VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan lahan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang kurang cocok untuk usahatani tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan, pada lereng dengan kemiringan 15 – 25 persen, maksimal proporsi tanaman semusim yang dianjurkan adalah 50 persen, dan sisanya ditanami tanaman tahunan. Sedangkan pada kemiringan 25 – 40 persen, hanya 25 persen lahan yang direkomendasikan tanaman semusim. Bahkan pada kemiringan >40 persen, tanaman semusim tidak direkomendasikan untuk ditanam. Berdasarkan wawancara, dari 50 petani contoh, sebagian besar petani (56 persen) menggarap lahan untuk usahatani kentang pada kemiringan 15 - 45 persen (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan Menteri Pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat lapangan. Tabel 14. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Kecuraman Lereng (%) < 14 15 – 24 25 – 40 > 41 Total Kecuraman Lereng Rata-rata (%) Kecuraman Lereng Maksimum (%) Kecuraman Lereng Minimum (%)
Jumlah Petani (orang) 22,00 14,00 11,00 3,00 50,00 16,66 45,00 0,00
Persentase 44,00 28,00 22,00 6,00 100,00
Sumber : Data Primer (2012)
63
Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani mengusahakan lahan yang kurang sesuai untuk usahatani tanaman kentang. Oleh karena itu, tindakan konservasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi dampak negatif akibat pengusahaan lahan-lahan di kelerengan tinggi. Salah satu teknik konservasi yang cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10 – 40 persen adalah teras gulud, yaitu membuat barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud (Permentan, 2006). Fungsi dari teras gulud untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur) (Gambar 6). Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng (Gambar 7) maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada aluralur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012).
Gambar 6. Lahan dengan Penanaman Searah Kontur (Konservasi) di Kecamatan Pasirwangi, 2011
Gambar 7. Lahan dengan Penanaman Searah Lereng (NonKonservasi) di Kecamatan PasirWangi, 2011 64
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola konservasi sebanyak 36 petani (72 persen), dan yang tidak melakukan pola konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja. 6.1.
Analisis Faktor-faktor Konservasi
yang
Mempengaruhi
Peluang
Adopsi
Analisis regresi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi konservasi pada usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi. Beberapa literatur (Solis et all, 2009; Katharina, 2007a). menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi yaitu umur petani, pendidikan petani, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, informasi teknologi yang didapat dari penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok, dan akses terhadap kredit. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi erosi yaitu jenis tanah, tingkat kecuraman lereng, iklim (curah hujan), dan panjang lereng. Berdasarkan literatur yang diperoleh, sumber informasi mengenai konservasi dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan keikutsertaan dalam kegiatan kelompok tani. Namun, di daerah penelitian, meskipun penyuluhan cukup sering dilaksanakan, materi penyuluhan yang disampaikan lebih sering mengarah pada praktik budidaya, yaitu pembibitan, pemupukan, serta perawatan tanaman, penyemprotan tanaman, tanpa membahas mengenai praktik konservasi. 65
Selain itu, kelompok tani yang ada jarang melakukan kegiatan, bahkan jika ada kegiatan, petani enggan ikut serta meskipun terdaftar sebagai anggota. Hal ini disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan lebih banyak berbentuk penyuluhan atau bahkan promosi pupuk dan obat yang banyak dilakukan oleh dealer pupuk/obat. Petani lebih banyak mendapat informasi mengenai tindakan konservasi dari petani lain. Oleh karena itu, penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak dimasukkan ke dalam model. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi adalah akses terhadap kredit. Akses terhadap kredit penting karena berhubungan dengan modal yang dimiliki petani. Tindakan konservasi yang harus dilakukan petani membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga modal yang diperlukan lebih banyak. Namun pada praktiknya petani di Kecamatan Pasriwangi sulit mengakses lembaga-lembaga keuangan formal karena keterbatasan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti agunan serta pola angsuran yang wajib dibayar per bulan, padahal petani melakukan panen minimal tiga bulan untuk satu musim. Oleh karena itu petani lebih memilih mengakses kredit informal, yaitu dengan meminjam dalam bentuk saprodi, seperti pupuk dan pestisida. Sistem ini telah menjadi kebiasaan bagi petani, karena untuk menanam kentang, modal yang diperlukan cukup besar. Karena seluruh petani yang menjadi sampel dalam penelitian ini mengakses kredit dengan cara yang sama, maka variabel ini tidak dimasukkan kedalam model karena dianggap tidak ada variasi data,. Faktor penyebab erosi dapat mempengaruhi petani dalam keputusan adopsi konservasi karena tujuan dari konservasi adalah mencegah atau mengurangi erosi yang terjadi (Kataharina, 2007). Pada penelitian ini jenis tanah 66
dan iklim (curah hujan) dianggap sama untuk setiap petani karena berada pada lokasi yang sama. Sehingga variabel ini tidak dimasukan kedalam model. Selain itu, informasi mengenai panjang lereng cukup sulit didapat karena mayoritas petani tidak yakin akan panjang lereng dari lahan mereka. Pada saat dilakukan wawancara para petani hanya dapat mennjawab panjang lereng hanya dengan perkiraan saja. Selain itu, kurangnya informasi mengenai panjang lereng karena adanya keterbatasan peneliti dalam mengakses lahan garapan petani. Oleh karena itu panjang lereng tidak dimasukkan kedalam model. Satu-satunya variabel lingkungan yang masuk kedalam model adalah tingkat kecuraman lereng, faktor ini didapat secara sederhana dengan bertanya langsung kepada petani dengan menggunakan ilustrasi gambar. Dengan demikian dalam penelitian ini variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model logit yaitu umur (UMR), pendidikan petani (PDKN), luas lahan (LLHN), pendapatan (PDPT), jumlah tanggungan keluarga (JTK), tingkat kecuraman lereng (CURM), pengalaman bertani (PLMN), dan satu variabel dummy, yaitu status kepemilikan lahan (SLHN). Untuk variabel pendapatan, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang diperoleh petani, yaitu selisih produksi kentang yang dijual dan biaya tunai yang dikeluarkan. Pemilihan penggunaan perhitungan pendapatan tunai karena pada tingkat petani, keputusan petani untuk melanjutkan atau melakukan alternatif lain dari usahatani mereka dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang secara riil diterima. Variabel respon yang digunakan dalam analisis ini adalah peluang petani melakukan pola konservasi. Jika petani melakukan pola konservasi, maka diberi nilai satu dan jika petani tidak dilakukan pola konservasi, maka diberi nilai nol. 67
Berdasarkan hasil pengolahan regresi logit diperoleh bahwa 57,1 persen pengamatan aktual (Y = 0) diprediksi dengan benar dan 91,7 persen pengamatan aktual (Y = 1) diprediksi dengan benar. Secara keseluruhan, 82,0 persen pengamatan aktual (Y = 0 atau Y = 1) diprediksi dengan benar (Lampiran 4). Tabel 15 menyajikan data hasil analisis regresi logit. Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Variabel Constant UMR PNDKN LLHN c SLHN a PDPT c JTK CURM a PNGLMN b -2 Log likelihood Chi-Square Hosmer and Lemeshow test (signifikansi)
Koefisien 0,981 0,026 -0,178 -4,727 2,583 0,000 -0,375 0,125 -0,079 41,293 18,002
Sig. 0,766 0,669 0,509 0,184 0,046 0,171 0,259 0,021 0,138
Odds Ratio 2,666 1,027 0,837 0,009 13,233 1,000 0,687 1,133 0,924
0,541
Sumber : Data primer,dioleh (2012)
Keterangan
: a = Signifikan pada α = 5 persen b = Signifikan pada α = 15 persen c = Signifikan pada α = 20 persen
Berdasarkan Tabel 15, hasil pengujian Hosmer and Lemeshow test, menunjukkan nilai signifikasi 0,541, lebih besar dari α = 5 persen maka terima H0. Artinya model regresi layak dipakai untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati. Selanjutnya, didapatkan nilai -2 Log likelihood sebesar 41,293 dan nilai Chi-square sebesar 18,002 dengan 68
