89.808.664.714,15) 0,11 3 1,74 (84.266.274.989,53) 0,17 Sumber : Data Primer (Lampiran 14), 2007.
81
Gambar 17 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan IV. Hasil analisis ekonomi seperti terlihat pada Tabel 38, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio yang juga belum layak, nilai terendah
pada
tingkat
suku
bunga
13,27%,
masing-masing
sebesar
Rp(91.261.663.543,29) dan 0,10. Nilai NPV terendah lainnya sebesar Rp(89.808.664.714,15) pada suku bunga 10% dan nilai BCR 0,11. Pada tingkat suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp(84.266.274.989,53) dan nilai BCR 0,17. e)
Alternatif Pemanfaatan V Alternatif pemanfaatan keenam menggambarkan kondisi ekosistem hutan
mangrove dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (12,50 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 0 ha, dan tambak polikultur 146,50 ha). Hasil analisis ekonominya dapat dilihat pada Tabel 38 dan Gambar 18. Tabel 38 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan V No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 133.268.740.328,90 2,31 2 10,00 167.220.700.671,79 2,65 3 1,74 296.728.717.032,37 3,92 Data Primer (Lampiran 19), 2007.
82
Gambar 18 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan V. Pada Alternatif pemanfaatan V, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV tertinggi diperoleh pada saat tingkat suku bunga 1,74% sebesar Rp296.728.717.032,37 dengan nilai BCR juga sebesar 3,92. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, masih diperoleh nilai NPV yang cukup besar yaitu Rp167.220.700.671,79 dan nilai BCR sebesar 2,65. Pada tingkat suku bunga 13,27% nilai NPV yang didapat lebih rendah sebesar Rp133.268.740.328,90 dengan nilai BCR 2,31. f)
Alternatif Pemanfaatan VI Alternatif pemanfaatan kelima menggambarkan kondisi ekosistem 100%
hutan mangrove, apabila tanpa dilakukan konversi untuk lahan budidaya tambak. baik pola usaha monokultur maupun polikultur. Tabel 39 dan Gambar 19 memperlihatkan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan VI, sehingga diketahui nilai NPV dan BCR. Tabel 39 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan VI No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 148.990.806.064,52 2,47 2 10,00 185.164.714.889,18 2,83 3 1,74 323.148.240.098,84 4,20 Sumber : Data Primer (Lampiran 17), 2007.
83
Gambar 19 Perbandingan hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan VI. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 39 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan VI diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost ratio (BCR) sangat tinggi sebesar Rp323.148.240.098,84 dan 4,20 pada suku bunga 1,74%. Nilai terendah pada suku bunga 13,27% yaitu NPV sebesar Rp148.990.806.064,52 dan BCR 2,47. Pada suku bunga 10,00% menghasilkan nilai NPV sebesar Rp185.164.714.889,18 dan nilai BCR 2,83. 6.9
Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan Hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif
pemanfaatan I sampai dengan alternatif pemanfaatan VI, maka diperoleh bahwa alternatif pemanfaatan VI merupakan alternatif yang paling tinggi nilai ekonomi atau menguntungkan secara analisis biaya-manfaat, dengan menggunakan dua kategori kelayakan investasi, yaitu NPV dan BCR. Alternatif pemanfaatan IV,III, II dan I menunjukkan nilai yang sangat rendah untuk Net Present Value dan nilai Benefit Cost Ratio, yang berasal dari net incremental benefit. Hal ini disebabkan nilai net benefit untuk kondisi aktual sebagai nilai tanpa proyek lebih tinggi. Nilai ekonomi yang paling rendah adalah pada saat kondisi ekosistem hutan mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan I dengan luas hutan mangrove hanya 12,50 ha dan tambak (polikultur 21,00 ha, monokultur Udang 13,50 ha dan monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha). Perbandingan nilai NPV dengan BCR pada beberapa tingkat suku bunga, terlihat pada Gambar 19 sampai dengan Gambar 24, terlihat bahwa dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi maka nilai NPV dan BCR akan semakin rendah.
