VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
6.1 Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi 6.1.1 Sumberdaya Manusia Permasalahan sumberdaya manusia dibedakan menjadi sumberdaya manusia pengusaha dan sumberdaya manusia tenaga kerja. Tenaga kerja yang bekerja di usaha mikro konveksi berasal dari desa-desa di sekitar Kelurahan Purwoharjo antara lain desa Kebagusan, Ujunggede, Purwosari, Sidorejo dan sekitarnya. Mayoritas tenaga kerja berpendidikan SD. Hanya beberapa orang yang lulus SMP. Mereka mendapatkan keterampilan menjahit secara otodidak maupun kursus menjahit. Proses perekrutan tenaga kerja selama ini tidak mengalami kesulitan. Beberapa pengusaha menuturkan bahwa tenaga kerja baru biasanya direkrut berdasarkan rekomendasi dari tenaga/ karyawan yang sudah ada. Pada saat pengusaha membutuhkan tambahan tenaga kerja, ia akan menanyakan kepada karyawannya apakah mereka informasi mengenai orang yang berminat untuk bekerja di tempatnya. Rekomendasi dari karyawan bukan merupakan harga mati, artinya masih diuji lagi dengan cara dilihat kerapian hasil kerjanya. Cara lain dengan menanyakan track record pengalaman kerja calon karyawan tersebut. Tenaga kerja yang dipekerjakan
oleh masing-masing
responden tersaji pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah Tenaga Kerja menurut Status (Dalam Keluarga dan Luar Keluarga) dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Tenaga Kerja No Kasus Jumlah Dalam Keluarga Luar Keluarga (orang) (orang) 1 Pengusaha 1 3 13 16 2 Pengusaha 2 2 9 11 3 Pengusaha 3 2 15 17 4 Pengusaha 4 2 35 37 5 Pengusaha 5 1 14 15 6 Pengusaha 6 1 11 12 7 Pengusaha 7 1 17 18 8 Pengusaha 8 2 3 5 9 Pengusaha 9 2 16 18 Jumlah 16 133 149
41 Persentase tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga adalah 10,74 persen, sedangkan sisanya yang berasal dari luar keluarga sebesar 89,36 persen. Dari hasil observasi, tenaga kerja dari dalam keluarga suami, istri atau anak yang tugasnya membantu dalam pekerjaan packaging dan pengontrolan kualitas produk. Dilihat dari tenaga kerja yang dimiliki, berdasarkan definisi BPS maka pengusaha mikro konveksi yang menjadi responden usaha skala mikro – skala menengah.
masuk ke dalam
Selama ini para tenaga kerja
tidak
pernah mengikuti pelatihan. Upah dibayarkan seminggu sekali pada hari kamis sore dengan sistem borongan berdasarkan jumlah potong celana yang dihasilkan masing-masing karyawan. Tenaga kerja dari dalam keluarga tidak mendapatkan upah. Hal tersebut berimplikasi terhadap jumlah biaya produksi dari komponen upah tenaga kerja.
Pada hari Jum’at karyawan libur mengikuti kebiasaan di
daerah setempat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Upah menjahit untuk tiap potong celana kolor berkisar antara Rp 800 - Rp 1.000 sedangkan celana panjang, upah per potongnya antara Rp 1.500 - Rp 2.500. Responden pengusaha konveksi yang berpendidikan terakhir sarjana atau pernah kuliah hanya tiga orang, SLTA satu orang, SLTP tiga orang, SD satu orang dan lulusan pondok pesantren satu orang. Salah seorang pengusaha mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu ia bersama dua orang pengusaha mikro konveksi lainnya pernah mengikuti program pelatihan manajemen bisnis yang diselenggarakan oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang. Hal tersebut menurutnya sangat bermanfaat. namun akhir-akhir ini tidak ada lagi pelatihan semacam itu. Pada saat itu, ia mendapatkan informasi mengenai pelatihan tersebut dari salah satu kenalannya yang bekerja di Diperindagkop. Responden lain yang ditanya mengenai pelatihan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai pelatihan-pelatihan ataupun program dari pemerintah lainnya. Menurutnya yang diberi informasi hanya pengusaha yang mempunyai kenalan di Diperindagkop Kabupaten Pemalang saja. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa para pengusaha tidak bisa mengakses informasi tentang program dari Diperindagkop (pelatihan) yang disebabkan karena pihak Diperindagkop kabupaten Pemalang kurang sosialisasi kepada para pengusaha.
42 6.1.2 Teknologi Pengusaha konveksi baik celana panjang, celana kolor dan seragam sekolah secara bertahap telah melengkapi peralatan yang diperlukan untuk proses produksi konveksi, dari pemotongan, menjahit, pengobrasan, memasang kancing, memasang tali kur, penyablonan, penyetrikaan dan packaging. Mesin jahit kapasitas besar yang dibeli merupakan mesin jahit bekas kualitas 1 (merk Juki dan Brother) dari Jakarta maupun dari pengusaha lokal lainnya di wilayah Pekalongan dan Comal dibeli secara tunai. Mesin jahit tersebut lebih diminati karena harganya lebih murah dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan mesin jahit baru kualitas dua. Dalam proses produksi konveksi celana kolor dan celana panjang, tidak membutuhkan alat yang rumit. Sebagian besar pengusaha sudah memiliki peralatan produksi yang memadai untuk proses produksi. Alat produksi yang dimiliki menggunakan teknologi sederhana. Mesin jahit yang digunakan sebagian besar masih manual (digerakkan dengan kaki). Jumlah mesin jahit yang digerakkan dengan dynamo masih terbatas. Pada Tabel 10 disajikan jumlah alat produksi dari 9 responden.
Tabel 10 Jumlah Alat Produksi dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Alat Produksi No Kasus Jumlah Mesin Jahit Jumlah Mesin Obras (Unit) (Unit) 1 Pengusaha 1 13 1 2 Pengusaha 2 9 1 3 Pengusaha 3 14 1 4 Pengusaha 4 32 3 5 Pengusaha 5 12 1 6 Pengusaha 6 9 1 7 Pengusaha 7 15 1 8 Pengusaha 8 3 1 9 Pengusaha 9 15 1 Jumlah 122 11
Kepemilikan alat produksi secara lengkap terbukti dapat menekan biaya produksi karena proses produksi dapat dilaksanakan sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan contohnya untuk penyablonan dan pengobrasan. Salah satu responden pengusaha kolor telah membuktikan bahwa penyablonan kolor yang dilakukan sendiri dapat menghemat biaya produksi sampai 25 persen.
43 Alat-alat kelengkapan seperti benang, kancing, tali kur, dibeli di pasar lokal dengan cara survei tempat yang paling murah. Tidak menutup kemungkinan tempat pembelian alat-alat dan bahan tersebut terpisah-pisah / tidak dalam satu toko untuk mendapatkan barang dengan kualitas bagus dengan harga yang lebih miring agar dapat menekan biaya produksi dan dapat meningkatkan keuntungan. Dalam proses produksi konveksi terdapat pembagian tugas seperti : membuat pola dan memotong kain, menjahit, mengobras, menyablon, finishing, menyetrika dan packaging. Karyawan bekerja sesuai tugas tugas masingmasing.
Pembelian
bahan
baku
dilaksanakan
oleh
pengusaha
sendiri.
Pengusaha biasanya melakukan pengawasan/ kontrol kualitas pada saat finishing dan packaging sehingga kualitas produk dapat terjaga untuk mempertahankan jaringan pasar atau mencegah berpindahnya pedagang langganan ke tempat lain. Semua proses produksi sejak awal hingga finishing dapat dilaksanakan sendiri oleh para pengusaha. Artinya mereka tidak lagi tergantung pada jasa usaha yang lain dan dapat menekan biaya produksi. Selama proses produksi diperlukan biaya-biaya diluar biaya pembelian bahan baku kain yaitu upah tenaga kerja dan bahan-bahan pelengkap seperti tali kur, kancing, plastik/ packing, resleting serta biaya sablon (celana kolor). Biaya diluar bahan baku yang dikeluarkan oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 10. Model celana panjang tidak banyak mengalami perubahan sehingga pengusaha tidak terlalu mengalami kesulitan dalam membuat modelnya. Model celana kolor lebih bervariasi tergantung perkembangan model dan kreativitas dari para pengusaha, sehingga diperlukan keterampilan pembuat pola dan pemotong kain.
6.1.3 Permodalan Pada awal usahanya, para pengusaha mikro konveksi mengandalkan modal sendiri dengan jumlah yang sangat beragam. Modal dibutuhkan untuk pembelian bahan baku dan biaya produksi selama proses pengolahan kain manjadi celana kolor, celana panjang dan seragam sekolah. Biaya diluar bahan baku yang dikeluarkan oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 11. Upaya para pengusaha untuk mengembangkan usaha dalam hal pemupukan modal terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, modal dipupuk dari
44 menghimpun keuntungan hasil penjualan produknya. Kelompok kedua, selain dari keuntungan hasil penjualan produk juga mengajukan kredit dari beberapa sumber, antara lain : pinjaman lunak dari pemerintah dan BUMN, dari koperasi dari bank komersial (BPD), dari lembaga keuangan swasta (Sarana Jasa Ventura Semarang dan Grup Para Sahabat Comal) dan BMT Sinar Mentari. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal karena persyaratannya rumit. Yang sering menjadi masalah adalah tuntutan adanya agunan (surat tanah dll) serta kelayakan usaha (berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
mengembalikan
kredit).
Padahal
kebutuhan tambahan modal tersebut sangat mendesak untuk kelangsungan usaha. Tambahan modal tersebut akan digunakan untuk pengadaan bahan baku, biaya produksi lain (Tabel 11) dan perluasan jaringan pemasaran yang menuntut pembayaran mundur. Alternatif yang banyak pengusaha adalah kepada KOSPIN JASA,
ditempuh oleh para
BMT Sinar Mentari dan lembaga
keuangan swasta (Sarana Jasa Ventura dan Grup Parasahabat) dengan suku bunganya tinggi (3% /bulan). Suku bunga yang tinggi menyebabkan keuntungan yang dihasilkan banyak terserap untuk membayar bunga pinjaman sehingga keuntungan yang dihasilkan menjadi sangat kecil dan pemupukan modal hampir tidak ada. Dengan tidak adanya pemupukan modal maka usaha tidak dapat berkembang dengan baik.
Tabel 11 Biaya Produksi diluar Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Biaya alat/ Upah tenaga Total Biaya potong pakaian No Kasus kerja/ potong (Rp) pakaian (Rp) (Rp) 1 Pengusaha 1 1.000 2.000 3.000 2 Pengusaha 2 900 2.600 3.500 3 Pengusaha 3 800 3000 3.800 4 Pengusaha 4 1.500 4.000 5.500 5 Pengusaha 5 1.200 2.800 4.000 6 Pengusaha 6 2.500 10.000 12.500 7 Pengusaha 7 1.500 1.000 2.500 8 Pengusaha 8 1.000 1.500 2.500 9 Pengusaha 9 2.000 6.000 8.000
Salah satu pejabat di Diperindagkop Kabupaten Pemalang selaku pembina industri kecil mengatakan
bahwa kredit dengan bunga ringan dari
pemerintah dan BUMN tingkat kemacetannya sangat tinggi, namun apabila para
45 pengusaha mengajukan kredit kepada lembaga keuangan swasta walaupun suku bunganya lebih tinggi namun angsurannya lancar. Hal tersebut menimbulkan stigma kepada pengusaha mikro konveksi bahwa sikap mental mereka kurang baik yang ditandai dengan kurangnya itikad baik untuk melunasi kredit yang telah mereka terima. Kredit bergulir dari Diperindagkop Provinsi Jawa Tengah yang digulirkan belakangan ini
leblih selektif melihat track record
(kelancaran
angsuran kredit terdahulu) sehingga tertutup peluang bagi pengusaha yang sama sekali belum pernah mengajukan kredit. Apabila angsuran kredit oleh pengusaha mikro lancar, pada saat 3 angsuran terakhir mereka akan diberikan kesempatan untuk mengajukan kredit lagi.
Salah seorang responden mengatakan bahwa ia sangat mengharapkan
kredit bantuan lunak dari Diperindag Provinsi Jawa Tengah karena bunganya sangat ringan, namun sudah tidak ada lagi kredit tersebut sehingga untuk kebutuhan tambahan modal ia mengambil kredit dari
“Grup Para Sahabat”
Comal walaupun dengan suku bungan 3 persen per bulan namun tanpa agunan.
6.1.4 Pengadaaan Bahan Baku Usaha mikro konveksi yang memproduksi celana panjang membeli bahan dari Jakarta atau Bandung dengan cara pembayaran yang beragam. Ada yang tunai, cek atau giro. Batas jatuh tempo pembayaran mundur berkisar 1-3 bulan. Giro hasil penjualan produk celana panjang dari toko/ perusahaan yang sudah dikenal oleh pedagang kain bisa digunakan sebagai alat pembayaran tanpa harus menunggu giro tersebut dicairkan. Namun hal ini tidak bisa berlaku untuk semua pedagang bahan baku, karena unsur kehati-hatian terhadap penipuan. Harga bahan baku yang dibeli dengan tunai (transfer langsung) bila dibandingkan dengan yang dibayar dengan cek atau giro terdapat selisih antara 10–20 persen. Selisih harga tersebut jelas sangat mempengaruhi besarnya keuntungan yang dapat dihasilkan oleh pengusaha. Ketersediaan bahan baku untuk celana panjang cukup memadai. Hal tersebut didukung penuturan para pengusaha bahwa dalam sejarah usaha mereka belum pernah kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Bahan celana panjang bisa dipesan. dan pengirimannya bisa diambil langsung ataupun dikirim. Biaya pengiriman tergantung kesepakatan antara pengusaha konveksi dengan
46 pedagang kain. Biasanya harga yang dipatok oleh pedagang kain adalah harga sampai di tempat, artinya biaya pengiriman sudah dimasukkan (include) dengan harga jual kain. Pengusaha celana panjang membeli bahan dengan satuan yard karena lebih mudah untuk menghitung biaya produksi (berapa yard dan berapa rupiah bahan yang dibutuhkan untuk tiap potong celana) Pengusaha yang memproduksi celana kolor membeli bahan baku dari pasar Tegalgubug Cirebon yang berjarak 135 km dari Kelurahan Purwoharjo. Bahan baku celana kolor merupakan barang impor dari Korea salah satunya bermerk micro wash. Ketersediaan bahan baku untuk celana kolor ini tidak tentu, terkadang melimpah terkadang sedikit bahkan langka. Kelangkaan tersebut menurut salah seorang pengusaha yang berpendidikan sarjana, disebabkan karena adanya masalah di bea cukai atau terkadang sengaja ditimbun oleh para pedagang kain kemudian dilepas dengan harga yang sudah berubah (naik tajam). Hal tersebut berpengaruh terhadap pemasaran, karena celana kolor dengan bahan jenis tertentu yang sudah dilepas di pasaran dan laku keras tidak bisa diproduksi lagi karena kelangkaan bahan baku. Artinya terjadi kerugian karena peluang pasar yang sudah tercipta menjadi hilang karena kelangkaan bahan baku. Pada Tabel 11 disajikan tempat pembelian bahan baku, cara pembayaran dan cara pengirimannya sampai ke tempat pengusaha mikro konveksi.
