VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan oleh perkebunan tebu dalam negeri dalam bersaing dengan gula impor sebagai produk substitusi. Oleh karena itu daya saing gula lokal yang dihasilkan oleh petani tebu di lokasi penelitian dianalisis dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan Pemerintah (PAM). Matirks ini disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi yang keseluruhanya terbagi dalam dua bagian yaitu harga privat (finansial) dan harga ekonomi (social opportunity cost). Masing-masing biaya produksi pada harga privat dan ekonomi dibagi menjadi input asing dan domestik. Adapun hasil analisis yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Hasil Tabulasi PAM pada Kondisi Tarif Impor Rp 400/kg (Rp/ha) Keterangan
Penerimaan
Biaya Input
Nilai Finansial Nilai Ekonomi
33.534.624,18 41.783.059,97
tradable 2.088.933,71 2.520.121,35
Dampak Kebijakan
-8.248.435,79
-431.187,64
non tradable 29.428.078,95 26.491.343,85
Keuntungan 2.017.611,52 12.771.594,77
2.936.735,10 -10.753.983,25
Divergensi yang dihasilkan pada Matriks Analisis Kebijakan Pemerintah bernilai negatif untuk divergensi penerimaan, divergensi pada biaya input tradabel, dan divergensi pendapatan. Sedangkan divergensi pada biaya input non tradable (faktor domestik) bernilai positif. Divergensi negatif dengan nilai Rp 8.248.435,79 pada penerimaan output terjadi karena harga sosial gula lebih tinggi dari harga yang diterima petani. Hal ini terjadi karena harga sosial gula dihitung berdasarkan harga gula impor yang lebih tinggi daripada harga gula lokal. Divergesi negatif pada biaya input tradable sebesar Rp 431.187,64 terjadi karena harga sosial input tradable seperti pupuk lebih tinggi dari harga privatnya. Walaupun input tradable berupa pestisida memiliki harga sosial yang lebih rendah dari harga privatnya, secara keseluruhan harga dari input-input tradable lebih 50
besar dari harga yang diterima petani. Hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga sosial input tradable lebih tinggi dari harga finansialnya seperti adanya subsidi pupuk, tarif impor, dan pajak pertambahan nilai. Di sisi lain divergensi positif senilai Rp 2.936.735,10 pada biaya input non tradable (faktor domestik) terjadi karena biaya sosial faktor domestik lebih rendah daripada biaya privatnya. Hal ini menandakan bahwa petani harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor domestik dibandingkan dengan biaya sosial faktor domestik yang bersangkutan. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar pada penggunaan faktor domestik untuk pestisida. Selain itu penyebab divergensi positif pada biaya faktor domestik juga diakibatkan oleh pembayaran upah yang lebih tinggi dari harga sosialnya. Hal ini karena tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani tebu merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya juga tidak terdidik sehingga perhitungan harga bayangan tenaga kerja tersebut mengacu pada Siregar (2009) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di lokasi penelitian. Divergensi negatif sebesar Rp 10.753.983,25 pada pendapatan terjadi karena pedapatan finansial petani lebih kecil daripada pendapatan sosialnya. Hal ini merupakan akumulasi dari efek divergensi harga output dan biaya input baik tradable maupun non tradable. Berdasarkan matriks analisis kebijakan yang telah disusun dilakukan perhitungan-perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang diperoleh dari usahatani tebu pada kondisi finansial dan ekonomi, nilai keuntungan komparatif dan kompetitif serta nilai untuk mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 12. diperoleh indikator-indikator analisis matriks kebijakan yang disajikan pada Tabel 13.