84
Hal ini merupakan implikasi dari teori yang dikemukakan oleh Harold Hotelling (Hotelling Rule) yang menyebutkan bahwa pilihan untuk mengeksploitasi (mengonsumsi) sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga, orang akan makin terpacu untuk mengeksploitasi lebih banyak dan lebih cepat, karena mengharapkan keuntungan dari hasil eksploitasi sumberdaya alam. Rasional yang mementingkan keuntungan jangka pendek seperti inilah yang membuat alokasi sumberdaya alam menjadi tidak lestari, seperti ditunjukkan dengan nilai NPV dan BCR yang paling rendah dengan tingkat suku bunga yang paling tinggi. Nilai NPV maupun nilai BCR pada setiap alternatif, dengan menggunakan suku 13,27%, menunjukkan posisi yang paling rendah. Nilai NPV dan nilai BCR dengan suku bunga 1,74% pada setiap alternatif pemanfaatan, menggambarkan posisi yang tertinggi, namun tidak berbeda jauh dari nilai NPV dan nilai BCR pada suku bunga 10,00%. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin rendah tingkat suku bunga rill, maka nilai ekonomi semakin tinggi. Menurut Fauzi (2004) diacu dalam Budiyana (2005) bahwa discount rate untuk analisis ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya adalah < 10%. Penentuan prioritas pilihan untuk alternatif pemanfaatan yang strategis, perlu mempertimbangkan kriteria efisiensi, kriteria sosial (equity) dan kriteria ekologi (sustainable) dalam menentukan pilihan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal tersebut penting, menurut Ramdan et al.(2003) bahwa isu konflik sumberdaya alam secara umum banyak menyangkut alokasi dan distribusi SDA yang adil, ekonomis dan ramah lingkungan. Alternatif pemanfaatan strategis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat dan tetap memperhatikan fungsi ekonomi (efisiensi), sosial (equity) dan ekologi (sustainable) oleh generasi yang akan datang. Tabel 40 menyajikan manfaat bersih dari manfaat langsung untuk alternatif pemanfaatan. Pilihan alternatif pemanfaatan strategis, akan menyeimbangkan fungsi ekonomi dengan ekologi maupun sosial. Keseimbangan fungsi ekologi dan ekonomi pada pilihan alternatif strategis, diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan agar sesuai dengan fungsi ekosistem hutan mangrove, yaitu fungsi fisik, biologi ataupun ekonomi Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa secara
85
garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. Tabel 40 Nilai Manfaat Langsung dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan No 1 2 3 4
Alternatif Pemanfaatan Kondisi Aktual Alternatif Pemanfaatan I Alternatif Pemanfaatan II Alternatif Pemanfaatan III
6
Alternatif Pemanfaatan IV Alternatif Pemanfaatan V
7
Alternatif Pemanfaatan VI
5
Total Manfaat Langsung (Rp)/tahun 735.164.265,24
598.033.654,34
Net Present Value (Suku Bunga 1,74%) 354.125.661,35
1.417.040.299,40
676.060.885,49
957.974.464,36 (95.839.311.917,40)
953.137.104,46
341.988.558,71
813.698.607,67 (97.138.645.245,55)
966.512.092,03
356.252.405,36
830.629.737,12 (97.002.290.091,69)
1.266.281.120,07
359.248.177,11
1.097.358.577,92 (84.266.274.989,53)
1.077.474.951,88
474.589.503,46
971.095,403,67 296.728.717.032,37
4.330.524.033,88
507.099.174,71
3.833.041.706,26 323.148.240.098,84
Total Biaya (Rp)/tahun
Manfaat Bersih (Rp)/tahun
Sumber : Data Primer (Lampiran 7 19), 2007. Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa manfaat bersih dari kondisi aktual yang terendah sebesar Rp354.125.661,35, dimana total biaya yang dikeluarkan sebesar
Rp598.033.654,34
dan
manfaat
langsung
yang
diperoleh
Rp735.164.265,24. Nilai Net Present Value (NPV) tertinggi diperoleh pada tingkat suku bunga 1,74% dengan nilai sebesar Rp323.148.240.098,84 pada alternatif pemanfaatan VI, disusul dengan alternatif pemanfaatan V dengan jumlah Rp296.728.717.032,37. Kondisi aktual akan dioptimalkan dan menjadi dasar untuk penentuan alternatif pemanfaatan. Manfaat bersih tertinggi pada alternatif pemanfaatan VI sebesar Rp3.833.041.706,26, karena total biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari total manfaat langsung yang diperoleh. Alternatif pemanfaatan VI menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan pengelolaan yang strategis, berdasarkan keseimbangan antara kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi baik pada tingkat suku bunga 13,27%, 10,00% maupun pada saat tingkat suku bunga 1,74% (hutan mangrove 100% dan tambak 0%), tetapi kenyataan di lokasi penelitian sangatlah sulit menjadikan kondisi ekosistem mangrove seperti alternatif tersebut, selain karena sekarang ini masyarakat yang berdomisili di sekitar ekosistem hutan mangrove cukup padat,