Tabel 12 Pembelian Bahan Baku Berdasarkan Tempat dan Cara Pembayaran 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Cara Tempat Pembayar Cara Kirim Pembelian an Kasus Produk N T S J B P Tun Tem Am Ki o ai po bil rim 1 Pengusaha 1 Celana Kolor v v v 2 Pengusaha 2 Celana Kolor v v v 3 Pengusaha 3 Celana Kolor v v v 4 Pengusaha 4 Panjang v v v v 5 Pengusaha 5 Seragam v v v v 6 Pengusaha 6 Panjang v v v 7 Pengusaha 7 Celana Kolor v v v v 8 Pengusaha 8 Celana Kolor v v v 9 Pengusaha 9 Panjang v v v Keterangan : T : Tegalgubug B : Bandung J : Jakarta S : Semarang P : Pemalang
47 Tabel 11 menunjukkan bahwa ada persamaan karakteristik antara pengusaha celana panjang dan seragam sekolah dalam hal cara pembayaran dan cara pengiriman pembelian bahan baku. Bahan celana kolor hanya bisa dibeli dengan cara tunai di pasar Tegalgubug. Pasar buka pada malam hari yaitu pada malam Sabtu dan malam Selasa. Kekurangan pembayaran hanya dapat ditoleransi oleh pedagang sampai dengan hari pasaran berikutnya. Pedagang yang sudah menjadi langganan, barang bisa dipesan lewat telepon namun apabila belum memberikan DP, tidak ada jaminan bahwa barang tersebut tidak dijual kepada orang lain. Jadi untuk memperoleh bahan baku celana kolor, pengusaha harus berebut
untuk mendapatkannya. Bahan celana kolor dibeli
dengan dua satuan ukuran yaitu kilogram dan yard. Bagi yang membeli bahan baku dengan satuan kilogram, mereka sudah dapat menaksir bahwa untuk kain jenis A, 1 kg menjadi berapa yard dan menjadi berapa potong celana sehingga pada saat menawar harga kain sudah dapat memperkirakan apakah masih bisa mendapat keuntungan atau tidak bila dibuat celana. Umumnya 1 kg kain bisa menjadi 2 potong kolor atau hampir setara dengan 2 yard. Bahan celana kolor diangkut dari pasar Tegalgubug sampai ke rumah pengusaha (kelurahan Purwoharjo) dengan menggunakan jasa transportasi lokal dengan biaya antara Rp 700 / kg. Jasa angkutan ini menggunakan kendaraan milik penduduk setempat. Jumlah armada yang biasa beroperasi 8 unit, 2 unit diantaranya milik responden pengusaha konveksi.
Pada Tabel
12 disajikan
pembelian bahan baku 9 kasus pengusaha mikro konveksi.
Tabel 13 Pembelian Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo perminggu Tahun 2006 N o
Kasus
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 Pengusaha 4 Pengusaha 5 Pengusaha 6 Pengusaha 7 Pengusaha 8 Pengusaha 9
Jumlah Pembelian (kg)
(yard)
210 600 600 1.200 600 1.000 600 200 900
Fre kuen si (kali)
2 2 2 1 1 1 1 1 1
Harga /satuan (Rp)
10.000 5.500 5.000 14.000 6.000 13.500 5.000 11.000 16.000
Jumlah Belanja Bahan Baku (Rp)
Biaya Trans portasi (Rp)
Total Biaya (Rp)
4.200.000 6.600.000 6.000.000 16.840.000 3.600.000 13.500.000 3.000.000 2.200.000 14.400.000
294.000 420.000 420.000 210.000 140.000 -
4.494.000 7.200.000 6.420.000 16.840.000 3.600.000 13.500.000 3.210.000 2.340.000 14.400.000
48 Tabel 12 menunjukkan bahwa kebanyakan pengusaha membeli bahan baku seminggu sekali. Jumlah pembelian bahan baku celana kolor tidak pasti, sesuai dengan modal yang dimiliki oleh tiap pengusaha. Uang tersebut merupakan
hasil penjualan produk celana kolor secara tunai dan langsung
dibelanjakan untuk membeli bahan baku agar dapat melanjutkan perputaran usaha. Apabila pemasaran sedang lesu atau produk celana banyak yang belum laku,
maka pembelian bahan baku otomatis berkurang karena kebanyakan
pengusaha tidak mempunyai cadangan modal yang cukup. Para pengusaha berangkat berbelanja kain secara berombongan 5 – 6 orang, namun pembelian kain dilakukan secara perorangan. Pada saat berangkat, si pengusaha naik mobil tersebut dengan tarif Rp 12.500 per orang. Pulangnya pengusaha naik angkutan umum sedangkan mobil diisi dengan kain. Kain ditimbang untuk menentukan besarnya ongkos yang harus dibayar oleh masing-masing pengusaha.
6.1.5 Pemasaran 6.1.5.1 Pemasaran Usaha konveksi di dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo sudah berlangsung sejak tahun 1980-an sehingga untuk produk celana kolor sudah relatif dikenal oleh pedagang lokal dari Purbalingga, Purwokerto, Tegal. Para pedagang celana kolor membeli produk konveksi dengan datang langsung ke lokasi usaha konveksi. Pembelian dilakukan dalam jumlah besar. Para pedagang datang dengan berombongan dengan membawa kendaraan. Apabila stok barang yang dimiliki oleh pengusaha konveksi tidak mencukupi, biasanya mereka akan merekomendasikan pengusaha lain kepada pedagang langganannya tersebut. Selama ini celana kolor dipasarkan dengan pembayaran tunai dan harga ditentukan oleh produsen. Pedagang langganan biasanya dalam transaksi tidak lagi
melakukan tawar-menawar karena pengusaha telah memberikan
harga pas. Peluang pasar untuk celana kolor masih terbuka luas. Para pedagang yang datang tersebut memasarkan dagangannya tidak hanya terbatas di wilayah Pulau Jawa namun sudah merambah pasar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Permintaan pasar di Sumatera dan Kalimantan masih cukup tinggi, namun tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha konveksi karena pedagang di Sumatera dan Kalimantan mempersyaratkan pembayaran mundur/ konsinyasi.
49 Ketidakmampuan tersebut disebabkan kurangnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha mikro konveksi. Modal yang dimiliki sangat terbatas, sehingga uang hasil pemasaran produknya akan segera dibelanjakan untuk membeli bahan baku, demikian seterusnya. Peluang tersebut dapat diambil dengan syarat bahwa pengusaha dapat memperoleh jaringan bahan baku yang dapat dibayar mundur atau akses permodalan untuk dapat memenuhi skala usaha. Sudah menjadi ciri umum bahwa produk usaha kecil diproduksi terutama untuk mengisi pasar lokal domestik. Istilah pasar domestik merujuk pada pasar lokal, pasar regional (di luar propinsi tempat usaha kecil berada) dan pasar nasional (Haryadi, 1998). Pada Tabel
14
disajikan
bagaimana
produk
konveksi
Kelurahan
Purwoharjo
dipasarkan. Tabel 14 menunjukkan bahwa produk celana kolor dipasarkan untuk memenuhi pasar lokal dengan pembayaran tunai. Seragam sekolah dipasarkan untuk memenuhi pasar lokal dengan dua macam sistem pembayaran yaitu tunai dan tempo, cara pengiriman barang juga dua macam yaitu sebagian dijemput dan sisanya dikirim. Produk celana panjang dipasarkan untuk memenuhi pasar regional (lain propinsi) dengan cara pembayaran tempo serta barang dikirimkan ke pedagang.
Tabel 14 Tujuan Pemasaran Produk, Cara Pembayaran dan Cara Pengiriman dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Cara Bayar Regional Te Tu mp M S S B J nai o b d v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Tujuan Pemasaran N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kasus
Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 Pengusaha 4 Pengusaha 5 Pengusaha 6 Pengusaha 7 Pengusaha 8 Pengusaha 9
Produk
Celana Kolor Celana Kolor Celana Kolor Panjang Seragam Panjang Celana Kolor Celana Kolor Panjang
Lokal T B P P w v v v v v v v
P b v v v
v v v v v v v v v v
Keterangan : T B P Pw
= Tegal = Brebes = Pekalongan = Purwokerto
Pb = Purbalingga M = Malang S = Semarang
Bd = Bandung J = Jakarta Sb = Surabaya
Cara Kirim Je Kr mp m ut v v v v v v v v v v v
50 Produk celana pendek dipasarkan dalam satuan kodi (20 potong), sedangkan produk celana panjang menggunakan satuan lusin (12 potong). Kapasitas produksi 9 responden dalam seminggu dan harga jualnya tergambar dalam Tabel 15. Harga produk yang sama bisa berbeda karena para pengusaha mempunyai pedagang langganan masing-masing. Kapasitas produk yang dihasilkan tergantung dengan permodalan, alat produksi dan tenaga kerja yang dimiliki. Kapasitas produksi konveksi mengalami fluktuasi, tidak Seragam sekolah ajaran baru.
konstan.
mengalami peningkatan pemasaran pada tiap awal tahun
Celana panjang mengalami peningkatan pemasaran pada saat
mendekati hari raya Idul Fitri. Celana kolor tidak mengalami peningkatan pemasaran. Celana panjang dan celana kolor sama-sama mengalami penurunan pemasaran pada saat tahun ajaran baru.
Tabel 15 Penjualan Produksi Konveksi 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo perminggu Tahun 2006 Kapasitas Harga Jual / Hasil Penjualan Produksi/ No Kasus potong (Rp) (Rp) minggu (potong) 1 Pengusaha 1 840 10.500 8.820.000 2 Pengusaha 2 1.200 10.500 12.600.000 3 Pengusaha 3 1.200 10.250 12.300.000 4 Pengusaha 4 1.000 25.000 25.000.000 5 Pengusaha 5 600 14.000 8.400.00 6 Pengusaha 6 840 30.000 25.200.000 7 Pengusaha 7 600 8.500 5.100.000 8 Pengusaha 8 400 10.500 4.200.000 9 Pengusaha 9 750 30.000 2.250.000
6.1.5.2 Pendapatan Dalam
pemberdayaan
usaha
mikro
konveksi
diperlukan
analisis
keuntungan para pengusaha yang menjadi responden untuk mengetahui apakah usaha ini menguntungkan atau tidak. Bila usaha ini memberikan cukup keuntungan maka dapat tercipta keberlanjutan usaha. Analisis keuntungan juga bermanfaat untuk mengetahui apakah terdapat pemupukan modal/ investasi atau tidak. Penghitungan keuntungan responden dilakukan dengan mengurangkan hasil penjualan dengan biaya produksi, sedangkan investasi (saving) dihitung dengan mengurangkan keuntungan dengan konsumsi. Dalam sub bab ini tidak
51 akan
dibahas
mengenai
investasi
para
Berdasarkan data-data hasil wawancara
pengusaha
secara
kuantitatif.
maka keuntungan para pengusaha
yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 16. Pada Tabel 16 terlihat bahwa untuk hasil pemasaran setiap minggu, pengusaha mendapatkan keuntungan dengan jumlah yang beragam dalam rentang Rp 390.000 – Rp 2.660.000 dengan catatan bahwa pemasaran produk berjalan lancar.
Pada
kenyataannya pemasaran produk tidak stabil atau mengalami fluktuasi sebagaimana telah dibahas dalam sub bab pemasaran. Rata-rata persentase keuntungan terhadap total biaya produksi untuk tiap pengusaha yang menjadi responden adalah 148,31 / 9 = 16,48 persen.
Tabel 16 Perhitungan Pendapatan tiap Minggu 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Keuntungan Total Bea Hasil Keuntungan / Total Bea N Kasus Penjualan Produksi (Rp) Produksi o (Rp) (Rp) (%) 1 Pengusaha 1 8.820.000 7.014.000 1.806.000 25,75 2 Pengusaha 2 12.600.000 11.400.000 1.200.000 10,53 3 Pengusaha 3 12.300.000 10.980.000 1.320.000 12,02 4 Pengusaha 4 25.000.000 22.340.000 2.660.000 11,91 5 Pengusaha 5 8.400.000 6.000.000 2.400.000 40,00 6 Pengusaha 6 25.200.000 24.000.000 1.200.000 5,00 7 Pengusaha 7 5.100.000 4.710.000 390.000 8,28 8 Pengusaha 8 4.200.000 3.340.000 860.000 25,75 9 Pengusaha 9 22.250.000 20.400.000 1.850.000 9,07 Total 123.870.000 110.184.000 13.686.000 148,31
6.1.6 Jaringan Kerjasama
Jaringan
kerja
sama
pengusaha
mikro
konveksi
yang
sudah
berlangsung selama ini meliputi jaringan bahan baku, jaringan permodalan, jaringan pemasaran hanya melanjutkan jaringan yang sudah terbentuk sebelumnya. Umumnya jaringan tersebut sudah terbentuk pada saat permulaan usaha. Konveksi celana panjang pernah mempunyai jaringan bahan baku di tingkat lokal pada saat pabrik tekstil PT Texmaco Jaya Pemalang masih beroperasi dengan menjalin hubungan dengan pemilik DO di sekitar lokasi pabrik. Keuntungan dengan adanya jaringan tersebut adalah mendapatkan harga
52 yang lebih miring, juga dapat menghemat biaya transportasi karena jaraknya relatif dekat (16 km dari lokasi usaha) dan sarana transportasi cukup memadai. Setelah PT Texmaco Jaya bangkrut. pengusaha konveksi celana panjang mencari jaringan bahan baku dari Jakarta, Bandung dan sebagian dari pasar Tegalgubug Cirebon. Di wilayah kabupaten Pemalang terdapat pasar kain yang cukup terkenal yaitu pasar Petarukan. Berdasarkan penuturan pengusaha konveksi. pedagang kain pasar Petarukan juga membeli kain dagangannya (kulakan) dari pasar Tegalgubug Cirebon. sehingga harga kain di pasar Petarukan sudah lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di pasar Tegalgubug. Alasan itulah yang menyebabkan para pengusaha lebih memilih membeli kain dari pasar Tegalgubug Cirebon. Pengusaha konveksi celana kolor hanya membeli bahan baku dari pasar Tegalgubug karena di pasar lokal (Petarukan) tidak dijual jenis kain untuk celana kolor. Sampai sejauh ini para pengusaha belum menemukan tempat pembelian bahan baku celana kolor selain pasar Tegalgubug. Jaringan kerja sama pemasaran produk celana kolor tidak banyak berkembang karena selama ini
pedagang (Purbalingga, Tegal, Purwokerto)
datang ke dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo untuk membeli produk mereka. Ada satu orang saja yang menjual produknya ke luar kota dengan diantar ke tempat pedagang langganannya dengan pembayaran tunai ke Semarang. Selebihnya mengirim produk
mereka melalui jasa paket. Untuk pemasaran
celana kolor yang dikirim melalui paket, pembayarannya dilakukan secara mundur 1-2 bulan. Ongkos kirim ditanggung pengusaha sendiri (dimasukkan dalam biaya produksi). Penambahan jaringan pemasaran sulit untuk dilaksanakan, seperti yang pernah dicoba oleh salah seorang pengusaha untuk menawarkan produknya ke toko-toko pakaian. Toko-toko mau menerima asalkan bisa dibayar mundur dengan cek atau giro, mereka tidak bisa melayani pembayaran tunai. Jadi untuk menambah jaringan pemasaran diperlukan tambahan modal agar selama produk belum dibayar, masih tetap dapat membeli bahan baku dan upah tenaga kerja. Produk celana panjang pemasarannya mengikuti sistem perdagangan yang sudah ada yaitu konsinyasi. Umumya menggunakan pola tiga DO (delivery order) dibayar satu DO. Artinya barang baru dibayar setelah dua pengiriman berikutnya. Menurut salah satu pengusaha celana panjang untuk pemasaran produk celana
53 panjang, pembayaran mundur satu bulan sudah dianggap tunai. Pola ini sangat merugikan
para
pengusaha
konveksi.
Apabila
pengusaha
konveksi
menginginkan pembayaran tunai maka harganya akan dipotong 10 persen. Perluasan jaringan pemasaran masih mungkin dilakukan dengan sangat selektif.
Salah seorang responden mengatakan bahwa sebelum menjalin
jaringan pemasaran yang baru harus betul-betul meneliti track record si calon mitra untuk menghindari penipuan. Bentuk penipuan yang pernah dialami para pengusaha adalah cek kosong, pembayaran tidak lancar dan mitra yang pindah tempat usaha tanpa pemberitahuan dengan masih
mempunyai tanggungan
hutang pembayaran produk. Kasus terakhir pernah dialami salah seorang responden pada tahun 1998 sehingga yang bersangkutan mengalami kerugian sebesar Rp 80.000.000. Usaha yang ditempuh untuk menambah jaringan pemasaran celana kolor, pernah dicoba ditawarkan ke toko-toko di kota lain namun tidak ada yang melayani pembayaran tunai. Mereka bersedia menerima produk celana kolor asalkan dengan pembayaran mundur.
Produk celana kolor mendapatkan
saingan produk dari daerah Tegal dan Kudus yang dapat memproduksi celana kolor dengan harga yang lebih murah. Persaingan tersebut membuat pedagang semakin menekan harga sehingga
keuntungan para pengusaha konveksi
semakin kecil. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara kurangnya jaringan kerja sama dengan permodalan yang dimiliki oleh para pengusaha.
6.2 Prioritas Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi,
ditetapkan
prioritas
Permasalahan-permasalahan
permasalahan
tersebut
saling
yang berkaitan
akan satu
diselesaikan. sama
lain.
Keterkaitan antar permasalahan (hubungan sebab akibat) pemberdayaan pengusaha mikro konveksi terlihat pada Gambar 2. Prioritas permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi tersebut antara lain : (1) modal terbatas,(2) pemasaran terbatas, dan (3) kapasitas SDM rendah. Prioritas masalah tersebut ditentukan dari hasil wawancara dan observasi yang dibawa
54 dan disepakati dalam forum FGD yang dilakukan bersama para pengusaha mikro konveksi. Prioritas permasalahan yang telah ditetapkan tersebut dijadikan sebagai dasar
untuk
pemberdayaan.
menyusun
rancangan
Penyusunan
prioritas
strategi
dan
rancangan
permasalahan
program
mempertimbangkan
permasalahan apa yang paling mendesak untuk ditangani, permasalahan yang paling memungkinkan untuk diatasi sesuai kemampuan yang dimiliki oleh para pengusaha mengingat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.
6.3 Evaluasi KPPJ KPPJ didirikan pada tahun 1997 dan berkedudukan di Kelurahan Purwoharjo
Kecamatan
Comal
dan
sudah
berbadan
hukum.
Inisiatif
pembentukan KPPJ berasal dari salah seorang tokoh masyarakat yang juga merupakan pengusaha mikro konveksi.
Keanggotaannya berasal dari para
pengusaha konveksi di wilayah desa Purwoharjo yang kemudian pada tahun 2000 dimekarkan menjadi dua yaitu Kelurahan Purwoharjo dan desa Kauman. Keanggotaannya bersifat sukarela, tidak semua pengusaha konveksi otomatis menjadi anggota KPPJ.
Kepengurusan disusun sesuai dengan aturan main
melalui rapat anggota. Pengurus koperasi juga merupakan pengusaha konveksi. Permodalan KPPJ berasal dari iuran anggota dan bantuan dari Kantor Koperasi pada saat itu. KPPJ bergerak dibidang pengadaan bahan baku konveksi (kain) untuk anggotanya. Melalui pembelian kain oleh koperasi dalam jumlah besar, harga bisa ditekan (mendapatkan discount). Para anggota tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk ongkos angkut. Hal ini dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan para pengusaha. Pembayaran bahan baku oleh para anggota bisa tunai dan bisa mundur. Pembayaran mundur dilaksanakan pada saat produknya sudah laku terjual. Kegiatan ini cukup membantu para anggota yang mempunyai modal terbatas untuk dapat menjaga kelangsungan usahanya.
55 6.3.1
Kelemahan Pada
perkembangannya,
banyak
para
anggota
yang
menunggak
pembayaran kain yang diambilnya dari koperasi karena berbagai sebab. Alasan mereka antara lain : penjualan kurang lancar, kena musibah dan mentalitas oknum pengusaha yang kurang baik. Pengurus banyak yang sibuk mengurus usaha masing-masing sehingga perhatian mereka pada kemajuan koperasi kurang. Domisili yang berdekatan/ bertetangga juga menyebabkan para pengurus kurang bisa mengambil tindakan tegas terhadap para pengusaha yang menunggak. Kegiatan rapat anggota yang semula aktif menjadi berkurang intensitasnya dan akhirnya berhenti karena semakin banyak anggota yang menunggak. Anggota yang menunggak merasa enggan untuk hadir dalam rapat karena takut ditagih. Kegiatan pengadaan bahan baku macet sehingga tidak ada pemupukan modal dari keuntungan koperasi sehingga modal koperasi semakin berkurang. Untuk sementara kegiatan koperasi vakum, namun koperasi belum dibubarkan.
6.3.2
Kelebihan Status KPPJ sudah berbadan hukum dan koperasi belum dibubarkan.
Secara hukum KPPJ masih ada sehingga memungkinkan untuk diaktifkan kembali.
Aset-aset yang dimiliki oleh KPPJ juga masih terpelihara berupa
bangunan sekretariat/ kantor dan sisa modal yang dimiliki masih tersimpan di bank. Pengaktifan kembali KPPJ dianggap lebih menguntungkan daripada membentuk organisasi atau koperasi baru yang pasti membutuhkan persyaratan dan biaya yang tidak sedikit. Sebagian besar anggota masih mempunyai harapan agar KPPJ bisa diaktifkan kembali sebagai sarana untuk memajukan usaha mikro konveksi yang digeluti. Inisiatif pembentukan KPPJ berasal dari intern pengusaha mikro konveksi sendiri (bukan intervensi dari pemerintah) membuat para pengusaha lebih merasa memiliki KPPJ. Kelebihan lainnya adalah meningkatnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan koperasi dan usaha kecil menengah. Kondisi tersebut menambah motivasi untuk mengaktifkan kembali KPPJ yang mereka miliki.
56
Pendapatan kurang
Pemupukan Modal rendah
Modal Terbatas (1)
Tidak Akses terhadap Permodalan
Pemasaran Terbatas (2)
Tingkat Pendidikan Rendah
Keterampilan rendah
Sistem Konsinyasi Kapasitas SDM rendah (3)
Produktivitas rendah
Kemampuan Pengadaan Bahan Baku Kurang
Jaringan Pemasaran Kurang
Kemampuan membangun jaringan kerjasama (4)
Kemampuan Manajemen Keuangan Rendah
Ketidakpastian suplay Bahan baku (5) Akses bahan baku kurang
Gambar 2 Diagram Alir (sebab-akibat) Keterkaitan antar Masalah Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi Tahun 2006
di Kelurahan Purwoharjo 56