VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Timbunan Sampah Analisis ini menggunakan pendekatan model IPAT untuk melihat faktor-
faktor yang memberikan dampak terhadap volume sampah yang ditimbun di TPA. Model ini memasukan variabel jumlah penduduk (P), pendapatan (A), dan teknologi pengolahan sampah (T) yang akan mempengaruhi volume sampah yang ditimbun (I) di TPA Pasir Sembung. Jumlah penduduk di Kabupaten Cianjur meningkat setiap tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2000 sebanyak 1 946 905 jiwa. Tahun 2010 dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1.09 % meningkat menjadi 2 240 085 jiwa yang terdiri dari 569 996 kepala keluarga. Pertumbuhan jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat konsumsi. Semakin tinggi jumlah penduduk, maka jumlah konsumsi akan semakin meningkat. Konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita. Kabupaten Cianjur memiliki laju pertumbuhan pendapatan daerah sebesar 9.66 %. Peningkatan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) ini dikarenakan terjadi peningkatan pada pendapatan per kapita masyarakat. Pendapatan perkapita masyarakat mencapai Rp 11 079 195 pada tahun 2010. Selain kedua variabel di atas, dalam model IPAT ini juga menggunakan variabel teknologi. Volume timbunan sampah di TPA dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam pengolahan sampah. Teknologi yang dipakai di TPA Pasir Sembung yaitu kolam leachete untuk pengolahan limbah cair dan pengomposan untuk sampah organik. Pengaruh teknologi dalam analisis ini dilihat dari biaya
42
yang dikeluarkan untuk melakukan pengelolaan sampah dan juga pemeliharaan alat-alat yang digunakan. Biaya yang digunakan untuk pengolahan sampah cenderung tetap setiap tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cianjur, volume sampah di TPA Pasir Sembung meningkat setiap tahun. Adapun tren peningkatan volume sampah yang ditimbun di TPA dapat
Volume Sampah (m3) Houndreds
dilihat pada Gambar 7 berikut. 2500 2000 1500 Volume Sampah
1000 500
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0
Sumber: DKP 2011
Gambar 7. Volume Timbunan Sampah di TPA Pasir Sembung Tahun 20002010 Dapat ditunjukkan bahwa volume timbunan sampah di TPA semakin meningkat dari tahun 2000-2009, namun pada tahun 2010 terjadi penurunan volume sampah. Hal ini dikarenakan sudah dilakukannya pengolahan sampah organik menjadi kompos. Pengolahan sampah tersebut dapat mengurangi volume timbunan sampah di TPA. Terlihat pada tahun 2010 volume sampah menurun kurang lebih 30 % dari 232 628 m3 (tahun 2009) menjadi 162 840 m3 (tahun 2010). Analisis menggunakan pendekatan model IPAT ini kemudian diuji dengan menggunakan analisis regresi linier berganda untuk melihat hubungan masingmasing variabel terhadap volume timbunan sampah di TPA.
43
6.1.1
Fungsi Regresi Berganda Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi volume sampah dapat
dijelaskan ke dalam suatu model atau fungsi produksi. Berdasarkan pendekatan yang dilakukan yaitu menggunakan model IPAT, maka variabel yang dimasukan ke dalam model yaitu jumlah penduduk (P), pendapatan per kapita (A), dan teknologi pengolahan sampah (T). Semua variabel tersebut merupakan peubah bebas yang akan menduga volume sampah (I) yang ditimbun di TPA Pasir Sembung. Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Model regresi ini menjelaskan seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Berdasarkan hasil regresi dengan menggunakan program Minitab 14.0 for Windows, maka persamaan volume sampah di TPA Pasir Sembung adalah sebagai berikut: I = - 723521 + 1.86 P - 0.0156 A - 0.000017 T
...............................
(6.1)
Persamaan regresi di atas memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 79.89 % dan koefisien determinasi terkoreksi (R2adjusted) sebesar 71.27 %. Nilai R2adjusted tersebut menunjukkan bahwa kemampuan variabel bebas yaitu jumlah penduduk, pendapatan per kapita masyarakat, dan teknologi pengolahan sampah dapat menjelaskan keragaman dari variabel tak bebas yaitu volume sampah (I) sebesar 71.27 % sedangkan sisanya sebesar 28.73 % dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model (Tabel 4). Taraf nyata (alpha) yang digunakan model ini adalah 5%. Jumlah penduduk dan pendapatan per kapita memiliki nilai P-value < 0.05 (taraf nyata) yaitu 0.005 dan 0.002. Hal ini menunjukan bahwa kedua variabel
44
tersebut berpengaruh nyata terhadap volume timbunan sampah di TPA. Variabel teknologi yang digunakan untuk pengolahan sampah memiliki nilai P-value > 0.05 yaitu sebesar 0.398 yang artinya variabel tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume sampah pada taraf nyata 5 %. Hal ini diduga karena satuan yang dimasukan ke dalam perhitungan persamaan regresi dari variabel teknologi adalah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan teknologi tersebut. Biaya yang dikeluarkan cenderung tetap setiap tahun dan hanya dilihat dalam kurun waktu sepuluh tahun, sehingga menunjukkan pengaruh yang sangat kecil terhadap volume timbunan sampah. Tabel 4. Hasil Pendugaan Fungsi dari Volume Timbunan Sampah di TPA Pasir Sembung Tahun 2000-2010 Predictor
Coeficient
Constant
SE Coef
-723521 1.8635 -0.015628 -0.00001688
T
181136 0.3773 0.003888 0.00001876
P-value
-3.990 4.940 -4.020 -0.900
P A T R-Sq = 79,89% R-Sq(adj) = 71,27% Taraf nyata (α) = 5%
VIF
0.005 0.002 0.005 0.398
8.2 7.9 1.1
Keterangan: P= Jumlah Penduduk T= Teknologi Pengolahan Sampah A= Pendapatan per KK Sumber: Data diolah (2011)
Model
hasil
persamaan
regresi
tersebut
telah
diuji
normalitas,
multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Pengujian normalitas atau asumsi sisaan menyebar normal dilakukan dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov. Berdasarkan grafik residual plots for SRES1 (Lampiran 1) ditunjukan nilai KS sebesar 0.162 lebih besar dari 0.05 yang artinya bahwa model yang digunakan untuk regresi ini telah mengikuti distribusi normal yaitu residual atau eror menyebar normal. Masalah multikolinearitas diuji berdasarkan nilai VIF. Nilai VIF (Tabel 4) untuk ketiga variabel tersebut kurang dari 10, sehingga mengindikasikan tidak adanya multikolinearitas antara peubah bebas (Juanda
45
2009). Pemeriksaan asumsi autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson. Nilai DW pada model tersebut yaitu 2.058 (Lampiran 1) masih berada pada kisaran angka 2 sehingga menunjukan tidak terjadi autokorelasi. Pengujian untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Goldfeld-Quant. Nilai p yaitu 0.128 lebih besar dari 0.05 (Lampiran 1) mengindikasikan tidak terdapat heteroskedastisitas pada persamaan regresi linier tersebut. Adapun beberapa variabel yang secara nyata atau tidak nyata berpengaruh terhadap volume sampah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk Variabel jumlah penduduk yang digunakan dalam satuan rumah tangga (P) memiliki pengaruh nyata pada taraf nyata 5 % terhadap volume sampah yang dihasilkan. Variabel ini memiliki koefisien positif (+) yang menunjukan bahwa jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan jumlah konsumsi akan semakin tinggi. Konsumsi masyarakat (pangan) akan menghasilkan sisaan atau sampah yang akan dibuang ke lingkungan. Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Cianjur akan menyebabkan volume timbunan sampah di TPA semakin tinggi. Volume sampah yang semakin tinggi tersebut akan menyebabkan permasalahan sampah akan terus bertambah. Peningkatan populasi merupakan sebuah tantangan bagi kondisi lingkungan di daerah tersebut (Nakicenovic et. al. dalam
Bogner 2007).
Koefisien jumlah penduduk sebesar 1.8635 memiliki arti bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk sebesar 100 jiwa diduga akan meningkatkan volume sampah sebesar 186.35 m3 per tahun cateris paribus.
46
2.
Pendapatan masyarakat Variabel jumlah pendapatan per kapita masyarakat memiliki hubungan yang nyata terhadap volume sampah pada taraf nyata 5 %. Variabel ini memiliki koefisien negatif (-), artinya semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat diduga dapat menurunkan volume timbunan sampah di TPA. Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dengan asumsi harga pangan yang diterima masyarakat sama, menurut Hukum Engel pengeluaran rumah tangga terhadap komoditas pangan akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson 1991). Asumsi harga barang tetap, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka proporsi konsumsi yang semakin meningkat adalah untuk konsumsi barang mewah atau non pangan. Barang-barang non pangan tersebut tidak termasuk jenis sampah yang diangkut ke TPA sehingga semakin tinggi konsumsi masyarakat terhadap barang non pangan tidak akan meningkatkan volume sampah di TPA.
Koefisien
variabel
pendapatan
masyarakat
sebesar
0.01568,
menunjukkan bahwa setiap peningkatan pendapatan per kapita masyarakat sebesar Rp 10 000 diduga akan menurunkan volume sampah yang ditimbun sebesar 156.80 m3 per tahun cateris paribus. Namun, variabel ini tidak diajadikan indikator utama sebagai faktor yang dapat menurunkan volume sampah. 3.
Teknologi pengolahan sampah Variabel teknologi memiliki nilai P-value sebesar 0.398 yang lebih besar dari 0.05, artinya variabel ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan
47
terhadap volume sampah. Variabel ini memiliki hubungan negatif terhadap volume sampah yang ditunjukan dengan koefisien yang negatif (-). Artinya bahwa semakin efisien dan maksimal teknologi yang digunakan dalam pengolahan sampah maka akan menurunkan volume sampah. Sistem pengelolaan sampah terpadu merupakan sistem manajemen pengelolaan sampah yang mengintegrasikan aspek perencanaan pengelolaan sampah dengan berbagai bidang (Damanhuri 2007). Nilai koefisien sebesar 0.0001668 artinya bahwa semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk teknologi pengolahan sampah sebesar Rp 1 000 000 maka diduga akan menurunkan volume sampah sebesar 166.80 m3 per tahun cateris paribus. Variabel teknologi ini tidak berpengaruh signifikan diduga karena biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengolahan sampah relatif sama setiap tahun. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi volume sampah di TPA Pasir Sembung adalah jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Teknologi pengolahan sampah dalam persamaan regresi tersebut merupakan variabel yang tidak berpengaruh nyata atau memberikan pengaruh yang kecil terhadap volume timbunan sampah. Namun, dalam kondisi sebenarnya manajemen pengolahan sampah merupakan suatu sistem yang dibutuhkan dalam penataan suatu lingkungan. Penggunaan teknologi dalam pengolahan sampah dapat menurunkan jumlah volume sampah yang dapat menyelesaikan permasalahan sampah yang tidak akan pernah berhenti. 6.1.2 Pemodelan Pertumbuhan Volume Timbunan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Pemodelan ini dilakukan untuk melakukan peramalan terhadap volume timbunan sampah di TPA Pasir Sembung. Analisis ini dilakukan dengan
48
menggunakan software Vensim 5.6b untuk meramalkan laju volume timbunan sampah dari tahun 2010 sampai 2020. Peramalan ini penting dilakukan agar pihak pengelola dapat memiliki gambaran mengenai volume sampah dan juga mengantisipasi sistem pengelolaan di masa yang akan datang agar pengelolaan sampah TPA Pasir Sembung berjalan efektif. Model ini menggunakan asumsi bahwa volume sampah yang dihasilkan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dalam hal ini digunakan satuan rumah tangga, pendapatan per kapita masyarakat yang akan mempengaruhi tingkat konsumsi, dan teknologi pengolahan sampah dengan pengomposan. Terdapat dua buah stok yaitu rumah tangga dan volume sampah (Lampiran 2). Stok awal yaitu rumah tangga sebesar 569 996 jiwa dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dengan laju pertumbuhan sebesar 1.09 % pada tahun 2010. Pertumbuhan jumlah rumah tangga ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi. Masyarakat (rumah tangga) menggunakan 41.18 % dari pendapatannya Rp 32 335 717 untuk kebutuhan konsumsi pangan. Jumlah konsumsi masyarakat tersebut mempengaruhi peningkatan volume sampah sebesar 7 % pada tahun 2010. Stok dari volume sampah dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan. Sampah organik sebanyak 40 % yang digunakan dalam proses pengomposan akan mengurangi stok volume sampah, dimana volume sampah awal sebesar 162 840 m3. Konsumsi masyarakat (%) yang dimasukan ke dalam model adalah jumlah konsumsi masyarakat terhadap pangan organik. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perhitungan ganda karena variabel yang mempengaruhi penurunan volume sampah hanya proses pengolahan sampah organik (kompos). Penurunan volume sampah dilihat dari jumlah sampah yang digunakan untuk membuat kompos (%).
49
Berdasarkan hasil pemodelan yang dilakukan (Lampiran 2), volume sampah yang ditimbun di TPA tahun 2010 sampai 2020 mengalami penurunan (Gambar 8). Pengolahan sampah dengan pengomposan yang menggunakan 40 % sampah organik yang ada di TPA dapat menurunkan volume sampah di TPA Pasir Sembung. Peningkatan volume sampah sebesar 7 % yang dipengaruhi oleh tingkat konsumsi masyarakat dapat diatasi dengan digunakannya sampah organik sebagai bahan baku untuk proses pengomposan. Sampah 200,000
150,000
100,000
50,000
0 0
1
2
3
4
5 6 Time (Year)
7
8
9
10
Sampah : Current
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 8. Hasil Pemodelan Volume Sampah (m3) di TPA Pasir Sembung Tahun 2010-2020 Hasil pemodelan tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi pengelola agar dapat mengelola sampah lebih maksimal sehingga permasalahan sampah dapat terselesaikan. Pengolahan sampah organik yang dilakukan dengan proses pengomposan dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan volume sampah jika pengelolaannya dilakukan secara optimal. 6.2
Evaluasi Kelayakan Finansial Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung dengan Metode Control Landfill Pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung menggunakan metode control
landfill dimulai pada tahun 2006. Hal ini sesuai dengan amanat yang disampaikan
50
pada UU No. 18 Tahun 2008 bahwa pengelolaaan TPA dengan metode open dumping diubah menjadi metode control landfill. Penggunaan metode control landfill ini mengharuskan dilakukannya pemeliharaan tanah secara rutin dan juga pengolahan sampah baik organik maupun anorganik. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi volume sampah, sehingga permasalahan sampah akan semakin berkurang. TPA Pasir Sembung sudah melakukan pengolahan sampah organik menjadi kompos. Pengolahan kompos ini mampu menghasilkan pupuk kompos sebanyak dua ton per hari dan hasil produksi kompos tersebut belum dijual ke pasar melainkan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini dapat memberikan pengaruh bagi TPA dari segi biaya produksi. Anggaran atau biaya pengelolaan TPA akan semakin meningkat dengan adanya pengolahan sampah, namun penerimaan yang diterima cenderung tetap. Pengelolaan dengan metode ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun sampai sekarang. Guna mengetahui kelayakan pengelolaan TPA dengan penerapan metode control landfill sampai dengan tahun 2010, maka dilakukan evaluasi kelayakan finansial. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah investasi pemerintah dalam pelaksanaan pengelolaan TPA dengan metode control landfill ini berhasil atau tidak. Pelayanan publik ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi pemerintah, pengelola, dan masyarakat. Evaluasi kelayakan finansial dilakukan dengan memperhitungkan besarnya penerimaan yang diperoleh oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk pengelolaan TPA yang berasal dari dana anggaran pengeluaran dan belanja pemerintah (APBD). Selain itu, analisis ini juga memperhitungkan besarnya pengeluaran yang digunakan untuk biaya investasi, pemeliharaan, upah tenaga
51
kerja, dan biaya variabel lain. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran merupakan keuntungan atau kerugian yang diterima oleh dinas terkait. Kriteria kelayakan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat kelayakan dari investasi pemerintah dalam pengelolaan sampah. Kriteria tersebut adalah Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang, Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian, dan Net Benefit/Cost (Net B/C). Penelitian ini akan melakukan evaluasi kelayakan finansial dalam pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung Kabupaten Cianjur selama lima tahun yaitu dari tahun 2006 sampai 2010. Perhitungan dengan menggunakan Cashflow ini bertujuan untuk melihat kelayakan pengelolaan TPA dengan metode control landfill secara finansial yang akan digunakan untuk mengantisipasi dana di masa yang akan datang yang seharusnya diberikan bagi pengelolaan TPA. Evaluasi kelayakan finansial pengelolaan sampah di TPA Pasir sembung menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut: 1.
Pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung menggunakan dana kas pemerintah Kabupaten Cianjur yang disalurkan melalui Bank Jabar Banten. Suku bunga yang digunakan adalah 14 % (compounding factor) yang diperoleh dari suku bunga kredit Bank Jabar Banten untuk proyek pemerintah atau publik per tanggal 31 Maret 2011.
2.
Umur proyek yang ditentukan untuk melakukan analisis kelayakan ini adalah lima tahun yaitu dari tahun 2006 sampai 2010 sejak TPA ini menggunakan metode control landfill dalam pengelolaan TPA.
3.
Harga yang digunakan untuk input pembelian adalah harga yang berlaku pada tahun pembelian. Biaya pada arus pengeluaran terdiri dari biaya investasi,
52
pemeliharaan alat, pengadaan sarana dan prasarana, tenaga kerja, dan biaya lain-lain. Sedangkan penerimaan diperoleh dari dana pemerintah daerah atau APBD yang didalamnya sudah termasuk dana retribusi kebersihan. 6.2.1
Identifikasi Dana Pemasukan Penerimaan yang diperoleh oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kabupaten Cianjur dalam pengelolaan TPA Pasir Sembung adalah dari dana APBD pemerintah daerah dan bantuan provinsi. Dana APBD yang diberikan telah termasuk dana retribusi kebersihan karena dana retribusi tersebut langsung dikelola oleh Pemda setempat (Lampiran 3). Berikut ini adalah alur pemasukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam mengelola TPA Pasir Sembung: 1.
Dana Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah (APBD) Pemerintah daerah memberikan dana kepada setiap dinas dalam pengelolaan masing-masing bidang yang dikelola. Dinas Kebersihan dan Pertamanan menerima dana APBD setiap tahun yang sudah termasuk alokasi dana dari retribusi kebersihan. Persentasi pembagian dana pemerintah dan retribusi kebersihan tidak dapat dipublikasikan karena pengelolaan dana tersebut langsung dikelola oleh Pemda. Adapun dana APBD yang diterima untuk pengelolaan TPA dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penerimaan Dana APBD untuk Pengelolaan TPA Pasir Sembung Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Dana (Rp) 254 500 000 2 980 500 000 953 500 000 549 700 000 584 580 000
Sumber: DKP 2011
Dana yang diterima oleh pengelola berbeda setiap tahun karena dana tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dalam pengelolaan sesuai proposal
53
yang diajukan sebelumnya oleh dinas tersebut. Namun, dana yang diterima tidak sepenuhnya sama dengan dana yang diajukan sebelumnya. Penerimaan pada tahun 2007 lebih besar dibandingkan dengan dana penerimaan tahun lainnya. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terdapat pengadaan mesin pengomposan di TPA Pasir Sembung sehingga membutuhkan dana yang lebih besar. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola TPA, dana tersebut sebenarnya masih kurang dari yang seharusnya, sehingga pengelolaan TPA pun belum berjalan dengan efektif. Selain itu, karena tidak adanya sumber lain untuk penerimaan sehingga cenderung mengandalkan dana APBD. 2.
Bantuan Provinsi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cianjur menerima dana bantuan dari pemerintah Provinsi Jawa Barat (Lampiran 3). Bantuan ini diperoleh karena pada tahun 2004 DKP mengajukan proposal mengenai permintaan bantuan kepada pemerintah provinsi Jawa Barat. Proposal tersebut disetujui dengan ketentuan bahwa dana yang diajukan tidak boleh lebih dari Rp 100 000 000 karena jika lebih harus melalui pihak ketiga atau swasta. Mulai tahun 2005 dana yang diperoleh oleh pihak pengelola tetap yaitu sebesar Rp 100 000 000 setiap tahun. Penerimaan untuk pengelolaan TPA hanya diterima dari dua sumber
tersebut. Namun, sebenarnya terdapat sumber penerimaan lain yang seharusnya dapat digunakan untuk pembiayaan pengelolaan TPA yang tidak dimasukan ke dalam sumber penerimaan. Hal tersebut dikarenakan tidak terdapat proses komersialisasi terhadap sumber tersebut atau disebut sebagai manfaat sosial.
54
Manfaat sosial yang pertama adalah dengan adanya proses pengolahan sampah dengan pengomposan maka sampah yang ditimbun di TPA dapat berkurang. Penurunan volume timbunan sampah tentu saja akan memberikan manfaat baik bagi pihak pengelola maupun masyarakat. Pencemaran yang diakibatkan timbunan sampah tersebut lama kelamaan akan menurun sehingga kondisi lingkungan akan lebih baik. Hasil produksi kompos dari proses pengolahan tersebut seharusnya bisa menjadi peneriman yang cukup besar karena kompos yang dihasilkan cukup banyak yaitu dua ton per hari. Kompos tersebut saat ini hanya digunakan oleh dinas terkait tanpa harus membayar. Hal ini menjadi keuntungan bagi Dinas Kebersihan dan Pertamanan karena dapat mengurangi biaya operasional dalam bidang pertamanan. Namun, dalam bidang pengelolaan sampah hal ini akan menambah biaya produksi. Kedua yaitu dengan adanya saluran leachete sebagai pengolah limbah cair yang dapat mengurangi pencemaran limbah ke sungai. Penurunan tingkat pencemaran tersebut tentu saja dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat dengan mengurangi biaya kesehatan bagi masyarakat sekitar. Manfaat sosial tersebut tidak dimasukan ke dalam perhitungan karena penelitian ini tidak mengevaluasi kelayakan ekonomi hanya kelayakan secara finansial. 6.2.2 Identifikasi Pengeluaran Biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung digunakan untuk operasional dalam pengelolaan sampah dan sarana prasarana di TPA Pasir Sembung. Biaya tersebut terdiri dari biaya investasi, upah tenaga kerja, dan biaya operasional. Adapun penjelasan alur pengeluaran dalam pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung yaitu sebagai berikut:
55
1.
Biaya Investasi Investasi yang dikeluarkan tidak hanya dikeluarkan pada tahun awal saja. Investasi ini dikeluarkan pada tahun 2006, 2007, 2008, dan 2010 (Lampiran 3). Biaya investasi ini digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana, pembuatan bangunan, dan juga pembuatan saluran air limbah. Biaya ini hanya dikeluarkan sekali selama proses pengelolaan TPA, namun dikeluarkan pada tahun yang berbeda. Biaya investasi yang paling tinggi adalah pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 2 772 616 500. Biaya tersebut besar karena dilakukan pengadaan sarana dan prasarana untuk pengelolaan, seperti pengadaan mesin kompos, pembebasan tanah seluas 13 500 m2, pembuatan bangunan kompos, pembuatan hanggar dan garasi untuk alat berat, pembuatan tembok penahan tanah, saluran leachete, sumur pantau, dan pengaspalan jalan. Biaya yang paling besar digunakan adalah untuk pengadaan mesin kompos. Mesin kompos tersebut terdiri dari dua buah mesin pencacah dan dua buah mesin penyaring dengan harga kedua paket mesin tersebut adalah Rp 1 050 116 500. Sedangkan untuk tahun 2006, 2008, dan 2010 biaya investasi yang dikeluarkan tidak terlalu besar dibandingkan tahun 2007, karena pada tahun 2006 hanya dilakukan pembelian alat berat berupa bull dozer dan eksavator, tahun 2008 dilakukan pembuatan saluran drainase dan tahun 2010 dilakukan pembuatan konstruksi jaringan air.
2.
Upah Tenaga Kerja Upah pekerja dalam pengelolaan TPA adalah untuk pekerja yang bersifat honorer atau kontrak. Honorarium yang ada di TPA berjumlah enam
56
orang dengan upah setiap orang Rp 725 000 per bulan. Sehingga selama setahun untuk membayar honorarium pengelola TPA setiap orangnya adalah sebesar Rp 4 350 000 per bulan. Selain untuk honorarium pengelola TPA, anggaran ini juga digunakan untuk upah bagi tenaga kerja dalam pembuatan kompos. Jumlah tenaga kerja sebanyak lima orang dengan waktu kerja 30 hari per bulan. Upah yang diberikan setiap bulan adalah Rp 1 200 000 per bulan untuk setiap orang. Sehingga selama satu bulan untuk lima orang pegawai TPA mengeluarkan dana Rp 6 000 000. 3.
Biaya Pemeliharaan Alat dan Operasional Biaya ini dikeluarkan untuk membiayai pemeliharaan dan operasional dari alat-alat dan juga lokasi TPA Pasir Sembung dalam pengelolaan sampah. Adapun rincian tersebut antara lain berupa (Lampiran 3): a.
Biaya pemeliharaan instalasi yang digunakan untuk memelihara instalasi pembuangan limbah cair dari sampah yaitu kolam leachete dan sumur pantau. Biaya pemeliharaan instalasi sebesar Rp 10 000 000 setiap tahun. Namun, pada tahun 2008 biaya yang dikeluarkan lebih besar karena pada tahun tersebut dilakukan perbaikan saluran leachete akibat terjadi kebocoran yaitu sebesar Rp 56 000 000.
b.
Biaya operasional alat berat ini digunakan untuk pembelian bensin dan juga pemeliharaan dari 24 truk, dua buldozer, dua unit eksavator. Biaya yang dikeluarkan kurang lebih Rp 155 000 000 per tahun.
c.
Belanja untuk bahan-bahan kimia yang digunakan seperti untuk kolam leachete, masker, sarung tangan, dan larutan E4. Pengeluaran biaya untuk bahan kimia ini kurang lebih sebesar Rp 14 000 000 per tahun.
57
d.
Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kantor TPA yaitu dari bangunan kantor, penataan kantor TPA, dan bangunan lain seperti gedung serbaguna, ruang rapat, dan juga garasi untuk alat berat. Biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya berbeda, karena disesuaikan dengan kebutuhan dari pemeliharaan kantor. Pada tahun 2006 biaya sebesar Rp 110 000 000, tahun 2007 Rp 50 000 000, tahun 2008 Rp 105 000 000 karena dilakukan rehabilitasi dan penataan kantor TPA, tahun 2009 Rp 114 500 000, dan pada tahun 2010 Rp 20 450 000.
e.
Biaya penghijauan di TPA ini dilakukan setiap lima tahun sekali. Penghijauan ini dilakukan pada lahan atau zona pasif yang telah ditimbun dengan tanah, sehingga lokasi tersebut dapat dijadikan sebagai taman. Biaya untuk melakukan penghijauan adalah Rp 20 000 000 per lima tahun.
f.
Produksi kompos di TPA ini memiliki kapasitas dua ton per hari dengan jumlah mesin kompos sebanyak dua buah. Biaya untuk pengelolaan kompos ini terdiri dari biaya untuk pembelian solar kurang lebih 60 liter per bulan, oli kurang lebih delapan galon, dan karung untuk mengemas pupuk kompos. Biaya untuk keseluruhan bahan-bahan tersebut sebesar Rp 36 730 000 per tahun.
g.
Pengelolaan TPA dengan menggunakan metode control landfill harus melakukan pemeliharaan tanah secara teratur. Sampah yang telah menumpuk ditutup dengan tanah (diurug) setiap satu minggu sekali. Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengurugan ini adalah kurang lebih Rp 98 000 000 setiap tahun.
58
Total biaya pemeliharaan alat dan operasional yang dikeluarkan untuk pengelolaan TPA kurang lebih sama setiap tahun yaitu sekitar Rp 300 000 000 untuk tahun 2006 sampai 2010. Namun, pada tahun 2008 biaya yang dikeluarkan lebih besar yaitu sebesar Rp 878 612 000. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut biaya untuk komponen operasional alat berat lebih besar dibandingkan tahun yang lainnya. 6.2.3
Kriteria Kelayakan Dana penerimaan dan juga pengeluaran dalam pengelolaan sampah di TPA
Pasir Sembung telah dirinci dari tahun 2006 sampai 2010. Berdasarkan pada data tersebut maka dapat dilakukan evaluasi kelayakan finansial untuk melihat kelayakan secara finansial anggaran dalam pengelolaan TPA. Evaluasi kelayakan finansial pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung dapat dilihat dari kriteria kelayakan yaitu NPV, Net B/C, dan IRR (Tabel 6). Evaluasis kelayakan ini memiliki nilai NPV ≥ 0 yaitu Rp 232 060 915. Nilai NPV tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di TPA ini layak untuk dijalankan, artinya bahwa seluruh penerimaan yang diterima melebihi biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan TPA. Pengelolaan TPA dengan metode control landfill ini tidak menyebabkan kerugian bagi pihak pengelola maupun pemerintah. Adapun hasil evaluasi kelayakan finansial pengelolaan TPA dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Hasil Evaluasi Kelayakan Finansial Pengelolaan Sampah di TPA Pasir Sembung Kriteria Hasil Net Present value (NPV) 232 060 915 Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C) 2.89 Gross Benefit and Cost Ratio (Gross B/C) 1.03 Internal Rate of Return (IRR) 45 % Sumber: Hasil Penelitian 2011
59
Hasil evaluasi ini juga melihat berdasarkan nilai Net B/C dan Gross B/C. Pengelolaan TPA ini memiliki nilai Net B/C ≥ 1 dan Gross B/C ≥ 1 yaitu 2.89 dan 1.03 (Tabel 6). Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan TPA layak untuk dijalankan dengan penerimaan dari kedua sumber tersebut, artinya bahwa tambahan biaya pengelolaan TPA setelah menggunakan metode control landfill diimbangi dengan adanya tambahan manfaat atau penerimaan. Tambahan penerimaan tersebut diperoleh dari bantuan pemerintah provinsi Jawa Barat. Kelayakan pengelolaan TPA juga dilihat dari nilai IRR atau tingkat pengembalian. Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa nilai IRR ≥ 14 % yaitu sebesar 45 %. Nilai IRR ini lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang ada di Bank Jabar Banten periode tahun 2011. Keputusan investasi tersebut menyatakan bahwa pengelolaan TPA dengan menggunakan metode ini layak untuk dilaksanakan karena tingkat pengembalian lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga. Berdasarkan hasil evaluasi kelayakan finansial maka pengelolaan TPA ini layak untuk dijalankan. Pengelolaan TPA merupakan sarana pelayanan terhadap publik dalam menjaga kelestarian lingkungan sehingga harus dijalankan secara maksimal. Kepuasan masyarakat dan kelestarian lingkungan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan pengelolaan TPA. 6.3
Analisis Perumusan Kebijakan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung Pengelolaan TPA Pasir sembung berada di bawah kebijakan Dinas
Pertamanan dan Kebersihan Kabupaten Cianjur. Dinas ini memiliki hak untuk menetapkan kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan TPA. Pengelolaan TPA membutuhkan dukungan dari berbagai pihak yang memiliki peran dalam proses pelaksanaan pengelolaan. Pemerintah daerah memiliki fungsi meningkatkan
60
pelayanan dan pembangunan masyarakat dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan TPA merupakan salah satu bentuk pelayanan masyarakat yang dapat menjaga kelestarian lingkungan masyarakat. Selain dari itu peran pemerintah adalah mengeluarkan pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan aktivitas untuk pelayanan publik dalam hal ini pengelolaan TPA (Adisasmita 2011). Keterkaitan antar kebijakan diperlukan dalam pengelolaan sampah karena tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Hal ini dilakukan agar dapat menemukan kebijakan yang dapat mengintegrasikan semua bidang baik dari segi ekonomi, ekologi, dan teknis dalam pengelolaan sampah (Eshet et al. 2005). Adapun kebijakan yang dapat dilakukan untuk pengelolaan TPA adalah sebagai berikut: 1.
Penyusunan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah Peraturan daerah ini memiliki peran yang penting dalam membantu pengelolaan TPA agar lebih efektif. Perda tersebut dibuat agar pengelolaan TPA lebih terfokus yang disesuaikan dengan keadaan wilayah. Pembentukan peraturan ini dapat mengacu kepada UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Persampahan dan Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Peraturan ini mengatur mulai dari tahap pengambilan sampah sampai tahap pengolahan sampah karena dalam mewujudkan pengelolaan sampah yang efisien perlu dilakukan penanganan secara komperhensif yaitu dari hulu sampai ke hilir. Pengolahan sampah ini perlu memiliki aturan yang jelas karena dapat memberikan suatu manfaat yang besar. Terutama dalam hal pengurangan volume sampah dan efisiensi dalam
61
pembiayaan pengelolaan sampah. Selain itu, peraturan ini juga mengatur kerjasama yang dilakukan antara pemerintah, pengelola, dan masyarakat sekitar demi terciptanya kondisi lingkungan yang bersih dan sehat. Adapun peraturan secara umum yang dapat dituangkan dalam Perda pengelolaan sampah adalah mengenai: a.