signifikasi 0,021. Angka ini menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope dalam model sama dengan nol harus ditolak pada taraf nyata α = 5 persen. Artinya, terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan nol atau variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peluang mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi. Berdasarkan hubungan antar variabel (korelasi) masalah multikolinearitas tidak ditemukan pada model regresi logit, karena hubungan antar variabel independen tidak ada yang bernilai lebih dari 0,8 (Lampiran 4). Hasil analisis regresi logit digunakan untuk membangun model yang menjelsakan pengaruh masing-masing variabel penjelas terhadap variabel respon. Nilai koefisien (β) menunjukkan pengaruh variabel penjelas terhadap peluang melakukan adopsi konservasi, yaitu dapat meningkatkan peluang adopsi atau mengurangi peluang adopsi. Nilai Odds ratio adalah perbandingan antara besarnya peluang melakukan adopsi konservasi dengan peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Jika nilai Odds ratio sama dengan satu, maka peluang untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi adalah sama. Nilai Odds ratio lebih dari satu, maka peluang untuk mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang tidak mengadopsi konservasi. Sebaliknya, jika nilai Odds ratio kurang dari satu, maka peluang melakukan adopsi konservasi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Berdasarkan hasil analisis model regresi pada Tabel 15, persamaan model yang dihasilkan adalah:
69
6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Adopsi Konservasi Dilihat dari kriteria ekonomi, berdasarkan hasil regresi logit pada Tabel 15 dari delapan variabel yang dimasukan ke dalam model, empat variabel bertanda positif (umur, status kepemilikan lahan, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng), dan empat variabel bertanda negatif (pendidikan petani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalam bertani). Dilihat dari kriteria statistik, luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Selain itu, faktor lain yang tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan petani adalah umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga. Variabel tingkat kecuraman lereng memiliki P-value 0,021 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Koefisien tingkat kecuraman lereng memiliki tanda positif, artinya semakin tinggi kecuraman lereng, peluang untuk melakukan konservasi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, maka diharapkan semakin tinggi kesediaan petani untuk melakukan konservasi, karena semakin tinggi kecuraman lereng, maka potensi erosi pun semakin besar yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Nilai odds ratio pada variabel tingkat kecuraman lereng sebesar 1,133, artinya semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) yang menyatakan peluang petani Pangalengan untuk melakukan konservasi meningkat seiring dengan meningkatnya kecuraman lereng. 70
Variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai P-value yang lebih kecil dari α = 0,20, yaitu 0,171. Nilai odds ratio pada variabel pendapatan adalah 1,00, artinya pengaruh pendapatan terhadap peluang petani untuk melakukan konservasi sama dengan peluang petani tidak melakukan konservasi. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang tidak merangkum penerimaan petani dari keseluruhan hasil produksi. Variabel status kepemilikan lahan memiliki P-value 0,046 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Variabel ini mempunyai tanda positif, artinya status lahan milik dapat meningkatkan peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio untuk status kepemilikan lahan sebesar 13,233. artinya, peluang petani pemilik untuk melakukan konservasi lebih besar dibandingkan dengan petani penyewa. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan. Status sewa lahan yang berdurasi pendek menyebabkan kurangnya insentif untk melakukan konservasi di lahan yang diusahakannya. Manfaat dari menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, kerugian dari tidak menerapkan konservasi pun tidak akan terasa dalam jangka pendek. Selain itu, menurut Reijntjes (1992) bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang
untuk
menginvestasikan
dalam
praktek-praktek
konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah.