51
Tabel 13. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan Indikator
Nilai
Private Profitability (PP)
Rp 2.017.611,52
Private Cost Rasio (PCR)
0,94
Social Profitability (SP) Domestic Resource Cost Ratio (DRC) Input Transfer (IT) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCL)
Rp 12.771.594,77 0,67 Rp (431.187,64) 0,83
Transfer Factor (TF)
Rp 2.936.735,10
Output Transfer (OT)
Rp (8.248.435,79)
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO)
0,80
Effective Protection Coeffiient (EPC)
0,80
Net Transfer (NT) Prifitability Coefisien (PC) Subsidy Ratio to Product (SRP)
Rp(10.753.983,25) 0,16 ( 0,26)
6.1.1. Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif terdiri dari analisis keuntungan privat (PP) dan rasio biaya privat (PCR). Keuntungan privat usahatani tebu merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan per hektar lahan. Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh adanya kebijakan pemerintah, baik untuk input maupun output. Berdasarkan indikator pada Tabel 13, dapat dilihat penerimaan petani tebu per hektar secara finansial adalah Rp 2.017.611,52. Biaya total yang dikeluarkan adalah Rp 31.517.012,66 per hektar. Biaya tersebut terdiri dari biaya input tradable sebesar Rp 2.088.933,71 serta biaya input non tradable sebesar Rp 29.428.078,95. Oleh karena itu keuntungan privat yang diperoleh adalah sebesar Rp 2.017.611,52 per hektar. Nilai keuntungan finansial yang lebih besar dari nol (PP > 0) tersebut menunjukan bahwa secara finansial usahatani tebu di wilayah kerja PG Sindang Laut menguntungkan untuk dilaksanakan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. 52
Selain menggunakan analisis keuntungan finansial, rasio biaya privat (PCR) juga dapat digunakan untuk menilai keunggulan kompetitif dari pengusahaan komoditi. Efisiensi finansial dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR) yang merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan selisih antara peneriman dan biaya input tradable pada tingkat harga yang berlaku. Nilai PCR menunjukan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam menjalankan usahatani tebu. Suatu aktivitas akan efisien secara finansial apabila nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (PCR < 1). Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat keuntungan kompetitif yang dimiliki. Hasil analisis matriks PAM menunjukan bahwa nilai PCR adalah sebesar 0,94. Nilai tersebut menunjukan bahwa usahatani tebu di lokasi penelitian efisien secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitf. Nilai PCR sebesar 0,94 berarti bahwa pada tingkat harga privat untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu rupiah diperlukan tambahan biaya input non tradable (faktor domestik) sebesar Rp 0,94. Hal ini berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah gula sebesar satu rupiah membutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu rupiah. 6.1.2. Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan keuntungan sosial (ekonomi) (SP) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC). Keuntungan sosial adalah keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna dimana tidak ada campur tangan pemerintah dan kegagalan pasar. Berbeda dengan analisis keuntungan finansial, dalam analisis keuntungan ekonomi komponen input dan output dinilai dengan menggunakan harga bayangan. Sehingga keunggulan komparatif dijadikan sebagai indikator untuk menilai apakah usahatani tebu memiliki daya saing, mampu hidup tanpa bantuan pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk substitusi impor. Keuntungan sosial (SP) dari usahatani tebu di lokasi penelitian yang ditunjukan dengan nilai Social Profitability (SP) adalah positif (>1) yaitu Rp 12.771.594,77 per hektar. Keuntungan sosial tersebut menunjukkan bahwa 53
usahatani tebu untuk menghasilkan gula lokal menguntungkan secara ekonomi jika tanpa adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang berlaku saat ini. Selain dari keuntungan ekonomi, keunggulan komparatif usahatani tebu juga dapat diketahui dari rasio biaya sumberdaya domestik atau domestic resource cost (DRC). DRC merupakan rasio antara biaya non tradable dengan selisih antara penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga bayangan atau harga sosial yaitu harga tanpa adanya intervensi pemerintah. Suatu aktivitas mempunyai keunggulan komparatif apabila nilai DRC lebih kecil dari satu (DRC < 1). Nilai DRC yang lebih kecil dari satu menunjukan bahwa untuk memperoleh tambahan satu rupiah output diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu rupiah yang dinilai pada tingkat harga sosial. Sebaliknya, suatu aktivitas tidak mempunyai keunggulan komparatif apabila nilai DRC lebih besar dari 1 (DRC > 1). Semakin kecil nilai DRC maka komoditi tersebut akan semakin memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis tabel PAM memperlihatkan nilai DRC sebesar 0,67. Nilai DRC 0,67 berarti pada tingkat harga sosial untuk meningkatkan nilai output sebesar satu rupiah diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 0,67. Hal ini menunjukan bahwa usahatani tebu sudah efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi. Nilai DRC yang lebih kecil dari satu (DRC < 1) juga menunjukan bahwa tanpa kebijakan pemerintah, usahatani tebu di lokasi penelitian tetap mempunyai daya saing atau memiliki keunggulan komparatif. Nilai keuntungan sosial (Rp 12.771.594,77 per hektar) yang lebih besar dari keuntungan privat (Rp 2.017.611,52 per hektar) menunjukkan kondisi pendapatan yang lebih menguntungkan pada tingkat harga sosial. Keuntungan sosial yang lebih tinggi dari keuntungan privat tersebut diakibatkan oleh harga gula impor yang lebih tinggi yaitu Rp 10.197,26 per kilogram sementara harga gula lokal adalah Rp 8.184 per kilogram. Selain itu hal tersebut juga disebabkan oleh adanya nilai pajak impor sebesar 10 persen untuk pestisida (insektisida dan herbisida) pada tingkat harga finansial sehingga menyebabkan biaya finansial input tradable untuk pestisida lebih tinggi dari biaya sosialnya. Biaya aktual tenaga kerja yang dibayarkan lebih tinggi dari biaya sosialnya juga menyebabkan keuntungan sosial lebih tinggi daripada keuntungan privatnya. 54
Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR (DRC < PCR) menunjukkan bahwa cenderung tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi. Salah satunya penyebabnya adalah tidak adanya subsidi
pemerintah
terhadap
pestisida
padahal
petani
tebu
masih
menggunakannya. Selain itu kebijakan yang pemerintah yang diduga dapat mengurangi efisiensi petani tebu adalah adanya penurunnan tarif impor gula dari Rp 790 per kilogram menjadi Rp 400 per kilogram untuk semua jenis gula berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.239/PMK.011/2009. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut mengakibat usahatani tebu mengalami penurunan efisiensi jika dibandingkan apabila pemerintah memberikan subsidi terhadap pestisida dan menurunkan tarif impor gula. Besarnya nilai keuntungan sosial daripada keuntungan privat yang diperoleh petani tebu serta nilai DRC yang lebih kecil dari PCR mengindikasikan adanya pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik kepada petani tebu sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dari keuntungan sosial yang diperoleh tanpa adanya intervensi pemerintah terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. 6.2. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Ditetapkannya kebijakan pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi akan mempunyai dampak yang positif atau negatif terhadap aktivitas ekonomi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak positif dari ditetapkannya kebijakan pemerintah akan meningkatkan produksi maupun produktivitas. Sebaliknya dampak negatif dari ditetapkannya kebijakan pemerintah akan menurunkan produksi dan produktivitas aktivitas ekonomi tersebut. Dengan menggunakan analisis PAM dari beberapa indikator maka dapat diketahui seberapa besar dampak kebijakan pemerintah. Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan biasanya ditujukan untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga impor suatu komoditi lebih rendah dari harga komoditi serupa hasil produksi dalam negeri maka hal tersebut akan menurunkan daya saing dari produksi dalam negeri. Hal tersebut disebabkan oleh kecenderungan konsumen yang lebih memilih komoditi dengan harga yang lebih murah. Akibatnya, permintaan terhadap produk domestik akan 55
menurun yang berimplikasi pada penurunan produksi dan pendapatan produsen dalam negeri. 6.2.1. Kebijakan Output Tingkat ukuran intervensi pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. a. Transfer Output (OT) Divergensi pada harga output menyebabkan pendapatan privat berbeda dengan pendapatan sosial serta terjadinya transfer output (OT). Nilai OT yang positif menunjukan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga output privat lebih besar dibandingkan harga output pada kondisi harga bayangan. Hal ini menunjukkan adanya insentif konsumen kepada produsen dimana konsumen membayar lebih dari harga yang seharusnya dibayarkan. Sedangkan nilai OT yang negatif menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang berlaku saat ini menyebabkan harga output pada kondisi aktual menjadi lebih rendah dibandingkan harga bayanganya. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai transfer output (OT) adalah negatif sebesar Rp 8.248.435,79. Hal ini berarti bahwa harga output di pasar domestik pada pengusahaan gula lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional atau terdapat transfer output dari produsen ke konsumen sebesar Rp 8.248.435,79 per hektar. Implikasi dari adanya transfer output tersebut adalah konsumen membeli gula dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani apabila pasar tidak terdistorsi. Hal ini merugikan petani tebu karena