86
juga karena ekosistem telah menjadi lahan untuk mencari nafkah, sehingga kondisi kesejahteraan masyarakat yang ada disekitar ekosistem hutan mangrove masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pemanfaatan atau model pengelolaan yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan. Alternatif pemanfaatan V menjadi prioritas berikutnya (hutan mangrove 12,50 ha dan tambak polikultur 146,50 ha, sedangkan tambak monokultur Ikan Bandeng dan Udang masing-masing seluas 0 ha), dengan pertimbangan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, harus ada sebagian kawasan hutan pantai yang dijadikan sebagai kawasan penyangga atau kawasan konservasi, sehingga kondisi lingkungan akan tetap terjaga, untuk dapat dirasakan dan dimanfaatkan baik nilai fisik, biologi dan ekonominya oleh generasi yang akan datang. Sumberdaya sebagai faktor input dalam kegiatan perekonomian, maka tiap pilihan untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkannya menimbulkan konsekuensi atau dampak, baik berupa manfaat (gain) maupun kerugian (loss), yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Konsekuensi atau dampak dari pengelolaan sumberdaya tersebut meliputi konsekuensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Fauzi (2000) menyatakan bahwa pada pembangunan ekonomi, sumberdaya alam memegang peranan yang sangat penting, selain menyediakan barang dan jasa juga menjadi tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta merupakan aset negara. Selain itu sumberdaya alam khususnya yang berada pada wilayah pesisir juga memainkan peranan yang penting dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem. Fungsi ekologi berupa fungsi fisik maupun fungsi biologi. Fungsi fisik diantaranya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah erosi laut serta perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mencegah intrusi garam (salt intrusion) ke arah darat, dapat memperluas wilayah darat. Fungsi biologi dapat berupa tempat asuhan larva, tempat bertelur, tempat memijah dan mencari makan untuk organisme yang bernilai ekonomis khususnya
87
ikan dan udang, sebagai habitat berbagai satwa liar antara lain reptil, mamalia, burung dan sebagainya. Fungsi ekonomi, berupa output dari ekosistem hutan mangrove yang dapat dikomersialkan maupun subsisten, hasil yang berupa kayu (kayu bakar, kayu bangunan, arang, papan, tiang, pagar ataupun sebagai alat yang membantu dalam penangkap ikan), makanan, minuman dan obat-obatan, maupun untuk peralatan rumah tangga. Fungsi sosial, berupa pemerataan pendapatan dari usaha pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga kehidupan bermasyarakat dari rumah tangga perikanan sebagai
masyarakat pemanfaat akan cenderung
meminimumkan terjadinya konflik pemanfaatan. Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove merupakan proses pengambilan keputusan yang memiliki dimensi yang kompleks. Seyogyanya merupakan keputusan yang harus didahului oleh penimbangan terhadap serangkaian pilihan atau alternatif. Setiap alternatif akan menghasilkan output (manfaat maupun kerugian) yang berbeda dan memiliki kontribusi yang berbeda terhadap perekonomian wilayah. Adanya informasi tentang dampak yang berbeda pada tiap alternatif pemanfaatan merupakan bahan pertimbangan yang penting untuk mengambil keputusan, serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan ekosistem hutan mangrove akan menghasilkan manfaat yang optimal dalam arti, memaksimalkan manfaat atau meminimalkan kerugian. Aspek kelembagaan merupakan aspek yang juga penting dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, karena aspek inilah yang dapat menggerakkan aspek ekonomi dari suatu pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya memberikan implikasi terhadap kegiatan perekonomian lainnya, terutama perikanan. Hal ini menunjukkan perlunya suatu aturan main yang mengolaborasi kegiatan perikanan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, baik dari sisi produktivitas perikanan maupun aspek pemberdayaan masyarakat disekitar ekosistem hutan mangrove, juga upaya pengendalian yang ketat untuk meminimumkan
dampak
lingkungan,
sehingga
pelaksanaan
alternatif
pemanfaatan juga memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat.