V.
PERANCANGAN MODEL PENGELOLAAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN
8.1. Model Interaksi Transportasi-Tata Ruang Perancangan model pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang non-bus berkelanjutan yang terintegrasi dengan rencana tata ruang Kota Makassar menggunakan Model Interaksi Transportasi-Tata Ruang (Model Lowry) sebagai pengembangan dari Model Gravitasi dan Model Economic Base. Model Lowry dalam mengkaji interaksi transportasi dengan penggunaan lahan bertujuan menentukan struktur perkotaan berdasarkan kegiatan ekonomi kota dan pergerakan penduduk kota yang berkaitan erat dengan pengembangan sistem transportasi dan kecenderungan perkembangan kota. Beberapa prinsip dasar Model Lowry yang penting diketahui adalah: (1) perubahan penggunaan lahan ditentukan oleh basic sector, tempat tinggal, dan service sector, (2) Basic sector sebagai input awal dan kemudian dialokasikan ke tempat tinggal berdasarkan lokasi basic sector tersebut, sedangkan alokasi service sector berdasarkan alokasi tempat tinggal, dan (3) Model menggunakan persamaan alokasi tempat tinggal dan persamaan alokasi aktifitas. Asumsi dasar Model Lowry adalah pertumbuhan wilayah dan kota (atau kemundurannya) merupakan suatu fungsi ekspansi (atau kontraksi) sektor dasar atau utama (basic sector), sehingga pekerjaan (employment) merupakan dampak dari dua sektor yaitu perdagangan (retail) dan perumahan (residential). Berdasarkan tujuan, prinsip dasar, dan asumsi di atas, maka analisis Model Lowry yang kompleks dapat dilakukan di lokasi penelitian yaitu kawasan dalam kota (Kecamatan Ujungpandang, Panakkukang, dan Biringkanaya) yang masing-masing sebagai representasi kawasan zona pusat, transisi, dan pinggiran. Selain itu, ketiga kecamatan tersebut telah berkembang dengan cepat secara berurutan sebagai kawasan retail sector (perdagangan dan jasa), residential sector (perumahan/ tempat tinggal), dan basic sector (industri dan jasa), walaupun perbedaan luas wilayah dan penduduk pendukungnya berbeda. Oleh
karena
itu,
perhitungan
model
dapat
dilakukan
dengan
mengidentifikasi data kondisi awal ketiga kecamatan yaitu potensi pekerjaan penduduk berdasarkan basic sector dan service sector serta jumlah keseluruhan angkatan kerja dari penduduk kota sebesar 48%. Selain itu, perbandingan antara
136
angkatan kerja basic sector dan service sector di ketiga kecamatan adalah Kecamatan Ujungpandang (10:90), Panakkukang (50:50), dan Biringkanaya (75:25) persen. Data jarak pencapaian antar ketiga kecamatan dengan mengabaikan tingkat aksesibilitas di suatu ruas jalan dapat dilihat pada Tabel 40, Tabel 41, dan Gambar 35. Tabel 40. Potensi Pekerjaan Penduduk di Lokasi Penelitian
1.
Ujungpandang (1)
basic sector 680
2.
Panakkukang (2)
13273
13273
26546
62384
3.
Biringkanaya (3)
26477
8826
35303
57513
40430
28215
68645
133299
No.
Kecamatan (zone)
Total
service sector 6116
Total Sektor 6796
Total Angkatan Kerja 13402
Sumber: BPS Kota Makassar (2006)
Tabel 41. Matriks Jarak di Lokasi Penelitian (Km) No.
Ke Dari
1. 2. 3.
1 2 3
1
2
3
2 12 16
12 6 14
16 14 12
Sumber: Bappeda Kota Makassar (2006) d33=12 km Ujungpandang (zona 1) d11=2 km
d13=16 km Biringkanaya (zona 3)
d12=12 km
d22=6 km
d23=14 km
Panakkukang (zona 2)
Gambar 35. Interaksi Antar Kawasan di Lokasi Penelitian Kecamatan Ujungpandang yang terletak di pusat kota menjadi pusat pergerakan
antar
kawasan
dalam
Kota
Makassar
dengan
Kecamatan
Panakkukang (zona transisi) dan Biringkanaya (zona pinggiran). Pemodelan Lowry mengidentifikasi kemampuan tumbuh dan berkembangnya tiga kecamatan tersebut berdasarkan tinjauan mobilitas penduduk antar kawasan yang saling berinteraksi, khususnya basic sector (industri) dan service sector (jasa dan perdagangan) seperti pada Tabel 40 di atas. Berdasarkan Tabel 41 dan Gambar 35 diidentifikasi jarak antar kecamatan dari Ujungpandang berjarak atau radius pelayanan 2 km dalam kecamatan
137
tersebut, berjarak 12 km ke Panakkukang dan berjarak 16 km ke Biringkanaya. Dari Panakkukang berjarak atau radius pelayanan 6 km dalam kecamatan, berjarak 12 km ke Ujungpandang dan berjarak 14 km ke Biringkanaya. Sedangkan dari Biringkanaya berjarak atau radius pelayanan 12 km dalam kecamatan, berjarak 16 km ke Ujungpandang dan berjarak 14 km ke Panakkukang. Model ini menggunakan pengganda pekerjaan dan pengganda penduduk yang bersifat multiregional yaitu Model Gravitasi penggabungan total kegiatan ekonomi dan total angkatan kerja. Selain itu, model ini meliputi setiap pekerjaan yang dinyatakan sebagai tenaga kerja penduduk atau keluarga dan atau rumah tangga serta kebutuhan service sector per penduduk dengan asumsi rata-rata. Oleh karena itu, dalam menganalisis pengaruh suatu kegiatan ekonomi terhadap total pekerjaan di setiap kecamatan sangat berpengaruh terhadap total angkatan kerja di kecamatan tersebut serta dapat memprediksi alokasi penduduk dan kegiatan service sector. Berdasarkan tahapan analisis menggunakan Model Lowry seperti pada Lampiran 23 dengan persamaan 22 sampai 31 di Sub bab 3.6.5. diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pengganda penduduk total angkatan kerja yang terlayani sebagai faktor friksi sebesar 1.942 angkatan kerja/sektor dengan rasio sebesar 0.212 service sector/ angkatan kerja; 2. Alokasi basic sector ke kawasan perumahan/tempat tinggal dengan menggunakan model gravitasi kendala tunggal di Ujungpandang sebesar 4008.38, Panakkukang sebesar 2119.40, dan Biringkanaya sebesar 770.04; 3. Probabilitas interaksi antar kawasan dengan menggunakan Model Gravitasi adalah Ujungpandang bernilai 0.836 dengan kecamatan Ujungpandang, bernilai 0.108 dengan Panakkukang dan bernilai 0.056 dengan Biringkanaya. Panakkukang dengan kecamatan Panakkukang bernilai 0.818, bernilai 0.044 dengan Ujungpandang dan bernilai 0.138 dengan Biringkanaya. Sedangkan antara Biringkanaya dengan Kecamatan Biringkanaya bernilai 0.519, bernilai 0.068 dengan Ujungpandang dan bernilai 0.413 dengan Panakkukang; 4. Alokasi basic sector berdasarkan matriks penduduk dan jarak ke kawasankawasan tersebut secara tepat di Ujungpandang sebesar 2953 sektor, Panakkukang sebesar 21866 sektor, dan Biringkanaya sebesar 15611 sektor;
138
5. Total sector basic yang bertempat tinggal di setiap kawasan dengan tujuan pergerakan yaitu total penduduk awal pada setiap kawasan yang dilakukan penggandaan
jumlah
tenaga
kerja
yang
bertempat
tinggal
dengan
penggandaan penduduk, sehingga diperoleh penduduk dasar awal di Ujungpandang sebesar 5735 jiwa, Panakkukang sebesar 42464 jiwa, dan Biringkanaya sebesar 30317 jiwa; 6. Permintaan service sector dengan penduduk yang bermukim di setiap kawasan dengan perkalian jumlah penduduk bermukim di setiap kawasan dan rasio penduduk yang terlayani untuk setiap kawasan adalah di Ujungpandang sebesar 1216 sektor, Panakkukang sebesar 9002 sektor, dan Biringkanaya sebesar 6427 sektor; 7. Alokasi service sector yang telah dihitung dapat dialokasikan di pusat kota (Ujungpandang) dan penggunaan Model Gravitasi dalam alokasi permintaan pekerjaan dengan penduduk pada setiap kawasan di permukiman ke kawasan pekerjaan. Probabilitas interaksi model lokasi penduduk terhadap model lokasi service sector untuk tahap pertama di Ujungpandang sebesar 1655.65 sektor, Panakkukang sebesar 456.19 sektor, dan Biringkanaya sebesar 152.90 sektor; 8. Untuk
tahap
kedua
berdasarkan
Matriks
Model
Interaksi
adalah
Ujungpandang bernilai 0.92 dengan kecamatan tersebut, bernilai 0.09 dengan Panakkukang dan bernilai 0.16 dengan Biringkanaya. Antara Panakkukang dengan kecamatan tersebut bernilai 0.81, bernilai 0.05 dengan Ujungpandang dan bernilai 0.44 dengan Biringkanaya. Sedangkan antara Biringkanaya dengan kecamatan tersebut bernilai 0.40, bernilai 0.02 dengan Ujungpandang dan bernilai 0.10 dengan Panakkukang; 9. Alokasi permintaan service sector terhadap permukiman di setiap kawasan ke kawasan pekerjaan adalah Ujungpandang-Ujungpandang sebesar 1119, Ujungpandang-Panakkukang
sebesar
61,
Ujungpandang-Biringkanaya
sebesar 24, Panakkukang-Ujungpandang sebesar 810, PanakkukangPanakkukang sebesar 7292, Panakkukang-Biringkanaya sebesar 900, Biringkanaya-Ujungpandang
sebesar
1028,
Biringkanaya-Panakkukang
sebesar 2828, dan Biringkanaya-Biringkanaya sebesar 2571; 10. Kalkulasi lokasi service sector untuk setiap hubungan (pasangan) kawasankawasan dapat diillustrasikan dalam bentuk matriks terhadap total service
139
sector dalam
setiap
kawasan
adalah
Ujungpandang
sebesar
2957,
Panakkukang sebesar 10181, dan Biringkanaya sebesar 3495; dan 11. Berdasarkan hasil iterasi pertama di atas melalui mekanisme economic base yang dihitung dengan tambahan atau kenaikan penduduk dan service sector dengan pekerjaan melalui persamaan integrasi The Economic Base dan Allocation Mechanisms, diperoleh matriks ringkasan seperti pada Tabel 42. Tabel 42. Matriks Ringkasan Hasil Iterasi Pertama No.
Kecamatan (zone)
1. 2. 3.
Ujungpandang (1) Panakkukang (2) Biringkanaya (3)
Basic sector
Peningkatan Angkatan Kerja
680 13273 26477
Peningkatan service sector
5735 42464 30317
2957 10181 3495
Berdasarkan hasil prinsip Model Lowry yang telah dilakukan dan iterasi pertama, maka perhitungan secara sekuen yang sama untuk berbagai iterasi dalam mengeneralisasi kebutuhan populasi dan service sector diperlukan untuk mendapatkan nilai yang mendekati kondisi nyata. Oleh karena itu, selanjutnya dilakukan iterasi kedua yang tidak lagi menggunakan bacis sector tetapi menggunakan kenaikan service sector yang sudah dapat dihitung. Hasil tahapan analisis iterasi kedua tertera pada Lampiran 23 menghasilkan lima butir sebagai berikut: 1. Alokasi service sector terhadap kawasan permukiman berdasarkan matriks service sector dan jarak adalah adalah Ujungpandang sebesar 1005, Panakkukang sebesar 10090, dan Biringkanaya sebesar 3385; 2. Basic sector yang bertempat tinggal di setiap kawasan sebagai penduduk dasar kedua di Ujungpandang sebesar 1952 penduduk, Panakkukang sebesar 19595 penduduk, dan Biringkanaya sebesar 6574 penduduk; 3. Generalisasi penduduk pada permintaan service sector untuk setiap kawasan adalah di Ujungpandang sebesar 414 penduduk, Panakkukang sebesar 4154 penduduk, dan Biringkanaya sebesar 1394 penduduk; 4. Tambahan service sector yang dibutuhkan sekarang untuk dialokasikan di kawasan pekerjaan sebelumnya adalah di Ujungpandang sebesar 978 penduduk, Panakkukang sebesar 3999 penduduk, dan Biringkanaya sebesar 981 penduduk; dan 5. Ringkasan hasil iterasi kedua Model Lowry tertera pada Tabel 43.
140
Tabel 43. Matriks Ringkasan Hasil Iterasi Kedua No.
Kecamatan (zone)
1.
Ujung Pandang (1)
2. 3.
Peningkatan Angkatan Kerja
Peningkatan service sector
1952
978
Panakkukang (2)
19595
3999
Biringkanaya (3)
6574
981
Berdasarkan proses iterasi model sebanyak dua kali di atas, maka secara keseluruhan kenaikan atau pertambahan secara bersama dengan penduduk dan total pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Ringkasan Hasil Iterasi Model Lowry Sebanyak Dua Kali Zona Iterasi 1
Kawasan service sector 1 2 3 Total 2957 10181 3495 16633
Kawasan angkatan kerja 1 2 3 Total 5735 42464 30317 78516
Iterasi 2
978
3999
981
5958
1952
19595
6574
28121
Total
3935
14180
4476
22591
7687
62059
36891
106637
Peningkatan angkatan kerja dan jenis pekerjaan pada setiap iterasi adalah kecil dan secara nyata akan menurun jika dilakukan iterasi selanjutnya yang pada akhirnya ditambahkan untuk model estimasi setiap aktivitas keduanya pada setiap kawasan. Berdasarkan perlakuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil akhir perkiraan service sector sebesar 22591, total perkiraan pekerjaan/sektor sebesar 63021, dan total perkiraan angkatan kerja sebesar 106637 seperti pada Tabel 45. Tabel 45. Hasil Akhir Model Lowry Dua Kali Iterasi No.
Kecamatan (zone)
Basic sector
Perkiraan service sector
Total Perkiraan Pekerjaan
Total Perkiraan Angkatan Kerja
1.
Ujung Pandang (1)
680
3935
4615
7687
2.
Panakkukang (2)
13273
14180
27453
62059
3.
Biringkanaya (3) Total
26477 11826
4476 22591
30953 63021
36891 106637
Kondisi prediksi terhadap kenyataan untuk masing-masing atribut service sector, total pekerja, dan total angkatan kerja pada setiap kawasan dan secara total adalah secara signifikan mengalami penurunan untuk dua kali iterasi, tetapi untuk prediksi yang lebih akurat dilakukan sebanyak 11 iterasi dengan bantuan komputer Excel for Windows seperti pada Tabel 9 (Lampiran 23).
141
Perbandingan antara hasil prediksi kawasan pekerjaan dan penduduk angkatan kerja dengan data aktual dapat diketahui bahwa model dapat mereproduksi pola aktivitas setiap kawasan berdasarkan service sector nyata dan total pekerja serta total angkatan kerja beserta prediksinya seperti tertera pada Tabel 46. Tabel 46. Perbandingan Kondisi Aktual dan Prediksi Kawasan
1
Service Sector Nyata Prediksi 6116 4902
Total Sektor Nyata Prediksi 6796 5582
2
13273
15565
26546
28838
62384
68534
3
8826
4884
35303
31361
57513
19769
Total
28215
25351
68645
65781
133299
99786
Zona
Total Angkatan Kerja Nyata Prediksi 13402 11483
Berdasarkan hasil perbandingan pada Tabel 44, maka dapat disimpulkan : 1. Total jumlah service sector hasil prediksi adalah 25351 jiwa dengan perincian zona 1 (4902 jiwa), zona 2 (15565 jiwa), dan zona 3 (4884 jiwa) atau rata-rata mengalami kenaikan relatif sebesar 36 sampai 50 persen dan Kecamatan Panakkukang meningkat 1 persen dari kondisi nyata; 2. Hasil prediksi total sektor adalah 65781 jiwa dengan perincian di zona 1 (5582 jiwa), zona 2 (28838 jiwa), dan zona 3 (31361 jiwa) atau rata-rata mengalami kenaikan relatif sebesar 36 sampai 50 persen dan Kecamatan Panakkukang meningkat 3 persen dari kondisi nyata; dan 3. Total penduduk angkatan kerja prediksi adalah 99786 jiwa dengan perincian di zona 1 (11483 jiwa), zona 2 (68534 jiwa), dan zona 3 (19769 jiwa) atau rata-rata mengalami kenaikan relatif sebesar 30 sampai 50 persen dan Kecamatan Panakkukang meningkat 6 persen dari kondisi nyata. Model interaksi sebagai pembentuk struktur ruang kota berdasarkan perkiraan total angkatan kerja, total sektor, dan service sector dapat diketahui bahwa kawasan yang dikembangkan untuk masa depan dengan fungsi kegiatan jasa pelayanan dan perdagangan adalah zona transisi atau dua (Panakkukang) dengan pertumbuhan angkatan kerja yang tertinggi, fungsi kegiatan dasar (industri) di zona pinggiran atau tiga (Biringkanaya) dengan pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi, dan fungsi permukiman di zona pusat atau satu (Ujungpandang) dengan pertumbuhan angkatan kerja sedang atau menengah.
142
Berdasarkan interaksi atau pergerakan penduduk dapat disimpulkan bahwa dominasi kegiatan berdasarkan intensitas perkembangan penduduk di zona transisi adalah dikategorikan sebagai asal perjalanan tertinggi, kemudian zona pinggiran sebagai asal perjalanan yang tinggi, dan zona pusat sebagai tujuan perjalanan tertinggi. Pemodelan
interaksi
tata
ruang
dan
transportasi
tersebut
yang
dibandingkan dengan RTRW Kota Makassar (2005-2016) mengindikasikan bahwa zona pusat merupakan kawasan ekonomi prospektif dan pusat kota; zona pinggiran sebagai kawasan ekonomi prospektif (bandara, maritim, pergudangan, dan industri); dan zona transisi sebagai fungsi permukiman terpadu. RTRW Kota Makassar (2005-2016) dalam merencanakan kawasankawasan tersebut berdasarkan kecenderungan perkembangan kegiatan dan penduduk pendukungnya secara umum sejalan dengan hasil pemodelan di atas, tetapi arahan pengembangan untuk kegiatan jasa dan pelayanan diprioritaskan di zona transisi di masa yang akan datang. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait dengan kondisi di atas adalah penyebaran atau alokasi sub-sub pusat kegiatan kota secara intensif di kawasan-kawasan pengembangan baru di zona transisi dan pinggiran adalah selayaknya mempertimbangkan perencanaan yang lebih komprehensif. RTRW dengan fungsi penunjang bandara dan maritim di zona pinggiran perlu memperhatikan
fungsi
kawasan
hijau
atau
ruang
terbuka
dan kontrol
pembangunan permukiman sebelum dilaksanakan. Pertumbuhan
penduduk
yang
relatif
sedang
dan
rendah
sangat
memungkinkan untuk alternatif kajian tersebut, sedangkan pada zona pusat dengan pertumbuhan penduduk relatif tinggi seyogyanya dibatasi perkembangan kegiatannya. Hal ini sesuai dengan prinsip pengurangan kepadatan aktivitas yang sekaligus menurunkan volume lalulintas di zona pusat dan sebaliknya sebaran atau mobilitas aktivitas di arahkan ke zona pinggiran dan transisi terutama pada jam sibuk (peak hours) serta diharapkan dapat terintegrasi dengan wilayah hinterland yang lebih luas yaitu Mamminasata. Pemodelan tersebut kurang mendukung analisis permintaan berdasarkan RTRW Kota Makassar, karena model menyimpulkan bahwa fungsi kegiatan jasa/perdagangan sangat potensial dibanding fungsi kawasan industri, dan permukiman serta asal perjalanan dari zona transisi dan pinggiran dengan tujuan
143
ke zona pusat. Beberapa catatan dalam proses bekerjanya model tersebut, juga diharapkan dapat dilakukan dengan perlakuan berbagai aspek kajian yang dapat dilakukan simulasi serta memungkinkan hasil prediksi dan kondisi faktual serta lebih relevan. Kesuksesan dalam memprediksi tingkat dan distribusi pekerja dapat lebih baik bila dibandingkan dengan distribusi penduduk disamping persoalan yang kompleks dan pola perilaku perekonomian penduduk (sosio-ekonomi kultural) dan maksud perjalanan antar kawasan dan antar kota serta ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang sudah baik di negara maju berbeda dengan negara sedang berkembang sehingga diperlukan penyesuaian yang lebih rinci. Untuk masa depan, dibutuhkan ketelitian dalam memasukkan aspek lain dalam simulasi atau iterasi lainnya untuk menghindari kesimpulan yang kurang bermakna sebagai bagian integral dalam perumusan kebijakan yang terintegrasi antara sistem transportasi dan tata ruang di Kota Makassar.
8.2. Model Rute Pilihan dan Penataan Kawasan Model rute pilihan dan penataan kawasan yang dibangun berdasarkan seleksi jalur optimal (optimal path selection) dikenal pula sebagai jarak terpendek (shortest-path) antar ketiga zona (pusat, transisi, dan pinggiran) dengan illustrasi seperti pada Gambar 36. Kec.Biringkanaya (zona k)
dik=16 km Kec.Ujungpandang (zona i)
dko=8 km
dio=6 km
dij=12 km
djo=5 km
Kota Maros (zona x) d yk=20 km
dyk=2 km
dyk=26 km
djk=14 km d yk=20 km
dyk=18 km
Kec.Panakkukang dij=10 km (zona j) Kab.Gowa (zona y)
Gambar 36. Rute Optimal Antar Kawasan Wilayah Kota Makassar Rute optimal antara kawasan dan antar kota dapat disederhanakan dalam bentuk matriks hubungan interaksi seperti pada Tabel 47. Sedangkan analisis dan hasil pemetaan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis dapat dilihat pada Gambar 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, dan 44.
144
Tabel 47. Matriks Rute Optimal Antar Kawasan dan Antar Kota (km) Ke
i
j
k
x
y
i (lama)
-
12
16
36
22
j (lama)
12
-
14
34
10
k (lama)
16
14
-
20
20
x (lama)
36
34
20
-
44
y (lama)
22
10
20
44
-
i (baru)
-
11
14
34
21
j (baru)
11
-
13
33
10
k (baru)
14
13
-
20
20
x (baru)
34
33
20
-
40
y (baru)
21
10
20
40
-
Dari
Keterangan: i(pusat), j(transisi), k(pinggiran), x (sub urban timur), dan y (sub urban selatan)
Berdasarkan analisis matriks rute optimal antar kawasan dan antar kota di Makassar pada Gambar 36 sebelumnya dan Tabel 47 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pilihan rute/trayek baru bila dikembangkan dimasa yang akan datang
adalah
pada
trayek/rute
terdekat
antar
kawasan
pusat
kota
(Ujungpandang) dengan zona tepi kota (Panakkukang) adalah 11 km (i baru-j) dibandingkan jalur lama 12 km (i-j), kemudian dengan zona transisi kota (Kecamatan Biringkanaya) adalah 14 (i baru-k) dibanding 16 km (i-k), dengan Kabupaten Maros adalah 34 km (i baru-x) dibanding 36 (i-x), dan Kabupaten Gowa adalah 21 (i baru-y) dibanding 22 km (i-y). Selain itu, antar kawasan zona transisi kota (Kecamatan Panakkukang) dengan zona pinggiran kota (Kecamatan Biringkanaya) adalah 13 (j baru-k) dibanding 14 (j-k) dan dengan Kabupaten Maros adalah 33 km (j baru-x) dibanding 34 km (j-x), serta antara Kota Maros dengan Kabupaten Gowa adalah 40 km (x baru-y) dibanding 44 km (x-y). Prinsip pemilihan rute optimal di atas merupakan salah satu bentuk manajemen
kebutuhan
transportasi
yang
dapat
dikombinasikan
dengan
pergeseran waktu, dan pergeseran moda khususnya penataan rute/trayek angkutan umum penumpang non-bus. Hasil simulasi matriks di atas ditransfer ke dalam format gambar dalam bentuk garis rute pilihan seperti pada Gambar 44. Tahap pengembangan kawasan yang dikembangkan dengan dasar atribut data tingkat emisi gas buang kendaraan dan kualitas udara ambien Kota Makassar pada Sub bab 7.1 dan Sub bab 7.2. Berdasarkan beberapa alternatif kebijakan dengan analisis AHP telah dirumuskan beberapa alternatif kebijakan
Gambar 37. Peta Administrasi Kota Makassar
145
Gambar 38. Peta Penggunaan Lahan Kota Makassar
146
Sumber: Bappeda Kota Makassar, 2006
Gambar 39. Peta Jaringan Jalan dan Rute AUPNB Kota Makassar
147
Gambar 40. Peta Kepadatan Penduduk Kota Makassar
148
Gambar 41. Peta Garis Perjalanan Kota Makassar
149
Gambar 42. Peta Struktur dan Pola Spasial Kota Makassar
150
Gambar 43. Peta Kawasan Polusi Kota Makassar
151
Gambar 44. Peta Garis Rute Pilihan dan Pengembangan Kawasan Kota Makassar
TP AUPNB
Terminal
Rute Pilihan (terpendek) Alternatif
Titik-titik Pengembangan Baru (Node)
152
153
terpilih yaitu: penetapan lokasi, pengaturan kendaraan, perbaikan fasilitas lingkungan, dan penataan kelembagaan yang dapat dijabarkan menjadi aksi: (1) rekayasa lalulintas, (2) manajemen lalulintas, (3) penataan ruang terbuka hijau, dan (4) kontrol atau pengendalian pembangunan. Hubungan antara kedua kondisi pada Sub bab sebelumnya menghasilkan rumusan sebagai berikut: §
Kawasan pusat kota (Kecamatan Ujungpandang) dalam pengembangannya diprioritaskan
secara
berurutan
adalah:
kontrol
atau
pengendalian
pembangunan, manajemen lalulintas, proporsi ruang terbuka hijau, dan rekayasa lalulintas; §
Kawasan transisi kota (Kecamatan Panakkukang) dalam pengembangannya diprioritaskan secara berurutan adalah: manajemen lalulintas, kontrol atau pengendalian pembangunan, rekayasa lalulintas, dan proporsi ruang terbuka hijau; dan
§
Kawasan pinggiran kota (Kecamatan Biringkanaya) dalam pengembangannya diprioritaskan secara berurutan adalah: rekayasa lalulintas, manajemen lalulintas, proporsi ruang terbuka hijau, dan kontrol atau pengendalian pembangunan.
Hasil konversi lokasi rawan polusi dan kebijakan penataan kawasan rawan polusi menjadi format gambar dalam bentuk pengembangan kawasan pada Gambar 44. Perbandingan model rute pilihan dan pengembangan kawasan dengan bantuan SIG dalam menunjang kebijakan pengelolaan transportasi yang berkelanjutan, khususnya angkutan umum penumpang non-bus dengan RTRW Kota Makassar 2005-2016 adalah sebagai berikut: §
Pengembangan sistem angkutan jalan dan rute/trayek angkutan umum melalui pengembangan jaringan jalan berdasarkan fungsi dan hirarkhi jalan beserta terminal antar kota dan kota dilakukan berdasarkan garis rute pilihan.
§
Pelaksanaan penerapan manajemen lalulintas termasuk sistem satu arah, pengaturan lampu lalulintas, pembatasan lalulintas pada daerah tertentu, pembangunan gedung-gedung dan atau taman parkir pada pusat-pusat kegiatan sebagai upaya mengurangi parkir badan jalan, dan pengembangan fasilitas pejalan kaki (pedestrian) yang memadai dapat dilakukan berdasarkan pengembangan kawasan.
154
§
Pengembangan kawasan hijau binaan kawasan pusat kota, permukiman terpadu, bandara terpadu, maritim terpadu, industri terpadu, pergudangan terpadu dapat dilakukan berdasarkan pengembangan kawasan. Pemanfaatan teknologi SIG dalam analisis transportasi masih dapat
dikembangkan untuk kategori fisik, lalulintas, perjalanan, angkutan barang, pengoperasian dan pemeliharaan, dan finansial yang sangat tergantung pada tingkatan ruang dan waktu. Selain itu, dalam pengintegrasian SIG untuk format topologi jaringan model konvensional SIG yang berbeda masih terdapat kendala teknis sehingga membutuhkan efisiensi waktu, tenaga kerja, dan jumlah serta rincian simulasi yang dapat dilakukan baik dalam proses maupun prosedur aplikasinya. Oleh karena itu, model rute pilihan dan penataan kawasan ini masih sangat sederhana dibandingkan dengan pemanfaatan aplikasi sistem transportasi seperti TRANPLAN, Micro TRIP, MINUTP, QRS II, TMODEL, TOPAZ, TransCAD dan lainnya yang tidak mudah dalam menggunakan format Arc/Info.
8.3. Kebijakan Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan di Kota Makassar tidak dapat dirumuskan dalam satu kebijakan saja (single solution) dalam pemecahan masalah secara tuntas, khususnya angkutan umum penumpang non-bus. Kebijakan merupakan sinergi antar beberapa kajian dan analisis dari beberapa tujuan lain penelitian ini, oleh karena itu, Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dipergunakan dalam menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dimana nilai alternatifnya lebih kontras dan menggunakan kriteria jamak serta menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik dalam tahapan proses. Metode MPE dilakukan dengan menggunakan data kuesioner pakar (expert) di bidang transportasi sebanyak 3 responden yang mewakili aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemilihan responden disesuaikan dengan hakikat pendekatan sistem yang terintegrasi dengan parameter sosial (efektivitas trayek/rute), ekonomi (efisiensi tarif dan pelayanan), lingkungan (perbaikan kualitas), dan kelembagaan (penataan ruang). Kebijakan pengelolaan tersebut merupakan bagian yang terintegrasi juga dengan parameter permasalahan di lapangan pada level kebijakan (lingkungan dan kelembagaan), manajemen (sosial), dan operasional (ekonomi).
155
Berdasarkan tujuan penelitian, maka faktor-faktor pendorong pentingnya pengelolaan transportasi berkelanjutan adalah sistem pengaturan trayek/rute angkutan umum penumpang non-bus yang kurang tertata dan berdampak pada timbulnya kemacetan di sebagian besar kawasan kota (sosial), sistem pentarifan yang tidak tegas dan keterbatasan jaringan penghubung sehingga terdapatnya kelompok masyarakat dan kawasan tertentu yang belum terlayani angkutan umum penumpang non-bus (ekonomi), meningkatnya polusi udara akibat emisi gas buang kendaraan khususnya angkutan umum penumpang non-bus telah menurunkan kualitas lingkungan kawasan (lingkungan), dan belum terpadunya kebijakan pengelolaan angkutan umum penumpang non-bus dengan kebijakan penataan ruang kota (kelembagaan). Kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan menggunakan MPE dimulai dengan identifikasi kriteria-kriteria dalam perumusan yang disusun berdasarkan
urutan
parameter-parameter
pembobotan.
Kebutuhan
perumusan
yang
kebijakan
menggunakan yang
nilai
atau
mempertimbangkan
pendekatan yang efisien, inovatif, tepat sasaran, dan kecenderungannya membaik dari waktu ke waktu berdasarkan tujuan dan batasan penelitian mencakup aspek core, consequency, costumer, control, dan cultural disusun pada Tabel 48. Tabel 48. Kriteria Perumusan Kebijakan Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kode A B C D E F G H I J
Kriteria Kebijakan Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Meningkatkan aksesibilitas masyarakat pengguna angkutan umum Mengawasi dan mengevaluasi penggunaan lahan kota Mengatur penggunaan kendaraan pribadi dan angkutan umum Menerapkan tarif berimbang untuk pengguna dan pengusaha Menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif Memperbaiki sarana dan prasarana transportasi kota Mengurangi polusi emisi gas buang kendaraan Menata ruang terbuka kota dan hijau kota Menerapkan kendaraan ramah lingkungan Meningkatkan partisipasi dan kemitraan antar stakeholders
Bobot 9 8 7 9 8 7 9 8 7 9
Sumber: Survei Primer Diskusi Pakar dan Studi Literatur (2006)
Tingkat kepentingan kriteria dan nilai bobot di atas ditentukan dengan model perbandingan berpasangan yang mempertimbangkan expert judgement dan dikombinasikan dengan rata-rata geometrik. Responden yang dipilih sebanyak tiga pakar di bidangnya masing-masing dan berdomisili di Makassar
156
yaitu pakar: (1) transportasi sosial, (2) transportasi ekonomi, dan (3) transportasi lingkungan dengan kriteria pendidikan minimal S2, berpengalaman di bidangnya masing-masing, dan pernah memangku jabatan yang relevan dengan bidang kepakarannya. Alternatif kebijakan terpilih berdasarkan rumusan kesimpulan tujuan lain penelitian ini sebelumnya yaitu Bab 5 sampai Bab 8. Alternatif kebijakan yang potensial dan optimal berdasarkan hasil rumusan 3 (tiga) tujuan penelitian ini sebelumnya serta bernilai tinggi untuk setiap kriteria dan
dikelompokkan
dalam
kategori:
aspek
kebijakan,
manajemen,
dan
operasional yang merupakan aspek kajian permasalahan angkutan umum penumpang non-bus. Selain itu,alternatif kebijakan mempertimbangkan fungsi-fungsi manajemen secara umum yang didalamnya mencakup kegiatan perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing),
pengarahan
(directing),
pengkoordinasian
(coordinating), dan pengevaluasian (evaluating) serta monitoring. Penilaian alternatif kebijakan prediktif dan prospektif dengan menggunakan MPE berskala 1-10 dari responden pakar transportasi yang terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Kategori manajemen berdimensi sosial: 1.1. Meningkatkan
tingkat
pelayanan
transportasi
dan
kenyamanan
pelayanan berdasarkan permintaan pergerakan penduduk. 1.2. Memperbaiki kinerja rute dan operasi dengan penyediaan angkutan dan memperhatikan faktor muat/pengisian. 1.3. Meningkatkan kondisi jaringan jalan sebagai bagian dari kinerja prasarana transportasi. 1.4. Memperbaiki tingkat pelayanan jalan dengan pertimbangan kapasitas, kecepatan nyata, dan rasio volume. 2. Kategori operasional berdimensi ekonomi: 2.1. Mempertimbangkan faktor muat angkutan terbesar (trayek antar kota). 2.2. Memperhatian pembiayaan produksi yaitu terbesar trayek antar kawasan dan keuntungan terbesar antar kota. 2.3. Memperbaiki sistem pentarifan dengan penerapan tarif angkutan berimbang dan pertimbangan tarif terbesar antar kota. 2.4. Mengembangkan rute/trayek baru berdasarkan permintaan angkutan paling potensial berdasarkan lokasi (kawasan industri), maksud
157
perjalanan (kegiatan sosial), asal perjalanan (dari zona pusat) dan tujuan perjalanan (ke zona transisi), kepadatan (di zona pusat), area pelayanan (kelurahan terjauh di zona pinggiran dan zona transisi), dan karakteristik jalan (semua zona). 3. Kategori perencanaan berdimensi lingkungan dan kelembagaan: 3.1. Memetakan dan menata kawasan rawan polusi emisi kendaraan di zona pusat dan udara ambien di zona transisi. 3.2. Mengutamakan faktor rencana tata ruang dalam penataan kawasan rawan polusi. 3.3. Mengutamakan aktor Bappeda dalam penataan kawasan rawan polusi. 3.4. Mengutamakan tujuan penataan lokasi penataan kawasan rawan polusi. 3.5. Mengutamakan
alternatif
perbaikan
fasilitas
lingkungan
dalam
penataan kawasan rawan polusi. 3.6. Memodelkan interaksi transportasi-penggunaan lahan dengan Model Lowry. 3.7. Mengutamakan penentuan rute pilihan dan penataan kawasan dengan SIG. Untuk lebih jelasnya, hasil perhitungan nilai MPE terhadap kebijakan prioritas dalam pengelolaan transportasi berkelanjutan di atas dilihat pada Gambar 45.
15 13 11 9
MPE Prioritas
7 5 3 1 0
100000000 1
MPE
2
3
4
200000000 5
6
7
300000000 8
9
10
400000000 11
12
13
500000000 14
15
405, 220, 196, 187, 179, 161, 160, 156, 143, 72,5 54,7 54,6 18,7 16,5 15,0
Prioritas 1.4 3.2 1.1 3.3 1.2 3.7 1.3 3.1 2.3 2.4 3.6 3.4 2.2 3.5 2.1
Gambar 45. Diagram Penilaian Prioritas Kebijakan
158
Ringkasan penilaian responden rata-rata dari tiga pakar (expert) bidang ekonomi-transportasi, transportasi-sosial, dan transportasi-lingkungan terhadap kebijakan alternatif pengelolaan transportasi berkelanjutan berdasarkan kriteria di atas dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49. Penilaian Alternatif Kebijakan Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kriteria Meningkatkan aksesibilitas masyarakat pengguna angkutan umum Mengawasi dan mengevaluasi penggunaan lahan kota Mengatur penggunaan kendaraan pribadi dan angkutan umum Menerapkan tarif berimbang untuk pengguna dan pengusaha Menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif Memperbaiki sarana dan prasarana transportasi kota Mengurangi polusi emisi gas buang kendaraan Menata ruang terbuka kota dan hijau kota Menerapkan kendaraan ramah lingkungan Meningkatkan partisipasi dan kemitraan antar stakeholders
Nilai Alternatif Kebijakan
Bobot 1.1
1.2
1.3
1.4
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
3.3
34
3.5
3.6
3.7
9
8
8
8
9
5
5
5
7
6
7
3
7
4
6
8
8
5
3
5
5
4
4
4
6
5
6
7
6
7
8
8
7
7
6
7
7
6
6
7
5
7
5
3
8
4
7
8
9
6
7
6
6
6
6
8
6
5
7
7
4
3
6
5
8
7
6
6
6
6
7
7
7
5
4
7
3
2
6
5
7
8
7
8
8
6
4
4
7
6
6
6
2
6
7
6
9
7
5
6
5
4
4
3
6
8
5
4
3
3
6
5
8
6
5
5
5
4
3
3
6
7
6
5
4
4
6
6
7
7
4
5
5
5
4
3
5
6
6
3
5
5
7
6
9
4
4
4
4
4
4
4
5
5
8
8
6
6
5
5
Hasil perhitungan MPE memperlihatkan urutan atau prioritas kebijakan dalam pengelolaan transportasi secara umum dan angkutan umum penumpang non-bus berdasarkan kelompok sosial, ekonomi, dan lingkungan/kelembagaan seperti pada Tabel 50.
159
Tabel 50.Hasil Perhitungan MPE untuk Kebijakan Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Prioritas Kebijakan potensial 1 (sosial) Kebijakan potensial 2 (sosial) Kebijakan potensial 3 (sosial) Kebijakan potensial 1 (ekonomi) Kebijakan potensial 2 (ekonomi) Kebijakan potensial 3 (ekonomi) Kebijakan potensial 1 (lingkungan) Kebijakan potensial 2 (lingkungan) Kebijakan potensial 3 (lingkungan) Kebijakan tidak potensial (sosial) Kebijakan tidak potensial (ekonomi) Kebijakan tidak potensial (lingkungan) Kebijakan tidak potensial (lingkungan) Kebijakan tidak potensial (lingkungan) Kebijakan tidak potensial (lingkungan)
Alternatif Terpilih 1.4. 1.1. 1.2. 2.3. 2.4. 2.2. 3.2. 3.3. 3.7. 1.3. 2.1. 3.1. 3.6. 3.4. 3.5.
Nilai MPE 405.173.140 196.490.455 179.983.269 143.131.692 72.565.950 18.704.711 220.940.832 187.057.699 161.581.584 160.094.950 15.003.794 156.131.140 54.793.290 54.640.248 16.584.244
Berdasarkan hasil penilaian responden atas 10 (sepuluh) kriteria terhadap 15 (lima belas) kebijakan alternatif dalam pengelolaan transportasi berkelanjutan di atas berupa kebijakan prioritas dan paling potensial dengan pengelompokan sebagai berikut: 1. Kategori manajemen berdimensi sosial: a. Memperbaiki tingkat pelayanan jalan dengan pertimbangan kapasitas, kecepatan nyata, dan rasio volume. b. Meningkatkan
tingkat
pelayanan
transportasi
dan
kenyamanan
pelayanan berdasarkan permintaan pergerakan penduduk. c. Memperbaiki kinerja rute dan operasi dengan penyediaan angkutan dan memperhatikan faktor muat/pengisian. 2. Kategori operasional berdimensi ekonomi: a. Memperbaiki sistem pentarifan dengan penerapan tarif angkutan berimbang dan pertimbangan tarif terbesar antar kota. b. Mengembangkan rute/trayek baru berdasarkan permintaan angkutan paling
potensial
berdasarkan
lokasi
(kawasan
industri),
maksud
perjalanan (kegiatan sosial), asal perjalanan (dari zona pusat) dan tujuan perjalanan (ke zona transisi), kepadatan (di zona pusat), area pelayanan (kelurahan terjauh di zona pinggiran dan zona transisi), dan karakteristik jalan.
160
c. Pembiayaan produksi terbesar pada trayek/rute antar kawasan dan keuntungan terbesar pengusaha angkutan trayek/rute antar kota. 3. Kategori perencanaan berdimensi lingkungan dan kelembagaan: a.
Mengutamakan faktor rencana tata ruang dalam penataan kawasan rawan polusi.
b.
Mengutamakan aktor Bappeda dalam penataan kawasan rawan polusi.
c.
Mengutamakan penentuan rute pilihan dan penataan kawasan dengan bantuan informasi dan teknologi SIG.
Berdasarkan pilihan alternatif kebijakan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pilihan kebijakan yang partisipatif dan berasal dari semua stakeholders yang paling berkepentingan dalam pengelolaan angkutan umum penumpang
non-bus
mengalami
pergeseran
dalam
sistem
manajemen
transportasi konvensional yang bertumpu pada aspek sediaan menjadi kebutuhan. Hal tersebut ditandai dengan terpilihnya beberapa kebijakan potensial bertumpu pada kualitas pelayanan angkutan umum penumpang, baik faktor kenyamanan, kemudahan, kendaraan, dan lintasannya. Aspek ekonomi transportasi juga ditandai dengan terpilihnya beberapa kebijakan yang lebih kompetitif tanpa mengabaikan aspek partisipasi dan kemitraan. Kebijakan penerapan tarif berimbang dan pengembangan trayek/rute pada kawasan yang belum terlayani angkutan umum penumpang merupakan strategi baru untuk mengurangi keterbatasan masyarakat terhadap akses dalam mendapatkan layanan angkutan umum penumpang. Aspek lingkungan transportasi ditandai dengan semakin pentingnya mempertimbangkan peran aktor Bappeda dan faktor rencana tata ruang serta aplikasi SIG dalam pemilihan rute pilihan bagi layanan angkutan umum penumpang dan penataan kawasan yang berpotensi atau rawan polusi yang terutama diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan dalam jumlah yang besar oleh angkutan umum penumpang. Kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari tata ruang kota, karena interaksi fungsi-fungsi kawasan di Kota Makassar yang berkaitan dengan pengembangan kawasan baru dan semakin padatnya pusat kota menyebabkan potensi pergerakan penduduk dan lalulintas di jalan raya semakin tinggi dan potensi terjadinya kesemrawutan, tundaan, hingga kemacetan tidak dapat dihindari lagi terutama pada jam-jam sibuk, termasuk
161
angkutan umum penumpang non-bus yang akan semakin memperbesar permasalahan tersebut. Pengelompokan prioritas kebijakan berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan/kelembagaan di atas, bila diperbandingkan antar ketiganya dapat disimpulkan bahwa secara berurutan adalah aspek sosial dan lingkungan/ kelembagaan dominan pada urutan lima besar dan ekonomi pada urutan kesembilan sampai kelima belas seperti yang diillustrasikan dalam Gambar 46. Rancangan model kebijakan pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang non-bus berkelanjutan yang berdimensi lingkungan bila dikaji secara detil adalah sejalan dengan Undang-undang Penataan Ruang (26/2007), Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (23/1997), dan Undang-undang Pemerintahan Daerah (32/2004). Model berdimensi ekonomi sejalan dengan Undang-undang Pelindungan Konsumen (8/1999), sedangkan model berdimensi sosial sejalan dengan Undang-undang Jalan (38/2004) dan Undang-undang Lalulintas dan Angkutan Jalan (14/1992). Implikasi pilihan kebijakan prioritas dan potensial di atas telah diuji dalam tataran kajian akademik dan ilmiah, namun dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi antar stakeholders masih membutuhkan komitmen yang jelas dan bertanggung jawab. Partisipasi dan kemitraan antar semua pihak menjadi syarat mutlak efektifnya kebijakan tersebut, sekalipun telah bersifat inovatif, tepat sasaran, dan cenderung membaik dari waktu ke waktu.
8.4. Kerangka Implementasi Kebijakan Penelitian ini menghasilkan ketetapan prioritas kebijakan mencakup implementasi perencanaan, manajemen dan operasional. Kelima belas kebijakan merupakan alternatif pilihan berdasarkan analisis kinerja rute/trayek eksisting, sistem pentarifan dan radius pelayanan, dan identifikasi emisi dan penataan kawasan rawan polusi serta perancangan model pengelolaan transportasi berkelanjutan. Kesembilan prioritas kebijakan terpilih berdasarkan tinjauan permasalahan angkutan umum penumpang non-bus yaitu: perencanaan, manajemen, dan operasional dapat menyelesaikan akar permasalahan ketidak terpaduan antara kebijakan tata ruang kota dan kebijakan transportasi kota di Kota Makassar.
162
Penelitian yang disusun dari berbagai penilaian, analisis, perhitungan, dan pembobotan terkait dengan aspek utama sistem transportasi berkelanjutan yaitu sosial
(aksesibilitas),
ekonomi
(efektifitas),
lingkungan
(lingkungan),
dan
kelembagaan (kebijakan) yang telah dibandingkan dengan temuan-temuan studi atau penelitian sebelumnya yang melatarbelakangi penelitian ini menghasilkan masukan sebagai berikut: (1) Perumusan alternatif kebijakan berdasarkan penilaian kinerja rute/trayek eksisting dan ramalan perkembangannya, analisis pentarifan dan radius pelayanan serta pilihan perimbangan dan pengembangannya, serta identifikasi emisi gas buang kendaraan dan penataan kawasan rawan polusi akibat emisi gas buang dan signifikansi serta kesesuaian dengan permasalahan angkutan umum penumpang non-bus telah berdasarkan skala kebijakan jangka panjang, manajemen jangka menengah, dan operasional jangka pendek. (2) Penilaian, analisis dan perhitungan serta pembobotan telah divalidasi dan dipertegas dengan model dinamis interaksi tata ruang dan transportasi yang meramalkan pergerakan penduduk antar kawasan dengan menggunakan Model Lowry dan pemilihan rute alternatif serta penataan kawasan dengan Sistem Informasi Geografis pada saat sekarang dan masa yang akan datang. (3) Kebijakan prioritas yang telah ditetapkan bersifat top down dan bottom-up karena melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) di tingkat kota dan para pakar dalam memberikan masukan berupa expert judgement yang dilaksanakan pada saat survei lapangan baik tanya jawab (diskusi) maupun dalam bentuk pengisian kuesioner yang menggunakan metode AHP dan MPE diharapkan sebagai suatu tanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan prioritas tersebut. Implementasi kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan sebagai suatu kerangka di atas dapat diwujudkan bila pemerintah dengan institusi terkait tingkat kota seperti Bappeda, Dishub, DLHK, DPU, Polwiltabes dan pengguna angkutan beserta pengusaha angkutan berkomitmen dalam menyelesaikan permasalahan berdasarkan skalanya secara terintegrasi satu sama lain serta tetap melakukan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengarahan, dan pemantauan (monitoring dan evaluasi). Oleh karena itu, agar
163
kebijakan bersifat implementatif diperlukan alternatif prioritas yang strategis sebagaimana yang dirumuskan dalam penelitian ini. Implikasi kebijakan pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang berkelanjutan berbasis pendekatan sistem yang tidak terpisahkan dari upaya memperbaiki atau mengurangi permasalahan yang telah dirumuskan dapat distrukturkan dalam bentuk diagram. Diagram tersebut terdiri dari aspek, tujuan, prioritas kebijakan, dan instansi pelaksana di lapangan seperti yang tertera pada Gambar 46. 8.5. Validasi dan Verifikasi Model Validasi model dalam penelitian ini dilakukan dengan menguji batasan penelitian antara tujuan dan hasil yang dicapai, dimana tujuan mencakup empat bagian (4 Bab) dan terdiri dari beberapa sub bagian (13 Sub bab) yang secara keseluruhan dilakukan dalam penelitian ini. Beberapa hal yang ditinjau secara kritis adalah kesesuaian diagram lingkar sebab akibat (causal loop) penelitian pada Sub bab 3.6.1. yang dihubungkan dengan fungsi dasar sistem pengelolaan transportasi dengan hasil penelitian adalah telah memenuhi sesuai rencana penelitian. Diagram input-output dalam penelitian masih relevan dengan pelaksanaan kegiatan penelitian dan batasan tujuan-tujuan penelitian yang merupakan output terkendali dan input lingkungan dan input terkendali sebagai integrasi manajemen pengendalian transportasi secara umum dari sistem pengelolaan transportasi angkutan umum non-bus berkelanjutan pada bab tiga. Pemodelan yang dilakukan pada dasarnya dapat dirancang dalam konstruksi beberapa sub model yaitu: (1) sub model kinerja pola trayek/rute angkutan umum penumpang non-bus; (2) sub model sistem pentarifan angkutan umum penumpang non-bus; (3) sub model penataan kawasan rawan polusi dalam membangun model pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang non-bus berkelanjutan. Selain itu, beberapa penggunaan Model Lowry dan SIG, software SPSS, ArcView, MapInfo, Expert Choice, Excel serta metode AHP dan MPE telah membantu dalam perancangan model tersebut. Verifikasi model model kebijakan dalam penelitian ini dilakukan setelah memodifikasi model dengan proses penambahan variabel berdasarkan survei data primer dan dalam menjalankan model dan mengevaluasi hasilnya secara
164
165
umum masih dalam batas toleransi dan tingkat akurasi dan presisi yang dapat diterima.Rancang bangun model pengelolaan transportasi berkelanjutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 47. Verifikasi berupa uji keberhasilan parameter dengan teknik dan prosedur statistik membuktikan bahwa beberapa model dan ukuran pemusatan dan penyebaran data dan interpretasi hasil analisis dapat diterima secara statistik deskriptif. Oleh karena itu, uji model dalam penelitian ini secara praktis adalah sebagai berikut: 1. Proporsi jumlah responden sebesar 180 dengan koefisien konfidensi 0,05 atau 1,96 untuk luas daerah 95% dengan sampel maksimal 0,4650 dan 0,4951 dari jumlah rumah tangga pengguna angkutan umu m penumpang di lokasi penelitian sebesar 28 persen siswa dan anak-anak dengan bantuan SPSS for Windows. 2. Permintaan pergerakan berdasarkan data primer dan menggunakan statistik regresi berganda dengan nilai uji R2 sebesar 0,788 dengan bantuan SPSS. 3. Kinerja rute dan operasi berdasarkan data primer dan menggunakan statistik regresi berganda dengan nilai uji R2 sebesar 0,997 dengan bantuan SPSS for Windows. 4. Kinerja prasarana berdasarkan data sekunder dan menggunakan statistik regresi berganda dengan nilai uji R2 sebesar 0,997 dengan SPSS for Windows. 5. Kapasitas jalan berdasarkan data primer dan sekunder menggunakan nilai konversi volume kendaraan menjadi satuan muatan penumpang dan dibedakan
antar
jenis
kendaraan,
kecepatan
pergerakan
nyata
mempertimbangkan dearajat atau tingkat kejebuhan, dan tingkat pelayanan jalan merupakan rasio antara volume per kapasitas dengan bantuan Excel. 6. Produksi berdasarkan data primer dan menggunakan faktor muat yang dinyatakan dengan persentase menggunakan bantuan Excel for Windows. 7. Pembiayaan berdasarkan data primer dan menggunakan biaya keseluruhan merupakan total biaya produksi dikurangi biaya eksternal dan keuntungan dengan bantuan Excel for Windows. 8. Tarif berdasarkan data primer menggunakan dengan tarif rata, tarif pokok dan tarif BEP dipengaruhi oleh faktor jarak perjalanan satu trayek/rute dengan bantuan Excel for Windows.
166
167
9.
Permintaan berdasarkan data primer dan sekunder tentang angkutan umum penumpang mempertimbangkan batasan administrasi kecamatan dan area pelayanan terjauh atau terluar dengan bantuan Excel for Windows.
10. Jumlah emisi gas buang dan kualitas udara ambien berdasarkan data primer dan sekunder menggunakan satuan ug/Nm3 dan persentase untuk setiap parameter pengukuran yang dibantu dengan Excel for Windows. 11. Kebijakan penataan kawasan rawan polusi dengan AHP dengan overall inconsistency (nilai indeks konsistensi) sebesar 0,05-0,06 yang berarti nilai pembobotan berpasangan setiap matriks konsisten atau dengan kata lain jawaban responden dilakukan secara konsekuen dan konsisten serta dianalisis dengan bantuan Expert Choice 2000. 12. Model interaksi transportasi-tata ruang (Lowry Model) berdasarkan data sekunder menggunakan Model Gravitasi dan Model Economic Base serta dianalisis dengan Excel for Windowsc berpotensi dengan kesalahan penilaian karena diperlukan proses iterasi yang besar hingga hasil prediksi mendekati angka nyata. 13. Sistem
informasi
geografis
berdasarkan
data
sekunder
dan
primer
pergerakan serta emisi gas buang dianalisis dan digambarkan dalam bentuk peta yang menggunakan bantuan ArcView dan MapInfo berpotensi dengan kesalahan akurasi dan presisi dalam konversi peta asal menjadi peta dasar maupun tematik. 14. Prioritas kebijakan kompleks menggunakan berbagai kemungkinan alternatif dari kesimpulan dan hasil tujuan dalam penelitian ini sebelumnya dengan Metode
Perbandingan
Eksponensial
sangat
baik
menggunakan
eksponensial sehingga lebih nyata nilai bobotnya dan biasnya berkurang yang dibantu dengan Excel for Windows. Pengujian responden pengguna angkutan umum penumpang non-bus sebesar 180 orang dan pengemudi yang berjumlah 25 orang diperoleh kesimpulan karakteristik sebagai berikut: (1) pengguna (penumpang) dengan rincian laki-laki (51%), anak-anak (55%), bertempat tinggal di kawasan permukiman (66%), tidak memiliki kendaraan (69%), belum berpenghasilan (46%), berpendidikan SLTA (36%), tujuan perjalanan terbesar ke sekolah (37%), jam keberangkatan ke tujuan 05.00-08.00 (53%), jam pulang dari sekolah 11.0015.00 (43%), perjalanan asal tujuan terbesar Biringkanaya-Ujungpandang (25%),
168
berangkat bersama keluarga atau teman lebih 2 orang (32%), menggunakan angkot dan moda lain (83%), frekuensi pengguna angkutan kota (86%), menggunakan angkot 2 kali A-T (57%), dan tujuan perjalanan dominan bukan untuk bisnis (47%), dan (2) pengemudi (sopir) dengan rincian: pengemudi adalah ayah (76%), bertempat tinggal di permukiman (68%), dengan pajak (64%),
memiliki kendaraan
pendapatan lebih besar atau sama 1 juta (28%),
berpendidikan SLTA (48%), frekuensi minimal 7 kali pergi pulang (84%), jam keberangkatan 05.00-08.00 (72%), jam kepulangan 18.00-22.00 (84%), jumlah setoran 60 ribu dan 80 ribu per hari (36%), dan
saran pengelolaan dititik
beratkan pada aspek sosial (48%). Pendapat responden pengguna terhadap kuesioner kinerja rute/trayek angkutan umum penumpang non-bus adalah sebagai berikut: waktu perjalanan dari rumah ke tempat angkutan umum (TPAU) 15 menit (85%), waktu tunggu penumpang di TPAU 15 menit (90%), waktu perjalanan asal tujuan sebesar 15 menit (33.9%), waktu perjalanan TPAU ke tujuan 15 menit (80%), berganti moda 2 kali dalam 1 kali asal tujuan (44.4%), biaya 1 kali perjalanan 2 ribu rupiah dari asal tujuan (39.4%), dan biaya total perjalanan besar dari 3.500 rupiah (73.3%). Untuk pemanggilan angkutan umum penumpang cukup memuaskan (53.9%), tempat duduk angkutan cukup memuaskan (54.4%), membawa bagasi angkutan
cukup
memuaskan
(59.4%),
membawa
teman/keluarga
cukup
memuaskan (58.9%), luas tempat duduk angkutan cukup memuaskan (52.2%), kebersihan dan suhu di angkutan tidak memuaskan (45%), kebisingan dan goncangan di angkutan tidak memuaskan (50.6%), polusi di angkutan tidak memuaskan
(50.6%),
rawan
kecelakaan
masih
rendah
(36.1%),
rawan
pelanggaran rendah (36.7%), potensi macet memungkinkan (41.7%),keamanan penumpang cukup memuaskan (41.7%). Ketepatan waktu tidak memuaskan (46.7%), secara umum angkutan cukup memuaskan (48.9%), dan solusi pengelolaan diprioritaskan pada aspek ekonomi (50.6%). Angkutan umum penumpang sebagai sebuah sistem dapat dikelompokkan dengan tujuan menjadualkan antrian penumpang supaya waktu antrian minimum; entitinya adalah kendaraan angkutan, penumpang, dan jaringan jalan; atributnya adalah jumlah kursi kedatangan penumpang dan kepadatan lalulintas; dan aktivitasnya adalah menjalankan angkutan dan naik turunnya penumpang. Dalam
pelaksanaan
uji
sensitivitas
dan
konsistensi
rasio
dalam
penggunaan metode AHP dan MPE adalah bahwa dalam pengelolaan data
169
dengan expert choice terjadi error, karena keterbatasan atau cakupan data serta sumberdaya manusia walaupun tidak berdampak besar dalam mempengaruhi data. Selain itu, perhitungan emisi gas buang kendaraan sebelumnya tidak direncanakan dalam proposal, tetapi perkembangan di lapangan dilakukan uji emisi karena sedang dilaksanakan uji emisi dan sesuai dengan berbagai masukan kolokium. Sebaliknya, rencana perhitungan tarif yang ideal pada prosposal tidak dapat dilakukan secara baik, karena keterbatasan sumber data pihak pengusaha sehingga biaya operasi hanya mencakup bensin dan oli. Beberapa variabel yang harusnya diperhitungkan sebagai biaya operasi atau produksi adalah: masa penyusutan kendaraan, jarak tempuh ganti ban, rasio pengemudi per angkutan, suku cadang, penggantian minyak motor dan mesin lainnya, dan hari jalan siap operasi. Validasi model yang praktis tapi memenuhi kriteria diharapkan mencakup: kesesuaian batasan, keberhasilan struktur, konsistensi dimensional, dan kondisi ekstrim. Verifikasi model mencakup: keberhasilan parameter, kesalahan terpadu, uji sesitivitas, perilaku, replikasi pada kasus sejenis, dan pengembangan sistem. Oleh karena itu, secara keseluruhan validasi dan verifikasi tersebut telah dilakukan dalam penelitian ini dan disimpulkan bahwa keseluruhan model telah memenuhi kriteria keabsahan (akurasi dan presisi) atau berada pada tingkat kepercayaan (rentang nilai) yang dapat diterima dalam pemodelan.