Penyusunan rencana pengurangan dan penanganan sampah yang dituangkan dalam rencana strategis dan rencana tahunan SKPD.
b.
Penyediaan sarana dan prasarana pengurangan dan penanganan sampah mulai dari sumber sampah sampai dengan TPA.
c.
Pola pengembangan kerjasama daerah, kemitraan, dan partisipasi masyarakat.
d.
Kebutuhan penyediaan pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah daerah dan masyarakat.
e.
Rencana pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan dalam memenuhi kebutuhan menggunakan ulang, mendaur ulang, dan penanganan akhir sampah.
2.
Penetapan anggaran dan retribusi untuk pengelolaan TPA Pasir Sembung Pengelolaan TPA merupakan aktivitas untuk melayani fasilitas publik. TPA sebagai sektor publik memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Pemerintah daerah memiliki peranan yang penting dalam memainkan peranan sebagai pengelola (Adisasmita 2011). Bentuk kinerja pemerintah dalam menyediakan pelayanan dan memnuhi kebutuhan publik yaitu dalam penetapan anggaran dan retribusi daerah.
62
APBD merupakan suatu bentuk nyata dari rencana kerja pemerintah daerah sebagai dukungan dalam pelayanan kepada publik. Dana APBD digunakan untuk melakukan rencana kerja selama satu tahun ke depan. Dana ini digunakan dalam menggerakan pengelolaan sampah secara terpadu di TPA Pasir Sembung dan juga memaksimalkan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan. Peningkatan fasilitas dan efisiensi pengelolaan perlu dukungan dari segi efisiensi pembiayaan. Semakin tinggi tingkat pelayanan membutuhkan biaya yang semakin tinggi pula untuk memberikan kepuasan yang maksimal kepada masyarakat. Pengelolaan TPA Pasir Sembung tidak melibatkan adanya pihak swasta sehingga sumber utama penerimaan hanya berasal dari APBD. Semakin banyak kebutuhan yang diperlukan dalam melakukan kinerja pengelolaan sampah yang maksimal, sehingga terkadang biaya yang diterima dari APBD tersebut tidak mencukupi. Anggaran ini digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana dari TPA. Selain itu efisiensi dari anggaran ini dilakukan agar tidak terjadi kerugian baik bagi pemerintah maupun pengelola. Retribusi daerah dapat dijadikan sebagai tambahan penerimaan dalam pengelolaan TPA karena dana APBD merupakan subsidi dari pemerintah yang bersifat terbatas. Aktivitas ini bukan berorientasi pada bisnis yang melibatkan pihak swasta, sehingga pungutan daerah yang dibayar oleh masyarakat ini sebaiknya diberikan kepada pihak pengelola TPA sebagai sumber dana tambahan. Penetapan anggaran yang efisien untuk pengelolaan TPA akan memberikan kelayakan bagi TPA itu sendiri dalam mengelola sampah. Peningkatan dana retribusi kebersihan yang dibayarkan oleh
63
masyarakat perlu dilakukan karena besaran retribusi yang masih relatif kecil. Penetapan besaran retribusi ini juga diatur dalam Perda No. 10 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan. Peningkatan besaran jumlah retribusi ini dilakukan agar dapat menambah sumber pembiayaan bagi pengelolaan TPA sehingga pengelolaan TPA layak untuk dijalankan secara optimal. Hal ini tentu saja dapat memberikan pengaruh agar masalah sampah dapat semakin berkurang. 3.
Pengolahan sampah Pengolahan sampah dilakukan agar sampah yang terbuang jumlahnya semakin berkurang. Hal ini dilakukan untuk mendukung terwujudnya Zero Waste Management yakni pengelolaan sampah di lokasi yang paling dekat dengan sumber sehingga akan meminimalisir pencemaran dari sumber sampah sampai ke lokasi TPA. Pengolahan sampah ini dilakukan untuk merubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi pengurangan di sumber (reduce at source) dan daur ulang sumber daya (resource recycle) (KNLH 2009). Implementasi falsafah tersebut dapat dilakukan dengan melakukan program pengelolaan sampah dengan sistem 3R (reduce, reuse, recycle), pemanfaatan sampah, dan pemrosesan akhir sampah yang berwawasan lingkungan. Langkah dalam menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah (Gambar 9) yang meliputi pengurangan sampah, penanganan sampah, pemanfaatan sampah, dan peningkatan kapasitas pengelolaan sampah. Pengolahan sampah tersebut terbagi menjadi pengolahan sampah organik dan anorganik.
64