71
Variabel luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan P-value 0,184 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata α = 0,20. Variabel ini memiliki koefisien yang bertanda negatif, artinya peningkatan luas lahan dapat mengurangi peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, yaitu luas lahan diharapkan berpengaruh secara positif terhadap adopsi pola konservasi. Nilai odds ratio pada variabel luas lahan adalah sebesar 0,009, artinya apabila luas lahan semakin meningkat, maka peluang petani untuk tidak mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang untuk mengadopsi konservasi. Berdasarkan pengamatan lapang seperti ditunjukkan pada bab gambaran umum, rata-rata luas lahan garapan petani konservasi lebih luas dibandingkan petani non-konservasi (Tabel 12). Selain itu, luas lahan yang ada di Kecamatan Pasirwangi untuk lahan pertanian terbatas, sehingga jika petani ingin memperluas lahan garapan ushatani kentang, petani banyak memanfaatkan lahan di lereng pegunungan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang sebenarnya tidak cocok untuk usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata luas lahan garapan petani yang terbesar berada pada tingkat kecuraman lereng lebih dari 30 persen. Tabel 16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Tingkat Kecuraman Lereng (%) < 14 15-30 >31
Jumlah Petani (persen) 44 42 14
Rata-rata Luas Lahan Garapan (ha) 0,292 0,294 0,551
Sumber : Data primer,diolah (2012) 72
Salah satu alasan mengapa luas lahan bertanda negatif atau tidak sesuai dengan harapan karena di daerah penelitian dengan semakin meningkatnya luas lahan garapan, maka petani kentang membutuhkan modal yang lebih banyak terutama untuk biaya tenaga kerja. Peningkatan biaya ini disebabkan oleh semakin tinggi kecuraman lereng pengelolaan usahatani semakin sulit sehingga lebih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Disamping itu pada lahan berlereng untuk mempertahankan produktivitas yang sama petani harus menambahkan pupuk yang tidak sedikit sehingga memerlukan tambahan biaya yang besar. Variabel pengalaman berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai p-value yang lebih kecil dari α = 0,15, yaitu 0,138. Koefisien ini bertanda negatif, yang berbeda dengan hipotesis awal bahwa pengalaman akan berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Pengalaman memiliki nilai odds ratio sebesar 0,924. ini artinya bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi lebih kecil dari peluang petani tidak mengadopsi. Pengalaman berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi karena pengalaman yang dimasukkan dalam model adalah lama bertani petani melakukan usahatani kentang, bukan melakukan usahatani dengan konservasi. Rata-rata lama bertani petani yang melakukan konservasi lebih tinggi daripada petani yang tidak melakukan konservasi, yaitu 25,29 tahun dan 16,81 tahun (Tabel 9). Terhambatnya penerimaan praktik adopsi konservasi karena banyak petani yang enggan mencoba inovasi baru akibat kurangnya informasi yang mereka dapat sehingga masih berfikir bahwa apa yang mereka lakukan selama bertahuntahun adalah usaha terbaik untuk melakukan usahatani kentang. Semakin banyak pengalaman, petani semakin mengetahui risiko produksi dan biaya yang harus 73
ditanggung. Berdasarkan pengalaman petani, untuk melakukan konservasi, yaitu membuat guludan searah kontur sulit dalam pengerjaan sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Selain itu dalam pengelolaan tanaman, seperti penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan juga saat panen pun memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, dan menurut petani penanaman searah kontur akan menimbulkann penyakit, karena adanya genangan air yang terhambat oleh guludan. Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga yang termasuk faktor internal dalam mempengaruhi keputusan petani tidak berpengaruh nyata terhadap kesediaan petani mengadopsi konservasi. Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai p value yang lebih besar dari α = 0,20, yaitu masing-masing sebesar 0,669, 0,509, dan 0,259. Jumlah Tanggungan Keluarga memiliki nilai odds ratio sebesar 0,687 dengan koefisien yang beratnda negatif. Artinya peluang petani untuk melakukan adopsi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi, atau semakin banyak jumlah tanggungan petani, maka peluang adopsi semakin kecil. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa jumlah tanggungan keluarga dapat menurunkan peluang adopsi konservasi. Tidak berpengaruh nyatanya jumlah tanggungan keluarga terhadap keputusan adopsi konservasi karena rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani di Kecamatan Pasirwangi hampir sama antar petani yaitu sebanyak 3 orang (Lampiran 3), sehingga jumlah tanggungan keluarga bukan penentu keputusan adopsi. Variabel umur memiliki nilai odds rasio sebesar 1,027. Artinya dengan meningkatnya umur petani, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi 74
daripada tidak mengadopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siregar (2006) dan Lapar dan Pandey (1999). Namun, secara statistik umur tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan adopsi konservasi. Pendidikan memiliki nilai odds rasio sebesar 0,837. Artinya semakin tinggi pendidikan petani peluang mengadopsi konservasi cenderung lebih kecil daripada tidak mengadopsi konservasi. Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh karena mayoritas petani di Kecamatan Pasirwangi adalah petani pengikut (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Status ini mengakibatkan petani hanya mengikuti usaha-usaha yang telah secara nyata memberikan hasil yang lebih baik bagi petani lain yang telah menjalankan inovasi baru, karena menghindari risiko yang mungkin didapat. Selain itu, tidak signifikannya variabel-variabel tersebut kemungkinan terkait dengan sifat dan karakteristik teknik konservasi tersebut yang merupakan program pemerintah, sehingga kesadaran pentingnya konservasi sangat kurang. 6.2.
Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang Analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang didasarkan pada
perbedaan pendapatan total (net benefit) antara usahatani kentang yang menggunakan sistem konservasi dan tanpa konservasi. Analisis pendapatan total merangkum seluruh biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya yang diperhitungkan, serta penerimaan dari seluruh hasil produksi usahatani, baik yang dijual, maupun yang tidak dijual. Analisis pendapatan untuk usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi didasarkan pada harga dan upah tenaga kerja yang berlaku di lokasi penelitian 75
pada tahun 2010-2011, dan dilakukan untuk usahatani kentang per satu musim tanam. Jumlah pestisida dihitung dengan penggunaan pestisida setara Daconil. Perhitungan biaya pestisida setara Daconil didasarkan pada jumlah petani yang paling banyak menggunakan jenis pestisida tertentu. Di daerah penelitian sebanyak 62 persen petani menggunakan merek pestisida Daconil. Jumlah pestisida yang digunakan dihitung berdasarkan biaya total pestisida per sampel dibagi dengan harga pestisida Daconil. Tabel 17 menyajikan data struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani kentang per Hektar per musim tanam di Kecamatan Pasirwangi tahun 2011. Berdasarkan hasil analisis, usahatani dengan konservasi memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, yaitu masingmasing sebesar 18,74 ton/ha dan 16,23 ton/ha. Hasil ini dapat membuktikan bahwa dengan melakukan konservasi, petani dapat mempertahankan unsur hara tanah yang baik untuk tanaman, sehingga dapat mempertahankan produktivitas lahan.
Namun,
untuk
melakukan
usahatani
dengan
konservasi,
petani
membutuhkan modal yang lebih banyak dibandingkan usahatani konservasi. Penggunaan modal yang tinggi dapat terlihat dari biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dengan konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya lebih yang dikeluarkan untuk konservasi, yaitu biaya tenaga kerja, terutama tenaga kerja saat membuat guludan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengerjaan guludan yang dibuat searah kontur lebih sulit dibandingkan dengan pengerjaan guludan searah lereng, sehingga dibutuhkan waktu pengerjaannya yang lebih lama. Pengeluaran petani yang melakukan konservasi untuk tenaga kerja luar keluarga lebih tinggi daripada 76
petani yang tidak melakukan konservasi dengan perbedaan Rp 2.209.040,01. Petani yang tidak melakukan konservasi mengeluarkan biaya tenaga kerja dalam keluarga yang lebih tinggi daripada petani yang melakukan konservasi dengan perbedaan Rp 1.655.334,81. Secara total, petani yang melakukan konservasi mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dengan total perbedaan sebesar Rp 553.705,2. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani konservasi menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan usahatani non-konservasi (Tabel 17). Tabel 17. Struktur Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Kentang per Hektar Per Musim Tanam di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Sistem Penanaman Konservasi Non Konservasi Deskripsi Perbedaan (Searah Kontur) (Searah Lereng) Total Produksi (Kg) Total Jual (Kg) Harga (Rp) Biaya Tunai (Rp) a. Benih b. Pupuk Organik c. Pupuk An-Organik d. Pestisida e. TK f.Ajir,Mulsa g.Bahan Bakar pompa h.Pajak Biaya Diperhitungkan (Rp) a. Sewa Lahan b. Penyusutan c.TK TR tunai (Rp) TR total (Rp) TC tunai (Rp) TC total (Rp) Pendapatan Tunai (Rp) Pendapatan Total (Rp) R-C rasio tunai R-C rasio total Sumber: Data Primer (diolah)
18.740,87 16.147,21 4.896,60
16.230,04 14.632,31 4.896,60
2.510,83 1.514,90 0,00
16.232.891,38 7.744.785,71 1.359.037,17 5.495.524,42 8.088.993,54 2.065.402,52 338.704,01 64.946,11
16.311.738,97 6.501.938,73 1.642.814,33 5.218.810,30 5.879.953,53 1.584.723,53 421.715,65 69.363,91
-78.847,60 1.242.846,97 -283.777,16 276.714,13 2.209.040,01 480.678,99 -83.011,64 -4.417,80
1.000.000,00 205.078,78 1.618.405,77 79.066.424,34 91.766.536,09 41.390.284,86 44.213.769,41 37.676.139,48 47.552.766,68 1,91 2,08
1.000.000,00 177.871,03 3.273.740,58 71.648.556,18 79.472.008,65 37.631.058,96 42.082.670,58 34.017.497,22 37.389.338,07 1,90 1,89
0,00 27.207,75 -1.655.334,81 7.417.868,16 12.294.527,44 3.759.225,90 2.131.098,84 3.658.642,26 10.163.428,60 0,01 0,19 77
Berdasarkan Tabel 17, pendapatan tunai yang diterima dalam usahatani kentang menunjukkan pendapatan per hektar usahatani yang melakukan sistem konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, sengan perbedaan sebesar Rp 3.658.642,26/ha. Pendapatan tunai rata-rata usahatani dengan konservasi sebesar Rp 37.676.139,48/ha, sedangkan pendapatan tunai rata-rata usahatani
tanpa
konservasi
sebesar
Rp
34.017.497,22/ha.
Selanjutnya,
berdasarkan pendapatan total yang diperoleh, usahatani kentang dengan konservasi memberikan pendapatan total yang lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, dengan perbedaan sebesar Rp 10.163.428,60/ha. Usahatani kentang
dengan
konservasi
memberikan
pendapatan
total
sebesar
Rp 47.552.766,68/ha, lebih besar daripada usahatani tanpa konservasi yang memberikan pendapatan total sebesar Rp 37.389.338,07/ha. Hasil analisis pendapatan tunai dapat dapat melihat hasil usahatani secara riil sehingga dapat mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan usahatani yang telah dilakukan atau tidak. Sedangkan analisis pendapatan total dapat digunakan untuk melihat penampilan usahatani secara keseluruhan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam bisnis (ekonomi), karena telah memperhitungkan produksi yang dikonsumsi, digunakan dalam usahatani untuk benih, dan untuk diberikan kepada orang lain (Soekartawi, 1985), serta dapat melihat keberlanjutan pendapatan dari usahatani tersebut. Pada usahatani kentang di Pasirwangi, kedua sistem penanaman dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani kubis di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat yang memberikan pendapatan sebesar Rp 7.039.940/ha (Nahraeni, 2012).