petani
tebu
kurang
mendapatkan
insentif
untuk
meningkatkan
produksinya. Tingginya perbedaan harga antara gula impor dan gula lokal di duga adalah akibat lelang gula impor yang dilakukan oleh pemerintah pada saat harga gula dunia sedang melambung. Tingginya harga gula internasional disebabkan karena negara produsen gula dunia seperti India dan Brazil sedang mengalami krisis karena pengaruh perubahan iklim. Sehingga negara-negara produsen gula 56
dunia banyak yang berubah haluan dari tanaman tebu ke tanaman pangan. Akibatnya stok gula dunia mengalami penurunan. b. Nilai Koefisien Proteksi Nominal (NPCO) Nilai koefisien proteksi nominal (NPCO) merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu (NPCO > 1) menunjukan adanya proteksi harga, dimana adanya kebijakan pemerintah menyebabkan harga yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga yang seharusnya (harga bayangan). Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCO pada penelitian ini adalah sebesar 0,80. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor gula menyebabkan harga yang diterima produsen lebih rendah dari harga bayangannya. Produsen hanya menerima harga 80 persen dari harga yang seharusnya diterima bila tidak ada distorsi pasar dan intervensi pemerintah pada pasar output. Dalam hal ini petani menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya sehingga terjadi transfer pendapatan dari petani kepada konsumen. Kondisi ini mengakibatkan petani lokal tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksinya. 6.2.2. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah untuk memicu peningkatan produksi tidak saja dilakukan pada harga output tetapi juga pada harga input. Bentuk distorsi pemerintah pada input dapat berupa hambatan ekspor (tarif atau kuota) serta subsidi dan pajak pada unsur input. Subsidi sarana produksi bagi produsen bertujuan untuk merangsang penggunaan input tersebut sehingga akan meningkatkan produksi dan produktivitas. Sedangkan hambatan perdagangan pada input bertujuan agar input domestik tidak diekspor dan digunakan untuk kebutuhan produksi dalam negeri. Kebijakan subsidi maupun kebijakan hambatan perdagangan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan harapan agar produsen dalam negeri dapat mengunakan sumberdaya domestik secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri.
57
Dampak kebijakan pemerintah pada input dapat ditujukan dengan nilai transfer input (IT), transfer faktor (FT), dan koefisien proteksi input nomial (NPCL). a. Transfer Input (IT) Nilai transfer input (IT) merupakan selisih antara biaya input tradable pada harga finansial dengan biaya input tradable pada harga ekonomi (harga bayangan). Apabila nilai IT yang diperoleh positif berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pajak pada input produksi. Sebaliknya apabila nilai IT yang diperoleh negatif hal ini menunjukan adanya subsidi pada input, karena subsidi pada harga input akan menyebakan biaya yang dikeluarkan untuk input pada harga finansial lebih rendah dari harga ekonominya. Berdasarkan tabel PAM, nilai IT adalah negatif sebesar Rp 431.187,64. Nilai tersebut berarti bahwa kebijakan pemeritah pada input tradable menguntungkan petani tebu Rp 431.187,64 per hektar. Artinya terdapat subsidi atas input asing (subsidi pupuk) dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima apabila tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sehingga biaya yang dikeluarkan petani tebu untuk input tradable pada harga finansial lebih rendah dari harga ekonominya. b. Koefisien proteksi input nominal (NPCL) Koefisien proteksi input nominal (NPCL) merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan. Nilai NPCL menunjukan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable apabila dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Nilai NPCL lebih besar dari satu (NPCL > 1) menunjukan adanya intervensi pemerintah terhadap input berupa subsidi pada input tersebut, sehingga harga finansial lebih rendah dari harga yang seharusnya. Sebaliknya, jika nilai NPCL lebih kecil dari satu (NPCL < 1) maka mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut. Hasil analisis menunjukan nilai NPCL adalah sebesar 0,83. Nilai tersebut berarti bahwa terdapat kebijakan proteksi terhadap konsumen input berupa subsidi yang menyebabkan harga finansial input lebih rendah dibandingkan harga 58
bayangannya. Sehingga sektor yang menggunakan input tersebut menerima harga yang lebih murah 0,83 persen dari harga yang seharusnya. Kebijakan proteksi tersebut berupa pemberian subsidi oleh pemerintah terhadap produsen pupuk. Nilai NPCL yang lebih kecil dari satu (NPCL < 1) mengindikasikan adanya transfer dari produsen input ke sektor yang menggunakan input tersebut. c. Transfer Faktor (FT) Input yang digunakan dalam proses produksi tidak hanya input yang dapat diperdagangkan (tradable), tetapi juga input domestik (non tradable) dimana harga ditentukan oleh harga domestik. Transfer Faktor (FT) merupakan selisih antara biaya input domestik yang dihitung pada harga finansial dengan biaya input domestik yang dihitung berdasarkan harga sosial (harga bayangan). Berdasarkan matriks PAM nilai FT usahatani tebu adalah sebesar Rp 2.936.735,10. Nilai ini berarti bahwa adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan biaya input domestik pada harga finansial lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input pada harga bayangan. Hal ini mengakibatkan petani tebu harus membayar input domestik lebih mahal dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah tidak melindungi petani tebu. Akibatnya, petani tebu harus membayar input domestik lebih mahal Rp 2.936.735,10 per hektar dari harga sosialnya sementara produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan senilai Rp 2.936.735,10. Salah satu penyebab adanya transfer faktor tersebut adalah karena penilaian harga sosial tenaga kerja. Hal ini karena tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani tebu merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya juga tidak terdidik sehingga perhitungan harga bayangan tenaga kerja tersebut mengacu pada Siregar (2009) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku. Dalam hal ini, harga sosial tenaga kerja adalah 80 persen dari upah yang dibayarkan petani tebu yaitu sebesar Rp 24.615,38 per hari orang kerja. 6.2.3. Kebijakan Input-Output Dalam melihat dampak kebijakan input-output keseluruhan dapat digunakan beberapa indikator yaitu koefisien keuntungan (PC), koefisien proteksi efektif (EPC), transfer bersih (NT), rasio subsidi bagi produsen (SRP). Nilai-nilai 59
tersebut merupakan hasil analisis gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. a. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Koefisien proteksi efektif (EPC) digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah dalam melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable yag dihitung pada harga privat dengan selisih antara penerimaan dan biaya input non tradable yang dihitung pada harga sosial. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC > 1) menunjukan bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan apabila nilai EPC lebih kecil dari satu (EPC <1) menunjukan kebijakan pemerintah untuk melindungi produsen domestik tidak berjalan dengan efektif. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai EPC adalah sebesar 0,80. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi petani tebu domestik berjalan dengan tidak efektif. Nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukan bahwa kebijakan input-output tidak dapat melindungi petani lokal dan telah menghambat petani untuk berproduksi. Petani tebu dalam hal ini tidak memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah karena harga privat output lebih kecil dari harga bayanganya. b. Koefisien Keuntungan (PC) Berdasarkan analisis PAM juga dapat dilihat koefisien keuntungan (PC) yaitu rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC menunjukan pengaruh atau dampak kebijakan gabungan pada output, input tradable, dan input non tradable. Nilai PC juga menunjukan dampak kebijakan yang menyebabkan perbedaan tingkat keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh adalah sebesar 0,16 atau lebih kecil satu yang berarti bahwa keuntungan petani dengan intervensi dan distorsi yang terjadi saat ini adalah 0,16 kali dari keuntungan sosialnya. Hal ini berarti bahwa petani hanya menerima keuntungan sebesar 16 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima.
60
c. Transfer Bersih (NT) Dalam melihat besarnya tambahan atau pengurangan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah dapat digunakan indikator transfer bersih (NT) yang merupakan selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai NT yang positif menunjukan adanya kebijakan insentif menyebabkan penambahan surplus produsen, sedangkan nilai NT negatif menyebabkan pengurangan surplus produsen. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai NT yang negatif sebesar Rp 10.753.983,25 per hektar, yang berarti adanya pengurangan surplus petani sebesar Rp 10.753.983,25 per hektar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini. Keuntungan yang diperoleh petani pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar saat ini lebih rendah Rp 10.753.983,25 per hektar dibandingkan apabila tidak ada campur tangan pemerintah. d. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) Rasio Subisidi bagi Produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan harga sosial yang menunjukan persentase subsidi atau insentif bersih atas penerimaan. Nilai SRP positif (SRP > 0) menunjukan bahwa adanya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya yang seharusnya untuk berproduksi. Sebaliknya, nilai SRP negatif (SRP < 0) menunjukan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Dari hasil matriks PAM diperoleh nilai SRP negatif sebesar 0,26. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 26 persen dari opportunity cost untuk berproduksi. Jadi secara keseluruhan distorsi pasar dan kebijakan pemerintah yang terjadi saat ini merugikan petani tebu di lokasi penelitian. 6.3. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor yang sebenarnya sangat rentan untuk berubah. Analisis sensitivitas yang 61
dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak penurunan tarif impor gula dari Rp 790 per kilogram menjadi Rp 400 per kilogram, serta untuk mengetahui nilai indikator daya saing jika tarif impor dinaikkan menjadi Rp 1.200 per kilogram sesuai dengan rekomendasi dari Dirjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian. Penelitian ini lebih menekankan pada efek penurunan tarif impor gula. Oleh karena itu, penelitian ini hanya menggunakan dua skenario analisis senstivitas yaitu : 1. Daya saing komoditi tebu jika tarif impor gula Rp 790 per kilogram. Analisis ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan daya saing komoditi tebu yang dihasilkan petani sebelum tarif impor gula diturunkan oleh pemerintah. Analisis ini dilakukan karena diduga adanya penurunan tarif impor gula menyebabkan daya saing komoditi tebu mengalami penurunan. 2. Daya saing komoditi tebu jika tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram. Hal ini terkait dengan rekomendasi dari Dirjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian bahwa tarif impor yag ideal diberlakukan adalah Rp 1.200 per kilogram. Adanya pemberlakuan tarif impor senilai Rp 1.200 per kilogram diharapkan dapat melindungi petani tebu dan memberikan insentif bagi petani untuk mengembangkan usahanya. 6.3.1.Analisis Sensitivitas untuk Melihat Perubahan Daya Saing Tebu Akibat Penurunan Tarif Impor Gula dari Rp 790/kg menjadi Rp 400/kg Penerapan tarif impor gula menjadi Rp 790 per kilogram akan menyebabkan perubahan harga gula pada kondisi harga sosial. Penetapan tarif ini akan menyebakan harga gula impor lebih mahal daripada harga ketika tarif impor Rp 400 per kilogram diberlakukan. Adapun hasil tabel PAM untuk tarif impor Rp 790 per kilogram dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Rp 790 per kilogram Keterangan
Penerimaan
Privat Sosial Divergensi
33.534.624,18 43.382.182,94 -9.847.558,76
Biaya Input tradable non tradable 2.088.933,71 29.428.078,95 2.520.121,35 26.491.343,85 -431.187,64 2.936.735,10
Keuntungan 2.017.611,52 14.370.717,74 -12.353.106,22 62
Tabel 14. menunjukkan hasil analisis sensitivitas berdasarkan perubahan tarif impor. Menurut hasil yang dilakukan, adanya pengurangan tarif impor gula mengurangi daya saing komoditi tebu secara komparatif. Kebijakan pemerintah tersebut tidak memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Tabel 15. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Rp 790 per kilogram Indikator
Nilai
Private Profitability (PP)
Rp 2.017.611,52
Private Cost Rasio (PCR)
0,94
Social Profitability (SP) Domestic Resource Cost Ratio (DRC) Input Transfer (IT) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCL)
Rp 14.370.717,74 0,65 Rp (431.187,64) 0,83
Transfer Factor (TF)
Rp 2.936.735,10
Output Transfer (OT)
Rp (9.847.558,76)
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO)
0,77
Effective Protection Coeffiient (EPC)
0,77
Net Transfer (NT) Prifitability Coefisien (PC) Subsidy Ratio to Product (SRP)
Rp(12.353.106,22) 0,14 (0,28)
Penurunan tarif impor gula menyebabkan penurunan pada harga gula impor atau harga sosial output. Sedangkan harga output pada kondisi tingkat harga privat diasumsikan tidak berubah. Berdasarkan hasil analisis, penurunan tarif impor gula dari Rp 790 per kilogram menjadi Rp 400 per kilogram menyebabkan penurunan harga gula impor dari Rp 10.587,26 per kilogram menjadi Rp 10.197,26 per kilogram. Hal ini menyebabkan nilai keuntungan sosial mengalami penurunan dari Rp 14.370.717,74 menjadi Rp 12.771.594,77. Sebaliknya, penurunan tarif impor menyebabkan nilai DRC cenderung mengalami peningkatan dari 0,65 menjadi 0,67. Nilai DRC yang semakin tinggi menunjukan adanya penurunan dalam hal keunggulan komparatif komoditi tebu. Hasil analisis tabel PAM yang memperlihatkan nilai DRC sebesar 0,65 berarti pada tingkat 63
harga sosial untuk meningkatkan nilai output sebesar satu rupiah diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 0,65. Hal ini menunjukan bahwa usahatani tebu sudah efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi. Nilai DRC yang lebih kecil dari satu (DRC < 1) juga menunjukan bahwa tanpa kebijakan pemerintah, usahatani tebu di lokasi penelitian tetap mempunyai daya saing atau memiliki keunggulan komparatif ketika tarif impor gula diterapkan sebesar Rpp 790 per kilogram. Jadi adanya penurunan tarif impor gula dari Rp 790 per kilogram menjadi Rp 400 per kilogram akan menurunkan keunggulan komparatif komoditi tebu. Hal ini menyebabkan adanya penurunan daya saing tebu dari aspek keunggulan komparatif. Padahal pada tingkat tarif impor Rp 790 per kilogram saja, nilai DRC masih lebih kecil dari nilai PCR yang mengindikasikan adanya pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik kepada petani tebu sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi pemerintah terhadap input produksi dan distorsi pasar output pada saat itu. Selain itu, penerapan tarif impor gula sebesar Rp 790 per kilogram akan menyebakan perubahan pada indikator nilai EPC, NT, PC dan SRP. Ketika tarif impor berada pada tingkat R 790 per kilogram nilai EPC yang dihasilkan adalah sebesar 0,77 dan nilai NT yang dihasilkan adalah negatif Rp 12.353.106,22. Nilai EPC sebesar 0,77 berarti bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi petani tebu domestik berjalan dengan tidak efektif. Nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukan bahwa kebijakan input-output tidak dapat melindungi petani lokal dan telah menghambat petani untuk berproduksi. Petani tebu dalam hal ini masih tidak memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah karena harga privat output lebih kecil dari harga bayanganya. Sedangkan nilai NT yang negatif sebesar Rp 12.353.106,22 berarti adanya pengurangan surplus petani sebesar Rp 12.353.106,22 per hektar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini. Keuntungan yang diperoleh petani pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar saat ini lebih rendah Rp 12.353.106,22 per hektar dibandingkan apabila tidak ada campur tangan pemerintah. 64
Penerapan tarif impor pada tingkat Rp 790 per kilogram juga memberikan nilai PC sebesar 0,14 dan nilai SRP negatif sebesar 0,28. Nilai PC sebesar 0,14 berarti berarti bahwa keuntungan petani dengan intervensi dan distorsi yang terjadi saat tarif impor diterapkan sebesar Rp 790 per kilogram adalah 0,14 kali dari keuntungan sosialnya. Hal ini berarti bahwa petani hanya menerima keuntungan sebesar 14 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima. Sedangkan nilai SRP yag negatif sebesar 0,28 berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 28 persen dari opportunity cost untuk berproduksi. Jadi secara keseluruhan distorsi pasar dan kebijakan pemerintah yang terjadi saat ini merugikan petani tebu di lokasi penelitian. Dengan demikian pada saat kondisi tarif impor gula Rp 790 per kilogram, pemerintah pun bahkan belum memberikan kebijakan yang efektif dilihat dari nilai EPC yang lebih kecil dari satu, nilai NT yang negatif, serta nilai PC dan SRP yang lebih kecil dari satu. Akibatnya, penurunan tarif impor gula semakin membuat daya saing komoditi tebu dalam negeri menurun. 6.3.2 Analisis Sensitivitas Jika Tarif Impor Ditetapkan Rp 1.200/kg Menurut rekomendasi dari Dirjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian, tarif impor yang sesuai untuk gula adalah sebesar Rp 1.200 per kilogram. Adanya pemberlakuan tarif impor senilai Rp 1.200 per kilogram diharapkan dapat melindungi petani tebu dan memberikan insentif bagi petani untuk mengembangkan usahanya. Tabel 16. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Rp 1.200 per kilogram Keterangan
Penerimaan
Privat Sosial Divergensi
33.534.624,18 45.062.192,22 -11.527.568,04
Biaya Input tradable non tradable 2.088.933,71 29.428.078,95 2.520.121,35 26.491.343,85 -431.187,64 2.936.735,10
Keuntungan 2.017.611,52 16.050.727,02 -14.033.115,50
Menurut hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai tarif impor gula maka semakin tinggi pula daya saing komoditi tebu yang dihasilkan petani di lokasi penelitian. Peningkatan daya saing 65
tersebut ditandai dengan semakin tingginya nilai keuntungan sosial dan semakin kecilnya nilai DRC. Tabel 17. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Rp 1.200 per kilogram. Indikator Private Profitability (PP) Private Cost Rasio (PCR) Social Profitability (SP) Domestic Resource Cost Ratio (DRC) Input Transfer (IT) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCL) Transfer Factor (TF) Output Transfer (OT) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) Effective Protection Coeffiient (EPC) Net Transfer (NT) Prifitability Coefisien (PC) Subsidy Ratio to Product (SRP)
Nilai Rp 2.017.611,52 0,94 Rp 16.050.727,02 0,62 Rp (431.187,64) 0,83 Rp 2.936.735,10 Rp(11.527.568,04) 0,74 0,74 Rp(14.033.115,50) 0,13 (0,31)
Dengan tarif impor Rp 1.200 per kilogram, maka harga sosial gula diperkirakan akan menjadi Rp 10.997,26 per kilogram dimana harga sosial gula pada kondisi tarif impor Rp 400 per kilogram adalah Rp 10.197,26 per kilogram. Hal ini menyebabkan keuntugan sosial menjadi meningkat dari Rp 12.771.594,77 per hektar menjadi Rp 16.050.727,02 per hektar. Selain itu, kenaikan tarif impor menjadi Rp 1.200 per kilogram juga menyebabkan nilai DRC mengalami penurunan dari 0,67 menjadi 0,62. Hal ini berarti dengan meningkatnya tarif impor gula dapat menyebabkan peningkatan keunggulan komparatif komoditi tebu. Jadi, penetapan tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram diduga akan meningkatkan daya saing komoditi tebu. Akan tetapi, penetapan tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram tersebut belum menunjukan adanya kebijakan pemerintah yang efektif untuk melindungi dan mendorong pengembangan 66
usahatani tebu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai DRC yang masih lebih kecil dari PCR, nilai EPC sebesar 0,74, nilai NT negatif sebesar Rp 14.033.115,50, serta nilai PC dan SRP masing-masing sebesar 0,13 dan negatif 0,31. Nilai EPC sebesar 0,74 berarti bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi petani tebu domestik berjalan dengan tidak efektif. Nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukan bahwa kebijakan input-output tidak dapat melindungi petani lokal dan telah menghambat petani untuk berproduksi. Petani tebu dalam hal ini masih tidak memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah karena harga privat output lebih kecil dari harga bayanganya. Sedangkan nilai NT yang negatif sebesar Rp 14.033.115,50 berarti adanya pengurangan surplus petani sebesar Rp 14.033.115,50 per hektar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini. Keuntungan yang diperoleh petani pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar saat ini lebih rendah Rp Rp 14.033.115,50 per hektar dibandingkan apabila tidak ada campur tangan pemerintah. Penerapan tarif impor pada tingkat R 1.200 per kilogram juga memberikan nilai PC sebesar 0,13 dan nilai SRP negatif sebesar 0,31. Nilai PC sebesar 0,13 berarti berarti bahwa keuntungan petani dengan intervensi dan distorsi yang terjadi saat tarif impor diterapkan sebesar Rp 1.200 per kilogram adalah 0,13 kali dari keuntungan sosialnya. Hal ini berarti bahwa petani hanya menerima keuntungan sebesar 13 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima. Sedangkan nilai SRP yang negatif sebesar 0,31 berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 31 persen dari opportunity cost untuk berproduksi. Jadi secara keseluruhan distorsi pasar dan kebijakan pemerintah yang terjadi saat ini merugikan petani tebu di lokasi penelitian.
67