78
Nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani dengan konservasi adalah 1,91, artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan, memberikan penerimaan sebanyak 1,91 kali. Sedangkan nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani tanpa konservasi sebesar 1,90, artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan memberikan penerimaan sebersar 1,90 kali. Sehingga dapat disimpulkan nilai R-C rasio atas biaya tunai menunjukkan bahwa setiap satuan biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi. Berdasarkan perhitungan R-C rasio atas biaya total, usahatani kentang dengan konservasi memberikan nilai R-C rasio yang lebih tinggi dari R-C rasio usahatani kentang tanpa konsevasi. Nilai R-C rasio atas biaya total untuk usahatani kentang dengan konservasi adalah 2,08 yang artinya setiap satu satuan biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani, akan memberikan penerimaan sebanyak 2,08 kali. Sedangkan usahatani tanpa konservasi memberikan nilai R-C rasio atas biaya total sebesar 1,89, artinya setiap satu satuan biaya total yang dikeluarkan memberikan penerimaan sebanyak 1,89 kali. Sistem penanaman yang sama memperlihatkan adanya perbedaan R-C rasio antara R-C rasio tunai dan R-C rasio total. Pada usahatani kentang dengan konservasi, terlihat R-C rasio atas biaya total yang lebih besar daripada R-C rasio atas biaya tunai dengan perbedaan sebesar sebesar 0,17. Artinya dari sisi bisnis, usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih baik dibandingkan perhitungan dari sisi akuntansi. Atau penerimaan yang diperoleh pada usahatani kentang dengan konservasi dapat didapat secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007b) yang menyatakan manfaat 79
dari menerapkan konservasi akan terlihat dalam beberapa musim dan sifatnya jangka panjang, selain itu tindakan konservasi tanah merupakan investasi untuk meningkatkan produktivitas lahan dimasa mendatang (Lapar dan Pandey, 1999). Sebaliknya, pada sistem usahatani kentang tanpa konservasi, terlihat bahwa R-C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R-C rasio atas biaya total. Hal ini menunjukkan bahwa secara riil petani mendapatkan penerimaan yang lebih besar, namun penerimaan yang didapatkan tidak akan berkelanjutan karena secara keseluruhan masih banyak biaya yang cukup besar yang dapat mengurangi penerimaan, terutama jika petani menghitung opportunity cost dari tenaga kerja dalam keluarga. Berdasarkan analisis ekonomi, nilai R-C rasio untuk usahatani kentang dengan konservasi lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi, Artinya setiap satuan biaya yang dikeluarkan pada usahatani dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih besar dibandingan dengan usahatani tanpa konservasi. Nilai R-C rasio untuk kedua sistem tanam tersebut lebih besar daripada nilai R-C rasio hasil analisis Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2009), yaitu 1,73. Perbedaan antara usahatani konservasi dan non-konservasi dapat dilihat dari aspek lingkungan, yang ditunjukkan dengan nilai ekonomi konservasi. Nilai ekonomi konservasi merupakan keuntungan yang diperoleh petani jika melakukan konservasi atau kerugian yang diderita petani jika tidak melakukan konservasi. Oleh karena itu, nilai ekonomi konservasi usahatani kentang adalah selisih pendapatan total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi. Dengan tidak dilakukannya konservasi, maka lahan petani akan 80
mengalami erosi yang lebih tinggi sehingga menghasilkan produksi kentang yang lebih sedikit dibandingkan dengan petani yang melakukan konservasi, karena hilangnya unsur hara tanah akibat terbawa erosi. Selain itu petani pun harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk melakukan konservasi. Analisis pendapatan total merangkum seluruh biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya yang diperhitungkan, serta penerimaan dari seluruh hasil produksi usahatani, baik yang dijual, maupun yang tidak dijual. Oleh karena itu, pebedaan pendapatan total dapat merangkum kerugian petani yang tidak melakukan konservasi akibat produktivitas yang lebih rendah, serta tambahan biaya yang dikeluarkan petani untuk konservasi. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa perbedaan pendapatan total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi sebesar Rp 10.163.428,60 atau nilai ekonomi dari konservasi usahatani kentang sebesar Rp 10.163.428,60 (Tabel 18). Tabel 18. Perhitungan Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Sistem Penanaman Konservasi Non Konservasi Deskripsi Perbedaan (Searah Kontur) (Searah Lereng) A Penerimaan Nilai Produksi (Rp) B Biaya Biaya Tunai (Rp) Biaya Diperhitungkan (Rp) Biaya Total (Rp) C Net Benefit dengan Konservasi (Rp) D Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) E Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp)
91.766.536,09
79.472.008,65
12.294.527,44
41.390.284,86 2.823.484,55 44.213.769,41
37.631.058,96 4.451.611,61 42.082.670,58
3.759.225,90 -1.628.127,06 2.131.098,84
47.552.766,68 37.389.338,07 10.163.428,60
Sumber: Data Primer (diolah) 81